Minggu, 28 Juni 2020

ANALISIS FUNGSI KALOSARA SEBAGAI MEDIA ETNOPEDAGOGI DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA DI SULAWESI TENGGARA Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd. A. Pendahuluan Setiap suku bangsa berusaha memberikan pembelajaran kepada generasinya yang bertujuan untuk melestarikan budaya mereka, dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk dapat mempertahankan masyarakat sebagai kesatuan fungsional, harus selalu diadakan training bagi para anggota baru untuk dapat menempati posisi-posisi khusus dalam masyarakat. Para anggota masyarakat harus dibagi-bagi dalam berbagai kategori, dan setiap kategori harus dididik untuk melakukan berbagai macam hal. Masyarakat juga harus mengembangkan pola-pola tingkah-laku yang harus dilakukan individu dalam menghadapi situasi tertentu. Dengan adanya pola-pola semacam ini, maka muncul garis pegangan untuk memberikan training bagi individu. Dalam cultural continuum ada perwjudan baru yang ditambahkan, dan ada perwujudan lainnya yang dilepaskan (Linton 1984). Pendidikan pada dasarnya berbasis sosial budaya berupa kegiatan pembelajaran yang didasarkan pada unsur-unsur budaya yang ada pada masyarakat setempat oleh Koentjaraingrat (1981) diidentifikasi seperti: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organsisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan. Proses pembelajaran dalam bidang kebudayaan dikenal ada tiga istilah: discovery, invention, dan diffusion. Discovery adalah setiap penambahan pengetahun, invention adalah sebuah penggunaan baru daripada pengetahuan, diffusion adalah transfer unsur-unsur kebudayaan dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya. Menurut Linton (1984) lima puluh tahun yang lalu perempuan dari golongan menengah rata-rata hanya bercita-cita untuk menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga, maka seorang perempuan hanya mendapatkan training untuk menghadapi perkawinan. Hal ini berbeda dengan sekarang beberapa orang perempuan sebagai perorangan, memutuskan untuk bekerja di luar rumah (di kantor). Setiap kebudayaan merupakan sebuah formasi yang bagian-bagiannya saling menyesuaikan. Gejala saling menyesuaikan antara unsur-unsur kebudayaan ini disebut integration. Proses integrasi merupakan perkembangan progresif dalam rangka mewujudkan persesuaian yang sempurna antara berbagai unsur yang secara bersama mewujudkan budaya sempurna (total culture). Linton (1984) memberi contoh terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat Suku Tanala di Madagaskar sebagai akibat masuknya sistem teknologi bersawah, yang sebelumnya mereka hanya mengenal sistem penanaman padi ladang. Kebudayaan merupakan suatu proses belajar. Misalnya dalam kesenian, manusia terus-menerus mencari bentuk-bentuk ekspresi baru. Dalam bidang religi manusia berusaha untuk menanggapi kekuasaan ilahi dengan simbol bahasa, tanda-tanda dan perbuatan yang terus menerus diperbaharuinya. Meskipun demikian melalui kebudayaan tidak selalu menghasilkan yang positif. Melalui trial and error, kita menjadi bijaksana, namun dapat juga terjadi sebaliknya, bahwa manusia melalui kekeliruan dan kesalahan menjadi makin bodoh, bahkan sukses dan kesejahteraan tidak selalu menambah pengetahuan. Kebudayaan sebagai proses belajar tidak menjamin kemajuan dan perbaikan yang sejati. Namun sebagai bangsa atau individu yang baik diharapkan menjadikan kebudayaan sebagai proses belajar untuk menjadi lebih baik dari kehidupan sebelumnya (Peursen, 1988). Proses pembelajaran keterampilan dan nilai merupakan proses transmisi kebudayaan. Dalam transmisi menurut Fortes terdapat tiga unsur utama, yaitu: (1) unsur-unsur yang ditransmisi, (2) proses transmisi, dan (3) cara transmisi (Tilaar, 1999). Unsur-unsur budaya yang ditransmisi adalah nilai-nilai budaya (adat-istiadat, pandangan mengenai hidup), kebiasaan sosial dalam pergaulan, sikap dan peranan, tata makanan untuk dapat bertahan hidup. Proses transmisi meliputi proses: imitasi, identifikasi, dan sosialisasi (Tilaar, 1999). Imitasi adalah meniru tingkah-laku dari sekitar, mulai dari lingkungan keluarga kemudian meluas terhadap masyarakat lokal. Yang ditransmisi adalah unsur-unsur yang telah dikemukakan di atas. Proses identifikasi berjalan sepanjang hayat sesuai dengan tingkat kemampuan manusia itu sendiri. Selanjutnya unsur-unsur budaya itu harus disosialisasikan yaitu diwujudkan dalam kehidupan nyata sehingga mendapat pengakuan sosial. Proses transmisi dilakukan dalam dua bentuk yaitu peranserta dan bimbingan. Cara transmisi melalui peranserta antara lain dengan perbandingan atau ikutserta dalam kegiatan sehari-hari di lingkungan masyarakat. Bentuk bimbingan dapat berupa instruksi, persuasi, dan ransangan. Pengetahuan, nilai, dan keterampilan berbasis sosial budaya Tolaki telah tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Pengetahuan, nilai, dan keterampilan tradisional yang telah dimiliki oleh masyarakat Tolaki, tidak semuanya harus ditinggalkan, tetapi sebagian diantaranya dapat dikembangkan berdasarkan pertimbangan tertentu, sebagaimana tersimpul dari empat fungsi kalosara, yaitu: (1) ide (2) focus dan pengintegrasian unsur-unsur kebudyaan, (3) pedoman hidup serta (4) pemersatu (Tarimana, 1989). B. Konsep Etnopedagodi Etnopedagogik adalah praktek pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah seperti pengobatan, seni bela diri, lingkungan hidup, pertanian, ekonomi, pemerintahan, sistem penanggalan, dan lain - lain. etnopedagodik memandang pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat. kearifan lokal adalah koleksi fakta, konsep kepercayaan, dan persepsi masyarakat ihwal dunia sekitar, menyelesaikan masalah, dan memvalidasi informasi. singkatnya, kearifan lokal adalah bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan (Surya, 2011: 3). Ada beberapa ciri kearifan lokal, yaitu: 1. berdasarkan pengalaman 2. teruji setelah digunakan berabad - abad 3. dapat diadaptasi dengan kultur ini 4. padu padan dalam praktek keseharian masyarakat dan lembaga 5. lazim dilakukan oleh individu atau masyarakat secara keseluruhan 6. bersifat dinamis dan terus berubah 7. sangat terkait dengan sistem kepercayaan (Alwasilah, 2008). Etnopedagogi adalah praktik pendidikan berbasis pengetahuan lokal dalam berbagai aspek kehidupan. Ini akan tumbuh menjadi ethnophilosophy, ethnopsychology, ethnomusicology, ethnopolitics, dan lain-lain. Etnopedagogi memandang pengetahuan atau kearifan lokal (indigenous knowledge, local wisdom) sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan untuk kesejahteraan masyarakat. Menurut Alwasilah (2008) ada beberapa karakteristik dari kearifan lokal: (1) berdasarkan pengalaman, (2) diuji setelah digunakanselama berabad-abad, (3) dapat disesuaikan dengan budaya sekarang, (4) terpadu di setiap hari praktik dan lembaga-lembaga masyarakat, (5) umumnya dilakukan oleh individu atau masyarakat secara keseluruhan, (6) adalah dinamis dan selalu berubah, dan (7) sangat terkait dengan sistem kepercayaan. Pemberdayaan melalui adaptasi pengetahuan lokal, termasuk reinterpretasinilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah peribahasa, dengan kondisi kontemporer adalah strategi cerdas untuk memecahkan masalah sosial karena dalam banyak hal masalah-masalah sosial yang berasal dari isu-isu lokal juga. Pemimpin lebih mudah untuk mengarahkan anak buahnya dengan norma-norma yang umum di masyarakat. Kearifan lokal bisa menjadi kendaraan yang Sinergi tujuan modernisasi dengan pelestarian keunggulan lokal. Bagi Masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya Suku Tolaki yang memiliki kearifan local dalam bentuk kalosara yang berfungsi sebagai media dalam etnopedagogi. Etnopedagogi didefinisikan sebagai model pembelajaran lintas-budaya. Guru mampu mengajar di setting budaya yang setempat yang mungkin berbeda. Siswa adalah pembelajar lintas budaya. Siswa mana pun di dunia biasanya menunjukkan ada pola pikir serupa. Hal ini dapat diartikan bahwa untuk memberikan pemahaman baru harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku di lingkungan setempat. Hal baru dapat dengan mudah diterima jika mengandung nilai-nilai yang sejalan dengan nilai-nilai lokal. Pendidikan juga menyediakan nilainilai universal yang harus ada di setiap nilai order di dunia. Sebaliknya, nilai-nilai lokal yang sangat baik juga bisa diangkat dan disosialisasikanke dalam dunia yang lebih luas. Pendidikan melalui pendekatan etnopedagogi, melihat pengetahuan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan (Surya, 2011). Etnopedagogi terkait erat dengan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural memuat perangkat kepercayaan yang memandang penting kearifan lokal dan keberagaman yang dimiliki komunitas etnis untuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, dan kelompok sosial maupun negara. Ketika etnopedagogi memandang pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan, dilanjutkan dengan pendidikan multicultural yang memberdayakan inovasi dan keterampilan itu agar dapat menyumbangkan masukan positif bagi kelompok sosial lain dan budaya nasional. C. Konsep dan Fungsi Kalosara Secara harfiah, kalo adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, dan pertemuan atau kegiatan bersama dengan pelaku membentuk lingkaran. Sebagai benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan, dan ada juga yang terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan sebagainya (Tarimana, 1993). Kalosara terdiri atas 3 bagian, yaitu: (1) kalo, berupa lilitan tiga rotan yang melingkar, (2) kain putih sebagai mengalas, dan (3) siwoleuwa, yaitu anyaman dari daun palem berbentuk persegi empat. Ketiga wadah ini jika berdiri sendiri tidak memiliki arti dan fungsi adat, kecuali ketiganya menyatu dalam suatu tatanan dengan struktur sebagai wadah pengalas paling bawah berupa simoleuwa, kemudian dilapisi di atasnya dengan kain putih, dan di atas kedua wadah ini diletakkan kalo. Berdasarkan bahan pembuatannya dan pemanfatannya, maka kalo banyak jenisnya. Dalam tulisan ini hanya membahas kalosara yaitu kalo yang digunakan sebagai alat upacara perkawinan adat, upacara pelantikan raja, upacara penyambutan tamu penting, upacara perdamaian atas suatu sengketa, alat bagi sejumlah tokoh untuk menyampaikan sesuatu saran/pendapat kepada pejabat, alat untuk menyampaikan undangan pesta keluarga. Kalosara ini dalam pemanfaatannya dilengkapi dengan wadah anyaman dari tangkai daun pelem, dan kain putih sebagai alas. Foto 1. Tampak Seorang Tolea Menghadapi Sebuah Kalosara (Wadah: kalo, kain kaci, dan Siwole) Peristiwa di mana seseorang, yang karena merasa sangat malu atas pelakuan seseorang lainnya yang tidak sopan terhadapnya di depan umum, melakukan reaksi keras berupa ancaman penganiayaan terhadap orang yang memperlakukannya demikian untuk membela harga dirinya. Dalam situasi yang demikian muncullah pihak ketiga menampilkan kalosara di antara keduanya yang sedang ancam-mengancam satu sama lain. Tanpa komentar dari ketiganya, peristiwa ancam-mengancam tersebut berhenti secara otomatis di mana keduanya akan saling maaf-memaafkan karena bagi mereka kalosara identik dengan perkataan: “jangan, mohon maaf, ampun, engkau, dia, dan aku, serta kita sekalian adalah satu kesatuan, satu di dalam tiga, dan tiga di dalam satu.” Menganiaya dia berarti menganiaya diri sendiri, dan menganiaya aku serta kita sekaliannya. Dengan tampilnya kalosara itu dalam suasana demikian maka damailah keduanya. Bila ternyata salah satu dari keduanya atau kedua-duanya menolak adanya kalosara dalam peristiwa itu, maka ia telah dipandang terkutuk dan akibatnya mereka harus dikeluarkan dari warga Orang Tolaki atau menghukum mereka dengan ketentuan adat yang berlaku. Selanjutnya,bagaimana hubungan antara asas mata pencaharian Orang Tolaki dengan kalosara? Hubungan itu tampak pada tiga kenyataan yang digambarkan di bawah ini sebagai berikut: Kenyataan bahwa kalosara selalu digunakan sebagai tanda pemilikan, dan tanda larangan, penjaga tanaman terhadap gangguan hama dan gangguan orang lain. Selain itu kalosara secara simbolik adalah ganti diri dari pemilik tanah dan tanaman di atasnya. Selanjutnya, bagaimana hubungan antara asas sistem teknologi tradisional Orang Tolaki dengan kalosara? Hubungan itu nampak pada kenyataan-kenyataan yang digambarkan di bawah ini. Kenyataan bahwa pada umumnya alat-peralatan m7emerlukan pengikat rotan, yang teknik mengikatnya adalah selalu identik dengan model ikatan kalosara yang melilit, melingkar, dan membulat. Semua hulu dari alat-alat produktif dan senjata selalu diikat dengan teknik khusus yang disebut holungu (ikatan melingkar yang dianyam); demikian pula semua wadah anyaman diperkuat bobotnya dengan lingkaran rotan yang dipilin, dan hampir semua dari model perhiasan identik dengan model kalo yang melingkar, dan membulat. Pergeseran nilai dan peranan kalosara masa kini. Hubungan sistem kekerabatan dan organisasi sosial dengan kalo, perlu memberi uraian mengenai sikap Orang Tolaki masa kini terhadap kalo. Untuk mengetahui sikap Orang Tolaki masa kini terhadap kalo, yaitu: (1) tampak pada kesenian yaitu dalam hal bentuk, (2) terletak pada makna-makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Bentuk-bentuk disain dalam pola segi empat, lingkaran, ikat, dan pola gambar tumbuhan pakis, pola kepala orang; bentuk-bentuk rias tubuh dalam bulatan, bentuk-bentuk demikian berupa benda perhiasan dalam pola lingkaran; bentuk-bentuk alat-alat bunyi dalam pola bulatan; bentuk-bentuk teknik menari dalam pola lingkaran dan pola gerakan horisontal-vertikal yang membentuk pola segi empat; semua menunjukkan corak yang sama dengan bentuk pola kalo, yakni: lingkaran, ikatan, dan segi empat. Konsep kalo dalam kebudayaan Tolaki sangat luas ruang lingkup dan maknanya. Kalo secara umum meliputi o sara (adat istiadat), khususnya sara owoseno Tolaki atau sara mbu’uno Tolaki, yaitu adat pokok (Instrumen utama), yang merupakan sumber dari segala adat-istiadat Orang Tolaki yang berlaku dalam semua aspek kehidupan mereka. Kalo sebagai adat pokok dapat digolongkan ke dalam 5 cabang, yaitu: (1) sara wonua, yaitu adat pokok dalam pemerintahan; (2) sara mbedulu, yaitu adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan pada umumnya; (3) sara mbe’ombu, yaitu adat pokok dalam aktivitas agama dan kepercayaan; (4) sara mandarahia, yaitu adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan keterampilan; dan (5) sara monda’u, mombopaho, mombakani, melambu, dumahu, meoti-oti, yaitu adat pokok dalam berladang, berkebun, beternak, berburu, dan menangkap ikan (Tarimana, 1993; Idam 2012). Foto 2. Tampak Seorang Tolea Sedang Memperagakan Pemanfaatan Kalosara (Mengangakat Sebuah Kalosara) Menurut Tarimana (1993) kalosara bagi Suku Tolaki adalah fokus yang dapat mengintegrasikan unsur-unsur yang ada dalam kebudayaan Tolaki, memiliki 4 fungsi: 1) Kalo sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai kenyataan dalam kehidupan orang Tolaki. Kalo pada tingkat nilai budaya adalah sistem nilai yang berfungsi mewujudkan ide-ide yang mengkonsepsikan hal yang paling bernilai bagi Suku Tolaki, adalah apa yang disebut medulu mepoko’aso (persatuan dan kesatuan), ate pute penao moroha (kesucian dan keadilan), morini mbu’umbundi monapa mbu’undawaro (kemakmuran dan kesejahteraan). Ide ini dinyatakan melalui penggunaan kalo dalam setiap upacara perkawinan, kematian, upacara tanam dan potong padi atau pun pada setiap upacara penyambutan tamu. Selain itu, ide ini juga diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam apa yang disebut mete’ alo-alo (bantu-membantu) dan lain-lain. Akhirnya ide kesejahteraan misalnya diwujudkan dalam apa yang disebut mombekapona-pona’ako (saling hormat-menghormati), mombekamei-meiri’ako (saling kasih-mengasihi), ndundu karandu (suasana ketenangan batin yang diliputi dengan alunan bunyi gong yang merdu di tengah malam), dan tumotapa rarai (suasana kegembiraan yang dilipuyi dengan suara hura-hura, tawa, dan tepuk tangan yang meriah). 2) Kalo sebagai fokus dan pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan Tolaki. Kalo bagi Suku Tolaki, bukan hanya sekedar simbol, tetapi juga fokus dalam pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan Tolaki, yakni: (1) dalam bahasa, sebagai lambang komunikasi; (2) dalam sistem ekonomi tradisional, sebagai penjaga tanaman, dan sebagai asas distribusi barang-baranag ekonomi; (3) sistem teknologi tradisional, sebagai model mengikat dan bentuk alat-alat; (4) organisasi sosial, sebagai asas politik dan pemerintahan; (5) sistem pengetahuan, dalam hubungannya dengan alam semesta; (5) sistem kepercayaan, dalam hubungan struktur alam dunia; dan (6) sistem kesenian, dalam bubungan bentuk rias, dan teknik menari. 3) Kalo sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam kehidupan Suku Tolaki. Untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam kehidupan masyarakat, penggunaan Kalo sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral tampak dalam usaha memulihkan suasana kelaparan karena panen gagal atau karena bencana alam atau peristiwa lainnya. Suku Tolaki menganggap bahwa timbulnya suasana yang tidak baik akibat dari manusia yang telah melanggar adat ataupun ajaran agama, atau telah melanggar ajaran Kalo sebagai instrumen adat utama mereka. Untuk memulihkan suasana semacam ini, maka diadakanlah upacara yang disebut mosehe wonua (upacara pembersihan negeri) yang diikuti oleh segenap besar warga masyarakat. 4) Kalo sebagai pemersatu dan solusi terhadap pertentangan-pertentangan sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Tolaki. D. Implementasi Kalosara sebagai Media Etnopedagogi dalam Kehidupan Masyarakat Secara historis, instrumen adat kalosara merupakan landasan dasar dari keseluruhan sistem sosial budaya Suku Tolaki termasuk pendidikan, kaidah-kaidah hidup bermasyarakat, sistem norma-norma, sistem hukum dan aturan-aturan lainnya. Dalam kehidupan sosial budaya Suku Tolaki sehari-hari secara umum baik merupakan rakyat biasa, sebagai seorang tokoh formal maupun nonformal, nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam instrumen adat kalo berintikan persatuan dan kesatuan, keserasian dan keharmonisan, keamanan dan kedamaian. Lembaga kalosara juga menjadi landasan kultural bagi setiap individu dalam menciptakan suasana kehidupan bersama yang aman damai serta dalam menegakkan aturan baik berupa hukum adat maupun hukum negara (Tawulo dkk, 1991; Tarimana, 1993; Su’ud, 1992; Tondrang, 2000). Karena itu bagi Suku Tolaki menghargai, mengkeramatkan dan mensucikan kalo berarti mentaati ajaran-ajaran nenek moyang mereka. Apabila mereka berbuat sebaliknya, diyakini akan mendatangkan bala atau durhaka (Tarimana, 1993; Su’ud, 1992). Kalosara secara antropologis merupakan unsur budaya yang merupakan suatu pusat dalam kebudayaan Tolaki, sehingga mendominasi banyak aktivitas atau pranata lain dalam kehidupan sehari-hari. Fokus kebudayaan dari suatu masyarakat, oleh Linton (1936) disebut cultural interest atau social interest, yaitu suatu kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampak amat digemari warga masyarakatnya sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1981). Etnopedagogi yang didasarkan nilai-nilai tradisi Jawa misalnya telah diungkap oleh beberapa ahli. Nilai kepemimpinan pendidikan Jawa yang paling dikenal luas adalah konsep yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara yang terdiri dari 3 aspek kepemimpinan yaitu (1) ing ngarsa sung tuladha, (2) ing madya mangun karsa, dan (3) tut wuri handayani. Konsep pendidikan ini bahkan diadopsi menjadi nilai pendidikan nasional di Indonesia (Surya, 2011). Bagi masyarakat Bugis etnopedagogi didasarkan pada nilai-nilai yang telah lebih dahulu dikembangkan oleh La Mellong yang bergelar Kajao Laliddong seorang cendekiawan (negarawan) dari Kerjaan Bone atau penasehat Raja Bone ke-6 La Uliyo memerintah 1543-1568 dan Raja Bone ke-7 La Tenri Rawe memerintah 1568-1584. (Ali, 1986). Semboyang tersebut berbunyi: Ri oloi napatiroang = di depan memberi contoh/pentunjuk Ri tengngai nasiraga-raga = di tengah memberi semangat Ri munri nappong lopi = di belakang memberi dorongan Semboyang ini kemudian mengilhami sikap dan perilaku dalam sistem pendidikan masyarakat Bugis/Makassar. Secara bersistem konsep pendidikan tersebut diaplikasikan dalam lembaga Pendidikan Kedinasan bernama Anreguru Ana Karung (Sejenis Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) yang khusus mendidik anak bangsawan yang dipersiapkan akan menjadi calon pemimimpin di berbagai tingkatan dalam sistem pemerintahan Kerajaan Bone (Hafid, 2013). Dalam sistem pendidikan keluarga dan kemasyarakatan juga diimplementasikan oleh pendidik atau orang yang dituakan sebagai pendidik yang memperlihatkan keteladanan dan pemberi semangat. Dalam Masyarakat Tolaki Filsafat pendidikan berakar pada ungkapan Inae kosara ie pinesara; ie liasara ie pinekasara=siapa yang tahu adat akan dihormati; siapa yang melanggar adat akan dikasari. Dari filsafat ini kemudian tersimpul dalam symbol kalosara yang mengatur tata hubungan antar manusia dan lingkungannya (Tamburaka, 2004). Dalam hubungan antar anggota masyarakat ini, terdapat unsur-unsur yang mengandung nilai filsafat tinggi. Mereka menjadikannya sebagai tongkat pegangan untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Adapun jenis budaya hasil karya dan cipta yang mempunyai nilai sosial tinggi dan merupakan perwujudan karakter positif yang lahir dari etnopedagogi melalui media kalosara antara lain: 1. Kohanu Kohanu, sering juga disebut dengan budaya malu. Kohanu, merupakan sistem pertahanan moral bagi diri sendiri, misalnya ada orang yang dikatakan malas bekerja, maka selanjutnya mereka menerapkan budaya kohanu ini dengan cara lebih tekun dan rajin dalam bekerja, sehingga sebutan sebagai pemalas akan hilang dari dirinya, berganti dengan sebutan pekerja keras yang rajin dan tekun. Secara tidak langsung budaya ini mengajak setiap orang untuk selalu memaksimalkan tenaga maupun pikiran yang dimilikinya untuk memajukan dia sendiri atau anggota kelompok yang lain. 2. Merau Merau, adalah budaya yang mengajak orang untuk selalu mengedepankan sikap sopan dan santun dalam pergaulan, serta mau memberikan rasa hormat bagi semua anggota masyarakat Tolaki maupun orang lain. 3. Samaturu Samaturu, merupakan salah satu budaya yang mengutamakan hidup untuk selalu menjalin persatuan, suka menolong orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan dengan senang hati. Ini juga merupakan wujud dari gotong royong yang menjadi pandangan hidup utama dari Suku Tolaki. 4. Taa Ehe Tinua-Tuay Taa ehe tinua-tuay, merupakan ajakan untuk selalu merasa bangga karena menjadi bagian dari masyarakat Suku Tolaki. Sesungguhnya budaya ini menjadi bagian dari Kohanu. Namun karena adanya suatu perbedaan yang bersifat mengutamakan kemandirian, maka budaya yang satu ini selanjutnya dipisah menjadi budaya sendiri. 5. O’Sapa Istilah O’sapa ialah semacam aturan-aturan klasik yang mengatur hubungan hukum antara manusia dengan hewan. Hubungan-hubungan itu timbul manakala manusia melakukan pemburuan (berburu) terhadap binatang liar seperti kerbau, rusa dan anoa, dengan menggunakan tombak, menggunakan anjing, perangkap, dan alat-alat penangkap lainnya, Aturan-aturan O’sa¬pa itu berwujud ketaatan/kepatuhan setiap orang/pemburu mengambil bagian dari jerih payah yang tidak menyalahi ketentuan “O’sapa.,” misalnya: Bila binatang buruan itu mati berkat bantuan peralatan tombak dan anjing, maka bagian tertentu dari daging kerbau atau rusa itu, harus diberikan kepada anjing (pemilik anjing) dan tombak (yang menombak pertama) diluar dari bagian tertentu yang biasa diberikan/diambil/dikuasai si pemburu (3/4 bagian) dan bagian penguasa wilayah untuk daging dan tulang-tulang tertentu. Bila binatang, tersebut adalah binatang liar, tetapi bekas binatang peliharaan, maka aturan pembagiannya telah tertentu pula bagi pemburunya, untuk anjing, untuk tombak dan untuk penguasa wilayah/pu’utobu atau kepala kampung. Aturan-aturan pembagian itulah disebut O’sapa, yang menurut kaidah hidup bermasyarakat harus dipatuhi oleh semua Suku Tolaki termasuk Penguasa/Raja. Bila aturan hukumnya tidak dijalankan, maka da¬pat menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat dan negeri. 6. O’wua Istilah O’wua merupakan seperangkat aturan/ketentuan hukum yang mengatur tata-cara bercocok tanam, merambah hutan, menanam padi, dan aturan-aturan ini harus ditaati oleh semua Suku Tolaki termasuk Penguasa/Raja. Apabila dilanggar maka negeri/penduduk dapat menderita kekurangan pangan mengalami musim paceklik, ini suatu hal yang sangat ditakuti oleh Suku Tolaki. 7. O’lawi Istilah O’lawi ialah seperangkat aturan dasar yang mengatur tentang tata cara pemberian upah, imbalan jasa, pembagian kerja dari seorang majikan pemilik kebun padi atau pemilik pohon sagu, atau pemilik pohon buah-buahan yang di¬dikerjakan oleh seseorang atau beberapa orang pekerja upahan (toono mehawe, pasaku, pa mone dan lain-lain) dengan upah atau bagian-bagian tertentu. Ketentuan pembagian tersebut harus dipatuhi dengan sa¬dar oleh semua orang termasuk penguasa/Moko¬le. 8. O’liwi O’liwi ialah seperangkat pesan wasiat, nasihat dan petunjuk hidup yang ditinggalkan/diwasiatkan untuk diikuti oleh anak cucu /generasi berikut dari para leluhur, secara turun temurun terutama dalam hal ini dapat disamakan dengan Yurisprudensi artinya putusan Hakim tertinggi yang telah berlaku tetap yang dapat dicontoh oleh Hakim-hakim berikutnya da-lam perkara yang sama maupun selainnya (Hafid, 2012). Kedelapan jenis aturan tersebut, berwal dari kalosara dan juga berakhir pada kalosara. Kondisi tersebut terjadi karena kalosara merupakan norma tertinggi dalam kehidupan social, sehingga berfungsi sebagai landasan filosofis dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian Implementasi kalosara dapat ditelaah secara empiris, misalnya sejauhmana kalosara dijadikan nmedia untuk mentransformasikan pengetahuan, nilai, dan keterampilan dari seorang kepada orang lain baik secara individual maupun kelompok. Secara cultural semua aktivitas social harus disandarkan pada kalosara, sehingga tidak satu orangpun anggota masyarakat Tolaki yang tidak pernah menyaksikan alat kalosara, termasuk menjadi partsipan dalam kegiatan implementasi pemanfaatan kalosara. Upaya kristalisasi nilai-nilai tersebut, maka pemerintah Kerajaan Konawe dahulu kala telah mendirikan suatu lembaga pendidikan pengkaderan calon pemimpin yang bernama Inae Sinumo yang berkedudukan di Abuki mirip dengan fungsi Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri. Melalui lembaga Inae Sinumo ini diharapkan internalisasi nilai-nilai kalosara dapat dipertahankan dan dikembangkan oleh seluruh lapisan masyarakat, yang senantiasa didukung dan dipelopori oleh pemimpin yang benar-benar memahami dan berkomitmen mengembangkan kalosara dalam kehidupan masyarakat Tolaki. Kalosara difungsikan baik sebagai penyebab suatu kegiatan/acara, maupun sebagai akibat. Contoh sebagai penyebab: Dalam suatu rangkaian pernikahan, kalosara wajib diadakan sebagai instrument utama adat, jika tidak ada maka acara tidak bias dilaksanakan. Contoh sebagai akibat: jika terdapat dua orang yang berselisih paham, maka untuk mendamaikan harus diadakan kalosara. Akhirnya, apapun aktivitas masyarakat Tolaki, maka kalosara harus ada atau aktivitas seseorang dan kelompok orang harus selalu bersandar pada kalosara. E. Penutup Suku Tolaki yang mendiami jazirah Tenggara Pulau Sulawesi dalam dinamikanya memiliki instrumen adat yang mengatur segenap tata tingkah laku masyarakat yang disebut kalosara. Kalosara berfungsi sebagai media etnopedagogi tata kehidupan masyarakat sampai di era sekarang ini masih eksis dipertahankan oleh segenap lapisan masyarakat, terutama dalam kehidupan sosial. Dengan demikian seiring dengan perkembangan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan melahirkan berbagai permasalahan termasuk dalam tataran politik dan ekonomi, maka kehadiran kalosara sebagai instrumen solusi perlu dipertahankan dan dikembangkan. Berbagai pengetahuan, nilai, dan keterampilan dapat ditransfer melalui etnopedagogi dengan memanfaatkan kalosara. Masalah tata pergaulan sehari-hari dalam bidang politik, bidang kebudayaan, dan bidang ekonomi terbukti kehadiran kalosara sebagai media etnopedagogi. Pemanfaatan kalosara sebagai media etnopedagogi, dapat menjadi model bagi masyarakat lain, karena pilihan ini dapat berjalan dengan mudah dan biaya yang murah. Peran pabitara dan tolea selakau tokoh masyarakat Tolaki perlu dilestarikan dan dikembangkan untuk menjadi pendidik dalam sistem etnopedagogi untuk berbagai pengetahuan, nilai, dan keterampilan yang dibutuhkan terutama pengembangan karakter positif masyarakat dengan memanfaatkan kalosara sebagai media utama. DAFTAR PUSTAKA Ali, A. Muh. 1986. Bone Selayang Pandang. Watampone: Damai. Alwasilah, A.C. 2008. Tujuh Ayat Etnopedagogi. Artikel dalam Pikiran Rakyat Bandung, 23 Januari 2008 Arta, Arwan Tuti. 2009. Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana. Yogyakarta: Galangpress. (Hafid, 2007: 44). Manajemen Pemberdayaan Perempuan. Bandung: Alfabeta. Khamaganova, Erjen. 2005. Traditional Indigenous Knowledge: Local View. Paper presented in in International Workshop on Traditional Knowledge. Panama City, 21-23 September 2005. Hafid, Anwar. 2007. Manajemen Pemberdayaan Perempuan. Bandung: Alfabeta. Hafid, Anwar; Ahiri, Jafar; dan Haq, Pendais. 2007. Konsep Dasar Ilmu Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Hafid, Anwar. 2012. Kalosara Sebagai Instrumen Utama Dalam Kehidupan Sosial Budaya Suku Tolaki di Sulawesi Tenggara. Makalah Disajikan dalam Prakongres Kebudayaan Indonesia di Jakarta, Tanggal 27-29 November 2012 Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Linton, R. 1984. The Study of Man (Antropologi Suatu Penyelidikan Manusia). Diterjemahkan oleh Firmansyah. Bandung: Jemmars. MacNeill, N. et al 2003. Beyond Instructional Leadership: Towards Pedagogic Leadership. Auckland: Australian Association for Research in Education Peursen, C.A. Van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Sri Sultan Hamengku Buwono X. 2003. Sabda Ungkapan Hati Seorang Raja. Yogyakarta: PT. BP Kedaulatan Rakyat. Surya, Priadi. 2011. Kepemimpinan Etnopedagogi Di Sekolah. Dalam Majalah Ilmiah Dinamika UNY bulan Mei 2011. Tamburaka, Rustam, E. dkk. 2004. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun. Jakarta. Tilaar, H. A. R. 1993. Pengembangan Sumber Daya Manusia yang Berbudaya dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Jakarta: LPMP-IKIP Jakarta. Tilaar, H. A. R. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.   ANALISIS FUNGSI KALOSARA SEBAGAI MEDIA ETNOPEDAGOGI DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA DI SULAWESI TENGGARA Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid Dosen FKIP/PPs Universitas Haluoleo Makalah Disajikan pada Seminar Nasional “Meretas Strategi Pembelajaran Inovatif Berbasis Seni Budaya”, di Kendari, 5 April 2015 PANITIA PELAKSANA MASYARAKAT SEJARAWAN INDONESIA (MSI) SULTRA, IKA PENDIDIKAN IPS, IKA KAJIAN BUDAYA, PENDIDIKAN SENI, IKA PENDIDIKAN SEJARAH, IKA PPKn UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2015


ANALISIS FUNGSI KALOSARA SEBAGAI MEDIA ETNOPEDAGOGI DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA DI SULAWESI TENGGARA
Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.
A.    Pendahuluan
Setiap suku bangsa berusaha memberikan pembelajaran kepada generasinya yang bertujuan untuk melestarikan budaya mereka, dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk dapat mempertahankan masyarakat sebagai kesatuan fungsional, harus selalu diadakan training bagi para anggota baru untuk dapat menempati posisi-posisi khusus dalam masyarakat. Para anggota masyarakat harus dibagi-bagi dalam berbagai kategori, dan setiap kategori harus dididik untuk melakukan berbagai macam hal. Masyarakat juga harus mengembangkan pola-pola tingkah-laku yang harus dilakukan individu dalam menghadapi situasi tertentu. Dengan adanya pola-pola semacam ini,  maka muncul garis pegangan untuk memberikan training bagi individu. Dalam cultural continuum ada perwjudan baru yang ditambahkan, dan ada perwujudan lainnya yang dilepaskan (Linton 1984).
Pendidikan pada dasarnya berbasis sosial budaya berupa kegiatan pembelajaran yang didasarkan pada unsur-unsur budaya yang ada pada masyarakat setempat oleh Koentjaraingrat (1981) diidentifikasi seperti: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organsisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan.
Proses pembelajaran dalam bidang kebudayaan dikenal ada tiga istilah: discovery, invention, dan diffusion. Discovery adalah setiap penambahan pengetahun, invention adalah sebuah penggunaan baru daripada pengetahuan, diffusion adalah transfer unsur-unsur kebudayaan dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya.
Menurut Linton (1984) lima puluh tahun yang lalu perempuan dari golongan menengah rata-rata hanya bercita-cita untuk menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga, maka seorang perempuan hanya mendapatkan training untuk menghadapi perkawinan. Hal ini berbeda dengan sekarang beberapa orang perempuan sebagai perorangan, memutuskan untuk bekerja di luar rumah (di kantor).
Setiap kebudayaan merupakan sebuah formasi yang bagian-bagiannya saling menyesuaikan. Gejala saling menyesuaikan antara unsur-unsur kebudayaan ini disebut integration. Proses integrasi merupakan perkembangan progresif dalam rangka mewujudkan persesuaian yang sempurna antara berbagai unsur yang secara bersama mewujudkan budaya sempurna (total culture). Linton (1984) memberi contoh terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat Suku Tanala di Madagaskar sebagai akibat masuknya sistem teknologi bersawah, yang sebelumnya mereka hanya mengenal sistem penanaman padi ladang.
Kebudayaan merupakan suatu proses belajar. Misalnya dalam kesenian, manusia terus-menerus mencari bentuk-bentuk ekspresi baru. Dalam bidang religi manusia berusaha untuk menanggapi kekuasaan ilahi dengan simbol bahasa, tanda-tanda dan perbuatan yang terus menerus diperbaharuinya. Meskipun demikian melalui kebudayaan tidak selalu menghasilkan yang positif. Melalui trial and error, kita menjadi bijaksana, namun dapat juga terjadi sebaliknya, bahwa manusia melalui kekeliruan dan kesalahan menjadi makin bodoh, bahkan sukses dan kesejahteraan tidak selalu menambah pengetahuan. Kebudayaan sebagai proses belajar tidak menjamin kemajuan dan perbaikan yang sejati. Namun sebagai bangsa atau individu yang baik diharapkan menjadikan kebudayaan sebagai proses belajar untuk menjadi lebih baik dari kehidupan sebelumnya (Peursen, 1988).
Proses pembelajaran keterampilan dan nilai merupakan proses transmisi kebudayaan. Dalam transmisi menurut Fortes terdapat tiga unsur utama, yaitu: (1) unsur-unsur yang ditransmisi, (2) proses transmisi, dan (3) cara transmisi (Tilaar, 1999). Unsur-unsur budaya yang ditransmisi adalah nilai-nilai budaya (adat-istiadat, pandangan mengenai hidup), kebiasaan sosial dalam pergaulan, sikap dan peranan, tata makanan untuk dapat bertahan hidup.
Proses transmisi meliputi proses: imitasi, identifikasi, dan sosialisasi (Tilaar, 1999). Imitasi adalah meniru tingkah-laku dari sekitar, mulai dari lingkungan keluarga kemudian meluas terhadap masyarakat lokal. Yang ditransmisi adalah unsur-unsur yang telah dikemukakan di atas. Proses identifikasi berjalan sepanjang hayat sesuai dengan tingkat kemampuan manusia itu sendiri. Selanjutnya unsur-unsur budaya itu harus disosialisasikan yaitu diwujudkan dalam kehidupan nyata sehingga mendapat pengakuan sosial. Proses transmisi dilakukan dalam dua bentuk yaitu peranserta dan bimbingan. Cara transmisi melalui peranserta antara lain dengan perbandingan atau ikutserta dalam kegiatan sehari-hari di lingkungan masyarakat. Bentuk bimbingan dapat berupa instruksi, persuasi, dan ransangan.
Pengetahuan, nilai, dan keterampilan berbasis sosial budaya Tolaki telah tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Pengetahuan, nilai, dan keterampilan tradisional yang telah dimiliki oleh masyarakat Tolaki, tidak semuanya harus ditinggalkan, tetapi sebagian diantaranya dapat dikembangkan berdasarkan pertimbangan tertentu, sebagaimana tersimpul dari empat fungsi kalosara, yaitu: (1) ide (2) focus dan pengintegrasian unsur-unsur kebudyaan, (3) pedoman hidup serta (4) pemersatu (Tarimana, 1989).

B.     Konsep Etnopedagodi
Etnopedagogik adalah praktek pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah seperti pengobatan, seni bela diri, lingkungan hidup, pertanian, ekonomi, pemerintahan, sistem penanggalan, dan lain - lain. etnopedagodik memandang pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat. kearifan lokal adalah koleksi fakta, konsep kepercayaan, dan persepsi masyarakat ihwal dunia sekitar, menyelesaikan masalah, dan memvalidasi informasi. singkatnya, kearifan lokal adalah bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan (Surya, 2011: 3). Ada beberapa ciri kearifan lokal, yaitu:
1.      berdasarkan pengalaman
2.      teruji setelah digunakan berabad - abad
3.      dapat diadaptasi dengan kultur ini
4.      padu padan dalam praktek keseharian masyarakat dan lembaga
5.      lazim dilakukan oleh individu atau masyarakat secara keseluruhan
6.      bersifat dinamis dan terus berubah
7.      sangat terkait dengan sistem kepercayaan (Alwasilah, 2008).
Etnopedagogi  adalah  praktik  pendidikan  berbasis  pengetahuan  lokal  dalam  berbagai aspek  kehidupan.  Ini  akan  tumbuh  menjadi  ethnophilosophy,  ethnopsychology, ethnomusicology, ethnopolitics, dan lain-lain.  Etnopedagogi  memandang  pengetahuan  atau kearifan lokal (indigenous knowledge, local wisdom) sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan untuk kesejahteraan masyarakat.  
Menurut Alwasilah (2008) ada beberapa karakteristik dari kearifan lokal: (1) berdasarkan pengalaman, (2) diuji setelah digunakanselama berabad-abad, (3) dapat disesuaikan dengan budaya sekarang, (4) terpadu di setiap hari praktik dan lembaga-lembaga masyarakat, (5) umumnya dilakukan oleh individu atau masyarakat secara keseluruhan, (6) adalah dinamis dan selalu  berubah,  dan  (7)  sangat  terkait  dengan  sistem  kepercayaan.  Pemberdayaan  melalui adaptasi pengetahuan lokal, termasuk reinterpretasinilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah peribahasa,  dengan  kondisi  kontemporer  adalah  strategi  cerdas  untuk  memecahkan  masalah sosial  karena  dalam  banyak  hal  masalah-masalah  sosial  yang  berasal  dari  isu-isu  lokal  juga.
Pemimpin lebih mudah untuk mengarahkan anak buahnya dengan norma-norma yang umum di masyarakat. Kearifan lokal bisa menjadi kendaraan  yang Sinergi tujuan modernisasi dengan pelestarian keunggulan lokal.  Bagi Masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya Suku Tolaki yang memiliki kearifan local dalam bentuk kalosara yang berfungsi sebagai media dalam etnopedagogi.
Etnopedagogi  didefinisikan  sebagai  model  pembelajaran  lintas-budaya.  Guru  mampu mengajar  di  setting  budaya  yang  setempat  yang  mungkin  berbeda.  Siswa  adalah  pembelajar lintas  budaya.  Siswa  mana  pun  di  dunia  biasanya  menunjukkan  ada  pola  pikir  serupa.  Hal  ini dapat diartikan bahwa untuk memberikan pemahaman baru harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya  yang  berlaku  di  lingkungan  setempat.  Hal  baru  dapat  dengan  mudah  diterima  jika mengandung nilai-nilai yang sejalan dengan nilai-nilai lokal. Pendidikan juga menyediakan nilainilai  universal  yang  harus  ada  di  setiap  nilai  order  di  dunia.  Sebaliknya,  nilai-nilai  lokal  yang sangat baik juga bisa diangkat dan disosialisasikanke dalam dunia yang lebih luas. Pendidikan melalui  pendekatan  etnopedagogi,  melihat  pengetahuan  lokal  sebagai  sumber  inovasi  dan keterampilan yang dapat diberdayakan (Surya, 2011).
Etnopedagogi  terkait  erat  dengan  pendidikan  multikultural.  Pendidikan  multikultural memuat perangkat kepercayaan yang memandang penting kearifan lokal dan keberagaman yang dimiliki komunitas etnis untuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, dan kelompok  sosial  maupun  negara.  Ketika  etnopedagogi  memandang  pengetahuan  atau  kearifan lokal  sebagai  sumber  inovasi  dan  keterampilan,  dilanjutkan  dengan  pendidikan  multicultural yang memberdayakan inovasi dan keterampilan itu agar dapat menyumbangkan masukan positif bagi kelompok sosial lain dan budaya nasional.

C.    Konsep dan Fungsi Kalosara
Secara harfiah, kalo adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, dan pertemuan atau kegiatan bersama dengan pelaku membentuk lingkaran. Sebagai benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan, dan ada juga yang terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan sebagainya (Tarimana, 1993).
Kalosara terdiri atas 3 bagian, yaitu: (1) kalo, berupa lilitan tiga rotan yang melingkar, (2) kain putih sebagai mengalas, dan (3) siwoleuwa, yaitu anyaman dari daun palem berbentuk persegi empat. Ketiga wadah ini jika berdiri sendiri tidak memiliki arti dan fungsi adat, kecuali ketiganya menyatu dalam suatu tatanan dengan struktur sebagai wadah pengalas paling bawah berupa simoleuwa, kemudian dilapisi di atasnya dengan kain putih, dan di atas kedua wadah ini diletakkan kalo.
Berdasarkan bahan pembuatannya dan pemanfatannya, maka kalo banyak jenisnya. Dalam tulisan ini hanya membahas kalosara  yaitu kalo yang digunakan sebagai alat upacara perkawinan adat, upacara pelantikan raja, upacara penyambutan tamu penting, upacara perdamaian atas suatu sengketa, alat bagi sejumlah tokoh untuk menyampaikan sesuatu saran/pendapat kepada pejabat, alat untuk menyampaikan undangan pesta keluarga. Kalosara  ini dalam pemanfaatannya dilengkapi dengan wadah anyaman dari tangkai daun pelem, dan kain putih sebagai alas.
Description: D:\LSM\KF-CERITA\FHOTO LATKOM\IMG_8324.JPGFoto 1. Tampak Seorang Tolea Menghadapi Sebuah Kalosara
(Wadah: kalo, kain kaci, dan Siwole)

Peristiwa di mana seseorang, yang karena merasa sangat malu atas pelakuan seseorang lainnya yang tidak sopan terhadapnya di depan umum, melakukan reaksi keras berupa ancaman penganiayaan terhadap orang yang memperlakukannya demikian untuk membela harga dirinya. Dalam situasi yang demikian muncullah pihak ketiga menampilkan kalosara di antara keduanya yang sedang ancam-mengancam satu sama lain. Tanpa komentar dari ketiganya, peristiwa ancam-mengancam tersebut berhenti secara otomatis di mana keduanya akan saling maaf-memaafkan karena bagi mereka kalosara identik dengan perkataan: “jangan, mohon maaf, ampun, engkau, dia, dan aku, serta kita sekalian adalah satu kesatuan, satu di dalam tiga, dan tiga di dalam satu.” Menganiaya dia berarti menganiaya diri sendiri, dan menganiaya aku serta kita sekaliannya. Dengan tampilnya kalosara itu dalam suasana demikian maka damailah keduanya. Bila ternyata salah satu dari keduanya atau kedua-duanya menolak adanya kalosara dalam peristiwa itu, maka ia telah dipandang terkutuk dan akibatnya mereka harus dikeluarkan dari warga Orang Tolaki atau menghukum mereka dengan ketentuan adat yang berlaku.
Selanjutnya,bagaimana hubungan antara asas mata pencaharian Orang Tolaki dengan kalosara? Hubungan itu tampak pada tiga kenyataan yang digambarkan di bawah ini sebagai berikut: Kenyataan bahwa kalosara selalu digunakan sebagai tanda pemilikan, dan tanda larangan, penjaga tanaman terhadap gangguan hama dan gangguan orang lain. Selain itu kalosara secara simbolik adalah ganti diri dari pemilik tanah dan tanaman di atasnya.
Selanjutnya, bagaimana hubungan antara asas sistem teknologi tradisional Orang Tolaki dengan kalosara?
Hubungan itu nampak pada kenyataan-kenyataan yang digambarkan di bawah ini. Kenyataan bahwa pada umumnya alat-peralatan m7emerlukan pengikat rotan, yang teknik mengikatnya adalah selalu identik dengan model ikatan kalosara yang melilit, melingkar, dan membulat. Semua hulu dari alat-alat produktif dan senjata selalu diikat dengan teknik khusus yang disebut holungu (ikatan melingkar yang dianyam); demikian pula semua wadah anyaman diperkuat bobotnya dengan lingkaran rotan yang dipilin, dan hampir semua dari model perhiasan identik dengan model kalo yang melingkar, dan membulat.
Pergeseran nilai dan peranan kalosara masa kini. Hubungan sistem kekerabatan dan organisasi sosial dengan kalo, perlu memberi uraian mengenai sikap Orang Tolaki masa kini terhadap kalo.
Untuk mengetahui sikap Orang Tolaki masa kini terhadap kalo, yaitu: (1) tampak pada kesenian yaitu dalam hal bentuk, (2) terletak pada makna-makna simbolik yang terkandung di dalamnya.
   Bentuk-bentuk disain dalam pola segi empat, lingkaran, ikat, dan pola gambar tumbuhan pakis, pola kepala orang; bentuk-bentuk rias tubuh dalam bulatan, bentuk-bentuk demikian berupa benda perhiasan dalam pola lingkaran; bentuk-bentuk alat-alat bunyi dalam pola bulatan; bentuk-bentuk teknik menari dalam pola lingkaran dan pola gerakan horisontal-vertikal yang membentuk pola segi empat; semua menunjukkan corak yang sama dengan bentuk pola kalo, yakni: lingkaran, ikatan, dan segi empat.
Konsep kalo dalam kebudayaan Tolaki sangat luas ruang lingkup dan maknanya. Kalo secara umum meliputi o sara (adat istiadat), khususnya sara owoseno Tolaki atau sara mbu’uno Tolaki, yaitu adat pokok (Instrumen utama), yang merupakan sumber dari segala adat-istiadat Orang Tolaki yang berlaku dalam semua aspek kehidupan mereka. Kalo sebagai adat pokok dapat digolongkan ke dalam 5 cabang, yaitu: (1) sara wonua, yaitu adat pokok dalam pemerintahan; (2) sara mbedulu, yaitu adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan pada umumnya; (3) sara mbe’ombu, yaitu adat pokok dalam aktivitas agama dan kepercayaan; (4) sara mandarahia, yaitu adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan keterampilan; dan (5) sara monda’u, mombopaho, mombakani, melambu, dumahu, meoti-oti, yaitu adat pokok dalam berladang, berkebun, beternak, berburu, dan menangkap ikan (Tarimana, 1993; Idam 2012).

Description: D:\LSM\KF-CERITA\FHOTO LATKOM\IMG_8329.JPG
Foto 2. Tampak Seorang Tolea Sedang Memperagakan Pemanfaatan Kalosara (Mengangakat Sebuah Kalosara)

Menurut Tarimana (1993) kalosara bagi Suku Tolaki adalah fokus yang dapat mengintegrasikan unsur-unsur yang ada dalam kebudayaan Tolaki, memiliki 4 fungsi:
1)   Kalo sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai kenyataan dalam kehidupan orang Tolaki. Kalo pada tingkat nilai budaya adalah sistem nilai yang berfungsi mewujudkan ide-ide yang mengkonsepsikan hal yang paling bernilai bagi Suku Tolaki, adalah apa yang disebut medulu mepoko’aso (persatuan dan kesatuan), ate pute penao moroha (kesucian dan keadilan), morini mbu’umbundi monapa mbu’undawaro (kemakmuran dan kesejahteraan). Ide ini dinyatakan melalui penggunaan kalo dalam setiap upacara perkawinan, kematian, upacara tanam dan potong padi atau pun pada setiap upacara penyambutan tamu. Selain itu, ide ini juga diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam apa yang disebut mete’ alo-alo (bantu-membantu) dan lain-lain. Akhirnya ide kesejahteraan misalnya diwujudkan dalam apa yang disebut mombekapona-pona’ako (saling hormat-menghormati), mombekamei-meiri’ako (saling kasih-mengasihi), ndundu karandu (suasana ketenangan batin yang diliputi dengan alunan bunyi gong yang merdu di tengah malam), dan tumotapa rarai (suasana kegembiraan yang dilipuyi dengan suara hura-hura, tawa, dan tepuk tangan yang meriah).
2) Kalo sebagai fokus dan pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan Tolaki. Kalo bagi Suku Tolaki, bukan hanya sekedar simbol, tetapi juga fokus dalam pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan Tolaki, yakni: (1) dalam bahasa, sebagai lambang komunikasi; (2) dalam sistem ekonomi tradisional, sebagai penjaga tanaman, dan sebagai asas distribusi barang-baranag ekonomi; (3) sistem teknologi tradisional, sebagai  model mengikat dan bentuk alat-alat; (4) organisasi sosial, sebagai asas politik dan pemerintahan; (5) sistem pengetahuan, dalam hubungannya dengan alam semesta; (5) sistem kepercayaan, dalam hubungan struktur alam dunia; dan (6) sistem kesenian, dalam bubungan bentuk rias, dan teknik menari.
3) Kalo sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam kehidupan Suku Tolaki. Untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam kehidupan masyarakat, penggunaan Kalo sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral tampak dalam usaha memulihkan suasana kelaparan karena panen gagal atau karena bencana alam atau peristiwa lainnya. Suku Tolaki menganggap bahwa timbulnya suasana yang tidak baik akibat dari manusia yang telah melanggar adat ataupun ajaran agama, atau telah melanggar ajaran Kalo sebagai instrumen adat utama mereka. Untuk memulihkan suasana semacam ini, maka diadakanlah upacara yang disebut mosehe wonua (upacara pembersihan negeri) yang diikuti oleh segenap besar warga masyarakat.
4) Kalo sebagai pemersatu dan solusi terhadap pertentangan-pertentangan sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Tolaki.

D.    Implementasi Kalosara sebagai Media Etnopedagogi dalam Kehidupan Masyarakat
Secara historis, instrumen adat kalosara merupakan landasan dasar dari keseluruhan sistem sosial budaya Suku Tolaki termasuk pendidikan, kaidah-kaidah hidup bermasyarakat, sistem norma-norma, sistem hukum dan aturan-aturan lainnya. Dalam kehidupan sosial budaya Suku Tolaki sehari-hari secara umum baik merupakan rakyat biasa, sebagai seorang tokoh formal maupun nonformal, nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam instrumen adat kalo berintikan persatuan dan kesatuan, keserasian dan keharmonisan, keamanan dan kedamaian. Lembaga kalosara juga menjadi landasan kultural bagi setiap individu dalam menciptakan suasana kehidupan bersama yang aman damai serta dalam menegakkan aturan baik berupa hukum adat maupun hukum negara (Tawulo dkk, 1991; Tarimana, 1993; Su’ud, 1992; Tondrang, 2000). Karena itu bagi Suku Tolaki menghargai, mengkeramatkan dan mensucikan kalo berarti mentaati ajaran-ajaran nenek moyang mereka. Apabila mereka berbuat sebaliknya, diyakini akan mendatangkan bala atau durhaka (Tarimana, 1993; Su’ud, 1992).
Kalosara  secara antropologis merupakan unsur budaya yang merupakan  suatu pusat dalam kebudayaan Tolaki, sehingga mendominasi banyak aktivitas atau pranata lain dalam kehidupan sehari-hari. Fokus kebudayaan dari suatu masyarakat, oleh Linton (1936) disebut cultural interest atau social interest, yaitu suatu kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampak amat digemari warga masyarakatnya sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1981).
Etnopedagogi yang didasarkan nilai-nilai tradisi Jawa misalnya telah diungkap oleh beberapa ahli. Nilai kepemimpinan pendidikan Jawa yang paling dikenal luas adalah konsep yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara yang terdiri dari 3 aspek kepemimpinan yaitu (1) ing ngarsa sung tuladha, (2) ing madya mangun karsa, dan (3) tut wuri handayani. Konsep pendidikan ini bahkan diadopsi menjadi nilai pendidikan nasional di Indonesia  (Surya, 2011). Bagi masyarakat Bugis etnopedagogi didasarkan pada nilai-nilai yang telah lebih dahulu dikembangkan oleh La Mellong yang bergelar Kajao Laliddong seorang cendekiawan (negarawan) dari Kerjaan Bone atau penasehat Raja Bone ke-6 La Uliyo memerintah 1543-1568 dan Raja Bone ke-7 La Tenri Rawe memerintah 1568-1584. (Ali, 1986). Semboyang tersebut berbunyi:
Ri oloi napatiroang                 = di depan memberi contoh/pentunjuk
Ri tengngai nasiraga-raga      = di tengah memberi semangat
Ri munri nappong lopi            = di belakang memberi dorongan
Semboyang ini kemudian mengilhami sikap dan perilaku dalam sistem pendidikan masyarakat Bugis/Makassar. Secara bersistem konsep pendidikan tersebut diaplikasikan dalam lembaga Pendidikan Kedinasan bernama Anreguru Ana Karung (Sejenis Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri)  yang khusus mendidik anak bangsawan yang dipersiapkan akan menjadi calon pemimimpin di berbagai tingkatan dalam sistem pemerintahan Kerajaan Bone (Hafid, 2013). Dalam sistem pendidikan keluarga dan kemasyarakatan juga diimplementasikan oleh pendidik atau orang yang dituakan sebagai pendidik yang memperlihatkan keteladanan dan pemberi semangat.
Dalam Masyarakat Tolaki Filsafat pendidikan berakar pada ungkapan Inae kosara ie pinesara; ie liasara ie pinekasara=siapa yang tahu adat akan dihormati; siapa yang melanggar adat akan dikasari. Dari filsafat ini kemudian tersimpul dalam symbol kalosara yang mengatur tata hubungan antar manusia dan lingkungannya (Tamburaka, 2004).
Dalam hubungan antar anggota masyarakat ini, terdapat unsur-unsur yang mengandung nilai filsafat  tinggi. Mereka menjadikannya sebagai tongkat pegangan untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Adapun jenis budaya hasil karya dan cipta yang mempunyai nilai sosial tinggi dan merupakan perwujudan karakter positif yang lahir dari etnopedagogi melalui media kalosara antara lain:
1.    Kohanu
Kohanu, sering juga disebut dengan budaya malu. Kohanu, merupakan sistem pertahanan moral bagi diri sendiri, misalnya ada orang yang dikatakan malas bekerja, maka selanjutnya mereka menerapkan budaya kohanu ini dengan cara lebih tekun dan rajin dalam bekerja, sehingga sebutan sebagai pemalas akan hilang dari dirinya, berganti dengan sebutan pekerja keras yang rajin dan tekun. Secara tidak langsung budaya ini mengajak setiap orang untuk selalu memaksimalkan tenaga maupun pikiran yang dimilikinya untuk memajukan dia sendiri atau anggota kelompok yang lain.

2.    Merau
Merau, adalah budaya yang mengajak orang untuk selalu mengedepankan sikap sopan dan santun dalam pergaulan, serta mau memberikan rasa hormat bagi semua anggota masyarakat Tolaki maupun orang lain.

3.    Samaturu
Samaturu, merupakan salah satu budaya yang mengutamakan hidup untuk selalu menjalin persatuan, suka menolong orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan dengan senang hati. Ini juga merupakan wujud dari gotong royong yang menjadi pandangan hidup utama dari Suku Tolaki.

4.    Taa Ehe Tinua-Tuay
Taa ehe tinua-tuay, merupakan ajakan untuk selalu merasa bangga karena menjadi bagian dari masyarakat Suku Tolaki. Sesungguhnya budaya ini menjadi bagian dari Kohanu. Namun karena adanya suatu perbedaan yang bersifat mengutamakan kemandirian, maka budaya yang satu ini selanjutnya dipisah menjadi budaya sendiri.

5.    O’Sapa
Istilah O’sapa ialah semacam aturan-aturan klasik yang mengatur hubungan hukum antara manusia dengan hewan. Hubungan-hubungan itu timbul manakala manusia melakukan pemburuan (berburu) terhadap binatang liar seperti kerbau, rusa dan anoa, dengan menggunakan tombak, menggunakan anjing, perangkap, dan alat-alat penangkap lainnya, Aturan-aturan O’sa­pa itu berwujud ketaatan/kepatuhan setiap orang/pemburu mengambil bagian dari jerih payah yang tidak menyalahi ketentuan “O’sapa.,” misalnya: Bila binatang buruan itu mati berkat bantuan peralatan tombak dan anjing, maka bagian tertentu dari daging kerbau atau rusa itu, harus diberikan kepada anjing (pemilik anjing) dan tombak (yang menombak pertama) diluar dari bagian tertentu yang biasa diberikan/diambil/dikuasai si pemburu (3/4 bagian) dan bagian penguasa wilayah untuk daging dan tulang-tulang tertentu. Bila binatang, tersebut adalah binatang liar, tetapi bekas binatang peliharaan, maka aturan pembagiannya telah tertentu pula bagi pemburunya, untuk anjing, untuk tombak dan untuk penguasa wilayah/pu’utobu atau kepala kampung.
Aturan-aturan pembagian itulah disebut O’sapa, yang menurut kaidah hidup bermasyarakat harus dipatuhi oleh  semua Suku Tolaki termasuk Penguasa/Raja. Bila aturan hukumnya tidak dijalankan, maka da­pat menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat dan negeri.

6.    O’wua
Istilah O’wua merupakan seperangkat aturan/ketentuan hukum yang mengatur tata-cara bercocok tanam, merambah hutan, menanam padi, dan aturan-aturan ini harus ditaati oleh semua Suku Tolaki termasuk Penguasa/Raja. Apabila dilanggar maka negeri/penduduk dapat menderita kekurangan pangan mengalami musim paceklik, ini suatu hal yang sangat ditakuti oleh Suku Tolaki.

7.    O’lawi
Istilah O’lawi ialah seperangkat aturan dasar yang mengatur tentang tata cara pemberian upah, imbalan jasa, pembagian kerja dari seorang majikan pemilik kebun padi atau pemilik pohon sagu, atau pemilik pohon buah-buahan yang di­dikerjakan oleh seseorang atau beberapa orang pekerja upahan (toono mehawe, pasaku, pa mone dan lain-lain) dengan upah atau bagian-bagian tertentu. Ketentuan pembagian tersebut harus dipatuhi dengan sa­dar oleh semua orang termasuk penguasa/Moko­le.

8.    O’liwi
O’liwi ialah seperangkat pesan wasiat, nasihat dan petunjuk hidup yang ditinggalkan/diwasiatkan untuk diikuti oleh anak cucu /generasi berikut dari para leluhur, secara turun‑temurun terutama dalam hal ini dapat disamakan dengan Yurisprudensi artinya putusan Hakim tertinggi yang telah berlaku tetap yang dapat dicontoh oleh Hakim-hakim berikutnya da­lam perkara yang sama maupun selainnya (Hafid, 2012).
Kedelapan jenis aturan tersebut, berwal dari kalosara dan juga berakhir pada kalosara. Kondisi tersebut terjadi karena kalosara merupakan norma tertinggi dalam kehidupan social, sehingga berfungsi sebagai landasan filosofis dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian Implementasi kalosara dapat ditelaah secara empiris, misalnya sejauhmana kalosara dijadikan nmedia untuk mentransformasikan pengetahuan, nilai, dan keterampilan dari seorang kepada orang lain baik secara individual maupun kelompok. Secara cultural semua aktivitas social harus disandarkan pada kalosara, sehingga tidak satu orangpun anggota masyarakat Tolaki yang tidak pernah menyaksikan alat  kalosara,  termasuk menjadi partsipan dalam kegiatan implementasi pemanfaatan kalosara.
Upaya kristalisasi nilai-nilai tersebut, maka pemerintah Kerajaan Konawe dahulu kala telah mendirikan suatu lembaga pendidikan pengkaderan calon pemimpin yang bernama Inae Sinumo yang berkedudukan di Abuki mirip dengan fungsi Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri. Melalui lembaga Inae Sinumo  ini diharapkan internalisasi nilai-nilai kalosara dapat dipertahankan dan dikembangkan oleh seluruh lapisan masyarakat, yang senantiasa didukung dan dipelopori oleh pemimpin yang benar-benar memahami dan berkomitmen mengembangkan kalosara dalam kehidupan masyarakat Tolaki. 
Kalosara difungsikan baik sebagai penyebab suatu kegiatan/acara, maupun sebagai akibat. Contoh sebagai penyebab: Dalam suatu rangkaian pernikahan, kalosara wajib diadakan sebagai instrument utama adat, jika tidak ada maka acara tidak bias dilaksanakan. Contoh sebagai akibat: jika terdapat dua orang yang berselisih paham, maka untuk mendamaikan harus diadakan kalosara. Akhirnya, apapun aktivitas masyarakat Tolaki, maka kalosara harus ada atau aktivitas seseorang dan kelompok orang harus selalu bersandar pada kalosara.

E.  Penutup
Suku Tolaki yang mendiami jazirah Tenggara Pulau Sulawesi dalam dinamikanya memiliki instrumen adat yang mengatur segenap tata tingkah laku masyarakat yang disebut kalosara.  Kalosara berfungsi sebagai media etnopedagogi tata kehidupan masyarakat sampai di era sekarang ini masih eksis dipertahankan oleh segenap lapisan masyarakat, terutama dalam kehidupan sosial. Dengan demikian seiring dengan perkembangan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan melahirkan berbagai permasalahan termasuk dalam tataran politik dan ekonomi, maka kehadiran kalosara sebagai instrumen solusi perlu dipertahankan dan dikembangkan.
Berbagai pengetahuan, nilai, dan keterampilan dapat ditransfer melalui etnopedagogi dengan memanfaatkan kalosara. Masalah tata pergaulan sehari-hari dalam bidang politik, bidang kebudayaan, dan bidang ekonomi terbukti kehadiran kalosara sebagai media etnopedagogi. Pemanfaatan kalosara sebagai media etnopedagogi, dapat menjadi model bagi masyarakat lain, karena pilihan ini dapat berjalan dengan mudah dan biaya yang murah.
Peran pabitara dan tolea selakau tokoh masyarakat Tolaki perlu dilestarikan dan dikembangkan untuk menjadi pendidik dalam sistem etnopedagogi untuk berbagai pengetahuan, nilai, dan keterampilan yang dibutuhkan terutama pengembangan karakter positif masyarakat dengan memanfaatkan kalosara  sebagai media utama.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, A. Muh. 1986. Bone Selayang Pandang. Watampone: Damai.
Alwasilah, A.C. 2008. Tujuh Ayat Etnopedagogi. Artikel dalam Pikiran Rakyat Bandung, 23 Januari 2008
Arta, Arwan Tuti. 2009. Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana. Yogyakarta: Galangpress.
(Hafid, 2007: 44). Manajemen Pemberdayaan Perempuan. Bandung: Alfabeta.
Khamaganova, Erjen. 2005. Traditional Indigenous Knowledge: Local View. Paper presented in in International Workshop on Traditional Knowledge. Panama City, 21-23 September 2005.
Hafid, Anwar. 2007. Manajemen Pemberdayaan Perempuan. Bandung: Alfabeta.
Hafid, Anwar; Ahiri, Jafar; dan Haq, Pendais. 2007. Konsep Dasar Ilmu Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Hafid, Anwar. 2012. Kalosara Sebagai Instrumen Utama  Dalam Kehidupan Sosial Budaya Suku Tolaki di Sulawesi Tenggara. Makalah Disajikan dalam Prakongres Kebudayaan Indonesia di Jakarta, Tanggal 27-29 November 2012
Koentjaraningrat.  1981. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Linton, R. 1984. The Study of Man (Antropologi Suatu Penyelidikan Manusia). Diterjemahkan oleh Firmansyah. Bandung: Jemmars.
MacNeill, N. et al 2003. Beyond Instructional Leadership: Towards Pedagogic Leadership. Auckland: Australian Association for Research in Education
Peursen, C.A. Van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Sri Sultan Hamengku Buwono X. 2003. Sabda Ungkapan Hati Seorang Raja. Yogyakarta: PT. BP Kedaulatan Rakyat.
Surya, Priadi. 2011. Kepemimpinan Etnopedagogi Di Sekolah. Dalam Majalah Ilmiah Dinamika UNY bulan Mei 2011.
Tamburaka, Rustam, E. dkk. 2004. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun. Jakarta.
Tilaar, H. A. R. 1993. Pengembangan Sumber Daya Manusia yang Berbudaya dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Jakarta:  LPMP-IKIP Jakarta.
Tilaar, H. A. R. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.



ANALISIS FUNGSI KALOSARA SEBAGAI MEDIA ETNOPEDAGOGI DALAM PENGEMBANGAN
KARAKTER BANGSA
DI SULAWESI TENGGARA







Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid
Dosen FKIP/PPs Universitas Haluoleo

Makalah
Disajikan pada Seminar Nasional “Meretas Strategi Pembelajaran Inovatif Berbasis Seni Budaya”, di Kendari, 5 April 2015












PANITIA PELAKSANA
MASYARAKAT SEJARAWAN INDONESIA (MSI) SULTRA, IKA PENDIDIKAN IPS, IKA KAJIAN BUDAYA, PENDIDIKAN SENI,
IKA PENDIDIKAN SEJARAH, IKA PPKn
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar