Rabu, 03 Juni 2020

NILAI-NILAI KEPAHLWANAN, KEPERINTISAN, DAN KESETIAKAWANAN SOSIAL GENERASI MUDA DI SULAWESI TENGGARA



NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN, KEPERINTISAN, DAN KESETIAKAWANAN SOSIAL GENERASI MUDA DI SULAWESI TENGGARA







Makalah
Disajikan dalam Bimbingan Pelestarian Nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial (K2KS) Dinas Sosial Propinsi Sulawesi Tenggara,
Tanggal 17 Oktober 2012
 







Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
Dosen FKIP/PPs Universitas Haluoleo








DINAS SOSIAL
PROPINSI SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2012






NILAI-NILAI KEPAHLWANAN, KEPERINTISAN, DAN KESETIAKAWANAN SOSIAL GENERASI MUDA DI SULAWESI TENGGARA
Oleh: Prof.  Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
Dosen FKIP/PPs Universitas Haluoleo

A. Pendahuluan
Mempelajari rangkaian sejarah perjuangan bangsa Indonesia merupakan suatu kaharusan bagi generasi sekarang untuk memilih dan menganalisis peristiwa-peristiwa sekarang dalam upaya menentukan arah yang akan dituju pada masa yang akan datang. Sejalan dengan itu Toynbee (1963) menyatakan bahwa mempelajari sejarah adalah untuk membuat sejarah (to study history is to build history).
Kedatangan Bangsa Portugis dan Spanyol,  berdasarkan peninggalan yang ada di berbagai tempat di Buton dan sekitamya seperti jangkar besar yang terbuat dari besi, meriam dari berbagai jenis dan ukuran serta sumber-sumber lainnya, maka kedatangan bangsa Spanyol dan Portugis dipulau ini, adalah sekitar awal abad ke-16.  Kedatangan bangsa tersebut di Buton, selain untuk menjajah, juga untuk berdagang rempah-rempah.  Produksi rempah-rempah di Buton seperti cengkih dan pala pada abad tersebut, merupakan saingan berat bagi produksi rempah-rempah di Maluku. Rempah-rempah tersebut, tumbuh khususnya di Kepulauan Tukang Besi.  Menurut sumber lisan di Buton, bahwa bibit rempah-rempah yang ditanam itu adalah dibawa oleh pelaut-pelaut Buton dari Sansibar. Armada dagang Portugis dengan beberapa buah kapalnya, telah pula singgah di pulau ini.  Maksud kunjungannya di Buton, adalah untuk mengadakan hubungan dagang dengan Pemerintah Kerajaan Wolio.  Tempat pertemuan itu dilaksanakan di Limbo Gama dalam Kota Wolio (Benteng Keraton Buton).  Itulah sebabnya nama Vasco de Gama (perintis ekspedisi Portugis ke Asia/Afrika) diabadikan sebagai nama Limbo tempat pertemuan itu yaitu Limbo Gama. Sejak kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol, Buton berperan sebagai daerah persinggahan dari jalur pelayaran Betawi, Makassar, Buton, Temate dan Ambon.  Adanya peninggalan-peninggalan pada berbagai tempat di pulau ini seperti jangkar besar yang terbuat dari besi terletak di Kraton Buton, di pantai Desa Kumbewaha di Kecamatan Lasalimu dan tempat-tempat lainnya. Daya tarik itu antara lain karena letaknya yang sangat strategis di jalur perdagangan, memiliki pelabuhan alam yang indah dan aman, juga berbagai hasil laut yang cukup berarti. 
Nilai  adalah suatu tujuan akhir yang diinginkan, mempengaruhi tingkah laku, yang digunakan sebagai prinsip atau panduan dalam hidup seseorang atau masyarakat. Bisa dikatakan bahwa Nilai-nilai pada hakikatnya merupakan sejumlah prinsip yang dianggap berharga dan bernilai sehingga layak diperjuangkan dengan penuh pengorbanan. Jika seseorang hanya memperjuangkan nilai-nilai pribadi sering disebut indivudualis, namun jika seseorang memperjuangkan nilai-nilai sosial sering disebut pejuang atau pahlawan (orang yang banyak berbuat untuk kepentingan orang lain tentu ada pahalanya).
Nilai-nilai merupakan representasi dari kognitif dari persyaratan hidup manusia dan dapat bergeser karenanya. Empat tipe persyaratan itu yaitu : 
1.    Panggilan Jiwa
2.    Kebutuhan individu sebagai organism
3.    Persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal
4.    Tuntutan institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok (Jaya, 2012).
Mengkaji dan melihat definisi nilai tersebut, maka dalam konteks ke Indonesiaan, kita bisa menyebutkan bahwa nilai-nilai perjuangan dan kepahlawanan yang dapat mempersatukan bangsa ini terbagi menjadi tiga yaitu :
1.  Sebelum kemerdekaan nilai-nilai itu terangkum dalam istilah MERDEKA. Merdeka ini dianggap amat bernilai tinggi dan menjadikan wilayah jajahan  Hindia Belanda bersatu padu. Menghilangkan sisi-sisi perbedaan dan mengedepankan toleransi. Kata-kata merdeka begitu di rindukan oleh semua pihak, mulai dari gerakan Budi Utomo, Serikan Islam, Sumpah Pemuda dan perjuangan-perjuangan lokal yang lain.
2. Saat Membela dan mempertahankan kemerdekaan, dengan tampilnya para pejuang kemerdekaan dengan mengatasnamakan laskar-laskar, pandu  dan lain sebagainya. Mereka mengeluarkan semboyang MERDEKA ATAU MATI.
3. Setelah merdeka di carilah semua kepentingan suku-bangsa ini melalui wakil-wakilnya dan semua sepakat untuk menjunjung tinggi kesamaan nilai-nilai yang terangkum dalam istilah  PANCASILA (lima sila/point). Suatu nilai dasar yang telah digali ini, diambil dari semua golongan yang ada dan kemudian ditetapkan sebagai dasar kesepahaman untuk bergabung dan menyatukan diri dalam suatu negara yaitu negara Indonesia. Lima Sila perjuangan yaitu:
1. Ke Tuhaan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
    perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari nilai-nilai kejuangan yang didasari rasa persatuan dan kesatuan serta  cinta ini muncul semangat juang dan semangat kepahlawanan, yaitu:
1.    Rasa senasib sepenanggungan
2.    Rela berkorban/tanpa pamrih
3.    Teguh
4.    Ulet,
5.    Percaya diri.
6.    Gotong royong
(Jaya, 2012)
Perkembangan teknologi dan globalisasi informasi sangat berpengaruh dan berakibat pada terjadinya pergeseran tata nilai. Sehingga ada kecenderungan nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan dan kesetiakawanan sosial mengalami penurunan dalam pengamalannya (Anonim, 2011). Sehubungan dengan hal tesebut dalam melanjutkan pembangunan, perlunya generasi muda dan generasi penerus dibekali. Untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan dan kesetiakawanan sosial dengan penuh kebanggan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari di berbagai kegiatan pembangunan yang kita laksanakan.
Melalui Bimbingan Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial ini, para guru dan tokoh masyarakat dapat mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada anak didik dalam kegiatan pembangunan sehari-hari, baik dalam kelas maupun di luar kelas. Sehingga kelah dikemudian hari, anak didik menjadi generasi muda dan generasi penerus bangsa yang profesional, handal, tangguh, serta memiliki jiwa kepahlawanan, keperintisan dan kesetiakawanan social, dan tetap menghargai para pahlawan pendahulunya.

B. Perjuangan Rakyat Menentang Imperialisme sebagai Wujud Kepahlawanan
1. Masa Kejayaan Nasional
Perjuangan rakyat Indonesia telah dimulai sejak berdirinya kerajaan nasional di Nusantara seperti Sriwijaya pada abad 7-14 masehi, menurut Van Soet pada masa itu bangsa Indonesia merupakan pedagang-pedagang yang giat dan penuh keuletan,serta bejiwa pahlawan, rajin dan berani (Kansil, 1986). Ketatanegaraan Majapahit disusun dengan rapi, pemerintahan pusat berbentuk lima badang yang disebut Pancaning Wilwatika (Lima Kemahamenterian). Sistem ketatanegaraan seperti itu juga dapat dijumpai di Kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Tenggara seperti Kerajaan Konawe yang mengenal istilah Siwole Mbatohu (empat pintu gerbang) dan Pitu Dula Batu (tujuh pilar negara). Di Kesultanan Buton dikenal Empat Barata yang merupakan pilar wilayah Kesultanan Buton sekaligus merupakan pejabat tinggi Kesultanan dan berkuasa di wilayahnya masing-masing (Bhurhanuddin, 1978).
Lakilaponto adalah tokoh yang pertama mempersatukan Suawesi Tenggara secara politis. Pada periode ini terdapat empat kerjaan besar di Sulawesi Tenggara yaitu: Mekongga, Konawe, Wuna, dan Wolio/Buton. Haluoleo pemah menjadi panglima di Konawe, menjadi Raja Muna VII, kemudian menjadi Raja Wolio V dan Sultan Buton I. Nama aslinya Lakilaponto diberikan oleh orang Muna, di Konawe diberi gelar Haluoleo (selama 9 hari ia dapat mempersatukan Sultra), di Buton diberi gelar Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis (Raja Kelima) kemudian diberi gelar anumerta Murhum. Semasih menjadi Raja Muna selanjutnya dinobatkan menjadi Raja Wolio V, maka kekuasaannya di Muna diserahkan kepada adiknya Laposasu.

2. Penindasan Kolonial
Selama ini tidak banyak terungkap perjuangan rakyat di Sulawesi Tenggara, disebabkan karena dua faktor:
1.      Kaum penjajah Belanda tidak lama menanamkan pengaruhnya di Sulawesi Tenggara kecuali di Buton.
2.      Belum banyak ditulis para sejarawan khususnya dalam bentuk buku untuk pembelajaran di sekolah.
Meskipun demikian jika kembali mengkaji jejak sejarah masyarakat di daerah ini tidak sedikit fakta akan perjuangan mereka baik terhadap upaya mempersatukan kerjaan-kerajaan kecil di Jazirah Sulawesi Tenggara seperti yang dilakukan oleh Haluoleo (Murhum/Lakilaponto/Sultan Qaimuddin) khususnya dalam mengusir bajak-bajak laut Tobelo. Demikian pula fakta ditemukannya beberapa jangkar dan meriam peninggalan Portugis/Spanyol di pantai Utara Buton di Soropia Kendari akan memberi inspirasi kepada kita bahwa pemiliknya kalau tidak karang kapalnya berarti mereka mendapat perlawanan rakyat setempat.
Wa Ode Wakelu: Permaisuri Raja Muna XII La Ode Ngkadiri yang menggantikan suaminya ketika ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Temate. Pada saat yang sama terjadi kemelut antara Muna dengan Belanda, dimana Muna tidak pemah mau mengakui kekausaan Belanda atas wilayahnya dan selalu ingkar membayar pajak upeti kepada Balanda melalui Buton, akhimya Belanda berusaha menyerang Muna dan rakyat Muna bangkit menghadapi tantangan Belanda, Wa Ode Wakelu sebagai Ratu juga tampil sebagai panglima yang terjung langsung di medan perang. Muna dalam hal ini bersekutu dengan Tiworo ketegangan terjadi antara tahun 1667-1668 yang berakhir setelah pasukan Muna di bawah pimpinan Wa Ode Wakelu  dapat dikalahkan. Tetapi bagaimanapun kehadiran Srikandi ini dipanggung politik dan pertempuran makin menambah catatan sejarah keperkasaan atas emansipasi wanita Sulawesi Tenggara dan Indonesia umumnya.
La Ode Ngkadiri: Raja Muna XII bergelar Sangia Kaindea  (1626-1667) beliau dua kali memangku jabatan Raja Muna, periode pertama seperti tersebut dan periode kedua sesudah kembali dari pengasingan di Temate pada tahun 1670. Ia diasingkan oleh Belanda antara tahun 1667-1670 karena sikapnya yang menentang campur tangan Belanda atas Kerajaan Buton dan Muna dia tidak mau bekerja sama dengan Belanda yang pada saat itu berusaha menanamkan monopli politiknya atas Buton dan Muna. Untuk menghadapi ancaman Belanda, maka Raja Muna bersama Dewan Kerajaan mengdakan rapat di Lambu Balano pada tahun 1628, yang memutuskan: (1) Belanda dinyatakan tidak boleh masuk di Tanah Muna, (2) Muna tidak bersedia menjalin persahabatan dengan Buton selama Buton masih bekerja sama dengan Belanda, (3) Muna memberi bantuan secara terang-terangan kepada pasukan Sultan Hasanuddin yang sementara berlindung di Tiworo. Usaha Belanda mendekati Raja La Ode Ngkadiri melalui kawin politik dengan bangsawan Buton yang menjadi sekutu Belanda tidak berhasil karena tercium oleh Raja Muna, sehingga ia menolak dan akhimya Belanda berusaha menangkapnya karena dianggap berbahaya atas eksistensi kepentingan Belanda di kawasan Jazirah Sulawesi Tenggara. Ia diasingkan ke Temate, dan Dewan Kerajaan Muna mengangkat istrinya bemama Wa Ode Wakelu, dialah yang memimpin perlawanan terhadap Belanda antara tahun 1667-1668, akhimya Muna dan Tiworo berhasil dikalahkan. Maka kekuasaan Wa Ode Wakelu dianulir Belanda dengan mengirim utusan dari Buton bemama La Ode Muh. Idris untuk mengisi kekosongan pemerintahan di Kerajaan Muna.
Sultan Buton Muhamad Umar (1885-1904) menentang kehadiran Belanda di Buton, beberapa pembesar Kesultanan Buton menentang Belanda kemudian ditangkap tahun 1906, seperti: Ani Abd. Latif (Kenepulu), Muh. Zukri (Lakina Sorawolio), Abd. Hasan (Bonto Ogena Matanyo), La Sahidu (Bonto Ogena Sukanayo) mereka dibuang ke Makassar.
Lapadi: seorang Tamalaki (Panglima) dan Plonui dari Kerajaan Konawe yang berjuang menentang Belanda (1908-1912) di daerah Windo Pamandati wilayah Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe Selatan sekarang ini. Lapadi dibantu oleh putrinya bemama Aliyina. Dalam perjuangan mereka membuat benteng pertanahan dengan menjejer batu sepanjang 15 meter. Dalam ekspedisi Belanda pada tahun 1908, Lapadi bersama pengikutnya menghadang ekspedisi Belanda yang menyebabkan beberapa pasukan Belanda tewas, serangan Belanda diikuti dengan kegiatan mata-mata yang dilakukan oleh salah seorang juru bahasa Belanda bemama La Ende, menyebabkan Lapadi tertipu dan dikepung musuh pada bulan Desember 1910 berhasil tertangkap oleh pasukan Belanda dan ditawan di Kendari, berkat semangat juangnya yang gigih akhimya ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan melanjutkan perjuangan, pada tahun 1911 pertanahan Lapadi kembali berhasil diterobos pasukan Belanda, segenap pengikutnya tewas termasuk putrinya Srikandi Aliyina, Lapadi sendiri melakukan petualangan di hutan-hutan pegunungan di daerah Konawe sampai akhimya pada tahun 1914, setelah mendirita sakit meninggal dunia.
Mataalagi memimpin perlawanan pada tahun 1915 kepada seorang Kepala Distrik Pasar Wajo (Buton) yang diangkat oleh Belanda pada tahun 1914 yang harus melaksanakan kebijakan Belanda. Dalam proses pengangkatannya segenap orang Laporo tidak mendukung pengangkatan La Ode Sambira. Mataalagi memimpin gerakan rakyat menetang pemerintahan La Ode Sambira dan berhasil membunuhnya. Mataalagi dan pengikutnya kemudian disusul segenap orang Laporo ditangkap dan diasingkan ke Bau-bau. Mataalagi, Maandia, Maadulu sebagai pemimpin perjuangan akhimya dibuang ke Makassar untuk diadili dan selanjutnya di asingkan ke Nusakambangan.

3. Pergerakan Nasional
Istilah pergerakan mengadung arti yang khas, berlainan dengan pengertian perjuangan. Pergerakan merupakan bagian dari perjuangan, yaitu perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dengan menggunakan organisasi yang teratur. Istilah nasional adalah pergerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan bangsa.
Di daerah Kendari/bekas Kerajaan Konawe eksepedisi Belanda mendapat perlawanan diantaranya: Perlawanan Watukila (Ponggawa Tongauna), Sumuela (Sulewata Wawotobi),  Wulumohito (Puutobu Tuoi), Lapotende menghadang ekspedisi Kapten Helleks di Palarahi-Wawotobi, perlawanan Lapadi, perjuangan srikandi Weribundu, Matasala berhasil membunuh pionir Belanda (Han Po Seng), perjuangan Lamboasa yang gugur dalam pertempuran. Pengasingan tokoh-tokoh pejuang: Watukila ke Makassar, Sumualo ke Makassar, dan Matasala dkk ke Sawalunto (Bhurhanuddin, 1978). Perjuangan di Konawes Selatan dipimpin oleh Lamangga (1911), Abdullah (1914-1915) yang berakibat pembuangan mereka ke Payakumbuh dan Nusakambangan.
Di daerah Mekongga/Kolaka perlawanan dilakukan oleh H. Hasan dan Tojabi di Lasusua dan Wawo, mereka berhasil menewaskan 14 orang Belanda. Di Konawe Utara perlwanan dipimpin oleh To Indera, La Tollong, dan La Kampacu. Mokole Poleang menentang kehadiran Belanda di wilayahnya dan diracun oleh Belanda, digantikan oleh Mbohogo kedian ditangkap dan dibuang ke Nusakambangan.
Watukila: Panglima Perang Kerajaan Konawe (1864-1934) yang dalam struktur pemerintahan Kerajaan Konawe bergelar Ponggawa di Tongauna. Watukila berjuang menentang kehadiran belanda di wilayah Konawe, menjelang kedatangan Belanda ia mengatur strategi dan taktik perjuangan. Melihat situasi yang tegang, maka salah seorang juru bicara Belnda bemama Haji Taata berusaha mempertemukan kedua belah pihak, akhimya tercapai kesepakatan untuk berunding di Molawe pada tahun 1909 yang kemudian terkenal dengan nama Traktat van Molawe. Pihak Konawe yang hadir adalah Watukila, dan para bangsawan dari Abuki, Asaki, Latoma, Pondidaha, Kasipute, Uepay, beserta segenap pengikutnya, dari pihak Belanda hadir Gekkers selaku pemimpin dikawal satu kompi pasukan yang ada di atas kapal, didampingi Raja Sao-sao dari Laiwoi, dan Haji Taata. Perjanjian ini tidak pemah diketahui isinya oleh masyarakat Konawe, termasuk Watukila sendiri, oleh sebab itu segera setelah kembali dari perundingan, ia mengatur strategi perjuangan dengan menghimpun para pejuang seperti Lamboasa dan Langgolo untuk memimpin perlawanan, markas pasukan ditempatkan di Sanuanggambo tempat tinggal Watukila, sekaligus sebagai penempatan meriam, benteng pertahanan lainnya ada di Puundombi dengan taktik menggali tanah untuk dijadikan benteng pertempuran di tengah hutan lebat. Benteng pertahanan lainya terdapat di Abuki dan Wawotobi. Sehari sebelum serangan Belanda ke markas Watukila salah seorang mata-mata Belanda beranama Haam Poo Seng terbunuh oleh pasukan Watukila di Puday. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Trevers dapat mengejar pasukan Konawe dan berhasil menewaskan panglima Langgolo, Watukila tidak kehabisan akal mengangkat Lamboasa menggantikan posisi Langgolo dan memindahkan markas pertahanannya ke Tanea, dalam pertempuran selanjutnya Lamboasapun gugur dalam pertempuran, dalam situasi makin terdesak Belanda mengajak berunding, tetapi Watukila menolaknya, meskipun akhimya ia tertawan oleh pasukan Belanda, dan selanjutnya di asingkan ke Makassar.
Lamangga: Seorang pejuang dalam menentang imperialisme Belanda di daerah Palangga (1909-1911). Dia mengatur strategi perjuangan dengan mempersiapkan senjata Taawu (parang panjang) dan tombak. Strategi perjuangan Lamangga dapat tercium oleh salah seorang mata-mata Belanda bemama Polingay seorang bangsawan Andoolo, akhimya Lamangga dapat terbunuh oleh kaki tangan Polingay pada tahun 1911. Sebagai penghargaan Belanda terhadap jasa Polingay membunuh Lamangga, maka selanjutnya diangkat menjadi Kepala Distrik Palangga.
La Ode Ijo: Kapitalau Lohia (Panglima Perang Lohia) di Kerajaan Muna penentangan perjanjian kerja sama dengan Belanda yang dilakukan oleh Raja Muna La Ode Maktubu. Pada tahun 1910 Belanda memerintahkan kepada La Ode Maktubu untuk menangkap La Ode Ijo hidup atau mati. La Ode Ijo berusaha menggalang simpati rakyat melawan Belanda yang bersekutu dengan La Ode Maktubu, dalam beberapa kesempatan mereka berhasil menewaskan pasukan Belanda, meskipun pada akhimya  La Ode Ijo sendiri dapat dikalahkan pada tahun 1914.

C.  Periode Keperintisan (Masa Pergerakan Nasiona)
1.    Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang di Sulawesi Tenggara tidak sepi dengan perlawanan diantaranya tercatat: perlawanan di Wanci tahun 1943 dipimpin oleh La Ode Maniru dan Laode Abdulu yang menyerang Gunco (Kepala Distrik) Wanci yang dikawal dua orang polisi Jepang yang menemui ajalnya dan Gunco mengalami luka-luka. Sedangkan La Ode Maniru dan La Ode Abdulu kemudian dihukum mati di depan mata pengikutnya di Wanci. Demikian pula perjuangan Tojabi di Kolaka Utara berlanjut, namun karena usia lanjut sehingga dapat ditangkap dan diasingkan ke Palopo.

2. Perjuangan Pascakemerdekaan
Segera setelah kemerdekaan kekhawatiran para pemuda akan kedatangan sekutu bersama Belanda menjadi kenyataan. Proklamasi yang telah diikrarkan mendapat ronrongan dari Sekutu/Belanda (NICA), mereka memcap proklamasi Indonesia buatan Jepang, hal ini tentu saja tidak dapat diterima oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia. Tampillah para pahlawan pejuang dengan bermodalkan semangat yang dilengkapi senjata sedanya terutama bambu runcing berhadapan dengan senjata moderan milik Sekutu dan Belanda.
Sekutu menyerahkan kekusaannya kepada Belanda dan bukan kepada Indonesia, terjadilan perlawanan baik kepada Sekutu seperti yang terjadi di Surabaya yang dikenal peristiwa 10 November 1945 oleh Arek-Arek Suroboyo, dan di beberapa belahan daerah lainnya termasuk di Sulawesi Tenggara yang dikenal dengan peristiwa 10 November 1945 di Kolaka.
Perjuangan rakyat Sulawesi Tenggara tidak berakhir setelah proklamasi, karena pada masa revolusi fisik perlawanan semakin gencar dilakukan oleh para pemuda baik secara pribadi maupun melalui organisasi kelaskaran. Berita proklamasi segera diterima oleh rakyat di daerah ini, dimulai dengan kedatangan pelayar Wakatobi yang memperoleh berika proklamasi di Pulau Jawa dan Makassar. Disusul dengan pengibaran bendera merah putih pertama kali di Kolaka dipimpin oleh Kepala Pemerintahan Kolaka Andi Kasim 17 September 1945, di Lasusua 5 Oktober 1945, di Wawotobi Akhir Oktober 1945 dipelopori oleh pemuda yang mendapat dukuang Raja II Laiwoi La Sandara, di Kota Kendari dilakukan penempelan pamplet berita proklamai yang dlakukan oleh para pemuda, diantaranya Mahaseng, di Bupinang pengibaran merah putih dilakukan akhir November 1945, di Muna para pemuda militan dipimpin oleh Idrus Efendi melakukan penguabaran bendera merah putih di luar Kota Raha.
Para pemuda pejuang melakukan takntik perang gerilya untuk menghadapi Belanda NICA. Puncak perlawanan terhadap NICA di Sultra terjadi pada tanggal 19 November 1945 ketika para pemuda pejuang di Kolaka yang mendapat dukungan penuh dari pemimpim pemerintahan Andi Kasim melakukan penyerangan terhadap ekspedisi NICA di luar Kota Kolaka.
Tokoh tokoh masyarakat dan pemuda di Kolaka pada bulan Juni 1945 memlientuk Gerakan Kebangunan Rakyat (GKR) yang merupakan badan persiapan unntuk menyambut kemerdekaan yang dijanjikan. Namun janji ini tidak dapat.diwujudkan karena Jepang telah menyerah 2 bulan kemudian yaitu tanggal 14-8-1945.
Susunan Pengurus GKR adalah sebagai berikut :
a).  Pelindung                : Kabasima Taico dan Hirai (orang Jepang)
b).  Penasehat                 : Andi Kasim
c). Pengurus Harian      :
1). Pimpinan Umum      : M. Jufri
2) Sekretaris                  : Ch. Pingak
Anggota                        : M. Arsyad, M. Agus, Halide, M. Jasir, Abd. Rasyid, Sidik Bakri, Dg. Massuro, Dg. Paraga
d). Bagian bagian.
I ) Supply                                : Fujiah (Jepang)
2) Penerangan/Propaganda     : Tahrir
3) Hiburan                               : H. Abd- Wahid.
4) Pertahanan GKR               
            Komandan      M. Jufri
            Ajudan I          Abu Baeda
            Ajudan 11       Syamsuddin Opa
            Sekretaris        Sidik Bakri
5). Pasukan GKR
            Pasukan I        Andi Punna
            Pasukanll         Tahrir
            Pasukan III     M. Ali Kamri
            Pasukan IV     H. Abd. Wahid R.
Tokoh GKR adalah masyarakat/pemuda Kolaka yang merupakan kader dari Gerakan perjuanga sebelum perang yaitu tokoh PSII, Muhammadiyah dan PNI di Kolaka yang telah dibubarkan oleh Jepang. PSII dan Muhammadiyah memang mempunyai kader-kader yang militan di Kolak terutama Kolaka Utara (Lasusua).
PETA yang bergerak di bawah tanah setelah Kemerdekaan di Kolaka pada awal September 1945 berhasil merebut beberapa pucuk senjata dari Jepang. Semenjak terbentuknya API pemuda di bawah pimpinan Tahrir dan M. Ali Kamry berhasil mendapat beberapa pucuk karabijn 95, atau senjata yang dibuang Jepang di pelabuhan Pomalaa. Penyelaman senjata ini tidak mendapat rintangan Jepang. Pengibaran sang Merah Putih di Kolaka dan pemyataan sebagai bagian dari Rl dihadiri oleh Kabasima Taico. Demikian pula pengibaran bendera, di Wawotobi yang dlihadiri pula oleh seorang Jepang yaitu Ninomiya Heizo sedangkan rapat pemuda Ke rumah A. Baso juga dihadiri oleh sersan (Heizo) Sibata.
Namun demikian dilihat dari bentuk organisasi. GKR merupakan suatu organisasi massa yang sifatnya menghimpun rakyat dan aspirasi masyarakat. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, PETA dibentuk di Kolaka pada akhir Agustus 1945. Organisasi ini bergerak di bawah tanah dengan maksud menghimpun pemuda militan dengan tekad penuh membela Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dari PETA kemudian bulan September 1945 muncullah API yaitu Angkatan Pemuda Indonesia yang merupakan organisasi massa Pemuda pendukung Proklamasi Kemerdekaan RI. Organisasi Pemuda di Kolaka ini pada tanggal 17 September 1945 berhasil meyakinkan pemerintah setempat sehingga Kolaka dinyatakan sebagai wilayah atau bagian dari RI.
Sebulan kemudian API menjelma menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI) pada tanggal 17 Oktober 1945, yang lebih menonjolkan tekad para pemuda di Kolaka, untuk mendukung RI dan mempertahankan Kolaka sebagai bagian dari RI. Berbeda dengan API dalam organisasi PRI walau pun sifatnya sebagai organisasi massa, diadakan Bagian Keamanan/Pertahanan yang di bawahi oleh H. Abd. Wahid Rahim, Kepolisian oleh Usman Effendi, persenjataan oleh Lappase dan penggalangan potensi oleh M. Jufri. Keadaan ini menggambarkan bahwa kemerdekaan itu memerlukan pertahanan dan perjuangan bersenjata.
Kemudian PRI di Kolaka secara resmi membentuk bagian Kelasykaran yang diberi nama PKR (Pembela Keamanan Rakyat) yang dipimpin oleh M. Josef seorang bekas KNIL yang saat itu dipekerjakan oleh Jepang di Pomalaa bersama-sama dengan Sarilawang, M. Billibao dan J.M. Ohijver. Dalam PKR tergabung bekas KNIL, Heiho dan para Pemuda dari kampung kampung (Seinendan). Mereka diberi latihan kemiliteran di desa Silea. PRI Kolaka yang menjalin kerja sama erat dengan PRI Luwu di Palopo  berusaha melebarkan wilayah pengaruh perjuangannya ke luar Kolaka.
Pemuda Wawotobi ingin menggabungkan diri ke dalam PRI Kolaka dan kemudian datang pula utusan PRI Kolaka ke Wawotobi yaitu Yusuf, M. Jufri dan A. Majid. Sebagai hasil kunjungan tersebut Wawotobi dibentuk “Sinar Pemuda Konawe” yang dipimpin oleh J Muhsin. Sinar Pemuda Konawe tidak dapat mewujudkan organisasi kelasykaran karena tidak lama kemudian Australia/NICA memasuki Wawotobi. Di Kendari Selatan (Andoolo) terbentuk Pemuda Rakyat yang dipimpin oleh M. Ali Silondae. Pemuda Rakyat di Andoolo ini kemudian menjelma menjadi organisasi kelasykaran PKR dan bergabung dengan PKR Kolaka dengan pimpinannya M."Ali Silondae PKR Andolo  merupakan batalion dari brigade PKR Kolaka dan mempunyai kompi yaitu : (1) Andoolo, (2) Palangga, (3) Laea, dan (4) Kolono.
Pembentukan PKR sebagai badan kelasykaran dimatangkan oleh kenyataan Belanda ingin kembali menguasai Sulawesi Tenggara. Tidak ada pilihan lain dari pemuda Sulawesi Tenggara kecuali mengadakan perlawanan bersenjata. Pusat dari pada perlawanan bersenjata adalah Kolaka. PKR Kolaka yang dibentuk dalam tingkat brigade  memperluas diri dengan penggabungan para pemuda dari Andolo dan hulu Sungai Konaweha, di Tawanga dan Tongauna terhadap kompi PKR.
PKR mengorganisir pemuda dan seluruh rakyat sampai ke desa-desa, sehingga PKR sebagai badan kelasykaran resmi, dikenal pula di desa-desa dengan adanya pasukan parang, pasukan tombak dan pasukan panah yang berafiliasi dengan PKR. Pada dasamya perjuangan mempertahankan kemerdekaan adalah perjuangan rakyat semesta.
Di Muna terbentuk "Barisan 20" pada 16 Oktober 1945 yang berorientasi pada perjuangan bersenta. Komandan "Barisan 20" adalah M. ldrus Efendi, dengan wakil komandan Taeda Akhmad. Disamping "Barisan 20" di Raha (Muna) dibentuk pula organisasi pemberontakan Republik Indonesia yang, dipimpin oleh Taeda Akhmad. Oganisasi ini kemudian lebih dikenal oleh Belanda sebagai organisasi pemuda RI.
"Barisan 20" menyadari bahwa perjuangan tidak akan berhasil tanpa kordinasi dengan organisasi perjuangan di sekitamya. Untuk keperluan itu, maka La Karaila diutus ke Kolaka untuk menjalin bungan dengan PRI Kolaka khususnya dengan PKR. Hubungan ini dimaksudkan untuk mengkoordinasikan langkah-langkah dan taktik perjuangan. Namun usaha ini gagal karena La Karaila tertangkap musuh.
Usaha Barisan 20 untuk berhubungan dengan para pejuang di Sulawesi Selatan gagal karena penghubungnya Kamaluddin juga tertembak oleh NICA. Kemudian M. Idrus Effendi bersama La Ditu berangkat ke Makassar untuk mencari senjata. Keduanya dapat kembali menumpang perahu “Sinar Bangkala” dengan membawa 5 pucuk Karaben dan 10 granat tangan pada tanggal 15 Nopember 1945. M. ldrus Effendi dan La Ditu, kemudian juga ditangkap oleh Belanda.
Barisan 20 yang diorganisir sebagai organisasi ketentaraan mengadakan hubungan. pula dengan Angkatan Laut RI di Jawa Timur dan memperoleh mandat dari Kol. Hamzah Tuppu untuk membentuk kelasykaran Batalyon Sadar di daerah Sulawesi Tenggara (Muna). Penyerahan mandat ini disaksikan oleh Sersan Mayor A. Hamid Langkosono putra Muna yang pada mulanya mengambil inisiatif untuk menghubungkan Barisan 20 di Muna dengan ALRI (Kol. Hamzah Tuppu) di Lawang (Jawa Timur).
Sejak itu maka Barisan 20 merupakan organisasi ketentaraan dengan kesatuan Batalyon bernama, Expedisi Batalyon Sadar. Wilayah Muna dibagi atas wilayah Kompi dan anggotanya memakai pangkat ketentaraan. La Ode Taeda Akhmad sebagai Wakil Komandan Batalyon memakai pangkat Letnan Satu, La Ditu sebagai wakil Komandan Kompi diberi pangkat, Letnan Dua. Di Pulau Muna dibentuk 3 kompi di samping satu kompi staf, sedang di Buton Utara terdapat 2 kompi.

D. Nilai Persatuan dan Kesatuan Bangsa (Berwawasan Nusantara)
Pada Masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara, dikenal dengan konsep kalo sebagai suatu konsep pedoman hidup yang banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat.  Kalo pada tingkat nilai budaya merupakan sistem norma adat yang berfungsi mewujudkan ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat.   Kalo pada tingkat aturan khusus mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat.  Dalam konsep kalo yang mengatur aktivitas tersebut dikenal meraou, yaitu aturan khusus yang mengatur setiap individu dalam berbahasa yang menunjukan sopan santun (bertata krama) serta Atora, yakni aturan yang mengatur khusus dalam komunikasi sosial.
 Terdapat ungkapan dalam masyarakat Tolaki yang dapat memberi sugesti kepada anggota  masyarakat untuk bertingkah laku dengan  baik.  Ungkapan tersebut sangat terkenal dalam lingkungan masyarakat Tolaki, yakni: Inae kosara iee nggopinesara, Inae lia sara iee nggopinekasara. Artinya: Siapa yang tahu adat, ia yang akan dihargai dan dihormati dan sebaliknya siapa yang melanggar adat akan dikasari (dihukum).  Ungkapan ini mempunyai makna yang sangat dalam bagi kehidupan masyarakat.  Tiap orang diharapkan untuk hidup dan bertingkah laku sesuai dengan norma adat istiadat yang hidup dalam masyarakat.  Seseorang akan mendapat penilaian yang baik dari masyarakat, apabila sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan norma-norma yang berlaku.  Sebaliknya seseorang akan mendapat penilaian yang negatif atau kurang baik, bila yang bersangkutan sering melakukan perbuatan tercelah yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Tokoh Haluoleo semasa hidupnya yang sarat pengabdian (sebagai panglima perang dan penasehat Raja di Konawe, Mekongga dan Moronene, sebagai Raja di Muna dan Sultan di Buton). Memiliki semangat ingin mempersatukan semua etnis suku bangsa yang ada di daratan Sulawesi Tenggara. Bukti sejarah seperti sudah diuraikan sebagai juru damai menyelesaikan perselisihan, menghancurkan bajak laut dari Tobelo, yang sering mengganggu stabilitas keamanan teritorial kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tenggara (Mazi, 2004).
Disamping itu, kerajaan-kerajan tersebut menjalin kerjasama dengan kerajaan-keraajaan dari luar Sulawesi Tenggara yaitu dengan Ternate, Bone, Luwu, Gowa. Hal ini merupakan indikator bahwa Haluoleo dan pemimpin di kerajaan-kerajaan Sultra adalah pemimpin yang menjalankan politik ingin hidup bertetangga secara damai dalam prinsip saling hormat menghormati, serta menjalin persatuan dan kesatuan di kalangan raja-raja dan rakyatnya. Haluan politik tersebut mengandung nilai semangat persatuan dan berwawasan luas yaitu berwawasan Nusantara. Hal ini tidak terlepas dengan keyakinan yang dianut dalam falsafah hidup yang terkenal dalam masyarakat Tolaki, Muna dan Buton yaitu :
Bagi masyarakat Tolaki berbunyi:
Mohopulai Wonua (mempersatukan negeri) Mombulesako toono nggapa (menjadi satu kerukunan masyarakat) Mosiwi siwi toono mohaE (keluarga menjadi satu kesatuan) (Tarimana, 1989).

Pada masyarakat Muna falsafah itu berbunyi:
a.      Nohansuru-nohansuruno badha, sumano kenohansuru liwu (biar hancur badan asal jangan hancur negeri)
b.      Nohansuru-nohansuruno liwu, sumano keno hansuru adhati (biar hancur negeri asal jangan hancur adat).
c.       Nohansuru-nohansuruno adhati, sumano keno hansuru sara (biar hancur adat asal jangan hancur sara/hukum)
d.      Nohansuru-nohansuruno sara, sumano keno hansuru agama (biar hancur sara/hukum asal jangan hancur agama)  (Batoa, 1991; Tamburaka, 1995).

Pada masyarakat Buton berbunyi :
Yinda-moyindamo araata Sumano Karo, yinda-moyindamo karo Sumano Lipu (kepentingan diri di atas kepentingan diri); yinda-moyinda Lipu Sumana Sara Somana Agama (penegakan hokum di atas kepentingan umum, dan kepentingan agama di atas kepentingan umum, kepentingan agama di atas kepentingan tanah air) (Anonim, 1982).
Dalam kehidupan bermasayarakat di lingkungan suku Buton dikembangkan satu landasan falsafah hidup “Pobinci binciki kuli”, maksudnya saling cubit mencubit kulit”, sakit pada dirinya tentu sakit pula pada orang lain.  Falsafah ini dijabarkan dalam 4 azas:
a. Pomaa masiaka = saling kasih mengkasihi
b. Poangka angkataaka = saling hormat menghormati
c. Pomae maeaaka = saling menegur dalam pebuatan yang tercela
e. Popiara piara = saling memelihara.
Salah satu falsafah hidup warga suku Buton yang dicetuskan dalam bentuk ikrar, yaitu: Poromu yinda saangu, pogaa yinda koolota (Poromu= bersatu, Yinda = tidak, Saangu = satu, bersatu, Pogaa = bercerai), maksudnya bersatu tidak satu, bercerai tidak berantara.  Bersatu dalam kehidupan bernegara (kerajaan), berkomunikasi sebagaimana bersatunya bumi (Buton) dengan manusia penghuninya. Dalam mengatur strategi pertahanan dan keamanan negara dan wilayah di masing-masing wilayah masih saja terpateri nilai-nilai historis yang bersumber dari peninggalan sejarah kerajaan-kerajaan lokal yang ada di wilayahnya. Di Kerajaan Konawe dikenal dengan strategi pertahanan keamanan berlapis yang disebut Siwole Mbatohuu= empat pusat wilayah pertahanan (dapat dibandingkan dengan posisi Kodam sekarang), selanjutnya ada struktur pitu dula batu= tujuh wilayah pemerintahan (dapat dibandingkan wilayah propinsi sekarang) (Anonim, 1982). Di Kerajaan Muna juga dikenal istilah yang sejenis seperti Kapitalau Mata Gholeo dan Kapitalau Kanssopa (Panglima Angkatan Laut Timur dan Barat), terdapat pemerintahan barata yang terdiri atas 3 wilayah dan memiliki tugas sebagai pemerintahan wilayah sekaligus sebagai penanggung jawab pertahanan/keamanan wilayah. Di Buton, selain terdapat Kapilao Matanyo dan Kapitalao Sukanayo (Panglima Angkatan Laut Timur dan Barat) juga terdapat pemerintahan barata,  yang terdiri atas 4 wilayah. Ketiga kerajaan tersebut menganut sistem pertahanan berlapis yang disesuaikan dengan kondisi wilayah masing-masing.
Nilai-nilai historis seperti tersebut, masih saja terpateri dalam sanubari individu-individu masyarakat Sulawesi Tenggara, sehingga menempatkan dirinya sebagai salah seorang agen pertahanan keamanan daerahnya. Dengan demikian secara tidak langsung melaksankan tugas pengamanan terirotial wilayah Sulawesi Tenggara dan Indonesia umumnya, ini dimungkinkan karena dinamika masyarakat Sulawesi Tenggara yang begitu tinggi, diantaranya profesi sebagai pelayar niaga, memegang posisi penting dalam mengamankan perairan di mana dia berada. Kondisi inilah yang sangat menunjang stabilitas dan keamanan tertitorial Sulawesi Tenggara khususnya dan Indonesia umumnya. Tradisi lokal seperti ini sangat diharapkan ditumbuhkembangkan dalam era sekarang ini untuk membantu tigas aparat pertahanan dan kemanan, sekaligus menunjang pembangunan daerah yang salah satu bagiannya adalah pembangunan pertahanan dan keamanan wilayah, khususnya dalam mewujudkan cita-cita masyarakat sejahtera di era Sultra Raya 2020.  Falsafah orang Tolaki, Muna dan Buton seperti disebutkan di atas telah tumbuh dan berkembang sejak masa kerajaan-kerajaan tradisional. falsafah hidup tersebut mengandung nilai persatuan dan berwawasan Nusantara.                

E. Nilai Kegotong-royongan (Solidaritas/Kesetiakawanan Sosial)
Semua kelompok masyarakat dan etnis yang ada memiliki spirit untuk maju dengan semangat kegotong-royongan, meskipun dalam ungkapan bahasa yang berbeda.  Menurut Sanusi Pane dalam Mattulada (1995) bahwa kebudayaan Indonesia harus mementingkan kerohanian, perasaan, kegotong-royongan, dan manusia Indonesia tidak boleh melupakan sejarah kebudayaannya, sebab dengan mempelajari kebudayaannya di masa lalu, ia dapat membangun kebudayaan yang baru. Semangat kegotong-royongan atau solidaritas antar sesama dapat dijumpai dalam hapir setiap aktivitas masyarakat. Ungkapan ringan sama dijinjing; berat sama dipikul, nampaknya masih tetap saja menjadi pegangan hidup masyarakat dalam aktivitas keseharian mereka, khususnya dalam kaitan salaing membantu sesama. Demikian pula tingginya semangat kekerabatan antar etnis, yang pada kenyataannya memiliki pertalian baik melalui hubungan darah maupun perkawinan, sehingga makin menyuburkan nilai solidaritas antar etnik yang ada. Baik yang disebut sebagai etnik setempat (Tolaki, Moronene, Muna, dan Buton) maupun etnik yang disebut pendatang seperti Bugis/Makassar, Jawa, Bali dan Sasak, pada kenyataannya telah terjali hubungan kekerabatan. Akhirnya, nilai kegotong-royongan atau solidaritas antar etnik telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kondisi ini sangat menunjang program pemerintah dalam menanggulangi kerawanan sosial, lebih khusus lagi dalam aspek benturan antar etnis atau antar budaya. Pada kelompok etnik yang ada di Sultra telah dikembangkan budaya gotong-royong. Di masyarakat Tolaki dikembangkan budaya medulu, samaturu, dan mepokoaso, di masyarakat Muna dikenal dengan budaya pokadulu, dan di Buton seperti disebutkan dalam filsafat Binci-binciki kuli.
Pada kenyataannya, di masyarakat Sulawesi Tenggara telah melekat pribadi khas yang menunjukkan unjuk kerja siap berjuang demi tegaknya harkat dan martabat manusia myang sekaligus mencerminkan nilai kepahlawanan, kejuangan dan kesetiakawanan sosial.  Pribadi seperti itu terwujud dalam bentuk: (1) Mempunyai itikad baik, (2) menjunjung tinggi nilai intelektualitas, (3) menempatkan nilai kejujuran sebagai hal mutlak sebagai pendamping nilai keintelektualan, (4) mempunyai keberanian moral untuk menjalankan kebenaran, (5) teguh dalam pendirian, (6) konsekuen dalam bertindak, (7) tangguh dalam menjalani persaingan hidup, (8) menjunjung tinggi nilai usaha, (9) bertindak patut atau wajar, (10) cermat dan berhati-hati dalam bertindak, (11) merdeka atau otonom, (12) solider, (13) bertawakkal.
Warisan nilai budaya yang ada pada kelompok-kelompok masyarakat di Sultra tersebut, sangat relevan untuk diimplementasikan dalam dimensi petahanan keaman khususnya dalam memelihara keutuhan dan kemanan teritorial Sulawesi Tenggara khususnya dan Indonesia umumnya.

F. Penutup
Rangkaian perjuangan merebut dan mempertahankan kemedekaan telah menelan banyak korban baik harta maupun jiwa. Para pejuang berani mengorbankan harta dan jiwanya demi mencapai cita-cita kemederkaan abadi, bukan semata-mata untuk kepentingannya, tetapi untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan untuk waktu yang tidak terhingga.  Mereka rela berkorban karena ada jiwa, semangat, nilai kejuangan dan pengabdian untuk kejayaan bangsa dan negara di masa depan. Tugas generasi sekarang adalah mewarisi, melanjutkan, dan mengebangkan perjuangannya dengan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengembangkan nilai-nilai moral bangsa yang penuh kejujuran dan semangat ingin maju dalam rangka memajukan bangsa dan negara tercita.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Akibat Teknologi/Globalisasi Informasi Terjadi Pergeseran Tata Nilai. http://nahskaw.wordpress. om/2011/03/16/akibat-teknologi-globalisasi-informasi-terjadi-pergeseran-tata-nilai/. Akses, 6 Oktober 2012.

Bhurhanuddin, B., dkk. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Bhurhanuddin, B., dkk. 1979. Sejarah Masa Revolusi Fisik Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Brotosoehendro, S., dkk. 1988. Pedoman Umum Pelestarian Jiwa, Semangat, dan Nilai-nilai 45. Jakarta: Dewan Harian Nasional Angkatan-45.
Hafid, Anwar. 2012. Nilai-Nilai Kepahlawanan, Keperintisan, Dan Kesetiakawanan Sosial Generasi Muda di Sulawesi Tenggara. Makalah Disajikan dalam Bimbingan Pelestarian Nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial (K2KS) Dinas Sosial Propinsi Sulawesi Tenggara,Tanggal 17 Oktober 2012.
Jaja, Muhammad. 2012.  Upaya Penanaman Nilai-nilai Kepahlawanan. http://www.disjarah-ad.org/news-a-event/upaya-penanaman-nilai-nilai-kepahlawanan.html. Akses, 15 Oktober 2012.
Kansil, C.S.T dan Julianto. 1986. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indoensia. Jakarta: Erlangga.
Mahmud, Amir. 1985. Surat Perintah 11 Maret 1966 Tonggak Sejarah Perjuangan Orde Baru. Jakarta: MPR.
Mazi, Ali. 2004. Peran Nilai-nilai Budaya Lokal dalam Plakasanaan Pembinaa Teritorial di Sulawesi Tenggara. Kendari.
Pringgodigdo, A.K. 1984. Sejarah Pergerakan Rakyat Indoensia. Jakarta: Dian Rakyat.
Sagimun, M.D. dkk. 1986. Perlawanan dan Pengasingan Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press.
Sukamo. 1983. Indonesia Menggugat. Jakarta: Inti Idayu Press.
Tamburakan, R., dkk. 1999. Sejarah Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekretarait Daerah Propinsi Sultra.
Toynbee, A. (1963). A Study of History. Vol.1. London: Oxpord University.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar