Minggu, 28 Juni 2020

POTENSI BUDAYA DAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA (Suatu Kajian di Sulawesi Tenggara)


POTENSI BUDAYA DAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA
(Suatu Kajian di Sulawesi Tenggara)
Oleh: Prof. Dr.H. Anwar Hafid, M.Pd.
Dosen FKIP dan Pascasarjana Universitas Haluoleo

A. PENDAHULUAN
Mempelajari rangkaian sejarah perjuangan bangsa Indonesia merupakan suatu kaharusan bagi generasi sekarang untuk memilih dan menganalisis peristiwa-peristiwa sekarang dalam upaya menentukan arah yang akan dituju pada masa yang akan datang. Sejalan dengan itu Toynbee (1965) menyatakan bahwa mempelajari sejarah adalah untuk membuat sejarah (to study history is to build history).
Secara sosio-psikologis, budaya masyarakat Sulawesi Tenggara dewasa ini memiliki ciri-ciri umum, yang berpotensi besar sebagai pendorong pembangunan daerah. Ciri-ciri itu, adalah:
1.      Memiliki naluri untuk hidup bertetangga secara baik
2.      Mempunyai keinginan dan sikap kerja sama dalam bentuk gotong royong, yang diaplikasikan dalam budaya samaturu, pokadulu, dan sebagainya.
3.      Memiliki sikap kekerabatan yang dicerminkan dalam solidaritas dan tenggang rasa terhadap sesama.
4.      Rukun dalam kehidupan, mau bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan.
5.      Memiliki semangat juang, ulet, tahan uji, dan penyabar,
6.      Menghormati orang lain yang memiliki status sosial yang lebih tinggi di masyarakat atau lingkungan kerjanya.
Timbul pertanyaan: apakah ciri-ciri yang diangkat dari budaya masyarakat Sulawesi Tenggara pada masa transisi 2008 ini dapat digunkan dalam kehidupan modern? Bagaimana cara mentransformasikannya dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Tenggara pada tata pergaulan berbangsa dan pergaulan antar bangsa dalam era global?
Jawabannya bisa dijelaskan dengan mencoba meminjam pada kenyataan hidup masyarakat Cina Perantauan seperti dikatakan oleh Naisbitt (1997) yaitu bekerja keras dan hemat sebagai ciri menonjol dalam diri orang-orang Cina. Mereka bekerja dengan menggantungkan diri pada keberanian, keahlian, dan jiwa wirausaha. Salah seorang Cina Perantauan dari Malaysia Robert Kuok, menyatakan: sebagai anak-anak kami belajar nilai-nilai moral, terutama nilai moral Konfusian. Istilah seperti: integritas bisnis, kehormatan, kata-katamu adalah ikatanmu, sering digunakan oleh orang tua dan mengendap dalam dada generasi muda. Demikian pula moralitas mulut, harus dijaga, yaitu: tidak boleh berbicara buruk mengenai orang lain.
Jika kesamaan ciri budaya Cina tersebut yang ada pada unsur-unsur budaya Sultra dapat diaplikasikan, bukan suatu hal yang naif jika kemajuan masyarakat Sultra 2020 dapat terwujud, yang pasti bahwa unsur-unsur budaya inovatif telah terintegrasi dalam beberapa budaya suku bangsa yang ada di Sultra. Misalnya Orang Buton melekat jiwa dan semangat kebaharian, orang Muna menonjolkan ethos kerja dan hidup sederhana, orang Tolaki melekat sikap kegotongroyongan dan pola hidup sederhana, orang Bugis dengan dinamika yang tinggi memiliki ethos kerja dan semangat kewirausahaan, orang Bajo mempertahankan unsur-unsur kedisiplinan dalam aktivitas kesehariannya yang mengikuti pasang surut air laut, orang Jawa dengan ketekunannya, dan orang Bali dengan sikap kreativitas dan seninya. Potensi inovatif dari masing-masing suku bangsa atau budaya komunitas yang ada di Sultra saat ini, harus dipandang sebagai suatu potensi dan peluang, bukan tantangan dan hambatan pembangunan menuju kesejahteraan.
Secara empiris, potensi budaya Sultra yang dapat dikembangkan dalam mendukung pembangunan, khsusnya di sektor pariwista telah diidentifikasi oleh Djami (1992) yanga dibagi atas empat unsur budaya, yaitu: (1) upacara tradisional sebanyak 30 jenis, (2) kesenian sebanyak 68 jenis, (3) indsutri tradisional sebanyak 23 jenis, dan (4) peninggalan sejarah-budaya sebanyak 58 jenis. Keempat unsur budaya terdiri atas 180 jenis itu, tersebar di empat kabupaten (Buton 60 jenis, Muna 45 jenis, Kendari 36 jenis, dan Kolaka 39 jenis).
Selain adanya ciri-ciri tersebut, masyarakat Sulawesi Tenggara di era 2003 dipengruhi pula oleh sifat-sifat atau budaya seperti digambarkan oleh Teori X dan Teori Y. Di antara individu masyarakat Sulawesi Tenggara dewasa ini, terdapat sikap malas, tidak bertanggung jawab, tidak kreatif, dan hanya bekerja sekedar untuk hidup. Pada sisi lain ciri Teori Y dapat dijumpai seperti bekerja sebagai suatu kesenangan atau permainan (works is a play),  bertanggung jawab, kreatif, dan bekerja tidak hanya untuk mencari kepuasan fisik, melainkan juga sebagai upaya pemenuhan kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri (Sudjana, 2000). 
Pada saat ini Indonesia sedang menghadapi permasalahan disintegrasi nasional, sekurang-kurangnya ada tiga masalah yang harus segera dipecahkan. Pertama, problema historis yang berkaitan dengan konflik sosial, yakni berupa krisis ketika konflik-konflik masa lalu belum terselesaikan dan tertinggal, sekarang menuntut penyelesaian. Kedua, problema kekinian yakni masalah-masalah yang harus diselesaikan terutama berkaiatan dengan masalah struktural, misalnya konflik yang muncul akibat ketimpangan struktural, seperti ekonomi, kemiskinan, tindak kekerasan militer dan aparat Polri. Ketiga, problema masa depan yakni bagaimana meletakkan dasar bagi masa depan Indonesia yang lebih baik, ini diperlukan untuk menjawab tantangan masa depan yang semakin kompleks dan transparan melalui jendela globalisasi dunia (Warsilah, 2000).
Implikasi terhadap problema masa depan adalah berupa tantangan untuk mengantisipasi gejala hegemoni kebudayaan, karena jika hal ini terjadi akan cenderung merelatifkan kebenaran. Oleh karena itu, dalam jangka panjang adalah bagaimana kita mengupayakan proses demokrasi dan proses integrasi yang berlandaskan pluralitas, kesetaraan, transparansi dan pelibatan partisipasi publik atau mendorong penguatan kedudukan masyarakat dalah ranah publik. Solusinya adalah mendorong munculnya kohesi sosial yang pluralistik, dimana ketika setiap golongan dengan karakteristik sosio-kultural masing-masing merasa menjadi bagian dari sebuah komunitas bersama, bukan beberapa komunitas yang saling mendominasi atau merasa tersubordinasi oleh komunitas lainnya.

Tidak dipungkiri, wilayah pertumbuhan selalu menjadi tumpuan pendatang baru, baik dari golongan pribumi maupun nonpribumi, mereka merasa tercabut dari lingkungan sosio-kultural yang intim untuk merantau ke daerah baru, dan menjadi orang asing. Sikap perilaku pendatang baru untuk penduduk lokal dianggap asing dan aneh karena tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Mulailah berkembang sentimen stereotipe yang menyesatkan, seakan-akan “kami”  lebih baik dari “mereka” (pendatang).

Perspektif budaya, tentang bagaimana kita mengupayakan pertemuan antar berbagai kelompok masyarakat dalam suatu “Budaya Bazar”, bukan sebaliknya “Bazar Budaya”. Kebudayaan Bazar tampil sebagai kebudayaan yang bercorak  trans-etnis atau merupakan forum dari berbagai unsur kebudayaan, sekaligus menjadi jembatan yang memperlancar terjadinya komunikasi antar budaya. Dalam suasana bazar atau pasar, kebudayaan etnis dapat menemukan unsur-unsur yang merupakan pasangan dari apa yang mereka miliki (Warsilah, 2000).

Bentuk lain budaya bazar dapat ditemukan dalam budaya perpangkalan yaitu merupakan alternatif upaya dari kelompok pendatang untuk dapat terlibat dalam perekonomian setempat dan bahkan melakukan perkawinan antar etnik setempat, mereka sepakat untuk membentuk pangkalan atau tempat untuk berkumpul dan saling berinteraksi. Dalam perkembangannya, pangkalan tidak semata-mata tampil dalam wujud fisik, tapi transformasi menjadi “Budaya Perpangkalan” yang merupakan media ekspresi budaya pendatang yang khas berperan sebagai ikatan solidaritas sosial dan media kebutuhan ekonomi berupa alih keterampilan, dan bursa kerja.

Suatu hasil penelitian yang dilakukan oleh Bruner menunjukkan dua pola budaya yang berbeda antara di Medan dan di Bandung. Di Bandung kebudayaan tertentu sudah menjadi dominan, sementara di Medan tidak ada suatu kebudayaan suku bangsa yang dominan (Suparlan, 2000). Pola pengembangan budaya di Medan dapat menjadi contoh yang menarik untuk dikembangkan di daerah yang rawan konflik antar etnik atau kelompok-kelompok sosial, meskipun pola yang terjadi di Bandung belum ada bukti signifikan akan ketidakmampuan memelihara perdamaian dan kerukunan antar etnik yang ada di Bandung. Tetapi sebagai antisipatif, model yang berkembang di Medan dapat dijadikan bahan banding untuk melakukan rekayasa sosial di daerah yang rawan konflik baik melalui lembaga pendidikan formal maupun pendidikan non-formal dan informal.

Di Sulawesi Tenggara keragaman etnik pada kenyataannya merupakan proses sejarah yang panjang yang berawal dari kedatangan nenek moyang mereka dari Asia dan Pasifik, tetapi secara genealogis dapat dibagi dalam dua rumpun etnik yaitu Mongoloid (Moronene, Tolaki/Mekongga, Kulisusu, Wawonii/Menui) dan Austro-Melanesiod (Buton dan Muna). Perkembangan selanjutnya pada kedua rumpun etnik itu terjadi hubungan kekerabatan akibat perkawinan antar etnik yang ada melalui jaringan perdagangan. Akhirya berkembanglah suatu rumpun etnik besar (seluruh suku bangsa yang ada di Sultra) yang mendiami segenap wilayah Sulawesi Tenggara baik di daratan maupun di kepulauan tercermin pada diri Lakilaponto alias Sultan Qaimuddin/Murhum, alias Haluoleo.

Kedatangan Bangsa Portugis dan Spanyol,  berdasarkan peninggalan yang ada di berbagai tempat di Buton dan sekitamya seperti jangkar besar yang terbuat dari besi, meriam dari berbagai jenis dan ukuran serta sumber-sumber lainnya, maka kedatangan bangsa Spanyol dan Portugis dipulau ini, adalah sekitar awal abad ke-16. 
Sejak kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol, Buton berperan sebagai daerah persinggahan dari jalur pelayaran Betawi, Makassar, Buton, Temate dan Ambon.  Buton memiliki daya tarik antara lain karena letaknya yang sangat strategis di jalur perdagangan, memiliki pelabuhan alam yang indah dan aman. 

B. PERIODISASI PERJUANGAN RAKYAT/SULAWESI TENGGARA
1. Masa Kejayaan Nasional
Perjuangan rakyat Indonesia telah dimulai sejak berdirinya kerajaan nasional di Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit pada abad 7-15 masehi, kedua kerjaan ini berhasil mempersatukan bangsa Indonesia setelah melalui perjuangan dalam bentuk memupuk persatuan diantara kerjaan-kerajaan kecil, dan menghalau ekspedisi bangsa-bangsa asing seperti Kerajaan Campa dari Indoechina, dan ekspedisi Kubilaikan ke kawasan Nusantara ini. Kebesaran kerjaan Sriwijaya diakui oleh Van Leur sebagai negara yang menguasai pulau-pulau di sekitamya. Demikian pula Kerajaan Majapahit pada abad 13-15 menurut Van Soet pada masa itu bangsa Indonesia merupakan pedagang-pedagang yang giat dan penuh keuletan,serta bejiwa pahlawan, rajin dan berani (Kansil, 1986). Ketatanegaraan Majapahit disusun dengan rapi, pemerintahan pusat berbentuk lima badang yang disebut Pancaning Wilwatika (Lima Kemahamenterian). Sistem ketatanegaraan seperti itu juga dapat dijumpai di Kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Tenggara seperti Kerajaan Konawe yang mengenal istilah Siwole Mbatohu (empat pintu gerbang) dan Pitu Dula Batu (tujuh pilar negara). Di Kesultanan Buton dikenal Empat Barata yang merupakan pilar wilayah Kesultanan Buton sekaligus merupakan pejabat tinggi Kesultanan dan berkuasa di wilayahnya masing-masing (Bhurhanuddin, 1978).
Lakilaponto (Haluoleo) adalah tokoh yang pertama mempersatukan Sulawesi Tenggara secara politis. Pada periode ini terdapat empat kerjaan besar di Sulawesi Tenggara yaitu: Mekongga, Konawe, Wuna, dan Wolio/Buton. Haluoleo pernah menjadi panglima di Konawe, menjadi Raja Muna VII, kemudian menjadi Raja Wolio V dan Sultan Buton I. Nama aslinya Lakilaponto diberikan oleh orang Muna, di Konawe diberi gelar Haluoleo, di Buton diberi gelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis (Raja Kelima) kemudian diberi gelar anumerta Murhum.

2. Penindasan Kolonial
Kolonialisme adalah rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menaklukkan bangsa lain di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan dengan jalan: (1) dominasi politik, (2) eksploitasi ekonomi, dan (3) penetrasi kebudayaan. Sedangkan usaha mempersatukan koloni-koloni menjadi suatu sistem penguasaan/pemerintahan disebut imperialisme.
Selama ini tidak banyak terungkap perjuangan rakyat di Sulawesi Tenggara, disebabkan karena dua faktor:
1.      Kaum penjajah Belanda tidak lama menanamkan pengaruhnya di Sulawesi Tenggara kecuali di Buton.
2.      Belum banyak ditulis para sejarawan khususnya dalam bentuk buku untuk pembelajaran di sekolah.
Meskipun demikian jika kita kembali mengkaji jejak sejarah masyarakat di daerah ini tidak sedikit fakta akan perjuangan mereka baik terhadap upaya mempersatukan kerjaan-kerajaan kecil di Jazirah Sulawesi Tenggara seperti yang dilakukan oleh Haluoleo (Murhum/Lakilaponto/Sultan Qaimuddin) khususnya dalam mengusir bajak-bajak laut Tobelo. Demikian pula fakta ditemukannya beberapa jangkar dan meriam peninggalan Portugis/Spanyol di pantai Utara Buton di Soropia Kendari akan memberi inspirasi kepada kita bahwa pemiliknya kalau tidak karang kapalnya berarti mereka mendapat perlawanan rakyat setempat.
Wa Ode Wakelu: Permaisuri Raja Muna XII La Ode Ngkadiri yang menggantikan suaminya ketika ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Temate. Pada saat yang sama terjadi kemelut antara Muna dengan Belanda, dimana Muna tidak pemah mau mengakui kekausaan Belanda atas wilayahnya dan selalu ingkar membayar pajak upeti kepada Balanda melalui Buton, akhimya Belanda berusaha menyerang Muna dan rakyat Muna bangkit menghadapi tantangan Belanda, Wa Ode Wakelu sebagai Ratu juga tampil sebagai panglima yang terjung langsung di medan perang. Muna dalam hal ini bersekutu dengan Tiworo ketegangan terjadi antara tahun 1667-1668 yang berakhir setelah pasukan Muna di bawah pimpinan Wa Ode Wakelu  dapat dikalahkan. Tetapi bagaimanapun kehadiran Srikandi ini dipanggung politik dan pertempuran makin menambah catatan sejarah keperkasaan atas emansipasi wanita Sulawesi Tenggara dan Indonesia umumnya.
La Ode Ngkadiri: Raja Muna XII bergelar Sangia Kaindea  (1626-1667) dua kali memangku jabatan Raja Muna, periode pertama seperti tersebut dan periode kedua sesudah kembali dari pengasingan di Temate pada tahun 1670. Ia diasingkan oleh Belanda antara tahun 1667-1670 karena sikapnya yang menentang campur tangan Belanda atas Kerajaan Buton dan Muna dia tidak mau bekerja sama dengan Belanda yang pada saat itu berusaha menanamkan monopli politiknya atas Buton dan Muna. Untuk menghadapi ancaman Belanda, maka Raja Muna bersama Dewan Kerajaan mengdakan rapat di Lambu Balano pada tahun 1628, yang memutuskan: (1) Belanda dinyatakan tidak boleh masuk di Tanah Muna, (2) Muna tidak bersedia menjalin persahabatan dengan Buton selama Buton masih bekerja sama dengan Belanda, (3) Muna memberi bantuan secara terang-terangan kepada pasukan Sultan Hasanuddin yang sementara berlindung di Tiworo. Usaha Belanda mendekati Raja La Ode Ngkadiri melalui kawin politik dengan bangsawan Buton yang menjadi sekutu Belanda tidak berhasil karena tercium oleh Raja Muna, sehingga ia menolak dan akhimya Belanda berusaha menangkapnya karena dianggap berbahaya atas eksistensi kepentingan Belanda di kawasan Jazirah Sulawesi Tenggara. Ia diasingkan ke Ternate, dan Dewan Kerajaan Muna mengangkat istrinya bemama Wa Ode Wakelu, dialah yang memimpin perlawanan terhadap Belanda antara tahun 1667-1668, akhimya Muna dan Tiworo berhasil dikalahkan. Maka kekuasaan Wa Ode Wakelu dianulir Belanda dengan mengirim utusan dari Buton bemama La Ode Muh. Idris untuk mengisi kekosongan pemerintahan di Kerajaan Muna.
Sultan Buton Muhamad Umar (1885-1904) menentang kehadiran Belanda di Buton, beberapa pembesar Kesultanan Buton menentang Belanda kemudian ditangkap tahun 1906, seperti: Ani Abd. Latif (Kenepulu), Muh. Zukri (Lakina Sorawolio), Abd. Hasan (Bonto Ogena Matanyo), La Sahidu (Bonto Ogena Sukanayo) mereka dibuang ke Makassar.
Lapadi: seorang Tamalaki (Panglima) dan Plonui dari Kerajaan Konawe yang berjuang menentang Belanda (1908-1912) di daerah Windo Pamandati wilayah Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe Selatan sekarang ini. Lapadi dibantu oleh putrinya bemama Aliyina. Dalam perjuangan mereka membuat benteng pertanahan dengan menjejer batu sepanjang 15 meter. Dalam ekspedisi Belanda pada tahun 1908, Lapadi bersama pengikutnya menghadang ekspedisi Belanda yang menyebabkan beberapa pasukan Belanda tewas, serangan Belanda diikuti dengan kegiatan mata-mata yang dilakukan oleh salah seorang juru bahasa Belanda bemama La Ende, menyebabkan Lapadi tertipu dan dikepung musuh pada bulan Desember 1910 berhasil tertangkap oleh pasukan Belanda dan ditawan di Kendari, berkat semangat juangnya yang gigih akhimya ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan melanjutkan perjuangan, pada tahun 1911 pertanahan Lapadi kembali berhasil diterobos pasukan Belanda, segenap pengikutnya tewas termasuk putrinya Srikandi Aliyina, Lapadi sendiri melakukan petualangan di hutan-hutan pegunungan di daerah Konawe sampai akhimya pada tahun 1914, setelah mendirita sakit meninggal dunia.
Lamboasa, dalam Kolonoal Verslad (1910) disebutkan bahwa ia berjuang melawan Belanda di wilayah Konawe dan gugur dalam pertempuran..
Mataalagi memimpin perlawanan pada tahun 1915 kepada seorang Kepala Distrik Pasar Wajo (Buton) yang diangkat oleh Belanda pada tahun 1914 yang harus melaksanakan kebijakan Belanda. Dalam proses pengangkatannya segenap orang Laporo tidak mendukung pengangkatan La Ode Sambira. Mataalagi memimpin gerakan rakyat menetang pemerintahan La Ode Sambira dan berhasil membunuhnya. Mataalagi dan pengikutnya kemudian disusul segenap orang Laporo ditangkap dan diasingkan ke Bau-bau. Mataalagi, Maandia, Maadulu sebagai pemimpin perjuangan akhimya dibuang ke Makassar untuk diadili dan selanjutnya di asingkan ke Nusakambangan.

3. Pergerakan Nasional
Istilah pergerakan mengadung arti yang khas, berlainan dengan pengertian perjuangan. Pergerakan merupakan bagian dari perjuangan, yaitu perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dengan menggunakan organisasi yang teratur. Istilah nasional adalah pergerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan bangsa.
Di daerah Kendari/bekas Kerajaan Konawe eksepedisi Belanda mendapat perlawanan diantaranya: Perlawanan Watukila (Ponggawa Tongauna), Sumuela (Sulewata Wawotobi),  Wulumohito (Puutobu Tuoi), Lapotende menghadang ekspedisi Kapten Helleks di Palarahi-Wawotobi, perlawanan Lapadi, perjuangan srikandi Weribundu, Matasala berhasil membunuh pionir Belanda (Han Po Seng), perjuangan Lamboasa yang gugur dalam pertempuran. Pengasingan tokoh-tokoh pejuang: Watukila ke Makassar, Sumualo ke Makassar, dan Matasala dkk ke Sawalunto (Bhurhanuddin, 1978). Perjuangan di Konawes Selatan dipimpin oleh Lamangga (1911), Abdullah (1914-1915) yang berakibat pembuangan mereka ke Payakumbuh dan Nusakambangan.
Di daerah Mekongga/Kolaka perlawanan dilakukan oleh H. Hasan dan Tojabi di Lasusua dan Wawo, mereka berhasil menewaskan 14 orang Belanda. Di Konawe Utara perlwanan dipimpin oleh To Indera, La Tollong, dan La Kampacu. Mokole Poleang menentang kehadiran Belanda di wilayahnya dan diracun oleh Belanda, digantikan oleh Mbohogo kedian ditangkap dan dibuang ke Nusakambangan.
Watukila: Panglima Perang Kerajaan Konawe (1864-1934) yang dalam struktur pemerintahan Kerajaan Konawe bergelar Ponggawa di Tongauna. Watukila berjuang menentang kehadiran belanda di wilayah Konawe, menjelang kedatangan Belanda ia mengatur strategi dan taktik perjuangan. Melihat situasi yang tegang, maka salah seorang juru bicara Belnda bemama Haji Taata berusaha mempertemukan kedua belah pihak, akhimya tercapai kesepakatan untuk berunding di Molawe pada tahun 1909 yang kemudian terkenal dengan nama Traktat van Molawe. Pihak Konawe yang hadir adalah Watukila, dan para bangsawan dari Abuki, Asaki, Latoma, Pondidaha, Kasipute, Uepay, beserta segenap pengikutnya, dari pihak Belanda hadir Gekkers selaku pemimpin dikawal satu kompi pasukan yang ada di atas kapal, didampingi Raja Sao-sao dari Laiwoi, dan Haji Taata. Perjanjian ini tidak pemah diketahui isinya oleh masyarakat Konawe, termasuk Watukila sendiri, oleh sebab itu segera setelah kembali dari perundingan, ia mengatur strategi perjuangan dengan menghimpun para pejuang seperti Lamboasa dan Langgolo untuk memimpin perlawanan, markas pasukan ditempatkan di Sanuanggambo tempat tinggal Watukila, sekaligus sebagai penempatan meriam, benteng pertahanan lainnya ada di Puundombi dengan taktik menggali tanah untuk dijadikan benteng pertempuran di tengah hutan lebat. Benteng pertahanan lainya terdapat di Abuki dan Wawotobi. Sehari sebelum serangan Belanda ke markas Watukila salah seorang mata-mata Belanda beranama Haam Poo Seng terbunuh oleh pasukan Watukila di Puday. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Trevers dapat mengejar pasukan Konawe dan berhasil menewaskan panglima Langgolo, Watukila tidak kehabisan akal mengangkat Lamboasa menggantikan posisi Langgolo dan memindahkan markas pertahanannya ke Tanea, dalam pertempuran selanjutnya Lamboasapun gugur dalam pertempuran, dalam situasi makin terdesak Belanda mengajak berunding, tetapi Watukila menolaknya, meskipun akhimya ia tertawan oleh pasukan Belanda, dan selanjutnya di asingkan ke Makassar.
Lamangga: Seorang pejuang dalam menentang imperialisme Belanda di daerah Palangga (1909-1911). Dia mengatur strategi perjuangan dengan mempersiapkan senjata Taawu (parang panjang) dan tombak. Strategi perjuangan Lamangga dapat tercium oleh salah seorang mata-mata Belanda bemama Polingay seorang bangsawan Andoolo, akhimya Lamangga dapat terbunuh oleh kaki tangan Polingay pada tahun 1911. Sebagai penghargaan Belanda terhadap jasa Polingay membunuh Lamangga, maka selanjutnya diangkat menjadi Kepala Distrik Palangga.
La Ode Ijo: Kapitalau Lohia (Panglima Perang Lohia) di Kerajaan Muna penentangan perjanjian kerja sama dengan Belanda yang dilakukan oleh Raja Muna La Ode Maktubu. Pada tahun 1910 Belanda memerintahkan kepada La Ode Maktubu untuk menangkap La Ode Ijo hidup atau mati. La Ode Ijo berusaha menggalang simpati rakyat melawan Belanda yang bersekutu dengan La Ode Maktubu, dalam beberapa kesempatan mereka berhasil menewaskan pasukan Belanda, meskipun pada akhimya  La Ode Ijo sendiri dapat dikalahkan pada tahun 1914.

4. Pergerakan Nasional pada Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang di Sulawesi Tenggara tidak sepi dengan perlawanan diantaranya tercatat: perlawanan di Wanci tahun 1943 dipimpin oleh La Ode Maniru dan Laode Abdulu yang menyerang Gunco (Kepala Distrik) Wanci yang dikawal dua orang polisi Jepang yang menemui ajalnya dan Gunco mengalami luka-luka. Sedangkan La Ode Maniru dan La Ode Abdulu dihukum mati di depan mata pengikutnya di Wanci. Demikian pula perjuangan Tojabi di Kolaka Utara berlanjut, namun karena usia lanjut sehingga dapat ditangkap dan diasingkan ke Palopo.

5. Perjuangan Pascakemerdekaan
Segera setelah kemerdekaan kekhawatiran para pemuda akan kedatangan sekutu bersama Belanda menjadi kenyataan. Proklamasi yang telah diikrarkan mendapat ronrongan dari Sekutu/Belanda (NICA), mereka memcap proklamasi Indonesia buatan Jepang, hal ini tentu saja tidak dapat diterima oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia. Tampillah para pahlawan pejuang dengan bermodalkan semangat yang dilengkapi senjata sedanya terutama bambu runcing berhadapan dengan senjata moderan milik Sekutu dan Belanda.
Sekutu menyerahkan kekusaannya kepada Belanda dan bukan kepada Indonesia, terjadilan perlawanan baik kepada Sekutu seperti yang terjadi di Surabaya yang dikenal peristiwa 10 November 1945 oleh Arek-Arek Suroboyo, dan di beberapa belahan daerah lainnya termasuk di Sulawesi Tenggara yang dikenal dengan peristiwa 10 November 1945 di Kolaka.
Perjuangan rakyat Sulawesi Tenggara tidak berakhir setelah proklamasi, karena pada masa revolusi fisik perlawanan semakin gencar dilakukan oleh para pemuda baik secara pribadi maupun melalui organisasi kelaskaran. Berita proklamasi segera diterima oleh rakyat di daerah ini, dimulai dengan kedatangan pelayar Wakatobi yang memperoleh berika proklamasi di Pulau Jawa dan Makassar. Disusul dengan pengibaran bendera merah putih pertama kali di Kolaka dipimpin oleh Kepala Pemerintahan Kolaka Andi Kasim 17 September 1945, di Lasusua 5 Oktober 1945, di Wawotobi Akhir Oktober 1945 dipelopori oleh pemuda yang mendapat dukuang Raja II Laiwoi La Sandara, di Kota Kendari dilakukan penempelan pamplet berita proklamai yang dlakukan oleh para pemuda, diantaranya Mahaseng, di Bupinang pengibaran merah putih dilakukan akhir November 1945, di Muna para pemuda militan dipimpin oleh Idrus Efendi melakukan penguabaran bendera merah putih di luar Kota Raha.
Para pemuda pejuang melakukan takntik perang gerilya untuk menghadapi Belanda NICA. Puncak perlawanan terhadap NICA di Sultra terjadi pada tanggal 19 November 1945 ketika para pemuda pejuang di Kolaka yang mendapat dukungan penuh dari pemimpim pemerintahan Andi Kasim melakukan penyerangan terhadap ekspedisi NICA di luar Kota Kolaka.
Tokoh tokoh masyarakat dan pemuda di Kolaka pada bulan Juni 1945 membentuk Gerakan Kebangunan Rakyat (GKR) yang merupakan badan persiapan unntuk menyambut kemerdekaan yang dijanjikan. Tokoh GKR adalah masyarakat/pemuda Kolaka yang merupakan kader dari Gerakan perjuanga sebelum perang yaitu tokoh PSII, Muhammadiyah dan PNI di Kolaka yang telah dibubarkan oleh Jepang. PSII dan Muhammadiyah memang mempunyai kader-kader yang militan di Kolak terutama Kolaka Utara (Lasusua).
PETA yang bergerak di bawah tanah setelah Kemerdekaan di Kolaka pada awal September 1945 berhasil merebut beberapa pucuk senjata dari Jepang. Semenjak terbentuknya API pemuda di bawah pimpinan Tahrir dan M. Ali Kamry berhasil mendapat beberapa pucuk karabijn 95, atau senjata yang dibuang Jepang di pelabuhan Pomalaa. Penyelaman senjata ini tidak mendapat rintangan Jepang. Pengibaran sang Merah Putih di Kolaka dan pemyataan sebagai bagian dari Rl dihadiri oleh Kabasima Taico. Demikian pula pengibaran bendera, di Wawotobi yang dlihadiri pula oleh seorang Jepang yaitu Ninomiya Heizo sedangkan rapat pemuda Ke rumah A. Baso juga dihadiri oleh sersan (Heizo) Sibata.
Namun demikian dilihat dari bentuk organisasi. GKR merupakan suatu organisasi massa yang sifatnya menghimpun rakyat dan aspirasi masyarakat. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, PETA dibentuk di Kolaka pada akhir Agustus 1945. Organisasi ini bergerak di bawah tanah dengan maksud menghimpun pemuda militan dengan tekad penuh membela Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dari PETA kemudian bulan September 1945 muncullah API yaitu Angkatan Pemuda Indonesia yang merupakan organisasi massa Pemuda pendukung Proklamasi Kemerdekaan RI. Organisasi Pemuda di Kolaka ini pada tanggal 17 September 1945 berhasil meyakinkan pemerintah setempat sehingga Kolaka dinyatakan sebagai wilayah atau bagian dari RI.
Sebulan kemudian API menjelma menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI) pada tanggal 17 Oktober 1945, yang lebih menonjolkan tekad para pemuda di Kolaka, untuk mendukung RI dan mempertahankan Kolaka sebagai bagian dari RI. Berbeda dengan API dalam organisasi PRI walau pun sifatnya sebagai organisasi massa, diadakan Bagian Keamanan/Pertahanan yang di bawahi oleh H. Abd. Wahid Rahim, Kepolisian oleh Usman Effendi, persenjataan oleh Lappase dan penggalangan potensi oleh M. Jufri. Keadaan ini menggambarkan bahwa kemerdekaan itu memerlukan pertahanan dan perjuangan bersenjata.
Kemudian PRI di Kolaka secara resmi membentuk bagian Kelasykaran yang diberi nama PKR (Pembela Keamanan Rakyat) yang dipimpin oleh M. Josef seorang bekas KNIL yang saat itu dipekerjakan oleh Jepang di Pomalaa bersama-sama dengan Sarilawang, M. Billibao dan J.M. Ohijver. Dalam PKR tergabung bekas KNIL, Heiho dan para Pemuda dari kampung kampung (Seinendan). Mereka diberi latihan kemiliteran di desa Silea. PRI Kolaka yang menjalin kerja sama erat dengan PRI Luwu di Palopo  berusaha melebarkan wilayah pengaruh perjuangannya ke luar Kolaka.
Pemuda Wawotobi ingin menggabungkan diri ke dalam PRI Kolaka dan kemudian datang pula utusan PRI Kolaka ke Wawotobi yaitu Yusuf, M. Jufri dan A. Majid. Sebagai hasil kunjungan tersebut Wawotobi dibentuk “Sinar Pemuda Konawe” yang dipimpin oleh J Muhsin. Sinar Pemuda Konawe tidak dapat mewujudkan organisasi kelasykaran karena tidak lama kemudian Australia/NICA memasuki Wawotobi. Di Kendari Selatan (Andoolo) terbentuk Pemuda Rakyat yang dipimpin oleh M. Ali Silondae. Pemuda Rakyat di Andoolo ini kemudian menjelma menjadi organisasi kelasykaran PKR dan bergabung dengan PKR Kolaka dengan pimpinannya M."Ali Silondae PKR Andolo  merupakan batalion dari brigade PKR Kolaka dan mempunyai kompi yaitu : (1) Andoolo, (2) Palangga, (3) Laea, dan (4) Kolono.
Pembentukan PKR sebagai badan kelasykaran dimatangkan oleh kenyataan Belanda ingin kembali menguasai Sulawesi Tenggara. Tidak ada pilihan lain dari pemuda Sulawesi Tenggara kecuali mengadakan perlawanan bersenjata. Pusat dari pada perlawanan bersenjata adalah Kolaka. PKR Kolaka yang dibentuk dalam tingkat brigade  memperluas diri dengan penggabungan para pemuda dari Andolo dan hulu Sungai Konaweha, di Tawanga dan Tongauna terhadap kompi PKR.
PKR mengorganisir pemuda dan seluruh rakyat sampai ke desa-desa, sehingga PKR sebagai badan kelasykaran resmi, dikenal pula di desa-desa dengan adanya pasukan parang, pasukan tombak dan pasukan panah yang berafiliasi dengan PKR. Pada dasamya perjuangan mempertahankan kemerdekaan adalah perjuangan rakyat semesta.
Di Muna terbentuk "Barisan 20" pada 16 Oktober 1945 yang berorientasi pada perjuangan bersenta. Komandan "Barisan 20" adalah M. ldrus Efendi, dengan wakil komandan Taeda Akhmad. Disamping "Barisan 20" di Raha (Muna) dibentuk pula organisasi pemberontakan Republik Indonesia yang, dipimpin oleh Taeda Akhmad. Oganisasi ini kemudian lebih dikenal oleh Belanda sebagai organisasi pemuda RI.
"Barisan 20" menyadari bahwa perjuangan tidak akan berhasil tanpa kordinasi dengan organisasi perjuangan di sekitamya. Untuk keperluan itu, maka La Karaila diutus ke Kolaka untuk menjalin bungan dengan PRI Kolaka khususnya dengan PKR. Hubungan ini dimaksudkan untuk mengkoordinasikan langkah-langkah dan taktik perjuangan. Namun usaha ini gagal karena La Karaila tertangkap musuh.
Usaha Barisan 20 untuk berhubungan dengan para pejuang di Sulawesi Selatan gagal karena penghubungnya Kamaluddin juga tertembak oleh NICA. Kemudian M. Idrus Effendi bersama La Ditu berangkat ke Makassar untuk mencari senjata. Keduanya dapat kembali menumpang perahu “Sinar Bangkala” dengan membawa 5 pucuk Karaben dan 10 granat tangan pada tanggal 15 Nopember 1945. M. ldrus Effendi dan La Ditu, kemudian juga ditangkap oleh Belanda.
Barisan 20 yang diorganisir sebagai organisasi ketentaraan mengadakan hubungan. pula dengan Angkatan Laut RI di Jawa Timur dan memperoleh mandat dari Kol. Hamzah Tuppu untuk membentuk kelasykaran Batalyon Sadar di daerah Sulawesi Tenggara (Muna). Penyerahan mandat ini disaksikan oleh Sersan Mayor A. Hamid Langkosono putra Muna yang pada mulanya mengambil inisiatif untuk menghubungkan Barisan 20 di Muna dengan ALRI (Kol. Hamzah Tuppu) di Lawang (Jawa Timur).
Sejak itu maka Barisan 20 merupakan organisasi ketentaraan dengan kesatuan Batalyon bernama, Expedisi Batalyon Sadar. Wilayah Muna dibagi atas wilayah Kompi dan anggotanya memakai pangkat ketentaraan. La Ode Taeda Akhmad sebagai Wakil Komandan Batalyon memakai pangkat Letnan Satu, La Ditu sebagai wakil Komandan Kompi diberi pangkat, Letnan Dua. Di Pulau Muna dibentuk 3 kompi di samping satu kompi staf, sedang di Buton Utara terdapat 2 kompi.



D. PENUTUP
Kedatangan nenek moyang dari Bangsa Mongloid dan Austro-Melanesoid, melahirkan beberapa kelompok etnis di Sulawesi Tenggara, yang kemudian mengembangkan beberapa keterampilan dalam bentuk budaya material dan non-material. Unsur-unsur budaya inilah yang menjadi daya dorong perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Rangkaian perjuangan merebut dan mempertahankan kemedekaan telah menelan banyak korban baik harta maupun jiwa. Para pejuang berani mengorbankan harta dan jiwanya demi mencapai cita-cita kemederkaan abadi, bukan semata-mata untuk kepentingannya, tetapi untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan untuk waktu yang tidak terhingga.  Mereka rela berkorban karena ada jiwa, semangat, nilai kejuangan dan pengabdian untuk kejayaan bangsa dan negara di masa depan. Tugas generasi sekarang adalah mewarisi, melanjutkan, dan mengebangkan perjuangannya dengan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengembangkan nilai-nilai moral bangsa yang penuh kejujuran dan semangat ingin maju dalam rangka memajukan bangsa dan negara tercita.

KEPUSTAKAAN
Abidin, A.Z. 1995. “Perbandingan Buku Sastra I La Galigo dengan Cerita Rakyat di Sulawesi Tenggara tentang Hubungan Raja-raja di Sulawesi Selatan dan Raja-raja di Sulawesi Tenggara”.  Makalah Seminar Eksistensi dan Peranan Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Di Kendari tanggal 7-8 Agustus 1995.
Anonim. 1910. Kolonial Verslag- Gedrukt ter Algemeenc Landsdrukkeri. Batavia.
Anonim. 1976. Monografi Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Anonim. 1982. Dokumenta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekretariat DPRD.
Anwar. 2000. “Pelayaran Niaga Orang Buton pada Abad XX”. Dalam  Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 027, Tahun ke-6 November 2000 (Hal. 694-710).
Anwar. 2003. “Nilai-nilai Edukatif dari Perjalanan Sawerigading ke Dunia Timur”. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional Sawerigading. Masamba, 10-14 Desember 2003.
Batoa, L.K. 1991. Sejarah Kerajaan Daerah Muna. Raha: Astri.   
Bhurhanuddin, B. dkk. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek IDKD Depdikbud.
Bhurhanuddin, B. dkk. 1979. Sejarah Masa Revolusi Fisik daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek IDKD Depdikbud.
Chalik, H. dkk. 1984. Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Djarudju, L.D.S. 1995. “Peranan Haluoleo dalam Kerajaan dan Kesultanan Buton”. Makalah Seminar Eksistensi dan Peranan Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Di Kendari tanggal 7-8 Agustus 1995.
Kansil, C.S.T dan Julianto. 1986. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indoensia. Jakarta: Erlangga.
Kern, R.A. 1993. I La Galigo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Koentjaraningrat. 1984. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Kencana.
Mekuo, J. 1986. Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Kendari: FKIP Unhalu.
Poesponegoro, M. D. dan Notosusanto, N. 1984. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.
Razake, A.A. Dkk. 1989. Profil Kependudukan dan Keluarga Berencana Propinsi Sulawesi Tenggara. Kendari: BKKBN.
Sagimun, M.D. dkk. 1986. Perlawanan dan Pengasingan Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press.
Subur, M. 1990. Peranan Sapati Manjawari terhadap Perkembangan Sejarah dan Budaya Kerajaan Kotua di Pulau Kabaena. Kendari: Skripsi FKIP Unhalu.
Suparlan, P. (2000). “Hak Budaya Komuniti dan Integrasi Kebangsaan”. Makalah disajikan dalam Diskusi Gandi Afternoon Forum- Nasionalisme dalam Kesetaraan Warganegara Memperkokoh Integrasi Kebangsaan. Jakarta: 26 Oktober 2000.
Tamburakan, R., dkk. 1999. Sejarah Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekretarait Daerah Propinsi Sultra.
Zuhdi, S. 1994. “Buton dalam Jalur Pelayaran di Bagian Timur Nusantara Abad XVII-XVIII”. Makalah Disajikan dalam Simposium Internasional Kajian Budaya Austronesia I Mengenang Seabad Wafatnya Van Der Tuuk. Dempasar, 14-16 Agustus 1994.
Zuhdi, S. 1997. “Sulawesi Tenggara dalam Jalur Pelayaran dan Perdagangan Internasional Abad ke-17 dan ke-18”. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Sejarah dan Masyarakat Maritim di Kawasan Timur Indonesia. Universitas Haluoleo Kendari, 8-9 September 1997.
Warsilah, H. (2000). “Pelibatan Partisipasi Kelompok-Kelompok dalam Resolusi Konflik”. Makalah disajikan dalam Seminar Hubungan Antar Kelompok di Indonesia dan Model-Model Resolusi Konflik. FISIP UI, Depok November 2000.




POTENSI BUDAYA DAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA
(Suatu Kajian di Sulawesi Tenggara)






Makalah
Disajikan dalam Diklat Bela Negara bagi Pemuda Provinsi Sulawesi Tenggara, tanggal 16 Januari 2008











Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
Dosen FKIP dan Pascasarjana Universitas Haluoleo






PUSAT KOMUNIKASI GERAKAN BELA NEGARA
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar