PENGEMBANGAN
MODEL PEMBEJARAN IPS YANG MENGINTEGRASIKAN BUDAYA LOKAL
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.
Abstrak
Kalosara bagi Suku Tolaki adalah fokus yang dapat
mengintegrasikan unsur-unsur yang ada dalam kebudayaan Tolaki. Untuk itu, dalam penelitian
ini semua nilai karakter yang dikembangkan dari Budaya Tolaki, disebut sebagai
nilai karakter dari Kalosara. Nilai-nilai tersebut merupakan saripati dari
budaya Tolaki yang berhasil diidentifikasi dari hasil penelitian, terdiri atas
75 jenis budaya lokal yang diintegrasikan dalam 18 jenis karakter positif yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran IPS di SMP,
Strategi pengembangan model pembelajaran IPS yang mengitegrasikan budaya
local, dilakukan integrasi dalam setiap tema dan sum tema dalam Silabus Mata
Pelajaran IPS, setiap subtema minimal satu jenis karakter yang dikembangkan dari
nilai-nilai budaya yang merupakan operasionalisasi Kalosara dalam kehidupan masyarakat Tolaki. Pengembangan
model pembelajaran IPS melalui integrasi budaya local dapat pengembangan karakter positf
remaja, sedangkan metode pembelajaran yang dapat dikembangka adalah tugas, karyawisata, diskusi,
dan tanya jawab.
A. Pendahuluan
Suku Tolaki telah lama mendiami
dataran tenggara Pulau Sulawesi. Suku ini menyebar di tujuh wilayah yang cukup
luas yakni: Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten
Kolaka, Kabupaten Kolaka Utara, dan Kabupaten Kolaka Timur. Persebaran Suku
Tolaki ini membawa serta pranata-pranata sosial, politik, ekonomi dan sosial
budayanya, yang kemudian tersimpul dalam isntrumen adat kalosara.
Secara harfiah, kalosara
terdiri atas dua kata, yaitu: kalo berarti
seutas rotan dengan tiga lilitan yang melingkar; dan sara berarti adat, aturan, simbol hukum. Sebagai benda lingkaran, kalo
dibuat dari rotan, dan ada juga yang terbuat dari bahan lainnya, seperti emas,
besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan sebagainya
(Tarimana, 1989).
Kalosara terdiri atas 3
bagian, yaitu: Pertama, kalo, berupa lingkaran
yang berbahan rotan kecil yang bulat berwarna
krem tua yang dipilin, kedua ujung rotan disatukan
dalam satu simpul ikatan. Lingkaran memiliki makna sebagai pencerminan jiwa
persatuan dan kesatuan dari 3 unsur dalam sebuah kerajaan atau pemerintahan,
yaitu: (a) Unsur pimpinan (mokole/penguasa),
(b) Unsur pelaksana atau penyelenggara kekuasaan (pejabat, pemangku adat,
perangkat lembaga adat), (c) Unsur kedaulatan rakyat, yang merupakan refleksi
dari jiwa falsafah demokrasi Masyarakat Tolaki yang berjiwa Ketuhanan.
Pernyataan tersebut
diperkuat tokoh masyarakat Tolaki yang menyatakan bahwa Kalosara terdiri atas 3 bagian, yaitu: (1) unsur Ketuhanan, (2)
unsur pemerintah, dan (3) unsur budaya/masyarakat. Seorang pemimpin dalam
masyarakat Tolaki (Mokole, Puutobu) harus memegang falsafah pemerintahan Mandara osara, nota’u pamarendan (cerdas
adat, pandai memerintah) (Hafid, 2017).
Kedua, kain putih sebagai pengalas kalosara, memiliki makna
sebagai symbol kejujuran, kesucian, keadilan, da kebenaran. Ketiga, siwoleuwa, yaitu wadah yang
berbentuk segi empat yang terbuat dari anyaman daun onaha (palem rawa) atau daun sorume
(angrek hutan), memiliki symbol sebagai pencerminan dari jiwa kerakyatan, keadilan
social, dan kesejahteraan umum bagi seluruh warga Masyarakat Tolaki (Su’ud,
2012).
Ketiga wadah ini,
jika berdiri sendiri tidak memiliki arti dan fungsi adat, kecuali ketiganya
menyatu dalam suatu tatanan dengan struktur sebagai wadah pengalas paling bawah
berupa simoleuwa, kemudian dilapisi
di atasnya dengan kain putih, dan di atas kedua wadah ini diletakkan kalo.
Terdapat 3 versi
tentang jensi Kalosara. Versi pertama
membagi Kalosara terdiri atas dua
jenis, yaitu: (1) Kalosara Sapu Ulu, yaitu Kalosara
dengan besar lingkarannya seukuran kepala orang dewasa atau sekitar 40 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk
golongan masyarakat menengah ke bawah atau sekarang setingkat camat ke bawah
atau sering pula disebut Meula Nebose,
(2) Kalosara Sapu Bose, yaitu Kalosara dengan besar lingkarannya
seukuran bahu orang dewasa atau sekitar 45 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk golongan masyarakat tertentu,
seperti: Raja/Pejabat, orang penting, tokoh adat, dan tokoh masyarakat atau
sekarang setingkat Bupati ke atas atau sering pula disebut Tehau Bose (Tamburaka, 2004).
Versi kedua membagi Kalosara terdiri atas tiga jensi, yaitu: (1) Kalosara Sapu Olutu, yaitu kalosara yang dengan besar lingkarannya
seukuran lutut, (2) Kalosara Sapu Ulu, yaitu Kalosara
dengan besar lingkarannya seukuran kepala orang dewasa atau sekitar 25 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk
golongan masyarakat menengah ke bawah atau sekarang setingkat camat ke bawah
atau sering pula disebut Meula Nebose,
(3) Kalosara Sapu Bose, yaitu Kalosara dengan besar lingkarannya
seukuran bahu orang dewasa atau sekitar 45 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk golongan masyarakat tertentu,
seperti: Raja/Pejabat, orang penting, tokoh adat, dan tokoh masyarakat atau
sekarang setingkat Bupati ke atas atau sering pula disebut Tehau Bose (Hafid, 2017).
Versi ketiga
membagi Kalosara terdiri atas empat jenis, yaitu: (1) Kalosara Sapu Ulu, pengunaan Kalosara Sapu Ulu adalah dalam bentuk
penyelesaian sengketa, Contoh dalam perkawinan, perkelahian, pembagian warisan,
kematian (Meolowani), (2) Kalosaraa Sapu
Bose, jenis Kalosara yang di gunakan
khusus untuk Mondotambe (penyambutan) pada tamu pembesar (Pemerintah), (3) Kalosara Sapu Olutu (kalo sebesar
lingkaran lutut), jenis Kalosara yang di gunakan pada zaman
kerajaan (Pemerintah Swrapraja dan orang-orang yang mengabdi kepada bangsawan
(Anakia) untuk membayar Pe’ombu (pajak/upeti) atau Moawo Pe’ombu (menyerahkan upeti) istilah dumodangga olutu aki tepetangganako, dan (4) Kalosara Sapu Hiku (kalo sebesar lingkaran siku). Kalo jenis ini
digunakan oleh para orang-orang pengabdi kepada Anakia dan Mokole untuk menebus
kesalahannya yang di sebut Mekindoma
Sanggidi, sehingga ada istilah dumedepe
sanggidi sumeseru mbopo artinya terhuyung-huyung dan merangkat dalam
menjalankan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepada seorang budak, sehingga
tak luput dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan Artinya seorang budak yang melakukan kesalahan akan mendapat
hukuman dari tuanya, maka untuk memohon pengampunan ia datang membawakan
Kalosara sebesar siku orang dewasa (Hafid, 2017).
Terdapat dua model ikatan ujung kalo. Model pertama, jika
sesudah pertautan pada simpul satunya keluar ujungnya menonjol, sedangkan yang
dua ujungnya dari arah kiri tersembunyi, maka model kalo ini diperuntukkan pada kegiatan perkawinan. Adapun makna yang
menonjol pada ujung rotan sebagai penghargaan kepada pihak penerima, sedangkan
yang tersembunyi bermakna merendahkan diri bagi pihak pemberi.
Model kedua, jika kedua ujung simpul
rotan hingga membentuk angka delapan, maka Kalosara
jenis ini diperuntukkan khusus kegiatan upacara adat Mosehe, dalam konteks ini
seperti penyelesaian sengketa, perselisihan dan lain-lain atau kalosara dalam pengertian yang luas
(Tamburaka, 2015). Lebih jauh Hafid
(2013) menawarkan kalosara sebagai media penyelesaian dalam konflik sara di
wilayah pertambangan.
Menurut Tarimana (1989) kalosara
bagi Suku Tolaki adalah fokus yang dapat mengintegrasikan unsur-unsur yang ada dalam
kebudayaan Tolaki. Untuk itu, dalam
penelitian ini semua nilai karakter yang dikembangkan dari Budaya Tolaki,
disebut sebagai nilai karakter dari Kalosara.
Nilai-nilai tersebut merupakan
saripati dari budaya Tolaki yang berhasil diidentifikasi dari hasil penelitian,
terdiri atas 75. Dari jumlah nilai tersebut tersebar pada 18 nilai karakter
masing-masing: Nilai Religius 1 karakter, nilai jujur 5 karakter, nilai toleransi 3 karakter, nilai disiplin 2
karakter, nilai kerja keras 5 karakter, nilai kreatif 9 karakter, nilai mandiri
5 karakter, nilai demokratis 5 karakter, nilai rasa ingin tahu 2 karakter,
nilai semangat kebangsaan 5 karakter, nilai cinta tanah air 3 karakter, nilai
menghargai prestasi 3 karakter, nilai bersahabat/komunikatif 2 karakter, nilai
cinta damai 1 karakter, nilai gemar membaca 2 karakter, nilai peduli lingkungan
4 karakter, nilai peduli sosial 9 karakter, dan nilai tanggung jawab 6
karakter.
B. Nilai
Karakter dalam Budaya Lokal yang Dapat Diintegrasikan dalam Pembelajaran
No
|
Nilai
|
Budaya Lokal
|
Keterangan
|
1
|
Religius
|
Ate pute penao
moroha
|
Kesucian dan keadilan
|
|
|
Inaenae
Mokora Kasuwia, Ieeto Toono Madupa Oleo Perombui
|
Bagi orang yang kuat menyembah kepada
Tuhan, ialah yang mujur pada hari kemudian.
|
2
|
Jujur
|
Anipali
|
batas antara dua lahan kebun yang merupakan hak adat
dalam pembukaan hutan untuk perladangan
|
|
|
Toro,
Ano Laanggi Tanduando, Iamo Totewali Ohuni
|
Setiap orang dalam mengarungi
kehidupan, harus memiliki prinsip, agar tidak dipermainkan oleh orang lain
|
|
|
Iamo
Uposule Osara
|
Jangan memutar balikkan fakta
kebenaran
|
|
|
Panggulasi
|
Pantangan, yaitu orang yang
memiliki sifat dan kebiasaan tercelah, susah mendapatkan jodoh sebagai
pasangan hidupnya
|
|
|
Lako
ndawa bite mowatu
|
Sesuatu yang sia-sia. Misalnya
seseorang menitip sumbangannya kepada orang lain untuk disampaikan kepada
pihak yang mengundangnya, tetapi tidak disampaikan kepada yang berhak.
Sebaliknya kejujuran adalah permata kepercayaan
|
3
|
Toleransi
|
·
Mombekapona-pona’ako,
·
Membeka
rorondo ako
|
Saling hormat-menghormati
saling percaya-mempercayai
|
|
|
Membeka
para-parasaeya ako
|
saling percaya-mempercayai
|
|
|
Te’oha’oha
|
Kurang ajar. Orang yang tidak
punya etika dan sopan santun
|
4
|
Disiplin
|
Inae Konasara ie pinesara, Inae liasara iee pinekasara
|
siapa
yang menghormati adat ia akan dihormati, siapa yang melanggar adat ia akan
dikasari
|
|
|
·
Mete watu
·
O’liwi
|
Mengikut/disiplin
Seperangkat pesan, nasihat dan
petunjuk hidup yang ditinggalkan/diwasiatkan seseorang untuk diikuti oleh
anak cucu
|
5
|
Kerja Keras
|
Meindio
aso oleo/Mowutu Oleo
|
bekerja sepanjang hari
|
|
|
Mekindohosi
|
Kerja setengah hari
|
|
|
Walaka
|
Hamparan luas tempat peternakan kerbau
|
|
|
Tewali
Pu’uno Okasu. Au Motende
|
Jadi pemimpin harus tangguh
|
|
|
Ta’a
bunggu
|
Persiapan. Orang yang bijak adalah
yang pandai menyisihkan uang/ barang, persiapan untuk masa depan
|
6
|
Kreatif
|
Morini
mbu’umbundi monapa mbu’undawaro
|
Sedingin pohon pisang sesejuk pohon sagu/kemakmuran dan kesejahteraan
|
|
|
· Anahoma
· Mombe Oha
·
Mombe
Sanggari/membe kangari/mombe kahari
|
Bekas ladang dari orang tua.
Permohonan izin untuk memberi
penghormatan kepada yang dituakan.
|
|
|
Kohanu
|
Budaya malu
atau merupakan sistem pertahanan
moral bagi diri sendiri
|
|
|
· Monahu nda’u
·
Mombaka o ala
|
·
Upacara syukuran hasil panen
·
Ritual memasukkan padi di lumbung, Dewasa ini dikembangkan dalam sistem
penanaman padi, merica, dan kopi
|
|
|
Kawasa
|
Sejahtera/kaya
|
|
|
Mekai-kai
nggae
|
bergandengan
tangan untuk menyatukan pendapat, pikiran, dan tenaga dalam memajukan negara
|
|
|
Lombawuta
|
upacara setiap Tobu mengumumkan perlunya kita menanm
padi atau tidak menanam padi pada tahun itu
|
|
|
Mombaka o ala
|
ritual memasukkan padi di lumbung
|
|
|
Mororako
otu’o
|
Sangat
kesusahan makanan. Orang miskin belum tentu ia susah, hanya selalu
kekurangan. Tetapi orang susah adalah orang yang selalu menderita karena
ketiadaan. Kemalasan dan kebodohan mendatangkan malapetaka
|
7
|
Mandiri
|
O’wua/Pesuri/Pariama
|
seperangkat
aturan/ketentuan hukum yang mengatur tata-cara bercocok tanam, merambah
hutan, menanam padi, dan aturan-aturan ini harus ditaati oleh semua Suku
Tolaki termasuk Penguasa/Raja
|
|
|
Lako Meronga-ronga
|
Jalan bersama-sama untuk membangun negeri menjadi maju
|
|
|
Toono
Ehe Sumile, Mbuoki Kohanuno
|
Seseorang
penjilat tidak punya harga diri
|
|
|
Marasai
sanaa, masusa masagena
|
. Artinya:
Miskin tetapi senang, susah tetapi berkecukupan. Hidupnya sederhana dan tetap
memelihara harga diri
|
|
|
Mekiki
ine samba mate
|
Teguh dalam
pendirian. Memiliki semangat yang besar, dengan penuh kegigihan dan tangguh
dalam perjuangan, karena adanya prinsip/pendirian yang dimiliki
|
8
|
Demokrasi
|
Mombule
sako toono
|
pedoman hidup
untuk terciptanya ketertiban sosial
|
|
|
o’lawi
|
Seperangkat
aturan dasar tentang pemberian upah, imbalan jasa
|
|
|
Ogadi
|
pembagian
kerja dari seorang majikan pemilik kebun padi atau pemilik pohon sagu, atau
pemilik pohon buah-buahan yang didikerjakan
oleh seseorang atau beberapa orang pekerja upahan (toono mehawe, pasaku, pa mone dan lain-lain) dengan upah atau
bagian-bagian tertentu
|
|
|
Baa’asi
tudu’uha
|
Selalu
merendahkan diri demi membentengi kemampuannya
|
|
|
Moowai
kohanu
|
Berbuat malu,
yaitu sifat tenggang rasa dan tidak mau menang sendiri
|
9
|
Rasa
Ingin Tahu
|
Peposu
ine samba nggare
|
Tidak punya
pikiran cerdas atau ia bodoh dan apatis
|
|
|
Sikolanggukaa
taa nio, mano ponga-lamanggu ladioi/meitai
|
Pendidikan
kurang, tetapi pengalaman banyak. Orang berpengalaman sudah pasti pernah
berbuat, sehingga pengalaman merupakan guru besar dalam kehidupan
|
10
|
Semangat
Kebangsaan
|
Inea Sinumo Wuta Mbinotiso
|
Orang
berpengalaman sudah pasti pernah berbuat, sehingga pengalaman merupakan guru
besar dalam kehidupan
|
|
|
Wonua
Nire- Ree
|
negeri yang dibanggakan atau
dipuji
|
|
|
Keno
Tabuluto Teboto Patudu, Medulu Une-Une; Labira’i Mate Menggookoro, Ano Amba
Monduka Bunggu
|
Kalau tekad
sudah bulat, menyatu dengan semangat yang membara; Lebih baik mati berdiri,
dari pada melangkah mundur
|
|
|
Mobelebele
Wuta’aha, Mokila-nggila Lahuwene; Keno Tabuluto Tebue Okare, Mbuoto Tewaheno
Inanggare
|
Walau bumi bergoncang,
petir sambar menyambar, Sekali langkah terdorong, pantang surut kembali
|
|
|
Morata
|
Menyatukan
kekuatan. Betapapun berat dan sulitnya
menarik balok (kayu) dari hutan, kalau bersama-sama banyak orang dan
menyatukan kekuatan pada satu gerakan, maka sekali ditarik balok langsung
meluncur sendiri hingga ke pinggiran sungai.
|
11
|
Cinta
Tanah Air
|
Taa ehe tinua-tuay
Ni-are-are
|
Ajakan
untuk selalu merasa bangga karena menjadi bagian dari Masyarakat
Tolaki
|
|
|
Keu
Lako Mesuere Wonua, Iamo Ukolupe’i Wuta Tepea’ano Ulumu
|
Kalau merantau jangan lupa tanah tumpah darahnya
|
|
|
Rumorondo’i Wonua, Tumotondo’i
Lipu
|
Mencintai
negeri, mempertahankan wilayah.
|
12
|
Menghargai
Prestasi
|
Tumotopa rarai
|
Suasana
kegembiraan yang diliputi dengan suara tawa, dan tepuk tangan yang meriah
|
|
|
Inae Taa Karitutu Sikola, Ieto Toono
Nggo Meopurihi’une Oleo Perombui
|
Orang
yang malas bersekolah, akan menyesal dikemudian hari.
|
|
|
Uu’uuno Hina Nggaunggau Oleo, Haka
Melenggelengge Keto Metonduwako, Haka Metonduwako Keto Melengge-Lengge
|
Pemimpin
bisa menjadi yang dipimpin dan yang dipimpin bisa menjadi pemimpin
|
13
|
Bersahabat
|
mebanggona
dan Meronga-ronga
|
Persahabatan dan bersama-sama
|
|
|
Makekela
|
Berakal
bulus, karena punya keinginan yang besar untuk bisa memiliki sesuatu yang
tidak dimiliki, sehingga berbagai cara dihalalkan dalam upaya mengakali milik
orang lain untuk dimilikinya
|
14
|
Cinta
Damai
|
Pelanggu’ako Osipi Isue Kiniwia
Mo’oruoru, Tano Onggo Teposinggalako Mata Puteh Ano Mata Me’eto
|
Walau
berselisih pada pagi hari, bertengkar pada sore hari, hubungan persaudaraan
tak akan terputus. Laksana mencencang air, tak akan putus
|
15
|
Gemar
Membaca
|
Kilala atau bilangari/meowula
|
Ilmu
perbintangan
|
|
|
Metauggawe
|
Ilmu
perbintangan (meteorologi dan geofisika). Masyarakat Tolaki sudah memiliki
ilmu pengetahuan mengenai keadaan alam semesta, musim hujan, musim panas,
musim tanam, musim panen, dan waktu untuk memulai perdagangan
|
16
|
Peduli
Lingkungan
|
Mooli
|
Upacara
pemohonan izin kepada Yang maha Kuasa dalam rangka pembukaan lahan baru,
pembukaan jalan baru
|
|
|
O’sapa
|
Aturan-aturan
klasik turun-temurun yang mengatur hubungan hukum antara manusia dengan hewan
|
|
|
Pole’aa
|
Pemeliharaan
hewan ternak seperti sapi, kerbau, jika dipotong, maka yang
membongkar/bekerja menguliti kerbau yang telah dipotong
|
|
|
Mosehe Wonua
|
Upacara selamatan negeri
|
17
|
Peduli
Sosial
|
Meteo alo
|
Bantu-membantu
|
|
|
Samaturu
|
Mengutamakan
hidup untuk selalu menjalin persatuan, suka menolong orang lain gotong royong
|
|
|
Mombekamei-meiri’ako
|
Saling kasih-mengasihi
|
|
|
Medulu
mepokoaso
|
Mengutamakan hidup untuk selalu menjalin
persatuan, suka menolong orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan
dengan senang hati
|
|
|
Osando Wonuwa
|
Dukun
Kampung mengobati pasien berbasis etnomedis dengan memanfaatkan ramuan dari
lingkuangan alam sekitar
|
|
|
Keu
Ehe Mowate Osala, KeeMolua Peruku’amu
|
Orang yang suka membantu, akan luas perjalanannya
|
|
|
Wuakae
Kioki Nopetundu
|
Jari tangan tidak sama panjang atau kita saling
membantu dalam berbagai hal
|
|
|
Au
kukuti’iki dowomu au amba kumukuti’i suere ndoono
|
Cubitlah dahulu dirimu, baru mencubit orang lain
|
|
|
Koinda
mbenao
|
Utang budi harus dibayar dengan budi pula
|
18
|
Tanggung
Jawab
|
Mesikola
|
Pergi bersekolah dalam rangka
mengembangkan SDM
|
|
|
Taa
Eheki Tewunggu’aro, Iamo U’ehe Mondarahi Osolo
|
Kalau tidak mau menemui kesulitan, jangan melawan
atasan
|
|
|
Toono
Taa Matandu Po’ia’ano, Notoro Hende Kawukawu Telaa
|
Orang yang tidak menentu tempat tinggalnya,
laksana kapuk diterbangkan angin
|
|
|
Mbuoki
tamono ari o’ana ronga ari anamotuo
|
Tidak ada istilah bekas anak dan bekas orang tua
|
|
|
Turu
parenda
|
Turut perintah. Orang tersebut sangat disenangi
dan selalu dipercaya
|
C. Strategi
Pengembangan Kalosara sebagai Media Etnopedagogik dalam Pengembangan Karakter Positif Remaja
Strategi
pengembangan dilakukan melalui diskusi dengan Tokoh Masyarakat Tolaki dalam
arti permohonan izin untuk melakukan operasionalisasi kalosara dalam konteks lebih luas dibanding selama ini. Para tokoh
masyarakat menyambut baik dan menyatakan perlunya pewarisan nilai-nilai budaya
kepada generasi muda, karena kalau tidak dilakukan sekarang akan hilang
nilai-nilai luhur Masyarakat Tolaki. Pengembangan diartikan sebagai eksplorasi
nilai-nilai yang ada dalam latar kalosara
dengan tetap mempertahankan keaslian benda dan makna yang melekat padanya
(Hafid, 2017).
Pengembangan
dalam arti pembelajaran dalam lembaga pendidikan Formal karena menurut Mardin,
S. Pd, M. Si. Sebaga Kepala SMP Negeri 2 Konawe menyatakan bahwa siswa kalau
diberi Bahasa Tolaki banyak yang sudah tidak paham, sehingga perlu pembelajaran
Bahasa Tolaki melalui penanaman nilai-nilai budaya leluhur.
Lebih
jauh tentang perlunya pelestarian dan pengembangan Kalosara sebagai fokus
Budaya Tolaki dikemukakan oleh Cecep Supria Yudowono, S. Pd. M. Pd. Sebagai
Kepala SMP Negeri 1 Wawtobi menyatakan selain integrasi dalam pembelajaran
nilai-nilai karakter dalam budaya Tolaki, juga pelu didokumentasikan dalam
bentuk buku dan ditulis bersama antara praktisi pendidikan, budayawan dan
akademisi, agar mudah didistribusi dan mudah diadopsi oleh perseta didik, sebab
kalau tidak ada upaya penulisan lama-kelamaan nilai-nilai luhur budaya bangsa
yang ada pada masyarakat Tolaki akan hilang.
Secara
empiris peserta didik di dua Sekolah subjek penelitian (SMP Negeri 1 Wawotobi
dan SMP Negeri 2 Konawe), meskipun peserta didiknya dominan dari orang tua Suku
Tolaki, tetapi terdapat beberapa siswa yang bukan Suku Tolaki, dan kedua
kelompok siswa ini harus sama-sama perlu memahami nilai-nilai luhur yang ada
dalam budaya Tolaki, karena dalam pergaulan sehari-hari anak harus memiliki
dasar budaya luhur dari tempat dimana ia berada dan berkativitas sehari-hari.
Kondisi tersebut penting, agar anak memiliki pijakan budaya santun dan disiplin
dari sejak kecil, sehingga kelak akan terbawa-bawa dalam pergaulan menuju
kehidupan yang lebih luas.
Upaya
memudahkan integrasi nilai-nilai luhur yang berupa karakter positif dari Budaya
Tolaki, maka setiap materi pokok yang ada dalam silabus dicari relevansinya
dengan budaya Tolaki yang merupakan penjabaran dari kalosara, seperti diperikan berikut ini.
KELAS VII
Tema I : Keadaan Alam Dan Aktivitas Penduduk
Indonesia
Subtema A : Letak Wilayah dan Pengaruhnya bagi Keadaan Alam Indonesia
Nilai : Kreatif: yang diaplikasikan dalam tradisi Morini mbu’umbundi monapa mbu’undawaro (sedingin
pohon pisang sesejuk pohon sagu/ kemakmuran dan kesejahteraan).
Subtema B : Keadaan Alam Indonesia
Nilai : Peduli lingkungan: yang diaplikasikan
dalam tradisi Mooli, yaitu upacara
pemohonan izin kepada Yang maha Kuasa dalam rangka pembukaan lahan baru,
pembukaan jalan baru.
Subtema C : Kehidpan Sosial Masyarakat Indonesia pada masa Praaksara, Hindu Buddha,
dan Islam
Nilai :
Religius: yang diaplikasikan dalam tradisi ate pute penao moroha
(kesucian dan keadilan),
Nilai : Demokratis: yang
diaplikasikan dalam tradisi Ogadi pembagian kerja dari seorang
majikan pemilik kebun padi atau pemilik pohon sagu, atau pemilik pohon
buah-buahan yang didikerjakan oleh
seseorang atau beberapa orang pekerja upahan (toono mehawe, pasaku, pa mone dan lain-lain) dengan upah atau
bagian-bagian tertentu. Ketentuan pembagian tersebut harus dipatuhi dengan sadar
oleh semua orang termasuk penguasa/mokole.
Tema 2 : Keadaan Penduduk Indonesia
Subtema A : Asal Usul Penduduk Indonesia
Nilai : Cinta Tanah
Air:
diaplikasikan dalam budaya Taa ehe
tinua-tuay, dan Ni-are-are merupakan ajakan
untuk selalu merasa bangga karena menjadi bagian dari Masyarakat
Tolaki.
Tema 2 : Keadaan
Penduduk Indonesia
Subtema B : Karakteristik Penduduk Indonesia
Nilai : Peduli Sosial: yang diaplikasikan dalam
tradisi meteo alo (bantu-membantu).
Tema 2
: Keadaan
Penduduk Indonesia
Subtema C : Mobilitas Penduduk Antarwilayah di Indonesia dan Fasilitas Pendukungnya
Nilai : Peduli Sosial: yang diaplikasikan dalam
tradisi Samaturu, merupakan
salah satu budaya yang mengutamakan hidup untuk selalu menjalin persatuan, suka
menolong orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan dengan senang hati. Ini
juga merupakan wujud dari gotong royong yang menjadi pandangan hidup utama dari
Suku Tolaki
Tema 2
: Keadaan
Penduduk Indonesia
Subtema D : Pengertian dan Jenis Lembaga Sosial
Nilai : Demokratis: yang diaplikasikan dalam sistem pemilihan Pangga
sara/Putobu/Tolea, Kapala Kambo, dan Tolea/Pabitara.
Nilai :
Demokratis: yang diaplikasikan dalam ungkapan Baa’asi tudu’uha. Artinya: Selalu
merendahkan diri demi membentengi kemampuannya.
Tema 3
: Potensi dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Subtema A : Pengertian dan Pengelompokkan
Sumber Daya Alam
Nilai : Mandiri: yang diaplikasikan dalam ungkapan Marasai sanaa, masusa masagena.
Artinya: Miskin tetapi senang, susah tetapi berkecukupan. Hidupnya sederhana
dan tetap memelihara harga diri.
Tema 3
: Potensi dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Subtema B : Potensi dan sebaran sumber daya alam Indonesia
Nilai : Mandiri:
yang dipalikasikan dalam budaya O’wua/Pesuri/Pariama (ilmu
perbintangan) merupakan seperangkat aturan/ketentuan hukum yang mengatur
tata-cara bercocok tanam, merambah hutan, menanam padi, dan aturan-aturan ini
harus ditaati oleh semua Suku Tolaki termasuk Penguasa/Raja. Apabila dilanggar
maka negeri/penduduk dapat menderita kekurangan pangan mengalami musim
paceklik, ini suatu hal yang sangat ditakuti oleh Suku Tolaki.
Nilai : Gemar
Membaca:
diaplikasikan sistem pengetahuan tradisi Metauggawe, ilmu
perbintangan (meteorologi dan geofisika). Masyarakat Tolaki sudah memiliki ilmu
pengetahuan mengenai keadaan alam semesta, musim hujan, musim panas, musim
tanam, musim panen, dan waktu untuk memulai perdagangan.
Tema 3
: Potensi dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Subtema C : Kegiatan ekonomi dan pemanfaatan
Potensi sumber daya alam
Nilai : Kerja Keras:
yang diaplikasikan dalam sistem Meindio aso
oleo/Mowutu Oleo (bekerja sepanjang hari), dan sebagai
asas distribusi barang-baranag kebutuhan.
Nilai :
Rasa Ingin Tahu: yang diaplikasikan dalam ungkapan Peposu ine samba nggare. Artinya:
Tidak punya pikiran cerdas atau ia bodoh dan apatis (masa bodoh).
Tema 4 : Dinamika
Interaksi Manusia
Subtema A : Dinamika Interaksi Manusia dengan Lingkungan
Nilai : Peduli
Lingkungan: diaplikasikan dalam budaya o’sapa
ialah
semacam aturan-aturan klasik turun-temurun yang mengatur hubungan hukum antara
manusia dengan hewan.
Tema 4 : Dinamika Interaksi Manusia
Subtema B : Saling Keterkaitan antar kelompok Lingkungan
Nilai :
Peduli Lingkungan: yang diaplikasikan dalam konsep Pole’aa,
yaitu pemeliharaan hewan ternak seperti sapi, kerbau, jika dipotong, maka yang
membongkarbekerja menguliti kerbau yang telah dipotong dapat bagian disebut.
Tema 4 : Dinamika Interaksi Manusia
Subtema C : Interaksi Manusia dengan Lingkungan Alam, Sosial, Budaya dan Ekonomi
Nilai : Peduli Lingkungan: yang diaplikasikan dalam tradisi
Mosehe Wonua, upacara selamatan
negeri
Tema 4 : Dinamika Interaksi Manusia
Subtema D :Keragaman Sosial Budaya sebagai Hasil Dinamika Interaksi Manusia
Nilai : Jujur: diaplikasikan dalam tradisi Anipali
yaitu batas antara dua lahan kebun yang merupakan hak adat dalam pembukaan
hutan untuk perladangan.
Nilai : Gemar
Membaca:
diaplikasikan sistem pengetahuan, dalam hubungannya dengan alam semesta, penemuan ilmu
perbintangan/ilmu falak dalam bentuk Kilala atau bilangari/meowula yaitu
berupa ilmu perbintangan .
Tema 4 : Dinamika Interaksi Manusia
Subtema E : Hasil kebudayaan Masyarakat pada masa Lalu
Nilai : Toleransi: yang diaplikasikan dalam tradisi
mombekapona-pona’ako (saling hormat-menghormati), dan Mombeka
rorondo ako (saling percaya-mempercayai)
Strategi
integrasi nilai-nilai karakter dari kearifan lokal Kalosara dalam pembelajaran, merupakan suatu hal yang memperkaya
materi guru, sekaligus memudahkan guru untuk menerapkan pembelajaran
kontekstual. Temuan penelitian ini sesuai temuan penelitian Maryam (2015: 59)
yang menyatakan bahwa penggunaan tradisi lisan dalam pembelajaran
pada mata pelajaran IPS dapat meningkatkan aktivitas mengajar guru dan
aktivitas belajar siswa, serta dapat meningkatkan karakter positif siswa.
Manfaat positif lainya yang dapat
diperoleh siswa adalah mengembangkan sikap disiplin, saling menghargai,
demokrasi dan tanggung jawab dalam diri siswa, membentuk jiwa kreativitas,
kritis dan inovatif siswa, memudahkan guru dalam mengontrol pelaksanaan
pembelajaran, serta bagi siswa merupakan proses latihan dalam meluangkan ide
dan memberikan pemahaman kepada rekan-rekannya yang tentunya akan membentuk
cara berkomunikasi yang positif di masa yang akan datang.
Hasil refleksi dan evaluasi dari penelitian Asban (2016) menyatakan bahwa penerapan tradisi lisan dalam
pembelajaran pada Mata Pelajaran Sejarah dapat meningkatkan keefektifan
mengajar guru dan aktifitas belajar siswa, serta dapat meningkatkan karakter
positif siswa.
Fenomena tersebut didukung pernyataan Anas (2011: 2)
bahwa pendidikan karakter bertujuan meningkatkan mutu penyelenggaran dan hasil
pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan
akhlak peserta didik secara utuh, terpadu dan berkesinambungan.
Temuan penelitian ini, juga sejalan dengan diamanat Pasal 3
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional
adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan,
kepribadian, dan akhlak mulia. Sesuai amanat dalam tujuan pendidikan nasional
tersebut, satuan pendidikan lebih banyak berfokus pada pengembangan potensi
peserta didik yang berkaitan dengan karakter. Ini membuktikan bahwa proses
pendidikan harus berorientasi pada aspek tingkah laku atau afektif. Hal ini
dimaksudkan agar pendidikan tidak hanya membentuk manusia Indonesia yang
cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter dan berakhlak mulia.
Sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan
karakter yang bernapas pada nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
D. Metode
Integrasi Budaya Lokal Dalam Pembelajaran
IPS di SMP
Metode integrasi nilai-nilai Kalosara
dalam pembelajaran IPS di SMP dalam bentuk perumusan secara bersama
antara tim peneliti dengan guru IPS di SMP sebagai subjek penelitian. Para guru
disajikan ringkasan materi awal tentang nilai-nilai karakter yang dapat
diaplikasikan dalam bentuk operasionalisasi kalosara.
Ada dua komponen yang
dikembangkan oleh guru, yaitu: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan
bahan belajar. Muatan lokal sesuai Pasal 4 Permendikbud No. 79 2014, menyatakan bahwa:
1. Muatan lokal dapat berupa antara lain: (1) Seni budaya,
(2) Prakarya, (3) Pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan, dan (4) Bahasa.
2. Muatan
pembelajaran terkait muatan lokal berupa bahan kajian terhadap keunggulan dan
kearifan daerah tempat tinggalnya.
3. Muatan pembelajaran
terkait muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diintegrasikan antara
lain dalam mata pelajaran seni budaya, prakarya, dan/atau pendidikan jasmani,
olahraga, dan kesehatan.
Pasal 5 Permendikbud No. 79 2014, menyatakan bahwa: Muatan lokal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dirumuskan dalam bentuk dokumen yang terdiri
atas:
1. kompetensi
dasar;
2. silabus; dan
3. buku teks
pelajaran.
Pasal 6 menyatakan bahwa muatan lokal dikembangkan dengan
tahapan:
1. analisis
konteks lingkungan alam, sosial, dan/atau budaya;
2. identifikasi
muatan lokal;
3. perumusan
kompetensi dasar untuk setiap jenis muatan lokal;
4. penentuan
tingkat satuan pendidikan yang sesuai untuk setiap kompetensi dasar;
5. pengintegrasian
kompetensi dasar ke dalam muatan pembelajaran yang relevan;
6. penetapan
muatan lokal sebagai bagian dari muatan pembelajaran atau menjadi mata
pelajaran yang berdiri sendiri;
7. penyusunan
silabus; dan
8. penyusunan
buku teks pelajaran.
Lebih lanjut Pasal 7 Permendikbud No. 79 2014, menyatakan bahwa:
a. Satuan
pendidikan dapat mengajukan usulan muatan lokal berdasarkan hasil analisis
konteks sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan identifikasi muatan
lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b kepada pemerintah
kabupaten/kota.
b. Pemerintah
kabupaten/kota melakukan:
1) analisis dan
identifikasi terhadap usulan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1);
2) perumusan
kompetensi dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c; dan
3) penentuan
tingkat satuan pendidikan yang sesuai untuk setiap kompetensi dasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf d.
c.
Pemerintah kabupaten/kota menetapkan muatan lokal
sebagai bagian dari muatan pembelajaran atau menjadi mata pelajaran yang
berdiri sendiri.
d. Pemerintah
kabupaten/kota mengusulkan hasil penetapan muatan lokal sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) kepada pemerintah provinsi.
e. Pemerintah
provinsi menetapkan muatan lokal yang diusulkan oleh pemerintah kabupaten/kota
untuk diberlakukan di wilayahnya.
f. Pemerintah
provinsi atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya merumuskan
kompetensi dasar, penyusunan silabus, dan penyusunan buku teks pelajaran muatan
lokal.
g. Dalam hal
satuan pendidikan tidak mengajukan usulan muatan lokal pemerintah daerah dapat
menetapkan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
Mencermati
jiwa Permen tersebut, maka dalam penelitian ini muatan lokal sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) diintegrasikan antara lain dalam mata pelajaran
IPS. Muatan pembelajaran terkait muatan lokal berupa bahan kajian terhadap
keunggulan dan kearifan lokal Daerah (Konawe) tempat tinggalnya (peserta didik
anak remaja usia/siswa SMP). Operasionalisasi nilai-nilai Budaya Masyarakat
Tolaki yang tersimpul dalam Kalosara, merupakan bahan kajian
terhadap kearifan lokal di Daerah Konawe.
Pemerintah
menegaskan bahwa setiap lulusan satuan pendidikan dasar dan menengah
memiliki kompetensi pada tiga dimensi yaitu sikap, pengetahuan, dan
keterampilan (Permendikbud
Nomor 20 Tahun 2016). Dalam dimensi sikap, kompetensi lulusan yang
diharapkan untuk siswa SMP, yaitu: memiliki perilaku yang mencerminkan
sikap:
a. Beriman
dan bertakwa kepada Tuhan YME,
b. Berkarakter,
jujur, dan peduli,
c. Bertanggungjawab,
d. Pembelajar
sejati sepanjang hayat, dan
e. Sehat
jasmani dan rohani sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan keluarga,
sekolah, masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, dan kawasan
regional.
Dimensi pengetahuan, kompetensi lulusan yang
diharapkan untuk siswa SMP, yaitu: Memiliki
pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif pada tingkat
teknis dan spesifik sederhana berkenaan dengan:
1. Ilmu
pengetahuan,
2. Teknologi,
3. Seni, dan
4. Budaya.
Siswa
SMP diharapkan mampu mengaitkan pengetahuan di atas dalam konteks diri sendiri,
keluarga, sekolah, masyarakat, lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, dan
kawasan regional. Dalam dimensi keterampilan,
kompetensi lulusan yang diharapkan untuk siswa SMP, memiliki
keterampilan berpikir dan bertindak:
1. Kreatif,
2. Produktif,
3. Kritis,
4. Mandiri,
5. Kolaboratif,
dan
6.
Komunikatif
Melalui pendekatan ilmiah sesuai
dengan yang dipelajari pada satuan pendidikan dan sumber lain secara mandiri.
Ketiga dimenasi kompetensi yang diharapkan dari lulusan SMP tersirat dan
tersurat dalam muatan lokal kalosara
yang direvitalisasi dalam bentuk integrasi dalam pembelajaran IPS di SMP.
Metode integrasi dalam
pembelajaran IPS di SMP mendapat tanggapan positif dari guru IPS SMP yang
menjadi subjek penelitian. Proes perumusan model dan sosialisasi melibatkan
tokoh masyarakat dan guru IPS SMP. Dari hasil rumusan sementara dilakukan
lokakarya dengan para guru IPS 2 SMP (SMP Negeri 1 Wawotobi dan SMP Negeri 2
Konawe) dengan melibatkan 5 orang guru IPS atau serumpun dari masing-masing
sekolah.
Berdasarkan tanggapan guru
menunjukkan bahwa ada 8 kekuatan model
pengembangan integrasi nilai-nilai karakter dari budaya Tolaki ke dalam
pembelajaran IPS di SMP, dan 3 diantaranya yang cukup menonjol menurut guru,
yaitu: (1) Mengangkat budaya daerah menjadi budaya bangsa, (2) merupakan model
scientific, dan (3) mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh siswa. Temuan
penelitian ini sejalan dengan pengakuan negara terhadap 3 Budaya Tolaki yang
telah diakui sebagai warisan budaya takbenda Indonesia melalui penetapan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yaitu: (1) Kalosara 2013,
(2) Lulo 2014, dan (3) Mosehe 2014. Penetapan tiga warisan budaya tersebut,
terkait dengan masih eksisnya di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu, bagi
Masyarakat Tolaki dan Daerah Konawe, masih banyak menyimpan budaya takbenda dan
budaya benda cagar budaya yang harus disosialisasikan dan dikembangkan agar
dapat menjadi budaya nasional dan ke depan dapat diusulkan menjadi budaya
dunia.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan temuan penelitian Asban (2016) yang menyatakan bahwa siswa sangat
antusias mengikuti pembelajaran sejarah yang diintegrasikan dengan muatan lokal
dalam bentuk tradisi lisan.
Tabel 1
Kelemahan Model Pengembangan Integrasi Nilai-Nilai Karakter
dari Budaya Tolaki ke dalam Pembelajaran IPS di SMP
No
|
Indikator/Tanggapan Guru
|
%
|
Ket
|
1
|
Tidak
tersedia buku sebagai bahan ajar
|
50
|
|
2
|
Kurangnya
pengetahuan guru tentang Budaya Tolaki
|
30
|
|
3
|
Media
pembelajarang masih kurang
|
10
|
|
4
|
Kurangnya
pengetahuan awal siswa tentang Nilai Kalosara
|
40
|
|
5
|
Ketersediaan
waktu terbatas
|
10
|
|
6
|
Penekanan
orang tua pada ilmu eksakta
|
10
|
|
Tabel 1 tersebut memperingatkan
kepada kita akan perlunya melakukan dokumentasi nilai-nilai budaya Tolaki, agar
dapat menjadi bahan bacaan/bahan belajar bagi guru dan siswa. Dari hasil
diskusi dan wawancara dengan guru dan tokoh masyarakat terungkap bahwa banyak guru
yang kurang memahami nilai-nilai budaya Tolaki, sehingga sulit untuk
mengintegrasikan dalam pembelajaran di sekolah. Dengan demikian, setelah
pengadaan buku nilai-nilai budaya Tolaki, maka selanjutnya perlu dilakukan
pelatihan kepada guru tentang budaya Tolaki, sehingga mereka siap untuk
mengitegrasikan dalam pemebalajarannya, terutama guru IPS dan guru lain yang
terkait materi pembelajaran tertentu dengan lingkungan alam dan sosial budaya
Masyarakat Konawe.
Para guru sangat mendambakan
bahan belajar berupa buku ajar dan buku teks yang memuat nilai karakter Budaya
Tolaki, demikian pula media yang merupakan persentuhan antara media tradisional
dan media modern dalam bentuk media audio visual berupa Vodeo kegiatan ritual.
Guru semakin menyadari perlunya pembelajaran kontekstual yang berbasis
lingkungan sosial dan alam siswa.
Data menyiratkan bahwa guru
menyadari kelangkaan bahan belajar, sehingga
kondisi seperti ini sangat tepat digunakan metode yang melibatkan siswa
secara aktif untuk menggali informasi baik secara individual maupun secara
berkelompok. Tabel 4.5 tersebut menunjukkan bahwa 70% menyarankan penggunaan
metode diskusi, dan 60% guru menyarankan
metode penugasan, temuan secara teoretis sangat tepat karena bahan belajar
terdapat di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan alam sekitar siswa,
sehingga melalui kedua metode ini siswa diajak untuk melakukan eksplorasi
lingkungan dalam bantuk pemikiran kritis dan akan berdampak terhadap munculnya
kepedulian lingkungan dan kepedulian sosial siswa.
Media yang tepat digunakan dalam
pembelajaran model integrasi ini menurut subjek yaitu semua subjek menyatakan
perlu menggunakan peta, ini dimaksudkan agar siswa memahami lingkungannya
secara kontekstual, demikian pula media gambar atau foto, sehingga memudahkan
siswa melihat objek yang dipalajari, ada juga guru memandang pelunya
memanfaatkan benda asli pada situasi tertentu, dan juga perlunya menggunakan
media power poin yang berbentuk animasi, misalnya dengan menampilkan
unsur-unsur seni, benda hasil kebudayaan, tumbuhan, dan binatang khas di daerah
Konawe.
Berdasarkan data hasil penelitian
menunjukkan bahwa Pembelajaran IPS Model Integras Nilai-nilai Karakter
Kalosara, belum dipahami secara lebih mendalam oleh guru, karena mereka masih
memandang perlunya dilakukan evaluasi tertulis, sementara domain aspek nilai
berada pada ranah afektif. Secara teoretis ranah afektif lebih tepat dievaluasi
melalui pengamatan unjuk kerja atau wawancara.
Umumnya subjek menyatakan setuju
mengintegrasikan nilai-nilai Budaya Tolaki dalam pembelajaran IPS, tetapi satu
orang menyatakan tidak setuju dengan alasan bahwa sesuatu yang ada berarti
sudah kesepakatan bersama dari tokoh masyarakat tersebut. Namun dalam diskusi
dengan tokoh masyarakat bersama guru semua menyambut baik upaya pengintegrasian
nilai-nilai budaya dalam pembelajaran di sekolah.
Tabel
2
Alasan Kesiapan Guru Mengintegrasikan
Nilai-nilai Budaya Tolaki dalam Pembelajaran IPS
No
|
Indikator/Tanggapan Guru
|
%
|
Ket
|
1
|
Pelestarian nilai budaya
|
40
|
|
2
|
Proses
pembelajaran IPS banyak membahas interaksi sosial dan transformasi budaya
|
10
|
|
3
|
Agar
ada alat ukur pencapaian nilai-nilai karakter dari budaya Tolaki
|
10
|
|
4
|
Memperluas
wawasan siswa tidak hanya nasional dan internasional, tetapi juga budaya
lokal yang ada di sekitar siswa
|
20
|
|
5
|
Nilai-nilai
Budaya Tolaki relevan dengan materi pembelajaran IPS
|
20
|
|
6
|
Membiasakan
siswa untuk lebih mencintai budayanya
|
40
|
|
7
|
Menambah
referensi budaya nasional yang berasal dari budaya daerah
|
20
|
|
Terdapat 2 alasan kesiapan guru
mengintegrasikan nilai-nilai Budaya Tolaki dalam Pembelajaran IPS, secara
persentase, masing-masing: sebanyak 40% menyatakan alasan untuk pelestarian
budaya 40% menyatakan untuk membiasakan siswa lebih mencintai budayanya,
sebanyak 20% menyatakan nilai-nilai Budaya Tolaki relevan dengan materi
pembelajaran IPS, 20% menyatakan
menambah referensi budaya nasional yang berasal dari budaya daerah, 20%
menyatakan memperluas wawasan siswa tidak hanya nasional dan internasional,
tetapi juga budaya lokal yang ada di sekitar siswa, sedangkan karena alasan
Proses pembelajaran IPS banyak membahas interaksi sosial dan transformasi
budaya, Agar ada alat ukur pencapaian nilai-nilai karakter dari budaya Tolaki
masing-masing 10%. Temuan ini sesuai dengan pendapat Anwar, dkk (2015)
yang menempatkan kalosara sebagai media etnopedagogi dalam pengembangan
karakter remaja.
Tabel 3
Saran Guru terhadap Penerapan Model
Integrasi Nilai-Nilai Karakter dari Budaya Tolaki dalam Pembelajaran IPS
No
|
Indikator/Tanggapan Guru
|
Subjek
|
|
Ket
|
|
F
|
%
|
||||
1
|
Nilai
karakter dari Budaya Tolaki perlu diterapkan di sekolah untuk memberi wawasan
siswa
|
2
|
30
|
|
|
2
|
Terlebih
dahulu memastikan bahwa guru-guru sudah memiliki pengetahuan tentang Budaya
Tolaki
|
1
|
10
|
|
|
3
|
Memperbanyak
literatur tentang Budaya Tolaki
|
6
|
60
|
|
|
4
|
Pelibatan
guru dalam Seminar Budaya Lokal/Tolaki
|
1
|
10
|
|
|
5
|
Guru
memperbanyak tugas kepada siswa, agar orang tua terdorong unuk mempelajari
Budaya Tolaki
|
1
|
10
|
|
|
6
|
Untuk
melestarikan dan mewariskan Budaya Tolaki kepada Guru dan generasi muda
|
1
|
10
|
|
|
7
|
Perlu
penggunaan kosa kata yang baik dan benar
|
1
|
10
|
|
|
8
|
Sumber
informasi harus valid
|
1
|
10
|
|
|
9
|
Diaplikasikan
pada kurikulum sebagai satu mata pelajaran
|
1
|
10
|
|
|
10
|
Diskusi
secara terbuka
|
1
|
10
|
|
|
11
|
Penerapan
model ini lebih konkrit
|
1
|
10
|
|
|
12
|
Harus
disiapkan pedoman khusus
|
1
|
10
|
|
|
Saran guru terhadap penerapan
model integrasi nilai-nilai karakter dari Budaya Tolaki dalam Pembelajaran IPS
ada 12 poin, diantaranya 40% menyatakan perlu memperbanyak literatur tentang
Budaya Tolaki, sebanyak 20% menyatakan
bahwa nilai karakter dari Budaya Tolaki perlu diterapkan di sekolah
untuk memberi wawasan siswa. Hal ini sejalan pandangan Hafid
(2012) yang menyatakan bahwa Kalosara sebagai instrument utama dalam kehidupan
sosil budaya Suku Tolaki. Selain itu terdapat saran (1) Terlebih
dahulu memastikan bahwa guru-guru sudah memiliki pengetahuan tentang Budaya
Tolaki, (2) Pelibatan guru dalam Seminar Budaya Lokal/Tolaki, (3) Guru
memperbanyak tugas kepada siswa, agar orang tua terdorong unuk mempelajari
Budaya Tolaki, (4) Untuk melestarikan
dan mewariskan Budaya Tolaki kepada Guru dan generasi muda, (5) Perlu
penggunaan kosa kata yang baik dan benar, (6) Sumber informasi harus valid, (7)
Diaplikasikan pada kurikulum sebagai satu mata pelajaran, (8) Diskusi secara
terbuka, (9) Penerapan model ini lebih konkrit, (10) Harus disiapkan pedoman
khusus.
F. Penutup
Hasil penelitian ini berhasil mengidentifikasi 75 jenis budaya lokal yang
diintegrasikan dalam 18 jenis karakter positif yang dapat dikembangkan melalui integrasi dalam pembelajaran IPS di SMP,
Strategi pengembangan dilakukan dalam bentuk integrasi
pada setiap tema dan sub-tema dalam
Silabus Mata Pelajaran IPS, setiap sum tema minimal satu jenis karakter yang
dikembangkan dari nilai-nilai budaya yang dioperasionalisasi
dalam kehidupan masyarakat Tolaki. Pengembangan karakter positf remaja melalui integrasi pembelajaran IPS di
SMP dikembangkan melalui metode pembelajaran: tugas, karyawisata, diskusi,
dan tanya jawab.
DAFTAR
PUSTAKA
Anas, Zulfikri.
2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kemendiknas.
Anwar;
Amiruddin; Suardika, I Ketut; Sartono; Peribadi. 2015c. An Analysis of Kalosara Function as Ethnopedagogic
Media in Nation Character-Building in South East Sulawesi. In International Research Journal of
Emerging Trends in Multidisciplinary.
Volume 1, Issue9 November
2015.
Anwar; Mursidin T; Suleiman, Abdul Rauf; dan Baenawi La Ode. 2017. Revitalisasi Kalosara sebagai Media Etnopedagogi dalam Pengembangan
Karakter Positif Remaja (SMP) di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Kendari: Hasil Penelitian Kerja
Sama Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Halu Oleo
dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Konawe.
Asban. 2016. Penerapan
Metode Diskusi dengan Menggunakan Tradisi Lisan Dalam Mengembangkan Karakter
Positif Siswa pada Pembelajaran Sejarah SMAN 03 Bombana. Kendari: Program
Pascasarjana Universitas Halu Oleo.
Edwards, Nancy Tanner.. 2012. Integrating Content and
Pedagogy: A Cultural Journey. In Action in Teacher Education. Volume 19,
Issue 2,
2012.
Ernest, John. 1992.
From Mysteries to Histories: Cultural
Pedagogy in Frances E. W. Harper's Iola Leroy. In American Literature. Vol. 64, No.
3 (Sep., 1992), pp. 497-518
Hafid,
Anwar. 2012. Kalosara Sebagai Instrumen
Utama Dalam Kehidupan Sosial Budaya Suku
Tolaki di Sulawesi Tenggara. Makalah Disajikan dalam Prakongres Kebudayaan Indonesia di Jakarta, Tanggal
27-29 November 2012.
Hafid, Anwar. 2013. Konflik
Sara di Wilayah Pertambangan (Kasus Sulawesi
Tenggara). Makalah Disajikan
Dalam Kongres Kebudayaan Indonesia di
Yogyakarta, Tanggal 8-11 Oktober 2013.
Klara, Kozhakhmetova,
Ortayev Baktiyar, Kaliyeva Sandygul, Utaliyeva Raikhan, Jonissova Gulzhiyan.
2015. Ethnic Pedagogy as an Integrative, Developing Branch of Pedagogy. In Mediterranean Journal of Social Sciences. Vol 6 No 1
S1, January 2015.
Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. Nomor 79 Tahun 2014. Tentang Muatan
Lokal Kurikulum 2013.
Jakarta: Kemendikbud.
Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. Nomor 20 Tahun 2016. Tentang Standar Kompetensi
Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:
Kemendikbud.
Su’ud, Muslimin, 2012. Kompilasi
Hukum Adat Perkawinan di Sulawesi Tenggara. Kendari: HISPISI
Cabang Sultra.
Tamburaka, Rustam E. 2004. Sejarah Sulawesi Tenggara dan
40 Tahun Sultra Membangun. Kendari: Unhalu Press.
Tarimana, Abdurrauf. 1989. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai
Pustaka.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta.
PENGEMBANGAN
MODEL PEMBEJARAN IPS YANG MENGINTEGRASIKAN BUDAYA LOKAL
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.
Makalah
Disajikan pada Seminar
Nasional diselenggarakan
oleh Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Indonesia (IKAHIMSA) bekerja sama dengan Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Universitas
Halu Oleo,
di
Hotel Claro Kendari, 28 September 2019
PANITIA PELAKSANA
IKAHIMSA
2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar