Minggu, 28 Juni 2020

PERANAN PENDIDIKAN TERHADAP PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MASYARAKAT BAJO


PERANAN PENDIDIKAN TERHADAP PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MASYARAKAT BAJO
Oleh
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.

A.    Pemberdayaan dalam Dimensi Pendidikan
Pendekatan pemberdayaan dalam konteks gender adalah pengakuan makna produktif terhadap aktivitas perempuan meskipun dilakukan dalam rumah tangga sepanjang dapat menambah pendapatan rumah tangga, pembangunan organisasi perempuan, peningkatan kesadaran, dan pendidikan masyarakat sebagai syarat penting perubahan sosial berkelanjutan bagi perempuan keluarga nelayan Suku Bajo.
Namun dalam kondisi masyarakat Bajo, konsep ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala kultural yang selama ini mereka kembali kepada aktivitas domestik. Oleh karena kajian historis seperti disebutkan oleh Zaltman dan Duncan (1977: 41) bagi masyarakat Bajo menjadi semakin penting untuk mengingatkan kembali peran produktif perempuan dalam bidang ekonomi pada masa silam ketika mereka hidup secara nomaden.
Kegiatan pemberdayaan ini meliputi penguatan individu dan pranata-pranata masyarakat. Termasuk menanamkan nilai-nilai budaya kerja keras, hemat, keterbukaan, sikap bertanggung jawab, pembaruan lembaga-lembaga sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan (Sumodiningrat, 1999: 16). Bagi perempuan Suku Bajo, dapat memegang prinsip hidup dalam pergaulan dan berkarier: tahu diri, tahan diri, harga diri, dan percaya diri.
Proses pemberdayaan melalui pelibatan langsung dalam pembelajaran keterampilan dapat berjalan setelah berhasil melakukan dialog untuk mengetahui aspirasi dan kebutuhan masyarakat, termasuk mengadakan penyadaran masyarakat yang selama ini berada dalam kondisi kesadaran magis, dan tertutup terhadap individu dari luar. Pertimbangan ini lahir karena kondisi masyarakat Bajo sesuai dengan yang digambarkan oleh Soetomo (1990: 36) yaitu adanya tiga fenomena umum bagi masyarakat desa.
Pertama, sistem nilai budaya yang masih kuat berakar dalam masyarakat desa, dimana mereka tidak mudah menonjolkan pendapat dan ide secara individual, sehingga manifestasi dari aspirasi mereka sering samar-samar untuk secara langsung dapat ditangkap, mereka sering enggan untuk menonjolkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang telah dikemukakan orang lain.
Kedua, dalam kehidupan bermasyarakat masih cukup kuat peranan dari key person atau opinion leader. Tokoh-tokoh ini merupakan tumpuan harapan sebagian besar warga masyarakat, sikap dan pandangan mereka akan segera diikuti oleh warga masyarakat lainnya. Dalam hubungan ini proses dialog penyadaran ditempatkan tokoh-tokoh masyarakat termasuk tokoh perempuan (jennang) sebagai titik pusat dialog, pilihan dari tokoh kunci ini segera diikuti dan disetujui oleh warga masyarakat lainnya.
Ketiga, tingkat pengetahuan dan horizon dari masyarakat desa yang umumnya belum cukup luas, sehingga apa yang mereka kemukakan sebagai kebutuhan, tidak selalu didasari pertimbangan rasional dan ekonomis serta pertimbangan yang lebih berorientasi jangka panjang sebagai suatu yang menguntungkan.
Kaum perempuan nelayan Suku Bajo, tidak hanya aktif dalam kegiatan ekonomi, tetapi juga mengambil peranan signifikan dalam menentukan keputusan-keputusan rumah tangga. Sekalipun kegiatan ekonomi di luar rumah tangga telah menyita waktu, tenaga, dan pekerjaan-pekerjaan domestik, tetapi dalam hal pengambilan keputusan rumah tangga termasuk yang berkaitan dengan aktivitas ekonominya, intensitas, perhatian dan keterlibatan kaum perempuan khususnya ibu rumah tangga cukup besar. Data-data lapangan yang diperoleh menunjukkan keterlibatan dan proses pengambilan keputusan dalam rumah tangga yang meliputi empat bidang aktivitas, yaitu: produksi, ekonomi, sosial, dan kerumahtanggaan, ternyata perempuan lebih dominan dalam berbagai aspek. Diantara 38 indikator yang dikemukakan terdapat 12 indikator selalu dikerjakan perempuan (SP), 3 indikator biasanya dikerjakan perempuan (BP), 18 indikator dikerjakan bersama secara proporsional (LP), 2 indikator biasanya dikerjakan laki-laki (BL), dan 3 indikator selalu dikerjakan laki-laki (SL) (Anwar, 2003: 299).
Dalam aktivitas produksi tampak lebih dominan peranan perempuan, yang menunjukkan terjadinya perubahan dinamika kehidupan masyarakat yang sebelumnya didominasi laki-laki, pergeseran ini cukup drastis terbukti dari tujuh indikator, terdapat lima indikator didominasi oleh kaum perempuan, sedangkan dua lainnya dikerjakan secara proporsional antara keduanya. Dalam aktivitas sosial terjadi sebaliknya peran lebih dominan oleh laki-laki, sedangkan aktivitas kerumahtanggaan didominasi oleh perempuan, termasuk indikator pengasuhan anak dan kegiatan mengambil air dikerjakan secara bersama atau bergantian antara laki-laki dan perempuan.
Kecenderungan peningkatan otonomi perempuan keluarga nelayan Suku Bajo bersumber dari latar belakang historis. Pada mulanya saat nenek moyang mereka bermukim di atas perahu umumnya aktivitas keseharian terkait langsung dengan kegiatan produksi, ekonomi, dan kerumahtanggaan, sedangkan hubungan sosial kurang nampak. Pada kurun waktu dan kondisi seperti ini ketiga aktivitas itu, dilakoni secara bersama-sama antara laki-laki dan perempuan. Pada perkembangan selanjutnya, ketika pemukiman mereka menetap di perairan dan pesisir pantai (sekitar awal abad XX), aktivitas perempuan bergeser dan terfokus pada aktivitas kerumahtanggaan yang tercermin dalam ungkapan dinda ngala boe, lilla palilibu= perempuan ambil air, laki-laki melaut. Perkembangan terakhir, yang muncul di awal  abad XXI ini disebabkan karena pengaruh exposur terhadap media massa dan lancarnya transportasi dengan wilayah perkotaan, sehingga muncul pergeseran dengan pemberian otonomi yang lebih besar kepada kaum perempuan.
Perkembangan tersebut tidak terlepas dari adanya sikap positif dalam tradisi masyarakat Suku Bajo, seperti: (1) memiliki naluri untuk hidup bertetangga baik, (2) kegotongroyongan, (3) tenggang rasa dan hidup rukun, (4) rajin, giat, ulet, (4) adanya system belajar asli, dan (5) penguasaan Bahasa Melayu.
Beberapa aspek nilai modernitas yang telah tumbuh dalam aktivitas Suku Bajo, yaitu: orientasi ke arah kemajuan, motivasi berprestasi, kemandirian, kewiraswastaan, sikap jujur, sikap disiplin dan kerja keras, serta sikap kekeluargaan.
 Orientasi ke arah kemajuan, tercermin dari kesediaan berkelompok dalam berbagai bentuk kegiatan. Kelompok organisasi mereka antara lain: arisan, Posyandu, keikutsertaan dalam program Keluarga Berencana (KB), pemanfaatan Poliklinik Desa, dan  pengelolaan dana usaha UEDSP sebagai wadah simpan pinjam yang dikelola oleh ibu-ibu warga desa termasuk diantara pengurusnya adalah perempuan keluarga nelayan Suku Bajo.
Motivasi berprestasi, ditunjukkan dalam sikap mereka yang bersedia menghadiri kegiatan penyuluhan yang diselenggarakan oleh change agent baik dari lembaga pemerintahan (Dinas Kesehatan, Departemen Kehakiman, BPN, Dinas Perikanan, TNI, Dinas Diknas), maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. 
Kemandirian, para ibu dan gadis dari Suku Bajo memiliki sikap kemandirian dalam bekerja. Sebagian diantara mereka memiliki usaha sendiri seperti menjual ikan di pasar, membuka kios, mengikuti kegiatan arisan, dan mengikuti pertemuan tingkat desa tanpa harus mendapat rintangan dari suami atau ayah.
Kewiraswastaan, penandanya keterlibatan perempuan dalam kegiatan usaha perdagangan ikan, kue kering/kue basah, pengelolaan kios yang menjual kebutuhan sembilan bahan pokok, dan kemampuan mengelola dana pinjaman bergulir.
Sikap jujur, para pengelola UEDSP menyatakan bahwa mayoritas nasabahnya kaum perempuan desa setempat, dan  selama ini belum ada kendala karena keterlambatan pengembalian angsuran utang. Demikian pula pengakuan pemerintah desa dan LSM pembina bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh kaum perempuan desa setempat terhadap manajemen UEDSP berjalan lancar.
Sikap disiplin dan bekerja keras, sebagai penanda yaitu kehadiran dalam pertemuan tepat waktu, kesediaan dan kemampuan mengatur waktu antara mengikuti pertemuan dengan kegiatan melayani suami yang datang/akan berangkat melaut. Kesediaan membantu kegiatan suami dalam berbagai rangkaian persiapan untuk berangkat melaut mencari ikan/hasil laut.
Sikap kekeluargaan, kaum perempuan terbiasa hidup saling membantu dalam setiap kegiatan yang dipandang berat, baik untuk kegiatan pribadi/golongan seperti pesta mereka saling membantu, atau memecahkan suatu masalah, maka akan dipecahkan melalui forum rapat atau pertemuan secara informal. Rumah Kepala Desa telah berfungsi sebagai media pertemuan mereka setiap saat untuk membicarakan suatu masalah.
Struktur organisasi pemerintahan desa dan stratifikasi sosial tradisional masyarakat Bajo, seperti: kedudukan Lolo sebagai strata yang dihormati, dan tokoh-tokoh masyarakat adat “sanro”  (dukun), mantan pejabat tingkat desa. Kesemuanya dapat dimanfaatkan sebagai pendukung kegiatan belajar dalam bentuk motivator dan legitimator. Sikap kekeluargaan dan kegotong-royongan yang tetap terpelihara dengan baik, akan mempermudah pengorganisasian masyarakat dalam suatu kegiatan pembelajaran baik dalam bentuk kelompok maupun individu.
Sistem pengetahuan, meskipun tingkat pendidikan sekolah mereka rendah tetapi secara kultutal telah mengembangkan sistem pengetahuan yang tumbuh secara indigenous dalam berbagai aspek kehidupan. Kemampuan baca tulis cukup tinggi demikian pula penguasaan bahasa Indonesia, dan filsafat hidup yang dituangkan dalam ungkapan pantun dengan bait yang begitu rapi, kesemuanya itu mencerminkan budaya belajar mereka cukup tinggi. Kesenian (pantun, nyanyian yang mengandung nasehat dan pendidikan, termasuk seni tari modero), potensi kesenian dapat dimanfaatkan sebagai media dan sumber pembelajaran bagi perempuan Suku Bajo.
Masyarakat Bajo dalam kehidupan sehari-hari menggunakan Bahasa Bajo, meskipun mereka umumnya menguasai bahasa Indonesia, bahkan jika dicermati lebih jauh bahwa dalam proses persebarannya, Orang Bajo memegang peranan penting dalam penyebaran Bahasa Melayu/Indonesia terhadap segenap suku bangsa di Nusantara. Selain itu, Orang Bajo juga berjasa dalam penyebaran tanaman sagu yang terbukti hanya dijumpai di wilayah-wilayah pesisir sekitar pemukiman masyarakat Bajo di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik, dimana sebagian Orang Bajo menjadikan sagu sebagai makanan pokoknya.
Selain potensi positif tersebut di atas, juga terdapat beberapa potensi yang dapat berpengaruh negatif, yaitu: (1) sikap konsumtif, (2) tingkat pendidikan (sekolah) rata-rata rendah, (3) manajemen keuangan keluarga lemah, dan (4) ketergantungan aktivitas perempuan terhadap hasil kegiatan suami melaut. 
Dalam dimensi pendidikan formal, ditunjukkan hasil penelitian Anwar (1999b: 28) terhadap aspirasi pendidikan masyarakat desa tertinggal termasuk masyarakat Bajo menunjukkan bahwa aspirasi pendidikan orang tua cukup tinggi terbukti bahwa 46,15% responden mengharapkan anaknya sekolah sampai sarjana, 15,90% mengharapkan anaknya sekolah sampai tamat SLTA, 14,87%  mengharapkan anaknya sekolah sampai tamat SLTP dan 11,80% , dan hanya 11,80% mengharapkan anaknya sekolah sampai tamat SD.
Tanggapan orang tua terhadap keberadaan pendidikan sekolah cukup tinggi terbukti dengan peningkatan angka partispasi pendidikan anak, dan pada umumnya anak usia sekolah dasar telah terdaftar pada sekolah setempat. Ditemukan pula bahwa motivasi orang tua terhadap anaknya untuk sekolah semakin tinggi, meskipun mereka masih kurang aktif secara langsung memonitor perkembangan anaknya di sekolah, karena keterbatasan waktu dan pengetahuan orang tua terhadap dunia pendidikan (Anwar, 1999a: 39).
Pada umumnya anak nalayan termasuk Suku Bajo memiliki komitmen yang tinggi terhadap pendidikan khususnya bagi Siswa Sekolah Dasar, ditandai dengan dengan semakin meningkatnya angka partisipasi siswa yang melanjutkan ke SLTP dan SLTA. Bagi masyarakat Bajo media radio dan TV selain dimanfaatkan sebagai media hiburan, juga telah dimanfaatkan sebaga media pendidikan terbukti dengan tingginya persentase anak menonton/mendengar siaran melalui kedua media tersebut termasuk menonton berita.

B.     Penutup
Latar sosial budaya masyarakat Bajo dimulai dari adanya struktur sosial politik dengan jabatan-jabatan: Lolo (sebagai Kepala Wilayah Otonom/Raja), didampingi oleh Sabennara, (Syahbandar, sekaligus sebagai juru bicara Lolo), Gellareng (sekretaris) yang membantu Lolo dalam menjalankan roda pernerintahan sehari-hari, dan Ponggawa (Panglima Perang).
Proses persebaran orang Bajo disebabkan faktor politik (peperangan) dan sosial (mencari kehidupan yang lebih baik). Bagi masyarakat Bajo telah mampu mengatur struktur pemerintahan yang demokratis, dan menjunjung tinggi emansipasi perempuan dengan melibatkan mereka dalam berbagai dimensi kehidupan dan hak-hak asasi manusia. Diatur pula tentang norma-norma kehidupan sehari-hari (muamalat) berupa hak, kewajiban, dan larangan, serta sangsi bagi pelanggar norma.
Orang Bajo dalam proses pengembaraannya telah berhasil menyebarkan Bahasa Melayu/Indonesia kepada segenap Suku Bangsa di Nusantara, demikian pula muncul analis bahwa penyebaran tanaman sagu juga dilakukan oleh para pelayar Bajo yang mengarungi perairan/pantai di wilayah Nusantara, Asia Tenggara dan Pasifik.  
Partisipasi kaum perempuan Suku Bajo dalam politik telah ditunjukkan, beberapa Lolo Bajo di daera BajoE dipilih dari kaum perempuan. Demikian pula sikap   positif dari tradisi Suku Bajo, seperti: (1) memiliki naluri untuk hidup bertetangga baik, (2) kegotongroyongan, (3) tenggang rasa dan hidup rukun, (4) rajin, giat, ulet, (5) system belajar asli, dan (6) penguasan Bahasa Melayu/Indonesia. Beberapa aspek nilai modernitas juga telah tumbuh dalam aktivitas Suku Bajo, yaitu: orientasi ke arah kemajuan, motivasi berprestasi, kemandirian, kewiraswastaan, sikap jujur, sikap disiplin dan kerja keras, serta sikap kekeluargaan. Dari segi pendidikan formal, para orang tua Suku Bajo telah meningkat kesadaran untuk menyekolahkan anaknya, termasuk melanjutkan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar. 1999a. Aspirasi Pendidikan Masyarakat Nelayan pada Desa-Desa Tertinggal di Kecamatan Soropia Kabupaten Kendari. Kendari: Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo.
Anwar. 1999b. Aspirasi Pendidikan Masyarakat Desa Tertinggal di Propinsi Sulawesi Tenggara. Kendari: Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo.
Anwar. 2000. Lontarak Assalenna Bajo (Lontarak Asal-usul Suku Bajo). Jakarta: Program Penggalakan Kajian Sumber-sumber Tertulis Nusantara Ditjen Dikti Depdiknas.
Anwar. 2003. Pengembangan Model Pengelolaan Pembelajaran Keterampilan Berbasis Sosial Budaya bagi Perempuan Nelayan. Bandung: Tesis Doktor pada PPS UPI.
Dirman, L.O. 1997. “Orang Berese (Adaptasi pada Pemukiman Orang Bajo di Wilayah Pesisir Desa Holimombo Kabupaten Dati II Buton)”. Tesis Magister pada PPs UI, tidak diterbitkan.  
Galib, L.M. 2001. “Penerapan Model Konstruktif Pembelajaran Sains dan Teknologi Dengan Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat dan Strategi Pembelajaran Model di Sekolah Dasar Kecil Negeri Bungin”.  Disertasi Doktor pada PPs UPI Bandung:  tidak diterbitkan.
Hinayat, M.S. 1993. General Notes on Bajau/Sama Community in the State of Sabah, Malaysia. Paper International Seminar on Bajau Communities, LIPI, Jakarta 22-25 November 1993.
Kling, Z. 1993. “The Bajau of Sabah (Malaysia): Adat as Indicator of Social Structure”. Paper International Seminar on Bajau Communities, LIPI, Jakarta 22-25 November 1993.
Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Pelras, C. 1993. “A Few Complementary Notes on Aquatic Populations in South Sulawesi and South Malaya”. Paper International Seminar on Bajau Communities, LIPI, Jakarta 22-25 November 1993.
Soetomo. 1990. Pembangunan Masyarakat: Beberapa Tinjauan Kasus. Yogyakarta: Liberty.
Sudjana, D. 2000. Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Luar Sekolah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Falah Production.
Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Tasman. 1995. “Integrasi Sosial Masyarakat Terasing ke dalam Sistem Nasional Indonesia Melalui Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing (PKSMT) (Studi pada Masyarakat Suku Bajo di Daerah Tingkat II Kabupaten Kendari)”. Tesis Magister pada PPs UI, tidak diterbitkan.
Zaltman, G. dan Duncan, R .1977. Strategies for Planned Change. New  York: John Wiley & Sons.
Zen, M. 1993. “Dinamika Pendidikan ‘Orang Laut’ Sebagai Suatu Profil Operasionalisasi Pendidikan Nasional”. Disertasi Doktor pada PPs IKIP Bandung: tidak diterbitkan.



PERANAN PENDIDIKAN TERHADAP PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MASYARAKAT BAJO

















Oleh
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.









Makalah
Disajikan dalam Seminar Perumusan Penulisan Naskah Sejarah Bajo
di Kendari pada Tanggal 18 Maret 2014







PANITIA SEMINAR PERUMUSAN PENULISAN NASKAH SEJARAH BAJO
KERUKUNAN KELUARGA BAJO SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar