URGENSI PENGKAJIAN SEJARAH LOKAL DALAM RANGKA
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH
Oleh: Prof. Dr. H. Anwar, M.Pd.
A.
Pendahuluan
Para
ahli kurikulum mengajukan kritik terhadap pembelajaran sejarah yang
didominasi bahan hafalan, lebih
menekankan memorisasi dan mengabaikan usaha pengembangan kemampuan intelektual
yang lebih tinggi, tidak relevan dengan kebutuhan peserta didik (Partington,
1980). Meskipun kritik tersebut bertolak dari kenyataan yang ada di Inggris,
tetapi kenyataannya juga berlaku di Indonesia. Untuk itu, perlu ada usaha untuk
mengembangkan alternatif baru dalam proses pembelajaran sejarah di sekolah
karena secara pedagogis sangat lemah. Selama ini pembelajaran sejarah di
sekolah terlalu indoktrinatif dan tidak menjadikan anak berpikir kreatif
Di
negeri ini, ilmu sejarah telah menjadi salah satu mata pelajaran wajib dalam
kurikulum, sejak sekolah dasar, namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah
sudahkah pembelajaran sejarah berjalan dengan baik? Pada kenyataannya,
pembelajaran sejarah di banyak sekolah tak lebih dari transfer ilmu guru ke
siswa di dalam kelas melalui komunikasi satu arah. Siswa hanya menjadi objek
pasif yang mempunyai kewajiban menghafal catatan yang diberikan guru supaya
bisa menjawab soal-soal yang akan diujikan.
Metode
pembelajaran sejarah semacam ini telah menjadikan pelajaran sejarah membosankan,
karena tidak memberikan sentuhan emosional, siswa merasa tidak terlibat aktif
dalam proses pembelajaran. Metode pembelajaran yang kaku berakibat buruk untuk
jangka waktu panjang dan berpotensi memunculkan generasi yang mengalami
"amnesia sejarah" yaitu melupakan sejarah bangsa sendiri. Penelitian Govinthasamy (2002) menunjukkan
bahwa guru-guru sejarah kurang mementingkan penerapan KBKK (Kemahiran
Berfikir Kreatif dan Kritis) dalam
pembelajarannya.
Pembelajaran
sejaran di sekolah selama ini kurang menarik, bahkan sering dianggap
membosankan, dan dirasakan hanya sebagai rangkaian fakta-fakta yang berupa
urutan tahun, tokoh dan peristiwa belaka yang jauh dari lingkungan sosial
peserta didik, terutama di luar Jawa, karena selama ini materi kurikulum
didominasi peristiwa sejarah di Pulau Jawa, sementara peristiwa dan peran tokoh
di daerah lain yang tidak sedikit dan tidak kalah pentingnya termasuk di
Sulawesi Tenggara tidak ada. Materi pembelajaran sejarah yang diberikan kepada
peserta didik SD hingga SLTA tidak berbeda. "Proklamasi kemerdekaan RI dan
Perang Diponegoro, misalnya, dipelajari dari SD hingga SLTA, sehingga
membosankan. Akhirnya pelajaran sejarah benar-benar bisa mengajarkan kearifan
hidup bagi peserta didinya. Untuk itu masalah tawuran anak sekolah yang kerap
terjadi, bukan semata-mata persoalan budi pekerti, tetapi juga karena ada
kesalahan dalam pembelajaran sejarah.
Pemebelajaran
sejarah perlu diberikan dengan lebih hidup kepada peserta didik. Mereka tidak
cukup dijejali kesibukan kognitif, menghafal pengetahuan lewat fakta-fakta yang
sudah mati pada masa lalu, sebagaimana banyak terjadi selama ini. Model
pembelajaran sejarah perlu diarahkan bagaimana memahami fenomena masa lalu
dalam berbagai aspeknya agar dapat menjelaskan persoalan pada masa kini,
sehinga sejarah akan lebih bermakna. Dengan demikian pelajaran sejarah menjadi
lebih hidup, sehingga guru sejarah tidak hanya memberikan pengetahuan fakta,
melainkan mengajak siswa melihat dalam konteks zaman lalu dikaitkan dengan masa
kini dan masa yang akan datang (Kompas, 15 Agustus 2005). Pelajaran dari
peristiwa masa lalu yang sudah menjadi anasir-anasir sejarah berguna dalam
memaknai hidup yang tengah berjalan demi kemajuan pada masa depan (Kompas, 6
September 2006).
Salah
satu usaha pengembangan pembelajaran sejarah adalah dikembangkannya suplemen
kurikulum muatan lokal atau Kurikulm Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Inti
muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya
dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan
kebutuhan daerah, serta wajib dipelajari oleh siswa di daerah itu.
Hasil Penelitian Sayono (2001) menunjukkan
perlunya penyempurnaan kurikulum pembelajaran sejarah dengan menempatkan
sejarah lokal sebagai bahan ajar. Hal ini untuk menghindarkan siswa tercabut
dari akar sosio-kulturalnya, karena materi sejarah yang paling dekat dengan
kondisi psikologis siswa adalah sejarah lokal. Kedudukan sejarah lokal sangat
urgen dalam pembelajaran sejarah, dan diharapkan ada kesinambungan dalam pemikiran
siswa agar dapat merasa bahwa diri dan lingkungannya merupakan bagian dari
kehidupan yang lebih luas yakni negara kesatuan Republik Indonesia
Tujuan
penerapan sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah di sekolah adalah (1)
bahan belajar akan lebih mudah diserap
siswa, (2) sumber belajar di daerah dapat lebih mudah dimanfaatkan untuk
kepentingan pendidikan, (3) siswa lebih mengenal kondisi lingkungan, (4) siswa
dapat meningkatkan pengetahuan mengenai daerahnya, (5) siswa dapat menolong
diri dan orang tuanya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, (6) siswa dapat
menerapkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan
yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah yang ditemukan di
sekitarnya, dan (7) siswa menjadi akrab dengan lingkungannya (Widja, 1989).
Mencermati
perkembangan masyarakat yang begitu
kompleks, maka perlu kurikulum
berwawasan lokal berstandar Internasional, karena perkembangan kurikulum
sejarah tidak terlepas dari faktor eksternal dan internal. Kurikulum nasional
yang disusun berdasarkan kompetensi dasar dalam bentuk Standar Internasional,
akan memberikan peluang luas kepada daerah untuk mengembangkan muatan lokal
dalam pembelajaran sejarah, sesuai dengan ciri khas masing-masing daerah. Dalam
mengembangkan kurikulum bermuatan sejarah lokal dapat dikemas dengan cara
menjabarkan dan menambah bahan kajian dari KTSP mata pelajaran sejarah. Untuk
dapat mengembangkan muatan sejarah lokal dengan baik perlu kiranya tetap
menggunakan pendekatan-pendekatan yang berlaku dalam sejarah nasional yaitu
faktual, prosesual, pemecahan masalah, dan tematis. Pendekatan tematis
memerlukan pengembangan sejarah sosial, sejarah ekonomi, sejarah perkebunan,
dan sejarah peradaban, yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi daerah
masing-masing.
Pengembangan
pembelajaran sejarah bermuatan lokal perlu pula mencermati arah materi sejarah
yang bersifat Indonesia sentris, arah gerak sejarah Bangsa Indonesia yang
semula ditentukan oleh kaum elit/penguasa, menuju ke gerak sejarah yang tidak
hanya ditentukan oleh kaum penguasa, tetapi oleh rakyat Indonesia. Dalam
menghadapi tantangan pembelajaran sejarah yang demikian ini peran guru sejarah
benar-benar menentukan selain sebagai pelaksana kurikulum dan pengembang
kurikulum sejarah, juga harus mampu melakukan pengkajian sejarah lokal di
sekitar tempat tugasnya.
B. Pengkajian Sejarah Lokal
dalam Rangka Pembelajaran Sejarah
Istilah pengkajian sejarah lokal adalah penulisan sejarah dalam lingkup
yang terbatas meliputi suatu lokasi tertentu. Selain istilah ”sejarah lokal”
juga sering digunakan istilah “sejarah daerah”, namun sejarah daerah kurang
tepat digunakan karena istilah “daerah” bisa berkonotasi politik, terutama
dalam imbangan antara “daerah” dengan “pusat”, penggunaan istilah itu, juga
bisa mengabaikan konsep etniskultural sesungguhnya dan lebih mencerminkan unit
lokasi suatu perkembangan sejarah (Abdullah, 1985). Mungkin istilah neighborhood yang diartikan Jordan
(1968) sebagai rangkaian peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar dapat
diterima dalam rangka pengkajian sejarah lokal untuk kepentingan pembelajaran
sejarah.
Perlunya kajian sejarah lokal karena untuk mengetahui kesatuan yang
lebih besar, bagian yang lebih kecil pun harus dimengerti dengan baik.
Seringkali hal-hal yang ada di tingkat nasional baru bisa dimengerti dengan
baik, apabila kita mengerti dengan baik pula perkembangan di tingkat lokal. Ppengembangan
penulisan yang bersifat nasional seperti selama ini, sering kurang memberi
makna bagi orang-orang tertentu, terutama yang terkait dengan sejarah
wilayahnya sendiri (Lapian, 1980).
Banyak bagian sejarah bangsa Indonesia, bukan saja tidak pernah dihayati,
tetapi juga tidak pernah dibayangkan karena kurangnya informasi tentang peristiwa
itu, sehingga ada begian-bagian sejarah daerah kita sendiri yang luput dari
masyarakat pembaca sejarah. Sebagai contoh keterbatasan pengetahuan orang-orang
(bahkan yang berasal dari daerah itu sendiri) tentang peranan penting serta
perkembangan detail dari kerajaan-kerajaan seperti Aceh, Wolio, Wuna, Konawe,
Mekongga, dan Laiwoi. Ataupun arti penting serta detail dari bentuk-bentuk pemerintahan
yang pernah berkembang di Indonesia seperti yang terdapat di pulai Kei (Lurlim
dan Ursiw), di Minangkabau dengan Kota Piliang, Barata di Wuna dan Buton, serta
Pitu Dula Batu di Kerajaan Konawe. Masih banyak lagi bisa dipakai contoh
tentang kasus-kasus objek studi sejarah lokal yang tidak begitu dikenal di
lingkungan masyarakat Indonesia.
Peninggalan gua prasejarah di Muna, Al-Qur’an 30 juz tulisan tangan di atas
kertas yang berasal dari bahan baku kulit kayu yang ditemukan di Muna,
perjuangan rakyat Buton melawan Jepang, perlawanan rakyat Kolaka dan Kendari
melawan Sekutu dan Belanda yang mencapai puncaknya pada saat peristiwa 19
November 1945. Rangkaian peristiwa tersebut belum banyak ditulis sehingga tidak
dipahami masyarakat di Sulawesi Tenggara. Dengan demikian, kepentingan
mempelajari sejarah lokal, pertama-tama adalah untuk mengenal berbagai
peristiwa sejarah di wilayah terdekat dengan lebih baik dan lebih bermakna.
Sejalan dengan itu, Lapian (1980) menunjukkan kepentingan lebih lanjut
dari kajian secara lokal, yaitu: “untuk bisa mengadakan koreksi terhadap
generalisasi-generalisasi yang sering dibuat dalam penulisan sejarah nasional”.
Sebagai ilustrasi masalah generalisasi yang menyangkut periodisasi sejarah
Indonesia yang sering diberi istilah Zaman Hindu. Pada kenyataannya ada
daerah-daerah yang tidak mengenal periode zaman Hindu (seperti Sangir-Talaud, Sewu,
Rote, dan Wilayah Sulawesi Tenggara). Ada pula daerah-daerah yang sampai
sekarang masih berpegang pada Hinduisme (seperti Bali, dan sebagian Lombok). Di
sini juga nampak bahwa pengembangan penulisan sejarah lokal akan memberikan
bahan pengecekan terhadap anggapan teoritis yang bersifat menggeneralisasikan
masalahnya untuk seluruh Indonesia.
Ada beberapa aspek positif dalam
pembelajaran sejarah lokal, baik yang bersifat edukatif psikologis maupun yang
bersifat kesejarahan sendiri. Pertama, mampu
membawa peserta didik pada situasi ril di lingkungannya dan mampu menerobos
batas antara dunia sekolah dan dunia nyata di sekitar sekolah. Dilihat secara
sosio-psikologis bisa membawa peserta didik secara langsung mengenal dan
menghayati lingkunagn masyarakatnya, dimana mereka merupakan bagian di dalamnya
(Douch, 1967; Mahoney, 1981).
Kedua,
pembelajaran sejarah lokal, akan lebih mudah membawa siswa pada usaha untuk
mengenang pengalaman masa lampau masyarakatnya dengan melihat situasi masa
kini, bahkan dapat memproyeksikan
peluang dan tantangan pada yang akan datang. Dalam pembelajaran sejarah
lokal peserta didik akan mendapatkan banyak contoh dan pengalaman dari berbagai
tingkat perkembangan lingkungan masyarakatnya, termasuk situasi masa kini.
Dengan demikian, mereka akan lebih mudah menangkap konsep perubahan yang
menjadi kunci penghubung antara masa lampau, masa kini, dan masa yang akan
datang.
Kalau dihubungkan dengan teori J.
Bruner maupun dalam hubungan dengan konsep-konsep pendekatan proses, maka
pembelajaran sejarah lokal sangat mendukung prinsip pengembangan kemampuan
peserta didik untuk berpikir aktif, kreatif dan struktural konseptual. Hampir
semua prinsip dalam rangka pembelajaran siswa aktif sangat relevan dengan kegiatan pembelajaran
yang bermuatan sejarah lokal. Sesuai dengan sifat materi serta sumber sejarah
lokal, maka peserta didik akan terdorong untuk menjadi lebih peka lingkungan,
begitu juga mereka akan lebih terdorong mengembangkan keterampilan-keterampilan
khusus seperti: mengobservasi, teknik bertanya atau melakukan wawancara,
mengumpulkan dan menyeleksi sumber, mengadakan klasifikasi serta
mengidentifikasi konsep, bahkan membuat generalisasi, kesemuanya itu mendorong
bagi perkembangan proses belajar bersifat discovery
inquiry.
Jika dihubungkan dengan pendekatan
kurikulum yang bersifat integratif beberapa mata pelajaran menjadi satu
kelompok, dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), maka melalui pembelajaran
bermuatan sejarah lokal nampaknya integrasi itu akan lebih mudah diwujudkan.
Secara bersama-sama mata pelajaran seperti: ekonomi, geografi dan sejarah bisa
juga dikelompokkan sebagai “pembelajaran lingkungan masyarakat setempat” (local community studies). Dalam wadah
pembelajaran lingkungan masyarakat setempat, aspek-aspek kehidupan ekonomi,
sosial, geografis serta aspek perkembangan suatu masyarakat dalam sutu lokasi
tertentu sulit dipisahkan dengan tegas. Semua unsur kelompok mata pelajaran ini
saling terkait dan menjelma dalam wujud kehidupan nyata dari masyarakat secara
keseluruhan (Berry dan Schug, 1984).
Pembelajaran bermuatan sejarah lokal
mengharapkan peserta didik maupun guru harus berhubungan dengan sumber-sumber
sejarah, baik yang tertulis maupun informasi lisan, baik berupa dokumen maupun
benda-benda seperti: bangunan, alat-alat, peta dan sebagainya yang mula-mula
harus dikumpulkan, kemudian dikaji (dikritik) serta diinterpretasikan sebelum
bisa digunakan sebagai bahan pembelajaran sejarah lokal. Untuk itu, guru
sejarah perlu suatu persiapan khusus sebelum pembelajaran bermuatan sejarah
lokal bisa dilaksanakan secara efektif.
Kesulitan lain adalah memadukan
tuntutan pembelajaran sejarah lokal dengan tuntutan penyelesaian target materi
yang telah tertulis dalam kurikulum. Pada umumnya dalam kurikulum sudah
ditentukan sejumlah materi dan pokok-pokok bahasan yang harus diselesaikan
sesuai dengan alokasi waktu yang sudah ditentukan dengan ketat. Dengan demikian
guru akan mengalami dilema antara memenuhi tuntutan kurikulum dengan usaha
pengembangan pembelajaran bermuatan sejarah lokal yang memerlukan waktu yang
relatif banyak, baik untuk persiapan maupun untuk pelaksanaan kegiatan
pembelajaran sejarah lokal yang dilakukan di luar kelas.
Terkait dengan permasalahan
tersebut, Douch (1967) mengemukakan tiga model pembelajaran sejarah lokal. Pertama, guru sejarah hanya mengambil
contoh-contoh dari kejadian lokal untuk memberi ilustrasi yang lebih hidup dari
uraian sejarah nasional maupun sejarah dunia yang sedang diajarkan. Di sini
jelas tidak akan ada masalah bagi usaha yang mengaitkan sejarah lokal dengan
kurikulum pembelajaran sejarah yang berlaku, karena tidak ada pengambilan
alokasi waktu yang sudah disediakan dan tidak ada kegiatan khusus di luar kelas
yang harus dilakukan guru dan peserta didik.
Kedua,
dilakukan dalam bentuk kegiatan penjelajahan lingkungan. Di sini sudah ada
usaha memberi porsi yang lebih nyata dari kegiatan belajar peserta didik dengan
aktivitas kesejarahan di luar kelas. Dalam bentuk ini peserta didik selain
belajar sejarah di kelas, juga diajak ke lingkungan sekitar sekolah untuk
mengamati langsung sumber-sumber sejarah dan mengumpulkan data sejarah.
Aspek-aspek yang diamati tidak semata-mata berupa sejarah dalam urutan-urutan
peristiwa, tetapi juga berbagai aspek kehidupan yang terkait seperti geografi,
sosial ekonomi, folklor, dan pertanian.
Ketiga, studi khusus tentang berbagai aspek kesejarahan di lingkungan peserta
didik. Peserta didik diorganisir untuk mengikuti prosedur seperti yang
dilakukan peneliti profesional, mulai dari pemilihan topik, membuat perencanaan,
cara membuat analisis data sampai penyusunan laporan hasil studi.
Diantara
tiga pilihan tersebut, akan lebih bijak jika dipilih model kedua, karena selain
tidak mengganggu materi yang telah ada dalam kurikulum, juga dapat meningkatkan
partisipasi siswa dan mendorong siswa untuk lebih kreatif dan inovatif, serta
bangga terhadap lingkungan sosialnya. Persoalannya sekarang, sejauh mana guru
sejarah mampu merancang kegiatan pembelajaran yang dapat mengaitkan dengan
peristiwa sejarah lokal. Selama ini sumber-sumber sejarah lokal masih terbatas
yang diungkap secara tertulis, jika ada itu umumnya ditulis oleh sejarwan
amatir, sementara sejarawan profesional (sarjana sejarah dan magister sejarah)
hanya senang berdebat persoalan metodologi yang juga sudah ketinggalan zaman,
sehingga cuplikan-cuplikan sejarah yang sempat ditulis juga tidak dapat
memuaskan banyak pihak, seperti kasus sejarah Sultra yang dua tahun terakhir
dibacakan dalam upacara Harlah Sultra selalu menimbulkan kotroversi. Namun di
sisi lain, jika kajian sejarah lokal dapat dilakukan secara profesional dengan
mengadaptasi metodologi penelitian sosial modern dapat menghasilkan sesuatu
yang berharga seperti hasil kajin sejarah Kota Kendari yang dilakukan Tim dari
FKIP Unhalu berhasil mengungkap hari lahir Kota Kendari 9 Mei 1832, demikian
pula penelitian Sejarah Kolaka yang dilakukan oleh Tim yang sama berhasil
mengungkap beberapa fakta baru diantaranya rangkaian peristiwa 19 November 1945
yang merupakan puncak perjuangan rakyat Sulawesi Tenggara dalam mempertahankan
kemerdekaan melawan sekutu dan Belanda sekaligus dapat memperkaya muatan
sejarah nasional Indonesia. Dua kajian tersebut dapat menjadi acuan utama guru
sejarah dalam pembelajaran di sekolah mulai SD sampai dengan perguruan tinggi.
C. Pengembangan Strategi
Pembelajaran Sejarah
Ingat
pesan Sukarno JASMERAH (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Agar
pembelajaran sejarah berhasil baik, metode yang digunakan harus bisa
mengkonstruk "ingatan historis" yang disertai dengan "ingatan
emosional". Metode pembelajaran satu arah yang ada selama ini hanya akan
mengkonstruk "ingatan historis". Siswa menjadikan sejarah hanya
sebagai fakta-fakta hafalan tanpa adanya ketertarikan dan minat untuk
memaknainya, apalagi menggali lebih jauh. Supaya ingatan "historis"
bisa bertahan lama, maka perlu disertai "ingatan emosional", yaitu ingatan
yang terbentuk dengan melibatkan emosi hingga bisa menumbuhkan kesadaran dalam
diri siswa untuk menggali lebih jauh dan memaknai berbagai peristiwa sejarah.
Proses pembelajaran kemudian tidak hanya berhenti pada penghafalan saja, tetapi
siswa bisa aktif dalam komuniasi dua arah dengan guru untuk menyampaikan
pendapatnya mengenai objek sejarah yang tengah dipelajari karena sejak awal ia
telah merasa menjadi bagian dari proses pembelajaran. Di sinilah urgensinya
sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah.
Penggunaan
model pembelajaran cooperative learning
merupakan salah satu alternatif yang dapat dilaksanakan oleh guru dalam
memberdayakan siswa secara aktif dalam menggali muatan sejarah lokal ke dalam
pembelajaran sejarah. Model cooperative
learning ini mampu menempatkan siswa sebagai subjek dalam mengungkap
episode-episode sejarah lokal. Karena pada dasarnya pelaksanaan cooperative learning adalah menggali potensi yang
sebenarnya sudah dimiliki oleh masing-masing siswa. Untuk mendukung kondisi
tersebut, guru memegang peranan penting dalam menciptakan suasana kelas yang
`dapat memberikan keleluasaan dalam belajar dan mendorong siswa mengembangan
potensi berpikirnya. Penggunaan model pembelajaran cooperative learning ini menempatkan guru sebagai fasilitator,
motivator, mediator dan evaluator dalam upaya membantu siswa mengembangkan
keterampilan sosial dan kemampuan berpikir kritis, agar ia mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya, mampu bekerjasama dengan orang lain, dan mampu untuk
berinteraksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Pembelajaran
sejarah lokal dapat divariasikan dengan media komputer/internet dan modul yang
secara empiris menunjukkan produktivitas hasil belajar
sejarah yang tinggi dan dapat mengaplikasikan pelbagai teori dan strategi
pembelajaran terutama pembelajaran koperatif (Mohamad, 2002; Alias, 2008).
Pembelajaran
kooperatif merupakan suatu bentuk pembelajaran dalam kelompok kecil untuk
bekerja sama sesama siswa (Heinich, 1990), dan dapat meningkatkan motivasi
serta prestasi belajar siswa (Anglin, 1995). Untuk mencapai hasil yang maksimal
dalam pembelajaran kooperatif, maka ada lima unsur yang harus diterapkan dalam
pembelajaran kooperatif, yaitu: (1) saling ketergantungan positif, (2) tanggung
jawab terhadap tugas dan kegiatan belajar, (3) terjadi tatap muka tidak harus
di kelas, (4) komunikasi antar anggota, dan (5) evaluasi proses kinerja
kelompok (Lie, 2002). Hasil uji coba melalui eksperimen menunjukkan bahwa
strategi pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar sejarah
(Mursidin, 2005).
Daud (2008) mengkaji keberkasan
strategi pembelajaran diskusi dengan hasil kajian menunjukkan bahawa
pembelajaran yang menggunakan metode diskusi dapat meningkatkan pencapaian
hasil belajar sejarah dan meningkatkan sikap positif siswa terhadap mata
pelajaran sejarah dan pembelajaran sejarah.
Kegiatan pembelajaran bermuatan sejarah lokal
dapat pula dilakukan dengan menggunakan pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL). Melalui pendekatan ini proses
pembelajaran menempatkan lingkungan sosial sebagai sumber belajar potensial
termasuk di dalamnya aspek-aspek historis dalam lingkungan sehari-hari peserta
didik. Penggunaan peta sejarah sebagai
bagian dari CTL secara empiris menurut Ismail (2001) dapat meningkatkan
motivasi siswa dalam pembelajaran sejarah. Implementasi CTL dapat
dilakukan dengan menggunakan metode inquiri seperti dilakukan oleh Ahmad (2008) yang menunjukkan bahawa 83%
siswa mampu melakukan inkuiri sejarah secara konsisten. Pemanfaatan metode
inquiri dalam pembelajaran sejarah dapat meningkatkan pencapaian hasil belajar
sejarah dan dapat meningkatkan sikap positif siswa terhadap mata pelajaran
sejarah dan pembelajaran sejarah (Mahmud,
2008).
Kunjungan ke situs sejarah (metode
karyawisata) bisa dikatakan sebagai salah satu metode yang dapat menimbulkan
"ingatan emosional". Setelah siswa diberikan fakta-fakta sejarah
untuk mengkonstruk "ingatan historis" dalam kelas, ingatan
emosionalnya dapat tergali berkat kunjungan ke situs-situs sejarah. Selain
metode karyawisata, beberapa metode alternatif dalam kaitannya dengan
modifikasi pembelajaran sejarah perlu dikembangkan. Salah satu metode yang bisa
diterapkan adalah pemanfaatan media audiovisual. Pemutaran film dokumenter,
semidokumenter, dan film layar lebar yang berlatar sejarah. Bagaimanapun juga
film adalah media audiovisual yang bisa menghadirkan "suatu rekaman
peristiwa", lengkap dengan unsur gambar, suara, suasana, ruang dan waktu
pada masa lalu yang bisa menggugah emosi. Setelah menonton film, siswa akan
termotivasi menggali lebih jauh lagi "sejarah" yang terdokumentasikan
atau yang dibuat versi layar lebar. Seorang siswa yang usai menonton film layar
lebar Peran Tokoh Haluoleo, dan Peristiwa 19 November 1945 di Kolaka misalnya, maka
ia akan termotivasi untuk mengetahui lebih lanjut peran tokoh dan makna
historis yang dapat dikembangkan dalam era sekarang dan masa yang akan datang.
Metode lain yang bisa dimanfaatkan
adalah penggunaan media sastra. Banyak karya fiksi berlatar sejarah di negeri
ini yang dapat digunakan sebagai sarana membangkitkan minat siswa pada mata
pelajaran sejarah. Contoh karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan Romo
Mangunwijaya. Dalam karya fiksi, sejarah memang hanya digunakan sebagai latar.
Namun, ada unsur-unsur estetis di dalamnya yang bisa membuat pembaca
menghadirkan dunia imajinasi di kepalanya sendiri. Ada pula unsur-unsur drama,
konflik, dan solusi yang bisa menyentuh emosi siswa sehingga membetuk ingatan
emosional. Ingatan emosional yang diperoleh siswa melalui pembacaan karya fiksi
akan bisa menggugah mereka mempelajari lebih lanjut sejarah yang dijadikan
latar dalam karya fiksi. Misalnya, mereka yang telah membaca “Di Tepi Kali
Bekasi” akan tergerak mempelajari lagi sejarah revolusi fisik.
Dalam kaitannya dengan penggunaan karya
sastra pengarang Indonesia sebagai sarana pembelajaran, kita justru tertinggal
jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Di Malaysia sudah sejak lama
novel Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer menjadi bacaan wajib siswa
setingkat SMP, begitu pula dengan Gadis Pantai yang menjadi bacaan wajib siswa
setingkat SMP di Australia. Sementara
itu, di negeri si pengarang, semua karya-karyanya sempat dilarang keras
beredar. Jadi, sebagai guru sejarah harus senantiasa mendasarkan dirinya pada
fakta-fakta, sementara ia tidak boleh menutup diri dari metode pembelajaran
yang lebih mudah diterima dan lebih digemari siswa sehingga mereka tidak
mengalami "amnesia sejarah" (Kompas, 6 September 2006).
Untuk
menjadikan guru sejarah yang mampu mengembangkan materi sejarah lokal, maka ia
harus mampu melakukan pengkajian sejarah, dan ini tidak bisa ditawar-tawar lagi
karena dalam KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) memasukkan materi pengenalan penelitian sejarah pada semester
satu kelas X. Secara filosofi bahwa inti materi pembelajaran sejarah dalam
kompetensi dasar ini adalah sejarah lokal.
Usaha ini sangat positif, karena ketika siswa masuk SMA, mereka langsung
diajak untuk latihan meneliti sejarah. Pendekatan yang tepat digunakan harus
lebih mengedepankan pembelajaran learning
by doing. Sebab apabila model pembelajaran hanya mengedepankan kognitif,
maka tidak ubahnya materi sejarah yang ada pada siswa akan sia-sia.
Berkaitan
model pembelajaran sejarah bermuatan sejarah lokal, maka perlu pengembangan
modul dan buku-buku untuk merangsang siswa. Seharusnya guru tidak terpaku pada
buku ajar, tetapi harus mengembangkan modul yang mengintegrasikan sejarah
lokal. Sebab karakteristik setiap sekolah berbeda sesuai dengan arah KTSP
berupa keragaman. “Tidak mungkin menggunakan satu buku untuk seluruh sekolah di
Indonesia. Guru harus mampu
mengembangkan materi sejarah dalam dimensi kekinian dengan mendekatkan materi
pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kedekatan masalah peserta didik.
Pengembangan strategi pembelajaran yang mengedepankan aktivitas siswa merupakan
upaya inovatif pembelajaran sejarah.
Menurut
Wahap (2000.) yang mampu melakukan itu semua adalah guru yang mempunyai latar
pendidikan sejarah dan pengalaman pelatihan. Akhirnya, guru sejarah harus
memiliki latar belakang pendidikan sejara dan perlu diberi pelatihan materi dan
metode pembelajaran sejarah sehingga hasil pembelajarannya efektif dan efisien.
D. Penutup
Berbagai
kelemahan yang ditemukan dalam pembelajaran sejarah selama ini, salah satu
penyebabnya karena materi yang diajarkan tidak ada kaitannya dengan lingkungan
sosial siswa. Materi pembelajaran terkesan cerita tentang tokoh, peristiwa, dan
tahun yang jauh dari lingkungan siswa. Untuk itu, integrasi sejarah lokal dalam
pembelajaran sejarah nasional dan dunia merupakan suatu keharusan untuk
melibatkan siswa dalam proses pembelajaran, sehingga dapat memberi makna dan
kesadaran kepada peserta didik. Demikian pula penggunaan pendekatan, metode,
dan media pembelajaran yang bervariasi sangat diperlukan untuk mengefektifkan
dan mengefisienkan pembelajaran. Guru sejarah selain harus mampu membuat
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, juga dituntut kemampuan untuk melakukan
pengkajian sejarah lokal di sekitar peserta didiknya yang dapat dijadikan bahan
belajar di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T. dkk. 1999. Membangun Masyarakat Madani Menuju Indonesia Baru Milenium ke-3. Yogyakarta:
Aditya Media.
Alias, R. 2008. “Penghasilan Bahan Pengajaran dan Pembelajaran
Berbantukan Komputer Bertajuk Sejarah dan Kita,Ppetempatan Awal di Negara Kita,
Parameswara dan Pengasasan Melaka”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694
e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.
Anglin, G.J. 1995. Instructional
Technology, past, presnt, and future. Englewood, Colorado: Libraries
Unlimited, Inc.
Berry, R and Schug, M.C. 1984. “Young People and Community”. Dalam Commonity Study: Aplications and
Opportunities. Washington: National Council for the Social Studies.
Daud, S. 2008. Keberkasan Strategi Pengajaran Perbincangan Fenomenologi
ke Atas Pencapaian dan Sikap Pelajar terhadap Mata Pelajaran dan Pembelajaran
Sejarah Tingkatan Empat”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694
e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.
Douch, R.1967. Local History an
the Teacher. London: Rout-ledge & Kegan Paul.
Govinthasamy, B.A. 2002. “Penilaian Perlaksanaan Kemahiran
erfikir Cecara Kreatif dan Kritis (KBKK) dalam Mata Pelajaran Sejarah KBSM
Tingkatan 4. Satu Kajian di Daerah Tampin dan Rembau Negeri Sembilan”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/
sejarah.htm?PHPSESSID= c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.
Heinich, R. Et all. 1990. Instructional
and the New Technologies of Instruction. New York: Macmillan Publishing
Company.
Ismain, K. 2001.
“Penggunaan Peta Sejarah untuk Meningkatkan Motivasi Siswa dalam Pembelajaran
Sejarah”. dalam Jurnal Sejarah Kajian dan Pengajarannya.
Tahun 6, Nomor 2, September 2001.
Johnson, E.B. 2006. Contextual Teaching and Learning. Bandung: Mizan Media Utama.
Jordan, P.D.1968. The
Nature and Practice of State and Local History. Washington: Amaerican
Historical Association.
Kompas, 6 September 2006.
Lapian, A.B. 1980. “Memperluas Cakrawala melalui Sejarah Lokal” dalam Majalah Prisma. No. 8 Tahun IX. Jakarta:
LP3ES.
Lie, Anita. 2002. Cooperatif
Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta:
Grasindo.
Mahmud, J. 2008. “Kajian Perbandingan tentang Keberkesanan Kaedah
Inkuiri dengan Kaedah Tradisional dalam Pengajaran dan Pembelajaran Sejarah
Tingkatan Empat”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118,
8 Mei 2008.
Mahoney, J. 1981. Local History:
A Guide for Research and Writing. Washington DC: National Education
Association.
Mohamad, M. 2002. “Pembinaan dan
Perlaksanaan Modul Pembelajaran Mengenai Web yang Disepadukan dengan
Ssubjek Sejarah Dunia Tajuk Tamadun Awal Manusia”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118,
8 Mei 2008.
Naisbitt, J. 1997. Megantrends Asia: Delapan Megantren Asia
yang Mengubah Dunia. Jakarta: Gramedia.
Partington, G. 1980. The Idea of an Historical Education. Avon: NFER Publishing Company.
Sayono, J. 2001. “Sejarah Lokal Kontemporer: Urgensinya Sebagai Muatan Lokal di
Sekolah-Sekolah Lanjutan” dalam Jurnal
Sejarah Kajian dan Pengajarannya. Tahun 6,
Nomor 2, September 2001.
Shounara, Arlyda. 2003. Pelaksanaan Cooperative Learning untuk Meningkatkan Berpikir Kritis
Siswa dalam Pembelajaran Sejarah. Tesis,. UPI Bandung.
Sudjana, D. 2000. Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Luar
Sekolah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Falah Production.
Suraji, S. 2003. “Keberkesanan Pemikiran Sebab-Musabab dalam Pengajaran
dan Pembelajaran Mata Pelajarana Sejarah Tingkatan 4”. http://akademik.ukm.my/eda/
projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8
Mei 2008.
Toynbee, A.J. 196. A
Study of History. London: Oxpord University Press.
Wahap, W. 2008. “Penggunaan Penyoalan Lisan di Kalangan Guru Sejarah di Sekitar Bandar
Sibu, Sarawak”.http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118,
8 Mei 2008.
Widja, I.G. 1999. Sejarah Lokal
suatu Perspektif dalam Pengjaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
URGENSI PENGKAJIAN SEJARAH LOKAL DALAM RANGKA
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH
ORASI ILMIAH
Dalam Rangka
Pengukuhan Guru Besar
dalam Bidang Pendidikan Sejarah pada
Jurusan Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial
FKIP Universitas Haluoleo, tanggal Juni 2008
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar, M.Pd.
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar