Minggu, 28 Juni 2020

URGENSI PENGKAJIAN SEJARAH LOKAL DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH


URGENSI PENGKAJIAN SEJARAH LOKAL DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH
Oleh: Prof. Dr. H. Anwar, M.Pd.


A.    Pendahuluan
Para ahli kurikulum mengajukan kritik terhadap pembelajaran sejarah yang didominasi  bahan hafalan, lebih menekankan memorisasi dan mengabaikan usaha pengembangan kemampuan intelektual yang lebih tinggi, tidak relevan dengan kebutuhan peserta didik (Partington, 1980). Meskipun kritik tersebut bertolak dari kenyataan yang ada di Inggris, tetapi kenyataannya juga berlaku di Indonesia. Untuk itu, perlu ada usaha untuk mengembangkan alternatif baru dalam proses pembelajaran sejarah di sekolah karena secara pedagogis sangat lemah. Selama ini pembelajaran sejarah di sekolah terlalu indoktrinatif dan tidak menjadikan anak berpikir kreatif
Di negeri ini, ilmu sejarah telah menjadi salah satu mata pelajaran wajib dalam kurikulum, sejak sekolah dasar, namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sudahkah pembelajaran sejarah berjalan dengan baik? Pada kenyataannya, pembelajaran sejarah di banyak sekolah tak lebih dari transfer ilmu guru ke siswa di dalam kelas melalui komunikasi satu arah. Siswa hanya menjadi objek pasif yang mempunyai kewajiban menghafal catatan yang diberikan guru supaya bisa menjawab soal-soal yang akan diujikan.
Metode pembelajaran sejarah semacam ini telah menjadikan pelajaran sejarah membosankan, karena tidak memberikan sentuhan emosional, siswa merasa tidak terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Metode pembelajaran yang kaku berakibat buruk untuk jangka waktu panjang dan berpotensi memunculkan generasi yang mengalami "amnesia sejarah" yaitu melupakan sejarah bangsa sendiri. Penelitian Govinthasamy (2002) menunjukkan bahwa guru-guru sejarah kurang mementingkan penerapan KBKK (Kemahiran Berfikir Kreatif dan Kritis)  dalam pembelajarannya.
Pembelajaran sejaran di sekolah selama ini kurang menarik, bahkan sering dianggap membosankan, dan dirasakan hanya sebagai rangkaian fakta-fakta yang berupa urutan tahun, tokoh dan peristiwa belaka yang jauh dari lingkungan sosial peserta didik, terutama di luar Jawa, karena selama ini materi kurikulum didominasi peristiwa sejarah di Pulau Jawa, sementara peristiwa dan peran tokoh di daerah lain yang tidak sedikit dan tidak kalah pentingnya termasuk di Sulawesi Tenggara tidak ada. Materi pembelajaran sejarah yang diberikan kepada peserta didik SD hingga SLTA tidak berbeda. "Proklamasi kemerdekaan RI dan Perang Diponegoro, misalnya, dipelajari dari SD hingga SLTA, sehingga membosankan. Akhirnya pelajaran sejarah benar-benar bisa mengajarkan kearifan hidup bagi peserta didinya. Untuk itu masalah tawuran anak sekolah yang kerap terjadi, bukan semata-mata persoalan budi pekerti, tetapi juga karena ada kesalahan  dalam pembelajaran sejarah.
Pemebelajaran sejarah perlu diberikan dengan lebih hidup kepada peserta didik. Mereka tidak cukup dijejali kesibukan kognitif, menghafal pengetahuan lewat fakta-fakta yang sudah mati pada masa lalu, sebagaimana banyak terjadi selama ini. Model pembelajaran sejarah perlu diarahkan bagaimana memahami fenomena masa lalu dalam berbagai aspeknya agar dapat menjelaskan persoalan pada masa kini, sehinga sejarah akan lebih bermakna. Dengan demikian pelajaran sejarah menjadi lebih hidup, sehingga guru sejarah tidak hanya memberikan pengetahuan fakta, melainkan mengajak siswa melihat dalam konteks zaman lalu dikaitkan dengan masa kini dan masa yang akan datang (Kompas, 15 Agustus 2005). Pelajaran dari peristiwa masa lalu yang sudah menjadi anasir-anasir sejarah berguna dalam memaknai hidup yang tengah berjalan demi kemajuan pada masa depan (Kompas, 6 September 2006).
Salah satu usaha pengembangan pembelajaran sejarah adalah dikembangkannya suplemen kurikulum muatan lokal atau Kurikulm Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Inti muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan kebutuhan daerah, serta wajib dipelajari oleh siswa di daerah itu.
Hasil Penelitian Sayono (2001) menunjukkan perlunya penyempurnaan kurikulum pembelajaran sejarah dengan menempatkan sejarah lokal sebagai bahan ajar. Hal ini untuk menghindarkan siswa tercabut dari akar sosio-kulturalnya, karena materi sejarah yang paling dekat dengan kondisi psikologis siswa adalah sejarah lokal. Kedudukan sejarah lokal sangat urgen dalam pembelajaran sejarah, dan diharapkan ada kesinambungan dalam pemikiran siswa agar dapat merasa bahwa diri dan lingkungannya merupakan bagian dari kehidupan yang lebih luas yakni negara kesatuan Republik Indonesia
Tujuan penerapan sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah di sekolah adalah (1) bahan  belajar akan lebih mudah diserap siswa, (2) sumber belajar di daerah dapat lebih mudah dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, (3) siswa lebih mengenal kondisi lingkungan, (4) siswa dapat meningkatkan pengetahuan mengenai daerahnya, (5) siswa dapat menolong diri dan orang tuanya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, (6) siswa dapat menerapkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan  yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah yang ditemukan di sekitarnya, dan (7) siswa menjadi akrab dengan lingkungannya (Widja, 1989).
Mencermati perkembangan masyarakat yang  begitu kompleks, maka perlu kurikulum berwawasan lokal berstandar Internasional, karena perkembangan kurikulum sejarah tidak terlepas dari faktor eksternal dan internal. Kurikulum nasional yang disusun berdasarkan kompetensi dasar dalam bentuk Standar Internasional, akan memberikan peluang luas kepada daerah untuk mengembangkan muatan lokal dalam pembelajaran sejarah, sesuai dengan ciri khas masing-masing daerah. Dalam mengembangkan kurikulum bermuatan sejarah lokal dapat dikemas dengan cara menjabarkan dan menambah bahan kajian dari KTSP mata pelajaran sejarah. Untuk dapat mengembangkan muatan sejarah lokal dengan baik perlu kiranya tetap menggunakan pendekatan-pendekatan yang berlaku dalam sejarah nasional yaitu faktual, prosesual, pemecahan masalah, dan tematis. Pendekatan tematis memerlukan pengembangan sejarah sosial, sejarah ekonomi, sejarah perkebunan, dan sejarah peradaban, yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.
Pengembangan pembelajaran sejarah bermuatan lokal perlu pula mencermati arah materi sejarah yang bersifat Indonesia sentris, arah gerak sejarah Bangsa Indonesia yang semula ditentukan oleh kaum elit/penguasa, menuju ke gerak sejarah yang tidak hanya ditentukan oleh kaum penguasa, tetapi oleh rakyat Indonesia. Dalam menghadapi tantangan pembelajaran sejarah yang demikian ini peran guru sejarah benar-benar menentukan selain sebagai pelaksana kurikulum dan pengembang kurikulum sejarah, juga harus mampu melakukan pengkajian sejarah lokal di sekitar tempat tugasnya.

B.     Pengkajian Sejarah Lokal dalam Rangka Pembelajaran Sejarah
Istilah pengkajian sejarah lokal adalah penulisan sejarah dalam lingkup yang terbatas meliputi suatu lokasi tertentu. Selain istilah ”sejarah lokal” juga sering digunakan istilah “sejarah daerah”, namun sejarah daerah kurang tepat digunakan karena istilah “daerah” bisa berkonotasi politik, terutama dalam imbangan antara “daerah” dengan “pusat”, penggunaan istilah itu, juga bisa mengabaikan konsep etniskultural sesungguhnya dan lebih mencerminkan unit lokasi suatu perkembangan sejarah (Abdullah, 1985). Mungkin istilah neighborhood yang diartikan Jordan (1968) sebagai rangkaian peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar dapat diterima dalam rangka pengkajian sejarah lokal untuk kepentingan pembelajaran sejarah.
Perlunya kajian sejarah lokal karena untuk mengetahui kesatuan yang lebih besar, bagian yang lebih kecil pun harus dimengerti dengan baik. Seringkali hal-hal yang ada di tingkat nasional baru bisa dimengerti dengan baik, apabila kita mengerti dengan baik pula perkembangan di tingkat lokal. Ppengembangan penulisan yang bersifat nasional seperti selama ini, sering kurang memberi makna bagi orang-orang tertentu, terutama yang terkait dengan sejarah wilayahnya sendiri (Lapian, 1980).
Banyak bagian sejarah bangsa Indonesia, bukan saja tidak pernah dihayati, tetapi juga tidak pernah dibayangkan karena kurangnya informasi tentang peristiwa itu, sehingga ada begian-bagian sejarah daerah kita sendiri yang luput dari masyarakat pembaca sejarah. Sebagai contoh keterbatasan pengetahuan orang-orang (bahkan yang berasal dari daerah itu sendiri) tentang peranan penting serta perkembangan detail dari kerajaan-kerajaan seperti Aceh, Wolio, Wuna, Konawe, Mekongga, dan Laiwoi. Ataupun arti penting serta detail dari bentuk-bentuk pemerintahan yang pernah berkembang di Indonesia seperti yang terdapat di pulai Kei (Lurlim dan Ursiw), di Minangkabau dengan Kota Piliang, Barata di Wuna dan Buton, serta Pitu Dula Batu di Kerajaan Konawe. Masih banyak lagi bisa dipakai contoh tentang kasus-kasus objek studi sejarah lokal yang tidak begitu dikenal di lingkungan masyarakat Indonesia.
Peninggalan gua prasejarah di Muna, Al-Qur’an 30 juz tulisan tangan di atas kertas yang berasal dari bahan baku kulit kayu yang ditemukan di Muna, perjuangan rakyat Buton melawan Jepang, perlawanan rakyat Kolaka dan Kendari melawan Sekutu dan Belanda yang mencapai puncaknya pada saat peristiwa 19 November 1945. Rangkaian peristiwa tersebut belum banyak ditulis sehingga tidak dipahami masyarakat di Sulawesi Tenggara. Dengan demikian, kepentingan mempelajari sejarah lokal, pertama-tama adalah untuk mengenal berbagai peristiwa sejarah di wilayah terdekat dengan lebih baik dan lebih bermakna.
Sejalan dengan itu, Lapian (1980) menunjukkan kepentingan lebih lanjut dari kajian secara lokal, yaitu: “untuk bisa mengadakan koreksi terhadap generalisasi-generalisasi yang sering dibuat dalam penulisan sejarah nasional”. Sebagai ilustrasi masalah generalisasi yang menyangkut periodisasi sejarah Indonesia yang sering diberi istilah Zaman Hindu. Pada kenyataannya ada daerah-daerah yang tidak mengenal periode zaman Hindu (seperti Sangir-Talaud, Sewu, Rote, dan Wilayah Sulawesi Tenggara). Ada pula daerah-daerah yang sampai sekarang masih berpegang pada Hinduisme (seperti Bali, dan sebagian Lombok). Di sini juga nampak bahwa pengembangan penulisan sejarah lokal akan memberikan bahan pengecekan terhadap anggapan teoritis yang bersifat menggeneralisasikan masalahnya untuk seluruh Indonesia.
            Ada beberapa aspek positif dalam pembelajaran sejarah lokal, baik yang bersifat edukatif psikologis maupun yang bersifat kesejarahan sendiri. Pertama, mampu membawa peserta didik pada situasi ril di lingkungannya dan mampu menerobos batas antara dunia sekolah dan dunia nyata di sekitar sekolah. Dilihat secara sosio-psikologis bisa membawa peserta didik secara langsung mengenal dan menghayati lingkunagn masyarakatnya, dimana mereka merupakan bagian di dalamnya (Douch, 1967; Mahoney, 1981).
            Kedua, pembelajaran sejarah lokal, akan lebih mudah membawa siswa pada usaha untuk mengenang pengalaman masa lampau masyarakatnya dengan melihat situasi masa kini, bahkan dapat memproyeksikan  peluang dan tantangan pada yang akan datang. Dalam pembelajaran sejarah lokal peserta didik akan mendapatkan banyak contoh dan pengalaman dari berbagai tingkat perkembangan lingkungan masyarakatnya, termasuk situasi masa kini. Dengan demikian, mereka akan lebih mudah menangkap konsep perubahan yang menjadi kunci penghubung antara masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.
            Kalau dihubungkan dengan teori J. Bruner maupun dalam hubungan dengan konsep-konsep pendekatan proses, maka pembelajaran sejarah lokal sangat mendukung prinsip pengembangan kemampuan peserta didik untuk berpikir aktif, kreatif dan struktural konseptual. Hampir semua prinsip dalam rangka pembelajaran siswa aktif  sangat relevan dengan kegiatan pembelajaran yang bermuatan sejarah lokal. Sesuai dengan sifat materi serta sumber sejarah lokal, maka peserta didik akan terdorong untuk menjadi lebih peka lingkungan, begitu juga mereka akan lebih terdorong mengembangkan keterampilan-keterampilan khusus seperti: mengobservasi, teknik bertanya atau melakukan wawancara, mengumpulkan dan menyeleksi sumber, mengadakan klasifikasi serta mengidentifikasi konsep, bahkan membuat generalisasi, kesemuanya itu mendorong bagi perkembangan proses belajar bersifat discovery inquiry.
            Jika dihubungkan dengan pendekatan kurikulum yang bersifat integratif beberapa mata pelajaran menjadi satu kelompok, dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), maka melalui pembelajaran bermuatan sejarah lokal nampaknya integrasi itu akan lebih mudah diwujudkan. Secara bersama-sama mata pelajaran seperti: ekonomi, geografi dan sejarah bisa juga dikelompokkan sebagai “pembelajaran lingkungan masyarakat setempat” (local community studies). Dalam wadah pembelajaran lingkungan masyarakat setempat, aspek-aspek kehidupan ekonomi, sosial, geografis serta aspek perkembangan suatu masyarakat dalam sutu lokasi tertentu sulit dipisahkan dengan tegas. Semua unsur kelompok mata pelajaran ini saling terkait dan menjelma dalam wujud kehidupan nyata dari masyarakat secara keseluruhan (Berry dan Schug, 1984).
            Pembelajaran bermuatan sejarah lokal mengharapkan peserta didik maupun guru harus berhubungan dengan sumber-sumber sejarah, baik yang tertulis maupun informasi lisan, baik berupa dokumen maupun benda-benda seperti: bangunan, alat-alat, peta dan sebagainya yang mula-mula harus dikumpulkan, kemudian dikaji (dikritik) serta diinterpretasikan sebelum bisa digunakan sebagai bahan pembelajaran sejarah lokal. Untuk itu, guru sejarah perlu suatu persiapan khusus sebelum pembelajaran bermuatan sejarah lokal bisa dilaksanakan secara efektif.
            Kesulitan lain adalah memadukan tuntutan pembelajaran sejarah lokal dengan tuntutan penyelesaian target materi yang telah tertulis dalam kurikulum. Pada umumnya dalam kurikulum sudah ditentukan sejumlah materi dan pokok-pokok bahasan yang harus diselesaikan sesuai dengan alokasi waktu yang sudah ditentukan dengan ketat. Dengan demikian guru akan mengalami dilema antara memenuhi tuntutan kurikulum dengan usaha pengembangan pembelajaran bermuatan sejarah lokal yang memerlukan waktu yang relatif banyak, baik untuk persiapan maupun untuk pelaksanaan kegiatan pembelajaran sejarah lokal yang dilakukan di luar kelas.
            Terkait dengan permasalahan tersebut, Douch (1967) mengemukakan tiga model pembelajaran sejarah lokal. Pertama, guru sejarah hanya mengambil contoh-contoh dari kejadian lokal untuk memberi ilustrasi yang lebih hidup dari uraian sejarah nasional maupun sejarah dunia yang sedang diajarkan. Di sini jelas tidak akan ada masalah bagi usaha yang mengaitkan sejarah lokal dengan kurikulum pembelajaran sejarah yang berlaku, karena tidak ada pengambilan alokasi waktu yang sudah disediakan dan tidak ada kegiatan khusus di luar kelas yang harus dilakukan guru dan peserta didik.
Kedua, dilakukan dalam bentuk kegiatan penjelajahan lingkungan. Di sini sudah ada usaha memberi porsi yang lebih nyata dari kegiatan belajar peserta didik dengan aktivitas kesejarahan di luar kelas. Dalam bentuk ini peserta didik selain belajar sejarah di kelas, juga diajak ke lingkungan sekitar sekolah untuk mengamati langsung sumber-sumber sejarah dan mengumpulkan data sejarah. Aspek-aspek yang diamati tidak semata-mata berupa sejarah dalam urutan-urutan peristiwa, tetapi juga berbagai aspek kehidupan yang terkait seperti geografi, sosial ekonomi, folklor, dan pertanian.
Ketiga, studi khusus tentang berbagai aspek kesejarahan di lingkungan peserta didik. Peserta didik diorganisir untuk mengikuti prosedur seperti yang dilakukan peneliti profesional, mulai dari pemilihan topik, membuat perencanaan, cara membuat analisis data sampai penyusunan laporan hasil studi.
Diantara tiga pilihan tersebut, akan lebih bijak jika dipilih model kedua, karena selain tidak mengganggu materi yang telah ada dalam kurikulum, juga dapat meningkatkan partisipasi siswa dan mendorong siswa untuk lebih kreatif dan inovatif, serta bangga terhadap lingkungan sosialnya. Persoalannya sekarang, sejauh mana guru sejarah mampu merancang kegiatan pembelajaran yang dapat mengaitkan dengan peristiwa sejarah lokal. Selama ini sumber-sumber sejarah lokal masih terbatas yang diungkap secara tertulis, jika ada itu umumnya ditulis oleh sejarwan amatir, sementara sejarawan profesional (sarjana sejarah dan magister sejarah) hanya senang berdebat persoalan metodologi yang juga sudah ketinggalan zaman, sehingga cuplikan-cuplikan sejarah yang sempat ditulis juga tidak dapat memuaskan banyak pihak, seperti kasus sejarah Sultra yang dua tahun terakhir dibacakan dalam upacara Harlah Sultra selalu menimbulkan kotroversi. Namun di sisi lain, jika kajian sejarah lokal dapat dilakukan secara profesional dengan mengadaptasi metodologi penelitian sosial modern dapat menghasilkan sesuatu yang berharga seperti hasil kajin sejarah Kota Kendari yang dilakukan Tim dari FKIP Unhalu berhasil mengungkap hari lahir Kota Kendari 9 Mei 1832, demikian pula penelitian Sejarah Kolaka yang dilakukan oleh Tim yang sama berhasil mengungkap beberapa fakta baru diantaranya rangkaian peristiwa 19 November 1945 yang merupakan puncak perjuangan rakyat Sulawesi Tenggara dalam mempertahankan kemerdekaan melawan sekutu dan Belanda sekaligus dapat memperkaya muatan sejarah nasional Indonesia. Dua kajian tersebut dapat menjadi acuan utama guru sejarah dalam pembelajaran di sekolah mulai SD sampai dengan perguruan tinggi. 

C.    Pengembangan Strategi Pembelajaran Sejarah
Ingat pesan Sukarno JASMERAH (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Agar pembelajaran sejarah berhasil baik, metode yang digunakan harus bisa mengkonstruk "ingatan historis" yang disertai dengan "ingatan emosional". Metode pembelajaran satu arah yang ada selama ini hanya akan mengkonstruk "ingatan historis". Siswa menjadikan sejarah hanya sebagai fakta-fakta hafalan tanpa adanya ketertarikan dan minat untuk memaknainya, apalagi menggali lebih jauh. Supaya ingatan "historis" bisa bertahan lama, maka perlu disertai "ingatan emosional", yaitu ingatan yang terbentuk dengan melibatkan emosi hingga bisa menumbuhkan kesadaran dalam diri siswa untuk menggali lebih jauh dan memaknai berbagai peristiwa sejarah. Proses pembelajaran kemudian tidak hanya berhenti pada penghafalan saja, tetapi siswa bisa aktif dalam komuniasi dua arah dengan guru untuk menyampaikan pendapatnya mengenai objek sejarah yang tengah dipelajari karena sejak awal ia telah merasa menjadi bagian dari proses pembelajaran. Di sinilah urgensinya sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah.
Penggunaan model pembelajaran cooperative learning merupakan salah satu alternatif yang dapat dilaksanakan oleh guru dalam memberdayakan siswa secara aktif dalam menggali muatan sejarah lokal ke dalam pembelajaran sejarah. Model cooperative learning ini mampu menempatkan siswa sebagai subjek dalam mengungkap episode-episode sejarah lokal. Karena pada dasarnya pelaksanaan cooperative learning adalah menggali potensi yang sebenarnya sudah dimiliki oleh masing-masing siswa. Untuk mendukung kondisi tersebut, guru memegang peranan penting dalam menciptakan suasana kelas yang `dapat memberikan keleluasaan dalam belajar dan mendorong siswa mengembangan potensi berpikirnya. Penggunaan model pembelajaran cooperative learning ini menempatkan guru sebagai fasilitator, motivator, mediator dan evaluator dalam upaya membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan kemampuan berpikir kritis, agar ia mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, mampu bekerjasama dengan orang lain, dan mampu untuk berinteraksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Pembelajaran sejarah lokal dapat divariasikan dengan media komputer/internet dan modul yang secara empiris  menunjukkan produktivitas hasil belajar sejarah yang tinggi dan dapat mengaplikasikan pelbagai teori dan strategi pembelajaran terutama pembelajaran koperatif (Mohamad, 2002; Alias, 2008).
Pembelajaran kooperatif merupakan suatu bentuk pembelajaran dalam kelompok kecil untuk bekerja sama sesama siswa (Heinich, 1990), dan dapat meningkatkan motivasi serta prestasi belajar siswa (Anglin, 1995). Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pembelajaran kooperatif, maka ada lima unsur yang harus diterapkan dalam pembelajaran kooperatif, yaitu: (1) saling ketergantungan positif, (2) tanggung jawab terhadap tugas dan kegiatan belajar, (3) terjadi tatap muka tidak harus di kelas, (4) komunikasi antar anggota, dan (5) evaluasi proses kinerja kelompok (Lie, 2002). Hasil uji coba melalui eksperimen menunjukkan bahwa strategi pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar sejarah (Mursidin, 2005).
Daud  (2008) mengkaji keberkasan strategi pembelajaran diskusi dengan hasil kajian menunjukkan bahawa pembelajaran yang menggunakan metode diskusi dapat meningkatkan pencapaian hasil belajar sejarah dan meningkatkan sikap positif siswa terhadap mata pelajaran sejarah dan pembelajaran sejarah.
Kegiatan pembelajaran bermuatan sejarah lokal dapat pula dilakukan dengan menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Melalui pendekatan ini proses pembelajaran menempatkan lingkungan sosial sebagai sumber belajar potensial termasuk di dalamnya aspek-aspek historis dalam lingkungan sehari-hari peserta didik. Penggunaan peta sejarah sebagai bagian dari CTL secara empiris menurut Ismail (2001) dapat meningkatkan motivasi siswa dalam pembelajaran sejarah. Implementasi CTL dapat dilakukan dengan menggunakan metode inquiri seperti dilakukan oleh Ahmad (2008) yang menunjukkan bahawa 83% siswa mampu melakukan inkuiri sejarah secara konsisten. Pemanfaatan metode inquiri dalam pembelajaran sejarah dapat meningkatkan pencapaian hasil belajar sejarah dan dapat meningkatkan sikap positif siswa terhadap mata pelajaran sejarah dan pembelajaran sejarah (Mahmud, 2008).
Kunjungan ke situs sejarah (metode karyawisata) bisa dikatakan sebagai salah satu metode yang dapat menimbulkan "ingatan emosional". Setelah siswa diberikan fakta-fakta sejarah untuk mengkonstruk "ingatan historis" dalam kelas, ingatan emosionalnya dapat tergali berkat kunjungan ke situs-situs sejarah. Selain metode karyawisata, beberapa metode alternatif dalam kaitannya dengan modifikasi pembelajaran sejarah perlu dikembangkan. Salah satu metode yang bisa diterapkan adalah pemanfaatan media audiovisual. Pemutaran film dokumenter, semidokumenter, dan film layar lebar yang berlatar sejarah. Bagaimanapun juga film adalah media audiovisual yang bisa menghadirkan "suatu rekaman peristiwa", lengkap dengan unsur gambar, suara, suasana, ruang dan waktu pada masa lalu yang bisa menggugah emosi. Setelah menonton film, siswa akan termotivasi menggali lebih jauh lagi "sejarah" yang terdokumentasikan atau yang dibuat versi layar lebar. Seorang siswa yang usai menonton film layar lebar Peran Tokoh Haluoleo, dan Peristiwa 19 November 1945 di Kolaka misalnya, maka ia akan termotivasi untuk mengetahui lebih lanjut peran tokoh dan makna historis yang dapat dikembangkan dalam era sekarang  dan masa yang akan datang.
Metode lain yang bisa dimanfaatkan adalah penggunaan media sastra. Banyak karya fiksi berlatar sejarah di negeri ini yang dapat digunakan sebagai sarana membangkitkan minat siswa pada mata pelajaran sejarah. Contoh karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan Romo Mangunwijaya. Dalam karya fiksi, sejarah memang hanya digunakan sebagai latar. Namun, ada unsur-unsur estetis di dalamnya yang bisa membuat pembaca menghadirkan dunia imajinasi di kepalanya sendiri. Ada pula unsur-unsur drama, konflik, dan solusi yang bisa menyentuh emosi siswa sehingga membetuk ingatan emosional. Ingatan emosional yang diperoleh siswa melalui pembacaan karya fiksi akan bisa menggugah mereka mempelajari lebih lanjut sejarah yang dijadikan latar dalam karya fiksi. Misalnya, mereka yang telah membaca “Di Tepi Kali Bekasi” akan tergerak mempelajari lagi sejarah revolusi fisik.
Dalam kaitannya dengan penggunaan karya sastra pengarang Indonesia sebagai sarana pembelajaran, kita justru tertinggal jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Di Malaysia sudah sejak lama novel Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer menjadi bacaan wajib siswa setingkat SMP, begitu pula dengan Gadis Pantai yang menjadi bacaan wajib siswa setingkat SMP di Australia. Sementara itu, di negeri si pengarang, semua karya-karyanya sempat dilarang keras beredar. Jadi, sebagai guru sejarah harus senantiasa mendasarkan dirinya pada fakta-fakta, sementara ia tidak boleh menutup diri dari metode pembelajaran yang lebih mudah diterima dan lebih digemari siswa sehingga mereka tidak mengalami "amnesia sejarah" (Kompas, 6 September 2006).
Untuk menjadikan guru sejarah yang mampu mengembangkan materi sejarah lokal, maka ia harus mampu melakukan pengkajian sejarah, dan ini tidak bisa ditawar-tawar lagi karena dalam KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memasukkan materi pengenalan penelitian sejarah pada semester satu kelas X. Secara filosofi bahwa inti materi pembelajaran sejarah dalam kompetensi dasar ini adalah sejarah lokal.  Usaha ini sangat positif, karena ketika siswa masuk SMA, mereka langsung diajak untuk latihan meneliti sejarah. Pendekatan yang tepat digunakan harus lebih mengedepankan pembelajaran learning by doing. Sebab apabila model pembelajaran hanya mengedepankan kognitif, maka tidak ubahnya materi sejarah yang ada pada siswa akan sia-sia.
Berkaitan model pembelajaran sejarah bermuatan sejarah lokal, maka perlu pengembangan modul dan buku-buku untuk merangsang siswa. Seharusnya guru tidak terpaku pada buku ajar, tetapi harus mengembangkan modul yang mengintegrasikan sejarah lokal. Sebab karakteristik setiap sekolah berbeda sesuai dengan arah KTSP berupa keragaman. “Tidak mungkin menggunakan satu buku untuk seluruh sekolah di Indonesia. Guru harus mampu mengembangkan materi sejarah dalam dimensi kekinian dengan mendekatkan materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kedekatan masalah peserta didik. Pengembangan strategi pembelajaran yang mengedepankan aktivitas siswa merupakan upaya inovatif pembelajaran sejarah.
Menurut Wahap (2000.)  yang mampu melakukan itu semua adalah guru yang mempunyai latar pendidikan sejarah dan pengalaman pelatihan. Akhirnya, guru sejarah harus memiliki latar belakang pendidikan sejara dan perlu diberi pelatihan materi dan metode pembelajaran sejarah sehingga hasil pembelajarannya efektif dan efisien.

D.    Penutup
Berbagai kelemahan yang ditemukan dalam pembelajaran sejarah selama ini, salah satu penyebabnya karena materi yang diajarkan tidak ada kaitannya dengan lingkungan sosial siswa. Materi pembelajaran terkesan cerita tentang tokoh, peristiwa, dan tahun yang jauh dari lingkungan siswa. Untuk itu, integrasi sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah nasional dan dunia merupakan suatu keharusan untuk melibatkan siswa dalam proses pembelajaran, sehingga dapat memberi makna dan kesadaran kepada peserta didik. Demikian pula penggunaan pendekatan, metode, dan media pembelajaran yang bervariasi sangat diperlukan untuk mengefektifkan dan mengefisienkan pembelajaran. Guru sejarah selain harus mampu membuat perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, juga dituntut kemampuan untuk melakukan pengkajian sejarah lokal di sekitar peserta didiknya yang dapat dijadikan bahan belajar di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, T. dkk. 1999. Membangun Masyarakat Madani Menuju Indonesia Baru Milenium ke-3. Yogyakarta: Aditya Media.
Alias, R. 2008. “Penghasilan Bahan Pengajaran dan Pembelajaran Berbantukan Komputer Bertajuk Sejarah dan Kita,Ppetempatan Awal di Negara Kita, Parameswara dan Pengasasan Melaka”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694 e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.
Anglin, G.J. 1995. Instructional Technology, past, presnt, and future. Englewood, Colorado: Libraries Unlimited, Inc.
Berry, R and Schug, M.C. 1984.  “Young People and Community”. Dalam Commonity Study: Aplications and Opportunities. Washington: National Council for the Social Studies.
Daud, S. 2008. Keberkasan Strategi Pengajaran Perbincangan Fenomenologi ke Atas Pencapaian dan Sikap Pelajar terhadap Mata Pelajaran dan Pembelajaran Sejarah Tingkatan Empat”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694 e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.
Douch, R.1967. Local History an the Teacher. London: Rout-ledge & Kegan Paul.
Govinthasamy, B.A. 2002. “Penilaian  Perlaksanaan Kemahiran erfikir Cecara Kreatif dan Kritis (KBKK) dalam Mata Pelajaran Sejarah KBSM Tingkatan 4. Satu Kajian di Daerah Tampin dan Rembau Negeri Sembilan”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/ sejarah.htm?PHPSESSID= c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.
Heinich, R. Et all. 1990. Instructional and the New Technologies of Instruction. New York: Macmillan Publishing Company.
Ismain, K. 2001. “Penggunaan Peta Sejarah untuk Meningkatkan Motivasi Siswa dalam Pembelajaran Sejarah”.  dalam Jurnal Sejarah Kajian dan Pengajarannya. Tahun 6, Nomor 2, September 2001.
Johnson, E.B. 2006. Contextual Teaching and Learning. Bandung: Mizan Media Utama.
Jordan, P.D.1968. The Nature and Practice of State and Local History. Washington: Amaerican Historical Association.
Kompas, 6 September 2006.
Lapian, A.B. 1980. “Memperluas Cakrawala melalui Sejarah Lokal” dalam Majalah Prisma. No. 8 Tahun IX. Jakarta: LP3ES.
Lie, Anita. 2002. Cooperatif Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.
Mahmud, J. 2008. “Kajian Perbandingan tentang Keberkesanan Kaedah Inkuiri dengan Kaedah Tradisional dalam Pengajaran dan Pembelajaran Sejarah Tingkatan Empat”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.
Mahoney, J. 1981. Local History: A Guide for Research and Writing. Washington DC: National Education Association.
Mohamad, M. 2002. “Pembinaan dan  Perlaksanaan Modul Pembelajaran Mengenai Web yang Disepadukan dengan Ssubjek Sejarah Dunia Tajuk Tamadun Awal Manusia”.  http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.
Naisbitt, J. 1997. Megantrends Asia: Delapan Megantren Asia yang Mengubah Dunia. Jakarta: Gramedia.
Partington, G. 1980. The Idea of an Historical Education. Avon: NFER Publishing Company.
Sayono, J. 2001. “Sejarah Lokal Kontemporer: Urgensinya Sebagai Muatan Lokal di Sekolah-Sekolah Lanjutan” dalam Jurnal Sejarah Kajian dan Pengajarannya. Tahun 6, Nomor 2, September 2001.
Shounara, Arlyda. 2003. Pelaksanaan Cooperative Learning untuk Meningkatkan Berpikir Kritis Siswa dalam Pembelajaran Sejarah. Tesis,. UPI Bandung.
Sudjana, D. 2000.  Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Luar Sekolah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Falah Production.
Suraji, S. 2003. “Keberkesanan Pemikiran Sebab-Musabab dalam Pengajaran dan Pembelajaran Mata Pelajarana Sejarah Tingkatan 4”. http://akademik.ukm.my/eda/ projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.
Toynbee, A.J. 196. A Study of History. London: Oxpord University Press.
Wahap, W. 2008. “Penggunaan Penyoalan Lisan di Kalangan Guru Sejarah di Sekitar Bandar Sibu, Sarawak”.http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.
Widja, I.G. 1999. Sejarah Lokal suatu Perspektif dalam Pengjaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud.













URGENSI PENGKAJIAN SEJARAH LOKAL DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH






ORASI ILMIAH
Dalam Rangka Pengukuhan Guru Besar
 dalam Bidang Pendidikan Sejarah pada
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
 FKIP Universitas Haluoleo, tanggal      Juni 2008





Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar, M.Pd.






UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2008




Tidak ada komentar:

Posting Komentar