NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN, KEPERINTISAN, DAN KESETIAKAWANAN
SOSIAL GENERASI MUDA DI
SULAWESI TENGGARA
Makalah
Disajikan dalam Bimbingan Pelestarian Nilai
Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial (K2KS) Dinas Sosial Propinsi
Sulawesi Tenggara,
Tanggal
17 Oktober 2012
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid,
M.Pd.
Dosen
FKIP/PPs Universitas Haluoleo
DINAS SOSIAL
PROPINSI
SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2012
NILAI-NILAI
KEPAHLWANAN, KEPERINTISAN, DAN KESETIAKAWANAN SOSIAL GENERASI MUDA DI
SULAWESI TENGGARA
Oleh:
Prof.
Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
Dosen FKIP/PPs Universitas Haluoleo
A. Pendahuluan
Mempelajari
rangkaian sejarah perjuangan bangsa Indonesia merupakan suatu kaharusan bagi
generasi sekarang untuk memilih dan menganalisis peristiwa-peristiwa sekarang
dalam upaya menentukan arah yang akan dituju pada masa yang akan datang.
Sejalan dengan itu Toynbee (1963) menyatakan
bahwa mempelajari sejarah adalah untuk membuat sejarah (to study history is to build history).
Kedatangan
Bangsa Portugis dan Spanyol, berdasarkan peninggalan yang ada di berbagai
tempat di Buton dan sekitamya seperti jangkar besar yang terbuat dari besi,
meriam dari berbagai jenis dan ukuran serta sumber-sumber lainnya, maka
kedatangan bangsa Spanyol dan Portugis dipulau ini, adalah sekitar awal abad
ke-16. Kedatangan bangsa tersebut di
Buton, selain untuk menjajah, juga untuk berdagang rempah-rempah. Produksi rempah-rempah di Buton seperti
cengkih dan pala pada abad tersebut, merupakan saingan berat bagi produksi
rempah-rempah di Maluku. Rempah-rempah tersebut, tumbuh khususnya di Kepulauan
Tukang Besi. Menurut sumber lisan di
Buton, bahwa bibit rempah-rempah yang ditanam itu adalah dibawa oleh
pelaut-pelaut Buton dari Sansibar. Armada dagang Portugis dengan beberapa buah
kapalnya, telah pula singgah di pulau ini.
Maksud kunjungannya di Buton, adalah untuk mengadakan hubungan dagang
dengan Pemerintah Kerajaan Wolio. Tempat
pertemuan itu dilaksanakan di Limbo Gama dalam Kota Wolio (Benteng Keraton
Buton). Itulah sebabnya nama Vasco de
Gama (perintis ekspedisi Portugis ke Asia/Afrika) diabadikan sebagai nama Limbo
tempat pertemuan itu yaitu Limbo Gama. Sejak kedatangan bangsa
Portugis dan Spanyol, Buton berperan sebagai daerah persinggahan dari jalur
pelayaran Betawi, Makassar, Buton, Temate dan Ambon. Adanya peninggalan-peninggalan pada berbagai
tempat di pulau ini seperti jangkar besar yang terbuat dari besi terletak di
Kraton Buton, di pantai Desa Kumbewaha di Kecamatan Lasalimu dan tempat-tempat
lainnya. Daya tarik itu antara lain karena letaknya yang sangat strategis di
jalur perdagangan, memiliki pelabuhan alam yang indah dan aman, juga berbagai hasil laut yang cukup berarti.
Nilai
adalah suatu tujuan akhir yang diinginkan, mempengaruhi tingkah laku, yang
digunakan sebagai prinsip atau panduan dalam hidup seseorang atau masyarakat.
Bisa dikatakan bahwa Nilai-nilai pada hakikatnya merupakan sejumlah prinsip
yang dianggap berharga dan bernilai sehingga layak diperjuangkan dengan penuh
pengorbanan. Jika seseorang hanya memperjuangkan nilai-nilai pribadi sering
disebut indivudualis, namun jika seseorang memperjuangkan nilai-nilai sosial
sering disebut pejuang atau pahlawan (orang yang banyak berbuat untuk
kepentingan orang lain tentu ada pahalanya).
Nilai-nilai merupakan representasi dari kognitif dari persyaratan hidup manusia dan dapat bergeser karenanya. Empat tipe persyaratan itu yaitu :
Nilai-nilai merupakan representasi dari kognitif dari persyaratan hidup manusia dan dapat bergeser karenanya. Empat tipe persyaratan itu yaitu :
1.
Panggilan
Jiwa
2.
Kebutuhan
individu sebagai organism
3.
Persyaratan
interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal
4.
Tuntutan
institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan hidup
kelompok (Jaya, 2012).
Mengkaji dan melihat definisi nilai tersebut, maka
dalam konteks ke Indonesiaan, kita bisa menyebutkan bahwa nilai-nilai
perjuangan dan kepahlawanan yang dapat mempersatukan bangsa ini terbagi menjadi
tiga yaitu :
1.
Sebelum kemerdekaan nilai-nilai itu terangkum dalam istilah MERDEKA. Merdeka
ini dianggap amat bernilai tinggi dan menjadikan wilayah jajahan Hindia
Belanda bersatu padu. Menghilangkan sisi-sisi perbedaan dan mengedepankan
toleransi. Kata-kata merdeka begitu di rindukan oleh semua pihak, mulai dari
gerakan Budi Utomo, Serikan Islam, Sumpah Pemuda dan perjuangan-perjuangan
lokal yang lain.
2. Saat
Membela dan mempertahankan kemerdekaan, dengan tampilnya para pejuang
kemerdekaan dengan mengatasnamakan laskar-laskar, pandu dan lain
sebagainya. Mereka mengeluarkan semboyang MERDEKA ATAU MATI.
3. Setelah merdeka di carilah semua
kepentingan suku-bangsa ini melalui wakil-wakilnya dan semua sepakat untuk
menjunjung tinggi kesamaan nilai-nilai yang terangkum dalam istilah
PANCASILA (lima sila/point). Suatu nilai dasar yang telah digali ini, diambil
dari semua golongan yang ada dan kemudian ditetapkan sebagai dasar kesepahaman
untuk bergabung dan menyatukan diri dalam suatu negara yaitu negara Indonesia. Lima Sila perjuangan yaitu:
1. Ke
Tuhaan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil
dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari nilai-nilai
kejuangan yang didasari rasa persatuan dan kesatuan serta cinta ini
muncul semangat juang dan semangat kepahlawanan, yaitu:
1. Rasa senasib sepenanggungan
2. Rela berkorban/tanpa pamrih
3. Teguh
4. Ulet,
5. Percaya diri.
6. Gotong royong (Jaya, 2012)
1. Rasa senasib sepenanggungan
2. Rela berkorban/tanpa pamrih
3. Teguh
4. Ulet,
5. Percaya diri.
6. Gotong royong (Jaya, 2012)
Perkembangan teknologi dan globalisasi informasi sangat
berpengaruh dan berakibat pada terjadinya pergeseran tata nilai. Sehingga ada
kecenderungan nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan dan
kesetiakawanan sosial mengalami penurunan dalam pengamalannya (Anonim, 2011). Sehubungan dengan hal tesebut dalam melanjutkan
pembangunan, perlunya generasi muda dan generasi penerus dibekali. Untuk
menjunjung tinggi nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan dan kesetiakawanan
sosial dengan penuh kebanggan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari di
berbagai kegiatan pembangunan yang kita laksanakan.
Melalui Bimbingan
Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial
ini, para guru dan tokoh masyarakat dapat mentransformasikan nilai-nilai
tersebut kepada anak didik dalam kegiatan pembangunan sehari-hari, baik dalam
kelas maupun di luar kelas. Sehingga
kelah dikemudian hari, anak didik menjadi generasi muda dan generasi penerus
bangsa yang profesional, handal, tangguh, serta memiliki jiwa kepahlawanan,
keperintisan dan kesetiakawanan social, dan tetap menghargai para pahlawan
pendahulunya.
B. Perjuangan
Rakyat Menentang
Imperialisme sebagai Wujud Kepahlawanan
1. Masa Kejayaan Nasional
Perjuangan
rakyat Indonesia telah dimulai sejak berdirinya kerajaan nasional di Nusantara
seperti Sriwijaya pada abad 7-14 masehi, menurut Van Soet pada masa itu bangsa
Indonesia merupakan pedagang-pedagang yang giat dan penuh keuletan,serta bejiwa
pahlawan, rajin dan berani (Kansil, 1986). Ketatanegaraan Majapahit disusun
dengan rapi, pemerintahan pusat berbentuk lima badang yang disebut Pancaning Wilwatika (Lima
Kemahamenterian). Sistem ketatanegaraan seperti itu juga dapat dijumpai di
Kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Tenggara seperti Kerajaan Konawe yang
mengenal istilah Siwole Mbatohu (empat pintu gerbang) dan Pitu Dula Batu (tujuh
pilar negara). Di Kesultanan Buton dikenal Empat
Barata yang merupakan pilar wilayah Kesultanan Buton sekaligus merupakan
pejabat tinggi Kesultanan dan berkuasa di wilayahnya masing-masing
(Bhurhanuddin, 1978).
Lakilaponto
adalah tokoh yang pertama mempersatukan Suawesi Tenggara secara politis. Pada
periode ini terdapat empat kerjaan besar di Sulawesi Tenggara yaitu: Mekongga,
Konawe, Wuna, dan Wolio/Buton. Haluoleo pemah menjadi panglima di Konawe,
menjadi Raja Muna VII, kemudian menjadi Raja Wolio V dan Sultan Buton I. Nama
aslinya Lakilaponto diberikan oleh orang Muna, di Konawe diberi gelar Haluoleo
(selama 9 hari ia dapat mempersatukan Sultra), di Buton diberi gelar Sultan
Kaimuddin Khalifatul Khamis (Raja Kelima) kemudian diberi gelar anumerta
Murhum. Semasih menjadi Raja Muna selanjutnya dinobatkan menjadi Raja Wolio V,
maka kekuasaannya di Muna diserahkan kepada adiknya Laposasu.
2. Penindasan Kolonial
Selama
ini tidak banyak terungkap perjuangan rakyat di Sulawesi Tenggara, disebabkan
karena dua faktor:
1. Kaum penjajah Belanda tidak lama menanamkan
pengaruhnya di Sulawesi Tenggara kecuali di Buton.
2. Belum banyak ditulis para sejarawan khususnya
dalam bentuk buku untuk pembelajaran di sekolah.
Meskipun
demikian jika kembali mengkaji jejak sejarah masyarakat di daerah ini tidak
sedikit fakta akan perjuangan mereka baik terhadap upaya mempersatukan
kerjaan-kerajaan kecil di Jazirah Sulawesi Tenggara seperti yang dilakukan oleh
Haluoleo (Murhum/Lakilaponto/Sultan Qaimuddin) khususnya dalam mengusir
bajak-bajak laut Tobelo. Demikian pula fakta ditemukannya beberapa jangkar dan
meriam peninggalan Portugis/Spanyol di pantai Utara Buton di Soropia Kendari
akan memberi inspirasi kepada kita bahwa pemiliknya kalau tidak karang kapalnya
berarti mereka mendapat perlawanan rakyat setempat.
Wa
Ode Wakelu: Permaisuri Raja Muna XII La Ode Ngkadiri yang menggantikan suaminya
ketika ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Temate. Pada saat yang sama
terjadi kemelut antara Muna dengan Belanda, dimana Muna tidak pemah mau
mengakui kekausaan Belanda atas wilayahnya dan selalu ingkar membayar pajak
upeti kepada Balanda melalui Buton, akhimya Belanda berusaha menyerang Muna dan
rakyat Muna bangkit menghadapi tantangan Belanda, Wa Ode Wakelu sebagai Ratu
juga tampil sebagai panglima yang terjung langsung di medan perang. Muna dalam
hal ini bersekutu dengan Tiworo ketegangan terjadi antara tahun 1667-1668 yang
berakhir setelah pasukan Muna di bawah pimpinan Wa Ode Wakelu dapat dikalahkan. Tetapi bagaimanapun
kehadiran Srikandi ini dipanggung politik dan pertempuran makin menambah
catatan sejarah keperkasaan atas emansipasi wanita Sulawesi Tenggara dan
Indonesia umumnya.
La
Ode Ngkadiri: Raja Muna XII bergelar Sangia Kaindea (1626-1667) beliau dua kali memangku jabatan
Raja Muna, periode pertama seperti tersebut dan periode kedua sesudah kembali
dari pengasingan di Temate pada tahun 1670. Ia diasingkan oleh Belanda antara
tahun 1667-1670 karena sikapnya yang menentang campur tangan Belanda atas
Kerajaan Buton dan Muna dia tidak mau bekerja sama dengan Belanda yang pada
saat itu berusaha menanamkan monopli politiknya atas Buton dan Muna. Untuk
menghadapi ancaman Belanda, maka Raja Muna bersama Dewan Kerajaan mengdakan
rapat di Lambu Balano pada tahun 1628, yang memutuskan: (1) Belanda dinyatakan
tidak boleh masuk di Tanah Muna, (2) Muna tidak bersedia menjalin persahabatan
dengan Buton selama Buton masih bekerja sama dengan Belanda, (3) Muna memberi
bantuan secara terang-terangan kepada pasukan Sultan Hasanuddin yang sementara
berlindung di Tiworo. Usaha Belanda mendekati Raja La Ode Ngkadiri melalui
kawin politik dengan bangsawan Buton yang menjadi sekutu Belanda tidak berhasil
karena tercium oleh Raja Muna, sehingga ia menolak dan akhimya Belanda berusaha
menangkapnya karena dianggap berbahaya atas eksistensi kepentingan Belanda di
kawasan Jazirah Sulawesi Tenggara. Ia diasingkan ke Temate, dan Dewan Kerajaan
Muna mengangkat istrinya bemama Wa Ode Wakelu, dialah yang memimpin perlawanan
terhadap Belanda antara tahun 1667-1668, akhimya Muna dan Tiworo berhasil
dikalahkan. Maka kekuasaan Wa Ode Wakelu dianulir Belanda dengan mengirim
utusan dari Buton bemama La Ode Muh. Idris untuk mengisi kekosongan
pemerintahan di Kerajaan Muna.
Sultan
Buton Muhamad Umar
(1885-1904) menentang kehadiran Belanda di Buton, beberapa pembesar Kesultanan
Buton menentang Belanda kemudian ditangkap tahun 1906, seperti: Ani Abd. Latif
(Kenepulu), Muh. Zukri (Lakina Sorawolio), Abd. Hasan (Bonto Ogena Matanyo), La
Sahidu (Bonto Ogena Sukanayo) mereka dibuang ke Makassar.
Lapadi: seorang Tamalaki (Panglima) dan
Plonui dari Kerajaan Konawe yang berjuang menentang Belanda (1908-1912) di
daerah Windo Pamandati wilayah Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe Selatan
sekarang ini. Lapadi dibantu oleh putrinya bemama Aliyina. Dalam perjuangan
mereka membuat benteng pertanahan dengan menjejer batu sepanjang 15 meter.
Dalam ekspedisi Belanda pada tahun 1908, Lapadi bersama pengikutnya menghadang
ekspedisi Belanda yang menyebabkan beberapa pasukan Belanda tewas, serangan
Belanda diikuti dengan kegiatan mata-mata yang dilakukan oleh salah seorang
juru bahasa Belanda bemama La Ende, menyebabkan Lapadi tertipu dan dikepung
musuh pada bulan Desember 1910 berhasil tertangkap oleh pasukan Belanda dan
ditawan di Kendari, berkat semangat juangnya yang gigih akhimya ia berhasil
meloloskan diri dari penjara dan melanjutkan perjuangan, pada tahun 1911 pertanahan
Lapadi kembali berhasil diterobos pasukan Belanda, segenap pengikutnya tewas
termasuk putrinya Srikandi Aliyina, Lapadi sendiri melakukan petualangan di
hutan-hutan pegunungan di daerah Konawe sampai akhimya pada tahun 1914, setelah
mendirita sakit meninggal dunia.
Mataalagi memimpin perlawanan pada tahun 1915 kepada
seorang Kepala Distrik Pasar Wajo (Buton) yang diangkat oleh Belanda pada tahun
1914 yang harus melaksanakan kebijakan Belanda. Dalam proses pengangkatannya
segenap orang Laporo tidak mendukung pengangkatan La Ode Sambira. Mataalagi
memimpin gerakan rakyat menetang pemerintahan La Ode Sambira dan berhasil
membunuhnya. Mataalagi dan pengikutnya kemudian disusul segenap orang Laporo
ditangkap dan diasingkan ke Bau-bau. Mataalagi, Maandia, Maadulu sebagai
pemimpin perjuangan akhimya dibuang ke Makassar untuk diadili dan selanjutnya
di asingkan ke Nusakambangan.
3. Pergerakan Nasional
Istilah
pergerakan mengadung arti yang khas, berlainan dengan pengertian perjuangan.
Pergerakan merupakan bagian dari perjuangan, yaitu perjuangan untuk mencapai
kemerdekaan dengan menggunakan organisasi yang teratur. Istilah nasional adalah
pergerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan bangsa.
Di
daerah Kendari/bekas Kerajaan Konawe eksepedisi Belanda mendapat perlawanan
diantaranya: Perlawanan Watukila (Ponggawa Tongauna), Sumuela (Sulewata
Wawotobi), Wulumohito (Puutobu Tuoi),
Lapotende menghadang ekspedisi Kapten Helleks di Palarahi-Wawotobi, perlawanan
Lapadi, perjuangan srikandi Weribundu, Matasala berhasil membunuh pionir
Belanda (Han Po Seng), perjuangan Lamboasa yang gugur dalam pertempuran.
Pengasingan tokoh-tokoh pejuang: Watukila ke Makassar, Sumualo ke Makassar, dan
Matasala dkk ke Sawalunto (Bhurhanuddin, 1978). Perjuangan di Konawes Selatan
dipimpin oleh Lamangga (1911), Abdullah (1914-1915) yang berakibat pembuangan
mereka ke Payakumbuh dan Nusakambangan.
Di
daerah Mekongga/Kolaka perlawanan dilakukan oleh H. Hasan dan Tojabi di Lasusua
dan Wawo, mereka berhasil menewaskan 14 orang Belanda. Di Konawe Utara
perlwanan dipimpin oleh To Indera, La Tollong, dan La Kampacu. Mokole Poleang
menentang kehadiran Belanda di wilayahnya dan diracun oleh Belanda, digantikan
oleh Mbohogo kedian ditangkap dan dibuang ke Nusakambangan.
Watukila:
Panglima Perang Kerajaan
Konawe (1864-1934) yang dalam struktur pemerintahan Kerajaan Konawe bergelar Ponggawa
di Tongauna. Watukila berjuang menentang kehadiran belanda di wilayah
Konawe, menjelang kedatangan Belanda ia mengatur strategi dan taktik
perjuangan. Melihat situasi yang tegang, maka salah seorang juru bicara Belnda
bemama Haji Taata berusaha mempertemukan kedua belah pihak, akhimya tercapai
kesepakatan untuk berunding di Molawe pada tahun 1909 yang kemudian
terkenal dengan nama Traktat van Molawe.
Pihak Konawe yang hadir adalah Watukila, dan para bangsawan dari Abuki, Asaki,
Latoma, Pondidaha, Kasipute, Uepay, beserta segenap pengikutnya, dari pihak
Belanda hadir Gekkers selaku pemimpin dikawal satu kompi pasukan yang ada di
atas kapal, didampingi Raja Sao-sao dari Laiwoi, dan Haji Taata. Perjanjian ini
tidak pemah diketahui isinya oleh masyarakat Konawe, termasuk Watukila sendiri,
oleh sebab itu segera setelah kembali dari perundingan, ia mengatur strategi
perjuangan dengan menghimpun para pejuang seperti Lamboasa dan Langgolo untuk
memimpin perlawanan, markas pasukan ditempatkan di Sanuanggambo tempat
tinggal Watukila, sekaligus sebagai penempatan meriam, benteng pertahanan
lainnya ada di Puundombi dengan taktik menggali tanah untuk dijadikan benteng
pertempuran di tengah hutan lebat. Benteng pertahanan lainya terdapat di Abuki
dan Wawotobi. Sehari sebelum serangan Belanda ke markas Watukila salah seorang
mata-mata Belanda beranama Haam Poo Seng terbunuh
oleh pasukan Watukila di Puday. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Trevers
dapat mengejar pasukan Konawe dan berhasil menewaskan panglima Langgolo,
Watukila tidak kehabisan akal mengangkat Lamboasa menggantikan posisi Langgolo
dan memindahkan markas pertahanannya ke Tanea, dalam pertempuran selanjutnya
Lamboasapun gugur dalam pertempuran, dalam situasi makin terdesak Belanda
mengajak berunding, tetapi Watukila menolaknya, meskipun akhimya ia tertawan
oleh pasukan Belanda, dan selanjutnya di asingkan ke Makassar.
Lamangga: Seorang pejuang dalam menentang imperialisme
Belanda di daerah Palangga (1909-1911). Dia mengatur strategi perjuangan dengan
mempersiapkan senjata Taawu (parang
panjang) dan tombak. Strategi perjuangan Lamangga dapat tercium oleh salah
seorang mata-mata Belanda bemama Polingay seorang bangsawan Andoolo, akhimya
Lamangga dapat terbunuh oleh kaki tangan Polingay pada tahun 1911. Sebagai
penghargaan Belanda terhadap jasa Polingay membunuh Lamangga, maka selanjutnya
diangkat menjadi Kepala Distrik Palangga.
La
Ode Ijo: Kapitalau Lohia (Panglima Perang Lohia) di Kerajaan Muna penentangan
perjanjian kerja sama dengan Belanda yang dilakukan oleh Raja Muna La Ode
Maktubu. Pada tahun 1910 Belanda memerintahkan kepada La Ode Maktubu untuk
menangkap La Ode Ijo hidup atau mati. La Ode Ijo berusaha menggalang simpati
rakyat melawan Belanda yang bersekutu dengan La Ode Maktubu, dalam beberapa
kesempatan mereka berhasil menewaskan pasukan Belanda, meskipun pada
akhimya La Ode Ijo sendiri dapat
dikalahkan pada tahun 1914.
C. Periode Keperintisan (Masa Pergerakan
Nasiona)
1. Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang di Sulawesi
Tenggara tidak sepi dengan perlawanan diantaranya tercatat: perlawanan di Wanci
tahun 1943 dipimpin oleh La Ode Maniru dan Laode Abdulu yang
menyerang Gunco (Kepala Distrik) Wanci yang dikawal dua orang polisi
Jepang yang menemui ajalnya dan Gunco mengalami luka-luka. Sedangkan La Ode Maniru dan La Ode
Abdulu kemudian dihukum mati di depan mata pengikutnya di Wanci. Demikian pula
perjuangan Tojabi
di Kolaka Utara
berlanjut, namun karena usia lanjut sehingga dapat ditangkap dan diasingkan ke
Palopo.
2.
Perjuangan Pascakemerdekaan
Segera
setelah kemerdekaan kekhawatiran para pemuda akan kedatangan sekutu bersama
Belanda menjadi kenyataan. Proklamasi yang telah diikrarkan mendapat ronrongan
dari Sekutu/Belanda (NICA), mereka memcap proklamasi Indonesia buatan Jepang,
hal ini tentu saja tidak dapat diterima oleh segenap lapisan masyarakat
Indonesia. Tampillah para pahlawan pejuang dengan bermodalkan semangat yang dilengkapi
senjata sedanya terutama bambu runcing berhadapan dengan senjata moderan milik
Sekutu dan Belanda.
Sekutu
menyerahkan kekusaannya kepada Belanda dan bukan kepada Indonesia, terjadilan
perlawanan baik kepada Sekutu seperti yang terjadi di Surabaya yang dikenal
peristiwa 10 November 1945 oleh Arek-Arek Suroboyo, dan di beberapa belahan
daerah lainnya termasuk di Sulawesi Tenggara yang dikenal dengan peristiwa 10
November 1945 di Kolaka.
Perjuangan
rakyat Sulawesi Tenggara tidak berakhir setelah proklamasi, karena pada masa
revolusi fisik perlawanan semakin gencar dilakukan oleh para pemuda baik secara
pribadi maupun melalui organisasi kelaskaran. Berita proklamasi segera diterima
oleh rakyat di daerah ini, dimulai dengan kedatangan pelayar Wakatobi yang
memperoleh berika proklamasi di Pulau Jawa dan Makassar. Disusul dengan
pengibaran bendera merah putih pertama kali di Kolaka dipimpin oleh Kepala
Pemerintahan Kolaka Andi Kasim 17 September 1945, di Lasusua 5 Oktober 1945, di
Wawotobi Akhir Oktober 1945 dipelopori oleh pemuda yang mendapat dukuang Raja
II Laiwoi La Sandara, di Kota Kendari dilakukan penempelan pamplet berita
proklamai yang dlakukan oleh para pemuda, diantaranya Mahaseng, di Bupinang
pengibaran merah putih dilakukan akhir November 1945, di Muna para pemuda
militan dipimpin oleh Idrus Efendi melakukan penguabaran bendera merah putih di
luar Kota Raha.
Para
pemuda pejuang melakukan takntik perang gerilya untuk menghadapi Belanda NICA.
Puncak perlawanan terhadap NICA di Sultra terjadi pada tanggal 19 November 1945
ketika para pemuda pejuang di Kolaka yang mendapat dukungan penuh dari pemimpim
pemerintahan Andi Kasim melakukan penyerangan terhadap ekspedisi NICA di luar
Kota Kolaka.
Tokoh tokoh masyarakat dan pemuda di Kolaka pada bulan
Juni 1945 memlientuk Gerakan Kebangunan Rakyat (GKR) yang merupakan badan
persiapan unntuk menyambut kemerdekaan yang dijanjikan. Namun janji ini tidak
dapat.diwujudkan karena Jepang telah menyerah 2 bulan kemudian yaitu tanggal
14-8-1945.
Susunan Pengurus GKR adalah sebagai berikut :
a). Pelindung : Kabasima Taico dan Hirai
(orang Jepang)
b). Penasehat : Andi Kasim
c). Pengurus Harian :
1). Pimpinan Umum :
M. Jufri
2) Sekretaris :
Ch. Pingak
Anggota : M. Arsyad, M. Agus, Halide, M. Jasir, Abd. Rasyid, Sidik Bakri, Dg. Massuro, Dg. Paraga
d).
Bagian bagian.
I
) Supply :
Fujiah (Jepang)
2)
Penerangan/Propaganda : Tahrir
3)
Hiburan :
H. Abd- Wahid.
4)
Pertahanan GKR
Komandan M. Jufri
Ajudan I Abu Baeda
Ajudan 11 Syamsuddin Opa
Sekretaris Sidik Bakri
5).
Pasukan GKR
Pasukan I Andi Punna
Pasukanll Tahrir
Pasukan III M. Ali Kamri
Pasukan IV H. Abd. Wahid R.
Tokoh GKR adalah masyarakat/pemuda Kolaka yang
merupakan kader dari Gerakan perjuanga sebelum perang yaitu tokoh PSII,
Muhammadiyah dan PNI di Kolaka yang telah dibubarkan oleh Jepang. PSII dan
Muhammadiyah memang mempunyai kader-kader yang militan di Kolak terutama Kolaka
Utara (Lasusua).
PETA yang bergerak di bawah tanah setelah Kemerdekaan
di Kolaka pada awal September 1945 berhasil merebut beberapa pucuk senjata dari
Jepang. Semenjak terbentuknya API pemuda di bawah pimpinan Tahrir dan M. Ali
Kamry berhasil mendapat beberapa pucuk karabijn 95, atau senjata yang dibuang
Jepang di pelabuhan Pomalaa. Penyelaman senjata ini tidak mendapat rintangan
Jepang. Pengibaran sang Merah Putih di Kolaka dan pemyataan sebagai bagian dari
Rl dihadiri oleh Kabasima Taico. Demikian pula pengibaran bendera, di Wawotobi
yang dlihadiri pula oleh seorang Jepang yaitu Ninomiya Heizo sedangkan rapat
pemuda Ke rumah A. Baso juga dihadiri oleh sersan (Heizo) Sibata.
Namun demikian dilihat dari bentuk organisasi. GKR merupakan suatu
organisasi massa yang sifatnya menghimpun rakyat dan aspirasi masyarakat.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, PETA dibentuk di Kolaka pada akhir Agustus
1945. Organisasi ini bergerak di bawah tanah dengan maksud menghimpun pemuda
militan dengan tekad penuh membela Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dari
PETA kemudian bulan September 1945 muncullah API yaitu Angkatan Pemuda
Indonesia yang merupakan organisasi massa Pemuda pendukung Proklamasi
Kemerdekaan RI. Organisasi Pemuda di Kolaka ini pada tanggal 17 September 1945 berhasil
meyakinkan pemerintah setempat sehingga Kolaka dinyatakan sebagai wilayah atau
bagian dari RI.
Sebulan kemudian API menjelma menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI)
pada tanggal 17 Oktober 1945, yang lebih menonjolkan tekad para pemuda di
Kolaka, untuk mendukung RI dan mempertahankan Kolaka sebagai bagian dari RI.
Berbeda dengan API dalam organisasi PRI walau pun sifatnya sebagai organisasi
massa, diadakan Bagian Keamanan/Pertahanan yang di bawahi oleh H. Abd. Wahid
Rahim, Kepolisian oleh Usman Effendi, persenjataan oleh Lappase dan
penggalangan potensi oleh M. Jufri. Keadaan ini menggambarkan bahwa kemerdekaan
itu memerlukan pertahanan dan perjuangan bersenjata.
Kemudian PRI di Kolaka secara resmi membentuk bagian Kelasykaran yang
diberi nama PKR (Pembela Keamanan Rakyat) yang dipimpin oleh M. Josef seorang
bekas KNIL yang saat itu dipekerjakan oleh Jepang di Pomalaa bersama-sama
dengan Sarilawang, M. Billibao dan J.M. Ohijver. Dalam PKR tergabung bekas
KNIL, Heiho dan para Pemuda dari kampung kampung (Seinendan). Mereka diberi
latihan kemiliteran di desa Silea. PRI Kolaka yang menjalin kerja sama erat
dengan PRI Luwu di Palopo berusaha
melebarkan wilayah pengaruh perjuangannya ke luar Kolaka.
Pemuda Wawotobi ingin menggabungkan diri ke dalam PRI
Kolaka dan kemudian datang pula utusan PRI Kolaka ke Wawotobi yaitu Yusuf, M.
Jufri dan A. Majid. Sebagai hasil kunjungan tersebut Wawotobi dibentuk “Sinar
Pemuda Konawe” yang dipimpin oleh J Muhsin. Sinar Pemuda Konawe tidak dapat
mewujudkan organisasi kelasykaran karena tidak lama kemudian Australia/NICA
memasuki Wawotobi. Di Kendari Selatan (Andoolo) terbentuk Pemuda Rakyat yang
dipimpin oleh M. Ali Silondae. Pemuda Rakyat di Andoolo ini kemudian menjelma
menjadi organisasi kelasykaran PKR dan bergabung dengan PKR Kolaka dengan
pimpinannya M."Ali Silondae PKR Andolo
merupakan batalion dari brigade PKR Kolaka dan mempunyai kompi yaitu :
(1) Andoolo, (2) Palangga, (3) Laea, dan (4) Kolono.
Pembentukan PKR sebagai badan kelasykaran dimatangkan
oleh kenyataan Belanda ingin kembali menguasai Sulawesi Tenggara. Tidak ada
pilihan lain dari pemuda Sulawesi Tenggara kecuali mengadakan perlawanan
bersenjata. Pusat dari pada perlawanan bersenjata adalah Kolaka. PKR Kolaka
yang dibentuk dalam tingkat brigade
memperluas diri dengan penggabungan para pemuda dari Andolo dan hulu
Sungai Konaweha, di Tawanga dan Tongauna terhadap kompi PKR.
PKR mengorganisir pemuda dan seluruh rakyat sampai ke
desa-desa, sehingga PKR sebagai badan kelasykaran resmi, dikenal pula di
desa-desa dengan adanya pasukan parang, pasukan tombak dan pasukan panah yang
berafiliasi dengan PKR. Pada dasamya perjuangan mempertahankan kemerdekaan
adalah perjuangan rakyat semesta.
Di Muna terbentuk "Barisan 20" pada 16
Oktober 1945 yang berorientasi pada perjuangan bersenta. Komandan "Barisan
20" adalah M. ldrus Efendi, dengan wakil komandan Taeda Akhmad. Disamping
"Barisan 20" di Raha (Muna) dibentuk pula organisasi pemberontakan
Republik Indonesia yang, dipimpin oleh Taeda Akhmad. Oganisasi ini kemudian lebih
dikenal oleh Belanda sebagai organisasi pemuda RI.
"Barisan 20" menyadari bahwa perjuangan
tidak akan berhasil tanpa kordinasi dengan organisasi perjuangan di sekitamya.
Untuk keperluan itu, maka La Karaila diutus ke Kolaka untuk menjalin bungan
dengan PRI Kolaka khususnya dengan PKR. Hubungan ini dimaksudkan untuk
mengkoordinasikan langkah-langkah dan taktik perjuangan. Namun usaha ini gagal
karena La Karaila tertangkap musuh.
Usaha Barisan 20 untuk berhubungan dengan para pejuang
di Sulawesi Selatan gagal karena penghubungnya Kamaluddin juga tertembak oleh
NICA. Kemudian M. Idrus Effendi bersama La Ditu berangkat ke Makassar untuk
mencari senjata. Keduanya dapat kembali menumpang perahu “Sinar Bangkala”
dengan membawa 5 pucuk Karaben dan 10 granat tangan pada tanggal 15 Nopember
1945. M. ldrus Effendi dan La Ditu, kemudian juga ditangkap oleh Belanda.
Barisan 20 yang diorganisir sebagai organisasi
ketentaraan mengadakan hubungan. pula dengan Angkatan Laut RI di Jawa Timur dan
memperoleh mandat dari Kol. Hamzah Tuppu untuk membentuk kelasykaran Batalyon
Sadar di daerah Sulawesi Tenggara (Muna). Penyerahan mandat ini disaksikan oleh
Sersan Mayor A. Hamid Langkosono putra Muna yang pada mulanya mengambil
inisiatif untuk menghubungkan Barisan 20 di Muna dengan ALRI (Kol. Hamzah
Tuppu) di Lawang (Jawa Timur).
Sejak itu maka Barisan 20 merupakan
organisasi ketentaraan dengan kesatuan Batalyon bernama, Expedisi Batalyon
Sadar. Wilayah Muna dibagi atas wilayah Kompi dan anggotanya memakai pangkat
ketentaraan. La Ode Taeda Akhmad sebagai Wakil Komandan Batalyon memakai
pangkat Letnan Satu, La Ditu sebagai wakil Komandan Kompi diberi pangkat,
Letnan Dua. Di Pulau Muna dibentuk 3 kompi di samping satu kompi staf, sedang
di Buton Utara terdapat 2 kompi.
D. Nilai Persatuan dan Kesatuan Bangsa (Berwawasan
Nusantara)
Pada Masyarakat Tolaki di
Sulawesi Tenggara, dikenal dengan konsep kalo
sebagai suatu konsep pedoman hidup yang banyak mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Kalo pada tingkat nilai budaya merupakan sistem norma adat yang
berfungsi mewujudkan ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai
dalam kehidupan masyarakat. Kalo pada tingkat aturan khusus mengatur
aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam
kehidupan masyarakat. Dalam konsep kalo yang mengatur aktivitas tersebut
dikenal meraou, yaitu aturan khusus
yang mengatur setiap individu dalam berbahasa yang menunjukan sopan santun
(bertata krama) serta Atora, yakni
aturan yang mengatur khusus dalam komunikasi sosial.
Terdapat ungkapan dalam
masyarakat Tolaki yang dapat memberi sugesti kepada anggota masyarakat untuk bertingkah laku dengan baik.
Ungkapan tersebut sangat terkenal dalam lingkungan masyarakat Tolaki,
yakni: Inae kosara iee nggopinesara, Inae
lia sara iee nggopinekasara. Artinya: Siapa yang tahu adat, ia yang akan
dihargai dan dihormati dan sebaliknya siapa yang melanggar adat akan dikasari
(dihukum). Ungkapan ini mempunyai makna
yang sangat dalam bagi kehidupan masyarakat.
Tiap orang diharapkan untuk hidup dan bertingkah laku sesuai dengan
norma adat istiadat yang hidup dalam masyarakat. Seseorang akan mendapat penilaian yang baik
dari masyarakat, apabila sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan norma-norma
yang berlaku. Sebaliknya seseorang akan
mendapat penilaian yang negatif atau kurang baik, bila yang bersangkutan sering
melakukan perbuatan tercelah yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Tokoh Haluoleo semasa hidupnya yang sarat
pengabdian (sebagai panglima perang dan penasehat Raja di Konawe, Mekongga dan
Moronene, sebagai Raja di Muna dan Sultan di Buton). Memiliki semangat ingin
mempersatukan semua etnis suku bangsa yang ada di daratan Sulawesi Tenggara.
Bukti sejarah seperti sudah diuraikan sebagai juru damai menyelesaikan perselisihan,
menghancurkan bajak laut dari Tobelo, yang sering mengganggu stabilitas
keamanan teritorial kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tenggara (Mazi, 2004).
Disamping itu, kerajaan-kerajan tersebut menjalin
kerjasama dengan kerajaan-keraajaan dari luar Sulawesi Tenggara yaitu dengan
Ternate, Bone, Luwu, Gowa. Hal ini merupakan indikator bahwa Haluoleo dan
pemimpin di kerajaan-kerajaan Sultra adalah pemimpin yang menjalankan politik
ingin hidup bertetangga secara damai dalam prinsip saling hormat menghormati,
serta menjalin persatuan dan kesatuan di kalangan raja-raja dan rakyatnya.
Haluan politik tersebut mengandung nilai semangat persatuan dan berwawasan luas
yaitu berwawasan Nusantara. Hal ini tidak terlepas dengan keyakinan yang dianut
dalam falsafah hidup yang terkenal dalam masyarakat Tolaki, Muna dan Buton
yaitu :
Bagi masyarakat Tolaki berbunyi:
Mohopulai
Wonua (mempersatukan negeri) Mombulesako toono nggapa
(menjadi satu kerukunan masyarakat) Mosiwi siwi toono mohaE (keluarga
menjadi satu kesatuan) (Tarimana, 1989).
Pada masyarakat Muna falsafah itu berbunyi:
a.
Nohansuru-nohansuruno badha, sumano kenohansuru liwu (biar hancur badan asal jangan hancur negeri)
b.
Nohansuru-nohansuruno liwu, sumano keno hansuru adhati (biar hancur negeri asal jangan
hancur adat).
c.
Nohansuru-nohansuruno adhati, sumano keno hansuru sara (biar hancur adat asal jangan
hancur sara/hukum)
d.
Nohansuru-nohansuruno sara, sumano keno hansuru agama (biar hancur
sara/hukum asal jangan
hancur agama) (Batoa, 1991; Tamburaka, 1995).
Pada masyarakat Buton berbunyi :
Yinda-moyindamo
araata Sumano Karo, yinda-moyindamo karo Sumano Lipu (kepentingan
diri di atas kepentingan diri); yinda-moyinda Lipu Sumana Sara Somana Agama
(penegakan hokum di atas kepentingan umum, dan kepentingan agama di atas
kepentingan umum, kepentingan agama di atas kepentingan tanah air) (Anonim,
1982).
Dalam kehidupan
bermasayarakat di lingkungan suku Buton dikembangkan satu landasan falsafah
hidup “Pobinci binciki kuli”, maksudnya saling cubit mencubit kulit”,
sakit pada dirinya tentu sakit pula pada orang lain. Falsafah ini dijabarkan dalam 4 azas:
a. Pomaa masiaka = saling kasih mengkasihi
b. Poangka angkataaka = saling hormat menghormati
c. Pomae maeaaka = saling menegur dalam pebuatan yang
tercela
e. Popiara piara = saling memelihara.
Salah satu falsafah hidup
warga suku Buton yang dicetuskan dalam bentuk ikrar, yaitu: Poromu yinda saangu, pogaa yinda koolota
(Poromu= bersatu, Yinda = tidak, Saangu = satu, bersatu, Pogaa = bercerai),
maksudnya bersatu tidak satu, bercerai tidak berantara. Bersatu dalam kehidupan bernegara (kerajaan),
berkomunikasi sebagaimana bersatunya bumi (Buton) dengan manusia penghuninya.
Dalam mengatur strategi pertahanan dan keamanan negara dan wilayah di
masing-masing wilayah masih saja terpateri nilai-nilai historis yang bersumber
dari peninggalan sejarah kerajaan-kerajaan lokal yang ada di wilayahnya. Di
Kerajaan Konawe dikenal dengan strategi pertahanan keamanan berlapis yang
disebut Siwole Mbatohuu= empat pusat wilayah pertahanan (dapat
dibandingkan dengan posisi Kodam sekarang), selanjutnya ada struktur pitu
dula batu= tujuh wilayah pemerintahan (dapat dibandingkan wilayah propinsi sekarang) (Anonim, 1982). Di
Kerajaan Muna juga dikenal istilah yang sejenis seperti Kapitalau Mata Gholeo
dan Kapitalau Kanssopa (Panglima Angkatan Laut Timur dan Barat), terdapat pemerintahan
barata yang terdiri atas 3 wilayah dan memiliki tugas sebagai
pemerintahan wilayah sekaligus sebagai penanggung jawab pertahanan/keamanan
wilayah. Di Buton, selain terdapat Kapilao Matanyo dan Kapitalao Sukanayo
(Panglima Angkatan Laut Timur dan Barat) juga terdapat pemerintahan barata, yang terdiri atas 4 wilayah. Ketiga kerajaan
tersebut menganut sistem pertahanan berlapis yang disesuaikan dengan kondisi
wilayah masing-masing.
Nilai-nilai historis
seperti tersebut, masih saja terpateri dalam sanubari individu-individu
masyarakat Sulawesi Tenggara, sehingga menempatkan dirinya sebagai salah
seorang agen pertahanan keamanan daerahnya. Dengan demikian secara tidak langsung
melaksankan tugas pengamanan terirotial wilayah Sulawesi Tenggara dan Indonesia
umumnya, ini dimungkinkan karena dinamika masyarakat Sulawesi Tenggara yang
begitu tinggi, diantaranya profesi sebagai pelayar niaga, memegang posisi
penting dalam mengamankan perairan di mana dia berada. Kondisi inilah yang
sangat menunjang stabilitas dan keamanan tertitorial Sulawesi Tenggara
khususnya dan Indonesia umumnya. Tradisi lokal seperti ini sangat diharapkan
ditumbuhkembangkan dalam era sekarang ini untuk membantu tigas aparat
pertahanan dan kemanan, sekaligus menunjang pembangunan daerah yang salah satu
bagiannya adalah pembangunan pertahanan dan keamanan wilayah, khususnya dalam
mewujudkan cita-cita masyarakat sejahtera di era Sultra Raya 2020. Falsafah
orang Tolaki, Muna dan Buton seperti disebutkan di atas telah tumbuh dan
berkembang sejak masa kerajaan-kerajaan tradisional. falsafah hidup tersebut
mengandung nilai persatuan dan berwawasan Nusantara.
E. Nilai Kegotong-royongan (Solidaritas/Kesetiakawanan Sosial)
Semua kelompok masyarakat dan
etnis yang ada memiliki spirit untuk maju dengan semangat kegotong-royongan,
meskipun dalam ungkapan bahasa yang berbeda.
Menurut Sanusi Pane dalam Mattulada (1995) bahwa kebudayaan Indonesia
harus mementingkan kerohanian, perasaan, kegotong-royongan, dan manusia
Indonesia tidak boleh melupakan sejarah kebudayaannya, sebab dengan mempelajari
kebudayaannya di masa lalu, ia dapat membangun kebudayaan yang baru. Semangat
kegotong-royongan atau solidaritas antar sesama dapat dijumpai dalam hapir
setiap aktivitas masyarakat. Ungkapan ringan sama dijinjing; berat sama
dipikul, nampaknya masih tetap saja menjadi pegangan hidup masyarakat dalam
aktivitas keseharian mereka, khususnya dalam kaitan salaing membantu sesama.
Demikian pula tingginya semangat kekerabatan antar etnis, yang pada
kenyataannya memiliki pertalian baik melalui hubungan darah maupun perkawinan,
sehingga makin menyuburkan nilai solidaritas antar etnik yang ada. Baik yang
disebut sebagai etnik setempat (Tolaki, Moronene, Muna, dan Buton) maupun etnik
yang disebut pendatang seperti Bugis/Makassar, Jawa, Bali dan Sasak, pada
kenyataannya telah terjali hubungan kekerabatan. Akhirnya, nilai
kegotong-royongan atau solidaritas antar etnik telah menjadi bagian tak
terpisahkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kondisi ini sangat menunjang
program pemerintah dalam menanggulangi kerawanan sosial, lebih khusus lagi
dalam aspek benturan antar etnis atau antar budaya. Pada kelompok etnik yang
ada di Sultra telah dikembangkan budaya gotong-royong. Di masyarakat Tolaki
dikembangkan budaya medulu, samaturu, dan mepokoaso, di masyarakat Muna dikenal dengan budaya pokadulu, dan di Buton seperti disebutkan dalam filsafat Binci-binciki
kuli.
Pada kenyataannya, di masyarakat
Sulawesi Tenggara telah melekat pribadi khas yang menunjukkan unjuk kerja siap
berjuang demi tegaknya harkat dan martabat manusia myang sekaligus mencerminkan
nilai kepahlawanan, kejuangan dan kesetiakawanan sosial. Pribadi seperti itu terwujud dalam bentuk:
(1) Mempunyai itikad baik, (2) menjunjung tinggi nilai intelektualitas, (3)
menempatkan nilai kejujuran sebagai hal mutlak sebagai pendamping nilai
keintelektualan, (4) mempunyai keberanian moral untuk menjalankan kebenaran,
(5) teguh dalam pendirian, (6) konsekuen dalam bertindak, (7) tangguh dalam
menjalani persaingan hidup, (8) menjunjung tinggi nilai usaha, (9) bertindak
patut atau wajar, (10) cermat dan berhati-hati dalam bertindak, (11) merdeka
atau otonom, (12) solider, (13) bertawakkal.
Warisan nilai budaya yang
ada pada kelompok-kelompok masyarakat di Sultra tersebut, sangat relevan untuk
diimplementasikan dalam dimensi petahanan keaman khususnya dalam memelihara
keutuhan dan kemanan teritorial Sulawesi Tenggara khususnya dan Indonesia
umumnya.
F. Penutup
Rangkaian
perjuangan merebut dan mempertahankan kemedekaan telah menelan banyak korban
baik harta maupun jiwa. Para pejuang berani mengorbankan harta dan jiwanya demi
mencapai cita-cita kemederkaan abadi, bukan semata-mata untuk kepentingannya,
tetapi untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan untuk waktu yang tidak
terhingga. Mereka rela berkorban karena
ada jiwa, semangat, nilai kejuangan dan pengabdian untuk kejayaan bangsa dan
negara di masa depan. Tugas generasi sekarang adalah mewarisi, melanjutkan, dan
mengebangkan perjuangannya dengan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa,
serta mengembangkan nilai-nilai moral bangsa yang penuh kejujuran dan semangat
ingin maju dalam rangka memajukan bangsa dan negara tercita.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Akibat Teknologi/Globalisasi Informasi Terjadi Pergeseran Tata Nilai. http://nahskaw.wordpress. om/2011/03/16/akibat-teknologi-globalisasi-informasi-terjadi-pergeseran-tata-nilai/. Akses, 6 Oktober 2012.
Bhurhanuddin, B.,
dkk. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional
Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Bhurhanuddin, B.,
dkk. 1979. Sejarah Masa Revolusi Fisik
Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Brotosoehendro, S., dkk. 1988. Pedoman Umum Pelestarian Jiwa, Semangat, dan Nilai-nilai 45.
Jakarta: Dewan Harian Nasional Angkatan-45.
Hafid,
Anwar. 2012. Nilai-Nilai
Kepahlawanan, Keperintisan, Dan Kesetiakawanan Sosial Generasi Muda di Sulawesi Tenggara. Makalah Disajikan
dalam Bimbingan Pelestarian Nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan
Kesetiakawanan Sosial (K2KS)
Dinas Sosial Propinsi Sulawesi Tenggara,Tanggal
17 Oktober 2012.
Jaja, Muhammad. 2012. Upaya Penanaman Nilai-nilai Kepahlawanan.
http://www.disjarah-ad.org/news-a-event/upaya-penanaman-nilai-nilai-kepahlawanan.html. Akses, 15 Oktober 2012.
Kansil, C.S.T dan Julianto. 1986. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan
Indoensia. Jakarta: Erlangga.
Mahmud, Amir. 1985. Surat Perintah 11 Maret 1966 Tonggak Sejarah Perjuangan Orde Baru.
Jakarta: MPR.
Mazi, Ali. 2004. Peran Nilai-nilai Budaya Lokal dalam Plakasanaan Pembinaa Teritorial di Sulawesi Tenggara. Kendari.
Pringgodigdo, A.K. 1984. Sejarah Pergerakan Rakyat Indoensia. Jakarta: Dian Rakyat.
Sagimun, M.D. dkk. 1986. Perlawanan dan Pengasingan Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta:
Inti Idayu Press.
Sukamo. 1983. Indonesia
Menggugat. Jakarta: Inti Idayu Press.
Tamburakan, R., dkk. 1999. Sejarah Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekretarait Daerah Propinsi
Sultra.
Toynbee,
A. (1963). A Study of History. Vol.1.
London: Oxpord University.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar