Minggu, 28 Juni 2020

PEMANFAATAN NASKAH LONTARAK DI LUAR ETNIS BUGIS/MAKASAR (Suatu Temuan Baru dalam Kajian Naskah pada Etis-etnis di Sulawesi Tenggara)


PEMANFAATAN NASKAH LONTARAK DI LUAR ETNIS BUGIS/MAKASAR
(Suatu Temuan Baru dalam  Kajian Naskah pada Etis-etnis di Sulawesi Tenggara)
oleh
Anwar Hafid

A.    Pendahuluan

Naskah lontarak pada mulanya hanya diakui ada di wilayah Sulawesi Selatan dan merupakan milik ekskusif Suku Bugis/Makassar yang memanfaatkan media ini sebagai alat komunikasi tertulis khususnya dalam dunia perdagangan dan pewarisan nilai. Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan mobilitas orang Bugis/Makasar ke berbagai daerah lain di Nusantara, maka budaya tulis menulis dalam bentuk lontara juga tersebar. Di Sulawesi Tenggara, pada kenyataannya dalam proses penelusuaran naskak yang ada di daerah ini khususnya lontarak tidak lagi menjadi milik eksklusif Suku Bugis/Makassar yang tersebar di daerah ini, tetapi juga menjadi milik beberapa suku bangsa yang ada di daerah ini, seperti: Bajo, Tolaki, Moronene, Wawonii, dan Kulisusu. Artinya naskah dalam bentuk lontarak disimpan dan dipahami oleh suku bangsa tersebut baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Ini menunjukkan bahwa pada suatu periode tertentu dalam sejarah prakemerdekaan Bahasa Bugis (aksara lontara) menjadi bahasa komunikasi dalam perdagangan di wilayah ini, bahkan termasuk bahasa Budaya.
Penanda akan peran bahasa dan aksara lontarak di wilayah Sulawesi Tenggara dalam dimensi budaya adalah pemanfaatan media ini dalam proses pembelajaran Al-Qur’an. Para orang tua sebelum kemerdekaan belajar mengaji Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Bugis dan menerjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa/aksara lontarak. Beberapa jenis lontarak yang ditemukan pada etnis Bajo memuat tentang keislaman dan religius, adat-istiadat dan kehidupan sosial, perdagangan, pendidikan, dan politik. Pada masyarakat Tolaki, Wawonii, Moronene, dan Kulisusu membahas tentang adat-istiadat, ilmu falak/perbintangan, dan sejarah budaya.
Keberadaan naskah lontarak pada etnis tersebut, merupakan temuan baru dalam pernaskahan di Sulawesi Tenggara. Selama ini diyakini bahwa budaya tulis-menulis hanya dimiliki oleh etnis Buton yang mengenal aksara Arab/Melayu baik dalam bahasa Melayu maupun dalam Bahasa Wolio. Kajian terakhir ditemukan beberapa naskah lontarak yang ditulis dan disimpan oleh etnis-etnis tersebut. Dalam perkembangan lebih jauh etnis Tolaki mengenal apa yang mereka sebut bilangari/kutika, merupakan simbol-simbol ilmu falak yang digunakan dalam menentukan hari baik atau waktu baik untuk melakukan suatu aktivitas penting, seperti: pindah rumah baru, awal penanaman, awal panenan, pesta pernikahan, dan termasuk bepergian jauh. Di Pulau Wawonii (etnis Wawonii), terdapat aksara yang disebut Aksara Laembo. Kedua aksara tersebut merupakan refleksi dari perkembangan aksara lontarak yang diformulasi sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat setempat.
Bentuk perkembangan lain dalam kajian naskah lontarak, ditemukannya penggunaan aksara ini oleh etnis Wawonii dan Tolaki dengan menggunakan bahasa mereka masing-masing. Bahkan di daerah Kepulauan Sulawesi Tengah yang berdekatan dengan Sulawesi Tenggara seperti di Salabangka dan Menui tradisi pemanfaatan aksara lontarak sebagai media komunikasi tertulis dalam bidang kebudayaan dan perdagangan. Tidak sedikit unsur budaya mereka ditulis dalam aksara lontarak dengan menggunakan lebih dari satu bahasa dalam satu naskah, seperti: bahasa etnisnya sendiri, bahasa/aksara Arab, bahasa Bugis atau Makassar.
Fenomena sosial akan perkembangan penggunaan aksara lontarak/bahasa Bugis dapat ditemukan sekarang seperti pemanfaatan bahasa Bugis oleh etnis lain dalam komunikasi lisan sehari-hari. Pada pertengahan abad XX lalu telah muncul fenomena baru yang merupakan proses pembugisan yang kemudian melahirkan etnis baru yang disebut Bugis Kendari. Terdapat kecenderungan serupa pada etnis-etnis yang ada di Sulawesi Tenggara merasa bangga memiliki hubungan kekerabatan (hubungan darah/perkawinan) dengan etnis Bugis/Makassar.
Persebaran aksara lontarak dan bahasa Bugis didukung oleh perkembangan aktivitas pelayaran niaga orang Bugis/Makassar di wilayah ini. Para pelayar, selain berdagang juga mengembangkan agama Islam kepada penduduk setempat. Kedua aktivitas pelayar niaga orang Bugis/Makasar menggunakan aksara lontarak dan Bahasa Bugis/Makassar sebagai media komunikasi. Selain itu, suku Bajo yang memiliki hubungan genealogis dengan Luwu, Bone dan Gowa, juga ikut memberi sumbangan besar dalam mengembangan aksara lontarak di Sulawesi Tenggara seiring dengan persebaran kelompok-kelompok etnis Bajo di sepanjang pesisir pantai Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.

B.     Latar Belakang Perkembangan Lontarak di Wilayah Sulawesi Tenggara
1.      Perdagangan
Aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh pelayar-pelayar niaga orang Bugis/Makassar di kawasan Timur Nusantara umumnya singgah atau melalui perairan Sulawesi Tenggara, sehingga tidak sedikit pesisir pantai dan pulau-pulau menjadi tempat transit bagi mereka baik untuk melakukan transakasi perdagangan maupun untuk menambah perbekalan seperti air bersih dan bahan makanan, jagung, sagu, dan beras Tolaki. Para pedagang yang singgah juga membawa budayanya (bahasa dan aksara lontarak) dan mereka melakukan komunikasi sehingga terjadi difusi budaya yang dipandang sebagai suatu inovasi oleh masyarakat setempat sehingga diantara penduduk setempat banyak yang tertarik dengan budaya baru sehingga mereka mengadopsinya. Baik dengan mempertahankan aslinya maupun dengan menyesuaikan dengan budaya setempat, misalnya tetap menggunakan aksara lontarak tetapi menggunakan bahasa setempat (misalnya: Bahasa Tolaki, Bahasa Wawonii).
Dalam perkembangan lain, mereka mencoba membuat aksara baru yang merupakan proses modifikasi, seperti ditemukan dalam masyarakat Wawonii, dan masyarakat Tolaki dalam bentuk bilangari (ilmu falak=tentang waktu dan hari baik untuk melakukan aktivitas penting). Pada masyarakat Wawonii aksara yang mereka ciptakan berjumlah 16 huruf konsonan dan 5 huruf vokal (a, i, u, e, o). aksara ini disebut Aksara Laembo, karena diciptakan oleh Raja Wawonii bernama La Embo pada abd ke-15, aksara ini tidak berkembang karena dinamika kehidupan masyarakat wawonii tidak begitu tinggi sehingga tidak banyak membutuhkan alat komunikasi tertulis, misalnya di bidang perdagangan. Masyarakat Wawonii hanya melakukan aktivitas di Pulau Wawonii dan sekitarnya seluas kurang lebih 120 x 60 KM. Sebaliknya, aktivitas perdagangan orang Bugis/Makassar lebih dominan di Pulau Wawonii, sehingga berpengaruh langsung terhadap perkembangan aksara lontarak di bidang perdagangan dan bidang kehidupan lainnya.
Tidak jarang para pedagang Bugis/Makassar yang singgah berdagang atau penambah perbekalan di pulau ini, tinggal sementara waktu untuk mengajar mengaji para penduduk di daerah ini. Sampai dengan pertengahan abad XX kegiatan seperti tersebut masih berlangsung, sehingga menempatkan Pulau Wawonii sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Sulawesi Tenggara. Terbukti salah seorang bangsawan Konawe bernama Lakidende pada abad XVIII, setelah memperoleh pengetahuan dasar agama Islam di Konawe, selanjutnya melanjutkan pendidikannya di Wawonii. Pada saat yang bersamaan Mokole (Raja) Konawe mangkat, maka sesuai dengan tradisi kenegaraan bahwa Pitu Dula Batu (Dewan Adat Konawe) bermusyawarah untuk menentukan penggantinya, akhirnya disepakati bahwa yang berhak menggantikan Mokole adalah Lakidende yang sedang menuntut ilmu agama Islam di Pulau Wawonii, diutuslah perwakilan untuk menemuinya, tetapi utusan tidak mendapatkannya karena Lakidende melanjutkan pendidikannya di Tinanggea salah satu wilayah pesisir selatan Kerajaan Konawe yang juga merupakan pusat perdagangan orang Bugis (sekarang ini didominasi oleh Suku Bugis). Utusan menyusulnya ke Tinanggea ini, selanjutnya Lakidende kembali ke Ibu Kota Kerajaan di Unaaha untuk memangku jabatan Mokole di Kerajaan Konawe.
Informasi tersebut, menunjukkan suatu fakta akan peran para pelayar Bugis/Makassar khususnya pedagang Bugis dari Bone dalam aktivitas perdagangan yang dirangkaikan dengan misi penyebaran agama Islam. Misi penyebaran agama Islam ini nampak dari adanya ungkapan di kalangan para keluarga pelayar bahwa jika hendak berlayar hendaknya santari riolo tauwe=jika hendak berlayar sebaiknya santri dulu. Artinya seorang pelayar harus pintar pengaji/membaca Al-Qur’an sehingga kelak ketika berada diperantauan dapat mengajarkannya kepada masyarakat setempat. Selain itu, juga harus makhir membaca Barzanji, yang merupakan media syiar Islam yang dirangkaiakan dengan upacara-upacara daur hidup masyarakat Bugis/Makassar yang selanjutnya didifusikan kepada masyarakat di daerah perantauan.
 
2.      Migrasi orang Bugis/Makassar dan Bajo
a.        Faktor Sosial
Bagi masyarakat di daerah Mekongga (Kolaka), Konawe (Kendari), Wuna (Muna), Wolio (Buton), Moronen, dan Pulau Wawonii percaya bahwa asal-usul raja pertama di wilayahnya adalah dari To Manurung, meskipun dalam ungkapan bahasa dan gelar yang berbeda-beda. To Manurung dianggap orang yang turun dari kayangan (langit), dan senantiasa disimbolkan dengan bambu kuning/gading, emas dan warna kuning lainnya. (Anwar, 2003).
Kerajaan-kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara mengakui adanya hubungan historis dengan Sawerigading dari Luwu yang dihubungkan dengan kedatangan  To Manurung (orang asing). Di Mekongga ditandai dengan kedatangan La Rumbalangi yang berhasil membunuh burung kongga, kelak menjadi raja pertama di Kerajaan Mekongga. Di Konawe Tomanurung ditandai dengan kedatangan Wekoila yang merupaka raja pertama di Kerajaan Konawe sekitar abad X. To Manurung di Wuna disebut Beteno ne Tombula orang yang keluar dari ruas bambu yang kelak menjadi Raja Wuna Pertama juga kawin dengan perempuan To Manurung. Wakaaka merupakan To Manurung di Wolio kelak juga menjadi Raja Wolio Pertama (Anonim, 1982). Di masyarakat Moronene khususnya yang bermukim di Pulau Kabaena percaya bahwa ketika terjadi kemelut politik maka muncullah Tebeto Tulanggadi=laki-laki tampan yang muncul dari bambu gading. Pada saat yang sama muncul pula seorang perempuan asing bernama Wulele Waru,  seorang putri yang terpencar dari sekuntum bunga kayu waru (Subur, 1990). Di Wawonii raja pertama muncul ditandai dengan ditemukannya sebuah wadah dari emas yang berisi seorang bayi laki-laki. Kelak bayi ini bernama Wawonii, kemudian kawin dengan perempuan yang ditemukan dari ruas bambu kuning.
Istilah bambu kuning tersebut semakin menguatkan adanya kesamaan dalam arti terdapat hubungan historis dan kekerabatan antara raja-raja pertama yang berhasil menata administrasi dan struktur pemerintahan tradisional yang ada di Sulawesi Tenggara. Mereka secara tidak langsung mengakui bahwa para pendatang yang sering disebut to manurng (orang asing yang memiliki kelebihan) itu adalah Sawerigading atau keluarga/keturunan raja dari Luwu atau daerah Bugis/Makasar khsusnya dari Kerajaan Bone, Gowa, dan Mandar. 
Kedatangan to manurung tersebut sering dihubungkan dengan perjalanan Sawerigading ke dunia timur (sempe’na Sawerigading lao ri Tana Lau/lao ri Tomporekkesso) yang menyebabkan persebaran Suku Bugis/Makassar dan Suku Bajo di daerah-daerah perantauannya. Tetapi secara faktual bahwa orang Bugis yang lebih dekat wilayahnya dengan Sulawesi Tenggara, umumnya memiliki gaya hidup yang lebih dinamis, lebih mudah bersosialisasi dan beradaptasi. Melalui filosofi hidup di rantau yang harus meraih sukses, maka konsep “tiga ujung” (ujung lidah/diplomasi, ujung laki-laki/kawin politik, dan ujung keris/keberanian), memegang peranan penting dalam mempertahankan eksistensi orang Bugis di negeri rantau (Anwar, 2003).

Salah satu faktor sosial sehingga terjadi migrasi karena adanya kemelut sosial seperti dipermalukan oleh raja/bangsawan, sehingga terkena siri’ maka jatuhlah pilihan untuk merantau dengan membawa budaya tulis mereka. Fenomena sosial yang ada di Daratan Sulawesi Tenggara khususnya di Kota Kendari dan wilayah-wilayah pemukiman di pesisir pantai memperlihatkan persamaan dengan pola pengembangan budaya yang ada di Bandung seperti ditunjukkan hasil penelitian Bruner, di mana kebudayaan tertentu sudah menjadi dominan (Suparlan, 2000). Pola pengembangan budaya di Kendari memperlihatkan budaya Bugis lebih dominan dibanding dengan budaya etnis lainnya, meskipun gejala konflik tidak pernah muncul dipermukaan. Dewasa ini dalam kehidupan sosial, nampak dengan jelas dominasi budaya Bugis seperti di pasar dan pelabuhan laut, para penjaja ikan dari rumah-ke rumah menggunakan Bahasa Bugis seperti ucapannya dengan berteriak: balee  (ikan), meskipun yang melakukan aktivitas itu dari Suku Muna. Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa dan budaya Bugis begitu dominan dalam kehidupan sosial, bahkan beberapa etnis yang bermukum di Kota Kendari dengan fasih berbahasa Bugis dan tidak sedikit mengaku sebagai Suku Bugis, sehingga lahir fenomena pembugisan dan muncul istilah ugi tongka=saya juga Bugis  atau Bugis Kendari. Tentu saja mereka terpengaruh oleh budaya bugis dalam suatu perjalanan sejarah yang cukup panjang, diantara mereka juga dapat memahami aksara lontarak. Hanya sayangnya, terjadi stagnasi pemahaman aksara ini, ketika pergolakan DI/TII Kahar Muzakkar yang banyak memusnahkan naskah lontarak akibat pembakaran rumah-rumah penduduk.


b.        Faktor Ekonomi
Adanya motivasi ingin mencari penghidupan yang lebuh baik, sehingga masyarakat Bugis/Makassar, dan Mandar (BMM) berlayar meninggalkan negerinya di wilayah Sulawesi Selatan untuk berdagang keluar seperti: ke Pulau Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysi di barat, dan Tanah Lau seperti: ke wilayah Sulawesi Tenggara. mereka membawa barang dagangan dari wilayah Sulawesi Selatan (Mandar, Pangkep, Maros, Gowa, Jeneponto, Bulukumba, Sinjai, Bone, dan Wajo) atau dari wilayah Pulau Jawa dan Sumatera/Semenanjung Malaysia. Barang-barang tersebut dijual baik dengan melalui alat tukar uang maupun dengan sistem barter.
Berbagai sumber mengungkapkan bahwa Kota Kendari terbentuk seiring dengan berkembangnya kota-kota dagang di Nusantara yang menjadi daerah pangkalan para pedagang dari berbgai daerah untuk mengumpulkan barang dagangan sekaligus melakukan transaksi dengan penduduk setempat baik dilakukan secara barter maupun dengan menggunakan alat tukar uang atau barang lainnya. Terbentuknya Kota Kendari diawali dengan terbukanya Teluk Kendari menjadi pelabuhan bagi para pedagang, khususnya pedagang Bajo dan Bugis yang datang berdagang sekaligus bermukim di sekitar Teluk Kendari. Fenomena ini juga didukung oleh kondisi sosial politik dan keamanan di daerah asal kedua suku bangsa tersebut di Kerajaan Luwu dan Kerajaan Bone.
Menurut Chalik (1984) bahwa pada awal abad ke-19 sampai dengan kunjungan Vosmaer (seorang Belanda) pada tahun 1831, Kendari merupakan tempat penimbunan barang (pelabuhan transito). Kegiatan perdagangan kebanyakan dilakukan oleh orang Bajo dan Bugis yang menampung hasil bumi dari pedalaman dan dari sekitar Teluk Tolo (Sulawesi Tengah). Barang-barang tersebut selanjutnya dikirim ke Makassar atau ke kawasan Barat Nusantara sampai ke Singapura.
Kemelut politik yang terjadi di Kerajaan Bone berdampak terhadap dinamika masyarakat Bugis, banyak diantara mereka yang tidak bersedia menerima kehadiran Belanda dan merasa terganggu aktivitasnya, bermigrasi ke darah aman termasuk ke Kendari, diantara mereka itu terdapat Suku Bugis dan Suku Bajo yang bermukim di Bajoe yang merupakan medan pertempuran rakyat Bone melawan Belanda (Chalik, 1984). Pernyataan serupa juga dikemukakan dalam Lontarak Asal Usul Suku Bajo yang menyatakan bahwa orang Bajo yang telah mengungsi dari Luwu ke Gowa kemudian ke Bone bersamaan dengan kembalinya Arung Palakka berkuasa di Bone setelah mengalahkan Hasanuddin tahun 1670, kemudian setelah perang Bone melawan Belanda kembali orang Bajo mengungsi ke berbagai daerah di NTB, Kendari, Salabangka, Pulau Togeang di Sulawesi Tengah (Lontarak Assalenna Bajo; Anwar, 2000a).


c.         Faktor Politik
Pertentangan politik baik antar kelompok bangsawan maupun karena perang melawan orang asing, seperti yang terjadi di Kerajaan Bone dalam perang melawan Belanda yang berakhir dengan kekalahan Bone, sehingga banyak penduduk yang tidak bersedia menerima kehadiran penjajah bermigrasi ke beberapa wilayah di luar Kerajaan Bone, termasuk ke Sulawesi Tenggara.
Aru Palakka yang mengungsi ke Buton bersama pangikutnya dari Soppeng dan Bone tiba di Buton pada tanggal 19 Agustus 1660, oleh orang Buton ia diberi gelar La Tondu, mereka melarikan diri ke Buton untuk mencari simpati dari Sultan Buton karena pada saat yang sama mendapat ancaman dari Gowa. Di Buton Arupalakka mendapat perlindungan dari Sultan Buton, ia ditempatkan dalam keraton Buton, ketika pasukan Gowa yang mengejarnya tiba di Buton, maka Sultan Buton menyatakan bahwa tidak ada Arupalakka di atas permukaan tanah Buton, karena secara diplomatis pada saat pasukan Gowa tiba di Buton Arupalakka bersembunyi di dalam gua disamping Benteng Keraton Buton. Suatu pernyataan diplomatis yang cukup cerdik dan bijaksana dari Sultan dan rakyat Buton bahwa memang benar Arupalakka tidak di atas tanah Buton, karena ia ada di bawah dan di atas tanah sebab berada di dalam gua. Dari sinilah Arupalakka kemudian bertemu dengan bangsa Belanda dan berusaha menjalin kerja sama untuk membebaskan rakyat Bone dan Soppeng yang dijajah oleh Gowa.
Seperti yang terjadi pada kasus Perkawinan Wa Ode Kadingke Putri Raja Muna XVI La Ode Huseini dengan seorang bangsawan Bugis Bone yang tinggal di Kerajaan Tiworo bernama Daeng Marewa. Secara adat perkawinan ini dianggap kontroversial karena ditentang oleh sebagian bangsawan Muna termasuk Raja Muna La Ode Sumaili. Upaya Wa Ode Kadingke mempertahankan syariat Islam yang tidak memberatkan bagi seorang calon suami untuk menyiapkan maskawin kepada calon istrinya. Pendapat mana dianggap bertentangan dengan hukum adat Muna bahwa apabilan seorang perempuan yang kawin dengan orang dari luar kelompok etnisnya, maka sang calon suami harus menyiapkan maskawin lebih besar lagi dibanding dengan jika calon suami dari anggota kelompoknya.  Perang saudara berakhir dengan kemenangan dipihak Wa Ode Kadingke, dan Raja La Ode Sumaili dijatuhi hukuman pukul sampai mati pada tahun 1799. Dengan demikian syariat Islam dapat mengalahkan hukum adat yang telah berlaku secara turun-temurun di Kerajaan Muna (Batoa, 1991).
Arung Bakung salah seorang pelarian politik dari Kerajaan Bone, pada mulanya bermukim di Muara Sampara wilayah Kerajaan Konawe, kemudian pindah di Teluk Kendari, selanjutnya ke Tiworo kawin dengan bangsawan Tiworo, kemudian Anaknya La Sambawa mengawini Maho putri mahkota Ranomeeto, dialah yang melahirkan La Mangu yang kelak mendirikan Kerajaan Laiwoi. Kerajaan ini diperintah oleh dinasti Bugis-Muna-Tolaki, suatu gambaran nyata bentuk hebungan kekerabatan melalui perkawinan. Inilah yang kelak mengembangkan Kota Kendari sampai pada taraf sekarang ini. Di Kota Kendari sekarang ini sulit memisahkan antara ketiga etnis tersebut bahkan dengan etnis lainnya karena mereka lentur atau menyatu dalam suatu tatanan baru yang mereka kembangkan sendiri, oleh Chalik dkk (1984) disebutnya proses pembugisan yang melahirkan etnis baru “Bugis Kendari”, dengan ciri budaya dalam wujud bahasa Bugis dengan dialek yang khas.

C.    Fungsi Naskah Lontarak
1.      Pendidikan
Dalam sistem pendidikan Islam pada beberapa etnis di Sulawesi Tenggara, mereka menggunakan bahasa Bugis/Makassar. Kegiatan pengajaran baca-tulis Al-Qur’an menggunakan bahasa Bugis dan aksara lontarak. Pengajaran dasar-dasar Al-Qur’an Suku Tolaki, Moronene, Bajo, dan Wawonii serta di Pulau Menui (Sulawesi Tengah) banyak menggunakan bahasa Bugis/Makassar, khususnya kegiatan belajar mengeja huruf-huruf Al-Qur’an, seperti: alefu ri wawona a; alefu ri awana i,  alefu dapenna u (a-i-u);  alefu di wawona a; ba ri wawona ba; ta ri wawona ta (a-ba-ta). Pemanfaatan aksara lontarak terjadi dalam kegiatan untuk mendalami makna Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang ditulis dalam bahasa Bugis/Makassar atau bahasa setempat, tetapi menggunakan aksara lontarak. Ini terjadi karena aktivitas da’wah Islamiyah banyak dilakukan oleh muballigh dari etnis Bugis/Makassar, dan Mandar mereka menggunakan aksara lontarak sebagai media komunikasi pendidikan Islam.


2.      Perdagangan
Dalam rangka melakukan komunikasi dan transaksi perdagangan mereka mengalami kendala, sehingga menggunakan bahasa Bugis/Makasaar dan aksara lotarak. Barang dagangan diberi identitas nama atau merek dengan menggunakan aksara lontarak dan umumnya menggunakan Bahasa Bugis/Makassar dan atau bahasa daerah setempat. Buku catatan transaksi perdagangan dan dokumen pengiriman barang semuanya dicatat dalam aksara lontarak. Kondisi ini mengharuskan lawan bisnisnya harus mampu memahami aksara lontarak dan bahasa Bugis yang pada saat itu menjadi bahasa perdagangan di wilayah-wilayah pantai Sulawesi Tenggara.

3.      Adat-istiadat dan Kehidupan Sosial
Adat-istiadat seperti aturan/norma perkawinan ditulis dalam aksara lontarak, termasuk aturan mahar dan denda. Sistem pinjam-meminjam barang, silsilah keturunan yang sering disebut stambuk. Ilmu perbintangan yang disebut falakiyah yang dihiasi dengan simbol-simbol tentang hari dan waku yang baik dan tidak baik untuk melakukan suatu aktivitas penting, seperti: pindah rumah baru, pesta pernikahan, dan bepergian jauh. Demikian pula hajatan lain yang berhubungan sistem mata pencaharian, misalnya: waktu memulai membuka lahan perkebunan, memulai penanaman, saat memulai panenan. Bagi masyarakat nelayan, juga terdapat tradisi, seperti: awal musim penangkapan ikan di laut, pemasangan sero, dan pesta syukuran yang berhubungan dengan keberhasilan produksi/panenan, sunatan, dan aqiqah.
Contoh dalam Lontarak Asal-usul Suku Bajo dikatakan: sibuangessi gau ripassalenna gau abbainengngE ri sesena sompaE komui riabbatireng ammanarengngE pada rialena ripatuttungi poasengngE sompa iyyagi na 88 (aruwa pulona aruwa) iyyagi na 77 (pituppulo pitu, iyyagi na 66 (enneppulona enneng) iyyagi na 44 (patappulo eppa) iyyagi na 22 (duwapppulo duwa), iyyagi na 11 (seppulo seddi), nako sompa 88 (aruwa pulona aruwa) adeE makkepunna 8 (aruwa) rellana, nako sompa 44 (patappulo eppaa) AdeE makkepunna 4 (eppaa) rellana, sompa 22 (duwappulo duwa) AdeE makkepunna 2 (duwa) rellana.
Artinya:
Suatu perbuatan/kegiatan tentang perkawinan sekitar mahar yang tergantung pada strata keturunan yang diikuti dengan mahar, apakah 88, atau 77, atau 66, atau 44, atau 22, atau 11. Jika mahar 88 Adat memperoleh 8 real, jika mahar 44 Adat memperoleh 4 real, mahar 22 Adat memperoleh 2 real.
Pada bagian lain dalam lontarak yang sama juga dibahas tentang proses perkawinan antara bangsawan dengan non bangsawan, antara merdeka dengan hamba sahaya, atau antara hamba dengan bangsawan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa jika orang merdeka akan memperistri hamba 44 maharnya, apabila sahaya dengan sahaya maharnya 22 atau 11 real. Jika sahaya akan kawin dengan merdeka ttidak dapat dilakukan kecuali jika dia kawin lari. Dalam lontarak yang sama juga membicarakan masalah norma, seperti pencurian lengkap dengan sangsinya.

4.      Kesenian
Seni suara, nyanyian, pantun dan syair. Acara barzanji yang dilagukan dan bahkan dapat diterjemahkan dalam Bahasa Bugis dan ditulis dalam aksara lontarak. Seni barzanji yang berkembang di daerah Sulawesi Tenggara dalam arti lagu-lagu dan variasi zikir yang dibacakan dalam bentuk lagu memiliki unsur seni, mengalami perkembangan yang tidak lagi sama persis dengan sumbernya di Sulawesi Selatan.
Kebiasaan berpantun di kalangan orang Bajo dan bernyanyi, merupakan fenomena yang semakin berkembang di kalangan mereka yang dirangkaikan dengan kesenian modero yang berbalas pantun. Kebiasaan seni lainnya adalah bernyanyi sepanjang perjalanan dalam pelayaran sambil mendayung dan mengarahkan pelayaran perahu mereka bernyanyi.

5.      Politik
Beberapa aspek politik yang ditulis dalam aksara lontarak, seperti: catatan harian Kepala Kampung, tatanan pemerintahan, struktur pemerintahan, sampai pada perjanjian antar negara. Kewenangan suatu pemerintahan setiap negeri atau kampung misalnya dibahas dalam lontarak asal-usul Suku Bajo. Perjanjian antar negara misalnya dilakukan antara Kerajaan orang Tolaki yaitu Kerajaan Laiwoi yang berpusat di Kendari dengan Pemerintah Hindia Belanda  17 Mei 1887 dan 31 Mei 1890. Dalam Lontarak Assijanjingeng (lontarak perjanjian) ini antara lain dikatakan bahwa:  nasibawa ritajenna tuwang Goronadoro Jenerala ri tana Nidirilada Indiya. Narilaleng asenna topa Goboroname Nidirilada Indiya. Nanawinruui sompungeng assijanjingengngEwe sibawa Sao-Sao Arung Laiwui enrengngE Ade ToMabbicarana TanaE ri laiwui.
Pelarian Aru Palakka ke Buton bersama pangikutnya dari Soppeng dan Bone pada 1660, yang kemudian melahirkan sitilah hubungan persahabatan yang cukup erat yang diperoleh dari ungkapan kekerabatan yang dikenal dalam bahasa Bugis: Buton ri Aja- Bone ri Lauk. Artinya: Kerajaan Bone juga merupakan negeri Orang Buton yang ada di sebelah Barat; dan Kesultanan Buton juga merupakan negeri Orang Bone yang ada di sebelah Timur. Makna lebih lanjut adalah jika orang Buton berangkat ke wilayah Kerajaan Bone maka dia tidak lagi dianggap sebagai orang asing, tetapi dianggap sebagai warga negara, demikian pula jika Orang Bugis Bone berada di Buton maka dia menjadi tuan rumah atau warga negara Buton.
Diantara Suku bangsa yang paling banyak memanfaatkan lontarak selain dari etnik Bugis/Makassar, dan Bajo di Sulawesi Tengara adalah Suku Tolaki dan Suku Wawonii. Penyebabnya adalah kedua suku ini kurang dinamis dalam arti mereka kurang mobilitas ke daerah lain, berbeda dengan Suku-suku yang ada di Buton dan Suku Muna yang banyak menggunakan aksara Arab-Melayu. Bagi Suku Tolaki dan Wawonii hampir semua kegiatan politiknya yang dilakukan dalam bentuk tertulis dilakukan dalam aksara lontarak dan Bahasa Bugis atau bahasa setempat.
Bagi masyarakat Moronene di Pulau Kabaena yang berhadapan langsung dengan Kerajaan Bone, mengaku pernah melakukan Perjanjian Sikeli. Perjanjian ini terjadi ketika salah seorang perantau Bugis pada tahun 1910 mengambil inisiatif untuk membuka perkebunan di daerah Sikeli. Tokoh tersebut bernama Daerang Sitanga bersama dengan menantunya bernama Daeng Mangawi, sebelum memulai kegiatannya terlebih dahulu meminta restu dari Mokole Kabaena, Mokole menanggapinya dan menyatakan perlunya ada perjanjian, akhirnya disepakati kedua belah pihak yang antara lain isinya:  Orang Bugis bisa membuka perkebunan, tetapi pada suatu saat nanti ketika meninggalkan Kabaena (Sikeli), maka tumbuh-tumbuhan yang telah ditanamnya harus ditinggalkan begitu saja tidak bisa dijual, sehingga menjadi milik penduduk setempat sebagai ganti dari kayu yang telah ditebang untuk mebuat kebun. Selanjutnya kebun tersebut akan diatur lebih lanjut oleh pemerintah kerajaan.

6.      Agama dan Kepercayaan
Pada kelompok dan individu anggota masyarakat di Pulau Wawonii, Tolaki (Konawe), dan Kepulauan Menui masih dapat ditemukan orang yang dapat berbahasa Bugis dan menulis dalam aksara lontarak. Pemanfaatan aksara lontarak, masih banyak ditemukan dalam proses pengobatan penyakit dengan menggunakan mantra-mantra dari bahasa Bugis, Makassar, Mandar, dan bahasa setempat tetapi menggunakan aksara lontarak. Lontarak dalam bahasa Bugis dapat ditemukan pada masyarakat Bajo yang ada di wilayah-wilayah pesisir pantai Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, masih sebagian kecil yang dicopy dan tersimpan di Museum Sultra, namun masih banyak yang belum teridentifikasi atau masih sulit diperoleh karena pemiliknya sering mengaitkan dengan aspek magis-religius.
Hutbah Jum’at juga masih sering dilakukan dalam Bahasa Bugis dan aksara lontak, khususnya oleh para anggota masyarakat yang memiliki pertalian darah dengan suku Bugis di daerah-daerah konsetrasi pemukiman suku Bugis di daerah-daerah pantai dan perkebunan di pedalaman. Dalam sistem pengobatan seperti peddii eppong (sakit perut), peddii ulu (sakit kepala), mantra-mantra yang merupakan percampuran Bahasa Bugis, Makassar, Mandar, bahasa setempat dan Bahasa Arab merupakan suatu fenomena tersendiri dan dianggap memiliki kekuatan religius. Mantra-mantra ini merupakan bagian dari ilmu sihir dipakai oleh masyarakat setempat misalnya: untuk menarik simpatik seorang gadis, melumpuhkan lawan melalui kekutan batin (santet). Demikian pula, cara penangkis dan pengobatannya ditulis dalam bahasa dan aksara yang sama.
Ada kecenderungan untuk melestarikan tradisi religius seperti itu di daerah-daerah pedalaman khususnya di kalangan Masyarakat Tolaki, Wawonii, dan Menui. Terdapat kecenderungan lain bahwa kelompok-kelompok etnis yang ada merasa bangga memiliki hubungan kekerabatan dengan Suku Bugis, Makassar, dan Mandar. Hubungan kekerabatan inilah yang senantiasa dipelihara termasuk bahasa dan aksara, meskipun penguasaan aksara semakin terdesak, tetapi perkembangan bahasa Bugis semakin meluas di kalangan mereka.

D.    Penutup
Persebaran aksara lontarak di Sulawesi Tenggara diawali dengan persebaran Suku Bugis/Makassar, Mandar dan Suku Bajo dari Sulawesi Selatan ke wilayah-wilayah pantai Sulawesi Tenggara dan Kepulauan. Persebaran ini baik dilatari oleh faktor Sosial, ekonomi, dan politik, sehingga mereka membawa budayanya untuk didifusikan kepada anggota masyarakat yang melakukan interaksi dengannya. Sikap dinamis yang didukung oleh filosofi Ujung Lidah=kemampuan berdiplomasi di daerah perantauan merupakan daya dukung dalam memperoleh simpati dari masyarakat setempat. Sikap keterbukaan masyarakat setempat. terhadap pendatang yang ramah, sehingga terjadi proses adaptasi dan asimililasi termasuk perkawinan. Penduduk setempat banyak mengadopsi budaya berupa aksara lontarak dan bahasa Bugis/Makassar, termasuk unsur-unsur budaya lainnya yang terkait dengan daur hidup yang berbasis ajaran Islam.
Pemanfaatan aksara lontarak oleh etnik-etnik di Sulawesi Tenggara dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, kesenian, agama dan kepercayaay, adat-istiadat dan kehidupan sosial. Bentuk isi setiap lontarak bervariasi, artinya dalam satu lontarak dapat berisi beberapa aspek kehidupan, meskipun pada lontarak lainnya, hanya membahas satu aspek saja.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A.Z. 1995. “Perbandingan Buku Sastra I La Galigo dengan Cerita Rakyat di Sulawesi Tenggara tentang Hubungan Raja-raja di Sulawesi Selatan dan Raja-raja di Sulawesi Tenggara”.  Makalah Seminar Eksistensi dan Peranan Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Di Kendari tanggal 7-8 Agustus 1995.
Anonim. 1976. Monografi Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Anonim. 1982. Dokumenta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekretariat DPRD.
Anwar, dkk. 1989. Tinjauan Historis tentang Hubungan Bilateral antara Kerajaan Konawe dengan Kerajaan Bone. Kendari: Balai Penelitian Unhalu.
Anwar. 2000a. Lontarak Assalenna Bajo (Kajian Naskah Lontarak Asal-Usul Suku Bajo). Jakarta: Fakultas Sastra UI-For Foundation.
Anwar. 2000b. “Pelayaran Niaga Orang Buton pada Abad XX”. Dalam  Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 027, Tahun ke-6 November 2000 (Hal. 694-710).
Anwar. 2003. “Perjalanan Sawerigading ke Dunia Timur”. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional Sawerigading. Masamba, 10-14 Desember 2003.
Batoa, L.K. 1991. Sejarah Kerajaan Daerah Muna. Raha: Astri.   
Bhurhanuddin, B. dkk. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek IDKD Depdikbud.
Bhurhanuddin, B. 1981.  Jejak Sejarah Tomanurung. Kendari: Yayasan Karya Teknika.
Chalik, H. dkk. 1984. Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Djami, M.A., dkk. 1988. Tinjauan Sejarah tentang Pelabuhan Teluk Kendari. Kendari: Balai Penelitian Unhalu.
Kern, R.A. 1993. I La Galigo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Koentjaraningrat. 1984. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Kencana.
Meedelingen van de Afdeling Bestuurszaken der Buitengeweten van het Departement van Binnenlandsch Bestuur. 1929. Serie A No. 3. Overeenkomstenmet Zelbesturen ini de Buitengewesten. Landsdrukkerij. Weltevreden.
Mekuo, J. 1986. Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Kendari: FKIP Unhalu.
Patunru, A.R.D. 1983. Sejarah Gowa. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Poesponegoro, M. D. dan Notosusanto, N. 1984. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.
Sagimun, MD, dkk. 1986. Perlawanan dan Pengasingan Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press.
Subur, M. 1990. Peranan Sapati Manjawari terhadap Perkembangan Sejarah dan Budaya Kerajaan Kotua di Pulau Kabaena. Kendari: Skripsi FKIP Unhalu.
Suparlan, P. (2000). “Hak Budaya Komuniti dan Integrasi Kebangsaan”. Makalah disajikan dalam Diskusi Gandi Afternoon Forum- Nasionalisme dalam Kesetaraan Warganegara Memperkokoh Integrasi Kebangsaan. Jakarta: 26 Oktober 2000.

Tarimana, A. 1987. “Sawerigading sebagai Tokoh Legendaris Versi Sulawesi Tenggara”. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Folktale Sawerigading Memperkaya Kebudayaan Berwawasan Nusantara untuk Keteguhan Integrasi Bangsa. Palu 7-10 Agustus 1987.
Lontarak Assalenna Bajo
Lontarak Assijancingenna Goboroname Indiya Sibawa Raja Laiwui Sao-Sao.


PEMANFAATAN NASKAH LONTARAK DI LUAR ETNIS BUGIS/MAKASAR
(Suatu Temuan Baru dalam  Kajian Naskah pada Etis-etnis di Sulawesi Tenggara)












Makalah
Disajikan dalam Simposium Internasional Pernaskahan VIII
Jakarta 26-28 Juli 2004







oleh
Anwar Hafid
















Panitia Simposium Internasional Pernaskahan VIII
Jakarta
2004

KUMPULAN MAKALAH
SIMPOSIUM INTERNASIONAL PERNASKAHAN VIII
Jakarta 26-28 Juli 2004










oleh
Anwar Hafid

















Panitia Simposium Internasional Pernaskahan VIII
Jakarta
2004
DAFTAR ISI


1.      Beberapa Permasalahan Dalam Penta-Tahqiq-An Naskah-Naskah Berbahasa Arab (A.Al-Qadir Ahmad)
2.      Texts in a Codex and Its Signifikance (Aoyama Toru)
3.      Menggali Khasanah Kaligrafi Nusantara: telaah Ragam Gaya Tulisan dalam Mushaf Kuno (Ali Akbar)
4.      Genealogi dalam Rangka Penciptaan Serat Darmasarana Karya R.Ng. Ranggawarsita (Anung Tedjowirawan)
5.      Hikayat tanah Hitu: Wasiat Imam Rajali (Jan van  der Putten)
6.      Mencari Hakekat makna Teks dan Konteks (Jamhari)
7.      Naskah dalam Penelitian Sistem Reproduksi Sastra (Sapardi Djoko Damono)
8.      Laporan Penyelenggara Simposium Internasional VIII dan Munas Manassa III
9.      Laporan Pengurus Manassa Periode 2000-2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar