PERANAN TRADISI LISAN SEBAGAI
MEDIA PEMBELAJARAN PADA PROGRAM PEMBERANTASAN BUTA AKSARA DALAM LINGKUNGAN KOMUNITAS
BAJO DI SULAWESI TENGGARA
ORAL TRADITION AS MEDIA ROLE IN LEARNING
LITERACY PROGRAMS ENVIRONMENT IN COMMUNITY BAJO IN SOUTH EAST SULAWESI
Oleh:
Prof. Dr. H.
Anwar Hafid, M. Pd.
Email:
anwarhapid@ymail.com
Dosen FKIP dan PPs Universitas Halu Oleo Kendari
Makalah
Disajikan pada Seminar
Internasional dan Festival Tradisi Lisan IX,
di Wakatobi, 12-15 Juni 2015
PANITIA SEMINAR
INTERNASIONAL DAN VESTIVAL TRADISI LISAN IX
WAKATOBI
2015
ORAL
TRADITION AS MEDIA ROLE IN LEARNING LITERACY PROGRAMS ENVIRONMENT IN COMMUNITY
BAJO IN SOUTH EAST SULAWESI
By:
Anwar Hafid
Email: anwarhapid@ymail.com
ABSTRACT
During this oral tradition is widely
seen as a static and less able to contribute in the development of society. But
on the other hand require media community empowerment that comes from the
social and cultural background. Some communities are still developing their
oral tradition, so it can still be used to maintain local identity and pride,
build social cohesion and even to be sold as a commodity. Unlike the situation
in Bajo community almost negate the efforts of preservation and development of
their oral tradition. Nonetheless, the oral tradition potential to be developed
as a learning instrument can still be found in passive heir, among others: (1)
pantun/rhyme, spoken in the form of standing with unrequited rhyme, and rhymes
into a variety of dance Modero, where rows of men reciprocated rhymes with rows
of women, (2) iko-iko (folklore), spoken in a variety of situations: while in
the course of seagoing/while waiting for the fish meal fishing rods, when
sitting together with family relatives, while a series of ceremonies life
cycle; (3) Nauya (song), spoken when menina-bobokkan child, while a series of
ceremonies life cycle; and (4) Mantra, spoken by related purposes livelihood
activities at sea, treatment activities, a series of ceremonies life cycle. The
tradition, still persist in certain individuals who generally berusian further,
so that its existence is feared to be extinct. This phenomenon is, in contrast
to the learning needs of society Bajo condition that still bears many
illiterate. The learning phenomenon the context of non-formal education for
this, Bajo people are less motivated because of the tutors who teach them are
generally used as a conventional learning where learning in school. Indeed
during the oral tradition only serves normative, but in its development can
function practically including in education. Fungisi practical oral tradition
will be able to change the individual to a more powerful, if used in the
learning process by giving it a fresh new look in it, including the media can
be used in teaching functional literacy. Results of recent tests in functional
literacy learning in the arts community that utilizes Bajo Modero that uses
isntrumen pantun, demonstrate their learning motivation is quite high.
PERANAN TRADISI LISAN SEBAGAI
MEDIA PEMBELAJARAN PADA PROGRAM PEMBERANTASAN BUTA AKSARA DALAM LINGKUNGAN KOMUNITAS
BAJO DI SULAWESI TENGGARA
ABSTRAK
Selama ini tradisi lisan
banyak dipandang sebagai suatu yang statis dan kurang mampu memberikan
kontribusi dalam pengembangan masyarakat. Namun di sisi lain upaya pemberdayaan
masyarakat memerlukan media yang bersumber dari latar belakang sosial
budayanya. Beberapa komunitas masih tetap mengembangkan tradisi lisannya, sehingga
masih
bisa digunakan untuk mempertahankan identitas dan kebanggaan lokal, membangun
kohesi sosial dan bahkan untuk dijual sebagai komoditas. Berbeda dengan
kondisi dalam komunitas Bajo yang nyaris mengabaikan upaya pelestarian dan
pengembangan tradisi lisannya. Meskipun demikian, tradisi lisan yang potensial
untuk dikembangkan sebagai instrument dalam pembelajaran masih dapat dijumpai
pada pewaris pasif, diantaranya: (1) pantun,
dituturkan dalam bentuk berdiri
dengan berbalas pantun, dan pantun menjadi variasi dari tari modero, di mana
barisan laki-laki berbalas pantun dengan barisan perempuan, (2) iko-iko (cerita rakyat), dituturkan
dalam berbagai situasi: saat dalam perjalanan berlayar di laut/saat menunggu
ikan makan pancing, saat duduk bersama dengan sanak family, saat rangkaian
upacara daur hidup;(3) Nauya (lagu), dituturkan
saat menina-bobokkan anak, saat rangkaian upacara daur hidup; dan (4) Mantra, dituturkan berdasarkan
keperluan terkait kegiatan matapencaharian di laut, kegiatan pengobatan, rangkaian upacara daur hidup. Tradisi
tersebut, masih saja bertahan pada individu tertentu yang umumnya berusian
lanjut, sehingga eksistensinya dikhawatirkan akan mengalami kepunahan. Fenomena
itu, berbeda dengan kondisi kebutuhan belajar masyarakat Bajo yang masih banyak
menyandang buta aksara. Kenyataan dalam pembelajaran pada konteks pendidikan
nonformal selama ini, masyarakat Bajo kurang termotivasi karena para tutor yang
mengajar mereka umumnya menggunakan pembelajaran konvensional sebagai mana
pembelajaran di sekolah. Sejatinya selama ini tradisi lisan hanya berfungsi
normatif, namun dalam perkembangannya dapat berfungsi praktis termasuk dalam
dunia pendidikan. Fungisi praktis tradisi lisan tersebut akan dapat mengubah
individu ke arah yang lebih berdaya, jika dimanfaatkan dalam proses
pembelajaran dengan memberi nuansa baru di dalamnya, termasuk dapat dijadikan
media dalam pembelajaran keaksaraan fungsional. Hasil uji coba terakhir dalam
pembelajaran keaksaraan fungsional pada Komunitas Bajo yang memanfaatkan kesenian
modero yang menggunakan isntumen pantun, menunjukkan motivasi belajar mereka
cukup tinggi.
A.
Pendahuluan
Tradisi lisan
sebagai sebuah bentuk warisan budaya nenek moyang banyak mengandung nilai-nilai
hidup yang berkualitas. Akan tetapi, tradisi lisan yang dulunya menjadi ciri
khas suatu daerah tertentu lambat-laun terlupakan oleh zaman. Sangat
disayangkan jika warisan para pendahulu harus hilang tanpa bekas hanya karena
para orang tua dan tokoh masyarakat gagal mewariskan nilai-nilai luhur tradisi
masyarakat Bajo kepada generasi sekarang.
Dalam konteks
persaingan global seperti sekarang ini, perlu dipikirkan langkah-langkah untuk
melestarikan tradisi lisan kepada generasi emas pewaris kebudayaan. Minimal ada
tiga langkah yang perlu dilakukan untuk mempertahankan hubungan antara
masyarakat dengan nilai-nilai tradisinya. Pertama, inventarisasi. Kegiatan ini
mencakup pemilahan nilai-nilai luhur yang cocok untuk menghadapi
tantangan-tantangan yang datang menerjang kebudayaan lokal Bajo. Dengan
demikian, masyarakat Bajo, diharapkan memiliki posisi tawar dan perisai budaya
ketika tantangan datang. Kedua, redefinisi yang mengacu kepada upaya
membuat teks (nilai tradisi) itu mempunyai konteks dengan zaman sekarang, yaitu
masyarakat Bajo yang berpikiran maju, bukan sekadar Bajo yang berkutat dengan
nilai-nilai tradisi tanpa terdorong menatap nilai-nilai masa depan. Ketiga,
revitalisasi, sebagai upaya yang terencana, sinambung, dan diminati agar
nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh para pemiliknya, tetapi malah
membangkitkan segala wujud kreativitas dalam keseharian dan dalam menghadapi
berbagai tantangan. Melalui upaya revitalisasi, maka domain-domain kebudayaan
perlu dikaji ulang dan diberi fungsi baru, tafsir baru termasuk tradisi lisan
dalam masyarakat Bajo, sehingga dapat menjadi instrument dalam upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam kompetisi global masa depan.
Sejatinya tradisi
lisan dapat menjadi kekuatan kultural dan salah satu sumber utama yang penting
dalam pembentukan identitas dan membangun peradaban. Tradisi lisan telah
berkembang di Indonesia sebelum masyarakat Indonesia mengenal aksara. Pada
awalnya tradisi lisan tumbuh subur
dan berkembang di seluruh Nusantara, sehingga
menjadi salah satu kekayaan budaya masyarakat
Indonesia. Setelah aksara masuk ke Nusantara,
tradisi lisan tidak hilang, tetapi berkembang beriringan dengan tradisi
tulisan.
Berbagai
pengetahuan dalam tradisi lisan yang secara turun-temurun
disampaikan secara lisan yang mencakup tidak hanya cerita rakyat, mitos, dan
legenda, tetapi juga dilengkapi dengan sejarah, hukum adat, dan pengobatan. Makna yang
terkandung dalam suatu tradisi lisan adalah fenomena kontemporer dan tradisi
dalam suatu masyarakat yang merupakan warisan nenek moyang.
Hal-hal yang tercakup
dalam tradisi lisan seperti sastra, budaya, dan
sejarah. Tradisi lisan tentu tidak akan lepas dari sastra yang mengandung nilai estetika. Tradisi lisan juga erat
kaitannya dengan budaya karena berhubungan dengan masyarakat
dan kebudayaan di suatu daerah. Tradisi lisan juga terkait dengan sejarah, karena
merupakan hal yang diwariskan secara turun-temurun.
Konteks tradisi lisan berhubungan dengan masa
lalu atau sejarah suatu daerah. Sastra
lisan merupakan salah satu bagian dari tradisi lisan. Sastra lisan disebarkan
dari satu orang ke orang lain secara lisan kemudian prosesnya dilihat,
didengar, kemudian dilisankan kembali. Jadi, yang dilihat dalam tradisi lisan
adalah proses dan hasil melisankan.
Perkembangan tradisi lisan dalam kehidupan masyarakat, merupakan perwujudan
dari usaha dan cara-cara kelompok tersebut dalam memahami serta menjelaskan
realitas lingkungannya, yang disesuaikan dengan situasi alam pikiran masyarakat
di suatu zaman tertentu. Alam pikiran masyarakat yang dipandang sebagai lahan
paling subur bagi berkembangnya pemikiran seperti itu, menurut Peursen (1976)
adalah alam pikiran mistis. Alam pikiran mistis sangat menjiwai (mendasari)
tradisi lisan masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Cara masyarakat menjelaskan atau
memahami realitas seperti itu, bukan merupakan
suatu kesengajaan untuk mengacaukan fakta dengan khayalan, tetapi memang
merupakan suatu cara dalam menangkap realitas sesuai dengan alam pikiran
mereka. Oleh karena itu, tradisi lisan dalam suatu masyarakat bisa beragam
bentuknya, tegantung masyarakat yang mendukungnya.
Beberapa
komunitas masih tetap mengembangkan tradisi lisannya, diantaranya dalam
komunitas Using/Banyuwangi, terdapat lebih dari empat produk tradisi yang
keberadaannya masih berjaya. Produk-produk tersebut diposisikan sebagai produk
kebudayaan yang bisa digunakan untuk mempertahankan identitas dan kebanggaan
lokal, membangun kohesi sosial (menggalang persaudaraan, kerukunan, dan
persahabatan) dan untuk dijual sebagai komoditas (sebagai seni pertunjukan/industri
kreatif) (Sutarto, 2012).
Berbeda dengan
kondisi dalam komunitas Bajo yang nyaris mengabaikan upaya pelestarian dan
pengembangan tradisi lisannya. Meskipun demikian, tradisi lisan dalam komunitas
Bajo masih dapat dijumpai pada pewaris pasif, diantaranya: pantun, iko-iko, nauya, dan mantra, yang dikatakan/diungkapkan
oleh penutur dan didengar oleh penonton/orang lain (Hafid, 2012).
Tradisi tersebut, masih saja bertahan pada individu tertentu yang umumnya
berusian lanjut, sehingga eksistensinya dikhawatirkan akan mengalami kepunahan.
Fenomena
tersebut, berbeda dengan kondisi kebutuhan belajar masyarakat Bajo yang masih banyak
menyandang buta aksara. Mereka dalam pembelajarannya selama ini kurang
termotivasi karena para tutor yang mengajar mereka umumnya menggunakan
pembelajaran konvensional sebagai mana pembelajaran di sekolah. Sejatinya
selama ini tradisi lisan hanya berfungsi normatif, namun dalam perkembangannya
dapat berfungsi praktis dan pragmatis pada era modern sekarang. Semua fungisi
tradisi lisan tersebut akan dapat mengubah individu ke arah yang lebih berdaya,
jika dimanfaatkan dalam proses pembelajaran termasuk dalam pembelajaran
keaksaraan fungsional. Hasil uji coba terakhir oleh Hafid (2011) dalam
pembelajaran KF pada Komunitas Bajo yang memanfaatkan Pantun/modero (suatu
bentuk tradisi lisan), menunjukkan motivasi belajar mereka cukup tinggi bagi
warga belajar. Kondisi ini member inspirasi bahwa posisi strategis tradisi
lisan dalam dimensi kehidupan masyarakat Bajo tidak dapat diabaikan, sehingga
asset budaya ini dapat dilestarikan dan dikembangkan untuk mendukung
pengembangan sumber daya manusia.
Masalah utama penelitian ini adalah bagaimana peranan tradisi lisan sebagai media pembelajaran pada program
pemberantasan buta aksara dalam lingkungan
Komunitas
Bajo di
Sulawesi Tenggara. Selanjutnya diuraikan lebih lanjut
berikut ini.
1. Bagaimana jenis-jenis tradisi lisan dalam Komuitas Bajo yang dapat
dijadikan media dalam pembelajaran program pemberantasan buta aksara?
2. Bagaimana makna tradisi lisan dalam pembelajaran program pemberantasan
buta aksara dalam Komunitas Bajo?
3. Bagaimana fungsi tradisi lisan dalam pembelajaran program pemberantasan
buta aksara dalam Komunitas Bajo?
B.
Kajian Pustaka
Perkembangan
tradisi lisan terjadi dari mulut ke mulut, sehingga menimbulkan banyak versi
cerita. Menurut Hutomo (1991), tradisi lisan mencakup beberapa hal, yakni: (1)
berupa kesusastraan lisan, (2) berupa teknologi tradisional, (3) berupa
pengetahuan folklore di luar pusat-pusat istana dan kota
metropolitan, (4) berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan folklore di luar
batas formal agama-agama besar, (5) berupa kesenian folklore di luar
pusat-pusat istana dan kota metropolitan, dan (6) berupa hukum adat.
Sejalan dengan itu Pudentia (1999)
memberikan pemahaman tentang hakikat kelisanan (orality) mencakup
segala hal yang berhubungan dengan sastera, bahasa, sejarah, biografi, dan
berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke mulut.
Jadi, tradisi lisan tidak hanya mencakup ceritera rakyat, teka-teki,
peribahasa, nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda sebagaimana umumnya diduga
orang, tetapi juga berkaitan dengan sistem kognitif kebudayaan, seperti:
sejarah, hukum, dan pengobatan. Tradisi lisan adalah “segala wacana yang
diucapkan/disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang
beraksara” dan diartikan juga sebagai “sistem wacana yang bukan beraksara.”
Tradisi lisan tidak hanya dimiliki oleh orang lisan saja. Implikasi kata
“lisan” dalam pasangan lisan-tertulis berbeda dengan lisan-beraksara. Lisan
yang pertama (oracy) mengandung maksud ‘keberaksaraan bersuara’,
sedangkan lisan kedua (orality) mengandung maksud kebolehan bertutur
secara beraksara. Kelisanan dalam masyarakat beraksara sering diartikan sebagai
hasil dari masyarakat yang tidak terpelajar; sesuatu yang belum dituliskan;
sesuatu yang dianggap belum sempurna/matang, dan sering dinilai dengan kriteria
keberaksaraan.
Menurut Vansina (2014) tradisi
lisan sebagai "pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa
silam kepada generasi masa kini" di mana "pesan itu haruslah berupa
pernyataan yang dituturkan, dinyanyikan, atau diiringi alat musik";
"Haruslah ada penyampaian melalui tutur kata dari mulut sekurang-kurangnya
sejarak satu generasi". Dia mengemukakan bahwa "Definisi kami adalah
definisi yang berfungsi bagi kalangan sejarawan. Para sosiolog, bahasawan, atau
sarjana seni verbal mengajukan pendekatannya masing-masing, yang untuk kasus
khusus (sosiologi) mungkin saja menekankan pengetahuan umum, fitur kedua yaitu
membedakan bahasa dari dialog (bahasawan) biasa, dan fitur terakhir adalah
bentuk dan isi yang mendefinisi seni (pendongeng). Tradisi lisan dapat
didefinisi sebagai kesaksian yang disampaikan secara verbal dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Persifatan khusus sedemikian adalah tentang
keverbalannya dan cara bagaimana ia disampaikan (Ki-Zerbo, 1990).
Menurut Benninga (2006: 41)
seharusnya pendidikan tidak hanya berkewajiban meningkatkan pencapaian
akademis, tetapi juga bertanggung jawab dalam membentuk karakter peserta didik.
Karakter positif suatu komunitas sebagian tersimpan dalam tradisi lisan
termasuk komnitas Bajo yang selama ini menjadi media pendidikan tradisional
mereka (iko-iko, nauya, pantun, dan mantra) Capaian
akademis, pembentukan karakter yang baik, dan jiwa kewirausahaan merupkan tiga
misi integral yang harus mendapat perhatian pendidik termasuk dalam pendidikan
KF. Mekipun tuntutan ekonomi dan politik, seharusnya tidak menyebabkan
penekanan output pendidikan pada pencapaian akademis mengalahkan idealitas
peran pendidikan dalam pembentukan karakter yang dapat menghasilkan manusia
yang memiliki daya saing tinggi. Untuk itu dalam pendidikan harus melibatkan
tiga basis desain dalam programnya, yaitu: kelas, lembaga pendidikan, dan
masyarakat/lingkungan sosial budaya (Raharjo, 2010).
Dalam tradisi lisan, peranan orang yang dituakan
seperti kepala suku atau ketua adat sangat penting. Mereka diberi kepercayaan oleh
kelompoknya untuk memelihara dan menjaga tradisi yang diwariskan secara turun
temurun. Satu kelompok masyarakat dengan nilai, norma, tradisi, adat dan budaya
yang sama akan mempunyai jejak-jejak masa lampaunya. Dalam masyarakat yang
belum mengenal tulisan jejak-jejak masa lampaunya disebarluaskan dan diwariskan
secara turun temurun kepada generasi berikutnya secara lisan sehingga menjadi
bagian dari tradisi lisan. Karya-karya dalam tradisi lisan merupakan bagian
dari sebuah folklore (Hutomo
(1991).
Tradisi lisan mengandung banyak nilai positif yang
dapat diterapkan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat ataupun bernegara.
Karena pada hakikatnya, tradisi lisan hadir di tengah-tengah masyarakat
tradisional yang menjaga dan memilihara Indonesia dari berbagai aspek
kehidupan. Hal ini terkait dengan adanya pesan moral, kepercayaan, norma yang
dipatuhi masyarakat demi keteraturan sistem sosial, serta nilai pendidikan yang
dapat dijumpai di dalamnya. Namun dalam perkembangannya, eksistensi tradisi
lisan belakangan ini sebagai hasil budaya masa lampau yang ikut membentuk
peradaban nusantara sekaligus menjadi identitas Indonesia, mulai dipertanyakan.
Keberadaan tradisi lisan dewasa ini seharusnya dapat memberikan jembatan untuk
pemahaman kehidupan modern dengan memanfaatkannya sebagai suatu media
pembelajaran, sehingga
permasalahan mengenai nilai kebenaran pada tradisi lisan terkait dengan aspek
ilmu pengetahuan tidak lagi dipertanyakan.
Pendidikan keaksaraan atau
program pemberantasan buta aksara, mencakup: (1) Keaksaraan Dasar, (2) Keaksaraan Usaha
Mandiri, (3) Keaksaraan Keluarga, dan (4) Keaksaraan Komunitas
Khusus. Keaksaraan Dasar adalah upaya pemberian kemampuan keaksaraan bagi
penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas agar memiliki kemampuan membaca, menulis,
berhitung, mendengarkan, dan berbicara untuk mengkomunikasikan teks lisan dan
tulis dengan menggunakan aksara dan angka dalam bahasa Indonesia. Keaksaraan Usaha Mandiri merupakan upaya penguatan
keberaksaraan melalui pembelajaran keterampilan/usaha yang dapat meningkatkan
penghasilan dan produktivitas seseorang atau kelompok. Pendidikan Keaksaraan
Keluarga adalah upaya pemberdayaan keluarga dengan melatihkan kemampuan
berkomunikasi melalui teks lisan, tulis, dan angka dalam bahasa Indonesia agar
mereka dapat memperoleh, mencari, dan mengelola informasi untuk memecahkan
masalah keluarga dan berperanserta dalam pembangunan. Keaksaraan Komunitas
Khusus adalah merupakan upaya pemberian kemampuan keaksaraan bagi penduduk
melek aksara parsial atau cenderung masih buta aksara atau penyandang Buta
Aksara murni yang memiliki kekhususan tertentu, seperti daerah bencana,
penyandang cacat, dan kelainan lain (Heni, 2013).
Sasaran program keaksaraan dasar adalah penduduk usia
15 tahun ke atas yang melek aksara parsial dan cenderung masih buta aksara
murni. Memperoleh keterampilan dasar untuk
baca, tulis, hitung serta mampu berbahasa Indonesia. Tujuan program KF adalah
memperoleh keterampilan-keterampilan fungsional yang bermakna bagi kehidupan
warga belajar sehari-hari, sehingga, warga belajar mampu untuk meningkatkan
kualitas kehidupannya (Kemendiknas, 2011).
Aspek–aspek dasar KF, meliputi: Pertama,
Keterampilan Dasar, yaitu: keterampilan yang berkaitan dengan kemampuan
calistung warga belajar untuk mengenal huruf, merangkai kata, merangkai
kalimat, membaca dengan lancar tanpa bantuan orang lain, keterampilan menulis,
menulis informasi berdasarkan buah pikirannya sendiri tanpa bantuan orang lain,
keterampilan berhitung dengan menggunakan simbol (+, :, -, x, menjumlah/menambahkan,
membagi, mengurangi, mengali, dan menulis). Kedua,
Keterampilan Fungsional, yaitu: kemampuan warga belajar dalam menggunakan
keterampilan membaca, menulis, berhitung dalam kegiatan sehari-hari, seperti
menulis kwitansi, mengisi formulir, membaca petunjuk, dan menulis surat.
C.
Hasil dan Pembahasan
1.
Jenis-jenis Tradisi Lisan dalam Komunitas Bajo yang Relevan sebagai
Media Pembelajaran
Perkembangan tradisi lisan dalam latar masyarakat Bajo hampir semua komponen seperti yang
dikemukakan oleh Hutomo
(1991) yang mencakup 6 golongan, namun yang akan menjadi
kajian dalam hal ini mencakup: pantun, iko-iko, nauya, dan mantra, seperti
diperikan berikut ini.
a.
Pantun
Pantun adalah jenis puisi lama yang merupakan budaya asli Indonesia. Kata pantun berasal dari akar
kata "tun" dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno), berarti tuntun-atuntun,
dalam bahasa Indonesia berarti mengatur. Jadi, kata pantun adalah sama dengan
aturan atau susunan. Pengertian pantun
tersebut sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh
seorang pengkaji Budaya Melayu bernama R.O.
Winsted yang menyatakan bahwa pantun bukanlah sekadar gubahan kata-kata
yang mempunyai rima dan irama, tetapi merupakan rangkaian kata yang indah untuk
menggambarkan kehangatan cinta, kasih sayang, dan rindu dendam penuturnya. Singkatnya,
pantung mengandung ide yang kreatif dan kritis serta padat kandungan maknanya.
Masyarakat Bajo mengenal
beberapa jenis pantun, seperti: pantun muda-mudi, pantun jenaka, dan pantun
nasehat.
1)
Pantun muda-mudi
Kutiku gambuh pitu ngka’na
Kettu dakau tambang nam
Lako sinona setujuya
Petune kita karuma imam.
Kupetik
gambus talinya tujuh
Putus
satu tinggal enam
Kalau
sinona sudah setuju
Marilah
kita ke rumah imam.
2)
Pantun jenaka
Mubo lambos
marapas lipu
Daung saroko
missa bungana
Aha gambus
marawas lipu
Mole ka ruma
missa gunana
Cabut
lambos bunyi semua
Daun
saroko tidak ada bunganya
Orang
gambus bergema-gema
Pulang
ke rumah tidak ada gunanya.
3)
Pantun Nasehat
Konsep religius mencakup pesan-pesan
seputar ajaran Islam, misalnya: shalat lima waktu, puasa, zakat, haji, dan
membantu orang lain.
Para ellow antara ellow
Nggai samulia jumaha ellow
Parala nabi antara nabi
Nggai samulia Muhammad Nabi
Para bulan antara bulan
Nggai samulia bulan puasa
Para tuan antara tuan
Nggai darua Tuhan Yang Esa
Hai Papuku sugi singsara
Pabillianna ridda mudana
Nggai tareke para pamakarissana
Liwa parana dibunanna ma’na
Banyak hari
antara hari
Tidak semulia
hari Jum’at
Banyak nabi
antara nabi
Tidak semulia
Nabi Muhammad
Banyak bulan
antara bulan
Tidak semulia
bulan puasa
Banyak tuan
antara tuan
Tidak ada Tuhan
Selain Tuhan Yang Esa.
Ya Tuhanku
(Tuhannya) kaya dan miskin
Menjual pula
sangat murahnya
Tidak terhitung
banyak nikmatnya
Limpah
karunia bagi hambanya.
b.
Iko-iko
Iko-iko merupakan salah satu
jenis cerita rakyat yang digambarkan oleh Moeliono (1988) seabagi suatu cerita dari
zaman dahulu yang hidup di kalangan rakyat dan diwariskan secara lisan. Iko-iko
merupakan cerita epic yang dinyanyikan secara capella, dari hafalan seorang
penyanyi tunggal. Cerita iko-iko dilantunkan pada malam hari, saat acara yang
beragam (saat menacing semalam suntuk), peluncuran perahu baru,
selamatan rumah baru, dan malam pernikahan. Iko-iko berdurasi dari satu jam
sampai lebih 14 jam (Nuraini, 2013). Cerita Iko-iko berbentuk prosa, ungkapan
berirama yang dikelompokkan dalam cerita yang dilantunkan dengan vocal panjang
yang dinyanyikan. Penggunaan prosa dalam cerita ini menjadi bagian dari
keindahan karya ini: metafora, perumpamaan, narasi, serta ragam komposisi
parallel suatu keunikan dalam Bahasa Austronesia.
Berbagai media yang digunakan untuk
mendokumentasikan sejarah tentang suatu peradaban manusia atau hal-hal
lainnya melalui lisan. Bagi Komunitas Bajo telah
mengenal iko-iko yang dijadikan media
dalam penuturan sejarah dan peradabannya sejak dahulu. Iko-iko adalah suatu
proses mendokumentasian sejarah komunitas Bajo secara lisan dalam bentuk
cerita dengan menggunakan bahasa rakyat yang berbasis pada Bahasa/Sastra
Melayu.
Tradisi lisan iko-iko erat kaitannya dengan
antropologi karena berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan Etnis Bajo di
berbagai daerah. Iko-iko merupakan
sastra lisan, karena disebarkan dari satu orang ke orang lain secara lisan
kemudian prosesnya dilihat, didengar, kemudian dilisankan kembali. Jadi, yang
dilihat dalam tradisi lisan adalah proses dan hasil melisankan.
Iko-iko merupakan tradisi lisan,
dan juga sastra lisan karena disebarkan dari satu orang ke orang lain secara
lisan dan proses pembuatan atau proses kreatifnya didengar dan dilihat oleh
penontonnya. Jenis tradisi lisan seperti iko-iko
ini dapat menjadi kekuatan kultural dan salah satu sumber penting dalam
pembentukan identitas dan peradaban komunitas Bajo. Tradisi lisan iko-iko telah berkembang di kalangan
Etnis Bajo sebelum mereka mengenal aksara.
Iko-iko yang merupakan cerita rakyat, sejalan dengan
pandangan Itadz (2003 : 19) bahwa cerita dapat digunakan oleh orang tua dan
guru sebagai sarana mendidik dalam membentuk kepribadian anak melalui
pendekatan transmisi budaya atau cultural transmission approach. Dalam
cerita, nilai-nilai luhur ditanamkan pada diri anak melalui penghayatan terhadap
makna dan maksud cerita (meaning and intention of story). Anak melakukan
serangkaian kegiatan kognisi dan afeksi, mulai dari interpretasi, komprehensif,
hingga adopsi terhadap nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Hakikat
cerita adalah menyenangkan anak sebagai penikmatnya, karena cerita memberikan
bahan lain dari sisi kehidupan. Cerita dapat dianggap sebagai pembelajaran
salah benar serta realisasi nilai-nilai yang didasarkan pada pertimbangan
afektif dan berdasarkan pada pengalaman.
Cerita rakyat berkaitan dengan lingkungan, baik
lingkungan masyarakat maupun ingkungan alam. Cerita rakyat merupakan cermin
kebudayaan dan cita-cita anggota kolektif atau pemiliknya. Menurut Itadz (2003)
media cerita rakyat sangat membantu dalam pembelajaran. Melalui cerita rakyat
pembelajaran akan menjadi lebih menyenangkan dan siswa lebih antusias dalam
proses pembelajaran. Dengan demikian siswa bisa melatih keterampilan membaca
melalui pemilihan kata dengan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh orang
lain. Selain itu pengetahuan siswa menjadi lebih luas untuk mengembangkan
segala kemampuannya.
c.
Nauya
Nauya adalah tradisi lisan komunitas Bajo berupa nyanyian dalam bentuk
mengeluarkan suara bernada. Nyanyian merupakan komponen music pendek yang
terdiri atas lirik dan lagu (Moeliono, 1988). Masyarakat Bajo mengenal beberapa
jenis lagu, mulai lagu yang dinyanyikan saat menina-bobokkan anaknya menjelang tidur,
seperti diperikan berikut ini.
Ella-ella, tidorko daha nandole
Batongko daha nanges
Batongko daha dinanges uwan’nu pore sakai ka Papua
Barah digunan umor taha, nia dalle’na
Barah dibunangko umor taha mubasar musakai daruwa
uwa’nu.
Artinya:
Hai bunga
tidurlah jangan ingat-ingat yang lain
Bangunlah jangan
menangis
Bangunlah jangan
engkau menangis bapakmu pergi berlayar jauh ke Papua
Mudah-mudahan
dia diberi umur panjang dan banyak rezekinya
Mudah-mudahan
engkau diberi umur panjang dan besar, engkau berlayar seperti bapakmu.
d.
Mantra
Mantra adalah perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib.
Pengertian lain menyatakan bahwa mantra merupakan susunan kata berunsur puisi
yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau
pawang untuk melindungi kekuatan gaib yang lain (Moeliono, 1988).
Masyarakat Bajo juga mengenal mantra yang diucapkan atau disampaikan dalam
berbagai keperluan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya terkait dengan
kehidupan mata pencaharian di laut, yaitu saat akan membuang pukat/jaring ke laut, seperti diperikan berikut ini.
Bismilahir rahmanir rahiim
Oh dayah
Kau palikka tangnu, tikka ma
jabalnur
Kau nabinu Nabi Nuh
Anu teo patutukunu
Artinya:
Bismilahir rahmanir rahiim
Oh ikan
Kamu berasal, dari Jabalnur
Nabimu Nabi Nuh
Yang jauh dekatlah
Makna mantra
bagi Komunitas Bajo dapat merefrensikan konstruksi realitas social budaya Suku
Bajo, sekaligus sebagai identitas budaya bagi komunitas Bajo di wilayah ini.
Pemaknaan terhadap mantra memperlihatkan suatu pola kepercayaan yang berkembang
di tengah masyarakat Bajo yang meyakini kebaradaan Tuhan sebagai pemilik
kekuasaan tetinggi dan adanya nabi/rasul sebagai utusan Tuhan (Uniawati, 2012).
Selain itu, masyarakat Bajo juga meyakini akan adanya kekuatan gaib yang
menjadi media perantara untuk mewujudkan suatu keinginan melalui pembacaan
mantra tertentu.
2.
Makna Tradisi Lisan dalam Pemberdayaan Masyarakat Bajo
Kendala utama yang dihadapi oleh tradisi lisan
Komunitas Bajo adalah masalah pewarisan. Proses pewarisan ini tidak berjalan
lancar karena seiring dengan perkembangan zaman, banyak sekali faktor yang
telah mengalihkan perhatian masyarakat dari lingkungan social budayanya.
Generasi sekarang telah dibius dengan berbagai bentuk hiburan melalui berbagai media,
baik cetak maupun elektronik. Begitu pula para orang tua yang oleh sebagian
pihak dianggap sebagai pihak yang tidak dapat memelihara tradisi karena terlalu
sibuk dengan urusan mereka sendiri. Hal inilah yang mengakibatkan pewarisan
tradisi lisan Bajo dari generasi terdahulu ke generasi sekarang tidak berjalan
sebagaimana mestinya, dan nyaris tidak ditemukan pewaris aktif yang berbeda
dengan apa yang dinyatakan oleh Susanto (2012) pada Komunitas Using di Banyuwangi yang masih memiliki pewaris aktif dan pewaris
pasif.
Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan
bahwa dunia generasi muda diramaikan dengan permainan modern yang berteknologi
tinggi. Permainan tersebut kebanyakan bersifat pasif dan kurang merangsang
perkembangan mental generasi dalam proses interaksi dengan lingkungan. Dengan
kian intensifnya arus globalisasi yang menyerbu masyarakat sekarang, jelas
bahwa nilai-nilai tradisi tidak dapat bersaing dengan arus globalisasi dalam
mempengaruhi lingkungan sosial. Secara terus-menerus masyarakat sekarang kian
diasingkan dari warisan nilai-nilai budaya nenek moyangnya.
Tradisi lisan merupakan
warisan antargenerasi yang mempunyai makna simbolik
di balik gerakan, ucapan, maupun alat-alat yang digunakan. Pesan-pesan tersebut
bermanfaat bagi perkembangan kognitif, emosi dan sosial peserta didik. Pesatnya perkembangan permainan elektronik membuat
posisi permainan tradisional semakin tergerus dan nyaris tak dikenal.
Memperhatikan hal tersebut, perlu usaha-usaha dari berbagai pihak untuk
mengkaji dan melestarikan keberadaannya melalui pembelajaran ulang pada
generasi sekarang melalui proses modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi
sekarang (Fajarwati, 2009, Hafid, 2010).
Diantara sekian
banyak makna tradisi lisan, yang menarik untuk dicermati adalah tradisi lisan
dapat menjembatani kehidupan manusia pada masa lampau, masa sekarang, dan masa
yang akan datang. Seiring dengan perkembangannya dari masa ke masa, ternyata
tradisi lisan dapat pula berfungsi sebagai sumber informasi yang bermanfaat
dalam menuntun manusia ke arah kehidupan yang lebih baik dan berdaya guna pada
hari esok. Melalui tradisi lisan, individu dapat mengamati, mencerna, menafsir,
merenungi, menelaah, serta meresapi pesan-pesan dan nila-nilai yang terkandung
di dalamnya. Pengamatan dan penelaahan terhadap pesan-pesan dan nilai-nilai
karya sastra tersebut pada akhirnya mengarahkan pembaca untuk mencari dan
menemukan pencerahan dan jalan kebenaran.
Salah satu
penyebab tergusurnya unsure-unsur tradisi lisan disebabkan karena kebijakan
pemerintah, seperti kebijakan penguasa Kesultanan Buton yang dikuasai kaum sufi
berdampak pada perubahan tatanan berkesenian masyarakat Buton. Pertunjukan
tersebut dinilai tidak sesuai dengan tatanan kehidupan kaum sufi karena dalam
pertunjukan kabanti, laki-laki dan perempuan terlibat secara langsung,
baik sebagai penyanyi maupun sebagai pengiring nyanyian (pajogi dan ngibing).
Kaum sufi menghendaki tradisi pertunjukan yang digelar masyarakat perlu
disesuaikan dengan tatanan pergaulan kaum sufi yang dilandasi ajaran tasawuf (Malim,
1981; Asrif, 2012). Situasi tersebut
menjadikan kabanti sebagai suatu tradisi lisan yang semula sebagai
sastra lisan keraton, bergeser menjadi kesenian luar keraton.
Situasi yang hampir sama terjadi pada tradisi
lisan madero/pantun yang dilarang pentas sejak era Orde Baru, namun hasil
penelitian tahun 2009-2013 tentang
Sejarah Daerah Konawe Utara menemukan beberapa tradisi lisan yang masih ada di
kalangan masyarakat Bajo, seperti Nauya
Bajo, Iko-Iko, Pantun, dan mantra yang penuturnya semakin berkurang, namun pada kenyataannya digemari oleh
masyarakat karena mereka senang mendengarkan, namun jarang yang mampu
mengungkapkan dalam bahasa sendiri (Hafid, 2014). Konten tradisi lisan
tersebut mengandung nilai-nilai edukatif yang perlu dilestarikan dan dikembangkan dalam rangka pemberdayaan masyarakat Bajo. Kajian sejenis juga telah dilakukan tentang pemberantarasan buta aksara berbasis tradisi
lisan pada komunitas Bajo di Konawe Utara, dengan menampilkan suatu kerifan
lokal berupa pantun yang dirangkaikan
dengan kesenian modero (Hafid, 2011).
Berdasarkan pemikiran tersebut menunjukkan
bahwa bahan ajar yang memiliki kekhasan dalam muatannya
berupa tradisi lisan (naunya bajo,
iko-iko, pantun, mantra) dari Komunitas setempat dalam rangka pemberdayaan masyarakat pendukungannya.
3.
Fungsi Tradisi Lisan sebagai Media Pembelajaran
Tradisi lisan
iko-iko sebagai folklore menurut Sibarani (2013) dapat dijadikan sebagai media
dan sumber pendidikan/pembelajaran. Melalui kaca mata yang sama, menurut Rahmana (2014) tradisi
lisan dapat digunakan
sebagai sumber pengetahuan, misalnya melalui ritual Hamis Batar (tradisi
lisan masyarakat Timor berupa upacara syukuran terhadap jagung yang dipanen) di
Kupang sebagai media untuk memperoleh pengetahuan yang mendekati nilai
kebenaran, seperti mengkaji kepercayaan masyarakat setempat terhadap kekuatan
di luar diri manusia, tentang fungsi tetua adat sebagai bagian dari sistem
sosial yang mengambil peran dalam ritual Hamis Batar. Melalui “pendekatan historis” untuk
mendapatkan pengetahuan dari tradisi lisan, kita bisa menemukan pondasi
kebudayaan Indonesia, sekaligus dapat digunakan untuk memantapkan identitas
kebudayaan nusantara dalam rangka menjawab tantangan zaman.
Tradisi “penuturan” merupakan akar dari budaya yang
berkembang di Nusantara.
Hal ini dapat diasumsikan melalui masyarakat pra-aksara yang menggunakan
tradisi lisan untuk menyalurkan cara berpikir dan cara hidup antar sesama
manusia, termasuk aktivitas yang berhubungan dengan alam dan sang pencipta.
Sehingga, hadirnya tradisi lisan ternyata ikut mendukung lahirnya adat
istiadat, kebiasaan, hukum, kepercayaan, maupun bahasa yang berkembang di
wilayah-wilayah Indonesia. Seiring dengan perkembanan zaman, tradisi lisan
mulai ditinggalkan karena pencitraannya yang kuno dan statis sebagai hasil
budaya masa lampau. Hal ini tidak terlepas dari tradisi tulis-menulis yang
mulai dikenal, serta adanya pengaruh globalisasi yang serta-merta ikut merubah
cara berpikir masyarakat Indonesia. Sehubungan dengan upaya penyelamatan dan
pelestarian terhadap akar budaya nusantara, maka diperlukan usaha-usaha
membangkitkan ketertarikan kembali terhadap tradisi “penuturan” ini.
Usaha-usaha tersebut diantaranya, melakukan aktualisasi tradisi lisan yang
dikemas dalam seni pertunjukan, mengikutsertakan tradisi lisan dalam dunia
akademis sebagai upaya pengenalan sekaligus melahirkan generasi pewaris tradisi
“penuturan”, serta menjadikan tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan yang
dapat dikaji melalui metode ilmiah dan pendekatan displin ilmu sosial, seperti
pendekatan historis. Diharapkan tradisi lisan dapat diselamatkan dan
dilestarikan keberadaannya ditengah-tengah iklim globalisasi. Sehingga,
masyarakat Indonesia memiliki identitas kebudayaan yang kuat agar dapat
digunakan sebagai pedoman dalam rangka menyikapi budaya-budaya asing yang masuk
ke Indonesia.
Tradisi lisan, budaya lisan dan adat
lisan adalah pesan atau kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pesan atau kesaksian itu disampaikan
melalui ucapan, pidato, nyanyian, dan dapat berbentuk pantun, tradisi lisan,
nasihat, balada, atau lagu. Pada cara ini, maka mungkinlah suatu masyarakat
dapat menyampaikan sejarah lisan, sastra
lisan, hukum lisan dan pengetahuan
lainnya ke generasi penerusnya tanpa melibatkan bahasa tulisan.
Berdasarkan pemikiran tersebut
menunjukkan bahwa tradisi lisan merupakan lambang identitas daerah/Komunitas
yang diungkapkan lewat bahasa lisan, tradisi, hukum, sejarah yang mengandung
nilai-nilai luhur yang sangat berharga. Tradisi lisan merupakan suatu aset
kekayaan budaya yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai bahan ajar bagi masyarakat setempat, sehingga dapat
melestarikan nilai dan mengembangkan karakter positif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akhirnya tepatlah dikatakan Cobern dan Aikenhead (2008) bahwa transfer pengetahuan apapun bentuknya, harus
mempertimbangkan latar belakang budaya peserta didik.
Trandisi
lisan melukiskan kondisi faktual
mental tradisi masyarakat yang mendukungnya, simbol identitas bersama
masyarakatnya sehingga menjadi simbol solidaritas dari masyarakatnya, dan
menjadi alat legitimasi bagi keberadaan suatu kolektif, baik sebuah marga,
masyarakat maupun suku bangsa. Hal tersebut sejalan dengan
pandangan Danandjaja
(1983) yang menyatakan bahwa bentuk-bentuk folklor mempunyai fungsi sebagai
berikut: 1) sebagai sistem proyeksi; 2) sebagai alat pengesahan budaya; 3)
sebagai alat paedagogik; dan 4) sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma
masyarakat dan pengendalian masyarakat.
Tradisi lisan
berupa pantun, nauya, iko-iko menjadi alat masyarakat Bajo
untuk mengkonstruksi dan mereproduksi kebudayaannya. Termasuk mengkonstruksi masa depannya dan berkomunikasi dengan orang lain. Tidak
mengherankan dalam tradisi lisan Komunitas Bajo dijadikan sarana
bersopan santun dalam menyatakan kedermawanan, kebijaksanaan, kerendahan hati,
permufakatan, penghargaan, dan kesimpatian. Oleh karena itu, tradisi lisan Komunitas Bajo dapat dijadikan dan dikembangkan
sebagai media pembelajaran dalam mengembangkan karakter positif peserta didik. Agar pembelajaran lebih menyenangkan guru dapat menggunakan berbagai
media pembelajaran yang inovatif. Menggunakan media dalam pembelajaran tidak
hanya berperan sebagai sarana dalam membantu dalam proses pembelajaran akan
tetapi juga merupakan strategi pembelajaran.
Secara etimologis media berasal dari bahasa Latin,
merupakan bentuk jamak dari kata medium yang berarti tengah, perantara, atau
pengantar. Menurut Sanjaya (2009) secara umum media pembelajaran itu meliputi
orang, bahan, peralatan, atau kegiatan yang
menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa memeperoleh pengetahuan,
keterampilan dan sikap. Menurut Asyhar (2012) fungsi media sebagai perantara
atau pengantar suatu pesan dari si pengirim (sender) kepada si penerima
(receiver) pesan. Media merupakan komponen yang sangat penting dalam
suatu proses komunikasi. Media merupakan alat yang digunakan untuk menyalurkan
pesan dan informasi dari pengirim pesan kepada penerima pesan. Dalam
menumbuhkan keterampilan membaca siswa, guru dapat mempariasikan pembelajaran
dengan berbagai sarana dalam pembelajaran, salah satunya melalui media cerita
rakyat. Banyak orang tidak menyadari betapa besar pengaruh cerita terhadap
perilaku manusia, bahkan sampai membentuk budaya. Cerita memberikan pilihan,
merangsang daya analisis siswa melalui informasi tersirat, merangsang kepekaan
akan kebutuhan dan perasaan orang lain, serta mendorong siswa menelaah
perasaanya sendiri.
Bercerita merupakan aktivitas penting yang perlu
dikuasi siswa. Bukan saja siswa senang menyimak cerita, tetapi cerita merupakan
salah satu metode pembelajaran seni bahasa tertua. Cerita mendorong anak untuk
mencintai bahasa. Dari sebuah cerita, siswa bukan saja dapat mengetahui
perkara-perkara baru, tetapi juga dapat meningkatkan minatnya terhadap hal-hal
baru (Rosdiana, 2007).
Cerita juga membantu perkembangan imajinasi anak,
sekaligus memberi wadah bagi anak-anak itu untuk belajar berbagai emosi dan
perasaan, seperti sedih, gembira, simpati, marah, senang, cemas, serta emosi
manusia yang lain. Cerita juga menghidupkan suasana pembelajaran di kelas.
Cerita menjadikan kelas terasa lebih natural, bahkan ketika nilai-nilai
ditransmisikan melalui cerita. Cerita adalah pelajaran penuh makna yang
memegang peran penting dalam sosialisasi nilai-nilai baru pada anak.
Nilai pendidikan
sangat erat kaitannya dengan karya sastra. Setiap karya sastra yang baik,
termasuk cerita rakyat, selalu mengungkapkan nilai-nilai yang bermanfaat bagi
pembacanya. Nilai-nilai tersebut bersifat mendidik serta menggugah hati
pembacanya. Nilai-nilai pendidikan yang dimaksud dapat mencakup nilai
pendidikan moral, nilai adat, nilai agama (religi). Hal ini menunjukkan bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam
makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra dapat berupa nilai medial
(menjadi sarana), nilai final (yang dikejar seseorang), nilai kultur, nilai
kesusilaan, dan nilai agama.
Kita menyadari bahwa setiap
sitem pendidikan kiranya perlu disertai usaha untuk menanamkan wawasan
pemahaman budaya bagi setiap anak didik (Rahmanto,1988: 18). Melalui usaha
pemahaman budaya dapat ditumbuhkan sikap dan rasa bangga, percaya
diri, dan rasa ikut memiliki. Usaha untuk mengenal pribadi
dari seseorang akan terlihat dari cara dalam menanamkan
budaya melalui cerita pada nanak-anak, kita mengenalkan cara berpikir,
mencontohkan usaha para pendahulu dengan prinsip-prinsip kehidupan, ajaran yang
di bawa serta sikap dan perilaku yang diajarkan pada zaman dahulu. Seorang raja
akan bersifat sopan dalam tingkah laku karena pendahulunya menurunkan cerita
ini pada generasi berikutnya. Secara lebih mendasar dapat dikatakan bahwa
pengajaran sastra, yakni cerita rakyat, memiliki banyak manfaat dan dapat
membantu pendidikan secara utuh.
Hal di atas senada dengan yang
sampaikan oleh Bascom bahwa ada empat fungsi cerita dalam pendidikan, yaitu: (a)
sebagai sistem proyeksi, yakni sebagi alat pencerminan angan-angan suatu
kolektif, (b) sebagai alat pengesah pranata-pranata dan lembaga-lembaga
kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan pada anak didik, (d) sebagai alat
pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi
anggota kolektifnya (Dananjaja, 1997).
Melalui cerita rakyat, empat
keterampilan berbahasa yang meliputi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis
dapat ditingkatkan melalui penmbelajaran cerita
rakyat sebagai materi pembelajaran. Dalam
mempelajari sebuah karya sastra, secara otomatis peserta didik
dapat menyimak cerita dari guru atau teman–temannya.
Mereka juga dapat mengungkapkan kembali cerita tersebut, pada sisi lain mereka
juga dapat menuliskan isi cerita dengan bahasa mereka sendiri. Hal-hal yang
dilakukan oleh para tokoh cerita akan dijadikan inspirasi untuk membentuk dan
mengembangkan cipta, rasa dan karsa dari peserta didik pada
masa yang akan datang. Begitu juga dalam pembentukan watak peserta didik,
mereka akan mencontoh sifat dan karakter serta perilaku tokoh dalam cerita tersebut.
Program pemberdayaan masyarakat melalui pembelajaran harus melihat dua perangkat
kebutuhan belajar yang luas: (1) menoleh ke belakang, dan (2) memandang ke
depan. Terkait dengan itu, maka perlu memperhatikan rekomendasi UNESCO tentang
program pendidikan, yaitu: hendaknya learning
to know or learning to learn, learning to do, learning to be, leaning to live together) (Delors, 1996), demikian
pula konsep Community Based Education
(CBE). Dalam semangat pemberdayaan menurut Community Based Education adalah desentralisasi dalam
manajemen pendidikan atau untuk, oleh dan dari masyarakat, serta nilai-nilai
tradisional harus dilestarikan dan dimanfaatkan dalam implementasi (Jalal dan
Supriadi, 2001). Konsep tersebut mendorong masyarakat bertanggung jawab terhadap
program baik untuk diri sendiri maupun terhadap lingkungan sosialnya.
Sejaln dengan
itu, dalam konteks pendidikan luar sekolah khususnya para program Keaksaraan
Fungsional (KF) yang harus memiliki persentuhan dengan budaya komunitas
setempat, karena prinsip-prinsip program KF, meliputi: (1) konteks local, yaitu
kegiatan pembelajaran dilaksanakan berdasarkan minat, kebutuhan pengalaman,
permasalahan, dan situasi local, serta
potensi yang ada di sekitar warga belajar, (2) disain local, yaitu tutor bersama
warga belajar perlu merancang kegiatan pembelajaran di kelompok belajar sesuai
kebutuhan warga belajar, (3) partisipatif, tutor perlu melibatkan warga belajar
berpartisipasi secara aktif dari mulai
tahap perencanaan, pelaksanaan, hinggaa penilaian hasil pembelajaran, dan (4)
fungsionalisasi hasil belajar, yaitu warga belajar diharpkan dapat memecahkan
masalah keaksaraannya dan meningkatkan mutu serta taraf kehidupannya (Musa,
2011).
Dari beberapa pendapat tersebut menunjukkan bahwa pemilihan tradisi lisan sebagai media pembelajaran
sangat tepat. Dalam jangka pendek, tradisi lisan dapat digunakan
sebagai media yang mempermudah/mempercepat pemahaman
warga belajar akan bahan ajar yang tersaji; dan jangka panjang, sebagai
bahan pembinaan dan pengembangan apresiasi sastra Indonesia
dan daerah, pada masa datang dapat membentuk watak
yang kelak akan dapat menciptakan dan
mengembangkan inspirasi cipta, rasa dan karsa pada diri peserta didik, di kala krisis moral sedang melanda linkungannya.
4. Penutup
Eksistensi tradisi lisan sangat tergantung kepada komitmen
kultural para pewarisnya, baik pewaris aktif maupun pewaris pasifnya.
Produk-produk tradisi lisan dalam Komunitas Bajo yang nyaris mati, meskipun
masih dapat dijumpai pada pewaris pasih yang jumlahnya semakin terbatas. Di
dalam wilayah-wilayah pemjukiman komunitas Bajo pada pesisir pantai dan
pulau-pulau di Sultra, tidak semua
memiliki penutur pasif. Produk tradisi yang bisa bertahan tersebut bukan hanya
memiliki fungsi dan nilai esteka, tetapi juga memiliki nilai edukatif yang
sangat dibutuhkan dalam upaya pemberdayaan komunitas Bajo dalam bentuk pendidikan
Keaksaran Fungsional bagi anggota masyarakat yang masih menyandang buta aksara.
Jika suatu tradisi masih percaya memberi manfaat kepada mereka, maka tradisi lisan
tersebut, akan mereka pertahankan dan bahkan akan dijadikan kebanggaaan bagi komunitasnya.
Manfaat kultural-edukatif (identitas dan kebanggaan
lokal), akan berdampak terhadap manfaat ekonomis (dapat dikembangkan menjadi
industri kreatif) oleh para pewarisnya, sehingga memberi dorongan kepada para
pewaris untuk tetap menjaga dan mengembangkan tradisinya. Manfaat edukatif yang
dirasakan oleh komunitas Bajo bahwa dengan mengembangkan dalam bentuk media
pembelajaran, mereka merasa menjadi bagian penting dari kehidupannya. Melalui
tradisi yang lisan yang dijaga dan dikembangkan, sehingga identitas lokal
mereka menjadi semakin kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Asrif.
2012. “Kesusastraan Buton Abad XIX: Kontestasi Sastra Lisan dan Sastra Tulis, Budaya dan Agama”. Makalah
Disaji kan pada Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara (VIII) Tanjungpinang, 23-27 Mei 2012.
Asyhar,
Rayandra. 2012. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta:
Megamall.
Benninga, Jacquess S. 2006. “Character and Academic:
What Good School Do” dalam Phi Delta
Kappa. Edisi Februari (Hal. 448-453).
Cobern, W.W. dan G.S. Aikenhead. 2008. Cultural Aspects of Learning Science. In
B.J. Fraser & K.G.
Danandjaja,
James 1983. “Folklor sebagai Bahan Penelitian Antropologi Psikologi”, dalam Analisa
Kebudayaan Th. IV No. 3 1983/1984. Jakarta: Depdikbud. Halaman 61-71.
Delors,
J., et al. (1996). Leraning: The Treasure
Within. Paris: UNESCO.
Hafid, Anwar dan Syafruddin.
2011. Laporan Akhir Bantuan Biaya Pendidikan Keaksaraan Berbasis
Cerita Rakyat. Kendari: Yayasan
Amanah Kesejahteraan Masyarakat Pedesaan (YAKMADES) kerja sama
Direktorat Pendidikan Masyarakat Kemendiknas.
Hafid, Anwar dan Syafruddin.
2014. Sejarah Daerah Konawe Utara.
Bandung: Alfabeta.
Hafid, Anwar. 2012. “Peran Cerita Rakyat Iko-Iko Berbasis Sastra Melayu dalam Penguatan
Komunitas Etnis Bajo”. Makalah Disaji kan pada Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara (VIII) di Tanjungpinang, 23-27
Mei 2012.
Heni. 2013. Penuntasan Buta Aksara Di Daerah Istimewa Yogyakarta
30 Agustus 2013. Http://Pendidikan-Diy.Go.Id/Dinas_V4/Index.Php?View=V_ Artikel&Id=22. Akses, 23 Maret 2014.
30 Agustus 2013. Http://Pendidikan-Diy.Go.Id/Dinas_V4/Index.Php?View=V_ Artikel&Id=22. Akses, 23 Maret 2014.
Hutomo,
Suripan Hadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya:
HISKI Komisariat Jawa Timur.
Itadz. 2003. Cerita
Untuk Anak Usia Dini. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Jalal,
F dan Supriadi, D. (2001). Reformasi
Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Ki-Zerbo,
Joseph. 1990. Methodology and African
Prehistory. UNESCO International Scientific Committee for the Drafting of a
General History of Africa: James
Currey Publishers.
Malim, La Ode.
1981.
Kesenian Daerah
Wolio. Jakarta:
Balai Pustaka.
Moeliono, Anton M, dkk. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Musa, Safuri. 2011. Meretas Jejak Penuntasan Tuna Aksara di Indonesia. Jakarta:
Kemendikbud.
Nuraini, Chandra. 2013. “Bahasa Bajo Kepulauan
Kangean”. Dalam Kepulauan Kangean:
Penelitian Terapan untuk Pembangunan. Penyunting: Illous, Charles dan Grange,
Philippe. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Peursen,
C.A. van. 1976. Strtaegi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Pudentia,
MPSS (ed). 1999. Metodologi Kajian
Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan
Asosiasi Tradisi Lisan.
Raharja, Sabar Budi. 2010. “Pendidikan Karakter sebagai
Upaya Menciptakan Akhlak Mulia”. Dalam Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan. Vol. 16 No. 3, Edisi Mei 2010 (Hal. 229-238).
Rahmana, Siti. 2014. Tradisi Lisan: Aktualisasi, Eksistensi, Dan Transformasi Hasil Budaya
Masa Lampau. http://tempo-institute.org/tradisi-lisan-aktualisasi-eksistensi-dan-transformasi-hasil-budaya-masa-lampau/. Akses, 26 Februari 2014.
Rosdiana, Yusi dkk. 2007. Bahasa dan Sastra
Indonesia di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sibarani, Robert. 2013. Folklor sebagai Media dan
Sumber Pendidikan Sebuah Ancangan Kurikulum dalam Pembentukan Karakter Siswa
Berbasis Nilai Budaya Batak Toba”. Dalam Folklor
Nusantara: Hakikat, Bentuk, dan Fungsi. Yogyakarta: Ombak.
Sutarto, Ayu. 2012. “Tradisi Lisan, Kohesi Sosial, dan Industri Kreatif Cerita Dari Komunitas
Using/Banyuwangi”. Makalah Disajikan pada Seminar Internasional Tradisi Lisan
Nusantara (VIII) di Tanjungpinang, 23-27
Mei 2012.
Uniawati. 2012. Mantra
Nelayan Suku Bajo: Interpretasi Semiotik Riffaterre. Kendari: Kantor Bahasa
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar