PEMANFAATAN NASKAH LONTARAK DI LUAR ETNIS BUGIS/MAKASAR
(Suatu Temuan Baru
dalam Kajian Naskah pada Etis-etnis di
Sulawesi Tenggara)
oleh
Anwar Hafid
A. Pendahuluan
Naskah lontarak pada mulanya
hanya diakui ada di wilayah Sulawesi Selatan dan merupakan milik ekskusif Suku
Bugis/Makassar yang memanfaatkan media ini sebagai alat komunikasi tertulis
khususnya dalam dunia perdagangan dan pewarisan nilai. Dalam perkembangan
selanjutnya, seiring dengan mobilitas orang Bugis/Makasar ke berbagai daerah
lain di Nusantara, maka budaya tulis menulis dalam bentuk lontara juga
tersebar. Di Sulawesi Tenggara, pada kenyataannya dalam proses penelusuaran
naskak yang ada di daerah ini khususnya lontarak tidak lagi menjadi milik
eksklusif Suku Bugis/Makassar yang tersebar di daerah ini, tetapi juga menjadi
milik beberapa suku bangsa yang ada di daerah ini, seperti: Bajo, Tolaki,
Moronene, Wawonii, dan Kulisusu. Artinya naskah dalam bentuk lontarak disimpan
dan dipahami oleh suku bangsa tersebut baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Ini menunjukkan bahwa pada suatu periode tertentu dalam sejarah prakemerdekaan
Bahasa Bugis (aksara lontara) menjadi bahasa komunikasi dalam perdagangan di
wilayah ini, bahkan termasuk bahasa Budaya.
Penanda akan peran bahasa
dan aksara lontarak di wilayah Sulawesi Tenggara dalam dimensi budaya adalah
pemanfaatan media ini dalam proses pembelajaran Al-Qur’an. Para orang tua
sebelum kemerdekaan belajar mengaji Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Bugis
dan menerjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa/aksara lontarak. Beberapa jenis
lontarak yang ditemukan pada etnis Bajo memuat tentang keislaman dan religius,
adat-istiadat dan kehidupan sosial, perdagangan, pendidikan, dan politik. Pada
masyarakat Tolaki, Wawonii, Moronene, dan Kulisusu membahas tentang adat-istiadat,
ilmu falak/perbintangan, dan sejarah budaya.
Keberadaan naskah lontarak
pada etnis tersebut, merupakan temuan baru dalam pernaskahan di Sulawesi
Tenggara. Selama ini diyakini bahwa budaya tulis-menulis hanya dimiliki oleh
etnis Buton yang mengenal aksara Arab/Melayu baik dalam bahasa Melayu maupun
dalam Bahasa Wolio. Kajian terakhir ditemukan beberapa naskah lontarak yang
ditulis dan disimpan oleh etnis-etnis tersebut. Dalam perkembangan lebih jauh
etnis Tolaki mengenal apa yang mereka sebut bilangari/kutika,
merupakan simbol-simbol ilmu falak yang digunakan dalam menentukan hari baik
atau waktu baik untuk melakukan suatu aktivitas penting, seperti: pindah rumah
baru, awal penanaman, awal panenan, pesta pernikahan, dan termasuk bepergian
jauh. Di Pulau Wawonii (etnis Wawonii), terdapat aksara yang disebut Aksara Laembo. Kedua aksara tersebut
merupakan refleksi dari perkembangan aksara lontarak yang diformulasi sesuai
dengan tingkat kebutuhan masyarakat setempat.
Bentuk perkembangan lain
dalam kajian naskah lontarak, ditemukannya penggunaan aksara ini oleh etnis
Wawonii dan Tolaki dengan menggunakan bahasa mereka masing-masing. Bahkan di
daerah Kepulauan Sulawesi Tengah yang berdekatan dengan Sulawesi Tenggara
seperti di Salabangka dan Menui tradisi pemanfaatan aksara lontarak sebagai
media komunikasi tertulis dalam bidang kebudayaan dan perdagangan. Tidak
sedikit unsur budaya mereka ditulis dalam aksara lontarak dengan menggunakan
lebih dari satu bahasa dalam satu naskah, seperti: bahasa etnisnya sendiri,
bahasa/aksara Arab, bahasa Bugis atau Makassar.
Fenomena sosial akan
perkembangan penggunaan aksara lontarak/bahasa Bugis dapat ditemukan sekarang
seperti pemanfaatan bahasa Bugis oleh etnis lain dalam komunikasi lisan
sehari-hari. Pada pertengahan abad XX lalu telah muncul fenomena baru yang
merupakan proses pembugisan yang
kemudian melahirkan etnis baru yang disebut Bugis
Kendari. Terdapat kecenderungan serupa pada etnis-etnis yang ada di
Sulawesi Tenggara merasa bangga memiliki hubungan kekerabatan (hubungan
darah/perkawinan) dengan etnis Bugis/Makassar.
Persebaran aksara lontarak
dan bahasa Bugis didukung oleh perkembangan aktivitas pelayaran niaga orang
Bugis/Makassar di wilayah ini. Para pelayar, selain berdagang juga
mengembangkan agama Islam kepada penduduk setempat. Kedua aktivitas pelayar
niaga orang Bugis/Makasar menggunakan aksara lontarak dan Bahasa Bugis/Makassar
sebagai media komunikasi. Selain itu, suku Bajo yang memiliki hubungan
genealogis dengan Luwu, Bone dan Gowa, juga ikut memberi sumbangan besar dalam
mengembangan aksara lontarak di Sulawesi Tenggara seiring dengan persebaran
kelompok-kelompok etnis Bajo di sepanjang pesisir pantai Sulawesi Tenggara dan
Sulawesi Tengah.
B. Latar Belakang Perkembangan Lontarak di
Wilayah Sulawesi Tenggara
1.
Perdagangan
Aktivitas
perdagangan yang dilakukan oleh pelayar-pelayar niaga orang Bugis/Makassar di
kawasan Timur Nusantara umumnya singgah atau melalui perairan Sulawesi
Tenggara, sehingga tidak sedikit pesisir pantai dan pulau-pulau menjadi tempat
transit bagi mereka baik untuk melakukan transakasi perdagangan maupun untuk
menambah perbekalan seperti air bersih dan bahan makanan, jagung, sagu, dan
beras Tolaki. Para pedagang yang singgah juga membawa budayanya (bahasa dan
aksara lontarak) dan mereka melakukan komunikasi sehingga terjadi difusi budaya
yang dipandang sebagai suatu inovasi oleh masyarakat setempat sehingga diantara
penduduk setempat banyak yang tertarik dengan budaya baru sehingga mereka
mengadopsinya. Baik dengan mempertahankan aslinya maupun dengan menyesuaikan
dengan budaya setempat, misalnya tetap menggunakan aksara lontarak tetapi
menggunakan bahasa setempat (misalnya: Bahasa Tolaki, Bahasa Wawonii).
Dalam
perkembangan lain, mereka mencoba membuat aksara baru yang merupakan proses modifikasi,
seperti ditemukan dalam masyarakat Wawonii, dan masyarakat Tolaki dalam bentuk bilangari (ilmu falak=tentang waktu dan
hari baik untuk melakukan aktivitas penting). Pada masyarakat Wawonii aksara
yang mereka ciptakan berjumlah 16 huruf konsonan dan 5 huruf vokal (a, i, u, e,
o). aksara ini disebut Aksara Laembo,
karena diciptakan oleh Raja Wawonii bernama La Embo pada abd ke-15, aksara ini
tidak berkembang karena dinamika kehidupan masyarakat wawonii tidak begitu
tinggi sehingga tidak banyak membutuhkan alat komunikasi tertulis, misalnya di
bidang perdagangan. Masyarakat Wawonii hanya melakukan aktivitas di Pulau
Wawonii dan sekitarnya seluas kurang lebih 120 x 60 KM. Sebaliknya, aktivitas
perdagangan orang Bugis/Makassar lebih dominan di Pulau Wawonii, sehingga
berpengaruh langsung terhadap perkembangan aksara lontarak di bidang
perdagangan dan bidang kehidupan lainnya.
Tidak
jarang para pedagang Bugis/Makassar yang singgah berdagang atau penambah
perbekalan di pulau ini, tinggal sementara waktu untuk mengajar mengaji para
penduduk di daerah ini. Sampai dengan pertengahan abad XX kegiatan seperti
tersebut masih berlangsung, sehingga menempatkan Pulau Wawonii sebagai salah
satu pusat penyebaran agama Islam di Sulawesi Tenggara. Terbukti salah seorang
bangsawan Konawe bernama Lakidende pada abad XVIII, setelah memperoleh
pengetahuan dasar agama Islam di Konawe, selanjutnya melanjutkan pendidikannya
di Wawonii. Pada saat yang bersamaan Mokole (Raja) Konawe mangkat, maka sesuai
dengan tradisi kenegaraan bahwa Pitu Dula
Batu (Dewan Adat Konawe) bermusyawarah untuk menentukan penggantinya,
akhirnya disepakati bahwa yang berhak menggantikan Mokole adalah Lakidende yang
sedang menuntut ilmu agama Islam di Pulau Wawonii, diutuslah perwakilan untuk
menemuinya, tetapi utusan tidak mendapatkannya karena Lakidende melanjutkan
pendidikannya di Tinanggea salah satu wilayah pesisir selatan Kerajaan Konawe
yang juga merupakan pusat perdagangan orang Bugis (sekarang ini didominasi oleh
Suku Bugis). Utusan menyusulnya ke Tinanggea ini, selanjutnya Lakidende kembali
ke Ibu Kota Kerajaan di Unaaha untuk memangku jabatan Mokole di Kerajaan
Konawe.
Informasi
tersebut, menunjukkan suatu fakta akan peran para pelayar Bugis/Makassar
khususnya pedagang Bugis dari Bone dalam aktivitas perdagangan yang
dirangkaikan dengan misi penyebaran agama Islam. Misi penyebaran agama Islam
ini nampak dari adanya ungkapan di kalangan para keluarga pelayar bahwa jika
hendak berlayar hendaknya santari riolo
tauwe=jika hendak berlayar sebaiknya santri dulu. Artinya seorang pelayar
harus pintar pengaji/membaca Al-Qur’an sehingga kelak ketika berada
diperantauan dapat mengajarkannya kepada masyarakat setempat. Selain itu, juga
harus makhir membaca Barzanji, yang
merupakan media syiar Islam yang dirangkaiakan dengan upacara-upacara daur
hidup masyarakat Bugis/Makassar yang selanjutnya didifusikan kepada masyarakat
di daerah perantauan.
2.
Migrasi orang Bugis/Makassar dan Bajo
a.
Faktor
Sosial
Bagi
masyarakat di daerah Mekongga (Kolaka), Konawe (Kendari), Wuna (Muna), Wolio
(Buton), Moronen, dan Pulau Wawonii percaya bahwa asal-usul raja pertama di
wilayahnya adalah dari To Manurung, meskipun dalam ungkapan bahasa dan gelar
yang berbeda-beda. To Manurung dianggap orang yang turun dari kayangan
(langit), dan senantiasa disimbolkan dengan bambu kuning/gading, emas dan warna
kuning lainnya. (Anwar, 2003).
Kerajaan-kerajaan
tradisional di Sulawesi Tenggara mengakui adanya hubungan historis dengan
Sawerigading dari Luwu yang dihubungkan dengan kedatangan To Manurung (orang asing). Di Mekongga
ditandai dengan kedatangan La Rumbalangi yang berhasil membunuh burung kongga,
kelak menjadi raja pertama di Kerajaan Mekongga. Di Konawe Tomanurung ditandai
dengan kedatangan Wekoila yang merupaka raja pertama di Kerajaan Konawe sekitar
abad X. To Manurung di Wuna disebut Beteno ne Tombula orang yang keluar dari
ruas bambu yang kelak menjadi Raja Wuna Pertama juga kawin dengan perempuan To
Manurung. Wakaaka merupakan To Manurung di Wolio kelak juga menjadi Raja Wolio
Pertama (Anonim, 1982). Di masyarakat Moronene khususnya yang bermukim di Pulau
Kabaena percaya bahwa ketika terjadi kemelut politik maka muncullah Tebeto Tulanggadi=laki-laki tampan yang
muncul dari bambu gading. Pada saat
yang sama muncul pula seorang perempuan asing bernama Wulele Waru, seorang putri yang terpencar dari sekuntum
bunga kayu waru (Subur, 1990). Di Wawonii raja pertama muncul ditandai dengan
ditemukannya sebuah wadah dari emas yang berisi seorang bayi laki-laki. Kelak
bayi ini bernama Wawonii, kemudian
kawin dengan perempuan yang ditemukan dari ruas bambu kuning.
Istilah
bambu kuning tersebut semakin menguatkan adanya kesamaan dalam arti terdapat
hubungan historis dan kekerabatan antara raja-raja pertama yang berhasil menata
administrasi dan struktur pemerintahan tradisional yang ada di Sulawesi
Tenggara. Mereka secara tidak langsung mengakui bahwa para pendatang yang
sering disebut to manurng (orang asing yang memiliki kelebihan) itu adalah
Sawerigading atau keluarga/keturunan raja dari Luwu atau daerah Bugis/Makasar
khsusnya dari Kerajaan Bone, Gowa, dan Mandar.
Kedatangan to manurung tersebut sering
dihubungkan dengan perjalanan Sawerigading ke dunia timur (sempe’na Sawerigading lao ri Tana Lau/lao ri Tomporekkesso) yang menyebabkan persebaran Suku Bugis/Makassar dan
Suku Bajo di daerah-daerah perantauannya. Tetapi secara faktual bahwa orang
Bugis yang lebih dekat wilayahnya dengan Sulawesi Tenggara, umumnya memiliki
gaya hidup yang lebih dinamis, lebih mudah bersosialisasi dan beradaptasi. Melalui
filosofi hidup di rantau yang harus meraih sukses, maka konsep “tiga ujung”
(ujung lidah/diplomasi, ujung laki-laki/kawin politik, dan ujung
keris/keberanian), memegang peranan penting dalam mempertahankan eksistensi
orang Bugis di negeri rantau (Anwar, 2003).
Salah satu faktor sosial sehingga terjadi migrasi karena adanya kemelut sosial seperti dipermalukan oleh raja/bangsawan, sehingga terkena siri’ maka jatuhlah pilihan untuk merantau dengan membawa budaya tulis mereka. Fenomena sosial yang ada di Daratan Sulawesi Tenggara khususnya di Kota Kendari dan wilayah-wilayah pemukiman di pesisir pantai memperlihatkan persamaan dengan pola pengembangan budaya yang ada di Bandung seperti ditunjukkan hasil penelitian Bruner, di mana kebudayaan tertentu sudah menjadi dominan (Suparlan, 2000). Pola pengembangan budaya di Kendari memperlihatkan budaya Bugis lebih dominan dibanding dengan budaya etnis lainnya, meskipun gejala konflik tidak pernah muncul dipermukaan. Dewasa ini dalam kehidupan sosial, nampak dengan jelas dominasi budaya Bugis seperti di pasar dan pelabuhan laut, para penjaja ikan dari rumah-ke rumah menggunakan Bahasa Bugis seperti ucapannya dengan berteriak: balee (ikan), meskipun yang melakukan aktivitas itu dari Suku Muna. Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa dan budaya Bugis begitu dominan dalam kehidupan sosial, bahkan beberapa etnis yang bermukum di Kota Kendari dengan fasih berbahasa Bugis dan tidak sedikit mengaku sebagai Suku Bugis, sehingga lahir fenomena pembugisan dan muncul istilah ugi tongka=saya juga Bugis atau Bugis Kendari. Tentu saja mereka terpengaruh oleh budaya bugis dalam suatu perjalanan sejarah yang cukup panjang, diantara mereka juga dapat memahami aksara lontarak. Hanya sayangnya, terjadi stagnasi pemahaman aksara ini, ketika pergolakan DI/TII Kahar Muzakkar yang banyak memusnahkan naskah lontarak akibat pembakaran rumah-rumah penduduk.
b.
Faktor
Ekonomi
Adanya
motivasi ingin mencari penghidupan yang lebuh baik, sehingga masyarakat
Bugis/Makassar, dan Mandar (BMM) berlayar meninggalkan negerinya di wilayah
Sulawesi Selatan untuk berdagang keluar seperti: ke Pulau Jawa, Sumatera,
Semenanjung Malaysi di barat, dan Tanah Lau seperti: ke wilayah Sulawesi
Tenggara. mereka membawa barang dagangan dari wilayah Sulawesi Selatan (Mandar,
Pangkep, Maros, Gowa, Jeneponto, Bulukumba, Sinjai, Bone, dan Wajo) atau dari
wilayah Pulau Jawa dan Sumatera/Semenanjung Malaysia. Barang-barang tersebut
dijual baik dengan melalui alat tukar uang maupun dengan sistem barter.
Berbagai
sumber mengungkapkan bahwa Kota Kendari terbentuk seiring dengan berkembangnya
kota-kota dagang di Nusantara yang menjadi daerah pangkalan para pedagang dari
berbgai daerah untuk mengumpulkan barang dagangan sekaligus melakukan transaksi
dengan penduduk setempat baik dilakukan secara barter maupun dengan menggunakan
alat tukar uang atau barang lainnya. Terbentuknya Kota Kendari diawali dengan
terbukanya Teluk Kendari menjadi pelabuhan bagi para pedagang, khususnya
pedagang Bajo dan Bugis yang datang berdagang sekaligus bermukim di sekitar
Teluk Kendari. Fenomena ini juga didukung oleh kondisi sosial politik dan
keamanan di daerah asal kedua suku bangsa tersebut di Kerajaan Luwu dan
Kerajaan Bone.
Menurut
Chalik (1984) bahwa pada awal abad ke-19 sampai dengan kunjungan Vosmaer
(seorang Belanda) pada tahun 1831, Kendari merupakan tempat penimbunan barang
(pelabuhan transito). Kegiatan perdagangan kebanyakan dilakukan oleh orang Bajo
dan Bugis yang menampung hasil bumi dari pedalaman dan dari sekitar Teluk Tolo
(Sulawesi Tengah). Barang-barang tersebut selanjutnya dikirim ke Makassar atau
ke kawasan Barat Nusantara sampai ke Singapura.
Kemelut
politik yang terjadi di Kerajaan Bone berdampak terhadap dinamika masyarakat
Bugis, banyak diantara mereka yang tidak bersedia menerima kehadiran Belanda
dan merasa terganggu aktivitasnya, bermigrasi ke darah aman termasuk ke
Kendari, diantara mereka itu terdapat Suku Bugis dan Suku Bajo yang bermukim di
Bajoe yang merupakan medan pertempuran rakyat Bone melawan Belanda (Chalik,
1984). Pernyataan serupa juga dikemukakan dalam Lontarak Asal Usul Suku Bajo
yang menyatakan bahwa orang Bajo yang telah mengungsi dari Luwu ke Gowa
kemudian ke Bone bersamaan dengan kembalinya Arung Palakka berkuasa di Bone
setelah mengalahkan Hasanuddin tahun 1670, kemudian setelah perang Bone melawan
Belanda kembali orang Bajo mengungsi ke berbagai daerah di NTB, Kendari,
Salabangka, Pulau Togeang di Sulawesi Tengah (Lontarak Assalenna Bajo; Anwar,
2000a).
c.
Faktor
Politik
Pertentangan
politik baik antar kelompok bangsawan maupun karena perang melawan orang asing,
seperti yang terjadi di Kerajaan Bone dalam perang melawan Belanda yang
berakhir dengan kekalahan Bone, sehingga banyak penduduk yang tidak bersedia
menerima kehadiran penjajah bermigrasi ke beberapa wilayah di luar Kerajaan
Bone, termasuk ke Sulawesi Tenggara.
Aru
Palakka yang mengungsi ke Buton bersama pangikutnya dari Soppeng
dan Bone tiba di Buton pada tanggal 19 Agustus 1660, oleh orang Buton ia diberi
gelar La Tondu, mereka melarikan diri ke Buton untuk mencari simpati dari
Sultan Buton karena pada saat yang sama mendapat ancaman dari Gowa. Di Buton
Arupalakka mendapat perlindungan dari Sultan Buton, ia ditempatkan dalam
keraton Buton, ketika pasukan Gowa yang mengejarnya tiba di Buton, maka Sultan
Buton menyatakan bahwa tidak ada Arupalakka di atas permukaan tanah Buton,
karena secara diplomatis pada saat pasukan Gowa tiba di Buton Arupalakka
bersembunyi di dalam gua disamping Benteng Keraton Buton. Suatu pernyataan
diplomatis yang cukup cerdik dan bijaksana dari Sultan dan rakyat Buton bahwa
memang benar Arupalakka tidak di atas tanah Buton, karena ia ada di bawah dan
di atas tanah sebab berada di dalam gua. Dari sinilah Arupalakka kemudian
bertemu dengan bangsa Belanda dan berusaha menjalin kerja sama untuk
membebaskan rakyat Bone dan Soppeng yang dijajah oleh Gowa.
Seperti
yang terjadi pada kasus Perkawinan Wa Ode Kadingke Putri Raja Muna XVI La Ode
Huseini dengan seorang bangsawan Bugis Bone yang tinggal di Kerajaan Tiworo
bernama Daeng Marewa. Secara adat perkawinan ini dianggap kontroversial karena
ditentang oleh sebagian bangsawan Muna termasuk Raja Muna La Ode Sumaili. Upaya
Wa Ode Kadingke mempertahankan syariat Islam yang tidak memberatkan bagi
seorang calon suami untuk menyiapkan maskawin kepada calon istrinya. Pendapat
mana dianggap bertentangan dengan hukum adat Muna bahwa apabilan seorang
perempuan yang kawin dengan orang dari luar kelompok etnisnya, maka sang calon
suami harus menyiapkan maskawin lebih besar lagi dibanding dengan jika calon
suami dari anggota kelompoknya. Perang
saudara berakhir dengan kemenangan dipihak Wa Ode Kadingke, dan Raja La Ode
Sumaili dijatuhi hukuman pukul sampai mati pada tahun 1799. Dengan demikian
syariat Islam dapat mengalahkan hukum adat yang telah berlaku secara
turun-temurun di Kerajaan Muna (Batoa, 1991).
Arung Bakung salah seorang
pelarian politik dari Kerajaan Bone, pada mulanya bermukim di Muara Sampara
wilayah Kerajaan Konawe, kemudian pindah di Teluk Kendari, selanjutnya ke
Tiworo kawin dengan bangsawan Tiworo, kemudian Anaknya La Sambawa mengawini
Maho putri mahkota Ranomeeto, dialah yang melahirkan La Mangu yang kelak
mendirikan Kerajaan Laiwoi. Kerajaan ini diperintah oleh dinasti
Bugis-Muna-Tolaki, suatu gambaran nyata bentuk hebungan kekerabatan melalui
perkawinan. Inilah yang kelak mengembangkan Kota Kendari sampai pada taraf
sekarang ini. Di Kota Kendari sekarang ini sulit memisahkan antara ketiga etnis
tersebut bahkan dengan etnis lainnya karena mereka lentur atau menyatu dalam
suatu tatanan baru yang mereka kembangkan sendiri, oleh Chalik dkk (1984)
disebutnya proses pembugisan yang melahirkan etnis baru “Bugis Kendari”, dengan
ciri budaya dalam wujud bahasa Bugis dengan dialek yang khas.
C. Fungsi Naskah Lontarak
1.
Pendidikan
Dalam sistem pendidikan Islam pada
beberapa etnis di Sulawesi Tenggara, mereka menggunakan bahasa Bugis/Makassar.
Kegiatan pengajaran baca-tulis Al-Qur’an menggunakan bahasa Bugis dan aksara
lontarak. Pengajaran dasar-dasar Al-Qur’an Suku Tolaki, Moronene, Bajo, dan
Wawonii serta di Pulau Menui (Sulawesi Tengah) banyak menggunakan bahasa
Bugis/Makassar, khususnya kegiatan belajar mengeja huruf-huruf Al-Qur’an,
seperti: alefu ri wawona a;
alefu ri awana i, alefu
dapenna u (a-i-u); alefu
di wawona a; ba ri wawona ba; ta ri wawona ta
(a-ba-ta). Pemanfaatan aksara lontarak terjadi dalam kegiatan untuk
mendalami makna Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang ditulis dalam bahasa
Bugis/Makassar atau bahasa setempat, tetapi menggunakan aksara lontarak. Ini
terjadi karena aktivitas da’wah Islamiyah banyak dilakukan oleh muballigh dari
etnis Bugis/Makassar, dan Mandar mereka menggunakan aksara lontarak sebagai
media komunikasi pendidikan Islam.
2.
Perdagangan
Dalam
rangka melakukan komunikasi dan transaksi perdagangan mereka mengalami kendala,
sehingga menggunakan bahasa Bugis/Makasaar dan aksara lotarak. Barang dagangan
diberi identitas nama atau merek dengan menggunakan aksara lontarak dan umumnya
menggunakan Bahasa Bugis/Makassar dan atau bahasa daerah setempat. Buku catatan
transaksi perdagangan dan dokumen pengiriman barang semuanya dicatat dalam
aksara lontarak. Kondisi ini mengharuskan lawan bisnisnya harus mampu memahami
aksara lontarak dan bahasa Bugis yang pada saat itu menjadi bahasa perdagangan
di wilayah-wilayah pantai Sulawesi Tenggara.
3.
Adat-istiadat dan Kehidupan Sosial
Adat-istiadat seperti
aturan/norma perkawinan ditulis dalam aksara lontarak, termasuk aturan mahar
dan denda. Sistem pinjam-meminjam barang, silsilah keturunan yang sering
disebut stambuk. Ilmu perbintangan yang disebut falakiyah yang dihiasi dengan
simbol-simbol tentang hari dan waku yang baik dan tidak baik untuk melakukan
suatu aktivitas penting, seperti: pindah rumah baru, pesta pernikahan, dan
bepergian jauh. Demikian pula hajatan lain yang berhubungan sistem mata
pencaharian, misalnya: waktu memulai membuka lahan perkebunan, memulai
penanaman, saat memulai panenan. Bagi masyarakat nelayan, juga terdapat
tradisi, seperti: awal musim penangkapan ikan di laut, pemasangan sero, dan
pesta syukuran yang berhubungan dengan keberhasilan produksi/panenan, sunatan,
dan aqiqah.
Contoh dalam Lontarak Asal-usul
Suku Bajo dikatakan: sibuangessi gau
ripassalenna gau abbainengngE ri sesena sompaE komui riabbatireng ammanarengngE
pada rialena ripatuttungi poasengngE sompa iyyagi na 88 (aruwa pulona aruwa)
iyyagi na 77 (pituppulo pitu, iyyagi na 66 (enneppulona enneng) iyyagi na 44
(patappulo eppa) iyyagi na 22 (duwapppulo duwa), iyyagi na 11 (seppulo seddi),
nako sompa 88 (aruwa pulona aruwa) adeE makkepunna 8 (aruwa) rellana, nako sompa
44 (patappulo eppaa) AdeE makkepunna 4 (eppaa) rellana, sompa 22 (duwappulo
duwa) AdeE makkepunna 2 (duwa) rellana.
Artinya:
Suatu perbuatan/kegiatan tentang perkawinan sekitar mahar yang
tergantung pada strata keturunan yang diikuti dengan mahar, apakah 88, atau 77,
atau 66, atau 44, atau 22, atau 11. Jika mahar 88 Adat memperoleh 8 real, jika
mahar 44 Adat memperoleh 4 real, mahar 22 Adat memperoleh 2 real.
Pada bagian lain dalam lontarak
yang sama juga dibahas tentang proses perkawinan antara bangsawan dengan non
bangsawan, antara merdeka dengan hamba sahaya, atau antara hamba dengan
bangsawan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa jika orang merdeka akan memperistri
hamba 44 maharnya, apabila sahaya dengan sahaya maharnya 22 atau 11 real. Jika
sahaya akan kawin dengan merdeka ttidak dapat dilakukan kecuali jika dia kawin
lari. Dalam lontarak yang sama juga membicarakan masalah norma, seperti
pencurian lengkap dengan sangsinya.
4.
Kesenian
Seni suara,
nyanyian, pantun dan syair. Acara barzanji
yang dilagukan dan bahkan dapat diterjemahkan dalam Bahasa Bugis dan ditulis
dalam aksara lontarak. Seni barzanji yang berkembang di daerah Sulawesi
Tenggara dalam arti lagu-lagu dan variasi zikir yang dibacakan dalam bentuk
lagu memiliki unsur seni, mengalami perkembangan yang tidak lagi sama persis
dengan sumbernya di Sulawesi Selatan.
Kebiasaan
berpantun di kalangan orang Bajo dan bernyanyi, merupakan fenomena yang semakin
berkembang di kalangan mereka yang dirangkaikan dengan kesenian modero yang berbalas pantun. Kebiasaan
seni lainnya adalah bernyanyi sepanjang perjalanan dalam pelayaran sambil
mendayung dan mengarahkan pelayaran perahu mereka bernyanyi.
5.
Politik
Beberapa
aspek politik yang ditulis dalam aksara lontarak, seperti: catatan harian
Kepala Kampung, tatanan pemerintahan, struktur pemerintahan, sampai pada
perjanjian antar negara. Kewenangan suatu pemerintahan setiap negeri atau
kampung misalnya dibahas dalam lontarak asal-usul Suku Bajo. Perjanjian antar
negara misalnya dilakukan antara Kerajaan orang Tolaki yaitu Kerajaan Laiwoi
yang berpusat di Kendari dengan Pemerintah Hindia Belanda 17 Mei 1887 dan 31 Mei 1890. Dalam Lontarak Assijanjingeng (lontarak
perjanjian) ini antara lain dikatakan bahwa:
nasibawa ritajenna tuwang Goronadoro Jenerala ri tana Nidirilada Indiya.
Narilaleng asenna topa Goboroname Nidirilada Indiya. Nanawinruui sompungeng
assijanjingengngEwe sibawa Sao-Sao Arung Laiwui enrengngE Ade ToMabbicarana
TanaE ri laiwui.
Pelarian Aru Palakka ke Buton bersama pangikutnya
dari Soppeng dan Bone pada 1660, yang kemudian melahirkan sitilah hubungan
persahabatan yang cukup erat yang diperoleh dari ungkapan
kekerabatan yang dikenal dalam bahasa Bugis: Buton ri Aja- Bone ri Lauk. Artinya: Kerajaan Bone juga
merupakan negeri Orang Buton yang ada di sebelah Barat; dan Kesultanan Buton
juga merupakan negeri Orang Bone yang ada di sebelah Timur. Makna lebih lanjut
adalah jika orang Buton berangkat ke wilayah Kerajaan Bone maka dia tidak lagi
dianggap sebagai orang asing, tetapi dianggap sebagai warga negara, demikian
pula jika Orang Bugis Bone berada di Buton maka dia menjadi tuan rumah atau
warga negara Buton.
Diantara
Suku bangsa yang paling banyak memanfaatkan lontarak selain dari etnik
Bugis/Makassar, dan Bajo di Sulawesi Tengara adalah Suku Tolaki dan Suku
Wawonii. Penyebabnya adalah kedua suku ini kurang dinamis dalam arti mereka
kurang mobilitas ke daerah lain, berbeda dengan Suku-suku yang ada di Buton dan
Suku Muna yang banyak menggunakan aksara Arab-Melayu. Bagi Suku Tolaki dan
Wawonii hampir semua kegiatan politiknya yang dilakukan dalam bentuk tertulis
dilakukan dalam aksara lontarak dan Bahasa Bugis atau bahasa setempat.
Bagi masyarakat Moronene di
Pulau Kabaena yang berhadapan langsung dengan Kerajaan Bone, mengaku pernah
melakukan Perjanjian Sikeli.
Perjanjian ini terjadi ketika salah seorang perantau Bugis pada tahun 1910
mengambil inisiatif untuk membuka perkebunan di daerah Sikeli. Tokoh tersebut
bernama Daerang Sitanga bersama dengan menantunya bernama Daeng Mangawi,
sebelum memulai kegiatannya terlebih dahulu meminta restu dari Mokole Kabaena,
Mokole menanggapinya dan menyatakan perlunya ada perjanjian, akhirnya
disepakati kedua belah pihak yang antara lain isinya: Orang Bugis bisa membuka
perkebunan, tetapi pada suatu saat nanti ketika meninggalkan Kabaena (Sikeli),
maka tumbuh-tumbuhan yang telah ditanamnya harus ditinggalkan begitu saja tidak
bisa dijual, sehingga menjadi milik penduduk setempat sebagai ganti dari kayu
yang telah ditebang untuk mebuat kebun. Selanjutnya kebun tersebut akan diatur
lebih lanjut oleh pemerintah kerajaan.
6.
Agama dan Kepercayaan
Pada kelompok dan
individu anggota masyarakat di Pulau Wawonii, Tolaki (Konawe), dan Kepulauan
Menui masih dapat ditemukan orang yang dapat berbahasa Bugis dan menulis dalam
aksara lontarak. Pemanfaatan aksara lontarak, masih banyak ditemukan dalam
proses pengobatan penyakit dengan menggunakan mantra-mantra dari bahasa Bugis,
Makassar, Mandar, dan bahasa setempat tetapi menggunakan aksara lontarak.
Lontarak dalam bahasa Bugis dapat ditemukan pada masyarakat Bajo yang ada di
wilayah-wilayah pesisir pantai Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, masih sebagian
kecil yang dicopy dan tersimpan di Museum Sultra, namun masih banyak yang belum
teridentifikasi atau masih sulit diperoleh karena pemiliknya sering mengaitkan
dengan aspek magis-religius.
Hutbah Jum’at juga masih
sering dilakukan dalam Bahasa Bugis dan aksara lontak, khususnya oleh para
anggota masyarakat yang memiliki pertalian darah dengan suku Bugis di
daerah-daerah konsetrasi pemukiman suku Bugis di daerah-daerah pantai dan
perkebunan di pedalaman. Dalam sistem pengobatan seperti peddii eppong (sakit perut), peddii
ulu (sakit kepala), mantra-mantra yang merupakan percampuran Bahasa Bugis,
Makassar, Mandar, bahasa setempat dan Bahasa Arab merupakan suatu fenomena
tersendiri dan dianggap memiliki kekuatan religius. Mantra-mantra ini merupakan
bagian dari ilmu sihir dipakai oleh masyarakat setempat misalnya: untuk menarik
simpatik seorang gadis, melumpuhkan lawan melalui kekutan batin (santet).
Demikian pula, cara penangkis dan pengobatannya ditulis dalam bahasa dan aksara
yang sama.
Ada kecenderungan untuk
melestarikan tradisi religius seperti itu di daerah-daerah pedalaman khususnya
di kalangan Masyarakat Tolaki, Wawonii, dan Menui. Terdapat kecenderungan lain
bahwa kelompok-kelompok etnis yang ada merasa bangga memiliki hubungan
kekerabatan dengan Suku Bugis, Makassar, dan Mandar. Hubungan kekerabatan
inilah yang senantiasa dipelihara termasuk bahasa dan aksara, meskipun
penguasaan aksara semakin terdesak, tetapi perkembangan bahasa Bugis semakin
meluas di kalangan mereka.
D.
Penutup
Persebaran aksara
lontarak di Sulawesi Tenggara diawali dengan persebaran Suku Bugis/Makassar,
Mandar dan Suku Bajo dari Sulawesi Selatan ke wilayah-wilayah pantai Sulawesi
Tenggara dan Kepulauan. Persebaran ini baik dilatari oleh faktor Sosial,
ekonomi, dan politik, sehingga mereka membawa budayanya untuk didifusikan
kepada anggota masyarakat yang melakukan interaksi dengannya. Sikap dinamis
yang didukung oleh filosofi Ujung Lidah=kemampuan
berdiplomasi di daerah perantauan merupakan daya dukung dalam memperoleh
simpati dari masyarakat setempat. Sikap keterbukaan masyarakat setempat.
terhadap pendatang yang ramah, sehingga terjadi proses adaptasi dan asimililasi
termasuk perkawinan. Penduduk setempat banyak mengadopsi budaya berupa aksara
lontarak dan bahasa Bugis/Makassar, termasuk unsur-unsur budaya lainnya yang
terkait dengan daur hidup yang berbasis ajaran Islam.
Pemanfaatan aksara
lontarak oleh etnik-etnik di Sulawesi Tenggara dalam bidang pendidikan,
ekonomi, politik, kesenian, agama dan kepercayaay, adat-istiadat dan kehidupan
sosial. Bentuk isi setiap lontarak bervariasi, artinya dalam satu lontarak
dapat berisi beberapa aspek kehidupan, meskipun pada lontarak lainnya, hanya
membahas satu aspek saja.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin,
A.Z. 1995. “Perbandingan Buku Sastra I La Galigo dengan Cerita Rakyat di
Sulawesi Tenggara tentang Hubungan Raja-raja di Sulawesi Selatan dan Raja-raja
di Sulawesi Tenggara”. Makalah Seminar Eksistensi dan Peranan
Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Di Kendari
tanggal 7-8 Agustus 1995.
Anonim.
1976. Monografi Daerah Sulawesi Tenggara.
Kendari: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Anonim.
1982. Dokumenta Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekretariat
DPRD.
Anwar,
dkk. 1989. Tinjauan Historis tentang
Hubungan Bilateral antara Kerajaan Konawe dengan Kerajaan Bone. Kendari:
Balai Penelitian Unhalu.
Anwar. 2000a. Lontarak Assalenna Bajo (Kajian Naskah Lontarak Asal-Usul Suku Bajo).
Jakarta: Fakultas Sastra UI-For Foundation.
Anwar. 2000b. “Pelayaran Niaga Orang
Buton pada Abad XX”. Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 027,
Tahun ke-6 November 2000 (Hal. 694-710).
Anwar. 2003. “Perjalanan Sawerigading ke
Dunia Timur”. Makalah disajikan dalam
Seminar Internasional Sawerigading. Masamba, 10-14 Desember 2003.
Batoa, L.K. 1991. Sejarah Kerajaan Daerah Muna. Raha: Astri.
Bhurhanuddin,
B. dkk. 1978. Sejarah Kebangkitan
Nasional Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek IDKD Depdikbud.
Bhurhanuddin,
B. 1981. Jejak Sejarah Tomanurung. Kendari: Yayasan
Karya Teknika.
Chalik,
H. dkk. 1984. Sejarah Sosial Daerah
Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Djami,
M.A., dkk. 1988. Tinjauan Sejarah tentang
Pelabuhan Teluk Kendari. Kendari: Balai Penelitian Unhalu.
Kern,
R.A. 1993. I La Galigo. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Koentjaraningrat.
1984. Beberapa Pokok Antropologi Sosial.
Jakarta: Dian Kencana.
Meedelingen
van de Afdeling Bestuurszaken der Buitengeweten van het Departement van
Binnenlandsch Bestuur. 1929. Serie A No. 3. Overeenkomstenmet
Zelbesturen ini de Buitengewesten. Landsdrukkerij. Weltevreden.
Mekuo,
J. 1986. Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara.
Kendari: FKIP Unhalu.
Patunru,
A.R.D. 1983. Sejarah Gowa. Makassar:
Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Poesponegoro,
M. D. dan Notosusanto, N. 1984. Sejarah
Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.
Sagimun,
MD, dkk. 1986. Perlawanan dan Pengasingan
Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press.
Subur,
M. 1990. Peranan Sapati Manjawari
terhadap Perkembangan Sejarah dan Budaya Kerajaan Kotua di Pulau Kabaena.
Kendari: Skripsi FKIP Unhalu.
Suparlan, P.
(2000). “Hak Budaya Komuniti dan
Integrasi Kebangsaan”. Makalah disajikan dalam Diskusi Gandi Afternoon
Forum- Nasionalisme dalam Kesetaraan Warganegara Memperkokoh Integrasi
Kebangsaan. Jakarta: 26 Oktober 2000.
Tarimana,
A. 1987. “Sawerigading sebagai Tokoh Legendaris Versi Sulawesi Tenggara”.
Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Folktale
Sawerigading Memperkaya Kebudayaan Berwawasan Nusantara untuk Keteguhan
Integrasi Bangsa. Palu 7-10 Agustus 1987.
Lontarak Assalenna Bajo
Lontarak Assijancingenna Goboroname
Indiya Sibawa Raja Laiwui Sao-Sao.
PEMANFAATAN NASKAH LONTARAK DI LUAR ETNIS BUGIS/MAKASAR
(Suatu Temuan Baru
dalam Kajian Naskah pada Etis-etnis di
Sulawesi Tenggara)
Makalah
Disajikan dalam
Simposium Internasional Pernaskahan VIII
Jakarta 26-28 Juli
2004
oleh
Anwar
Hafid
Panitia Simposium Internasional Pernaskahan VIII
Jakarta
2004
KUMPULAN MAKALAH
SIMPOSIUM
INTERNASIONAL PERNASKAHAN VIII
Jakarta 26-28 Juli 2004
oleh
Anwar Hafid
Panitia
Simposium Internasional Pernaskahan VIII
Jakarta
2004
DAFTAR ISI
1. Beberapa Permasalahan Dalam
Penta-Tahqiq-An Naskah-Naskah Berbahasa Arab (A.Al-Qadir Ahmad)
2.
Texts
in a Codex and Its Signifikance (Aoyama
Toru)
3.
Menggali
Khasanah Kaligrafi Nusantara: telaah Ragam Gaya Tulisan dalam Mushaf Kuno (Ali Akbar)
4.
Genealogi
dalam Rangka Penciptaan Serat Darmasarana Karya R.Ng. Ranggawarsita (Anung Tedjowirawan)
5.
Hikayat
tanah Hitu: Wasiat Imam Rajali (Jan
van der Putten)
6.
Mencari
Hakekat makna Teks dan Konteks (Jamhari)
7.
Naskah
dalam Penelitian Sistem Reproduksi Sastra (Sapardi
Djoko Damono)
8.
Laporan
Penyelenggara Simposium Internasional VIII dan Munas Manassa III
9.
Laporan
Pengurus Manassa Periode 2000-2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar