NILAI-NILAI EDUKATIF DARI PERJALANAN SAWERIGADING
KE NEGERI TIMUR
Oleh:
Anwar Hafid
A. Pendahuluan
Tokoh Sawerigading merupakan sosok
manusia yang luar biasa bagi berbagai kalangan masyarakat di Sulawesi termasuk
Sulawesi Tenggara. Secara faktual diakui keberadaannya oleh minimal empat
daerah/kerajaan di wilayah Sulawesi Tenggara, bahkan ditempatkan sebagai sosok
manusia yang memiliki kelebihan dan kepemimpinan yang luar biasa sehingga
kehadirannya mendapat sambutan bagi masyarakat. Kedatangannya disimbolkan sebagai
manusia penyelamat, ketika kondisi sosial politik dalam situasi yang tidak
menguntungkan, sehingga kedatangannya bagaikan juru selamat bagi masyarakat
setempat dalam arti banyak mentransfer nilai-nilai edukatif yang dapat
memberikan visi dan wawasan kepada masyarakat setempat.
Bagi masyarakat di daerah Mekongga
(Kolaka), Konawe (Kendari), Wuna (Muna), dan Wolio (Buton) percaya bahwa
asal-usul raja pertama di wilayahnya adalah dari To
Manurung, meskipun dalam
ungkapan bahasa dan gelar yang berbeda-beda. To Manurung dianggap orang yang
turun dari kayangan (langit), dan senantiasa disimbolkan dengan bambu atau
gading, atau emas dan warna kuning lainnya. Makna bambu sebagai peralatan hidup
dan tempat tinggal, atau gading berarti kuning dan juga menunjukkan kemuliaan,
sehingga pengikut Sawerigading dianggap memiliki sifat-sifat yang mulia,
seperti suka menolong, dan dapat menganyomi masyarakat.
Sawerigading atau pengikutnya selalu
muncul dalam situasi politik dan sosial yang tidak kondusif, sehingga
kedatangannya yang memiliki kelebihan baik dari segi wawasan, pengetahuan dan
pengalaman atau diplomasi maupun dalam strategi politik dan pertahanan/keamanan
dibandingkan dengan penduduk setempat. Berbekal kemampuan tersebut, ia dapat
mengendalikan situasi politik dan sosial di daerah perantauan, akhirnya
menimbulkan kepercayaan dan simpati dari masyarakat setempat untuk memberinya
amanat menjadi pemimpin mereka.
Perjalanan Sawerigading ke dunia timur Ssempe’na Sawerigading Lao ri Tana Lau/Lao ri Tomporekkesso) merupakan perjalanan politik dan diplomasi yang sarat
dengan nilai edukatif untuk kebesaran dan kemasyhuran Kerajaan Luwu dan Orang
Bugis, persebaran Suku Bajo, maupun daerah-daerah perantauannya. Pengakuan Suku
Bajo yang tersebar di kawasan Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi
Utara bahwa asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Sulawesi Selatan (Ussuk
Luwu). Meskipun ada anggapan bahwa Bajo tetap Bajo, artinya bagaimanapun mereka
akan tetap berada di laut, tetapi seiring dengan pelayaran orang Bugis, maka
ikut pula orang-orang Bajo. Tetapi secara faktual bahwa orang Bugis yang
umumnya memiliki gaya hidup yang lebih dinamis dan proses interaksi lebih
fleksibel kepada kelompok lain, lebih mudah bersosialisasi dan beradaptasi.
Keberadaannya yang memiliki kelebihan finansial dan wawawan ilmu pengetahuan,
sehingga mereka dapat diterima oleh masyarakat setempat. Lebih dari itu,
penerimaan bukan sekedar diakui eksistensi keberadaannya sebagai individu yang
memiliki hak untuk hidup sejajar dengan anggota kelompok masyarakat setempat,
tetapi tidak sedikit dari para pelayar dan perantau Bugis ini dapat ditokohkan
oleh penduduk di rantau dan diminta sebagai raja atau pengawal pribadi. Melalui
filosofi hidup di rantau yang harus meraih sukses, maka konsep “tiga ujung”,
memegang peranan penting dalam mempertahankan eksistensi orang Bugis di negeri
rantau.
Akibat perjalanan politik/diplomasi
Sawerigading bersama keluarga Raja Luwu ke dunia timur yang memiliki nuansa
edukatif, menyisahkan minimal empat fakta historis yang masih bertahan sampai
saat ini: (1) berkembangnya tradisi lisan tentang raja pertama dan turunan
raja-raja di kawasan ini berasal dari keluarga Sawerigading atau dari Kerajaan
Luwu, (2) persebaran Suku Bugis dan Suku Bajo di kawasan ini yang mengakui
secara lisan dan tulisan (lontarak Bajo) yang menyatakan nenek moyang mereka
berasal dari Ussuk Luwu, (3) berkembangnya pelayaran dan pemukiman orang Bugis
dan Bajo di kawasan ini dengan tidak menimbulkan konflik diantara
kelompok-kelompok etnis setempat, (4) ditemukannya bukti baik lisan maupun
tulisan dan visual tentang peninggalan Sawerigading di daerah seperti: cerita,
nyanyian, seni sastra, dan tempat tertentu.
B.
Beberapa Versi Masyarakat Sulawesi
Tenggara tentang Sawerigading
1.
Konsep Sawerigading
Nama atau istilah Sawerigading dalam
tinjauan bahasa Bugis, berasal dari dua suku kata. Kata Sawe=berkembang biak; ri=menunjukkan tempat; dan gading=sejenis bambu
kuning. Masih dalam versi Bugis gading diartikan sebagai taring gajah atau menjadi kata sifat benda-benda yang berwarna kuning,
seperti tebbu gading (tebu yang manis dan berwarna
kuning). Dalam arti ini
terkandung makna kemuliaan dan kebagusan (Bhurhanuddin, 1981).
Sawerigading juga ditafsirkan sebagai
manusia yang berkembang biak di bambu atau di gading. Pendapat tersebut dapat
dihubungkan dengan mitos sebagai orang yang keluar dari ruas bambu atau dari
selah-selah bambu. Penafsiran lain sesuai dengan tradisi lisan yang menyatakan
bahwa leluhur sawerigading adalah manusia yang berkembang biak di atas rakit
bambu (gading) dalam pelayaran. Pendapat ini didukung oleh gerak perpindahan
dan pelayaran penduduk yang berbahasa Melayu-Polinesia atau Mongoloid dari
daratan Asia Tenggara ke Nusantara pada masa bercocok tanam (Poesponegoro,
1984). Secara faktual bahwa pada awal pemukiman penduduk khususnya orang Bugis
di pantai membuat rumah dengan tiang dari bambu, tangga dari bambu, lantai (salimaa) dari bambu, dinding (renring tedde) dari bambu,
bagian dari atap dan peralatan bagian atas rumah juga dari bambu.
Jika konsep La Galigo menyebut adanya
tiga negeri yaitu: negeri bawah, negeri tengah, dan negeri atas. Maka dapat
ditafsirkan bahwa negeri atas adalah Tana Toraja (Bhurhanuddin, 1981), negeri
tengah adalah Luwu, dan negeri bawah adalah pemukiman suku laut di perairan
Teluk Bone (Ussu dan BajoE) di mana orang Bajo yang ada di Sulawesi Tenggara
mengakui sebagai asal-usul leluhur mereka.
2. Konsepsi Tomanurung di Kerajaan-kerajaan Tradisional Sulawesi
Tenggara
Kerajaan-kerajaan tradisional di Sulawesi
Tenggara mengakui adanya hubungan historis dengan Sawerigading dari Luwu. Di Sulawesi Tenggara kehadiran Sawerigading
selalu dihubungkan dengan kedatangan To
Manurung (orang asing). Persepsi yang sama juga ditemukan pada tradisi di
kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, seperti: Gowa dan Bone. Pada sisi lain suku
Bugis, suku Makassar, Suku Mandar dan suku Massenrempuluk mengakui pula bahwa
asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Ussuk, diperkuat dengan tradisi
raja-raja Bugis, Makassar, dan Mandar menghormati Raja Luwu sebagai primus interparis (Abidin, 1995).
Dalam lontarak Bajo (ditulis orang Bajo di Kendari) juga mengakui asal-usul
nenek moyang mereka berasal dari Ussuk, dan kerajaa-kerajaan tradisional di
Sulawesi Tenggara (Mekongga, Konawe, Wuna, dan Wolio) mengakui asal-usul
raja-raja mereka berasal dari keluarga Raja Luwu (Sawerigading).
Di Kerajaan Mekongga ditandai dengan
kedatangan La Rumpalangi (Bugis) La Rumbalangi (Tolaki) yang berhasil membunuh burung kongga, kelak menjadi raja
pertama di Kerajaan Mekongga. Di Konawe Tomanurung ditandai dengan kedatangan Wekoila yang merupaka raja
pertama di Kerajaan Konawe sekitar abad X. To Manurung di Wuna disebut Beteno ne Tombula orang yang
keluar dari ruas bambu yang kelak menjadi Raja Wuna Pertama juga kawin dengan
perempuan To Manurung. Wakaaka merupakan To Manurung di Wolio kelak juga
menjadi Raja Wolio Pertama (Anonim, 1982).
Sampai saat ini masih terdapat
kecenderungan masyarakat Sulawesi Tenggara untuk semakin mempererat hubungan
darah dengan orang Bugis melalui perkawinan. Gejala tersebut memperkuat tradisi
lisan mereka yang menyatakan memiliki hubungan darah dengan Sawerigading atau
bangsawan dari kerajaan-kerajaan di Sulwesi Selatan, dan bahkan semakin
meningkat kecenderungan diantara etnis setempat untuk dapat kawin dengan orang
Bugis/Makassar.
3. Keluarga Sawerigading menjadi Cikal-bakal Raja-raja di Sulawesi
Tenggara
Perjalanan Sawerigading ke dunia timur,
meninggalkan beberapa bekas termasuk melahirkan cikal-bakal raja-raja di
beberap kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara. Di Kerajaan Mekongga berdasarkan tradisi lisan
menyebutkan bahwa raja pertama di Kerajaan Mekongga berasal dari luar. Ia
disimbolkan sebagai manusia luar biasa yang mampu mengalahkan burung Kongga
yang sering memangsa manusia, dikisahkan bahwa menjelang kedatangannya terjadi
masalah sosial selain merebaknya penyakit menular, juga munculnya burung Kongga
yang memangsa bukan hanya manusia tetapi juga binatang. Menurut Mekuo (1986) La Rumbalangi (Bahasa Tolaki: menggemuruhkan langit; dalam bahasa
Bugis: La Rumpalangii dari kata: La =orang/laki-laki; Rumpa=membobol;
langii=langit atau laki-laki yang dapat membobol langit) datang dari kayangan
dengan menumpang sehelai sarung bersulam emas. Ia datang di daratan Sulawesi Tenggara bersama dengan
kerabatnya yaitu Wekoila (Mokole Konawe) dan Wa Sasi. Jika dihubungkan dengan
keberadaan burung Kongga yang disimbolkan sayapnya dapat menutup langit, maka
kedatangan La Rumpalangi dapat membobol langit yang tertutup oleh sayap burung
kongga. Ia melakukan taktik perlawanan dengan menanam bambu-bambu runcing
sebagai senjata perangkap untuk menjebak dan membunuh burung kongga, taktik ini
berjalan dengan efektif sehingga burung kongga berhasil dilumpuhkan oleh La
Rumpalangi.
Masyarakat Mekongga menganggap bahwa La
Rumpalangi sebagai juru selamat yang telah menyelamatkan penduduk yang terancam
maut oleh burung kongga.
Oleh karena itulah, maka setelah negeri ini aman dan La Rumpalangi diangkat
menjadi Mokole/Bokeo (raja), mereka menamai kerajaannya dengan Mekongga
(sekarang menjadi Kabupaten Kolaka). Tradisi setempat mengakui bahwa La
Rumpalangi adalah keluarga Sawerigading dari Luwu.
Tradisi Tolaki Mekongga mengungkapkan
bahwa La Rumpalangi meninggalkan keris (otobo), sembilan keping emas murni, motia naga (mustika naga), dan
bibit padi untuk dikembangbiakkan oleh masyarakat Mekongga (Mekuo, 1986). La
Rumpalangi tidak diketahui kepergiannya, dia menghilang begitu saja, sebagian
pendapat tradisi lisan menyebutkan beliau ke Konawe dan kawin dengan putri
bangsawan Konawe. Tradisi penanaman padi di Sulawesi Tenggara pada dasarnya
berasal dari masyarakat Bugis, sehingga sangat mungkin diperkenalkan oleh
keluarga raja-raja Luwu atau kerabat Sawerigading.
Kedekatan geografis wilayah Mekongga
dengan Kerajaan Luwu menguatkan dugaan akan besarnya pengaruh Kerajaan Luwu
terhadap Kehidupan sosial budaya dan politik di Mekongga. Beberapa bukti
menunjukkan hal itu, antara lain: sejak abad XVI daerah Mekongga (Kolaka)
merupakan bagian dari Luwu dengan menempatkan wakilnya dengan gelar Mincara Ngapa, kemudian pada abad XVII diubah namanya menjadi
Sullewatang Ngapa
(Sulle=pengganti; watang=pokok/tubuh; ngapa=negeri/tanah yang berada di
sepanjang pantai laut) (Abidin, 1995;
Anonim, 1982; Bhurhanuddin, 1978). Pada
waktu Belanda menduduki Mekongga tahun 1908, Kolaka menjadi Onderafdeling dalam wilayah Afdeling Luwu dibantu oleh Sullewatang sebagai aparat
Kerajaan Luwu di Mekongga. Pada masa pendudukan Jepang Sulawesi Tenggara
dijadikan Ken Buton dan Laiwui beribukota Bau-bau meliputi: Bunken Buton, Bunken
Muna, dan Bunken Kendari. Sedangkan Bunken Kolaka tetap dalam Ken Luwu, namun
tidak lama kemudian sebagian wilayahnya dimasukkan ke dalam Ken Malili yaitu
Kolaka Utara. Jabatan swapraja Luwu di Kolaka tetap dipertahankan yaitu Mincara Ngapa yang wilayahnya
seluruh Kerajaan Mekongga (Bhurhanuddin, 1979). Berdasarkan PP RIS No. 21 tahun
1950 Wilayah Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan dipersatukan menjadi Satu
Keresidenan di bawah Propinsi Celebes. Kemudian PP Pengganti UU No. 2 tahun
1964, kemudian disahkan menjadi UU No. 13 tahun 1964 menetapkan Kolaka
(sebelumnya wilayah Luwu), swapraja Laiwui, Muna, dan Buton menjadi Propinsi
Sulawesi Tenggara (Abidin, 1995). Daerah Mekongga merupakan tempat pertahanan
Datu Luwu yang terakhir tahun 1946, dalam perjuangan melawan NICA bersama-sama
dengan pemuda dan rakyat Mekongga.
Di Kerajaan Konawe kehadiran tomanurung
pertama ketika terjadi kemelut politik yang dalam tradisi lisan dikatakan
adanya bencana besar yang berlangsung bertahun-tahun sehingga nyaris
menghancurkan beberapa generasi umat manusia. Secara tiba-tiba datanglah
Wekoila seorang gadis cantik menurut orang Tolaki disebut Sangia Ndudu atau Tono ari wawo sangia (tono=orang; ari=dari; wawo sangia=atas kayangan). Di Kerajaan Konawe dikenal tiga orang Sangia Ndudu, yaitu: (1) To
Lahianga, (2) Wekoila (putri jelita), dan (3) Anawai Ngguluri (putri burung
nuri) (Mekuo, 1986).
Beberapa sumber yang berasal dari tradisi
lisan mengungkapkan bahwa pada masa kehancuran tatanan pemerintahan dan sosial
di daratan Sulawesi Tenggara tiba-tiba datanglah Tandibe atau We Tenriabeng
dari Luwu (saudara kembar Sawerigading) yang oleh orang Tolaki diberi nama Wekoila dari kata We=ciri nama awal seorang perempuan Bugis, Koila=hilang-hilang atau sakti. Wekoila kemudian dipersunting oleh Ramandalangi (putra raja
Totongano Wonuwa) (Anonim, 1976; Mekuo, 1986).
Menjelang kedatangan Wekoila terjadi masa
suram di berbagai sektor kehidupan masyarakat Tolaki, setiap negeri memiliki
pemerintahan sendiri-sendiri yang menyebabkan terjadi kondisi sianre bale ni taue (timbul
kekejaman di mana manusia saling membunuh seperti ikan). Kemunculan Wekoila
membawa persatuan di Jazirah Sulawesi Tenggara (Kerjaan Konawe) (Bhurhanuddin,
1981).
Menurut Bhurhanuddin (1981) Kerajaan
Konawe inilah merupakan Kerajaan Tompotikka atau kerajaan ri Tomporekkesso=Kerajaan Matahari Terbit, atau Tanah Lau=Negeri di
Timur. Secara geografis
kerajaan ini dekat dengan Kerajaan Luwu dan berada di dekat sungai besar
(Sungai Konaweeha). Dalam Bahasa Tolaki Konawe=sungai
eeha=besar atau sunga besar. Jika
dihubungkan dengan bahasa Bugis, maka istilah konaweeha dapat dikaitkan dengan peroses pelayaran keluarga
bangsawan dari Luwu yang dikawal oleh para dayan-dayan (inang pengasuh), ketika memasuki
sungai besar ini dan mendapati perkampungan penduduk, maka sang putri (Wekoila) berkata konawe= di sinilah (bahasa Bugis) artinya
di sinilah kita singgah atau di sini saja kita berlabuh. Sehingga sungai ini kemudian dinamai Sungai Konaweeha, dan kerajaan
yang dibangun oleh masyarakat Tolaki di bawah kepemimpinan Wekoila kelak
dinamai juga Kerajaan Konawe.
Terkait dengan itu, Kern (1993)
mengungkapkan adanya pengasingan terhadap We Tenrirawe (sepupu sawerigading)
yang disebabkan karena percintaannya dengan kakak kembarnya (kembar emas)
Pallawagau yang tidak dibenarkan oleh adat di Tompotikka. Setelah tujuh hari
tujuh malam rakyat berunding akhirnya memutuskan bahwa We Tenrirawe harus
diasingkan. Sesuai dengan keputusan rakyat, maka berangkatlah We Tenrirawe ke
pengasingan diantar oleh segenap rakyat dan kedua orang tuanya We Adiluwu dan
La Tenroaji. Sang ayah menghimbau langit, memohon kepada Sang Pencipta agar
berkenan menerima tebusan pengasingannya dan berharap agar kapal putrinya akan
dituntun ke Luwu di mana Sawerigading sebagai seorang pangeran yang berdarah
sederajat berdiam. Maksudnya mudah-mudahan anaknya dapat mendapatkan
Sawerigading sebagai suaminya.
Setelah berlayar selama limabelas hari,
mereka belum melihat daratan, bahkan diombang-ambing gelombang laut, maka
bermohonlah kepada Opu Samuda (Yang dipertuan di Dunia Bawah), dapat dibandingkan
dengan gelar Ipapu
dalam Lontarak Bajo, mereka ini menguasai perairan di sekitar Kerajaan Konawe.
Permohonan We Tenrirawe disambut oleh Opu Samuda, kemudian memerintahkan
seorang putri naik ke atas menemui We Tenrirawe dengan suatu armada besar, dan
membawa sejumlah perempuan dan harta yang mahal. Kapal-kapal dari dunia bawah
ditambatkan pada kapal We Tenrirawe dengan tali sutera. Selanjutnya mereka
berlayar bersama menuju Wadeng, yang kemudian nampak setelah selama lima belas
hari/malam meninggalkan Tompotikka. We Tenrirawe mengajak inang pengasuh yang
semuanya perempuan sebagai pengiringnya dalam perjalanan (tidak ada laki-laki
yang menemaninya dalam pengasingan) berbincang-bincang tentang kampung apakah
gerangan yang ada di depannya, sekaligus mengingatkan akan kampung halamannya
Tompotikka (Kern, 1993).
Pada tengah malam yang sama La
Tenripeppang di Wadeng bermimpi pula sedang pergi ke sungai untuk mandi bersama
pengiringnya, ia melihat sebuah kapal mendekat, muatannya tak ada selain
wanita, setelah itu matahri dan bulan jatuh ke bawah. Ia pun memungut untuk
memasukkan ke dalam sarungnya, kemudian dibawanya ke istana bagaikan menyala.
Kedua orang tua La Tenripeppang bergembira ria menyatakan pertanda kebaikan
yaitu perkawinan.
Angin bertiup sepoi-sepoi yang
menyebabkan kapal We Tenrirawe semakin mendekat ke pantai, akhirnya mendengar
suara riuh dari rombongan La Tenripeppang yang berusaha membuktikan mimpinya.
Salah seorang utusan naik ke atas kapal, dilihatnya tak seorangpun penumpang
laki-laki, ia berusaha menanyakan identitas penumpang kapal, tetapi salah
seorang pengawal tidak bersedia menjelaskan, hanya menyatakan kami sebenarnya
akan berlayar ke Luwu, tetapi terdampar di sini, utusan memperhatikan sekalian
penumpang kapal, nampaklah seorang gadis cantik bagaikan anak bangsawan.
Informasi tersebut disampaikan kepada
Raja Wadeng dan La Tenripeppang. Segera setelah mendengar informasi tersebut,
maka La Tenripeppang segera menuju kapal dan membujuk inang pengasuh untuk
menceritakan siapakah gerangan isi kapal ini, selanjutnya membujuknya untuk
sudih tinggal di Wadeng. Raja dan rakyat banyak menyambut baik keinginannya
untuk mempersunting gadis cantik yang ada di kapal itu. Segera diutus seseorang
untuk menemui We Tenrirawe, dan menawarkan kepada inang pengasuhnya mas kawin
tertinggi (sompa to Selli). Sang inang pengasuh meminta menceraikan semua istri
La Tenripeppang sebelum mengawini We Tenrirawe.
La Tenripeppang kemudian datang sendiri
ke kapal dan diterima dengan hormat oleh inang pengasuh dan ditekankannya bahwa
We Tenrirawe hanya boleh kawin dengan orang yang berdarah putih. La
Tenripeppang menyuruh utusannya mengiris jari tangannya, ternyata ia mempunyai
darah putih. Inang pengasuh pun melakukan yang sama terhadap We Tenrirawe,
meskiupun berusaha dicegat oleh La Tenripeppang karena ia telah mengetahui
asal-usulnya. Sang inang pengasuh mengusulkan supaya pesta pekawinan
dilangsungkan di atas kapal.
Semua usulan diterima oleh La
Tenripeppang, segeralah dipersiapkan segala sesuatunya, sehingga tiba waktunya
untuk pesta perkawinan yang sangat meriah sang raja memerintahkan menyembelih
banyak kerbau, maka berdandanlah La Teripeppang dengan pakaian kebesarannya
kemudian diantar oleh pengikutnya yang banyak ke pelabuhan. Sang inang pengasuh
We Temmalue menyambutnya dengan menaburinya gorengan beras (wenno). Selesai upacara pernikahan di atas kapal, maka
turunlah ke darat menuju istana dengan
arak-arakan kebesaran.
Di Tomppotikka kedua orang tua We
Tenrirawe (We Adiluwu dan La Tenroaji) terjaga dari tidurnya mengenang
kepergian putrinya. Angin bertiup seakan membawakan berita bahwa We Tenrirawe
telah dipersunting oleh putra mahkota Wadeng La Tenripeppang. Kedua orang
tuanya segera berangkat ke Wadeng untuk menemui We Tenrirawe, setelah berlayar
beberapa lama, akhirnya tiba di depan Wadeng, mereka bersama dengan bajak laut
Ternate, akan tetapi mereka dapat tiba dengan selamat di Wadeng (Kern, 1993).
Negeri Tompotikka yang dikatakan
Bhurhanuddin (1981) sama dengan Konawe, menurut penulis berada di daerah Teluk
Bone mungkin Kerajan Mekongga atau kerajaan lainnya. Demikian pula pendapat
Abidin (1995) yang menunjuk Luwuk Banggai di Sulawesi Tengah, hanya diperkuat
tradisi lisan setempat dan nama Gunung Tompotikka di sebelah barat Kota Luwuk
ibu kota Kabupaten Banggai. Meskipun demikian nama Luwuk untuk ibu kota
Kabupaten Banggai juga merupakan salah satu pengakuan adanya hubungan antara
Kerajaan Luwu di bagian utara Sulawesi Selatan dengan Luwuk di bagian Timur
Sulawesi Tengah.
Sebaliknya, Negeri Wadeng dalam konsepsi
Galigo memiliki persamaan dengan Negeri Konawe, seperti tradisi mandi di sungai
oleh keluarga bangsawan dan masyarakat seperti yang dilakukan oleh La
Tenripeppang (Bugis/Galigo) atau Ramandalangi (Tolaki/Dokumenta) dapat ditunjuk
Sungai Konaweeha, dan nama Konawe sendiri yang memiliki arti tempat
persinggahan, semakin menguatkan adanya pengaruh Bugis di daerah ini. Demikian
pula pelayaran selama lima belas hari dan malam jika berlayar menyusur pantai
dengan perahu layar sederhana maka wajar jika yang ditemukan adalah Konawe.
Pelayaran ke sungai merupakan ciri pelayaran dan perkembangan pemukiman
penduduk dan ibu kota kerajaan pada zaman itu (ingat Kerajaan Kutai, Kerajaan
Sriwijaya).
Banyaknya istri La Tenripeppang (menurut
Galigo) atau Ramandalangi (tradisi Konawe), juga dijumpai dalam tradisi
masyarakat Tolaki sampai saat ini yang memiliki lebih dari satu istri.
Kebiasaan memelihara kerbau karena binatang ini merupakan ukuran kekayaan,
banyak tradisi diukur dengan bilangan kerbau, misalnya seorang laki-laki yang
mengganggu anak gadis seseorang dapat dipeohala (didenda) dengan satu ekor kerbau ditambah satu pis
kain. Tradisi menyembelih banyak kerbau di saat pesta juga dijumpai dalam
budaya masyarakat Tolaki, baik pesta perkawinan, maupun pesta kematian,
termasuk jika seseorang yang baru saja meninggal sebelum mayatnya dikebumikan
terlebih dahulu dipotongkan kerbau.
Pertemuan La Tenroaji dan We Adiluwu dengan
bajak-bajak laut Ternate semakin menguatkan akan kebenaran proposisi tersebut,
karena dalam tradisi lisan mengungkapkan bahwa beberapa kali ekspedisi
bajak-bajak laut Tobelo (dari Maluku) menyerang kerajaan-kerajaan di Jazirah
Tenggara Pulau Sulawesi termasuk wilayah Konawe. Perlawanan terhadap Tobelo
terjadi di Muara Sampara dan Lasolo, serta pesisir pantai lainnya di Wilayah
Kerajaan Konawe (Anonim, 1982), Kerajaan Wolio, Kerajaan Wuna, dan Tiworo
bahkan salah satu wilayah disebut Labuan Tobelo (pantai Utara Pulau Buton) yang
berhadapan dengan pantai Timur Konawe. Tokoh Haluoleo (Lakilaponto/Murhum) yang
diakui sebagai tokoh pemersatu masyarakat Sulawesi Tenggara, ia berhasil
membunuh pimpinan bajak laut Tobelo di kampung Boneatiro (wilayah pantai selatan Pulau Buton atau Kecamatan
Kapontori sekarang) yang bernama La Bolontio (Djarudju, 1996). Para pelayar Bugis juga mengenal nama
tersebut dan disebutnya La Bolong Tiong=Si Hitam Pekat, nama yang diberikan kepada orang yang berkulit hitam
pekat.
Di Wolio (Buton) sebelum terbentuknya
Kerajaan Wolio, muncullah seorang perempuan cantik yang kemudian dikenal dengan
nama Wakaaka. Ia disimbolkan sebagai seorang putri yang ditemukan di Bukit
Lelemangura yang muncul dari ruas bambu gading oleh Sangia Langkuru. Karena
keistimewaannya, sehingga para Bonto (kepala kampung) mengangkat Wakaaka sebagai Raja Wolio
Pertama, dia dilantik di atas batu popaua, yang kelak menjadi tradisi tempat pelakntikan raja
Wolio/Buton..
Salah satu versi menyebutkan bahwa
Wakaaka bersama rombongannya mula-mula masuk di kali Umalaoge di Pantai Timur
Lasalimu, kemudian meneruskan perjalanan ke selatan dan sampai di Lelemangura
(Bugis: Lalong Mangura, suatu dinasti di Luwu). Tradisi lisan tersebut didukung
oleh silsilah raja-raja Wolio/Buton yang melukiskan Wakaaka sebagai putri Raja
Luwu yang lubang tangannya (masombuna limana) dengan permaisurinya yang putih wajahnya (maputina roona) (Mekuo, 1986).
Nama Wakaka dalam tradisi Luwu adalah
dari kata Tomo kaka, tomo=penguasa/raja, kaka=diantara
beberapa kerajaan. Pendapat ini
didukung oleh sumber-sumber sejarah Wolio yang menyatakan bahwa sebelum
terbentuknya Kerajaan Wolio telah berdiri beberapa kerjaan kecil di pulau Buton
dintaranya Kerajaan Amboau. Wakaaka sebagai raja pertama Wolio, kemudian kawin
dengan Sibatara yang disimbolkan sebagai bangsawan Majapahit. Dari perkawinan
mereka melahirkan tujuh orang anak, salah seorang bernama Bulawambona yang
kelak diangkat menjadi Ratu Wolio Kedua. Wakaaka kemudian meninggalkan Wolio
menuju Pulau Jawa atau tidak diketahui kepergiannya oleh masyarakat Wolio.
Bulawambona pun tidak lama memerintah, karena kemudian pucuk pimpinan
pemerintahan diserahkan kepada suaminya bernama La Baluwu (Mekuo, 1986).
Sebagai raja Wolio III diangkatlah Bancapatola sebagai pewaris tahka kedua
orang tuanya, ia kemudian diberi gelar Bataraguru (Djarudju, 1995; DPRD, 1982). Kedua nama itu,
memperlihatkan adanya pengaruh Luwu/Bugis, nama Patola=pewaris
tahta, karena dialah yang
mewarisi tahta kerjaan dari orang tuanya, dan nama Bataraguru, sama dengan nama
Raja Luwu Pertama yang merupakan nenek Sawerigading (Kern, 1993).
Di daerah Wuna (Muna) terbentuknya
Kerajaan Muna diawali dengan persiapan pesta yang diadakan Kepala Kampung di
Muna yaitu Mieno Wamelai. Dalam
persiapan itu para anggota masyarakat masuh ke hutan mencari bambu, pada waktu
memotong bambu, tiba-tiba terdengar suara dari dalam bambu, maka bambu keramat
itu di bawah ke istana Mieno Wamelai. Ketika bambu itu dibelah maka keluarlah seorang
laki-laki dari dalam bambu (bahasa Muna: tombula), sehingga diberi nama Beteno ne
Tombula=orang yang keluar dari
bambu, ia mengaku bernama La Eli, nama lainnya Baizul Zaman (Batoa, 1991).
Setelah empat puluh hari lamanya,
ditemukan pula seorang perempuan di pantai Timur Pulau Muna yang mengendarai palangga (dulang kayu) di dekat pantai
dengan memakai dayung dari sisir, kemudian diberi gelar Sangke Palangga=diangkat dari dulang.
Putri tersebut dalam keadaan hamil, dan dia mengaku bernama Tandiabe anak Raja Luwu. Segera
putri itu diantar ke istana Mieno Wamelai dan dipertemukan dengan Beteno ne Tombula dan terjadi
dialog antara keduanya.
Beteno ne Tombula : kamulah yang jadi istriku
Sangke Palangga : saya jadi begini (hamil) karena
perbuatanmu
Beteno ne Tombula : Komu, tadombaura-urano=mari
kita ramai-ramai berkembang
biak
Tandombalembo-lembomu=marilah kita
berkampung-kampung
Tandombatala-talamo= marilah hidup
beraturan
Pedemo ndoke = dengan jiwa
gotong-royong (Anonim, 1982)
Dari dialog antara keduanya, kemudian
diketahui bahwa diantara mereka telah saling mengenal. Sangke Palangga dan Beteno ne Tombula, akhirnya
dipersatukan sebagai suami-istri yang disaksikan oleh segenap rakyat Wamelai
(Wuna). Karena kelebihannya, maka masyarakat Muna sepakat untuk mengangkat Beteno ne Tombula sebagai Raja
Pertama di Kerajaan Wuna.
Hasil perkawinan mereka lahirlah dua
orang putra dan satu orang putri, yaitu: Kanghua Bangkona
Fotu dengan gelar Sugi Patola (Bahasa Bugis: sugi=kaya; patola=pengganti, orang kaya
pengetahuan/pengalaman yang menggantikan ayahnya menjadi raja) yang kelak menjadi Raja Muna II dan Runtu Wulou yang
dikatakannya kemudian kembali ke Luwu, dan putri Kilambibite yang kawin dengan anak Mieno Wamelai bernama La
Singkaghabu yang menjadi Kamokula (Kepala Pemerintahan wilayah) di Tongkuno. Raja Muna
III ialah Sugi Ambona putra Raja Muna II. Dari keturunan Beteno ne Tombula inilah yang kelak
melahirkan raja-raja Muna sekaligus melahirkan tokoh legendaris yang diakui
oleh semua kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara. Tokoh tersebut di Muna
dikenal Lakilaponto anak Raja Muna VI (Sugi Manuru) yang kelak menjadi Raja
Muna VII dialah yang pertama menciptakan persatuan politik di Sulawesi Tenggara
pada awal abad XVI, menjadi Mokole (Raja) Konawe, memerintah di Moronene,
akhirnya menjadi Raja Wolio VI, selanjutnya memproklamirkan Kerajaan Wolio
menjadi negara Islam dengan nama Kesultanan Buton (dialah sebagai Sultan Buton
I). Nama Buton, diambil
dari tradisi masyarakat Wolio yang menempatkan wilayahnya sebagai pusat bumi,
maka nama Buton dari kata bahasa Arab Batnun=perut, mereka menempatkan Buton sebagai pusat bumi
ini.
Persentuhan budaya Bugis di Muna
(termasuk di Buton) dapat dilihat dari nama awal La untuk laki-laki dan Wa mungkin dari kata We untuk perempuan, telah melekat sampai saat ini
menjadi nama ciri masyarakat setempat, seperti halnya nama-nama dalam
masyarakat Bugis. Demikian pula istilah sugi yang berarti orang kaya harta, ilmu, dan wawasan dan patola berarti pengganti atau
pewaris tahta. Peninggalan lain Sawerigading di Muna seperti Bukit Bahutara, yang dikatakan
sebagai situs perahu Sawerigading yang telah menjadi batu/gunung, dialah yang
memberi nama Wuna dari kata bahasa Bugis Wunga=bunga, sesuai bentuk batu-batu cadas di sekitar
gunung Bahutara tersebut (Abidn, 1995). Demikian pula nama suatu kecamatan di
Muna bernama Kecamatan Sawerigadi, yang terbentuk sesudah Indonesia Merdeka
memperkuat bukti kecenderungan masyarakat dunia timur umumnya dan Muna
khususnya untuk lebih mempererat
hubungan tradisional mereka dengan Luwu dan Masyarakat Bugis umumnya.
Berdasarkan sumber Galigo bahwa dalam
perjalanan Sawerigading kembali dari Luwu, tenggelam di Sungai Cerekang bersama
dengan perahunya Walenreng (Lontarak) Bahutara (Wuna), disebabkan karena
melanggar sumpahnya, akhirnya dia pergi ke dunia bawah dan menjadi raja di
dunia bawah. Istilah dunia bawah semakin menguatkan dugaan bahwa istilah ini
dapat dipersamakan dengan kehidupan orang Bajo di laut. Baik tradisi lisan masyarakat
Bajo yang ada di Sulawesi Tenggaran, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku,
dan Nusa Tenggara. Bahwa nenek moyang mereka berasal dari Ussuk, diperkuat
dengan lontarak Bajo mengungkapkan bahwa persebaran orang Bajo dari Ussuk ke
Libukeng Tengngae (pulau-pulau di Makassar) (Lontarak Bajo). Berita tersebut
didukung oleh riwayat Tomanurunga di Gowa yaitu tidak lama setelah kedatangannya
disusul dengan kedatangan Karaeng Bayo, kemudian disepakati oleh Kasuwiang dan Paccallaya
untuk mempertemukan mereka (Tomanurunga dan Karaeng Bayo) menjadi suami-istri.
Menurut Lontarak Bajo bahwa Ipapu (Lolo Bajo=Raja Bajo) segera setelah walenreng ditebang berangkat mencari
putrinya di Gowa, ternyata setelah sampai, ia menemui putrinya menjadi
permaisuri Raja Gowa. Meskipun terdapat perbedaan antara Lontarak Bajo yang
menyebut putri Lolo Bajo (perempuan) yang hilang ketika peristiwa Walenreng
dengan Sumber Gowa yang menyebut Karaeng Bayo (laki-laki) (Patunru, 1983), tetapi sama-sama mengakui adanya Tomanurung
dari Bajo. Maka sulit dipisahkan antara persebaran Suku Bajo dan persebaran
Suku Bugis dari kedua sumber tersebut, demikian pula fakta di lapangan
menunjukkan bahwa kedua suku bangsa memiliki persamaan dalam berbagai latar
belakang budaya termasuk mata pencaharian di laut (sebagai nelayan). Lontarak
Bajo menyatakan bahwa dari Gowa kemudian ke Bone, dan terakhir tersebar ke
kawasan Timur Indonesia ke Burulohe, Kandari, Lasolo, Salabangka, Teluk Tolo,
Banggai, Togiang, Gorontalo, dan Maluku. Daerah tersebut dalam Galigo diakui
sebagai wilayah pengaruh Luwu seperti: Kerajaan Maloku (Maluku) yang diperintah
oleh La Maddaremmeng To Sama, To Maloku To Alapua, Kerajaan Gima (Bima) dengan
rajanya Datu La Tenritattak, Kerajaan Taranati (Ternate) dengan rajanya Datu
Mawale (Kern, 1993; Abidin, 1995). Fakta lain menunjukkan bahwa pemukiman
mereka selalu berdampingan dengan perantau Bugis, demikian pula beberapa
tradisi Bajo memiliki unsur persamaan dengan tradisi Bugis. Kesenian modero yang berkembang di
kalangan masyarakat Bajo, pantun dan nyanyian yang teratur bait dan syairnya
merupakan suatu petunjuk akan pertalian dengan kebiasaan suku Bugis yang pintar
membuat kata-kata filosofi yang memiliki makna tertentu berupa nasehat dan
pesan-pesan pendidikan lainnya.
Berdasarkan analisis tersebut bahwa gelar Opu Samuda (guru ri selleng, puang ri Toja, Mangkau ri Pertiwi,
Tuppubatu ri Toddang Toja, Linrung Samuda, Punna Liung I yang dipertuan di di Dunia Bawah, yang disebut dalam
Galigo (Kern, 1993), merupakan sama dengan gelar Papu dalam Lontarak
Bajo (Anwar, 2000). Sehingga pembagian negeri dalam Galigo atas: negeri
atas, negeri tengah dan negeri bawah
benar adanya, sesuai dengan pola pemukiman yang ada di wilayah Kerajaan Luwu.
Dunia atas meliputi pemukiman yang ada di daerah-daerah dataran tinggi
khususnya di wilayah Toraja dari kata To=orang; dan
riaja=di sebelah atas (daerah
pegunungan) atau sebelah barat Luwu. Orang Toraja sendiri menyebut negerinya
dengan Tondok Lepongan Bulan/Tana Matarik
Allo=negeri yang masyhur dan memiliki
kesatuan yang bulat bentuknya bagaikan bulan atau matahari (Bhurhanuddin, 1981). Negeri tengah adalah pusat
kerjaan Luwu dan wilayah-wilayah kerjaan Luwu yang ada di daerah dataran rendah
dan pesisir pantai; sedangkan negeri bawah adalah wilayah-wilayah pemukiman
masyarakat nelayan (Suku Bajo) di perairan.
Ipapu (orang Bajo) bersama pengikutnya
meninggalkan kampung halamannya ketika ditebang pohon walenreng. Mereka
mengungsi ke Makassar dan salah seorang putri bangsawan (Lolo Bajo) kawin
dengan bangsawan Gowa, akan tetapi dalam perang Gowa-Kompeni Belanda yang
mendapat bantuan Aru Palakka dengan kemenangan di pihak Belanda, maka
selanjutnya mereka (suku Bajo) yang pada saat itu bermukim di pulau-pulau
sekitar Makassar (libukeng tengngaE), kemudian memutuskan menjadi pengikut Aru Palakka ke
Bone. Mereka diberi tempat bermukim di sebelah timur kota Watampone, di sekitar
pantai pelabuhan BajoE sekarang (Lontarak Bajo; Anwar, 2000). Situasi perang
yang menjadikan wilayahnya (pantai timur Kerajaan Bone) sebagai medan perang
antara pasukan Bone melawan Belanda dalam empat kali perang (Perang Bone I
1824-1825, Perang Bone II 1859; Perang Bone III 1860; dan Perang Bone IV 1905)
(Sagimun, 1986), maka sekali lagi kehidupan mereka terusik. Pada saat yang sama
banyak orang Bajo bersama bangsawan dan pelayar Bugis melakukan perantauan ke
berbagai daerah di Nusantara, termasuk ke kawasan Timur Nusantara. Mereka
bersama-sama dengan pelayar Bajo melakukan aktivitas pelayaran samudera untuk
mencari nafkah sekaligus mencari tempat pemukiman yang aman.
Pertemuan antara We Tanrirawe dengan Opu
Samuda dalam perjalanan ke Wadeng menunjukkan bahwa antara keduanya memiliki
hubungan kekerabatan. Demikian pula kesediaan Opu Samuda untuk membantu We
Tenrirawe dengan mengerahkan armada yang banyak untuk mengantar pelayaran Rawe
menunjukkan adanya hubungan tradisional yang diakui oleh kedua belah pihak,
dimana Opu Samuda menempatkan dirinya sebagai golongan yang makkasuwiang (menyembah)
kepada We Tenrirawe dari Luwu.
Perjalanan Sawerigading ke Duni Timur
bersama dengan pengikutnya, singgah di beberapa daerah di Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara, dan bahkan sampai ke
Papua, dan negeri Marege (Australia?). perjalanan ini dapat dikatakan sebagai
perjalanan politik untuk menanamkan pengaruh kerjaan Luwu dan kerajaan Cina
(kerajaan orang Bugis yaitu Bone dan Wajo) ke negeri-negeri yang disinggahi.
Terbukti para pengikutnya berhasil membentuk koloni (perkampungan) dan tidak
sedikit diantara mereka diangkat menjadi penguasa di wilyah itu. Pengangkatan
mereka selain melalui jalan diplomasi juga melalui kawin politik sebagaimana
filosofi perantauan orang Bugis yang dikenal dengan “tiga ujung” yang
diperkenalkan oleh Sawerigading Lamaddukelleng, yaitu: (1) ujung lidah atau
kemampuan berdiplomasi, (2) ujung laki-laki atau melakukan kawin politik
seperti yang banyak dilakukan raja-raja dahulu, dan (3) ujung badik atau
keberanian dalam mempertahankan kebenaran.
Di kawasan Barat Nusantara orang Bugis
sejak dahulu kala diakui sebagai pelayar ulung dan juga menanamkan pengaruhnya
di kawan itu (Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur). Demikian pula di
Negeri Timur atau Tanah Lau, seperti Sulawesi Tenggara. Kerajaan Laiwoi (di Kendari)
didirikan oleh La Mangu, anak Arung Bakung seorang yang disebut sebagai
pelarian politik dari Bone yang kawin dengan bangsawan Tiworo, kemudian Anaknya
La Sambawa mengawini Maho putri mahkota Ranomeeto, kemudian melahirkan La Mangu
yang kelak mendirikan Kerajaan Laiwoi. Arung Bakung dikenal sebagai pemimpin
orang Bugis yang berhasil mengusir bajak-bajak laut Tobelo di pesisir pantai
Timur Sulawesi Tenggara.
Masih terdapat banyak fakta akan nilai
edukatif dari perjalanan Sawerigading ke Negeri Timur, seperti: berkembangnya
dinamika masyarakat Bugis dan Bajo, ditandai pemukiman orang Bajo dan Bugis di
hampir semua kawasan pantai Sulawesi Tenggara dan Tengah serta kawasan
Indonesia Timur lainnya. Ditemukannya nama orang dan nama tempat yang memiliki
pertalian erat dengan nama-nama keluarga Sawerigading/Kerajaan Luwu, dan
indentitas orang Bugis yang menunjukkan bahwa pengaruh Bugis semakin berkembang
setelah perjalanan sawerigading ke kawasan ini.
C.
Penutup
Perjalanan Sawerigading ke Timur bersama
dengan pengikutnya, singgah di beberapa daerah di Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara, dan bahkan sampai ke Papua atau
Negeri Marege. Perjalanan ini dapat dikatakan sebagai perjalanan
politik/diplomatik yang mengandung nilai-nilai edukatif seperti wawasan,
kejujuran, kepemimpinan baik bagi Suku Bugis dan Bajo, mapun suku-suku yang ada
di negeri-negeri yang didatangi/disinggahi. Terbukti para pengikutnya berhasil
membentuk koloni (perkampungan) dan tidak sedikit diantara mereka diangkat
menjadi penguasa di wilyah itu atau membentuk kerajaan di rantau. Pengangkatan
mereka selain melalui jalan diplomasi juga melalui kawin politik sebagai
implementasi dari filosofi “tiga ujung” yang diperkenalkan oleh Sawerigading.
Fakta perjalanan tersebut dapat dijumpai
di daerah-daerah bekas kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara, seperti di
Mekongga, Konawe, Wuna, dan Wolio. Fakta historis dalam bentuk tradisi lisan
dalam berbagai versi, seperti kedatangan raja pertama yang senantiasa
disimbolkan dengan bambu, bukti-bukti fisik berupa peralatan perang,
tempat-tempat yang dianggap sebagai wilayah tempat berlabuh atau peralatan
pelayarannya, serta nama-nama yang memiliki pertalian dengan nama-nama keluarga
raja Luwu dan nama-nama Bugis.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,
A.Z. 1995. “Perbandingan Buku Sastra I La Galigo dengan Cerita Rakyat di
Sulawesi Tenggara tentang Hubungan Raja-raja di Sulawesi Selatan dan Raja-raja
di Sulawesi Tenggara”. Makalah Seminar Eksistensi dan Peranan
Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Di Kendari
tanggal 7-8 Agustus 1995.
Anonim.
1976. Monografi Daerah Sulawesi Tenggara.
Kendari: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Anonim.
1982. Dokumenta Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekretariat
DPRD.
Anwar,
dkk. 1988. Tinjauan Historis tentang
Hubungan Bilateral antara Kerajaan Konawe dengan Kerajaan Bone. Kendari:
Balai Penelitian Unhalu.
Anwar. 2000. Lontarak Assalenna Bajo (Kajian Naskah Lontarak Asal-Usul Suku Bajo).
Jakarta: Fakultas Sastra UI-For Foundation.
Batoa, L.K. 1991. Sejarah Kerajaan Daerah Muna. Raha: Astri.
Bhurhanuddin,
B. dkk. 1978. Sejarah Kebangkitan
Nasional Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek IDKD Depdikbud.
Bhurhanuddin,
B. dkk. 1979. Sejarah Masa Revolusi Fisik
daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek IDKD Depdikbud.
Bhurhanuddin,
B. 1981. Jejak Sejarah Tomanurung. Kendari: Yayasan
Karya Teknika.
Djarudju,
L.D.S. 1995. “Peranan Haluoleo dalam Kerajaan dan Kesultanan Buton”. Makalah Seminar Eksistensi dan Peranan
Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Di Kendari
tanggal 7-8 Agustus 1995.
Kern,
R.A. 1993. I La Galigo. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Mekuo,
J. 1986. Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara.
Kendari: FKIP Unhalu.
Patunru,
A.R.D. 1983. Sejarah Gowa. Makassar:
Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Poesponegoro,
M. D. dan Notosusanto, N. 1984. Sejarah
Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.
Sagimun,
MD, dkk. 1986. Perlawanan dan Pengasingan
Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press.
Lontarak: Asal-usul Suku
Bajo. tersimpan di Museum Sulawesi Tenggara.
NILAI-NILAI
EDUKATIF DARI PERJALANAN SAWERIGADING
KE
NEGERI TIMUR
Oleh:
Anwar
ABSTRAK
Tokoh
Sawerigading merupakan sosok manusia yang luar biasa bagi berbagai kalangan
masyarakat di negeri timur khususnya di Sulawesi Tenggara. Secara faktual
diakui keberadaannya oleh minimal empat daerah/kerajaan di wilayah Sulawesi
Tenggara, bahkan ditempatkan sebagai sosok manusia yang memiliki keberanian dan
kemampuan diplomatis sehingga kehadirannya mendapat sambutan baik bagi
masyarakat. Ia membawa nuansa baru yang bersifat edukatif baik terhadap
kelompok etniknya maupun etni yang ada di daerah-daerah perantauan. Ia
disimbolkan sebagai manusia penyelamat, dengan berbekal pengetahuan/wawasan dan
keberaniaannya, dapat mengayomi masyarakat setempat.
Nama
Sawerigading sebagaimana dalam Galigo, masyarakat di negeri timur (Tanah Lau)
juga selalu mengaitkannya dengan gading (bambu) seperti di Mekongga dan Wuna,
atau menyebut langsung keluarga Raja Luwu (Tandiabe) di Konawe dan Wolio.
Kedatangannya yang memiliki kemampuan diplomatis dan strategi
pertahanan/keamanan dalam bentuk keberanian menegakkan kebenaran sehingga
memperoleh kepercayaan masyarakat untuk menempatkannya sebagai sosok pemimpin
yang dapat mengayomi masyarakat dan patut mendapat pengormatan.
Masyarakat
di Sulawesi Tenggara mengakui adanya hubungan historis dengan Sawerigading dari
Luwu. Kehadiran Sawerigading selalu dihubungkan dengan kedatangan To Manurung (orang asing). kerajaa-kerajaan
tradisional di Sulawesi Tenggara (Mekongga, Konawe, Wuna, dan Wolio) mengakui
asal-usul raja-raja mereka berasal dari keluarga Raja Luwu (Sawerigading).
Orang Bajo yang ada di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara,
juga mengakui asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Ussuk Luwu, mereka
tersebar ketika walenreng ditebang.
Kedatangan
Sawerigading di Mekongga ditandai dengan datangnya La Rumpalangi yang berhasil
membunuh burung kongga, kelak menjadi raja pertama di Kerajaan Mekongga. Di
Konawe Tomanurung ditandai dengan kedatangan Wekoila yang merupakan raja
pertama di Kerajaan Konawe sekitar abad X. To manurung di Muna disebut Beteno
ne Tombula orang yang keluar dari ruas bambu yang kelak menjadi Raja Muna
Pertama juga kawin dengan perempuan To Manurung. Wakaaka merupakan To Manurung
di Wolio (Buton) kelak juga menjadi Raja Wolio Pertama.
Perjalanan
Sawerigading ke Timur bersama dengan pengikutnya, dipastikan singgah di
beberapa daerah di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku,
Nusa Tenggara, dan bahkan sampai ke Papua, dan negeri Marege (Australia?).
perjalanan ini dapat dikatakan sebagai perjalanan politik untuk menanamkan
pengaruh Kerajaan Luwu dan kejayaan orang Bugis ke negeri-negeri yang disinggahi.
Melalui filosofi hidup di rantau yang dikembangkan oleh Sawerigading
Lamaddukelleng untuk meraih sukses yang dikenal dengan “tiga ujung” (ujung
lidah/diplomasi, ujung laki-laki/kawin politik, dan ujung keris/keberanian),
maka para pengikut dan perantau Bugis lainnya dapat mempertahankan
eksistensinya di negeri rantau. Terbukti para pengikut Sawerigading berhasil
membentuk perkampungan dan tidak sedikit di antara mereka diangkat menjadi
penguasa di wilyah dimana dia merantau.
NILAI-NILAI EDUKATIF DARI PERJALANAN SAWERIGADING KE NEGERI
TIMUR
Makalah
Disajikan
dalam Seminar Internasional Tentang Sawerigading
di
Masamba Luwu Utara tanggal 10-14 Desember 2003
Oleh
Anwar
Hafid
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
HALUOLEO
PANITIA
FESTIVAL
GALIGO DAN
SEMINAR
INTERNASIONAL SAWERIGADING
MASAMBA
10-14 DESEMBER 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar