PENINGKATAN EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SEJARAH
BERBASIS MUATAN LOKAL MELALUI PEMANFAATAN
MEDIA TEKNOLOGI INFORMASI
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid,
M.Pd.
Guru Besar dalam Bidang Pendidikan Sejarah pada Program
Studi Pendidikan Sejarah FKIP/PPs Universitas Haluoleo
Makalah
Disajikan pada Konferensi Nasional
Sejarah IX dan Kongres Masyarakat Sejarawan Indonesia di Hotel Bidakara Jakarta
pada tanggal 5-8 Juli 2011
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011
PENINGKATAN EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SEJARAH
BERBASIS MUATAN LOKAL MELALUI PEMANFAATAN
MEDIA TEKNOLOGI INFORMASI
Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
ABSTRAK
Pembelajaran sejaran di
sekolah selama ini kurang menarik, bahkan sering dianggap membosankan, dan
dirasakan hanya sebagai rangkaian fakta-fakta yang berupa urutan tahun, tokoh
dan peristiwa belaka yang jauh dari lingkungan sosial peserta didik, terutama
di luar Jawa, karena selama ini materi kurikulum didominasi peristiwa sejarah
di Pulau Jawa (Jawa Centris). Fenomena ini bertentangan dengan kepentingan
mempelajari sejarah lokal, yaitu untuk mengenal berbagai peristiwa sejarah di
wilayah terdekat dengan lebih baik dan lebih bermakna. Pembelajaran sejarah
berbasis muatan lokal dapat mengadakan koreksi terhadap generalisasi yang
sering dibuat dalam penulisan sejarah nasional, dan dapat membawa peserta didik
pada situasi ril di lingkungannya. Secara sosio-psikologis bisa membawa peserta
didik secara langsung mengenal/menghayati lingkunagnnya. Pembelajaran sejarah
berbasis muatan lokal, lebih efektif membawa anak didik untuk mengenang
pengalaman masa lampau masyarakatnya dengan melihat situasi masa kini, bahkan
dapat memproyeksikan peluang dan tantangan akan datang. Inti muatan lokal
adalah program pendidikan yang isi dan media pembelajarannya dikaitkan dengan
lingkungan alam, dan lingkungan sosial budaya.
Penempatan muatan lokal sebagai bahan ajar dapat menghindarkan siswa
tercabut dari akar sosio-kulturalnya, karena materi sejarah yang paling dekat
dengan kondisi psikologis siswa adalah sejarah lokal. Penerapan muatan lokal
dalam bentuk sejarah lokal akan lebih mudah diserap siswa, sumber belajar di
daerah dapat lebih mudah dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan. Jika
dihubungkan dengan konsep pembelajaran kontekstual, maka pembelajaran sejarah
berbais muatan lokal dapat mendukung prinsip pengembangan kemampuan peserta
didik untuk berpikir aktif, kreatif dan struktural konseptual. Hampir semua
prinsip dalam rangka pembelajaran kontekstual sangat relevan dengan kegiatan
pembelajaran yang bermuatan sejarah lokal dan akan lebih efektif, jika
disajikan dengan memanfaatkan media teknologi informasi berupa komputer dan
internet. Sesuai dengan sifat materi dan sumber sejarah berbasis muatan lokal,
jika disajikan dengan memanfaatkan media dalam bentuk miniatur atau gambar/foto
elektonik (komputer, LCD/internet) maka peserta didik akan terdorong untuk
menjadi lebih peka lingkungan, begitu juga mereka akan lebih terdorong
mengembangkan keterampilan-keterampilan khusus seperti: mengobservasi, teknik
melakukan wawancara, mengumpulkan dan menyeleksi sumber, mengadakan klasifikasi
serta mengidentifikasi konsep, bahkan membuat generalisasi, akhirnya mendorong
perkembangan proses belajar bersifat discovery inquiry.
A. Pendahuluan
Efektivitas pembelajaran dapat dikaji dari beberapa aspek, diantaranya: perangkat pembelajaran, proses, karakteristik guru, dan hasil belajar. Semua aspek tersebut saling
terkait dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran. Sedangkan tujuan
pembelajaran (pendidikan) mencakup tiga aspek, yaitu: koqnitif, affektif, dan
psikomotorik. Tujuan kognitif berkaitan dengan usaha pengembangan
intelektual siswa, afektif berhubungan dengan perkembangan sosial dan
emosional, sedangkan psikomotorik berkenaan dengan perkembangan aspek
ketrampilan siswa. Hal itu berarti pembelajaran dapat dikatakan berkualitas
apabila mampu mengembangkan aspek-aspek tersebut pada diri siswa. Pembelajaran
yang efektif adalah memungkinkan siswa mendapatkan ketrampilan, pengetahuan, dan sikap
yang telah ditetapkan.
Pembelajaran harus dilandasi dengan
penciptaan lingkungan yang memungkinkan siswa untuk belajar. Pada umumnya guru kurang menyadari peranannya dalam membina pelajaran
sejarah. Hal ini tercermin dari seringnya pembelajaran di sekolah mendapat
sorotan tajam dari masyarakat, karena ternyata pembelajaran sejarah
diselenggarakan dengan cara-cara yang kurang memadai (Widja, 1989).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
proses pembelajaran, baik secara eksternal maupun internal. Faktor-faktor
eksetrnal mencakup guru, materi, pola interaksi, media dan teknologi, situasi
belajar dan sistem. Masih ada pendidik yang kurang menguasai materi dan dalam
mengevaluasi siswa, menuntut jawaban yang persis seperti yang ia jelaskan. Siswa tidak diberi
peluang untuk berfikir kreatif. Guru juga mempunyai keterbatasan dalam
mengakses informasi baru yang memungkinkan ia mengetahui perkembangan terakhir
di bidangnyadan
kemungkinan perkembangn yang lebih jauh dari yang sudah dicapai sekarang. Sementara itu
materi pembelajaran dipandang oleh siswa terlalu teoritis, kurang memanfaatkan
berbagai media secara optimal.
Beberapa pakar pendidikan sejarah maupun
sejarawan memberikan pendapat tentang fenomena pembelajaran sejarah yang
terjadi di Indonesia diantaranya masalah model pembelajaran sejarah, kurikulum
sejarah, masalah materi dan buku ajar atau buku teks, dan profesionalisme guru sejarah. Kenyataan yang ada sekarang, pembelajaran sejarah jauh dari harapan untuk
memungkinkan peserta didik melihat relevansinya dengan kehidupan masa kini
dan masa depan. Pembelajaran sejarah cenderung hanya memanfaatkan fakta sejarah sebagai
materi utama. Tidak aneh bila pendidikan sejarah terasa kering, tidak menarik,
dan tidak memberi kesempatan kepada anak didik untuk belajar menggali makna
dari sebuah peristiwa sejarah.
Strategi pedagogis
sejarah Indonesia sangat lemah. Pendidikan sejarah di sekolah masih cenderung
menuntut anak agar menghafal suatu peristiwa. Siswa tidak dibiasakan untuk
mengartikan suatu peristiwa guna memahami dinamika suatu perubahan. Sistem pembelajaran
sejarah yang dikembangkan sebenarnya tidak lepas dari pengaruh budaya yang
telah mengakar. Model pembelajaran yang bersifat satu arah dimana guru menjadi
sumber pengetahuan utama dalam kegiatan pembelajaran menjadi sangat sulit untuk
diubah. Pembelajaran sejarah saat ini mengakibatkan peran siswa sebagai pelaku
sejarah pada zamannya menjadi terabaikan. Pengalaman-pengalaman yang telah
dimiliki oleh siswa sebelumnya atau lingkungan sosialnya tidak dijadikan bahan belar di kelas,
sehingga menempatkan siswa sebagai peserta pembelajaran sejarah yang pasif. Kekurang cermatan pemilihan
strategi pembelajaran akan berakibat
fatal bagi pencapaian tujuan (Widja, 1989).
Masalah profesionalisme guru sejarah juga
masih dipertanyakan, sampai saat ini masih berkembang kesan dari para guru,
pemegang kebijakan di sekolah bahwa pelajaran sejarah dalam mengajarkannya
tidak begitu penting memperhatikan masalah keprofesian, sehingga tidak jarang
tugas mengajar sejarah diberikan kepada guru yang bukan profesinya. Akibatnya,
guru mengajarkan sejarah dengan ceramah mengulangi isi yang ada dalam buku.
Sementara itu terlalu banyak sekolah yang memposisikan guru sejarah sebagi
orang buangan, dan mata pelajaran sejarah sekedar sebagai pelengkap. Selain
itu, sebagian besar guru sejarah juga tidak mengikuti perkembangan hasil penelitian
dan penerbitan buku sejarah yang mutakhir. Hal yang terekhir itu juga berkaitan
denagn adanya kenyataan bahwa institusi resmi yang menjadi tempat pendidikan
tambahan bagi guru sejarah itu hanya berfokus pada substansi historis dan metode pembelajaran sejarah
yang tertinggal jauh (Purwanto, 2006).
Pembelajaran sejarah di sekolah selama ini sering
dilakukan kurang optimal. Pelajaran sejarah seolah sangat mudah dan
digampangkan. Banyak pendidik yang tidak memiliki berlatar belakang pengetahuan/pendidikan sejarah,
tetapi mengajar sejarah di
sekolah. Sesuai dengan ketetapan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan PP No.
19 tahun 2005, maka pengembangan kurikulum pendidikan sejarah di SD, SMP, SMA
menjadi tanggung jawab masing-masing sekolah tersebut. Melalui pengembangan dan penempatan
sejarah lokal sebagai materi kurikulum yang dasar, terlepas apakah materi
tersebut dikemas dalam mata pelajaran sejarah ataukah mata pelajaran lain.
Posisi materi sejarah lokal dalam kurikulum dianggap penting karena pendidikan
harus dimulai dari lingkungan terdekat dan peserta didik harus menjadi dirinya
sebagai anggota masyarakat terdekat
Para ahli kurikulum mengajukan kritik terhadap pembelajaran sejarah
yang didominasi bahan hafalan, lebih
menekankan memorisasi dan mengabaikan usaha pengembangan kemampuan intelektual
yang lebih tinggi, tidak relevan dengan kebutuhan peserta didik (Partington,
1980). Meskipun kritik tersebut bertolak dari kenyataan yang ada di Inggris,
tetapi kenyataannya juga berlaku di Indonesia. Untuk itu, perlu ada usaha untuk
mengembangkan alternatif baru dalam proses pembelajaran sejarah di sekolah
karena secara pedagogis sangat lemah. Selama ini pembelajaran sejarah di
sekolah terlalu indoktrinatif dan tidak menjadikan anak berpikir kreatif
Metode pembelajaran sejarah semacam ini telah menjadikan pelajaran
sejarah membosankan, karena tidak memberikan sentuhan emosional, siswa merasa
tidak terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Metode pembelajaran yang kaku
berakibat buruk untuk jangka waktu panjang dan berpotensi memunculkan generasi
yang mengalami "amnesia sejarah" yaitu melupakan sejarah bangsa
sendiri. Penelitian Govinthasamy (2002)
menunjukkan bahwa guru-guru sejarah kurang mementingkan penerapan KBKK
(Kemahiran Berfikir Kreatif dan Kritis)
dalam pembelajarannya.
Pembelajaran sejaran di sekolah selama ini kurang menarik, bahkan
sering dianggap membosankan, dan dirasakan hanya sebagai rangkaian fakta-fakta
yang berupa urutan tahun, tokoh dan peristiwa belaka yang jauh dari lingkungan
sosial peserta didik, terutama di luar Jawa, karena selama ini materi kurikulum
didominasi peristiwa sejarah di Pulau Jawa, sementara peristiwa dan peran tokoh
di daerah lain yang tidak sedikit dan tidak kalah pentingnya termasuk di
Sulawesi Tenggara tidak pernah termuat dalam buku/bahan ajar. Materi
pembelajaran sejarah yang diberikan kepada peserta didik SD hingga SLTA tidak
berbeda. "Proklamasi kemerdekaan RI dan Perang Diponegoro,
misalnya, dipelajari dari SD hingga SLTA, sehingga membosankan. Akhirnya
pelajaran sejarah benar-benar bisa mengajarkan kearifan hidup bagi peserta didiknya.
Untuk itu masalah tawuran anak sekolah yang kerap terjadi, bukan semata-mata
persoalan budi pekerti, tetapi juga karena ada kesalahan dalam
pembelajaran sejarah.
Salah satu usaha pengembangan pembelajaran sejarah adalah
dikembangkannya suplemen kurikulum muatan lokal atau Kurikulm Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Inti muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan
media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial,
lingkungan budaya, dan kebutuhan daerah, serta wajib dipelajari oleh siswa di
daerah itu.
Hasil Penelitian Sayono (2001)
menunjukkan perlunya penyempurnaan kurikulum pembelajaran sejarah dengan
menempatkan sejarah lokal sebagai bahan ajar. Hal ini untuk menghindarkan siswa
tercabut dari akar sosio-kulturalnya, karena materi sejarah yang paling dekat
dengan kondisi psikologis siswa adalah sejarah lokal. Kedudukan sejarah lokal
sangat urgen dalam pembelajaran sejarah, dan diharapkan ada kesinambungan dalam
pemikiran siswa agar dapat merasa bahwa diri dan lingkungannya merupakan bagian
dari kehidupan yang lebih luas yakni negara kesatuan Republik Indonesia
Tujuan penerapan sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah di sekolah adalah
(1) bahan belajar akan lebih mudah
diserap siswa, (2) sumber belajar di daerah dapat lebih mudah dimanfaatkan
untuk kepentingan pendidikan, (3) siswa lebih mengenal kondisi lingkungan, (4)
siswa dapat meningkatkan pengetahuan mengenai daerahnya, (5) siswa dapat
menolong diri dan orang tuanya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, (6)
siswa dapat menerapkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah
yang ditemukan di sekitarnya, (7) siswa menjadi akrab dengan lingkungannya
(Widja, 1989), dan siswa makin kreatif, inovatif, patriotik, dan cinta tanah
air.
Mencermati perkembangan masyarakat yang
begitu kompleks, maka perlu
kurikulum berwawasan lokal berstandar Internasional, karena perkembangan
kurikulum sejarah tidak terlepas dari faktor eksternal dan internal. Kurikulum
nasional yang disusun berdasarkan kompetensi dasar dalam bentuk Standar
Internasional, akan memberikan peluang luas kepada daerah untuk mengembangkan
muatan lokal dalam pembelajaran sejarah, sesuai dengan ciri khas masing-masing
daerah. Dalam mengembangkan kurikulum bermuatan sejarah lokal dapat dikemas
dengan cara menjabarkan dan menambah bahan kajian dari KTSP mata pelajaran
sejarah. Untuk dapat mengembangkan muatan sejarah lokal dengan baik perlu
kiranya tetap menggunakan pendekatan-pendekatan yang berlaku dalam sejarah
nasional yaitu faktual, prosesual, pemecahan masalah, dan tematis. Pendekatan
tematis memerlukan pengembangan sejarah sosial, sejarah ekonomi, sejarah
perkebunan, dan sejarah peradaban, yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi
daerah masing-masing.
Pengembangan pembelajaran sejarah bermuatan lokal perlu pula mencermati
arah materi sejarah yang bersifat Indonesia sentris, arah gerak sejarah Bangsa
Indonesia yang semula ditentukan oleh kaum elit/penguasa, menuju ke gerak
sejarah yang tidak hanya ditentukan oleh kaum penguasa, tetapi oleh rakyat
Indonesia. Dalam menghadapi tantangan pembelajaran sejarah yang demikian ini
peran guru sejarah benar-benar menentukan selain sebagai pelaksana kurikulum dan
pengembang kurikulum sejarah, juga harus mampu melakukan pengkajian sejarah
lokal di sekitar tempat tugasnya.
B. Pengintegrasian Sejarah Lokal
dalam Pembelajaran Sejarah
Pengintegrasian sejarah lokal dalam tulisan ini adalah
pemuatan sejarah dalam lingkup yang terbatas meliputi suatu lokasi tertentu.
Perlunya pemuatan sejarah lokal karena untuk mengetahui kesatuan yang lebih
besar, bagian yang lebih kecil pun harus dimengerti dengan baik. Seringkali
hal-hal yang ada di tingkat nasional baru bisa dimengerti dengan baik, apabila
kita mengerti dengan baik pula perkembangan di tingkat lokal. Pengembangan
penulisan yang bersifat nasional seperti selama ini, sering kurang memberi
makna bagi orang-orang tertentu, terutama yang terkait dengan sejarah
wilayahnya sendiri (Lapian, 1980).
Banyak bagian sejarah bangsa Indonesia, bukan
saja tidak pernah dihayati, tetapi juga tidak pernah dibayangkan karena
kurangnya informasi tentang peristiwa itu, sehingga ada begian-bagian sejarah
daerah kita sendiri yang luput dari masyarakat pembaca sejarah. Sebagai contoh
keterbatasan pengetahuan orang-orang (bahkan yang berasal dari daerah itu
sendiri) tentang peranan penting serta perkembangan detail dari kerajaan Wolio,
Wuna, Konawe, Mekongga, dan Laiwoi. Ataupun arti penting serta detail dari
bentuk-bentuk pemerintahan yang pernah berkembang di Indonesia seperti Barata
di Wuna dan Buton, serta Pitu Dula Batu di Kerajaan Konawe. Masih banyak lagi
bisa dipakai contoh tentang kasus-kasus objek studi sejarah lokal yang tidak
begitu dikenal di lingkungan masyarakat Indonesia.
Peninggalan gua prasejarah di Muna, Al-Qur’an 30
juz tulisan tangan di atas kertas yang berasal dari bahan baku kulit kayu yang
ditemukan di Muna, perjuangan rakyat Buton melawan Jepang, perlawanan rakyat
Kolaka dan Kendari melawan Sekutu dan Belanda yang mencapai puncaknya pada saat
peristiwa 19 November 1945. Rangkaian peristiwa tersebut belum banyak ditulis
sehingga tidak dipahami masyarakat di Sulawesi Tenggara. Dengan demikian,
kepentingan mempelajari sejarah lokal, pertama-tama adalah untuk mengenal
berbagai peristiwa sejarah di wilayah terdekat dengan lebih baik dan lebih
bermakna.
Sejalan dengan itu, Lapian (1980) menunjukkan
kepentingan lebih lanjut dari kajian secara lokal, yaitu: “untuk bisa
mengadakan koreksi terhadap generalisasi-generalisasi yang sering dibuat dalam
penulisan sejarah nasional”. Sebagai ilustrasi masalah generalisasi yang
menyangkut periodisasi sejarah Indonesia yang sering diberi istilah Zaman
Hindu. Pada kenyataannya ada daerah-daerah yang tidak mengenal periode zaman
Hindu (seperti Sangir-Talaud, Sewu, Rote, dan Wilayah Sulawesi Tenggara). Ada
pula daerah-daerah yang sampai sekarang masih berpegang pada Hinduisme (seperti
Bali, dan sebagian Lombok). Di sini juga nampak bahwa pengembangan penulisan
sejarah lokal akan memberikan bahan pengecekan terhadap anggapan teoritis yang
bersifat menggeneralisasikan masalahnya untuk seluruh Indonesia.
Ada beberapa aspek positif dalam
pembelajaran sejarah lokal, baik yang bersifat edukatif psikologis maupun yang
bersifat kesejarahan sendiri. Pertama, mampu
membawa peserta didik pada situasi ril di lingkungannya dan mampu menerobos batas
antara dunia sekolah dan dunia nyata di sekitar sekolah. Dilihat secara
sosio-psikologis bisa membawa peserta didik secara langsung mengenal dan
menghayati lingkunagn masyarakatnya, dimana mereka merupakan bagian di dalamnya
(Douch, 1967; Mahoney, 1981).
Kedua,
pembelajaran sejarah lokal, akan lebih mudah membawa siswa pada usaha untuk
mengenang pengalaman masa lampau masyarakatnya dengan melihat situasi masa
kini, bahkan dapat memproyeksikan
peluang dan tantangan pada yang akan datang. Dalam pembelajaran sejarah
lokal peserta didik akan mendapatkan banyak contoh dan pengalaman dari berbagai
tingkat perkembangan lingkungan masyarakatnya, termasuk situasi masa kini.
Dengan demikian, mereka akan lebih mudah menangkap konsep perubahan yang
menjadi kunci penghubung antara masa lampau, masa kini, dan masa yang akan
datang.
Kalau dihubungkan dengan teori J.
Bruner maupun dalam hubungan dengan konsep-konsep pendekatan proses, maka
pembelajaran sejarah lokal sangat mendukung prinsip pengembangan kemampuan peserta
didik untuk berpikir aktif, kreatif dan struktural konseptual. Hampir semua
prinsip dalam rangka pembelajaran siswa aktif
sangat relevan dengan kegiatan pembelajaran yang bermuatan sejarah
lokal. Sesuai dengan sifat materi serta sumber sejarah lokal, maka peserta
didik akan terdorong untuk menjadi lebih peka lingkungan, begitu juga mereka
akan lebih terdorong mengembangkan keterampilan-keterampilan khusus seperti:
mengobservasi, teknik bertanya atau melakukan wawancara, mengumpulkan dan
menyeleksi sumber, mengadakan klasifikasi serta mengidentifikasi konsep, bahkan
membuat generalisasi, kesemuanya itu mendorong bagi perkembangan proses belajar
bersifat discovery inquiry.
Jika dihubungkan dengan pendekatan
kurikulum yang bersifat integratif beberapa mata pelajaran menjadi satu
kelompok, dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), maka melalui pembelajaran
bermuatan sejarah lokal nampaknya integrasi itu akan lebih mudah diwujudkan.
Secara bersama-sama mata pelajaran seperti: ekonomi, geografi dan sejarah bisa
juga dikelompokkan sebagai “pembelajaran lingkungan masyarakat setempat” (local community studies). Dalam wadah
pembelajaran lingkungan masyarakat setempat, aspek-aspek kehidupan ekonomi,
sosial, geografis serta aspek perkembangan suatu masyarakat dalam sutu lokasi
tertentu sulit dipisahkan dengan tegas. Semua unsur kelompok mata pelajaran ini
saling terkait dan menjelma dalam wujud kehidupan nyata dari masyarakat secara
keseluruhan (Berry dan Schug, 1984).
Pembelajaran bermuatan sejarah lokal
mengharapkan peserta didik maupun guru harus berhubungan dengan sumber-sumber
sejarah, baik yang tertulis maupun informasi lisan, baik berupa dokumen maupun
benda-benda seperti: bangunan, alat-alat, peta dan sebagainya yang mula-mula
harus dikumpulkan, kemudian dikaji (dikritik) serta diinterpretasikan sebelum
bisa digunakan sebagai bahan pembelajaran sejarah lokal. Untuk itu, guru
sejarah perlu suatu persiapan khusus sebelum pembelajaran bermuatan sejarah
lokal bisa dilaksanakan secara efektif.
Kesulitan lain adalah memadukan
tuntutan pembelajaran sejarah lokal dengan tuntutan penyelesaian target materi
yang telah tertulis dalam kurikulum. Pada umumnya dalam kurikulum sudah
ditentukan sejumlah materi dan pokok-pokok bahasan yang harus diselesaikan
sesuai dengan alokasi waktu yang sudah ditentukan dengan ketat. Dengan demikian
guru akan mengalami dilema antara memenuhi tuntutan kurikulum dengan usaha
pengembangan pembelajaran bermuatan sejarah lokal yang memerlukan waktu yang
relatif banyak, baik untuk persiapan maupun untuk pelaksanaan kegiatan
pembelajaran sejarah lokal yang dilakukan di luar kelas.
Terkait dengan permasalahan
tersebut, Douch (1967) mengemukakan tiga model pembelajaran sejarah lokal. Pertama, guru sejarah hanya mengambil
contoh-contoh dari kejadian lokal untuk memberi ilustrasi yang lebih hidup dari
uraian sejarah nasional maupun sejarah dunia yang sedang diajarkan. Di sini
jelas tidak akan ada masalah bagi usaha yang mengaitkan sejarah lokal dengan
kurikulum pembelajaran sejarah yang berlaku, karena tidak ada pengambilan
alokasi waktu yang sudah disediakan dan tidak ada kegiatan khusus di luar kelas
yang harus dilakukan guru dan peserta didik.
Kedua,
dilakukan dalam bentuk kegiatan penjelajahan lingkungan. Di sini sudah ada
usaha memberi porsi yang lebih nyata dari kegiatan belajar peserta didik dengan
aktivitas kesejarahan di luar kelas. Dalam bentuk ini peserta didik selain
belajar sejarah di kelas, juga diajak ke lingkungan sekitar sekolah untuk
mengamati langsung sumber-sumber sejarah dan mengumpulkan data sejarah.
Aspek-aspek yang diamati tidak semata-mata berupa sejarah dalam urutan-urutan
peristiwa, tetapi juga berbagai aspek kehidupan yang terkait seperti geografi,
sosial ekonomi, folklor, dan pertanian.
Ketiga, studi khusus tentang berbagai aspek kesejarahan di lingkungan peserta
didik. Peserta didik diorganisir untuk mengikuti prosedur seperti yang
dilakukan peneliti profesional, mulai dari pemilihan topik, membuat
perencanaan, cara membuat analisis data sampai penyusunan laporan hasil studi.
Diantara tiga pilihan tersebut, akan lebih bijak jika dipilih model
kedua, karena selain tidak mengganggu materi yang telah ada dalam kurikulum,
juga dapat meningkatkan partisipasi siswa dan mendorong siswa untuk lebih
kreatif dan inovatif, serta bangga terhadap lingkungan sosialnya. Persoalannya
sekarang, sejauh mana guru sejarah mampu merancang kegiatan pembelajaran yang
dapat mengaitkan dengan peristiwa sejarah lokal. Selama ini sumber-sumber
sejarah lokal masih terbatas yang diungkap secara tertulis, jika ada itu
umumnya ditulis oleh sejarwan amatir, sementara sejarawan profesional (sarjana
sejarah dan magister sejarah) hanya senang berdebat persoalan metodologi yang
juga sudah ketinggalan zaman, sehingga cuplikan-cuplikan sejarah yang sempat
ditulis juga tidak dapat memuaskan banyak pihak, seperti kasus sejarah Sultra
yang dua tahun terakhir dibacakan dalam upacara Harlah Sultra selalu
menimbulkan kotroversi. Namun di sisi lain, jika kajian sejarah lokal dapat
dilakukan secara profesional dengan mengadaptasi metodologi penelitian sosial
modern dapat menghasilkan sesuatu yang berharga seperti hasil kajin sejarah
Kota Kendari yang dilakukan Tim dari FKIP Unhalu berhasil mengungkap hari lahir
Kota Kendari 9 Mei 1832, demikian pula penelitian Sejarah Kolaka yang dilakukan
oleh Tim yang sama berhasil mengungkap beberapa fakta baru diantaranya
rangkaian peristiwa 19 November 1945 yang merupakan puncak perjuangan rakyat
Sulawesi Tenggara dalam mempertahankan kemerdekaan melawan sekutu dan Belanda
sekaligus dapat memperkaya muatan sejarah nasional Indonesia. Dua kajian
tersebut dapat menjadi acuan utama guru sejarah dalam pembelajaran di sekolah
mulai SD sampai dengan perguruan tinggi.
C. Strategi Pembelajaran Sejarah
Agar pembelajaran sejarah berjalan efektif, maka metode yang digunakan
harus bisa mengkonstruk "ingatan historis" yang disertai dengan
"ingatan emosional". Metode pembelajaran satu arah yang ada selama
ini hanya akan mengkonstruk "ingatan historis". Siswa menjadikan
sejarah hanya sebagai fakta-fakta hafalan tanpa adanya ketertarikan dan minat
untuk memaknainya, apalagi menggali lebih jauh. Supaya ingatan
"historis" bisa bertahan lama, maka perlu disertai "ingatan
emosional", yaitu ingatan yang terbentuk dengan melibatkan emosi hingga
bisa menumbuhkan kesadaran dalam diri siswa untuk menggali lebih jauh dan
memaknai berbagai peristiwa sejarah. Proses pembelajaran kemudian tidak hanya
berhenti pada penghafalan saja, tetapi siswa bisa aktif dalam komuniasi dua
arah dengan guru untuk menyampaikan pendapatnya mengenai objek sejarah yang
tengah dipelajari karena sejak awal ia telah merasa menjadi bagian dari proses
pembelajaran. Di sinilah urgensinya sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah.
Penggunaan model pembelajaran cooperative
learning merupakan salah satu alternatif yang dapat dilaksanakan oleh guru
dalam memberdayakan siswa secara aktif dalam menggali muatan sejarah lokal ke
dalam pembelajaran sejarah. Model cooperative
learning ini mampu menempatkan siswa sebagai subjek dalam mengungkap
episode-episode sejarah lokal. Karena pada dasarnya pelaksanaan cooperative learning adalah menggali potensi yang
sebenarnya sudah dimiliki oleh masing-masing siswa. Untuk mendukung kondisi
tersebut, guru memegang peranan penting dalam menciptakan suasana kelas yang
`dapat memberikan keleluasaan dalam belajar dan mendorong siswa mengembangan
potensi berpikirnya. Penggunaan model pembelajaran cooperative learning ini menempatkan guru sebagai fasilitator,
motivator, mediator dan evaluator dalam upaya membantu siswa mengembangkan
keterampilan sosial dan kemampuan berpikir kritis, agar ia mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya, mampu bekerjasama dengan orang lain, dan mampu untuk
berinteraksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Pembelajaran sejarah lokal dapat divariasikan dengan media
komputer/internet dan modul yang secara empiris menunjukkan produktivitas
hasil belajar sejarah yang tinggi dan dapat mengaplikasikan pelbagai teori dan
strategi pembelajaran terutama pembelajaran koperatif (Mohamad, 2002; Alias, 2008).
Pembelajaran kooperatif merupakan suatu bentuk pembelajaran dalam
kelompok kecil untuk bekerja sama sesama siswa (Heinich, 1990), dan dapat
meningkatkan motivasi serta prestasi belajar siswa (Anglin, 1995). Untuk
mencapai hasil yang maksimal dalam pembelajaran kooperatif, maka ada lima unsur
yang harus diterapkan dalam pembelajaran kooperatif, yaitu: (1) saling
ketergantungan positif, (2) tanggung jawab terhadap tugas dan kegiatan belajar,
(3) terjadi tatap muka tidak harus di kelas, (4) komunikasi antar anggota, dan
(5) evaluasi proses kinerja kelompok (Lie, 2002). Hasil uji coba melalui
eksperimen menunjukkan bahwa strategi pembelajaran kooperatif dapat
meningkatkan hasil belajar sejarah (Mursidin, 2005).
Daud (2008) mengkaji keberkasan strategi
pembelajaran diskusi dengan hasil kajian menunjukkan bahawa pembelajaran yang
menggunakan metode diskusi dapat meningkatkan pencapaian hasil belajar sejarah
dan meningkatkan sikap positif siswa terhadap mata pelajaran sejarah dan
pembelajaran sejarah.
Kegiatan pembelajaran bermuatan
sejarah lokal dapat pula dilakukan dengan menggunakan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL). Melalui pendekatan ini
proses pembelajaran menempatkan lingkungan sosial sebagai sumber belajar
potensial termasuk di dalamnya aspek-aspek historis dalam lingkungan
sehari-hari peserta didik. Penggunaan
peta sejarah sebagai bagian dari CTL secara empiris menurut Ismail (2001) dapat
meningkatkan motivasi siswa dalam pembelajaran sejarah. Implementasi CTL
dapat dilakukan dengan menggunakan metode inquiri seperti dilakukan oleh Ahmad (2008) yang menunjukkan bahawa 83%
siswa mampu melakukan inkuiri sejarah secara konsisten. Pemanfaatan metode
inquiri dalam pembelajaran sejarah dapat meningkatkan pencapaian hasil belajar
sejarah dan dapat meningkatkan sikap positif siswa terhadap mata pelajaran
sejarah dan pembelajaran sejarah (Mahmud,
2008).
Dalam kaitannya dengan penggunaan karya
sastra pengarang Indonesia sebagai sarana pembelajaran, kita justru tertinggal
jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Di Malaysia sudah sejak lama
novel Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer menjadi bacaan wajib siswa
setingkat SMP, begitu pula dengan Gadis Pantai yang menjadi bacaan wajib siswa
setingkat SMP di Australia. Sementara
itu, di negeri si pengarang, semua karya-karyanya sempat dilarang keras
beredar. Jadi, sebagai guru sejarah harus senantiasa mendasarkan dirinya pada
fakta-fakta, sementara ia tidak boleh menutup diri dari metode pembelajaran
yang lebih mudah diterima dan lebih digemari siswa sehingga mereka tidak
mengalami "amnesia sejarah" (Kompas, 6 September 2006).
Untuk menjadikan guru sejarah yang mampu mengembangkan materi sejarah
lokal, maka ia harus mampu melakukan pengkajian sejarah, dan ini tidak bisa ditawar-tawar
lagi karena dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memasukkan materi
pengenalan penelitian sejarah pada semester satu kelas X. Secara filosofi
bahwa inti materi pembelajaran sejarah dalam kompetensi dasar ini adalah
sejarah lokal. Usaha ini sangat positif,
karena ketika siswa masuk SMA, mereka langsung diajak untuk latihan meneliti
sejarah. Pendekatan yang tepat digunakan harus lebih mengedepankan pembelajaran
learning by doing. Sebab apabila
model pembelajaran hanya mengedepankan kognitif, maka tidak ubahnya materi
sejarah yang ada pada siswa akan sia-sia.
Berkaitan model pembelajaran sejarah bermuatan sejarah lokal, maka perlu
pengembangan modul dan buku-buku untuk merangsang siswa. Seharusnya guru tidak
terpaku pada buku ajar, tetapi harus mengembangkan modul yang mengintegrasikan
sejarah lokal. Sebab karakteristik setiap sekolah berbeda sesuai dengan arah
KTSP berupa keragaman. “Tidak mungkin menggunakan satu buku untuk seluruh
sekolah di Indonesia. Guru
harus mampu mengembangkan materi sejarah dalam dimensi kekinian dengan
mendekatkan materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kedekatan masalah
peserta didik. Pengembangan strategi pembelajaran yang mengedepankan aktivitas
siswa merupakan upaya inovatif pembelajaran sejarah.
Menurut Wahap (2000.) yang mampu melakukan itu semua adalah guru
yang mempunyai latar pendidikan sejarah dan pengalaman pelatihan. Akhirnya, guru
sejarah harus memiliki latar belakang pendidikan sejara dan perlu diberi
pelatihan materi dan metode pembelajaran sejarah sehingga hasil pembelajarannya
efektif dan efisien.
D. Pemanfaatan Media
Teknologi Informasi
Upaya mencapai tujuan pembelajaran yang efektif, maka pembelajaran
sejarah harus kaya dengan sumber,
agar siswa dapat mengembangkan imajinasinya. Persoalan-persoalan yang muncul
sebagai akibat dari perbedaan persepsi antar penulis akan memaksa siswa untuk
berpikir lebih tajam, sensitif, dan berupaya mengembangkan kemampuan nalarnya.
Sumber atau resource yang paling kaya ada di internet, dan inilah gudangnya
resource untuk bahan belajar siswa.
Berkaitan model
pembelajaran sejarah bermuatan sejarah lokal, maka perlu pengembangan media
berbasis teknologi informasi untuk merangsang siswa. Seharusnya guru tidak
terpaku pada buku ajar, tetapi harus mengembangkan media yang mengintegrasikan
sejarah lokal. Sebab karakteristik setiap sekolah berbeda sesuai dengan arah
KTSP berupa keragaman. Tidak mungkin menggunakan satu buku/media untuk seluruh
sekolah di Indonesia. Guru harus mampu mengembangkan materi dalam dimensi kekinian dengan
mendekatkan materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kedekatan masalah
peserta didik. Pengembangan strategi pembelajaran yang mengedepankan aktivitas
siswa merupakan upaya inovatif pembelajaran sejarah.
Pengadaan
media TIK untuk kegiatan pembelajaran bisa saja berasal dari sekolah itu
sendiri atau dari pihak lain. Pada dasarnya tidak menjadi masalah dari manapun
asalnya media TIK yang sampai di sekolah. Lebih penting lagi adalah bagaimana
menyiasati agar media TIK yang telah tersedia di sekolah dapat dioptimalkan
pemanfaatannya bagi kepentingan pembelajaran peserta didik. Beberapa contoh
media TIK yang mulai banyak tersedia di pasaran adalah CD/kaset audio, VCD, dan
internet. Timbul pertanyaan, mengapa menggunakan media
TIK. Jawabnya: Menghemat waktu proses pembelajaran,
melatih pembelajar lebih mandiri dalam mendapatkan ilmu pengetahuan (http://www.docstoc.com/docs/
20430018/).
Sehubungan dengan semakin maraknya
ketersediaan media TIK untuk kegiatan pembelajaran, baik di pasaran, yang
diadakan sekolah sendiri maupun yang diterima sekolah dari berbagai pihak, maka
sebelum memanfaatkannya di dalam kelas, beberapa tips berikut ini perlu kiranya
mendapatkan perhatian:
1. Mempelajari Materi Pembelajaran yang Dikemas
dalam Media TIK
Akibat kemajuan TIK dewasa ini, para
guru dapat mencatat daftar websites yang memang memuat materi pelajaran yang
berkaitan dengan materi pelajaran yang akan dibahas di dalam kelas. Tidak hanya
mencatat website-nya tetapi juga materi pelajaran yang dikandung di dalamnya.
Penugasan peserta didik mengakses websites tertentu hendaknya dilakukan guru
secara terencana. Demikian juga dengan alokasi waktu bagi peserta didik untuk
mengerjakan tugas yang diberikan.
Jika di sekolah telah tersedia
perangkat komputer dan akses ke internet, maka guru dapat menugaskan para
peserta didiknya untuk mengunjungi websites yang dimaksudkan. Tidak hanya
sekedar mengunjungi websites tertentu saja, tetapi para peserta didik juga
ditugaskan untuk mendiskusikan materi pelajaran yang dikemas di dalamnya.
Mengakses websites tertentu yang
ditugaskan guru dapat saja dilakukan peserta didik di luar jam pelajaran
sekolah atau selama peserta didik masih berada di sekolah. Apabila selama
berada di lingkungan sekolah, peserta didik dapat saja mengakses websites yang
ditugaskan guru di lab komputer. Peserta didik akan merasa lebih leluasa
melaksanakan tugas yang diberikan guru apabila ada jam pelajaran kosong. Atau,
setidak-tidaknya ada satu jam pelajaran yang diperuntukkan guru kepada peserta
didik untuk mengakses websites dan mendiskusikan materinya. Tentunya akan lebih
baik lagi apabila peserta didik melaksanakan tugas di luar jam pelajaran
sekolah.
2. Merencanakan Waktu Pemanfaatan Media TIK
Ada sebagian guru yang membawa media
TIK atau media pembelajaran ke dalam kelas dan kemudian memanfaatkannya ketika
dirinya merasa memerlukannya. Artinya, pemanfaatan media pembelajaran dilakukan
sesuai dengan keinginannya.
Pemanfaatan media dalam kegiatan
pembelajaran dilakukan secara terencana dan terintegrasi dalam jadwal pelajaran
sekolah. Sebagai contoh guru yang akan memanfaatkan media CD atau VCD dalam
kegiatan pembelajaran. Setelah mempelajari materi yang dikandung di dalam
CD/VCD, maka guru tahu persis kapan materi tersebut akan dibahas bersama
peserta didiknya. Dalam kaitan ini, guru dituntut membuat perencanaan
pemanfaatannya. Berbagai topik program media yang terdapat dalam CD/VCD telah
terlebih dahulu dipelajari guru sehingga dapat diintegrasikan dengan jadwal
pelajaran sekolah, baik hari maupun waktunya. Dengan adanya perencanaan ini,
maka peserta didik dapat dikondisikan agar peserta didik mempersiapkan diri dan
fasilitas yang mereka perlukan sebelum kegiatan pemanfaatan media dilakukan.
Demikian juga kesiapan guru itu sendiri, baik dalam mempelajari materi
pelajaran yang dikemas di dalam media CD atau VCD maupun dalam mempersiapkan
fasilitas yang dibutuhkan guru.
3. Mengkomunikasikan Rencana Pemanfaatan Media TIK kepada Peserta Didik
Ada 2 alasan mengapa dinilai penting
mengkomunikasikan rencana pemanfaatan media TIK kepada peserta didik adalah
agar peserta didik dapat mempersiapkan (a) dirinya untuk mempelajari materi
pelajaran yang akan disajikan melalui media TIK dan (b) fasilitas yang
diperlukan untuk mengikuti kegiatan pembelajaran melalui media TIK. Dari sisi
guru, ada tuntutan agar guru lebih (a) mempersiapkan dirinya mengenai materi
pelajaran yang akan dibahas, (b) mempersiapkan fasilitas yang dibutuhkan (dalam
kondisi baik) agar tidak menjadi hambatan sewaktu pemanfaatan media TIK
dilaksanakan, dan (c) mempersiapkan ruangan yang akan menjadi tempat
pemanfaatan media TIK (Siahaan, 2011).
Menurut Wahap (2000) yang mampu melakukan itu
semua adalah guru yang mempunyai latar pendidikan sejarah dan memiliki
pengalaman pelatihan dalam aspek media, metode dan materi pembelajaran sejarah.
Akhirnya, guru sejarah harus memiliki latar belakang pendidikan sejarah dan
perlu diberi pelatihan tentang media dan metode pembelajaran sejarah sehingga
hasil pembelajarannya efektif.
E. Penutup
Berbagai kelemahan yang ditemukan dalam
pembelajaran sejarah selama ini, salah satu penyebabnya karena materi yang
diajarkan tidak ada kaitannya dengan lingkungan sosial siswa. Materi
pembelajaran terkesan cerita tentang tokoh, peristiwa, dan tahun yang jauh dari
lingkungan siswa. Untuk itu, integrasi sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah
merupakan suatu keharusan untuk melibatkan siswa dalam proses pembelajaran,
sehingga dapat memberi makna dan kesadaran kepada peserta didik. Demikian pula
penggunaan pendekatan, metode, dan media pembelajaran yang manarik seperti
media teknologi informasi berupa komputer/internet, sangat diperlukan untuk meningkatkan
efektivitas pembelajaran. Guru sejarah selain harus mampu membuat perencanaan
dan pelaksanaan pembelajaran, juga dituntut kemampuan untuk melakukan
pengkajian sejarah lokal di sekitar peserta dididknya dan mengaksesnya di dunia
maya, sehingga peserta didik tidak lagi tergantung sepenuhnya kepada guru di
sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T. dkk. 1999. Membangun Masyarakat Madani Menuju Indonesia Baru Milenium ke-3. Yogyakarta:
Aditya Media.
Alias, R. 2008. “Penghasilan Bahan Pengajaran dan
Pembelajaran Berbantukan Komputer Bertajuk Sejarah dan Kita, Petempatan Awal di
Negara Kita, Parameswara dan Pengasasan Melaka”. http://akademik.ukm.my/eda/
projekge6553/sejarah.htm? PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.
Anglin, G.J. 1995. Instructional Technology, past, presnt, and future. Englewood,
Colorado: Libraries Unlimited, Inc.
Berry, R and Schug, M.C. 1984. “Young People and
Community”. Dalam Commonity Study:
Aplications and Opportunities. Washington: National Council for the Social
Studies.
Depdiknas.
2006. Bahan Sosialisasi KTSP.
Jakarta: Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan.
Douch, R.1967. Local
History an the Teacher. London: Rout-ledge & Kegan Paul.
Govinthasamy, B.A. 2002. “Penilaian
Perlaksanaan Kemahiran Berfikir Cecara Kreatif dan Kritis (KBKK) dalam Mata
Pelajaran Sejarah KBSM Tingkatan 4. Satu Kajian di Daerah Tampin dan Rembau
Negeri Sembilan”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=
c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8
Mei 2008.
Heinich, R. Et all. 1990. Instructional and the New Technologies of Instruction. New York:
Macmillan Publishing Company.
http://www.docstoc.com/docs/20430018/Pembelajaran-Berazas-Media-Teknologi-Informasi.
akses, 2 Maret 2011
Johnson, E.B. 2006. Contextual Teaching and Learning.
Bandung: Mizan Media Utama.
Jordan, P.D.1968. The Nature and Practice of State and Local History. Washington:
Amaerican Historical Association.
Lapian, A.B. 1980. “Memperluas Cakrawala melalui
Sejarah Lokal” dalam Majalah Prisma. No.
8 Tahun IX. Jakarta: LP3ES.
Lie, Anita. 2002. Cooperatif
Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta:
Grasindo.
Mahoney, J. 1981. Local History: A Guide for Research and Writing. Washington DC:
National Education Association.
Mohamad, M. 2002. “Pembinaan dan Perlaksanaan Modul Pembelajaran Mengenai Web
yang Disepadukan dengan Subjek Sejarah Dunia Tajuk Tamadun Awal Manusia”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.
Mursidin, T. 2005. “Pengaruh Strategi Pembelajaran
dan Konsep Diri terhadap Hasil Belajar Sejarah”. Disertasi: Jakarta: Program Pascasarjana UNJ. Tidak diterbitkan.
Nash G.B. & Crabtree C. 1996. National Standard for History. Los
Angeles: National Centre for History in the School University of California.
Partington, G.
1980. The Idea of an Historical
Education. Avon: NFER Publishing Company.
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun
2005. Standar nasional Pendidikan. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris.
Yogyakarta: Ombak.
Sayono, J. 2001.
“Sejarah
Lokal Kontemporer: Urgensinya Sebagai Muatan Lokal di Sekolah-Sekolah Lanjutan”
dalam Jurnal Sejarah Kajian dan
Pengajarannya. Tahun 6, Nomor 2, September 2001.
Siahaan, Sudirman. 2011. Tips
bagi Guru dalam Memanfaatkan Media Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
untuk Pembelajaran.
http://cobaberbagi.wordpress.com /2010/01/25/. Akses, 2 Maret 2011
Undang-Undang No. 20 tahun 2003
tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Wahap, W. 2008. “Penggunaan Penyoalan Lisan di Kalangan Guru Sejarah
di Sekitar Bandar Sibu, Sarawak”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?
PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8
Mei 2008.
Widja, I Gede. 1989. Dasa-Dasar Pengembangan Strategi dan Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta: Debdikbud.
Widja, I.G. 1999. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta:
Depdikbud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar