Minggu, 28 Juni 2020

NILAI-NILAI EDUKATIF DARI PERJALANAN SAWERIGADING KE NEGERI TIMUR


NILAI-NILAI EDUKATIF DARI PERJALANAN SAWERIGADING
KE NEGERI TIMUR
Oleh: Anwar Hafid


A.      Pendahuluan
Tokoh Sawerigading merupakan sosok manusia yang luar biasa bagi berbagai kalangan masyarakat di Sulawesi termasuk Sulawesi Tenggara. Secara faktual diakui keberadaannya oleh minimal empat daerah/kerajaan di wilayah Sulawesi Tenggara, bahkan ditempatkan sebagai sosok manusia yang memiliki kelebihan dan kepemimpinan yang luar biasa sehingga kehadirannya mendapat sambutan bagi masyarakat. Kedatangannya disimbolkan sebagai manusia penyelamat, ketika kondisi sosial politik dalam situasi yang tidak menguntungkan, sehingga kedatangannya bagaikan juru selamat bagi masyarakat setempat dalam arti banyak mentransfer nilai-nilai edukatif yang dapat memberikan visi dan wawasan kepada masyarakat setempat.
Bagi masyarakat di daerah Mekongga (Kolaka), Konawe (Kendari), Wuna (Muna), dan Wolio (Buton) percaya bahwa asal-usul raja pertama di wilayahnya adalah dari To Manurung, meskipun dalam ungkapan bahasa dan gelar yang berbeda-beda. To Manurung dianggap orang yang turun dari kayangan (langit), dan senantiasa disimbolkan dengan bambu atau gading, atau emas dan warna kuning lainnya. Makna bambu sebagai peralatan hidup dan tempat tinggal, atau gading berarti kuning dan juga menunjukkan kemuliaan, sehingga pengikut Sawerigading dianggap memiliki sifat-sifat yang mulia, seperti suka menolong, dan dapat menganyomi masyarakat.
Sawerigading atau pengikutnya selalu muncul dalam situasi politik dan sosial yang tidak kondusif, sehingga kedatangannya yang memiliki kelebihan baik dari segi wawasan, pengetahuan dan pengalaman atau diplomasi maupun dalam strategi politik dan pertahanan/keamanan dibandingkan dengan penduduk setempat. Berbekal kemampuan tersebut, ia dapat mengendalikan situasi politik dan sosial di daerah perantauan, akhirnya menimbulkan kepercayaan dan simpati dari masyarakat setempat untuk memberinya amanat menjadi pemimpin mereka.
Perjalanan Sawerigading ke dunia timur Ssempe’na Sawerigading Lao ri Tana Lau/Lao ri Tomporekkesso) merupakan perjalanan politik dan diplomasi yang sarat dengan nilai edukatif untuk kebesaran dan kemasyhuran Kerajaan Luwu dan Orang Bugis, persebaran Suku Bajo, maupun daerah-daerah perantauannya. Pengakuan Suku Bajo yang tersebar di kawasan Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara bahwa asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Sulawesi Selatan (Ussuk Luwu). Meskipun ada anggapan bahwa Bajo tetap Bajo, artinya bagaimanapun mereka akan tetap berada di laut, tetapi seiring dengan pelayaran orang Bugis, maka ikut pula orang-orang Bajo. Tetapi secara faktual bahwa orang Bugis yang umumnya memiliki gaya hidup yang lebih dinamis dan proses interaksi lebih fleksibel kepada kelompok lain, lebih mudah bersosialisasi dan beradaptasi. Keberadaannya yang memiliki kelebihan finansial dan wawawan ilmu pengetahuan, sehingga mereka dapat diterima oleh masyarakat setempat. Lebih dari itu, penerimaan bukan sekedar diakui eksistensi keberadaannya sebagai individu yang memiliki hak untuk hidup sejajar dengan anggota kelompok masyarakat setempat, tetapi tidak sedikit dari para pelayar dan perantau Bugis ini dapat ditokohkan oleh penduduk di rantau dan diminta sebagai raja atau pengawal pribadi. Melalui filosofi hidup di rantau yang harus meraih sukses, maka konsep “tiga ujung”, memegang peranan penting dalam mempertahankan eksistensi orang Bugis di negeri rantau.
Akibat perjalanan politik/diplomasi Sawerigading bersama keluarga Raja Luwu ke dunia timur yang memiliki nuansa edukatif, menyisahkan minimal empat fakta historis yang masih bertahan sampai saat ini: (1) berkembangnya tradisi lisan tentang raja pertama dan turunan raja-raja di kawasan ini berasal dari keluarga Sawerigading atau dari Kerajaan Luwu, (2) persebaran Suku Bugis dan Suku Bajo di kawasan ini yang mengakui secara lisan dan tulisan (lontarak Bajo) yang menyatakan nenek moyang mereka berasal dari Ussuk Luwu, (3) berkembangnya pelayaran dan pemukiman orang Bugis dan Bajo di kawasan ini dengan tidak menimbulkan konflik diantara kelompok-kelompok etnis setempat, (4) ditemukannya bukti baik lisan maupun tulisan dan visual tentang peninggalan Sawerigading di daerah seperti: cerita, nyanyian, seni sastra, dan tempat tertentu.




B.       Beberapa Versi Masyarakat Sulawesi Tenggara tentang Sawerigading
1.      Konsep Sawerigading
Nama atau istilah Sawerigading dalam tinjauan bahasa Bugis, berasal dari dua suku kata. Kata Sawe=berkembang biak; ri=menunjukkan tempat; dan gading=sejenis bambu kuning. Masih dalam versi Bugis gading diartikan sebagai taring gajah atau menjadi kata sifat benda-benda yang berwarna kuning, seperti tebbu gading (tebu yang manis dan berwarna kuning). Dalam arti ini terkandung makna kemuliaan dan kebagusan (Bhurhanuddin, 1981).
Sawerigading juga ditafsirkan sebagai manusia yang berkembang biak di bambu atau di gading. Pendapat tersebut dapat dihubungkan dengan mitos sebagai orang yang keluar dari ruas bambu atau dari selah-selah bambu. Penafsiran lain sesuai dengan tradisi lisan yang menyatakan bahwa leluhur sawerigading adalah manusia yang berkembang biak di atas rakit bambu (gading) dalam pelayaran. Pendapat ini didukung oleh gerak perpindahan dan pelayaran penduduk yang berbahasa Melayu-Polinesia atau Mongoloid dari daratan Asia Tenggara ke Nusantara pada masa bercocok tanam (Poesponegoro, 1984). Secara faktual bahwa pada awal pemukiman penduduk khususnya orang Bugis di pantai membuat rumah dengan tiang dari bambu, tangga dari bambu, lantai (salimaa) dari bambu, dinding (renring tedde) dari bambu, bagian dari atap dan peralatan bagian atas rumah juga dari bambu.
Jika konsep La Galigo menyebut adanya tiga negeri yaitu: negeri bawah, negeri tengah, dan negeri atas. Maka dapat ditafsirkan bahwa negeri atas adalah Tana Toraja (Bhurhanuddin, 1981), negeri tengah adalah Luwu, dan negeri bawah adalah pemukiman suku laut di perairan Teluk Bone (Ussu dan BajoE) di mana orang Bajo yang ada di Sulawesi Tenggara mengakui sebagai asal-usul leluhur mereka.

2. Konsepsi Tomanurung di Kerajaan-kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara
Kerajaan-kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara mengakui adanya hubungan historis dengan Sawerigading dari Luwu.  Di Sulawesi Tenggara kehadiran Sawerigading selalu dihubungkan dengan kedatangan  To Manurung (orang asing). Persepsi yang sama juga ditemukan pada tradisi di kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, seperti: Gowa dan Bone. Pada sisi lain suku Bugis, suku Makassar, Suku Mandar dan suku Massenrempuluk mengakui pula bahwa asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Ussuk, diperkuat dengan tradisi raja-raja Bugis, Makassar, dan Mandar menghormati Raja Luwu sebagai primus interparis (Abidin, 1995). Dalam lontarak Bajo (ditulis orang Bajo di Kendari) juga mengakui asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Ussuk, dan kerajaa-kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara (Mekongga, Konawe, Wuna, dan Wolio) mengakui asal-usul raja-raja mereka berasal dari keluarga Raja Luwu (Sawerigading).
Di Kerajaan Mekongga ditandai dengan kedatangan La Rumpalangi (Bugis) La Rumbalangi (Tolaki) yang berhasil membunuh burung kongga, kelak menjadi raja pertama di Kerajaan Mekongga. Di Konawe Tomanurung ditandai dengan kedatangan Wekoila yang merupaka raja pertama di Kerajaan Konawe sekitar abad X. To Manurung di Wuna disebut Beteno ne Tombula orang yang keluar dari ruas bambu yang kelak menjadi Raja Wuna Pertama juga kawin dengan perempuan To Manurung. Wakaaka merupakan To Manurung di Wolio kelak juga menjadi Raja Wolio Pertama (Anonim, 1982).
Sampai saat ini masih terdapat kecenderungan masyarakat Sulawesi Tenggara untuk semakin mempererat hubungan darah dengan orang Bugis melalui perkawinan. Gejala tersebut memperkuat tradisi lisan mereka yang menyatakan memiliki hubungan darah dengan Sawerigading atau bangsawan dari kerajaan-kerajaan di Sulwesi Selatan, dan bahkan semakin meningkat kecenderungan diantara etnis setempat untuk dapat kawin dengan orang Bugis/Makassar.

3. Keluarga Sawerigading menjadi Cikal-bakal Raja-raja di Sulawesi Tenggara
Perjalanan Sawerigading ke dunia timur, meninggalkan beberapa bekas termasuk melahirkan cikal-bakal raja-raja di beberap kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara. Di Kerajaan Mekongga berdasarkan tradisi lisan menyebutkan bahwa raja pertama di Kerajaan Mekongga berasal dari luar. Ia disimbolkan sebagai manusia luar biasa yang mampu mengalahkan burung Kongga yang sering memangsa manusia, dikisahkan bahwa menjelang kedatangannya terjadi masalah sosial selain merebaknya penyakit menular, juga munculnya burung Kongga yang memangsa bukan hanya manusia tetapi juga binatang. Menurut Mekuo (1986) La Rumbalangi (Bahasa Tolaki: menggemuruhkan langit; dalam bahasa Bugis: La Rumpalangii dari kata: La =orang/laki-laki; Rumpa=membobol; langii=langit atau laki-laki yang dapat membobol langit) datang dari kayangan dengan menumpang sehelai sarung bersulam emas. Ia datang di daratan Sulawesi Tenggara bersama dengan kerabatnya yaitu Wekoila (Mokole Konawe) dan Wa Sasi. Jika dihubungkan dengan keberadaan burung Kongga yang disimbolkan sayapnya dapat menutup langit, maka kedatangan La Rumpalangi dapat membobol langit yang tertutup oleh sayap burung kongga. Ia melakukan taktik perlawanan dengan menanam bambu-bambu runcing sebagai senjata perangkap untuk menjebak dan membunuh burung kongga, taktik ini berjalan dengan efektif sehingga burung kongga berhasil dilumpuhkan oleh La Rumpalangi.
Masyarakat Mekongga menganggap bahwa La Rumpalangi sebagai juru selamat yang telah menyelamatkan penduduk yang terancam maut oleh burung kongga. Oleh karena itulah, maka setelah negeri ini aman dan La Rumpalangi diangkat menjadi Mokole/Bokeo (raja), mereka menamai kerajaannya dengan Mekongga (sekarang menjadi Kabupaten Kolaka). Tradisi setempat mengakui bahwa La Rumpalangi adalah keluarga Sawerigading dari Luwu.
Tradisi Tolaki Mekongga mengungkapkan bahwa La Rumpalangi meninggalkan keris (otobo), sembilan keping emas murni, motia naga (mustika naga), dan bibit padi untuk dikembangbiakkan oleh masyarakat Mekongga (Mekuo, 1986). La Rumpalangi tidak diketahui kepergiannya, dia menghilang begitu saja, sebagian pendapat tradisi lisan menyebutkan beliau ke Konawe dan kawin dengan putri bangsawan Konawe. Tradisi penanaman padi di Sulawesi Tenggara pada dasarnya berasal dari masyarakat Bugis, sehingga sangat mungkin diperkenalkan oleh keluarga raja-raja Luwu atau kerabat Sawerigading.
Kedekatan geografis wilayah Mekongga dengan Kerajaan Luwu menguatkan dugaan akan besarnya pengaruh Kerajaan Luwu terhadap Kehidupan sosial budaya dan politik di Mekongga. Beberapa bukti menunjukkan hal itu, antara lain: sejak abad XVI daerah Mekongga (Kolaka) merupakan bagian dari Luwu dengan menempatkan wakilnya dengan gelar Mincara Ngapa,  kemudian pada abad XVII diubah namanya menjadi Sullewatang Ngapa  (Sulle=pengganti; watang=pokok/tubuh; ngapa=negeri/tanah yang berada di sepanjang pantai laut) (Abidin, 1995; Anonim, 1982; Bhurhanuddin, 1978).   Pada waktu Belanda menduduki Mekongga tahun 1908, Kolaka menjadi Onderafdeling dalam wilayah Afdeling Luwu dibantu oleh Sullewatang sebagai aparat Kerajaan Luwu di Mekongga. Pada masa pendudukan Jepang Sulawesi Tenggara dijadikan Ken Buton dan Laiwui beribukota Bau-bau meliputi: Bunken Buton, Bunken Muna, dan Bunken Kendari. Sedangkan Bunken Kolaka tetap dalam Ken Luwu, namun tidak lama kemudian sebagian wilayahnya dimasukkan ke dalam Ken Malili yaitu Kolaka Utara. Jabatan swapraja Luwu di Kolaka tetap dipertahankan yaitu Mincara Ngapa yang wilayahnya seluruh Kerajaan Mekongga (Bhurhanuddin, 1979). Berdasarkan PP RIS No. 21 tahun 1950 Wilayah Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan dipersatukan menjadi Satu Keresidenan di bawah Propinsi Celebes. Kemudian PP Pengganti UU No. 2 tahun 1964, kemudian disahkan menjadi UU No. 13 tahun 1964 menetapkan Kolaka (sebelumnya wilayah Luwu), swapraja Laiwui, Muna, dan Buton menjadi Propinsi Sulawesi Tenggara (Abidin, 1995). Daerah Mekongga merupakan tempat pertahanan Datu Luwu yang terakhir tahun 1946, dalam perjuangan melawan NICA bersama-sama dengan pemuda dan rakyat Mekongga.
Di Kerajaan Konawe kehadiran tomanurung pertama ketika terjadi kemelut politik yang dalam tradisi lisan dikatakan adanya bencana besar yang berlangsung bertahun-tahun sehingga nyaris menghancurkan beberapa generasi umat manusia. Secara tiba-tiba datanglah Wekoila seorang gadis cantik menurut orang Tolaki disebut Sangia Ndudu atau Tono ari wawo sangia (tono=orang; ari=dari; wawo sangia=atas kayangan). Di Kerajaan Konawe dikenal tiga orang Sangia Ndudu, yaitu: (1) To Lahianga, (2) Wekoila (putri jelita), dan (3) Anawai Ngguluri (putri burung nuri) (Mekuo, 1986).
Beberapa sumber yang berasal dari tradisi lisan mengungkapkan bahwa pada masa kehancuran tatanan pemerintahan dan sosial di daratan Sulawesi Tenggara tiba-tiba datanglah Tandibe atau We Tenriabeng dari Luwu (saudara kembar Sawerigading) yang oleh orang Tolaki diberi nama Wekoila dari kata We=ciri nama awal seorang perempuan Bugis, Koila=hilang-hilang atau sakti. Wekoila kemudian dipersunting oleh Ramandalangi (putra raja Totongano Wonuwa) (Anonim, 1976; Mekuo, 1986).
Menjelang kedatangan Wekoila terjadi masa suram di berbagai sektor kehidupan masyarakat Tolaki, setiap negeri memiliki pemerintahan sendiri-sendiri yang menyebabkan terjadi kondisi sianre bale ni taue (timbul kekejaman di mana manusia saling membunuh seperti ikan). Kemunculan Wekoila membawa persatuan di Jazirah Sulawesi Tenggara (Kerjaan Konawe) (Bhurhanuddin, 1981).
Menurut Bhurhanuddin (1981) Kerajaan Konawe inilah merupakan Kerajaan Tompotikka atau kerajaan ri Tomporekkesso=Kerajaan Matahari Terbit, atau Tanah Lau=Negeri di Timur. Secara geografis kerajaan ini dekat dengan Kerajaan Luwu dan berada di dekat sungai besar (Sungai Konaweeha). Dalam Bahasa Tolaki Konawe=sungai eeha=besar atau sunga besar. Jika dihubungkan dengan bahasa Bugis, maka istilah konaweeha dapat dikaitkan dengan peroses pelayaran keluarga bangsawan dari Luwu yang dikawal oleh para dayan-dayan (inang pengasuh), ketika memasuki sungai besar ini dan mendapati perkampungan penduduk, maka sang putri (Wekoila) berkata konawe= di sinilah (bahasa Bugis) artinya di sinilah kita singgah atau di sini saja kita berlabuh. Sehingga sungai ini kemudian dinamai Sungai Konaweeha, dan kerajaan yang dibangun oleh masyarakat Tolaki di bawah kepemimpinan Wekoila kelak dinamai juga Kerajaan Konawe.
Terkait dengan itu, Kern (1993) mengungkapkan adanya pengasingan terhadap We Tenrirawe (sepupu sawerigading) yang disebabkan karena percintaannya dengan kakak kembarnya (kembar emas) Pallawagau yang tidak dibenarkan oleh adat di Tompotikka. Setelah tujuh hari tujuh malam rakyat berunding akhirnya memutuskan bahwa We Tenrirawe harus diasingkan. Sesuai dengan keputusan rakyat, maka berangkatlah We Tenrirawe ke pengasingan diantar oleh segenap rakyat dan kedua orang tuanya We Adiluwu dan La Tenroaji. Sang ayah menghimbau langit, memohon kepada Sang Pencipta agar berkenan menerima tebusan pengasingannya dan berharap agar kapal putrinya akan dituntun ke Luwu di mana Sawerigading sebagai seorang pangeran yang berdarah sederajat berdiam. Maksudnya mudah-mudahan anaknya dapat mendapatkan Sawerigading sebagai suaminya.
Setelah berlayar selama limabelas hari, mereka belum melihat daratan, bahkan diombang-ambing gelombang laut, maka bermohonlah kepada Opu Samuda (Yang dipertuan di Dunia Bawah), dapat dibandingkan dengan gelar Ipapu dalam Lontarak Bajo, mereka ini menguasai perairan di sekitar Kerajaan Konawe. Permohonan We Tenrirawe disambut oleh Opu Samuda, kemudian memerintahkan seorang putri naik ke atas menemui We Tenrirawe dengan suatu armada besar, dan membawa sejumlah perempuan dan harta yang mahal. Kapal-kapal dari dunia bawah ditambatkan pada kapal We Tenrirawe dengan tali sutera. Selanjutnya mereka berlayar bersama menuju Wadeng, yang kemudian nampak setelah selama lima belas hari/malam meninggalkan Tompotikka. We Tenrirawe mengajak inang pengasuh yang semuanya perempuan sebagai pengiringnya dalam perjalanan (tidak ada laki-laki yang menemaninya dalam pengasingan) berbincang-bincang tentang kampung apakah gerangan yang ada di depannya, sekaligus mengingatkan akan kampung halamannya Tompotikka (Kern, 1993).
Pada tengah malam yang sama La Tenripeppang di Wadeng bermimpi pula sedang pergi ke sungai untuk mandi bersama pengiringnya, ia melihat sebuah kapal mendekat, muatannya tak ada selain wanita, setelah itu matahri dan bulan jatuh ke bawah. Ia pun memungut untuk memasukkan ke dalam sarungnya, kemudian dibawanya ke istana bagaikan menyala. Kedua orang tua La Tenripeppang bergembira ria menyatakan pertanda kebaikan yaitu perkawinan.
Angin bertiup sepoi-sepoi yang menyebabkan kapal We Tenrirawe semakin mendekat ke pantai, akhirnya mendengar suara riuh dari rombongan La Tenripeppang yang berusaha membuktikan mimpinya. Salah seorang utusan naik ke atas kapal, dilihatnya tak seorangpun penumpang laki-laki, ia berusaha menanyakan identitas penumpang kapal, tetapi salah seorang pengawal tidak bersedia menjelaskan, hanya menyatakan kami sebenarnya akan berlayar ke Luwu, tetapi terdampar di sini, utusan memperhatikan sekalian penumpang kapal, nampaklah seorang gadis cantik bagaikan anak bangsawan.
Informasi tersebut disampaikan kepada Raja Wadeng dan La Tenripeppang. Segera setelah mendengar informasi tersebut, maka La Tenripeppang segera menuju kapal dan membujuk inang pengasuh untuk menceritakan siapakah gerangan isi kapal ini, selanjutnya membujuknya untuk sudih tinggal di Wadeng. Raja dan rakyat banyak menyambut baik keinginannya untuk mempersunting gadis cantik yang ada di kapal itu. Segera diutus seseorang untuk menemui We Tenrirawe, dan menawarkan kepada inang pengasuhnya mas kawin tertinggi (sompa to Selli). Sang inang pengasuh meminta menceraikan semua istri La Tenripeppang sebelum mengawini We Tenrirawe.
La Tenripeppang kemudian datang sendiri ke kapal dan diterima dengan hormat oleh inang pengasuh dan ditekankannya bahwa We Tenrirawe hanya boleh kawin dengan orang yang berdarah putih. La Tenripeppang menyuruh utusannya mengiris jari tangannya, ternyata ia mempunyai darah putih. Inang pengasuh pun melakukan yang sama terhadap We Tenrirawe, meskiupun berusaha dicegat oleh La Tenripeppang karena ia telah mengetahui asal-usulnya. Sang inang pengasuh mengusulkan supaya pesta pekawinan dilangsungkan di atas kapal.
Semua usulan diterima oleh La Tenripeppang, segeralah dipersiapkan segala sesuatunya, sehingga tiba waktunya untuk pesta perkawinan yang sangat meriah sang raja memerintahkan menyembelih banyak kerbau, maka berdandanlah La Teripeppang dengan pakaian kebesarannya kemudian diantar oleh pengikutnya yang banyak ke pelabuhan. Sang inang pengasuh We Temmalue menyambutnya dengan menaburinya gorengan beras (wenno).  Selesai upacara pernikahan di atas kapal, maka turunlah  ke darat menuju istana dengan arak-arakan kebesaran. 
Di Tomppotikka kedua orang tua We Tenrirawe (We Adiluwu dan La Tenroaji) terjaga dari tidurnya mengenang kepergian putrinya. Angin bertiup seakan membawakan berita bahwa We Tenrirawe telah dipersunting oleh putra mahkota Wadeng La Tenripeppang. Kedua orang tuanya segera berangkat ke Wadeng untuk menemui We Tenrirawe, setelah berlayar beberapa lama, akhirnya tiba di depan Wadeng, mereka bersama dengan bajak laut Ternate, akan tetapi mereka dapat tiba dengan selamat di Wadeng (Kern, 1993).
Negeri Tompotikka yang dikatakan Bhurhanuddin (1981) sama dengan Konawe, menurut penulis berada di daerah Teluk Bone mungkin Kerajan Mekongga atau kerajaan lainnya. Demikian pula pendapat Abidin (1995) yang menunjuk Luwuk Banggai di Sulawesi Tengah, hanya diperkuat tradisi lisan setempat dan nama Gunung Tompotikka di sebelah barat Kota Luwuk ibu kota Kabupaten Banggai. Meskipun demikian nama Luwuk untuk ibu kota Kabupaten Banggai juga merupakan salah satu pengakuan adanya hubungan antara Kerajaan Luwu di bagian utara Sulawesi Selatan dengan Luwuk di bagian Timur Sulawesi Tengah.
Sebaliknya, Negeri Wadeng dalam konsepsi Galigo memiliki persamaan dengan Negeri Konawe, seperti tradisi mandi di sungai oleh keluarga bangsawan dan masyarakat seperti yang dilakukan oleh La Tenripeppang (Bugis/Galigo) atau Ramandalangi (Tolaki/Dokumenta) dapat ditunjuk Sungai Konaweeha, dan nama Konawe sendiri yang memiliki arti tempat persinggahan, semakin menguatkan adanya pengaruh Bugis di daerah ini. Demikian pula pelayaran selama lima belas hari dan malam jika berlayar menyusur pantai dengan perahu layar sederhana maka wajar jika yang ditemukan adalah Konawe. Pelayaran ke sungai merupakan ciri pelayaran dan perkembangan pemukiman penduduk dan ibu kota kerajaan pada zaman itu (ingat Kerajaan Kutai, Kerajaan Sriwijaya).
Banyaknya istri La Tenripeppang (menurut Galigo) atau Ramandalangi (tradisi Konawe), juga dijumpai dalam tradisi masyarakat Tolaki sampai saat ini yang memiliki lebih dari satu istri. Kebiasaan memelihara kerbau karena binatang ini merupakan ukuran kekayaan, banyak tradisi diukur dengan bilangan kerbau, misalnya seorang laki-laki yang mengganggu anak gadis seseorang dapat dipeohala (didenda) dengan satu ekor kerbau ditambah satu pis kain. Tradisi menyembelih banyak kerbau di saat pesta juga dijumpai dalam budaya masyarakat Tolaki, baik pesta perkawinan, maupun pesta kematian, termasuk jika seseorang yang baru saja meninggal sebelum mayatnya dikebumikan terlebih dahulu dipotongkan kerbau.
Pertemuan La Tenroaji dan We Adiluwu dengan bajak-bajak laut Ternate semakin menguatkan akan kebenaran proposisi tersebut, karena dalam tradisi lisan mengungkapkan bahwa beberapa kali ekspedisi bajak-bajak laut Tobelo (dari Maluku) menyerang kerajaan-kerajaan di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi termasuk wilayah Konawe. Perlawanan terhadap Tobelo terjadi di Muara Sampara dan Lasolo, serta pesisir pantai lainnya di Wilayah Kerajaan Konawe (Anonim, 1982), Kerajaan Wolio, Kerajaan Wuna, dan Tiworo bahkan salah satu wilayah disebut Labuan Tobelo (pantai Utara Pulau Buton) yang berhadapan dengan pantai Timur Konawe. Tokoh Haluoleo (Lakilaponto/Murhum) yang diakui sebagai tokoh pemersatu masyarakat Sulawesi Tenggara, ia berhasil membunuh pimpinan bajak laut Tobelo di kampung Boneatiro (wilayah pantai selatan Pulau Buton atau Kecamatan Kapontori sekarang) yang bernama La Bolontio (Djarudju, 1996). Para pelayar Bugis juga mengenal nama tersebut dan disebutnya La Bolong Tiong=Si Hitam Pekat, nama yang diberikan kepada orang yang berkulit hitam pekat. 
Di Wolio (Buton) sebelum terbentuknya Kerajaan Wolio, muncullah seorang perempuan cantik yang kemudian dikenal dengan nama Wakaaka. Ia disimbolkan sebagai seorang putri yang ditemukan di Bukit Lelemangura yang muncul dari ruas bambu gading oleh Sangia Langkuru. Karena keistimewaannya, sehingga para Bonto (kepala kampung) mengangkat Wakaaka sebagai Raja Wolio Pertama, dia dilantik di atas batu popaua, yang kelak menjadi tradisi tempat pelakntikan raja Wolio/Buton..   
Salah satu versi menyebutkan bahwa Wakaaka bersama rombongannya mula-mula masuk di kali Umalaoge di Pantai Timur Lasalimu, kemudian meneruskan perjalanan ke selatan dan sampai di Lelemangura (Bugis: Lalong Mangura, suatu dinasti di Luwu). Tradisi lisan tersebut didukung oleh silsilah raja-raja Wolio/Buton yang melukiskan Wakaaka sebagai putri Raja Luwu yang lubang tangannya (masombuna limana) dengan permaisurinya yang putih wajahnya (maputina roona) (Mekuo, 1986).
Nama Wakaka dalam tradisi Luwu adalah dari kata Tomo kaka, tomo=penguasa/raja, kaka=diantara beberapa kerajaan. Pendapat ini didukung oleh sumber-sumber sejarah Wolio yang menyatakan bahwa sebelum terbentuknya Kerajaan Wolio telah berdiri beberapa kerjaan kecil di pulau Buton dintaranya Kerajaan Amboau. Wakaaka sebagai raja pertama Wolio, kemudian kawin dengan Sibatara yang disimbolkan sebagai bangsawan Majapahit. Dari perkawinan mereka melahirkan tujuh orang anak, salah seorang bernama Bulawambona yang kelak diangkat menjadi Ratu Wolio Kedua. Wakaaka kemudian meninggalkan Wolio menuju Pulau Jawa atau tidak diketahui kepergiannya oleh masyarakat Wolio. Bulawambona pun tidak lama memerintah, karena kemudian pucuk pimpinan pemerintahan diserahkan kepada suaminya bernama La Baluwu (Mekuo, 1986). Sebagai raja Wolio III diangkatlah Bancapatola sebagai pewaris tahka kedua orang tuanya, ia kemudian diberi gelar Bataraguru (Djarudju, 1995; DPRD, 1982). Kedua nama itu, memperlihatkan adanya pengaruh Luwu/Bugis, nama Patola=pewaris tahta, karena dialah yang mewarisi tahta kerjaan dari orang tuanya, dan nama Bataraguru, sama dengan nama Raja Luwu Pertama yang merupakan nenek Sawerigading (Kern, 1993). 
Di daerah Wuna (Muna) terbentuknya Kerajaan Muna diawali dengan persiapan pesta yang diadakan Kepala Kampung di Muna yaitu Mieno Wamelai.  Dalam persiapan itu para anggota masyarakat masuh ke hutan mencari bambu, pada waktu memotong bambu, tiba-tiba terdengar suara dari dalam bambu, maka bambu keramat itu di bawah ke istana Mieno Wamelai. Ketika bambu itu dibelah maka keluarlah seorang laki-laki dari dalam bambu (bahasa Muna: tombula), sehingga diberi nama Beteno ne Tombula=orang yang keluar dari bambu, ia mengaku bernama La Eli,  nama lainnya Baizul Zaman (Batoa, 1991).
Setelah empat puluh hari lamanya, ditemukan pula seorang perempuan di pantai Timur Pulau Muna yang mengendarai palangga (dulang kayu) di dekat pantai dengan memakai dayung dari sisir, kemudian diberi gelar Sangke Palangga=diangkat dari dulang. Putri tersebut dalam keadaan hamil, dan dia mengaku bernama Tandiabe anak Raja Luwu. Segera putri itu diantar ke istana Mieno Wamelai dan dipertemukan dengan Beteno ne Tombula dan terjadi dialog antara keduanya.
Beteno ne Tombula  : kamulah yang jadi istriku
Sangke Palangga     : saya jadi begini (hamil) karena perbuatanmu
Beteno ne Tombula : Komu, tadombaura-urano=mari kita ramai-ramai berkembang
          biak
                    Tandombalembo-lembomu=marilah kita berkampung-kampung
                    Tandombatala-talamo= marilah hidup beraturan
                    Pedemo ndoke           = dengan jiwa gotong-royong (Anonim, 1982)

Dari dialog antara keduanya, kemudian diketahui bahwa diantara mereka telah saling mengenal. Sangke Palangga dan Beteno ne Tombula, akhirnya dipersatukan sebagai suami-istri yang disaksikan oleh segenap rakyat Wamelai (Wuna). Karena kelebihannya, maka masyarakat Muna sepakat untuk mengangkat Beteno ne Tombula sebagai Raja Pertama di Kerajaan Wuna.
Hasil perkawinan mereka lahirlah dua orang putra dan satu orang putri, yaitu: Kanghua Bangkona Fotu dengan gelar Sugi Patola (Bahasa Bugis: sugi=kaya; patola=pengganti, orang kaya pengetahuan/pengalaman yang menggantikan ayahnya menjadi raja) yang kelak menjadi Raja Muna II dan Runtu Wulou yang dikatakannya kemudian kembali ke Luwu, dan putri Kilambibite yang kawin dengan anak Mieno Wamelai bernama La Singkaghabu yang menjadi Kamokula (Kepala Pemerintahan wilayah) di Tongkuno. Raja Muna III ialah Sugi Ambona putra Raja Muna II. Dari keturunan Beteno ne Tombula inilah yang kelak melahirkan raja-raja Muna sekaligus melahirkan tokoh legendaris yang diakui oleh semua kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara. Tokoh tersebut di Muna dikenal Lakilaponto anak Raja Muna VI (Sugi Manuru) yang kelak menjadi Raja Muna VII dialah yang pertama menciptakan persatuan politik di Sulawesi Tenggara pada awal abad XVI, menjadi Mokole (Raja) Konawe, memerintah di Moronene, akhirnya menjadi Raja Wolio VI, selanjutnya memproklamirkan Kerajaan Wolio menjadi negara Islam dengan nama Kesultanan Buton (dialah sebagai Sultan Buton I). Nama Buton, diambil dari tradisi masyarakat Wolio yang menempatkan wilayahnya sebagai pusat bumi, maka nama Buton dari kata bahasa Arab Batnun=perut, mereka menempatkan Buton sebagai pusat bumi ini. 
Persentuhan budaya Bugis di Muna (termasuk di Buton) dapat dilihat dari nama awal La untuk laki-laki dan Wa mungkin dari kata We untuk perempuan, telah melekat sampai saat ini menjadi nama ciri masyarakat setempat, seperti halnya nama-nama dalam masyarakat Bugis. Demikian pula istilah sugi yang berarti orang kaya harta, ilmu, dan wawasan dan patola berarti pengganti atau pewaris tahta. Peninggalan lain Sawerigading di Muna seperti Bukit Bahutara, yang dikatakan sebagai situs perahu Sawerigading yang telah menjadi batu/gunung, dialah yang memberi nama Wuna dari kata bahasa Bugis Wunga=bunga, sesuai bentuk batu-batu cadas di sekitar gunung Bahutara tersebut (Abidn, 1995). Demikian pula nama suatu kecamatan di Muna bernama Kecamatan Sawerigadi, yang terbentuk sesudah Indonesia Merdeka memperkuat bukti kecenderungan masyarakat dunia timur umumnya dan Muna khususnya untuk lebih  mempererat hubungan tradisional mereka dengan Luwu dan Masyarakat Bugis umumnya.  
Berdasarkan sumber Galigo bahwa dalam perjalanan Sawerigading kembali dari Luwu, tenggelam di Sungai Cerekang bersama dengan perahunya Walenreng (Lontarak) Bahutara (Wuna), disebabkan karena melanggar sumpahnya, akhirnya dia pergi ke dunia bawah dan menjadi raja di dunia bawah. Istilah dunia bawah semakin menguatkan dugaan bahwa istilah ini dapat dipersamakan dengan kehidupan orang Bajo di laut. Baik tradisi lisan masyarakat Bajo yang ada di Sulawesi Tenggaran, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Nusa Tenggara. Bahwa nenek moyang mereka berasal dari Ussuk, diperkuat dengan lontarak Bajo mengungkapkan bahwa persebaran orang Bajo dari Ussuk ke Libukeng Tengngae (pulau-pulau di Makassar) (Lontarak Bajo). Berita tersebut didukung oleh riwayat Tomanurunga di Gowa yaitu tidak lama setelah kedatangannya disusul dengan kedatangan Karaeng Bayo, kemudian disepakati oleh Kasuwiang dan Paccallaya untuk mempertemukan mereka (Tomanurunga dan Karaeng Bayo) menjadi suami-istri. Menurut Lontarak Bajo bahwa Ipapu (Lolo Bajo=Raja Bajo) segera setelah walenreng ditebang berangkat mencari putrinya di Gowa, ternyata setelah sampai, ia menemui putrinya menjadi permaisuri Raja Gowa. Meskipun terdapat perbedaan antara Lontarak Bajo yang menyebut putri Lolo Bajo (perempuan) yang hilang ketika peristiwa Walenreng dengan Sumber Gowa yang menyebut Karaeng Bayo (laki-laki) (Patunru, 1983),  tetapi sama-sama mengakui adanya Tomanurung dari Bajo. Maka sulit dipisahkan antara persebaran Suku Bajo dan persebaran Suku Bugis dari kedua sumber tersebut, demikian pula fakta di lapangan menunjukkan bahwa kedua suku bangsa memiliki persamaan dalam berbagai latar belakang budaya termasuk mata pencaharian di laut (sebagai nelayan). Lontarak Bajo menyatakan bahwa dari Gowa kemudian ke Bone, dan terakhir tersebar ke kawasan Timur Indonesia ke Burulohe, Kandari, Lasolo, Salabangka, Teluk Tolo, Banggai, Togiang, Gorontalo, dan Maluku. Daerah tersebut dalam Galigo diakui sebagai wilayah pengaruh Luwu seperti: Kerajaan Maloku (Maluku) yang diperintah oleh La Maddaremmeng To Sama, To Maloku To Alapua, Kerajaan Gima (Bima) dengan rajanya Datu La Tenritattak, Kerajaan Taranati (Ternate) dengan rajanya Datu Mawale (Kern, 1993; Abidin, 1995). Fakta lain menunjukkan bahwa pemukiman mereka selalu berdampingan dengan perantau Bugis, demikian pula beberapa tradisi Bajo memiliki unsur persamaan dengan tradisi Bugis. Kesenian modero yang berkembang di kalangan masyarakat Bajo, pantun dan nyanyian yang teratur bait dan syairnya merupakan suatu petunjuk akan pertalian dengan kebiasaan suku Bugis yang pintar membuat kata-kata filosofi yang memiliki makna tertentu berupa nasehat dan pesan-pesan pendidikan lainnya.
Berdasarkan analisis tersebut bahwa gelar Opu Samuda (guru ri selleng, puang ri Toja, Mangkau ri Pertiwi, Tuppubatu ri Toddang Toja, Linrung Samuda, Punna Liung I yang dipertuan di di Dunia Bawah, yang disebut dalam Galigo (Kern, 1993), merupakan sama dengan gelar Papu  dalam Lontarak Bajo (Anwar, 2000). Sehingga pembagian negeri dalam Galigo atas: negeri atas, negeri tengah dan negeri bawah benar adanya, sesuai dengan pola pemukiman yang ada di wilayah Kerajaan Luwu. Dunia atas meliputi pemukiman yang ada di daerah-daerah dataran tinggi khususnya di wilayah Toraja dari kata To=orang; dan riaja=di sebelah atas (daerah pegunungan) atau sebelah barat Luwu. Orang Toraja sendiri menyebut negerinya dengan Tondok Lepongan Bulan/Tana Matarik Allo=negeri yang masyhur dan  memiliki kesatuan yang bulat bentuknya bagaikan bulan atau matahari (Bhurhanuddin, 1981). Negeri tengah adalah pusat kerjaan Luwu dan wilayah-wilayah kerjaan Luwu yang ada di daerah dataran rendah dan pesisir pantai; sedangkan negeri bawah adalah wilayah-wilayah pemukiman masyarakat nelayan (Suku Bajo) di perairan. 
Ipapu (orang Bajo) bersama pengikutnya meninggalkan kampung halamannya ketika ditebang pohon walenreng. Mereka mengungsi ke Makassar dan salah seorang putri bangsawan (Lolo Bajo) kawin dengan bangsawan Gowa, akan tetapi dalam perang Gowa-Kompeni Belanda yang mendapat bantuan Aru Palakka dengan kemenangan di pihak Belanda, maka selanjutnya mereka (suku Bajo) yang pada saat itu bermukim di pulau-pulau sekitar Makassar (libukeng tengngaE), kemudian memutuskan menjadi pengikut Aru Palakka ke Bone. Mereka diberi tempat bermukim di sebelah timur kota Watampone, di sekitar pantai pelabuhan BajoE sekarang (Lontarak Bajo; Anwar, 2000). Situasi perang yang menjadikan wilayahnya (pantai timur Kerajaan Bone) sebagai medan perang antara pasukan Bone melawan Belanda dalam empat kali perang (Perang Bone I 1824-1825, Perang Bone II 1859; Perang Bone III 1860; dan Perang Bone IV 1905) (Sagimun, 1986), maka sekali lagi kehidupan mereka terusik. Pada saat yang sama banyak orang Bajo bersama bangsawan dan pelayar Bugis melakukan perantauan ke berbagai daerah di Nusantara, termasuk ke kawasan Timur Nusantara. Mereka bersama-sama dengan pelayar Bajo melakukan aktivitas pelayaran samudera untuk mencari nafkah sekaligus mencari tempat pemukiman yang aman.
Pertemuan antara We Tanrirawe dengan Opu Samuda dalam perjalanan ke Wadeng menunjukkan bahwa antara keduanya memiliki hubungan kekerabatan. Demikian pula kesediaan Opu Samuda untuk membantu We Tenrirawe dengan mengerahkan armada yang banyak untuk mengantar pelayaran Rawe menunjukkan adanya hubungan tradisional yang diakui oleh kedua belah pihak, dimana Opu Samuda menempatkan dirinya sebagai golongan yang makkasuwiang (menyembah) kepada We Tenrirawe dari Luwu.
Perjalanan Sawerigading ke Duni Timur bersama dengan pengikutnya, singgah di beberapa daerah di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara, dan bahkan sampai ke Papua, dan negeri Marege (Australia?). perjalanan ini dapat dikatakan sebagai perjalanan politik untuk menanamkan pengaruh kerjaan Luwu dan kerajaan Cina (kerajaan orang Bugis yaitu Bone dan Wajo) ke negeri-negeri yang disinggahi. Terbukti para pengikutnya berhasil membentuk koloni (perkampungan) dan tidak sedikit diantara mereka diangkat menjadi penguasa di wilyah itu. Pengangkatan mereka selain melalui jalan diplomasi juga melalui kawin politik sebagaimana filosofi perantauan orang Bugis yang dikenal dengan “tiga ujung” yang diperkenalkan oleh Sawerigading Lamaddukelleng, yaitu: (1) ujung lidah atau kemampuan berdiplomasi, (2) ujung laki-laki atau melakukan kawin politik seperti yang banyak dilakukan raja-raja dahulu, dan (3) ujung badik atau keberanian dalam mempertahankan kebenaran.
Di kawasan Barat Nusantara orang Bugis sejak dahulu kala diakui sebagai pelayar ulung dan juga menanamkan pengaruhnya di kawan itu (Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur). Demikian pula di Negeri Timur atau Tanah Lau, seperti Sulawesi Tenggara. Kerajaan Laiwoi (di Kendari) didirikan oleh La Mangu, anak Arung Bakung seorang yang disebut sebagai pelarian politik dari Bone yang kawin dengan bangsawan Tiworo, kemudian Anaknya La Sambawa mengawini Maho putri mahkota Ranomeeto, kemudian melahirkan La Mangu yang kelak mendirikan Kerajaan Laiwoi. Arung Bakung dikenal sebagai pemimpin orang Bugis yang berhasil mengusir bajak-bajak laut Tobelo di pesisir pantai Timur Sulawesi Tenggara. 
Masih terdapat banyak fakta akan nilai edukatif dari perjalanan Sawerigading ke Negeri Timur, seperti: berkembangnya dinamika masyarakat Bugis dan Bajo, ditandai pemukiman orang Bajo dan Bugis di hampir semua kawasan pantai Sulawesi Tenggara dan Tengah serta kawasan Indonesia Timur lainnya. Ditemukannya nama orang dan nama tempat yang memiliki pertalian erat dengan nama-nama keluarga Sawerigading/Kerajaan Luwu, dan indentitas orang Bugis yang menunjukkan bahwa pengaruh Bugis semakin berkembang setelah perjalanan sawerigading ke kawasan ini. 


C.      Penutup
Perjalanan Sawerigading ke Timur bersama dengan pengikutnya, singgah di beberapa daerah di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara, dan bahkan sampai ke Papua atau Negeri Marege. Perjalanan ini dapat dikatakan sebagai perjalanan politik/diplomatik yang mengandung nilai-nilai edukatif seperti wawasan, kejujuran, kepemimpinan baik bagi Suku Bugis dan Bajo, mapun suku-suku yang ada di negeri-negeri yang didatangi/disinggahi. Terbukti para pengikutnya berhasil membentuk koloni (perkampungan) dan tidak sedikit diantara mereka diangkat menjadi penguasa di wilyah itu atau membentuk kerajaan di rantau. Pengangkatan mereka selain melalui jalan diplomasi juga melalui kawin politik sebagai implementasi dari filosofi “tiga ujung” yang diperkenalkan oleh Sawerigading.
Fakta perjalanan tersebut dapat dijumpai di daerah-daerah bekas kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara, seperti di Mekongga, Konawe, Wuna, dan Wolio. Fakta historis dalam bentuk tradisi lisan dalam berbagai versi, seperti kedatangan raja pertama yang senantiasa disimbolkan dengan bambu, bukti-bukti fisik berupa peralatan perang, tempat-tempat yang dianggap sebagai wilayah tempat berlabuh atau peralatan pelayarannya, serta nama-nama yang memiliki pertalian dengan nama-nama keluarga raja Luwu dan nama-nama Bugis.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A.Z. 1995. “Perbandingan Buku Sastra I La Galigo dengan Cerita Rakyat di Sulawesi Tenggara tentang Hubungan Raja-raja di Sulawesi Selatan dan Raja-raja di Sulawesi Tenggara”.  Makalah Seminar Eksistensi dan Peranan Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Di Kendari tanggal 7-8 Agustus 1995.
Anonim. 1976. Monografi Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Anonim. 1982. Dokumenta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekretariat DPRD.
Anwar, dkk. 1988. Tinjauan Historis tentang Hubungan Bilateral antara Kerajaan Konawe dengan Kerajaan Bone. Kendari: Balai Penelitian Unhalu.
Anwar. 2000. Lontarak Assalenna Bajo (Kajian Naskah Lontarak Asal-Usul Suku Bajo). Jakarta: Fakultas Sastra UI-For Foundation.
Batoa, L.K. 1991. Sejarah Kerajaan Daerah Muna. Raha: Astri.   
Bhurhanuddin, B. dkk. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek IDKD Depdikbud.
Bhurhanuddin, B. dkk. 1979. Sejarah Masa Revolusi Fisik daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek IDKD Depdikbud.
Bhurhanuddin, B. 1981.  Jejak Sejarah Tomanurung. Kendari: Yayasan Karya Teknika.
Djarudju, L.D.S. 1995. “Peranan Haluoleo dalam Kerajaan dan Kesultanan Buton”. Makalah Seminar Eksistensi dan Peranan Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Di Kendari tanggal 7-8 Agustus 1995.
Kern, R.A. 1993. I La Galigo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mekuo, J. 1986. Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Kendari: FKIP Unhalu.
Patunru, A.R.D. 1983. Sejarah Gowa. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Poesponegoro, M. D. dan Notosusanto, N. 1984. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.
Sagimun, MD, dkk. 1986. Perlawanan dan Pengasingan Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press.
Lontarak: Asal-usul Suku Bajo. tersimpan di Museum Sulawesi Tenggara.


NILAI-NILAI EDUKATIF DARI PERJALANAN SAWERIGADING
KE NEGERI TIMUR
Oleh: Anwar

ABSTRAK

Tokoh Sawerigading merupakan sosok manusia yang luar biasa bagi berbagai kalangan masyarakat di negeri timur khususnya di Sulawesi Tenggara. Secara faktual diakui keberadaannya oleh minimal empat daerah/kerajaan di wilayah Sulawesi Tenggara, bahkan ditempatkan sebagai sosok manusia yang memiliki keberanian dan kemampuan diplomatis sehingga kehadirannya mendapat sambutan baik bagi masyarakat. Ia membawa nuansa baru yang bersifat edukatif baik terhadap kelompok etniknya maupun etni yang ada di daerah-daerah perantauan. Ia disimbolkan sebagai manusia penyelamat, dengan berbekal pengetahuan/wawasan dan keberaniaannya, dapat mengayomi masyarakat setempat.
Nama Sawerigading sebagaimana dalam Galigo, masyarakat di negeri timur (Tanah Lau) juga selalu mengaitkannya dengan gading (bambu) seperti di Mekongga dan Wuna, atau menyebut langsung keluarga Raja Luwu (Tandiabe) di Konawe dan Wolio. Kedatangannya yang memiliki kemampuan diplomatis dan strategi pertahanan/keamanan dalam bentuk keberanian menegakkan kebenaran sehingga memperoleh kepercayaan masyarakat untuk menempatkannya sebagai sosok pemimpin yang dapat mengayomi masyarakat dan patut mendapat pengormatan.
Masyarakat di Sulawesi Tenggara mengakui adanya hubungan historis dengan Sawerigading dari Luwu. Kehadiran Sawerigading selalu dihubungkan dengan kedatangan  To Manurung (orang asing). kerajaa-kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara (Mekongga, Konawe, Wuna, dan Wolio) mengakui asal-usul raja-raja mereka berasal dari keluarga Raja Luwu (Sawerigading). Orang Bajo yang ada di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara, juga mengakui asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Ussuk Luwu, mereka tersebar ketika walenreng ditebang.
Kedatangan Sawerigading di Mekongga ditandai dengan datangnya La Rumpalangi yang berhasil membunuh burung kongga, kelak menjadi raja pertama di Kerajaan Mekongga. Di Konawe Tomanurung ditandai dengan kedatangan Wekoila yang merupakan raja pertama di Kerajaan Konawe sekitar abad X. To manurung di Muna disebut Beteno ne Tombula orang yang keluar dari ruas bambu yang kelak menjadi Raja Muna Pertama juga kawin dengan perempuan To Manurung. Wakaaka merupakan To Manurung di Wolio (Buton) kelak juga menjadi Raja Wolio Pertama.
Perjalanan Sawerigading ke Timur bersama dengan pengikutnya, dipastikan singgah di beberapa daerah di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara, dan bahkan sampai ke Papua, dan negeri Marege (Australia?). perjalanan ini dapat dikatakan sebagai perjalanan politik untuk menanamkan pengaruh Kerajaan Luwu dan kejayaan orang Bugis ke negeri-negeri yang disinggahi. Melalui filosofi hidup di rantau yang dikembangkan oleh Sawerigading Lamaddukelleng untuk meraih sukses yang dikenal dengan “tiga ujung” (ujung lidah/diplomasi, ujung laki-laki/kawin politik, dan ujung keris/keberanian), maka para pengikut dan perantau Bugis lainnya dapat mempertahankan eksistensinya di negeri rantau. Terbukti para pengikut Sawerigading berhasil membentuk perkampungan dan tidak sedikit di antara mereka diangkat menjadi penguasa di wilyah dimana dia merantau.

NILAI-NILAI EDUKATIF DARI PERJALANAN SAWERIGADING KE NEGERI TIMUR






Makalah
Disajikan dalam Seminar Internasional Tentang Sawerigading
di Masamba Luwu Utara tanggal 10-14 Desember 2003












Oleh
Anwar Hafid

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO











PANITIA
FESTIVAL GALIGO DAN
SEMINAR INTERNASIONAL SAWERIGADING
MASAMBA 10-14 DESEMBER 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar