PERANAN PENDIDIKAN TERHADAP PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MASYARAKAT BAJO
Oleh
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
A. Pemberdayaan dalam Dimensi Pendidikan
Pendekatan pemberdayaan dalam konteks
gender adalah pengakuan makna produktif terhadap aktivitas perempuan meskipun
dilakukan dalam rumah tangga sepanjang dapat menambah pendapatan rumah tangga,
pembangunan organisasi perempuan, peningkatan kesadaran, dan pendidikan
masyarakat sebagai syarat penting perubahan sosial berkelanjutan bagi perempuan
keluarga nelayan Suku Bajo.
Namun dalam kondisi masyarakat Bajo, konsep ini
membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala
kultural yang selama ini mereka kembali kepada aktivitas domestik. Oleh karena
kajian historis seperti disebutkan oleh Zaltman dan Duncan (1977: 41) bagi masyarakat
Bajo menjadi semakin penting untuk mengingatkan kembali peran produktif
perempuan dalam bidang ekonomi pada masa silam ketika mereka hidup secara
nomaden.
Kegiatan pemberdayaan ini meliputi penguatan individu dan pranata-pranata
masyarakat. Termasuk menanamkan nilai-nilai budaya kerja keras, hemat,
keterbukaan, sikap bertanggung jawab, pembaruan lembaga-lembaga sosial dan
pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan (Sumodiningrat, 1999: 16).
Bagi perempuan Suku Bajo, dapat memegang prinsip hidup dalam pergaulan dan
berkarier: tahu diri, tahan diri, harga
diri, dan percaya diri.
Proses pemberdayaan melalui pelibatan langsung dalam pembelajaran
keterampilan dapat berjalan setelah berhasil melakukan dialog untuk mengetahui
aspirasi dan kebutuhan masyarakat, termasuk mengadakan penyadaran masyarakat
yang selama ini berada dalam kondisi kesadaran magis, dan tertutup terhadap
individu dari luar. Pertimbangan ini lahir karena kondisi masyarakat Bajo
sesuai dengan yang digambarkan oleh Soetomo (1990: 36) yaitu adanya tiga
fenomena umum bagi masyarakat desa.
Pertama, sistem nilai budaya
yang masih kuat berakar dalam masyarakat desa, dimana mereka tidak mudah
menonjolkan pendapat dan ide secara individual, sehingga manifestasi dari
aspirasi mereka sering samar-samar untuk secara langsung dapat ditangkap,
mereka sering enggan untuk menonjolkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang
telah dikemukakan orang lain.
Kedua, dalam kehidupan
bermasyarakat masih cukup kuat peranan dari key
person atau opinion leader. Tokoh-tokoh
ini merupakan tumpuan harapan sebagian besar warga masyarakat, sikap dan
pandangan mereka akan segera diikuti oleh warga masyarakat lainnya. Dalam
hubungan ini proses dialog penyadaran ditempatkan tokoh-tokoh masyarakat
termasuk tokoh perempuan (jennang)
sebagai titik pusat dialog, pilihan dari tokoh kunci ini segera diikuti dan
disetujui oleh warga masyarakat lainnya.
Ketiga, tingkat pengetahuan dan
horizon dari masyarakat desa yang umumnya belum cukup luas, sehingga apa yang
mereka kemukakan sebagai kebutuhan, tidak selalu didasari pertimbangan rasional
dan ekonomis serta pertimbangan yang lebih berorientasi jangka panjang sebagai
suatu yang menguntungkan.
Kaum perempuan nelayan Suku
Bajo, tidak hanya aktif dalam kegiatan ekonomi, tetapi juga mengambil peranan
signifikan dalam menentukan keputusan-keputusan rumah tangga. Sekalipun
kegiatan ekonomi di luar rumah tangga telah menyita waktu, tenaga, dan
pekerjaan-pekerjaan domestik, tetapi dalam hal pengambilan keputusan rumah
tangga termasuk yang berkaitan dengan aktivitas ekonominya, intensitas,
perhatian dan keterlibatan kaum perempuan khususnya ibu rumah tangga cukup
besar. Data-data lapangan yang diperoleh menunjukkan keterlibatan dan proses
pengambilan keputusan dalam rumah tangga yang meliputi empat bidang aktivitas,
yaitu: produksi, ekonomi, sosial, dan kerumahtanggaan, ternyata perempuan lebih
dominan dalam berbagai aspek. Diantara 38 indikator yang dikemukakan terdapat
12 indikator selalu dikerjakan perempuan (SP), 3 indikator biasanya dikerjakan
perempuan (BP), 18 indikator dikerjakan bersama secara proporsional (LP), 2
indikator biasanya dikerjakan laki-laki (BL), dan 3 indikator selalu dikerjakan
laki-laki (SL) (Anwar, 2003: 299).
Dalam aktivitas produksi
tampak lebih dominan peranan perempuan, yang menunjukkan terjadinya perubahan
dinamika kehidupan masyarakat yang sebelumnya didominasi laki-laki, pergeseran
ini cukup drastis terbukti dari tujuh indikator, terdapat lima indikator
didominasi oleh kaum perempuan, sedangkan dua lainnya dikerjakan secara
proporsional antara keduanya. Dalam aktivitas sosial terjadi sebaliknya peran
lebih dominan oleh laki-laki, sedangkan aktivitas kerumahtanggaan didominasi
oleh perempuan, termasuk indikator pengasuhan anak dan kegiatan mengambil air
dikerjakan secara bersama atau bergantian antara laki-laki dan perempuan.
Kecenderungan peningkatan
otonomi perempuan keluarga nelayan Suku Bajo bersumber dari latar belakang
historis. Pada mulanya saat nenek moyang mereka bermukim di atas perahu umumnya
aktivitas keseharian terkait langsung dengan kegiatan produksi, ekonomi, dan
kerumahtanggaan, sedangkan hubungan sosial kurang nampak. Pada kurun waktu dan
kondisi seperti ini ketiga aktivitas itu, dilakoni secara bersama-sama antara
laki-laki dan perempuan. Pada perkembangan selanjutnya, ketika pemukiman mereka
menetap di perairan dan pesisir pantai (sekitar awal abad XX), aktivitas
perempuan bergeser dan terfokus pada aktivitas kerumahtanggaan yang tercermin
dalam ungkapan dinda ngala boe, lilla palilibu= perempuan ambil air,
laki-laki melaut. Perkembangan terakhir, yang muncul di awal abad XXI ini disebabkan karena pengaruh
exposur terhadap media massa
dan lancarnya transportasi dengan wilayah perkotaan, sehingga muncul pergeseran
dengan pemberian otonomi yang lebih besar kepada kaum perempuan.
Perkembangan tersebut tidak
terlepas dari adanya sikap positif dalam tradisi masyarakat Suku Bajo, seperti:
(1) memiliki naluri untuk hidup bertetangga baik, (2) kegotongroyongan, (3)
tenggang rasa dan hidup rukun, (4) rajin, giat, ulet, (4) adanya system belajar
asli, dan (5) penguasaan Bahasa Melayu.
Beberapa aspek nilai modernitas yang telah tumbuh dalam aktivitas Suku
Bajo, yaitu: orientasi ke arah kemajuan,
motivasi berprestasi, kemandirian, kewiraswastaan, sikap jujur, sikap disiplin
dan kerja keras, serta sikap kekeluargaan.
Orientasi ke arah kemajuan, tercermin dari
kesediaan berkelompok dalam berbagai bentuk kegiatan. Kelompok organisasi
mereka antara lain: arisan, Posyandu, keikutsertaan dalam program Keluarga
Berencana (KB), pemanfaatan Poliklinik Desa, dan pengelolaan dana usaha UEDSP sebagai wadah
simpan pinjam yang dikelola oleh ibu-ibu warga desa termasuk diantara
pengurusnya adalah perempuan keluarga nelayan Suku Bajo.
Motivasi berprestasi, ditunjukkan
dalam sikap mereka yang bersedia menghadiri kegiatan penyuluhan yang
diselenggarakan oleh change agent
baik dari lembaga pemerintahan (Dinas Kesehatan, Departemen Kehakiman, BPN,
Dinas Perikanan, TNI, Dinas Diknas), maupun Lembaga Swadaya Masyarakat.
Kemandirian, para ibu dan gadis
dari Suku Bajo memiliki sikap kemandirian dalam bekerja. Sebagian diantara
mereka memiliki usaha sendiri seperti menjual ikan di pasar, membuka kios,
mengikuti kegiatan arisan, dan mengikuti pertemuan tingkat desa tanpa harus mendapat
rintangan dari suami atau ayah.
Kewiraswastaan, penandanya
keterlibatan perempuan dalam kegiatan usaha perdagangan ikan, kue kering/kue
basah, pengelolaan kios yang menjual kebutuhan sembilan bahan pokok, dan
kemampuan mengelola dana pinjaman bergulir.
Sikap jujur, para pengelola
UEDSP menyatakan bahwa mayoritas nasabahnya kaum perempuan desa setempat,
dan selama ini belum ada kendala karena
keterlambatan pengembalian angsuran utang. Demikian pula pengakuan pemerintah
desa dan LSM pembina bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh kaum perempuan desa
setempat terhadap manajemen UEDSP berjalan lancar.
Sikap disiplin dan bekerja keras, sebagai
penanda yaitu kehadiran dalam pertemuan tepat waktu, kesediaan dan kemampuan
mengatur waktu antara mengikuti pertemuan dengan kegiatan melayani suami yang
datang/akan berangkat melaut. Kesediaan membantu kegiatan suami dalam berbagai
rangkaian persiapan untuk berangkat melaut mencari ikan/hasil laut.
Sikap kekeluargaan, kaum
perempuan terbiasa hidup saling membantu dalam setiap kegiatan yang dipandang
berat, baik untuk kegiatan pribadi/golongan seperti pesta mereka saling
membantu, atau memecahkan suatu masalah, maka akan dipecahkan melalui forum
rapat atau pertemuan secara informal. Rumah Kepala Desa telah berfungsi sebagai
media pertemuan mereka setiap saat untuk membicarakan suatu masalah.
Struktur organisasi pemerintahan desa dan stratifikasi sosial tradisional
masyarakat Bajo, seperti: kedudukan Lolo sebagai
strata yang dihormati, dan tokoh-tokoh masyarakat adat “sanro” (dukun), mantan
pejabat tingkat desa. Kesemuanya dapat dimanfaatkan sebagai pendukung kegiatan
belajar dalam bentuk motivator dan legitimator. Sikap kekeluargaan dan
kegotong-royongan yang tetap terpelihara dengan baik, akan mempermudah
pengorganisasian masyarakat dalam suatu kegiatan pembelajaran baik dalam bentuk
kelompok maupun individu.
Sistem pengetahuan, meskipun tingkat pendidikan sekolah mereka rendah
tetapi secara kultutal telah mengembangkan sistem pengetahuan yang tumbuh
secara indigenous dalam berbagai
aspek kehidupan. Kemampuan baca tulis cukup tinggi demikian pula penguasaan
bahasa Indonesia, dan filsafat hidup yang dituangkan dalam ungkapan pantun
dengan bait yang begitu rapi, kesemuanya itu mencerminkan budaya belajar mereka
cukup tinggi. Kesenian (pantun, nyanyian yang mengandung nasehat dan
pendidikan, termasuk seni tari modero), potensi kesenian dapat dimanfaatkan
sebagai media dan sumber pembelajaran bagi perempuan Suku Bajo.
Masyarakat Bajo dalam kehidupan sehari-hari menggunakan Bahasa Bajo,
meskipun mereka umumnya menguasai bahasa Indonesia, bahkan jika dicermati lebih
jauh bahwa dalam proses persebarannya, Orang Bajo memegang peranan penting
dalam penyebaran Bahasa Melayu/Indonesia terhadap segenap suku bangsa di
Nusantara. Selain itu, Orang Bajo juga berjasa dalam penyebaran tanaman sagu
yang terbukti hanya dijumpai di wilayah-wilayah pesisir sekitar pemukiman
masyarakat Bajo di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik, dimana sebagian Orang
Bajo menjadikan sagu sebagai makanan pokoknya.
Selain potensi positif tersebut di atas, juga terdapat beberapa potensi
yang dapat berpengaruh negatif, yaitu: (1) sikap konsumtif, (2) tingkat
pendidikan (sekolah) rata-rata rendah, (3) manajemen keuangan keluarga lemah,
dan (4) ketergantungan aktivitas perempuan terhadap hasil kegiatan suami
melaut.
Dalam dimensi pendidikan formal, ditunjukkan hasil penelitian Anwar
(1999b: 28) terhadap aspirasi pendidikan masyarakat desa tertinggal termasuk
masyarakat Bajo menunjukkan bahwa aspirasi pendidikan orang tua cukup tinggi
terbukti bahwa 46,15% responden mengharapkan anaknya sekolah sampai sarjana,
15,90% mengharapkan anaknya sekolah sampai tamat SLTA, 14,87% mengharapkan anaknya sekolah sampai tamat
SLTP dan 11,80% , dan hanya 11,80% mengharapkan anaknya sekolah sampai tamat
SD.
Tanggapan orang tua terhadap keberadaan pendidikan sekolah cukup tinggi
terbukti dengan peningkatan angka partispasi pendidikan anak, dan pada umumnya
anak usia sekolah dasar telah terdaftar pada sekolah setempat. Ditemukan pula bahwa
motivasi orang tua terhadap anaknya untuk sekolah semakin tinggi, meskipun
mereka masih kurang aktif secara langsung memonitor perkembangan anaknya di
sekolah, karena keterbatasan waktu dan pengetahuan orang tua terhadap dunia
pendidikan (Anwar, 1999a: 39).
Pada umumnya anak nalayan termasuk Suku Bajo memiliki komitmen yang
tinggi terhadap pendidikan khususnya bagi Siswa Sekolah Dasar, ditandai dengan
dengan semakin meningkatnya angka partisipasi siswa yang melanjutkan ke SLTP
dan SLTA. Bagi masyarakat Bajo media radio dan TV selain dimanfaatkan sebagai
media hiburan, juga telah dimanfaatkan sebaga media pendidikan terbukti dengan
tingginya persentase anak menonton/mendengar siaran melalui kedua media
tersebut termasuk menonton berita.
B. Penutup
Latar sosial budaya masyarakat Bajo dimulai dari adanya struktur sosial
politik dengan jabatan-jabatan: Lolo (sebagai Kepala Wilayah Otonom/Raja),
didampingi oleh Sabennara, (Syahbandar, sekaligus sebagai juru bicara Lolo),
Gellareng (sekretaris) yang membantu Lolo dalam menjalankan roda pernerintahan
sehari-hari, dan Ponggawa (Panglima Perang).
Proses persebaran orang Bajo disebabkan faktor politik (peperangan) dan
sosial (mencari kehidupan yang lebih baik). Bagi masyarakat Bajo telah mampu
mengatur struktur pemerintahan yang demokratis, dan menjunjung tinggi
emansipasi perempuan dengan melibatkan mereka dalam berbagai dimensi kehidupan
dan hak-hak asasi manusia. Diatur pula tentang norma-norma kehidupan
sehari-hari (muamalat) berupa hak, kewajiban, dan larangan, serta sangsi bagi
pelanggar norma.
Orang Bajo dalam proses pengembaraannya telah berhasil menyebarkan Bahasa
Melayu/Indonesia kepada segenap Suku Bangsa di Nusantara, demikian pula muncul
analis bahwa penyebaran tanaman sagu juga dilakukan oleh para pelayar Bajo yang
mengarungi perairan/pantai di wilayah Nusantara, Asia Tenggara dan
Pasifik.
Partisipasi kaum perempuan
Suku Bajo dalam politik telah ditunjukkan, beberapa Lolo Bajo di daera BajoE
dipilih dari kaum perempuan. Demikian pula sikap positif dari tradisi Suku Bajo, seperti: (1)
memiliki naluri untuk hidup bertetangga baik, (2) kegotongroyongan, (3)
tenggang rasa dan hidup rukun, (4) rajin, giat, ulet, (5) system belajar asli,
dan (6) penguasan Bahasa Melayu/Indonesia. Beberapa aspek nilai modernitas juga
telah tumbuh dalam aktivitas Suku Bajo, yaitu: orientasi ke arah kemajuan,
motivasi berprestasi, kemandirian, kewiraswastaan, sikap jujur, sikap disiplin
dan kerja keras, serta sikap kekeluargaan. Dari segi pendidikan formal, para
orang tua Suku Bajo telah meningkat kesadaran untuk menyekolahkan anaknya,
termasuk melanjutkan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar.
1999a. Aspirasi Pendidikan Masyarakat
Nelayan pada Desa-Desa Tertinggal di Kecamatan Soropia Kabupaten Kendari.
Kendari: Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo.
Anwar.
1999b. Aspirasi Pendidikan Masyarakat
Desa Tertinggal di Propinsi Sulawesi Tenggara. Kendari: Lembaga Penelitian
Universitas Haluoleo.
Anwar.
2000. Lontarak Assalenna Bajo (Lontarak
Asal-usul Suku Bajo). Jakarta:
Program Penggalakan Kajian Sumber-sumber Tertulis Nusantara Ditjen Dikti
Depdiknas.
Anwar.
2003. Pengembangan Model Pengelolaan
Pembelajaran Keterampilan Berbasis Sosial Budaya bagi Perempuan Nelayan. Bandung: Tesis Doktor
pada PPS UPI.
Dirman, L.O. 1997. “Orang Berese (Adaptasi pada Pemukiman Orang Bajo
di Wilayah Pesisir Desa Holimombo Kabupaten Dati II Buton)”. Tesis Magister pada PPs UI, tidak
diterbitkan.
Galib, L.M. 2001. “Penerapan Model Konstruktif
Pembelajaran Sains dan Teknologi Dengan Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat
dan Strategi Pembelajaran Model di Sekolah Dasar Kecil Negeri Bungin”. Disertasi Doktor pada PPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Hinayat, M.S. 1993. General Notes on Bajau/Sama
Community in the State of Sabah, Malaysia. Paper
International Seminar on Bajau Communities, LIPI, Jakarta 22-25 November 1993.
Kling, Z. 1993. “The Bajau of Sabah (Malaysia): Adat
as Indicator of Social Structure”. Paper
International Seminar on Bajau Communities, LIPI, Jakarta 22-25 November 1993.
Koentjaraningrat.
1982. Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta:
Gramedia.
Pelras, C. 1993. “A Few Complementary Notes on
Aquatic Populations in South Sulawesi and South Malaya”. Paper International Seminar on Bajau Communities, LIPI, Jakarta 22-25 November
1993.
Soetomo. 1990. Pembangunan
Masyarakat: Beberapa Tinjauan Kasus. Yogyakarta: Liberty.
Sudjana, D. 2000. Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Luar Sekolah dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung:
Falah Production.
Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta:
Gramedia.
Tasman. 1995. “Integrasi Sosial Masyarakat Terasing ke dalam Sistem
Nasional Indonesia Melalui Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat
Terasing (PKSMT) (Studi pada Masyarakat Suku Bajo di Daerah Tingkat II
Kabupaten Kendari)”. Tesis Magister
pada PPs UI, tidak diterbitkan.
Zaltman, G. dan Duncan, R .1977. Strategies for Planned Change. New York: John Wiley & Sons.
Zen, M. 1993. “Dinamika Pendidikan ‘Orang Laut’ Sebagai Suatu Profil
Operasionalisasi Pendidikan Nasional”.
Disertasi Doktor pada PPs IKIP
Bandung: tidak diterbitkan.
PERANAN PENDIDIKAN TERHADAP PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MASYARAKAT BAJO
Oleh
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
Makalah
Disajikan dalam Seminar Perumusan Penulisan Naskah Sejarah Bajo
di Kendari pada Tanggal 18 Maret 2014
PANITIA SEMINAR
PERUMUSAN PENULISAN NASKAH SEJARAH BAJO
KERUKUNAN KELUARGA
BAJO SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar