SEJARAH
PERJUANGAN RAKYAT SULAWESI TENGGARA
Oleh: Dr. Anwar Hafid, M.Pd.
FKIP Universitas Haluoleo
A. PENDAHULUAN
Mempelajari rangkaian sejarah perjuangan bangsa Indonesia
merupakan suatu kaharusan bagi generasi sekarang untuk memilih dan menganalisis
peristiwa-peristiwa sekarang dalam upaya menentukan arah yang akan dituju pada
masa yang akan datang. Sejalan dengan itu Toynbee menyatakan bahwa mempelajari
sejarah adalah untuk membuat sejarah (to
study history is to build history).
Berdasaran pemikiran tersebut, maka mempelajari sejarah
perjuangan bangsa sendiri sangat besar manfaatnya bagi kita semua untuk
kehidupan kita dalam menata bangsa sekarang dan merencanakan pengembangan
bangsa masa depan. Untuk mengantar kita
dalam pemahaman komprehensif tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia, maka
akan diperikan periodisasi perjuangan tersebut.
Kedatangan Bangsa Portugis dan Spanyol, berdasarkan peninggalan yang ada di berbagai
tempat di Buton dan sekitamya seperti jangkar besar yang terbuat dari besi,
meriam dari berbagai jenis dan ukuran serta sumber-sumber lainnya, maka
kedatangan bangsa Spanyol dan Portugis dipulau ini, adalah sekitar awal abad
ke-16. Kedatangan bangsa tersebut di
Buton, selain untuk menjajah, juga untuk berdagang rempah-rempah. Produksi rempah-rempah di Buton seperti
cengkih dan pala pada abad tersebut, merupakan saingan berat bagi produksi
rempah-rempah di Maluku. Rempah-rempah tersebut, tumbuh khususnya di Kepulauan
Tukang Besi. Menurut sumber lisan di
Buton, bahwa bibit rempah-rempah yang ditanam itu adalah dibawa oleh
pelaut-pelaut Buton dari Sansibar. Armada dagang Portugis dengan beberapa buah
kapalnya, telah pula singgah di pulau ini.
Maksud kunjungannya di Buton, adalah untuk mengadakan hubungan dagang
dengan Pemerintah Kerajaan Wolio. Tempat
pertemuan itu dilaksanakan di Limbo Gama dalam Kota Wolio (Benteng Keraton
Buton). Itulah sebabnya nama Vasco de
Gama (perintis ekspedisi Portugis ke Asia/Afrika) diabadikan sebagai nama Limbo
tempat pertemuan itu yaitu Limbo Gama. Sejak kedatangan bangsa
Portugis dan Spanyol, Buton berperan sebagai daerah persinggahan dari jalur
pelayaran Betawi, Makassar, Buton, Temate dan Ambon. Adanya peninggalan-peninggalan pada berbagai
tempat di pulau ini seperti jangkar besar yang terbuat dari besi terletak di
Kraton Buton, di pantai Desa Kumbewaha di Kecamatan Lasalimu dan tempat-tempat
lainnya. Daya tarik itu antara lain karena letaknya yang sangat strategis di
jalur perdagangan, memiliki pelabuhan alam yang indah dan aman, juga sebagai
penghasil rempah-rempah dan hasil laut yang cukup berarti.
Kedatangan Bangsa Belanda di Buton pada awal abad ke-17,
sejalan dengan kedatangan Belanda di Nusantara sejak tahun 1596. Munurut
tradisi lisan di Buton bahwa kedatangan bangsa Belanda diawali dengan suatu insiden,
karena sikap Belanda yang sombong dan merendahkan martabat orang Buton,
sehingga ketika berlabuh dua buah kapal di Tampuna Koro (Buton Utara) diserbu
oleh lasykar Buton. Sebuah kapal
ditenggelamkan dan yang sebuah lagi seluruh persenjataan dan perbekalannya
dirampas, kemudian disuruh berangkat. Sementara itu Sultan Buton bersama
lasykamya berada di Kolensusu (Buton Utara), 3 buah kapal Belanda mengadakan
penyerbuan di Gunu Capio wilayah Kota
Bau-Bau sekarang. Sikap sombong Belanda
itu berlangsung terus hingga masa VOC dan Hindia Belanda. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Sultan Buton
untuk keselamatan dan kelangsungan hidup masyarakat dan Kesultanan Buton, baik
secara diplomasi maupun dengan kekuatan fisik.
B. PERIODISASI
PERJUANGAN RAKYAT/SULAWESI TENGGARA
1. Masa Kejayaan
Nasional
Perjuangan rakyat Indonesia telah dimulai sejak berdirinya
kerajaan nasional di Nusantara seperti Sriwijaya pada abad 7-14 masehi, kedua
kerjaan ini berhasil mempersatukan bangsa Indonesia setelah melalui perjuangan
dalam bentuk memupuk persatuan diantara kerjaan-kerajaan kecil, dan menghalau
ekspedisi bangsa-bangsa asing seperti Kerajaan Campa dari Indoechina, dan
ekspedisi Kubilaikan ke kawasan Nusantara ini. Kebesaran kerjaan Sriwijaya
diakui oleh Van Leur sebagai negara yang menguasai pulau-pulau di sekitamya.
Demikian pula Kerajaan Majapahit pada abad 13-15 menurut Van Soet pada masa itu
bangsa Indonesia merupakan pedagang-pedagang yang giat dan penuh keuletan,serta
bejiwa pahlawan, rajin dan berani (Kansil, 1986). Ketatanegaraan Majapahit
disusun dengan rapi, pemerintahan pusat berbentuk lima badang yang disebut Pancaning Wilwatika (Lima
Kemahamenterian). Sistem ketatanegaraan seperti itu juga dapat dijumpai di
Kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Tenggara seperti Kerajaan Konawe yang
mengenal istilah Siwole Mbatohu (empat pintu gerbang) dan Pitu Dula Batu (tujuh
pilar negara). Di Kesultanan Buton dikenal Empat
Barata yang merupakan pilar wilayah Kesultanan Buton sekaligus merupakan
pejabat tinggi Kesultanan dan berkuasa di wilayahnya masing-masing
(Bhurhanuddin, 1978).
Lakilaponto adalah tokoh yang pertama mempersatukan
Suawesi Tenggara secara politis. Pada periode ini terdapat empat kerjaan besar
di Sulawesi Tenggara yaitu: Mekongga, Konawe, Wuna, dan Wolio/Buton. Haluoleo
pemah menjadi panglima di Konawe, menjadi Raja Muna VII, kemudian menjadi Raja
Wolio V dan Sultan Buton I. Nama aslinya Lakilaponto diberikan oleh orang Muna,
di Konawe diberi gelar Haluoleo (selama 9 hari ia dapat mempersatukan Sultra),
di Buton diberi gelar Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis (Raja Kelima) kemudian
diberi gelar anumerta Murhum. Semasih menjadi Raja Muna selanjutnya dinobatkan
menjadi Raja Wolio V, maka kekuasaannya di Muna diserahkan kepada adiknya
Laposasu.
2. Penindasan Kolonial
Kolonialisme adalah rangkaian nafsu suatu bangsa untuk
menaklukkan bangsa lain di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan
dengan jalan: (1) dominasi politik, (2) eksploitasi ekonomi, dan (3) penetrasi
kebudayaan. Sedangkan usaha mempersatukan koloni-koloni menjadi suatu sistem
penguasaan/pemerintahan disebut imperialisme.
Selama ini tidak banyak terungkap perjuangan rakyat di
Sulawesi Tenggara, disebabkan karena dua faktor:
1.
Kaum penjajah Belanda tidak lama menanamkan pengaruhnya
di Sulawesi Tenggara kecuali di Buton.
2.
Belum banyak ditulis para sejarawan khususnya dalam
bentuk buku untuk pembelajaran di sekolah.
Meskipun demikian jika kita kembali mengkaji jejak sejarah
masyarakat di daerah ini tidak sedikit fakta akan perjuangan mereka baik
terhadap upaya mempersatukan kerjaan-kerajaan kecil di Jazirah Sulawesi
Tenggara seperti yang dilakukan oleh Haluoleo (Murhum/Lakilaponto/Sultan
Qaimuddin) khususnya dalam mengusir bajak-bajak laut Tobelo. Demikian pula
fakta ditemukannya beberapa jangkar dan meriam peninggalan Portugis/Spanyol di
pantai Utara Buton di Soropia Kendari akan memberi inspirasi kepada kita bahwa
pemiliknya kalau tidak karang kapalnya berarti mereka mendapat perlawanan
rakyat setempat.
Wa Ode Wakelu: Permaisuri Raja Muna
XII La Ode Ngkadiri yang menggantikan suaminya ketika ditangkap oleh Belanda
dan diasingkan ke Temate. Pada saat yang sama terjadi kemelut antara Muna
dengan Belanda, dimana Muna tidak pemah mau mengakui kekausaan Belanda atas
wilayahnya dan selalu ingkar membayar pajak upeti kepada Balanda melalui Buton,
akhimya Belanda berusaha menyerang Muna dan rakyat Muna bangkit menghadapi
tantangan Belanda, Wa Ode Wakelu sebagai Ratu juga tampil sebagai panglima yang
terjung langsung di medan perang. Muna dalam hal ini bersekutu dengan Tiworo
ketegangan terjadi antara tahun 1667-1668 yang berakhir setelah pasukan Muna di
bawah pimpinan Wa Ode Wakelu dapat
dikalahkan. Tetapi bagaimanapun kehadiran Srikandi ini dipanggung politik dan
pertempuran makin menambah catatan sejarah keperkasaan atas emansipasi wanita
Sulawesi Tenggara dan Indonesia umumnya.
La Ode Ngkadiri: Raja Muna XII
bergelar Sangia Kaindea
(1626-1667) beliau dua kali memangku jabatan Raja Muna, periode pertama
seperti tersebut dan periode kedua sesudah kembali dari pengasingan di Temate
pada tahun 1670. Ia diasingkan oleh Belanda antara tahun 1667-1670 karena
sikapnya yang menentang campur tangan Belanda atas Kerajaan Buton dan Muna dia
tidak mau bekerja sama dengan Belanda yang pada saat itu berusaha menanamkan
monopli politiknya atas Buton dan Muna. Untuk menghadapi ancaman Belanda, maka
Raja Muna bersama Dewan Kerajaan mengdakan rapat di Lambu Balano pada tahun
1628, yang memutuskan: (1) Belanda dinyatakan tidak boleh masuk di Tanah Muna,
(2) Muna tidak bersedia menjalin persahabatan dengan Buton selama Buton masih
bekerja sama dengan Belanda, (3) Muna memberi bantuan secara terang-terangan
kepada pasukan Sultan Hasanuddin yang sementara berlindung di Tiworo. Usaha
Belanda mendekati Raja La Ode Ngkadiri melalui kawin politik dengan bangsawan
Buton yang menjadi sekutu Belanda tidak berhasil karena tercium oleh Raja Muna,
sehingga ia menolak dan akhimya Belanda berusaha menangkapnya karena dianggap
berbahaya atas eksistensi kepentingan Belanda di kawasan Jazirah Sulawesi Tenggara.
Ia diasingkan ke Temate, dan Dewan Kerajaan Muna mengangkat istrinya bemama Wa
Ode Wakelu, dialah yang memimpin perlawanan terhadap Belanda antara tahun
1667-1668, akhimya Muna dan Tiworo berhasil dikalahkan. Maka kekuasaan Wa Ode
Wakelu dianulir Belanda dengan mengirim utusan dari Buton bemama La Ode Muh.
Idris untuk mengisi kekosongan pemerintahan di Kerajaan Muna.
Sultan Buton Muhamad Umar
(1885-1904) menentang kehadiran Belanda di Buton, beberapa pembesar Kesultanan
Buton menentang Belanda kemudian ditangkap tahun 1906, seperti: Ani Abd. Latif
(Kenepulu), Muh. Zukri (Lakina Sorawolio), Abd. Hasan (Bonto Ogena Matanyo), La
Sahidu (Bonto Ogena Sukanayo) mereka dibuang ke Makassar.
Lapadi: seorang Tamalaki (Panglima)
dan Plonui dari Kerajaan Konawe yang berjuang menentang Belanda (1908-1912) di
daerah Windo Pamandati wilayah Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe Selatan
sekarang ini. Lapadi dibantu oleh putrinya bemama Aliyina. Dalam perjuangan
mereka membuat benteng pertanahan dengan menjejer batu sepanjang 15 meter.
Dalam ekspedisi Belanda pada tahun 1908, Lapadi bersama pengikutnya menghadang
ekspedisi Belanda yang menyebabkan beberapa pasukan Belanda tewas, serangan
Belanda diikuti dengan kegiatan mata-mata yang dilakukan oleh salah seorang
juru bahasa Belanda bemama La Ende, menyebabkan Lapadi tertipu dan dikepung
musuh pada bulan Desember 1910 berhasil tertangkap oleh pasukan Belanda dan
ditawan di Kendari, berkat semangat juangnya yang gigih akhimya ia berhasil
meloloskan diri dari penjara dan melanjutkan perjuangan, pada tahun 1911
pertanahan Lapadi kembali berhasil diterobos pasukan Belanda, segenap
pengikutnya tewas termasuk putrinya Srikandi Aliyina, Lapadi sendiri melakukan
petualangan di hutan-hutan pegunungan di daerah Konawe sampai akhimya pada
tahun 1914, setelah mendirita sakit meninggal dunia.
Mataalagi memimpin perlawanan pada
tahun 1915 kepada seorang Kepala Distrik Pasar Wajo (Buton) yang diangkat oleh
Belanda pada tahun 1914 yang harus melaksanakan kebijakan Belanda. Dalam proses
pengangkatannya segenap orang Laporo tidak mendukung pengangkatan La Ode
Sambira. Mataalagi memimpin gerakan rakyat menetang pemerintahan La Ode Sambira
dan berhasil membunuhnya. Mataalagi dan pengikutnya kemudian disusul segenap
orang Laporo ditangkap dan diasingkan ke Bau-bau. Mataalagi, Maandia, Maadulu
sebagai pemimpin perjuangan akhimya dibuang ke Makassar untuk diadili dan
selanjutnya di asingkan ke Nusakambangan.
3. Pergerakan Nasional
Istilah pergerakan mengadung arti yang khas, berlainan
dengan pengertian perjuangan. Pergerakan merupakan bagian dari perjuangan,
yaitu perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dengan menggunakan organisasi yang
teratur. Istilah nasional adalah pergerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan
bangsa.
Di daerah Kendari/bekas Kerajaan Konawe eksepedisi Belanda
mendapat perlawanan diantaranya: Perlawanan Watukila (Ponggawa Tongauna),
Sumuela (Sulewata Wawotobi), Wulumohito
(Puutobu Tuoi), Lapotende menghadang ekspedisi Kapten Helleks di Palarahi-Wawotobi,
perlawanan Lapadi, perjuangan srikandi Weribundu, Matasala berhasil membunuh
pionir Belanda (Han Po Seng), perjuangan Lamboasa yang gugur dalam pertempuran.
Pengasingan tokoh-tokoh pejuang: Watukila ke Makassar, Sumualo ke Makassar, dan
Matasala dkk ke Sawalunto (Bhurhanuddin, 1978). Perjuangan di Konawes Selatan
dipimpin oleh Lamangga (1911), Abdullah (1914-1915) yang berakibat pembuangan
mereka ke Payakumbuh dan Nusakambangan.
Di daerah Mekongga/Kolaka perlawanan dilakukan oleh H.
Hasan dan Tojabi di Lasusua dan Wawo, mereka berhasil menewaskan 14 orang
Belanda. Di Konawe Utara perlwanan dipimpin oleh To Indera, La Tollong, dan La
Kampacu. Mokole Poleang menentang kehadiran Belanda di wilayahnya dan diracun
oleh Belanda, digantikan oleh Mbohogo kedian ditangkap dan dibuang ke Nusakambangan.
Watukila: Panglima Perang Kerajaan
Konawe (1864-1934) yang dalam struktur pemerintahan Kerajaan Konawe bergelar Ponggawa
di Tongauna. Watukila berjuang menentang kehadiran belanda di wilayah
Konawe, menjelang kedatangan Belanda ia mengatur strategi dan taktik
perjuangan. Melihat situasi yang tegang, maka salah seorang juru bicara Belnda
bemama Haji Taata berusaha mempertemukan kedua belah pihak, akhimya tercapai
kesepakatan untuk berunding di Molawe pada tahun 1909 yang kemudian
terkenal dengan nama Traktat van Molawe.
Pihak Konawe yang hadir adalah Watukila, dan para bangsawan dari Abuki, Asaki,
Latoma, Pondidaha, Kasipute, Uepay, beserta segenap pengikutnya, dari pihak
Belanda hadir Gekkers selaku pemimpin dikawal satu kompi pasukan yang ada di atas
kapal, didampingi Raja Sao-sao dari Laiwoi, dan Haji Taata. Perjanjian ini
tidak pemah diketahui isinya oleh masyarakat Konawe, termasuk Watukila sendiri,
oleh sebab itu segera setelah kembali dari perundingan, ia mengatur strategi
perjuangan dengan menghimpun para pejuang seperti Lamboasa dan Langgolo untuk
memimpin perlawanan, markas pasukan ditempatkan di Sanuanggambo tempat
tinggal Watukila, sekaligus sebagai penempatan meriam, benteng pertahanan
lainnya ada di Puundombi dengan taktik menggali tanah untuk dijadikan benteng
pertempuran di tengah hutan lebat. Benteng pertahanan lainya terdapat di Abuki
dan Wawotobi. Sehari sebelum serangan Belanda ke markas Watukila salah seorang
mata-mata Belanda beranama Haam Poo Seng terbunuh
oleh pasukan Watukila di Puday. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Trevers
dapat mengejar pasukan Konawe dan berhasil menewaskan panglima Langgolo,
Watukila tidak kehabisan akal mengangkat Lamboasa menggantikan posisi Langgolo
dan memindahkan markas pertahanannya ke Tanea, dalam pertempuran selanjutnya
Lamboasapun gugur dalam pertempuran, dalam situasi makin terdesak Belanda
mengajak berunding, tetapi Watukila menolaknya, meskipun akhimya ia tertawan
oleh pasukan Belanda, dan selanjutnya di asingkan ke Makassar.
Lamangga: Seorang pejuang dalam
menentang imperialisme Belanda di daerah Palangga (1909-1911). Dia mengatur
strategi perjuangan dengan mempersiapkan senjata Taawu (parang panjang) dan tombak. Strategi perjuangan Lamangga
dapat tercium oleh salah seorang mata-mata Belanda bemama Polingay seorang
bangsawan Andoolo, akhimya Lamangga dapat terbunuh oleh kaki tangan Polingay
pada tahun 1911. Sebagai penghargaan Belanda terhadap jasa Polingay membunuh
Lamangga, maka selanjutnya diangkat menjadi Kepala Distrik Palangga.
La Ode Ijo: Kapitalau Lohia
(Panglima Perang Lohia) di Kerajaan Muna penentangan perjanjian kerja sama
dengan Belanda yang dilakukan oleh Raja Muna La Ode Maktubu. Pada tahun 1910
Belanda memerintahkan kepada La Ode Maktubu untuk menangkap La Ode Ijo hidup
atau mati. La Ode Ijo berusaha menggalang simpati rakyat melawan Belanda yang
bersekutu dengan La Ode Maktubu, dalam beberapa kesempatan mereka berhasil
menewaskan pasukan Belanda, meskipun pada akhimya La Ode Ijo sendiri dapat dikalahkan pada
tahun 1914.
4. Pergerakan Nasional
pada Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang di Sulawesi Tenggara tidak
sepi dengan perlawanan diantaranya tercatat: perlawanan di Wanci tahun 1943
dipimpin oleh La Ode Maniru dan Laode Abdulu yang menyerang Gunco
(Kepala Distrik) Wanci yang dikawal dua orang polisi Jepang yang menemui
ajalnya dan Gunco mengalami luka-luka. Sedangkan La Ode Maniru dan La Ode
Abdulu dihukum mati di depan mata pengikutnya di Wanci. Demikian pula
perjuangan Tojabi di Kolaka Utara berlanjut, namun karena usia lanjut sehingga
dapat ditangkap dan diasingkan ke Palopo.
5. Perjuangan
Pascakemerdekaan
Segera setelah kemerdekaan kekhawatiran para pemuda akan
kedatangan sekutu bersama Belanda menjadi kenyataan. Proklamasi yang telah
diikrarkan mendapat ronrongan dari Sekutu/Belanda (NICA), mereka memcap
proklamasi Indonesia buatan Jepang, hal ini tentu saja tidak dapat diterima
oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia. Tampillah para pahlawan pejuang
dengan bermodalkan semangat yang dilengkapi senjata sedanya terutama bambu
runcing berhadapan dengan senjata moderan milik Sekutu dan Belanda.
Sekutu menyerahkan kekusaannya kepada Belanda dan bukan
kepada Indonesia, terjadilan perlawanan baik kepada Sekutu seperti yang terjadi
di Surabaya yang dikenal peristiwa 10 November 1945 oleh Arek-Arek Suroboyo,
dan di beberapa belahan daerah lainnya termasuk di Sulawesi Tenggara yang
dikenal dengan peristiwa 10 November 1945 di Kolaka.
Perjuangan rakyat Sulawesi Tenggara tidak berakhir setelah
proklamasi, karena pada masa revolusi fisik perlawanan semakin gencar dilakukan
oleh para pemuda baik secara pribadi maupun melalui organisasi kelaskaran.
Berita proklamasi segera diterima oleh rakyat di daerah ini, dimulai dengan
kedatangan pelayar Wakatobi yang memperoleh berika proklamasi di Pulau Jawa dan
Makassar. Disusul dengan pengibaran bendera merah putih pertama kali di Kolaka
dipimpin oleh Kepala Pemerintahan Kolaka Andi Kasim 17 September 1945, di
Lasusua 5 Oktober 1945, di Wawotobi Akhir Oktober 1945 dipelopori oleh pemuda
yang mendapat dukuang Raja II Laiwoi La Sandara, di Kota Kendari dilakukan
penempelan pamplet berita proklamai yang dlakukan oleh para pemuda, diantaranya
Mahaseng, di Bupinang pengibaran merah putih dilakukan akhir November 1945, di
Muna para pemuda militan dipimpin oleh Idrus Efendi melakukan penguabaran
bendera merah putih di luar Kota Raha.
Para pemuda pejuang melakukan takntik perang gerilya untuk
menghadapi Belanda NICA. Puncak perlawanan terhadap NICA di Sultra terjadi pada
tanggal 19 November 1945 ketika para pemuda pejuang di Kolaka yang mendapat
dukungan penuh dari pemimpim pemerintahan Andi Kasim melakukan penyerangan
terhadap ekspedisi NICA di luar Kota Kolaka.
Tokoh tokoh
masyarakat dan pemuda di Kolaka pada bulan Juni 1945 memlientuk Gerakan Kebangunan
Rakyat (GKR) yang merupakan badan persiapan unntuk menyambut kemerdekaan yang
dijanjikan. Namun janji ini tidak dapat.diwujudkan karena Jepang telah menyerah
2 bulan kemudian yaitu tanggal 14-8-1945.
Susunan
Pengurus GKR adalah sebagai berikut :
a). Pelindung
: Kabasima Taico dan Hirai (orang Jepang)
b). Penasehat : Andi Kasim
c).
Pengurus Harian :
1).
Pimpinan Umum : M. Jufri
2)
Sekretaris : Ch. Pingak
3) Anggota : M. Arsyad
M. Agus.
Halide
M. Jasir
Abd. Rasyid
Sidik Bakri
Dg.
Massuro
Dg. Paraga
d). Bagian
bagian.
I ) Supply : Fujiah (Jepang)
2)
Penerangan/Propaganda : Tahrir
3) Hiburan : H. Abd- Wahid.
4)
Pertahanan GKR
Komandan M. Jufri
Ajudan I Abu Baeda
Ajudan 11 Syamsuddin Opa
Sekretaris Sidik Bakri
5). Pasukan
GKR
Pasukan I Andi Punna
Pasukanll Tahrir
Pasukan III M. Ali Kamri
Pasukan IV H. Abd. Wahid R.
Tokoh GKR
adalah masyarakat/pemuda Kolaka yang merupakan kader dari Gerakan perjuanga
sebelum perang yaitu tokoh PSII, Muhammadiyah dan PNI di Kolaka yang telah
dibubarkan oleh Jepang. PSII dan Muhammadiyah memang mempunyai kader-kader yang
militan di Kolak terutama Kolaka Utara (Lasusua).
PETA yang
bergerak di bawah tanah setelah Kemerdekaan di Kolaka pada awal September 1945
berhasil merebut beberapa pucuk senjata dari Jepang. Semenjak terbentuknya API
pemuda di bawah pimpinan Tahrir dan M. Ali Kamry berhasil mendapat beberapa
pucuk karabijn 95, atau senjata yang dibuang Jepang di pelabuhan Pomalaa.
Penyelaman senjata ini tidak mendapat rintangan Jepang. Pengibaran sang Merah
Putih di Kolaka dan pemyataan sebagai bagian dari Rl dihadiri oleh Kabasima
Taico. Demikian pula pengibaran bendera, di Wawotobi yang dlihadiri pula oleh
seorang Jepang yaitu Ninomiya Heizo sedangkan rapat pemuda Ke rumah A. Baso
juga dihadiri oleh sersan (Heizo) Sibata.
Namun demikian
dilihat dari bentuk organisasi. GKR merupakan suatu organisasi massa yang
sifatnya menghimpun rakyat dan aspirasi masyarakat. Sesudah Proklamasi
Kemerdekaan, PETA dibentuk di Kolaka pada akhir Agustus 1945. Organisasi ini
bergerak di bawah tanah dengan maksud menghimpun pemuda militan dengan tekad
penuh membela Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dari PETA kemudian bulan
September 1945 muncullah API yaitu Angkatan Pemuda Indonesia yang merupakan
organisasi massa Pemuda pendukung Proklamasi Kemerdekaan RI. Organisasi Pemuda
di Kolaka ini pada tanggal 17 September 1945 berhasil meyakinkan pemerintah
setempat sehingga Kolaka dinyatakan sebagai wilayah atau bagian dari RI.
Sebulan kemudian
API menjelma menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI) pada tanggal 17 Oktober
1945, yang lebih menonjolkan tekad para pemuda di Kolaka, untuk mendukung RI
dan mempertahankan Kolaka sebagai bagian dari RI. Berbeda dengan API dalam
organisasi PRI walau pun sifatnya sebagai organisasi massa, diadakan Bagian
Keamanan/Pertahanan yang di bawahi oleh H. Abd. Wahid Rahim, Kepolisian oleh
Usman Effendi, persenjataan oleh Lappase dan penggalangan potensi oleh M.
Jufri. Keadaan ini menggambarkan bahwa kemerdekaan itu memerlukan pertahanan
dan perjuangan bersenjata.
Kemudian PRI di
Kolaka secara resmi membentuk bagian Kelasykaran yang diberi nama PKR (Pembela
Keamanan Rakyat) yang dipimpin oleh M. Josef seorang bekas KNIL yang saat itu
dipekerjakan oleh Jepang di Pomalaa bersama-sama dengan Sarilawang, M. Billibao
dan J.M. Ohijver. Dalam PKR tergabung bekas KNIL, Heiho dan para Pemuda dari
kampung kampung (Seinendan). Mereka diberi latihan kemiliteran di desa Silea.
PRI Kolaka yang menjalin kerja sama erat dengan PRI Luwu di Palopo berusaha melebarkan wilayah pengaruh
perjuangannya ke luar Kolaka.
Pemuda
Wawotobi ingin menggabungkan diri ke dalam PRI Kolaka dan kemudian datang pula
utusan PRI Kolaka ke Wawotobi yaitu Yusuf, M. Jufri dan A. Majid. Sebagai hasil
kunjungan tersebut Wawotobi dibentuk “Sinar Pemuda Konawe” yang dipimpin oleh J
Muhsin. Sinar Pemuda Konawe tidak dapat mewujudkan organisasi kelasykaran
karena tidak lama kemudian Australia/NICA memasuki Wawotobi. Di Kendari Selatan
(Andoolo) terbentuk Pemuda Rakyat yang dipimpin oleh M. Ali Silondae. Pemuda
Rakyat di Andoolo ini kemudian menjelma menjadi organisasi kelasykaran PKR dan
bergabung dengan PKR Kolaka dengan pimpinannya M."Ali Silondae PKR
Andolo merupakan batalion dari brigade
PKR Kolaka dan mempunyai kompi yaitu : (1) Andoolo, (2) Palangga, (3) Laea, dan
(4) Kolono.
Pembentukan
PKR sebagai badan kelasykaran dimatangkan oleh kenyataan Belanda ingin kembali
menguasai Sulawesi Tenggara. Tidak ada pilihan lain dari pemuda Sulawesi
Tenggara kecuali mengadakan perlawanan bersenjata. Pusat dari pada perlawanan
bersenjata adalah Kolaka. PKR Kolaka yang dibentuk dalam tingkat brigade memperluas diri dengan penggabungan para
pemuda dari Andolo dan hulu Sungai Konaweha, di Tawanga dan Tongauna terhadap
kompi PKR.
PKR mengorganisir
pemuda dan seluruh rakyat sampai ke desa-desa, sehingga PKR sebagai badan
kelasykaran resmi, dikenal pula di desa-desa dengan adanya pasukan parang,
pasukan tombak dan pasukan panah yang berafiliasi dengan PKR. Pada dasamya
perjuangan mempertahankan kemerdekaan adalah perjuangan rakyat semesta.
Di Muna
terbentuk "Barisan 20" pada 16 Oktober 1945 yang berorientasi pada
perjuangan bersenta. Komandan "Barisan 20" adalah M. ldrus Efendi,
dengan wakil komandan Taeda Akhmad. Disamping "Barisan 20" di Raha
(Muna) dibentuk pula organisasi pemberontakan Republik Indonesia yang, dipimpin
oleh Taeda Akhmad. Oganisasi ini kemudian lebih dikenal oleh Belanda sebagai
organisasi pemuda RI.
"Barisan
20" menyadari bahwa perjuangan tidak akan berhasil tanpa kordinasi dengan
organisasi perjuangan di sekitamya. Untuk keperluan itu, maka La Karaila diutus
ke Kolaka untuk menjalin bungan dengan PRI Kolaka khususnya dengan PKR.
Hubungan ini dimaksudkan untuk mengkoordinasikan langkah-langkah dan taktik
perjuangan. Namun usaha ini gagal karena La Karaila tertangkap musuh.
Usaha
Barisan 20 untuk berhubungan dengan para pejuang di Sulawesi Selatan gagal
karena penghubungnya Kamaluddin juga tertembak oleh NICA. Kemudian M. Idrus
Effendi bersama La Ditu berangkat ke Makassar untuk mencari senjata. Keduanya
dapat kembali menumpang perahu “Sinar Bangkala” dengan membawa 5 pucuk Karaben
dan 10 granat tangan pada tanggal 15 Nopember 1945. M. ldrus Effendi dan La
Ditu, kemudian juga ditangkap oleh Belanda.
Barisan 20
yang diorganisir sebagai organisasi ketentaraan mengadakan hubungan. pula
dengan Angkatan Laut RI di Jawa Timur dan memperoleh mandat dari Kol. Hamzah
Tuppu untuk membentuk kelasykaran Batalyon Sadar di daerah Sulawesi Tenggara
(Muna). Penyerahan mandat ini disaksikan oleh Sersan Mayor A. Hamid Langkosono
putra Muna yang pada mulanya mengambil inisiatif untuk menghubungkan Barisan 20
di Muna dengan ALRI (Kol. Hamzah Tuppu) di Lawang (Jawa Timur).
Sejak itu maka Barisan 20 merupakan organisasi
ketentaraan dengan kesatuan Batalyon bernama, Expedisi Batalyon Sadar. Wilayah
Muna dibagi atas wilayah Kompi dan anggotanya memakai pangkat ketentaraan. La
Ode Taeda Akhmad sebagai Wakil Komandan Batalyon memakai pangkat Letnan Satu,
La Ditu sebagai wakil Komandan Kompi diberi pangkat, Letnan Dua. Di Pulau Muna
dibentuk 3 kompi di samping satu kompi staf, sedang di Buton Utara terdapat 2
kompi.
D. PENUTUP
Rangkaian perjuangan merebut dan mempertahankan kemedekaan
telah menelan banyak korban baik harta maupun jiwa. Para pejuang berani
mengorbankan harta dan jiwanya demi mencapai cita-cita kemederkaan abadi, bukan
semata-mata untuk kepentingannya, tetapi untuk kepentingan bangsa secara
keseluruhan untuk waktu yang tidak terhingga.
Mereka rela berkorban karena ada jiwa, semangat, nilai kejuangan dan
pengabdian untuk kejayaan bangsa dan negara di masa depan. Tugas generasi
sekarang adalah mewarisi, melanjutkan, dan mengebangkan perjuangannya dengan
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengembangkan nilai-nilai moral
bangsa yang penuh kejujuran dan semangat ingin maju dalam rangka memajukan
bangsa dan negara tercita.
KEPUSTAKAAN
Bhurhanuddin, B., dkk. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi
Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Bhurhanuddin, B., dkk. 1979. Sejarah Masa Revolusi Fisik Daerah Sulawesi
Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Brotosoehendro, S., dkk. 1988. Pedoman Umum Pelestarian Jiwa, Semangat,
dan Nilai-nilai 45. Jakarta: Dewan Harian Nasional Angkatan-45.
Kansil, C.S.T dan Julianto. 1986.
Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan
Indoensia. Jakarta: Erlangga.
Mahmud, Amir. 1985. Surat Perintah 11 Maret 1966 Tonggak
Sejarah Perjuangan Orde Baru. Jakarta: MPR.
Pringgodigdo, A.K. 1984. Sejarah Pergerakan Rakyat Indoensia. Jakarta:
Dian Rakyat.
Sagimun, M.D. dkk. 1986. Perlawanan dan Pengasingan Pejuang
Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press.
Sukamo. 1983. Indonesia Menggugat. Jakarta: Inti Idayu
Press.
Tamburakan, R., dkk. 1999. Sejarah Sulawesi Tenggara. Kendari:
Sekretarait Daerah Propinsi Sultra.
Alisjahbana, S.T. 1977. Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia
Dilihat dari Jurusan Nilai-Nilai. Jakarta: Idayu Press
Anonim.
1976. Monografi Daerah Sulawesi Tenggara.
Kendari: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Anonim.
1982. Dokumentasi DPRD -Tk.I Sulawesi
Tenggara. Kendari: Sekreariat DPRD Tk. I.
Bhurhanuddin,
B. dkk. 1978. Sejarah Daerah Sulawesi
Tenggara. Kendari: Proyek IDKD.
Bhurhanuddin., B. dkk.
1987. Sistem Ekonomi Tradisional:
Sebagai Perwujudan Tanggapan Masyarakat Terhadap Lingkungan di Sulawesi Tenggara.
Kanwil Depdikbud, Kendari.
Chalik, Husen, A 1978. Beberapa Catatan Bahan Sejarah Daerah Kendari. Kendari: Proyek
Penelitian dan Percatatan Nilai-nilai Budaya Sultra.
Hanzo. La
Ode. 1986. Sejarah Kepahlawanan dan
Nilai-nilai Patriotik Haluoleo. Kendari: Skripsi, FKIP Unhalu.
Ismail, A., dkk. 1999.
Pengetahuan, Keyakinan, Sikap dan
Perilaku Generasi Muda Berkenaan Dengan Tata Krama di Kendari Sulawesi Tenggara.
Ujung Pandang: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Sulawesi
Selatan.
Koetjaraningrat.
1981. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Jakarta: Jambatan.
Koentjaraningrat. 1982.
Beberapa Pokok Antropologi Sosial.
Jakarta: Dian Rakyat.
Koentjaraningrat. 1987.
Sejarah Teori Antropologi. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Madu, La
Ode. 1980. Sejarah Perkembangan Agama
Islam di Buton. Bau-Bau.
Malik, M. L. 1997.
Islam Dalam Budaya Muna: Suatu Ikhtiar Menatap
Masa Depan. Ujung Pandang: Umitoha Ukhuwah Grafika.
Mardimin, Johannes. 1994. .Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia
Moderen. Yokyakarta: Kanisius.
Mattulada.
1985. “Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional Kini dan Masa Datang”. Makalah
Disajikan dalam Seminar Regional Peranan dan Eksistensi Haluoleo dalam Perspektif
Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara.
Kendari, 7-8 Agustus 1995.
Mededeelingen
Van de Afdeeling Bestuurs-zaken Der Buitengewesten van het Depaaartement Van
Binnenlandsch Bestuur, serie A. No: 3, Afdeeling Bestuurszaken Der
Buitengewesten, Landsdrukkerj, Weltevreden, 1929.
Soedjito. 1986. Transformasi Sosial Menuju Masyarakat
Industri. Tiara Wacana, Yokyakarta.
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
Subagya, R. 1981. Agama Asli Indonesia. Sinar Harapan dan Yayasan Cipta Loka Caraka,
Jakarta.
Tamburaka,
Rustam E. 1997. “Peranan dan Eksistensi Haluoleo dalam Perspektif Sejarah di
Kerajaan Konawe dan Mekongga”. Makalah Disajikan
dalam Seminar Regional Peranan dan
Eksistensi Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Kendari, 7-8 Agustus 1995.
Tarimana,
Abdurrauf. 1989. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.
SEJARAH PERJUANGAN RAKYAT
SULAWESI TENGGARA
Makalah
Disajikan dalam Bimbingan Pelestarian Nilai
Kepahlawanan, Keperintisan, Kejuangan dan Kesetiakawanan Sosial (K4S) Dinas
Sosial Propinsi Sulawesi Tenggara, tanggal 30 September 2004
Oleh:
Dr. Anwar Hafid, M.Pd.
Dosen
FKIP Universitas Haluoleo
DINAS SOSIAL
PROPINSI SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar