Minggu, 28 Juni 2020

PENGEMBANGAN MODEL PEMBEJARAN IPS YANG MENGINTEGRASIKAN BUDAYA LOKAL


PENGEMBANGAN MODEL PEMBEJARAN IPS YANG MENGINTEGRASIKAN BUDAYA LOKAL
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.

Abstrak
Kalosara  bagi Suku Tolaki adalah fokus yang dapat mengintegrasikan unsur-unsur yang ada dalam kebudayaan Tolaki. Untuk itu, dalam penelitian ini semua nilai karakter yang dikembangkan dari Budaya Tolaki, disebut sebagai nilai karakter dari Kalosara.  Nilai-nilai tersebut merupakan saripati dari budaya Tolaki yang berhasil diidentifikasi dari hasil penelitian, terdiri atas 75 jenis budaya lokal yang diintegrasikan dalam 18 jenis karakter positif yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran IPS di SMP, Strategi pengembangan model pembelajaran IPS yang mengitegrasikan budaya local, dilakukan integrasi dalam setiap tema dan sum tema dalam Silabus Mata Pelajaran IPS, setiap subtema minimal satu jenis karakter yang dikembangkan dari nilai-nilai budaya yang merupakan operasionalisasi Kalosara dalam kehidupan masyarakat Tolaki. Pengembangan model pembelajaran IPS melalui integrasi budaya local dapat pengembangan karakter positf remaja, sedangkan metode pembelajaran yang dapat dikembangka adalah tugas, karyawisata, diskusi, dan tanya jawab.

A.  Pendahuluan
Suku Tolaki telah lama mendiami dataran tenggara Pulau Sulawesi. Suku ini menyebar di tujuh wilayah yang cukup luas yakni: Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe  Selatan, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Kolaka Utara, dan Kabupaten Kolaka Timur. Persebaran Suku Tolaki ini membawa serta pranata-pranata sosial, politik, ekonomi dan sosial budayanya, yang kemudian tersimpul dalam isntrumen adat kalosara.
Secara harfiah, kalosara terdiri atas dua kata, yaitu: kalo berarti seutas rotan dengan tiga lilitan yang melingkar; dan sara berarti adat, aturan, simbol hukum. Sebagai benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan, dan ada juga yang terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan sebagainya (Tarimana, 1989).
Kalosara terdiri atas 3 bagian, yaitu: Pertama, kalo, berupa lingkaran yang berbahan rotan kecil yang bulat berwarna krem tua yang dipilin, kedua ujung rotan disatukan dalam satu simpul ikatan. Lingkaran memiliki makna sebagai pencerminan jiwa persatuan dan kesatuan dari 3 unsur dalam sebuah kerajaan atau pemerintahan, yaitu: (a) Unsur pimpinan (mokole/penguasa), (b) Unsur pelaksana atau penyelenggara kekuasaan (pejabat, pemangku adat, perangkat lembaga adat), (c) Unsur kedaulatan rakyat, yang merupakan refleksi dari jiwa falsafah demokrasi Masyarakat Tolaki yang berjiwa Ketuhanan.
Pernyataan tersebut diperkuat tokoh masyarakat Tolaki yang menyatakan bahwa Kalosara terdiri atas 3 bagian, yaitu: (1) unsur Ketuhanan, (2) unsur pemerintah, dan (3) unsur budaya/masyarakat. Seorang pemimpin dalam masyarakat Tolaki (Mokole, Puutobu) harus memegang falsafah pemerintahan Mandara osara, nota’u pamarendan (cerdas adat, pandai memerintah) (Hafid, 2017).
Kedua, kain putih sebagai pengalas kalosara, memiliki makna sebagai symbol kejujuran, kesucian, keadilan, da kebenaran. Ketiga, siwoleuwa, yaitu wadah yang berbentuk segi empat yang terbuat dari anyaman daun onaha (palem rawa) atau daun sorume (angrek hutan), memiliki symbol sebagai pencerminan dari jiwa kerakyatan, keadilan social, dan kesejahteraan umum bagi seluruh warga Masyarakat Tolaki (Su’ud, 2012).
Ketiga wadah ini, jika berdiri sendiri tidak memiliki arti dan fungsi adat, kecuali ketiganya menyatu dalam suatu tatanan dengan struktur sebagai wadah pengalas paling bawah berupa simoleuwa, kemudian dilapisi di atasnya dengan kain putih, dan di atas kedua wadah ini diletakkan kalo.
Terdapat 3 versi tentang jensi Kalosara. Versi pertama membagi Kalosara terdiri atas dua jenis, yaitu: (1) Kalosara Sapu Ulu,  yaitu Kalosara dengan besar lingkarannya seukuran kepala orang dewasa atau sekitar 40 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk golongan masyarakat menengah ke bawah atau sekarang setingkat camat ke bawah atau sering pula disebut Meula Nebose, (2) Kalosara Sapu Bose, yaitu Kalosara dengan besar lingkarannya seukuran bahu orang dewasa atau sekitar 45 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk golongan masyarakat tertentu, seperti: Raja/Pejabat, orang penting, tokoh adat, dan tokoh masyarakat atau sekarang setingkat Bupati ke atas atau sering pula disebut Tehau Bose (Tamburaka, 2004).
Versi kedua membagi Kalosara  terdiri atas tiga jensi, yaitu: (1) Kalosara Sapu Olutu, yaitu kalosara yang dengan besar lingkarannya seukuran lutut,  (2) Kalosara Sapu Ulu,  yaitu Kalosara dengan besar lingkarannya seukuran kepala orang dewasa atau sekitar 25 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk golongan masyarakat menengah ke bawah atau sekarang setingkat camat ke bawah atau sering pula disebut Meula Nebose, (3) Kalosara Sapu Bose, yaitu Kalosara dengan besar lingkarannya seukuran bahu orang dewasa atau sekitar 45 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk golongan masyarakat tertentu, seperti: Raja/Pejabat, orang penting, tokoh adat, dan tokoh masyarakat atau sekarang setingkat Bupati ke atas atau sering pula disebut Tehau Bose (Hafid, 2017).
Versi ketiga membagi Kalosara  terdiri atas empat jenis, yaitu: (1) Kalosara Sapu Ulu, pengunaan Kalosara Sapu Ulu adalah dalam bentuk penyelesaian sengketa, Contoh dalam perkawinan, perkelahian, pembagian warisan, kematian (Meolowani), (2) Kalosaraa Sapu Bose, jenis Kalosara  yang di gunakan khusus untuk Mondotambe (penyambutan) pada tamu pembesar (Pemerintah), (3) Kalosara Sapu Olutu (kalo sebesar lingkaran lutut), jenis Kalosara yang di gunakan pada zaman kerajaan (Pemerintah Swrapraja dan orang-orang yang mengabdi kepada bangsawan (Anakia) untuk membayar Pe’ombu  (pajak/upeti) atau Moawo Pe’ombu (menyerahkan upeti) istilah dumodangga olutu aki tepetangganako, dan (4) Kalosara Sapu Hiku (kalo sebesar lingkaran siku). Kalo jenis ini digunakan oleh para orang-orang pengabdi kepada Anakia dan Mokole untuk menebus kesalahannya yang di sebut Mekindoma Sanggidi, sehingga ada istilah dumedepe sanggidi sumeseru mbopo artinya terhuyung-huyung dan merangkat dalam menjalankan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepada seorang budak, sehingga tak luput dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan  Artinya seorang budak  yang melakukan kesalahan akan mendapat hukuman dari tuanya, maka untuk memohon pengampunan ia datang membawakan Kalosara sebesar siku orang dewasa (Hafid, 2017).
Terdapat dua model ikatan ujung kalo. Model pertama, jika sesudah pertautan pada simpul satunya keluar ujungnya menonjol, sedangkan yang dua ujungnya dari arah kiri tersembunyi, maka model kalo ini diperuntukkan pada kegiatan perkawinan. Adapun makna yang menonjol pada ujung rotan sebagai penghargaan kepada pihak penerima, sedangkan yang tersembunyi bermakna merendahkan diri bagi pihak pemberi.
 Model kedua, jika kedua ujung simpul rotan hingga membentuk angka delapan, maka Kalosara jenis ini diperuntukkan khusus kegiatan upacara adat Mosehe,  dalam konteks ini seperti penyelesaian sengketa, perselisihan dan lain-lain atau kalosara dalam pengertian yang luas (Tamburaka, 2015). Lebih jauh Hafid (2013) menawarkan kalosara sebagai media penyelesaian dalam konflik sara di wilayah pertambangan.     
Menurut Tarimana (1989) kalosara bagi Suku Tolaki adalah fokus yang dapat mengintegrasikan unsur-unsur yang ada dalam kebudayaan Tolaki. Untuk itu, dalam penelitian ini semua nilai karakter yang dikembangkan dari Budaya Tolaki, disebut sebagai nilai karakter dari Kalosara.  Nilai-nilai tersebut merupakan saripati dari budaya Tolaki yang berhasil diidentifikasi dari hasil penelitian, terdiri atas 75. Dari jumlah nilai tersebut tersebar pada 18 nilai karakter masing-masing: Nilai Religius 1 karakter, nilai jujur 5 karakter,  nilai toleransi 3 karakter, nilai disiplin 2 karakter, nilai kerja keras 5 karakter, nilai kreatif 9 karakter, nilai mandiri 5 karakter, nilai demokratis 5 karakter, nilai rasa ingin tahu 2 karakter, nilai semangat kebangsaan 5 karakter, nilai cinta tanah air 3 karakter, nilai menghargai prestasi 3 karakter, nilai bersahabat/komunikatif 2 karakter, nilai cinta damai 1 karakter, nilai gemar membaca 2 karakter, nilai peduli lingkungan 4 karakter, nilai peduli sosial 9 karakter, dan nilai tanggung jawab 6 karakter.

B. Nilai Karakter dalam Budaya Lokal yang Dapat Diintegrasikan dalam Pembelajaran
No
Nilai
Budaya Lokal
Keterangan
1
Religius
Ate pute penao moroha
Kesucian dan keadilan


Inaenae Mokora Kasuwia, Ieeto Toono Madupa Oleo Perombui
Bagi orang yang kuat menyembah kepada Tuhan, ialah yang mujur pada hari kemudian.
2
Jujur
Anipali
batas antara dua lahan kebun yang merupakan hak adat dalam pembukaan hutan untuk perladangan


Toro, Ano Laanggi Tanduando, Iamo Totewali Ohuni
Setiap orang dalam mengarungi kehidupan, harus memiliki prinsip, agar tidak dipermainkan oleh orang lain


Iamo Uposule Osara
Jangan memutar balikkan fakta kebenaran


Panggulasi
Pantangan, yaitu orang yang memiliki sifat dan kebiasaan tercelah, susah mendapatkan jodoh sebagai pasangan hidupnya


Lako ndawa bite mowatu
Sesuatu yang sia-sia. Misalnya seseorang menitip sumbangannya kepada orang lain untuk disampaikan kepada pihak yang mengundangnya, tetapi tidak disampaikan kepada yang berhak. Sebaliknya kejujuran adalah permata kepercayaan
3
Toleransi
·        Mombekapona-pona’ako,
·        Membeka rorondo ako
Saling hormat-menghormati
saling percaya-mempercayai


Membeka para-parasaeya ako
saling percaya-mempercayai


Te’oha’oha
Kurang ajar. Orang yang tidak punya etika dan sopan santun
4
Disiplin
Inae Konasara ie pinesara, Inae liasara iee pinekasara
siapa yang menghormati adat ia akan dihormati, siapa yang melanggar adat ia akan dikasari


·        Mete watu   
·        O’liwi
Mengikut/disiplin
Seperangkat pesan, nasihat dan petunjuk hidup yang ditinggalkan/diwasiatkan seseorang untuk diikuti oleh anak cucu
5
Kerja Keras
Meindio aso oleo/Mowutu Oleo
bekerja sepanjang hari


Mekindohosi
Kerja setengah hari


Walaka
Hamparan luas tempat peternakan kerbau


Tewali Pu’uno Okasu. Au Motende
Jadi pemimpin harus tangguh


Ta’a bunggu
Persiapan. Orang yang bijak adalah yang pandai menyisihkan uang/ barang, persiapan untuk masa depan
6
Kreatif
Morini mbu’umbundi monapa mbu’undawaro
Sedingin pohon pisang sesejuk pohon sagu/kemakmuran dan kesejahteraan


·      Anahoma 
·      Mombe Oha
·      Mombe Sanggari/membe kangari/mombe kahari 
Bekas ladang dari orang tua.
Permohonan izin untuk memberi penghormatan kepada yang dituakan.


Kohanu
Budaya malu atau merupakan sistem pertahanan moral bagi diri sendiri


·      Monahu nda’u
·      Mombaka o ala
·      Upacara syukuran hasil panen
·      Ritual memasukkan padi di lumbung, Dewasa ini dikembangkan dalam sistem penanaman padi, merica, dan kopi


Kawasa  
Sejahtera/kaya


Mekai-kai nggae
bergandengan tangan untuk menyatukan pendapat, pikiran, dan tenaga dalam memajukan negara


Lombawuta
upacara setiap Tobu mengumumkan perlunya kita menanm padi atau tidak menanam padi pada tahun itu


Mombaka o ala
ritual memasukkan padi di lumbung


Mororako otu’o
Sangat kesusahan makanan. Orang miskin belum tentu ia susah, hanya selalu kekurangan. Tetapi orang susah adalah orang yang selalu menderita karena ketiadaan. Kemalasan dan kebodohan mendatangkan malapetaka
7
Mandiri
O’wua/Pesuri/Pariama
seperangkat aturan/ketentuan hukum yang mengatur tata-cara bercocok tanam, merambah hutan, menanam padi, dan aturan-aturan ini harus ditaati oleh semua Suku Tolaki termasuk Penguasa/Raja


Lako Meronga-ronga
Jalan bersama-sama untuk membangun negeri menjadi maju


Toono Ehe Sumile, Mbuoki Kohanuno
Seseorang penjilat tidak punya harga diri


Marasai sanaa, masusa masagena
. Artinya: Miskin tetapi senang, susah tetapi berkecukupan. Hidupnya sederhana dan tetap memelihara harga diri


Mekiki ine samba mate
Teguh dalam pendirian. Memiliki semangat yang besar, dengan penuh kegigihan dan tangguh dalam perjuangan, karena adanya prinsip/pendirian yang dimiliki
8
Demokrasi
Mombule sako toono
pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial


o’lawi
Seperangkat aturan dasar tentang pemberian upah, imbalan jasa


Ogadi
pembagian kerja dari seorang majikan pemilik kebun padi atau pemilik pohon sagu, atau pemilik pohon buah-buahan yang di­dikerjakan oleh seseorang atau beberapa orang pekerja upahan (toono mehawe, pasaku, pa mone dan lain-lain) dengan upah atau bagian-bagian tertentu


Baa’asi tudu’uha
Selalu merendahkan diri demi membentengi kemampuannya


Moowai kohanu
Berbuat malu, yaitu sifat tenggang rasa dan tidak mau menang sendiri
9
Rasa Ingin Tahu
Peposu ine samba nggare
Tidak punya pikiran cerdas atau ia bodoh dan apatis


Sikolanggukaa taa nio, mano ponga-lamanggu ladioi/meitai
Pendidikan kurang, tetapi pengalaman banyak. Orang berpengalaman sudah pasti pernah berbuat, sehingga pengalaman merupakan guru besar dalam kehidupan
10
Semangat Kebangsaan
Inea Sinumo Wuta Mbinotiso
Orang berpengalaman sudah pasti pernah berbuat, sehingga pengalaman merupakan guru besar dalam kehidupan


Wonua Nire- Ree
negeri yang dibanggakan atau dipuji


Keno Tabuluto Teboto Patudu, Medulu Une-Une; Labira’i Mate Menggookoro, Ano Amba Monduka Bunggu
Kalau tekad sudah bulat, menyatu dengan semangat yang membara; Lebih baik mati berdiri, dari pada melangkah mundur


Mobelebele Wuta’aha, Mokila-nggila Lahuwene; Keno Tabuluto Tebue Okare, Mbuoto Tewaheno Inanggare
Walau bumi bergoncang, petir sambar menyambar, Sekali langkah terdorong, pantang surut kembali


Morata
Menyatukan kekuatan.  Betapapun berat dan sulitnya menarik balok (kayu) dari hutan, kalau bersama-sama banyak orang dan menyatukan kekuatan pada satu gerakan, maka sekali ditarik balok langsung meluncur sendiri hingga ke pinggiran sungai.
11
Cinta Tanah Air
Taa ehe tinua-tuay
Ni-are-are
Ajakan untuk selalu merasa bangga karena menjadi bagian dari Masyarakat Tolaki


Keu Lako Mesuere Wonua, Iamo Ukolupe’i Wuta Tepea’ano Ulumu
Kalau merantau jangan lupa tanah tumpah darahnya


Rumorondo’i Wonua, Tumotondo’i Lipu
Mencintai negeri, mempertahankan wilayah.
12
Menghargai Prestasi
Tumotopa rarai
Suasana kegembiraan yang diliputi dengan suara tawa, dan tepuk tangan yang meriah


Inae Taa Karitutu Sikola, Ieto Toono Nggo Meopurihi’une Oleo Perombui
Orang yang malas bersekolah, akan menyesal dikemudian hari.


Uu’uuno Hina Nggaunggau Oleo, Haka Melenggelengge Keto Metonduwako, Haka Metonduwako Keto Melengge-Lengge
Pemimpin bisa menjadi yang dipimpin dan yang dipimpin bisa menjadi pemimpin
13
Bersahabat
mebanggona dan Meronga-ronga
Persahabatan dan bersama-sama


Makekela
Berakal bulus, karena punya keinginan yang besar untuk bisa memiliki sesuatu yang tidak dimiliki, sehingga berbagai cara dihalalkan dalam upaya mengakali milik orang lain untuk dimilikinya
14
Cinta Damai

Pelanggu’ako Osipi Isue Kiniwia Mo’oruoru, Tano Onggo Teposinggalako Mata Puteh Ano Mata Me’eto
Walau berselisih pada pagi hari, bertengkar pada sore hari, hubungan persaudaraan tak akan terputus. Laksana mencencang air, tak akan putus
15
Gemar Membaca
Kilala atau bilangari/meowula
Ilmu perbintangan


Metauggawe
Ilmu perbintangan (meteorologi dan geofisika). Masyarakat Tolaki sudah memiliki ilmu pengetahuan mengenai keadaan alam semesta, musim hujan, musim panas, musim tanam, musim panen, dan waktu untuk memulai perdagangan
16
Peduli Lingkungan
Mooli
Upacara pemohonan izin kepada Yang maha Kuasa dalam rangka pembukaan lahan baru, pembukaan jalan baru


O’sapa
Aturan-aturan klasik turun-temurun yang mengatur hubungan hukum antara manusia dengan hewan


Pole’aa
Pemeliharaan hewan ternak seperti sapi, kerbau, jika dipotong, maka yang membongkar/bekerja menguliti kerbau yang telah dipotong


Mosehe Wonua
Upacara selamatan negeri
17
Peduli Sosial
Meteo alo
Bantu-membantu


Samaturu
Mengutamakan hidup untuk selalu menjalin persatuan, suka menolong orang lain gotong royong


Mombekamei-meiri’ako
Saling kasih-mengasihi


Medulu mepokoaso
Mengutamakan hidup untuk selalu menjalin persatuan, suka menolong orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan dengan senang hati


Osando Wonuwa
Dukun Kampung mengobati pasien berbasis etnomedis dengan memanfaatkan ramuan dari lingkuangan alam sekitar


Keu Ehe Mowate Osala, KeeMolua Peruku’amu
Orang yang suka membantu, akan luas perjalanannya


Wuakae Kioki Nopetundu
Jari tangan tidak sama panjang atau kita saling membantu dalam berbagai hal


Au kukuti’iki dowomu au amba kumukuti’i suere ndoono
Cubitlah dahulu dirimu, baru mencubit orang lain


Koinda mbenao
Utang budi harus dibayar dengan budi pula
18
Tanggung Jawab

Mesikola
Pergi bersekolah dalam rangka mengembangkan SDM


Taa Eheki Tewunggu’aro, Iamo U’ehe Mondarahi Osolo
Kalau tidak mau menemui kesulitan, jangan melawan atasan


Toono Taa Matandu Po’ia’ano, Notoro Hende Kawukawu Telaa
Orang yang tidak menentu tempat tinggalnya, laksana kapuk diterbangkan angin


Mbuoki tamono ari o’ana ronga ari anamotuo
Tidak ada istilah bekas anak dan bekas orang tua


Turu parenda
Turut perintah. Orang tersebut sangat disenangi dan selalu dipercaya

C.    Strategi Pengembangan Kalosara sebagai Media Etnopedagogik dalam Pengembangan Karakter Positif Remaja
Strategi pengembangan dilakukan melalui diskusi dengan Tokoh Masyarakat Tolaki dalam arti permohonan izin untuk melakukan operasionalisasi kalosara dalam konteks lebih luas dibanding selama ini. Para tokoh masyarakat menyambut baik dan menyatakan perlunya pewarisan nilai-nilai budaya kepada generasi muda, karena kalau tidak dilakukan sekarang akan hilang nilai-nilai luhur Masyarakat Tolaki. Pengembangan diartikan sebagai eksplorasi nilai-nilai yang ada dalam latar kalosara dengan tetap mempertahankan keaslian benda dan makna yang melekat padanya (Hafid, 2017).
Pengembangan dalam arti pembelajaran dalam lembaga pendidikan Formal karena menurut Mardin, S. Pd, M. Si.  Sebaga Kepala  SMP Negeri 2 Konawe menyatakan bahwa siswa kalau diberi Bahasa Tolaki banyak yang sudah tidak paham, sehingga perlu pembelajaran Bahasa Tolaki melalui penanaman nilai-nilai budaya leluhur.
Lebih jauh tentang perlunya pelestarian dan pengembangan Kalosara sebagai fokus Budaya Tolaki dikemukakan oleh Cecep Supria Yudowono, S. Pd. M. Pd. Sebagai Kepala SMP Negeri 1 Wawtobi menyatakan selain integrasi dalam pembelajaran nilai-nilai karakter dalam budaya Tolaki, juga pelu didokumentasikan dalam bentuk buku dan ditulis bersama antara praktisi pendidikan, budayawan dan akademisi, agar mudah didistribusi dan mudah diadopsi oleh perseta didik, sebab kalau tidak ada upaya penulisan lama-kelamaan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang ada pada masyarakat Tolaki akan hilang.
Secara empiris peserta didik di dua Sekolah subjek penelitian (SMP Negeri 1 Wawotobi dan SMP Negeri 2 Konawe), meskipun peserta didiknya dominan dari orang tua Suku Tolaki, tetapi terdapat beberapa siswa yang bukan Suku Tolaki, dan kedua kelompok siswa ini harus sama-sama perlu memahami nilai-nilai luhur yang ada dalam budaya Tolaki, karena dalam pergaulan sehari-hari anak harus memiliki dasar budaya luhur dari tempat dimana ia berada dan berkativitas sehari-hari. Kondisi tersebut penting, agar anak memiliki pijakan budaya santun dan disiplin dari sejak kecil, sehingga kelak akan terbawa-bawa dalam pergaulan menuju kehidupan yang lebih luas.
Upaya memudahkan integrasi nilai-nilai luhur yang berupa karakter positif dari Budaya Tolaki, maka setiap materi pokok yang ada dalam silabus dicari relevansinya dengan budaya Tolaki yang merupakan penjabaran dari kalosara, seperti diperikan berikut ini.

KELAS VII
Tema I             : Keadaan Alam Dan Aktivitas Penduduk Indonesia
Subtema A      : Letak Wilayah dan Pengaruhnya bagi Keadaan Alam Indonesia
Nilai                : Kreatif: yang diaplikasikan dalam tradisi Morini mbu’umbundi monapa mbu’undawaro (sedingin pohon pisang sesejuk pohon sagu/ kemakmuran dan kesejahteraan).
Subtema B      : Keadaan Alam Indonesia
Nilai                 : Peduli lingkungan: yang diaplikasikan dalam tradisi Mooli, yaitu upacara pemohonan izin kepada Yang maha Kuasa dalam rangka pembukaan lahan baru, pembukaan jalan baru.
Subtema C      : Kehidpan Sosial Masyarakat Indonesia pada masa Praaksara, Hindu Buddha,
                         dan Islam
Nilai                : Religius: yang diaplikasikan dalam tradisi ate pute penao moroha
                          (kesucian dan keadilan),
Nilai                : Demokratis: yang diaplikasikan dalam tradisi Ogadi pembagian kerja dari seorang majikan pemilik kebun padi atau pemilik pohon sagu, atau pemilik pohon buah-buahan yang di­dikerjakan oleh seseorang atau beberapa orang pekerja upahan (toono mehawe, pasaku, pa mone dan lain-lain) dengan upah atau bagian-bagian tertentu. Ketentuan pembagian tersebut harus dipatuhi dengan sa­dar oleh semua orang termasuk penguasa/mokole.
Tema 2            : Keadaan Penduduk Indonesia
Subtema A      : Asal Usul Penduduk Indonesia
Nilai             : Cinta Tanah Air: diaplikasikan dalam budaya Taa ehe tinua-tuay, dan  Ni-are-are merupakan ajakan untuk selalu merasa bangga karena menjadi bagian dari Masyarakat Tolaki.
Tema 2            : Keadaan Penduduk Indonesia
Subtema  B     : Karakteristik Penduduk Indonesia
Nilai                : Peduli Sosial: yang diaplikasikan dalam tradisi meteo alo (bantu-membantu).
Tema 2            : Keadaan Penduduk Indonesia
Subtema C    : Mobilitas Penduduk Antarwilayah di Indonesia dan Fasilitas Pendukungnya
Nilai                : Peduli Sosial: yang diaplikasikan dalam tradisi Samaturu, merupakan salah satu budaya yang mengutamakan hidup untuk selalu menjalin persatuan, suka menolong orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan dengan senang hati. Ini juga merupakan wujud dari gotong royong yang menjadi pandangan hidup utama dari Suku Tolaki
Tema 2            : Keadaan Penduduk Indonesia
Subtema D      : Pengertian dan Jenis Lembaga Sosial
Nilai                : Demokratis: yang diaplikasikan dalam sistem pemilihan Pangga sara/Putobu/Tolea, Kapala Kambo, dan Tolea/Pabitara.
Nilai                : Demokratis: yang diaplikasikan dalam ungkapan  Baa’asi tudu’uha. Artinya: Selalu merendahkan diri demi membentengi kemampuannya.
Tema 3            : Potensi dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Subtema A      : Pengertian dan Pengelompokkan Sumber Daya Alam
Nilai                : Mandiri: yang diaplikasikan dalam ungkapan  Marasai sanaa, masusa masagena. Artinya: Miskin tetapi senang, susah tetapi berkecukupan. Hidupnya sederhana dan tetap memelihara harga diri.
Tema 3            : Potensi dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Subtema B      : Potensi dan sebaran sumber daya  alam Indonesia
Nilai                 : Mandiri: yang dipalikasikan dalam budaya O’wua/Pesuri/Pariama (ilmu perbintangan) merupakan seperangkat aturan/ketentuan hukum yang mengatur tata-cara bercocok tanam, merambah hutan, menanam padi, dan aturan-aturan ini harus ditaati oleh semua Suku Tolaki termasuk Penguasa/Raja. Apabila dilanggar maka negeri/penduduk dapat menderita kekurangan pangan mengalami musim paceklik, ini suatu hal yang sangat ditakuti oleh Suku Tolaki.
Nilai                : Gemar Membaca: diaplikasikan sistem pengetahuan tradisi Metauggawe, ilmu perbintangan (meteorologi dan geofisika). Masyarakat Tolaki sudah memiliki ilmu pengetahuan mengenai keadaan alam semesta, musim hujan, musim panas, musim tanam, musim panen, dan waktu untuk memulai perdagangan.
Tema 3            : Potensi dan Pemanfaatan Sumber  Daya Alam
Subtema C      : Kegiatan ekonomi dan pemanfaatan
  Potensi  sumber daya alam
Nilai                : Kerja Keras: yang diaplikasikan dalam sistem Meindio aso oleo/Mowutu Oleo (bekerja sepanjang hari), dan sebagai asas distribusi barang-baranag kebutuhan.
Nilai                  : Rasa Ingin Tahu: yang diaplikasikan dalam ungkapan  Peposu ine samba nggare. Artinya: Tidak punya pikiran cerdas atau ia bodoh dan apatis (masa bodoh).
Tema 4            : Dinamika Interaksi Manusia
Subtema A      : Dinamika Interaksi Manusia dengan  Lingkungan
Nilai                : Peduli Lingkungan: diaplikasikan dalam budaya o’sapa ialah semacam aturan-aturan klasik turun-temurun yang mengatur hubungan hukum antara manusia dengan hewan.
Tema 4            : Dinamika Interaksi Manusia
Subtema B      : Saling Keterkaitan antar kelompok Lingkungan
Nilai                : Peduli Lingkungan: yang diaplikasikan dalam konsep Pole’aa, yaitu pemeliharaan hewan ternak seperti sapi, kerbau, jika dipotong, maka yang membongkarbekerja menguliti kerbau yang telah dipotong dapat bagian disebut.
Tema 4            : Dinamika Interaksi Manusia
Subtema C      : Interaksi Manusia dengan Lingkungan Alam, Sosial, Budaya dan Ekonomi
Nilai                : Peduli Lingkungan: yang diaplikasikan dalam tradisi Mosehe Wonua, upacara selamatan negeri 
Tema 4            : Dinamika Interaksi Manusia
Subtema D      :Keragaman Sosial Budaya sebagai  Hasil Dinamika Interaksi Manusia
Nilai                : Jujur: diaplikasikan dalam tradisi Anipali yaitu batas antara dua lahan kebun yang merupakan hak adat dalam pembukaan hutan untuk perladangan.
Nilai                : Gemar Membaca: diaplikasikan sistem pengetahuan, dalam hubungannya dengan alam semesta, penemuan ilmu perbintangan/ilmu falak dalam bentuk Kilala atau bilangari/meowula yaitu berupa ilmu perbintangan .
Tema 4            : Dinamika Interaksi Manusia
Subtema E       : Hasil kebudayaan Masyarakat pada  masa Lalu
Nilai                : Toleransi: yang diaplikasikan dalam tradisi mombekapona-pona’ako (saling hormat-menghormati), dan Mombeka rorondo ako (saling percaya-mempercayai)
Strategi integrasi nilai-nilai karakter dari kearifan lokal Kalosara dalam pembelajaran, merupakan suatu hal yang memperkaya materi guru, sekaligus memudahkan guru untuk menerapkan pembelajaran kontekstual. Temuan penelitian ini sesuai temuan penelitian Maryam (2015: 59) yang menyatakan bahwa penggunaan tradisi lisan dalam pembelajaran pada mata pelajaran IPS dapat meningkatkan aktivitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa, serta dapat meningkatkan karakter positif siswa. Manfaat positif  lainya yang dapat diperoleh siswa adalah mengembangkan sikap disiplin, saling menghargai, demokrasi dan tanggung jawab dalam diri siswa, membentuk jiwa kreativitas, kritis dan inovatif siswa, memudahkan guru dalam mengontrol pelaksanaan pembelajaran, serta bagi siswa merupakan proses latihan dalam meluangkan ide dan memberikan pemahaman kepada rekan-rekannya yang tentunya akan membentuk cara berkomunikasi yang positif di masa yang akan datang.
Hasil refleksi dan evaluasi dari penelitian Asban (2016) menyatakan bahwa penerapan tradisi lisan dalam pembelajaran pada Mata Pelajaran Sejarah dapat meningkatkan keefektifan mengajar guru dan aktifitas belajar siswa, serta dapat meningkatkan karakter positif siswa.
Fenomena tersebut didukung pernyataan Anas (2011: 2) bahwa pendidikan karakter bertujuan meningkatkan mutu penyelenggaran dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak peserta didik secara utuh, terpadu dan berkesinambungan.
Temuan penelitian ini, juga sejalan dengan diamanat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Sesuai amanat dalam tujuan pendidikan nasional tersebut, satuan pendidikan lebih banyak berfokus pada pengembangan potensi peserta didik yang berkaitan dengan karakter. Ini membuktikan bahwa proses pendidikan harus berorientasi pada aspek tingkah laku atau afektif. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan tidak hanya membentuk manusia Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter dan berakhlak mulia. Sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernapas pada nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

D.  Metode Integrasi Budaya Lokal Dalam Pembelajaran IPS di SMP
Metode integrasi nilai-nilai Kalosara  dalam pembelajaran IPS di SMP dalam bentuk perumusan secara bersama antara tim peneliti dengan guru IPS di SMP sebagai subjek penelitian. Para guru disajikan ringkasan materi awal tentang nilai-nilai karakter yang dapat diaplikasikan dalam bentuk operasionalisasi kalosara.
Ada dua komponen yang dikembangkan oleh guru, yaitu: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan bahan belajar. Muatan lokal sesuai Pasal 4 Permendikbud No. 79 2014, menyatakan bahwa:
1.    Muatan lokal dapat berupa antara lain: (1) Seni budaya, (2) Prakarya, (3) Pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan, dan (4) Bahasa.
2.    Muatan pembelajaran terkait muatan lokal berupa bahan kajian terhadap keunggulan dan kearifan daerah tempat tinggalnya.
3.    Muatan pembelajaran terkait muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diintegrasikan antara lain dalam mata pelajaran seni budaya, prakarya, dan/atau pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan.
Pasal 5 Permendikbud No. 79 2014, menyatakan bahwa: Muatan lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dirumuskan dalam bentuk dokumen yang terdiri atas:
1.   kompetensi dasar;
2.   silabus; dan
3.   buku teks pelajaran.
Pasal 6 menyatakan bahwa muatan lokal dikembangkan dengan tahapan:
1.   analisis konteks lingkungan alam, sosial, dan/atau budaya;
2.   identifikasi muatan lokal;
3.   perumusan kompetensi dasar untuk setiap jenis muatan lokal;
4.   penentuan tingkat satuan pendidikan yang sesuai untuk setiap kompetensi dasar;
5.   pengintegrasian kompetensi dasar ke dalam muatan pembelajaran yang relevan;
6.   penetapan muatan lokal sebagai bagian dari muatan pembelajaran atau menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri;
7.   penyusunan silabus; dan
8.   penyusunan buku teks pelajaran.
Lebih lanjut Pasal 7 Permendikbud No. 79 2014, menyatakan bahwa:
a.    Satuan pendidikan dapat mengajukan usulan muatan lokal berdasarkan hasil analisis konteks sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan identifikasi muatan lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b kepada pemerintah kabupaten/kota.
b.    Pemerintah kabupaten/kota melakukan:
1)   analisis dan identifikasi terhadap usulan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
2)   perumusan kompetensi dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c; dan
3)   penentuan tingkat satuan pendidikan yang sesuai untuk setiap kompetensi dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d.
c.    Pemerintah kabupaten/kota menetapkan muatan lokal sebagai bagian dari muatan pembelajaran atau menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri.
d.   Pemerintah kabupaten/kota mengusulkan hasil penetapan muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pemerintah provinsi.
e.    Pemerintah provinsi menetapkan muatan lokal yang diusulkan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk diberlakukan di wilayahnya.
f.     Pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya merumuskan kompetensi dasar, penyusunan silabus, dan penyusunan buku teks pelajaran muatan lokal.
g.    Dalam hal satuan pendidikan tidak mengajukan usulan muatan lokal pemerintah daerah dapat menetapkan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
Mencermati jiwa Permen tersebut, maka dalam penelitian ini muatan lokal sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) diintegrasikan antara lain dalam mata pelajaran IPS. Muatan pembelajaran terkait muatan lokal berupa bahan kajian terhadap keunggulan dan kearifan lokal Daerah (Konawe) tempat tinggalnya (peserta didik anak remaja usia/siswa SMP). Operasionalisasi nilai-nilai Budaya Masyarakat Tolaki yang tersimpul dalam  Kalosara, merupakan bahan kajian terhadap kearifan lokal di Daerah Konawe.
Pemerintah menegaskan bahwa setiap lulusan satuan pendidikan dasar dan menengah memiliki kompetensi pada tiga dimensi yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan (Permendikbud  Nomor 20 Tahun 2016). Dalam dimensi sikap, kompetensi lulusan yang diharapkan untuk siswa SMP, yaitu: memiliki perilaku yang mencerminkan sikap:
a.    Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,
b.    Berkarakter, jujur, dan peduli,
c.    Bertanggungjawab,
d.   Pembelajar sejati sepanjang hayat, dan
e.    Sehat jasmani dan rohani sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, dan kawasan regional.
Dimensi pengetahuan, kompetensi lulusan yang diharapkan untuk siswa SMP, yaitu:  Memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif pada tingkat teknis dan spesifik sederhana berkenaan dengan:
1. Ilmu pengetahuan,
2. Teknologi,
3. Seni, dan
4. Budaya.
Siswa SMP diharapkan mampu mengaitkan pengetahuan di atas dalam konteks diri sendiri, keluarga, sekolah, masyarakat, lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, dan kawasan regional. Dalam dimensi keterampilan, kompetensi lulusan yang diharapkan untuk siswa SMP, memiliki keterampilan berpikir dan bertindak:
1.    Kreatif,
2.    Produktif,
3.    Kritis,
4.    Mandiri,
5.    Kolaboratif, dan
6.    Komunikatif
Melalui pendekatan ilmiah sesuai dengan yang dipelajari pada satuan pendidikan dan sumber lain secara mandiri. Ketiga dimenasi kompetensi yang diharapkan dari lulusan SMP tersirat dan tersurat dalam muatan lokal kalosara yang direvitalisasi dalam bentuk integrasi dalam pembelajaran IPS di SMP.
Metode integrasi dalam pembelajaran IPS di SMP mendapat tanggapan positif dari guru IPS SMP yang menjadi subjek penelitian. Proes perumusan model dan sosialisasi melibatkan tokoh masyarakat dan guru IPS SMP. Dari hasil rumusan sementara dilakukan lokakarya dengan para guru IPS 2 SMP (SMP Negeri 1 Wawotobi dan SMP Negeri 2 Konawe) dengan melibatkan 5 orang guru IPS atau serumpun dari masing-masing sekolah.
Berdasarkan tanggapan guru menunjukkan bahwa ada 8 kekuatan model  pengembangan integrasi nilai-nilai karakter dari budaya Tolaki ke dalam pembelajaran IPS di SMP, dan 3 diantaranya yang cukup menonjol menurut guru, yaitu: (1) Mengangkat budaya daerah menjadi budaya bangsa, (2) merupakan model scientific, dan (3) mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh siswa. Temuan penelitian ini sejalan dengan pengakuan negara terhadap 3 Budaya Tolaki yang telah diakui sebagai warisan budaya takbenda Indonesia melalui penetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yaitu: (1) Kalosara 2013, (2) Lulo 2014, dan (3) Mosehe 2014. Penetapan tiga warisan budaya tersebut, terkait dengan masih eksisnya di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu, bagi Masyarakat Tolaki dan Daerah Konawe, masih banyak menyimpan budaya takbenda dan budaya benda cagar budaya yang harus disosialisasikan dan dikembangkan agar dapat menjadi budaya nasional dan ke depan dapat diusulkan menjadi budaya dunia.
Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan penelitian Asban (2016) yang menyatakan bahwa siswa sangat antusias mengikuti pembelajaran sejarah yang diintegrasikan dengan muatan lokal dalam bentuk tradisi lisan.
Tabel 1
Kelemahan Model  Pengembangan Integrasi Nilai-Nilai Karakter dari Budaya Tolaki ke dalam Pembelajaran IPS di SMP
No
Indikator/Tanggapan Guru
%
Ket
1
Tidak tersedia buku sebagai bahan ajar
50

2
Kurangnya pengetahuan guru tentang Budaya Tolaki
30

3
Media pembelajarang masih kurang
10

4
Kurangnya pengetahuan awal siswa tentang Nilai Kalosara
40

5
Ketersediaan waktu terbatas
10

6
Penekanan orang tua pada ilmu eksakta
10


Tabel 1 tersebut memperingatkan kepada kita akan perlunya melakukan dokumentasi nilai-nilai budaya Tolaki, agar dapat menjadi bahan bacaan/bahan belajar bagi guru dan siswa. Dari hasil diskusi dan wawancara dengan guru dan tokoh masyarakat terungkap bahwa banyak guru yang kurang memahami nilai-nilai budaya Tolaki, sehingga sulit untuk mengintegrasikan dalam pembelajaran di sekolah. Dengan demikian, setelah pengadaan buku nilai-nilai budaya Tolaki, maka selanjutnya perlu dilakukan pelatihan kepada guru tentang budaya Tolaki, sehingga mereka siap untuk mengitegrasikan dalam pemebalajarannya, terutama guru IPS dan guru lain yang terkait materi pembelajaran tertentu dengan lingkungan alam dan sosial budaya Masyarakat Konawe.
Para guru sangat mendambakan bahan belajar berupa buku ajar dan buku teks yang memuat nilai karakter Budaya Tolaki, demikian pula media yang merupakan persentuhan antara media tradisional dan media modern dalam bentuk media audio visual berupa Vodeo kegiatan ritual. Guru semakin menyadari perlunya pembelajaran kontekstual yang berbasis lingkungan sosial dan alam siswa.
Data menyiratkan bahwa guru menyadari kelangkaan bahan belajar, sehingga  kondisi seperti ini sangat tepat digunakan metode yang melibatkan siswa secara aktif untuk menggali informasi baik secara individual maupun secara berkelompok. Tabel 4.5 tersebut menunjukkan bahwa 70% menyarankan penggunaan metode diskusi, dan 60%  guru menyarankan metode penugasan, temuan secara teoretis sangat tepat karena bahan belajar terdapat di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan alam sekitar siswa, sehingga melalui kedua metode ini siswa diajak untuk melakukan eksplorasi lingkungan dalam bantuk pemikiran kritis dan akan berdampak terhadap munculnya kepedulian lingkungan dan kepedulian sosial siswa.
Media yang tepat digunakan dalam pembelajaran model integrasi ini menurut subjek yaitu semua subjek menyatakan perlu menggunakan peta, ini dimaksudkan agar siswa memahami lingkungannya secara kontekstual, demikian pula media gambar atau foto, sehingga memudahkan siswa melihat objek yang dipalajari, ada juga guru memandang pelunya memanfaatkan benda asli pada situasi tertentu, dan juga perlunya menggunakan media power poin yang berbentuk animasi, misalnya dengan menampilkan unsur-unsur seni, benda hasil kebudayaan, tumbuhan, dan binatang khas di daerah Konawe.
Berdasarkan data hasil penelitian menunjukkan bahwa Pembelajaran IPS Model Integras Nilai-nilai Karakter Kalosara, belum dipahami secara lebih mendalam oleh guru, karena mereka masih memandang perlunya dilakukan evaluasi tertulis, sementara domain aspek nilai berada pada ranah afektif. Secara teoretis ranah afektif lebih tepat dievaluasi melalui pengamatan unjuk kerja atau wawancara.
Umumnya subjek menyatakan setuju mengintegrasikan nilai-nilai Budaya Tolaki dalam pembelajaran IPS, tetapi satu orang menyatakan tidak setuju dengan alasan bahwa sesuatu yang ada berarti sudah kesepakatan bersama dari tokoh masyarakat tersebut. Namun dalam diskusi dengan tokoh masyarakat bersama guru semua menyambut baik upaya pengintegrasian nilai-nilai budaya dalam pembelajaran di sekolah.
                                                                        Tabel 2                    
Alasan Kesiapan Guru Mengintegrasikan Nilai-nilai Budaya Tolaki dalam Pembelajaran IPS
No
Indikator/Tanggapan Guru
%
Ket
1
Pelestarian nilai budaya                                                       
40

2
Proses pembelajaran IPS banyak membahas interaksi sosial dan transformasi budaya
10

3
Agar ada alat ukur pencapaian nilai-nilai karakter dari budaya Tolaki
10

4
Memperluas wawasan siswa tidak hanya nasional dan internasional, tetapi juga budaya lokal yang ada di sekitar siswa
20

5
Nilai-nilai Budaya Tolaki relevan dengan materi pembelajaran IPS
20

6
Membiasakan siswa untuk lebih mencintai budayanya
40

7
Menambah referensi budaya nasional yang berasal dari budaya daerah
20


Terdapat 2 alasan kesiapan guru mengintegrasikan nilai-nilai Budaya Tolaki dalam Pembelajaran IPS, secara persentase, masing-masing: sebanyak 40% menyatakan alasan untuk pelestarian budaya 40% menyatakan untuk membiasakan siswa lebih mencintai budayanya, sebanyak 20% menyatakan nilai-nilai Budaya Tolaki relevan dengan materi pembelajaran IPS, 20% menyatakan  menambah referensi budaya nasional yang berasal dari budaya daerah, 20% menyatakan memperluas wawasan siswa tidak hanya nasional dan internasional, tetapi juga budaya lokal yang ada di sekitar siswa, sedangkan karena alasan Proses pembelajaran IPS banyak membahas interaksi sosial dan transformasi budaya, Agar ada alat ukur pencapaian nilai-nilai karakter dari budaya Tolaki masing-masing 10%. Temuan ini sesuai dengan pendapat Anwar, dkk (2015) yang menempatkan kalosara sebagai media etnopedagogi dalam pengembangan karakter remaja.

Tabel 3
Saran Guru terhadap Penerapan Model Integrasi Nilai-Nilai Karakter dari Budaya Tolaki dalam Pembelajaran IPS
No
Indikator/Tanggapan Guru
Subjek

Ket
F
%
1
Nilai karakter dari Budaya Tolaki perlu diterapkan di sekolah untuk memberi wawasan siswa
2
30

2
Terlebih dahulu memastikan bahwa guru-guru sudah memiliki pengetahuan tentang Budaya Tolaki
1
10

3
Memperbanyak literatur tentang Budaya Tolaki
6
60

4
Pelibatan guru dalam Seminar Budaya Lokal/Tolaki
1
10

5
Guru memperbanyak tugas kepada siswa, agar orang tua terdorong unuk mempelajari Budaya Tolaki
1
10

6
Untuk melestarikan dan mewariskan Budaya Tolaki kepada Guru dan generasi muda
1
10

7
Perlu penggunaan kosa kata yang baik dan benar
1
10

8
Sumber informasi harus valid
1
10

9
Diaplikasikan pada kurikulum sebagai satu mata pelajaran
1
10

10
Diskusi secara terbuka
1
10

11
Penerapan model ini lebih konkrit
1
10

12
Harus disiapkan pedoman khusus
1
10








Saran guru terhadap penerapan model integrasi nilai-nilai karakter dari Budaya Tolaki dalam Pembelajaran IPS ada 12 poin, diantaranya 40% menyatakan perlu memperbanyak literatur tentang Budaya Tolaki, sebanyak 20% menyatakan  bahwa nilai karakter dari Budaya Tolaki perlu diterapkan di sekolah untuk memberi wawasan siswa. Hal ini sejalan pandangan Hafid (2012) yang menyatakan bahwa Kalosara sebagai instrument utama dalam kehidupan sosil budaya Suku Tolaki. Selain itu terdapat saran (1) Terlebih dahulu memastikan bahwa guru-guru sudah memiliki pengetahuan tentang Budaya Tolaki, (2) Pelibatan guru dalam Seminar Budaya Lokal/Tolaki, (3) Guru memperbanyak tugas kepada siswa, agar orang tua terdorong unuk mempelajari Budaya Tolaki, (4)  Untuk melestarikan dan mewariskan Budaya Tolaki kepada Guru dan generasi muda, (5) Perlu penggunaan kosa kata yang baik dan benar, (6) Sumber informasi harus valid, (7) Diaplikasikan pada kurikulum sebagai satu mata pelajaran, (8) Diskusi secara terbuka, (9) Penerapan model ini lebih konkrit, (10) Harus disiapkan pedoman khusus.

F. Penutup
Hasil penelitian ini berhasil mengidentifikasi 75 jenis budaya lokal yang diintegrasikan dalam 18 jenis karakter positif yang dapat dikembangkan melalui integrasi dalam pembelajaran IPS di SMP, Strategi pengembangan dilakukan dalam bentuk integrasi pada setiap tema dan sub-tema dalam Silabus Mata Pelajaran IPS, setiap sum tema minimal satu jenis karakter yang dikembangkan dari nilai-nilai budaya yang dioperasionalisasi dalam kehidupan masyarakat Tolaki. Pengembangan karakter positf remaja melalui integrasi pembelajaran IPS di SMP dikembangkan melalui metode pembelajaran: tugas, karyawisata, diskusi, dan tanya jawab.


DAFTAR PUSTAKA

Anas, Zulfikri. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter.  Jakarta: Kemendiknas.
Anwar; Amiruddin; Suardika, I Ketut; Sartono; Peribadi. 2015c. An Analysis of Kalosara Function as Ethnopedagogic Media in Nation Character-Building in South East Sulawesi. In International Research Journal of Emerging Trends in Multidisciplinary.  Volume 1, Issue9 November 2015.
Anwar; Mursidin T; Suleiman, Abdul Rauf; dan Baenawi La Ode. 2017. Revitalisasi Kalosara sebagai Media Etnopedagogi dalam Pengembangan Karakter Positif Remaja (SMP) di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Kendari: Hasil Penelitian Kerja Sama Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Halu Oleo dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Konawe.
Asban. 2016. Penerapan Metode Diskusi dengan Menggunakan Tradisi Lisan Dalam Mengembangkan Karakter Positif Siswa pada Pembelajaran Sejarah SMAN 03 Bombana. Kendari: Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo.
Edwards,  Nancy Tanner.. 2012. Integrating Content and Pedagogy: A Cultural Journey. In Action in Teacher Education.  Volume 19, Issue 2, 2012.
Ernest,  John. 1992.  From Mysteries to Histories: Cultural Pedagogy in Frances E. W. Harper's Iola Leroy. In American Literature. Vol. 64, No. 3 (Sep., 1992), pp. 497-518
Hafid, Anwar. 2012. Kalosara Sebagai Instrumen Utama  Dalam Kehidupan Sosial Budaya Suku Tolaki di Sulawesi Tenggara. Makalah Disajikan dalam Prakongres Kebudayaan Indonesia di Jakarta, Tanggal 27-29 November 2012.
Hafid, Anwar. 2013. Konflik Sara di Wilayah Pertambangan (Kasus Sulawesi Tenggara). Makalah Disajikan Dalam Kongres Kebudayaan Indonesia di Yogyakarta, Tanggal 8-11 Oktober 2013.
Klara, Kozhakhmetova, Ortayev Baktiyar, Kaliyeva Sandygul, Utaliyeva Raikhan, Jonissova Gulzhiyan. 2015. Ethnic Pedagogy as an Integrative, Developing Branch of Pedagogy. In Mediterranean Journal of Social Sciences. Vol 6 No 1 S1, January 2015.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Nomor 79 Tahun 2014. Tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Nomor 20 Tahun 2016. Tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemendikbud.
Su’ud, Muslimin, 2012. Kompilasi Hukum Adat Perkawinan di Sulawesi Tenggara. Kendari: HISPISI Cabang Sultra.
Tamburaka, Rustam E. 2004. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun. Kendari: Unhalu Press.
Tarimana, Abdurrauf. 1989. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta.



PENGEMBANGAN MODEL PEMBEJARAN IPS YANG MENGINTEGRASIKAN BUDAYA LOKAL
















Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.








Makalah
Disajikan pada Seminar Nasional diselenggarakan  oleh Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Indonesia (IKAHIMSA) bekerja sama dengan  Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Halu Oleo,
di Hotel Claro Kendari, 28 September 2019





PANITIA PELAKSANA
IKAHIMSA
2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar