POTENSI BUDAYA DAN
SEJARAH PERJUANGAN BANGSA
(Suatu Kajian di
Sulawesi Tenggara)
Oleh:
Prof. Dr.H. Anwar Hafid, M.Pd.
Dosen
FKIP dan Pascasarjana Universitas Haluoleo
A. PENDAHULUAN
Mempelajari
rangkaian sejarah perjuangan bangsa Indonesia merupakan suatu kaharusan bagi
generasi sekarang untuk memilih dan menganalisis peristiwa-peristiwa sekarang
dalam upaya menentukan arah yang akan dituju pada masa yang akan datang.
Sejalan dengan itu Toynbee (1965) menyatakan bahwa mempelajari sejarah adalah
untuk membuat sejarah (to study history
is to build history).
Secara sosio-psikologis,
budaya masyarakat Sulawesi Tenggara dewasa ini memiliki ciri-ciri umum, yang
berpotensi besar sebagai pendorong pembangunan daerah. Ciri-ciri itu, adalah:
1. Memiliki naluri untuk hidup
bertetangga secara baik
2. Mempunyai keinginan dan sikap kerja
sama dalam bentuk gotong royong, yang diaplikasikan dalam budaya samaturu,
pokadulu, dan sebagainya.
3. Memiliki sikap kekerabatan yang
dicerminkan dalam solidaritas dan tenggang rasa terhadap sesama.
4. Rukun dalam kehidupan, mau
bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan.
5.
Memiliki semangat juang, ulet, tahan
uji, dan penyabar,
6. Menghormati orang lain yang memiliki
status sosial yang lebih tinggi di masyarakat atau lingkungan kerjanya.
Timbul pertanyaan: apakah
ciri-ciri yang diangkat dari budaya masyarakat Sulawesi Tenggara pada masa
transisi 2008 ini dapat digunkan dalam kehidupan modern? Bagaimana cara
mentransformasikannya dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Tenggara pada tata
pergaulan berbangsa dan pergaulan antar bangsa dalam era global?
Jawabannya bisa
dijelaskan dengan mencoba meminjam pada kenyataan hidup masyarakat Cina
Perantauan seperti dikatakan oleh Naisbitt (1997) yaitu bekerja keras dan hemat
sebagai ciri menonjol dalam diri orang-orang Cina. Mereka bekerja dengan
menggantungkan diri pada keberanian, keahlian, dan jiwa wirausaha. Salah
seorang Cina Perantauan dari Malaysia Robert Kuok, menyatakan: sebagai
anak-anak kami belajar nilai-nilai moral, terutama nilai moral Konfusian.
Istilah seperti: integritas bisnis, kehormatan, kata-katamu adalah ikatanmu,
sering digunakan oleh orang tua dan mengendap dalam dada generasi muda.
Demikian pula moralitas mulut, harus dijaga, yaitu: tidak boleh berbicara buruk
mengenai orang lain.
Jika kesamaan ciri budaya
Cina tersebut yang ada pada unsur-unsur budaya Sultra dapat diaplikasikan,
bukan suatu hal yang naif jika kemajuan masyarakat Sultra 2020 dapat terwujud,
yang pasti bahwa unsur-unsur budaya inovatif telah terintegrasi dalam beberapa
budaya suku bangsa yang ada di Sultra. Misalnya Orang Buton melekat jiwa dan
semangat kebaharian, orang Muna menonjolkan ethos kerja dan hidup sederhana,
orang Tolaki melekat sikap kegotongroyongan dan pola hidup sederhana, orang
Bugis dengan dinamika yang tinggi memiliki ethos kerja dan semangat
kewirausahaan, orang Bajo mempertahankan unsur-unsur kedisiplinan dalam
aktivitas kesehariannya yang mengikuti pasang surut air laut, orang Jawa dengan
ketekunannya, dan orang Bali dengan sikap kreativitas dan seninya. Potensi
inovatif dari masing-masing suku bangsa atau budaya komunitas yang ada di
Sultra saat ini, harus dipandang sebagai suatu potensi dan peluang, bukan
tantangan dan hambatan pembangunan menuju kesejahteraan.
Secara empiris, potensi
budaya Sultra yang dapat dikembangkan dalam mendukung pembangunan, khsusnya di
sektor pariwista telah diidentifikasi oleh Djami (1992) yanga dibagi atas empat
unsur budaya, yaitu: (1) upacara tradisional sebanyak 30 jenis, (2) kesenian
sebanyak 68 jenis, (3) indsutri tradisional sebanyak 23 jenis, dan (4)
peninggalan sejarah-budaya sebanyak 58 jenis. Keempat unsur budaya terdiri atas
180 jenis itu, tersebar di empat kabupaten (Buton 60 jenis, Muna 45 jenis,
Kendari 36 jenis, dan Kolaka 39 jenis).
Selain adanya ciri-ciri
tersebut, masyarakat Sulawesi Tenggara di era 2003 dipengruhi pula oleh
sifat-sifat atau budaya seperti digambarkan oleh Teori X dan Teori Y. Di antara
individu masyarakat Sulawesi Tenggara dewasa ini, terdapat sikap malas, tidak
bertanggung jawab, tidak kreatif, dan hanya bekerja sekedar untuk hidup. Pada
sisi lain ciri Teori Y dapat dijumpai seperti bekerja sebagai suatu kesenangan
atau permainan (works is a play), bertanggung jawab, kreatif, dan bekerja tidak
hanya untuk mencari kepuasan fisik, melainkan juga sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri (Sudjana, 2000).
Pada
saat ini Indonesia
sedang menghadapi permasalahan disintegrasi nasional, sekurang-kurangnya ada
tiga masalah yang harus segera dipecahkan. Pertama,
problema historis yang berkaitan
dengan konflik sosial, yakni berupa krisis ketika konflik-konflik masa lalu
belum terselesaikan dan tertinggal, sekarang menuntut penyelesaian. Kedua, problema kekinian yakni masalah-masalah yang harus diselesaikan
terutama berkaiatan dengan masalah struktural, misalnya konflik yang muncul
akibat ketimpangan struktural, seperti ekonomi, kemiskinan, tindak kekerasan
militer dan aparat Polri. Ketiga,
problema masa depan yakni bagaimana meletakkan dasar bagi masa depan Indonesia
yang lebih baik, ini diperlukan untuk menjawab tantangan masa depan yang
semakin kompleks dan transparan melalui jendela globalisasi dunia (Warsilah,
2000).
Implikasi terhadap problema masa depan adalah berupa
tantangan untuk mengantisipasi gejala hegemoni kebudayaan, karena jika hal ini
terjadi akan cenderung merelatifkan kebenaran. Oleh karena itu, dalam jangka
panjang adalah bagaimana kita mengupayakan proses demokrasi dan proses
integrasi yang berlandaskan pluralitas, kesetaraan, transparansi dan pelibatan
partisipasi publik atau mendorong penguatan kedudukan masyarakat dalah ranah
publik. Solusinya adalah mendorong munculnya kohesi sosial yang pluralistik,
dimana ketika setiap golongan dengan karakteristik sosio-kultural masing-masing
merasa menjadi bagian dari sebuah komunitas bersama, bukan beberapa komunitas
yang saling mendominasi atau merasa tersubordinasi oleh komunitas lainnya.
Tidak dipungkiri, wilayah pertumbuhan selalu menjadi tumpuan pendatang baru, baik dari golongan pribumi maupun nonpribumi, mereka merasa tercabut dari lingkungan sosio-kultural yang intim untuk merantau ke daerah baru, dan menjadi orang asing. Sikap perilaku pendatang baru untuk penduduk lokal dianggap asing dan aneh karena tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Mulailah berkembang sentimen stereotipe yang menyesatkan, seakan-akan “kami” lebih baik dari “mereka” (pendatang).
Perspektif budaya, tentang bagaimana kita mengupayakan pertemuan antar berbagai kelompok masyarakat dalam suatu “Budaya Bazar”, bukan sebaliknya “Bazar Budaya”. Kebudayaan Bazar tampil sebagai kebudayaan yang bercorak trans-etnis atau merupakan forum dari berbagai unsur kebudayaan, sekaligus menjadi jembatan yang memperlancar terjadinya komunikasi antar budaya. Dalam suasana bazar atau pasar, kebudayaan etnis dapat menemukan unsur-unsur yang merupakan pasangan dari apa yang mereka miliki (Warsilah, 2000).
Bentuk lain budaya bazar dapat ditemukan dalam budaya perpangkalan yaitu merupakan alternatif upaya dari kelompok pendatang untuk dapat terlibat dalam perekonomian setempat dan bahkan melakukan perkawinan antar etnik setempat, mereka sepakat untuk membentuk pangkalan atau tempat untuk berkumpul dan saling berinteraksi. Dalam perkembangannya, pangkalan tidak semata-mata tampil dalam wujud fisik, tapi transformasi menjadi “Budaya Perpangkalan” yang merupakan media ekspresi budaya pendatang yang khas berperan sebagai ikatan solidaritas sosial dan media kebutuhan ekonomi berupa alih keterampilan, dan bursa kerja.
Suatu hasil penelitian yang dilakukan oleh Bruner menunjukkan dua pola budaya yang berbeda antara di Medan dan di Bandung. Di Bandung kebudayaan tertentu sudah menjadi dominan, sementara di Medan tidak ada suatu kebudayaan suku bangsa yang dominan (Suparlan, 2000). Pola pengembangan budaya di Medan dapat menjadi contoh yang menarik untuk dikembangkan di daerah yang rawan konflik antar etnik atau kelompok-kelompok sosial, meskipun pola yang terjadi di Bandung belum ada bukti signifikan akan ketidakmampuan memelihara perdamaian dan kerukunan antar etnik yang ada di Bandung. Tetapi sebagai antisipatif, model yang berkembang di Medan dapat dijadikan bahan banding untuk melakukan rekayasa sosial di daerah yang rawan konflik baik melalui lembaga pendidikan formal maupun pendidikan non-formal dan informal.
Di Sulawesi Tenggara keragaman etnik pada kenyataannya merupakan proses sejarah yang panjang yang berawal dari kedatangan nenek moyang mereka dari Asia dan Pasifik, tetapi secara genealogis dapat dibagi dalam dua rumpun etnik yaitu Mongoloid (Moronene, Tolaki/Mekongga, Kulisusu, Wawonii/Menui) dan Austro-Melanesiod (Buton dan Muna). Perkembangan selanjutnya pada kedua rumpun etnik itu terjadi hubungan kekerabatan akibat perkawinan antar etnik yang ada melalui jaringan perdagangan. Akhirya berkembanglah suatu rumpun etnik besar (seluruh suku bangsa yang ada di Sultra) yang mendiami segenap wilayah Sulawesi Tenggara baik di daratan maupun di kepulauan tercermin pada diri Lakilaponto alias Sultan Qaimuddin/Murhum, alias Haluoleo.
Kedatangan Bangsa Portugis dan Spanyol, berdasarkan peninggalan yang ada di berbagai
tempat di Buton dan sekitamya seperti jangkar besar yang terbuat dari besi,
meriam dari berbagai jenis dan ukuran serta sumber-sumber lainnya, maka
kedatangan bangsa Spanyol dan Portugis dipulau ini, adalah sekitar awal abad
ke-16.
Sejak kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol, Buton
berperan sebagai daerah persinggahan dari jalur pelayaran Betawi, Makassar,
Buton, Temate dan Ambon. Buton memiliki daya tarik antara lain karena
letaknya yang sangat strategis di jalur perdagangan, memiliki pelabuhan alam
yang indah dan aman.
B. PERIODISASI PERJUANGAN RAKYAT/SULAWESI TENGGARA
1. Masa Kejayaan Nasional
Perjuangan
rakyat Indonesia telah dimulai sejak berdirinya kerajaan nasional di Nusantara
seperti Sriwijaya dan Majapahit pada abad 7-15 masehi, kedua kerjaan ini
berhasil mempersatukan bangsa Indonesia setelah melalui perjuangan dalam bentuk
memupuk persatuan diantara kerjaan-kerajaan kecil, dan menghalau ekspedisi
bangsa-bangsa asing seperti Kerajaan Campa dari Indoechina, dan ekspedisi
Kubilaikan ke kawasan Nusantara ini. Kebesaran kerjaan Sriwijaya diakui oleh
Van Leur sebagai negara yang menguasai pulau-pulau di sekitamya. Demikian pula
Kerajaan Majapahit pada abad 13-15 menurut Van Soet pada masa itu bangsa
Indonesia merupakan pedagang-pedagang yang giat dan penuh keuletan,serta bejiwa
pahlawan, rajin dan berani (Kansil, 1986). Ketatanegaraan Majapahit disusun
dengan rapi, pemerintahan pusat berbentuk lima badang yang disebut Pancaning Wilwatika (Lima Kemahamenterian).
Sistem ketatanegaraan seperti itu juga dapat dijumpai di Kerajaan-kerajaan yang
ada di Sulawesi Tenggara seperti Kerajaan Konawe yang mengenal istilah Siwole
Mbatohu (empat pintu gerbang) dan Pitu Dula Batu (tujuh pilar negara). Di
Kesultanan Buton dikenal Empat Barata
yang merupakan pilar wilayah Kesultanan Buton sekaligus merupakan pejabat
tinggi Kesultanan dan berkuasa di wilayahnya masing-masing (Bhurhanuddin,
1978).
Lakilaponto (Haluoleo)
adalah tokoh yang pertama mempersatukan Sulawesi Tenggara secara politis. Pada
periode ini terdapat empat kerjaan besar di Sulawesi Tenggara yaitu: Mekongga,
Konawe, Wuna, dan Wolio/Buton. Haluoleo pernah menjadi panglima di Konawe,
menjadi Raja Muna VII, kemudian menjadi Raja Wolio V dan Sultan Buton I. Nama
aslinya Lakilaponto diberikan oleh orang Muna, di Konawe diberi gelar Haluoleo,
di Buton diberi gelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis (Raja Kelima) kemudian
diberi gelar anumerta Murhum.
2. Penindasan Kolonial
Kolonialisme
adalah rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menaklukkan bangsa lain di bidang
politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan dengan jalan: (1) dominasi politik, (2)
eksploitasi ekonomi, dan (3) penetrasi kebudayaan. Sedangkan usaha
mempersatukan koloni-koloni menjadi suatu sistem penguasaan/pemerintahan
disebut imperialisme.
Selama ini
tidak banyak terungkap perjuangan rakyat di Sulawesi Tenggara, disebabkan
karena dua faktor:
1. Kaum penjajah Belanda tidak lama
menanamkan pengaruhnya di Sulawesi Tenggara kecuali di Buton.
2. Belum banyak ditulis para sejarawan
khususnya dalam bentuk buku untuk pembelajaran di sekolah.
Meskipun
demikian jika kita kembali mengkaji jejak sejarah masyarakat di daerah ini
tidak sedikit fakta akan perjuangan mereka baik terhadap upaya mempersatukan
kerjaan-kerajaan kecil di Jazirah Sulawesi Tenggara seperti yang dilakukan oleh
Haluoleo (Murhum/Lakilaponto/Sultan Qaimuddin) khususnya dalam mengusir
bajak-bajak laut Tobelo. Demikian pula fakta ditemukannya beberapa jangkar dan
meriam peninggalan Portugis/Spanyol di pantai Utara Buton di Soropia Kendari
akan memberi inspirasi kepada kita bahwa pemiliknya kalau tidak karang kapalnya
berarti mereka mendapat perlawanan rakyat setempat.
Wa
Ode Wakelu: Permaisuri Raja Muna XII La Ode Ngkadiri yang menggantikan suaminya ketika
ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Temate. Pada saat yang sama terjadi
kemelut antara Muna dengan Belanda, dimana Muna tidak pemah mau mengakui
kekausaan Belanda atas wilayahnya dan selalu ingkar membayar pajak upeti kepada
Balanda melalui Buton, akhimya Belanda berusaha menyerang Muna dan rakyat Muna
bangkit menghadapi tantangan Belanda, Wa Ode Wakelu sebagai Ratu juga tampil
sebagai panglima yang terjung langsung di medan perang. Muna dalam hal ini
bersekutu dengan Tiworo ketegangan terjadi antara tahun 1667-1668 yang berakhir
setelah pasukan Muna di bawah pimpinan Wa Ode Wakelu dapat dikalahkan. Tetapi bagaimanapun
kehadiran Srikandi ini dipanggung politik dan pertempuran makin menambah
catatan sejarah keperkasaan atas emansipasi wanita Sulawesi Tenggara dan
Indonesia umumnya.
La
Ode Ngkadiri: Raja Muna XII bergelar Sangia Kaindea (1626-1667) dua kali memangku jabatan Raja
Muna, periode pertama seperti tersebut dan periode kedua sesudah kembali dari
pengasingan di Temate pada tahun 1670. Ia diasingkan oleh Belanda antara tahun
1667-1670 karena sikapnya yang menentang campur tangan Belanda atas Kerajaan
Buton dan Muna dia tidak mau bekerja sama dengan Belanda yang pada saat itu
berusaha menanamkan monopli politiknya atas Buton dan Muna. Untuk menghadapi
ancaman Belanda, maka Raja Muna bersama Dewan Kerajaan mengdakan rapat di Lambu
Balano pada tahun 1628, yang memutuskan: (1) Belanda dinyatakan tidak boleh
masuk di Tanah Muna, (2) Muna tidak bersedia menjalin persahabatan dengan Buton
selama Buton masih bekerja sama dengan Belanda, (3) Muna memberi bantuan secara
terang-terangan kepada pasukan Sultan Hasanuddin yang sementara berlindung di
Tiworo. Usaha Belanda mendekati Raja La Ode Ngkadiri melalui kawin politik
dengan bangsawan Buton yang menjadi sekutu Belanda tidak berhasil karena
tercium oleh Raja Muna, sehingga ia menolak dan akhimya Belanda berusaha
menangkapnya karena dianggap berbahaya atas eksistensi kepentingan Belanda di
kawasan Jazirah Sulawesi Tenggara. Ia diasingkan ke Ternate, dan Dewan Kerajaan
Muna mengangkat istrinya bemama Wa Ode Wakelu, dialah yang memimpin perlawanan
terhadap Belanda antara tahun 1667-1668, akhimya Muna dan Tiworo berhasil
dikalahkan. Maka kekuasaan Wa Ode Wakelu dianulir Belanda dengan mengirim
utusan dari Buton bemama La Ode Muh. Idris untuk mengisi kekosongan
pemerintahan di Kerajaan Muna.
Sultan
Buton Muhamad Umar
(1885-1904) menentang kehadiran Belanda di Buton, beberapa pembesar Kesultanan
Buton menentang Belanda kemudian ditangkap tahun 1906, seperti: Ani Abd. Latif
(Kenepulu), Muh. Zukri (Lakina Sorawolio), Abd. Hasan (Bonto Ogena Matanyo), La
Sahidu (Bonto Ogena Sukanayo) mereka dibuang ke Makassar.
Lapadi: seorang Tamalaki (Panglima) dan
Plonui dari Kerajaan Konawe yang berjuang menentang Belanda (1908-1912) di
daerah Windo Pamandati wilayah Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe Selatan
sekarang ini. Lapadi dibantu oleh putrinya bemama Aliyina. Dalam perjuangan
mereka membuat benteng pertanahan dengan menjejer batu sepanjang 15 meter.
Dalam ekspedisi Belanda pada tahun 1908, Lapadi bersama pengikutnya menghadang
ekspedisi Belanda yang menyebabkan beberapa pasukan Belanda tewas, serangan
Belanda diikuti dengan kegiatan mata-mata yang dilakukan oleh salah seorang
juru bahasa Belanda bemama La Ende, menyebabkan Lapadi tertipu dan dikepung
musuh pada bulan Desember 1910 berhasil tertangkap oleh pasukan Belanda dan
ditawan di Kendari, berkat semangat juangnya yang gigih akhimya ia berhasil
meloloskan diri dari penjara dan melanjutkan perjuangan, pada tahun 1911 pertanahan
Lapadi kembali berhasil diterobos pasukan Belanda, segenap pengikutnya tewas
termasuk putrinya Srikandi Aliyina, Lapadi sendiri melakukan petualangan di
hutan-hutan pegunungan di daerah Konawe sampai akhimya pada tahun 1914, setelah
mendirita sakit meninggal dunia.
Lamboasa,
dalam Kolonoal
Verslad (1910) disebutkan bahwa ia berjuang melawan Belanda di wilayah Konawe
dan gugur dalam pertempuran..
Mataalagi memimpin perlawanan pada tahun 1915
kepada seorang Kepala Distrik Pasar Wajo (Buton) yang diangkat oleh Belanda
pada tahun 1914 yang harus melaksanakan kebijakan Belanda. Dalam proses
pengangkatannya segenap orang Laporo tidak mendukung pengangkatan La Ode
Sambira. Mataalagi memimpin gerakan rakyat menetang pemerintahan La Ode Sambira
dan berhasil membunuhnya. Mataalagi dan pengikutnya kemudian disusul segenap
orang Laporo ditangkap dan diasingkan ke Bau-bau. Mataalagi, Maandia, Maadulu
sebagai pemimpin perjuangan akhimya dibuang ke Makassar untuk diadili dan
selanjutnya di asingkan ke Nusakambangan.
3. Pergerakan Nasional
Istilah
pergerakan mengadung arti yang khas, berlainan dengan pengertian perjuangan.
Pergerakan merupakan bagian dari perjuangan, yaitu perjuangan untuk mencapai
kemerdekaan dengan menggunakan organisasi yang teratur. Istilah nasional adalah
pergerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan bangsa.
Di daerah
Kendari/bekas Kerajaan Konawe eksepedisi Belanda mendapat perlawanan
diantaranya: Perlawanan Watukila (Ponggawa Tongauna), Sumuela (Sulewata
Wawotobi), Wulumohito (Puutobu Tuoi),
Lapotende menghadang ekspedisi Kapten Helleks di Palarahi-Wawotobi, perlawanan
Lapadi, perjuangan srikandi Weribundu, Matasala berhasil membunuh pionir
Belanda (Han Po Seng), perjuangan Lamboasa yang gugur dalam pertempuran.
Pengasingan tokoh-tokoh pejuang: Watukila ke Makassar, Sumualo ke Makassar, dan
Matasala dkk ke Sawalunto (Bhurhanuddin, 1978). Perjuangan di Konawes Selatan
dipimpin oleh Lamangga (1911), Abdullah (1914-1915) yang berakibat pembuangan
mereka ke Payakumbuh dan Nusakambangan.
Di daerah Mekongga/Kolaka
perlawanan dilakukan oleh H. Hasan dan Tojabi di Lasusua dan Wawo, mereka
berhasil menewaskan 14 orang Belanda. Di Konawe Utara perlwanan dipimpin oleh
To Indera, La Tollong, dan La Kampacu. Mokole Poleang menentang kehadiran
Belanda di wilayahnya dan diracun oleh Belanda, digantikan oleh Mbohogo kedian
ditangkap dan dibuang ke Nusakambangan.
Watukila:
Panglima Perang
Kerajaan Konawe (1864-1934) yang dalam struktur pemerintahan Kerajaan Konawe
bergelar Ponggawa di Tongauna. Watukila berjuang menentang kehadiran
belanda di wilayah Konawe, menjelang kedatangan Belanda ia mengatur strategi
dan taktik perjuangan. Melihat situasi yang tegang, maka salah seorang juru
bicara Belnda bemama Haji Taata berusaha mempertemukan kedua belah pihak,
akhimya tercapai kesepakatan untuk berunding di Molawe pada tahun 1909
yang kemudian terkenal dengan nama Traktat
van Molawe. Pihak Konawe yang hadir adalah Watukila, dan para bangsawan
dari Abuki, Asaki, Latoma, Pondidaha, Kasipute, Uepay, beserta segenap
pengikutnya, dari pihak Belanda hadir Gekkers selaku pemimpin dikawal satu
kompi pasukan yang ada di atas kapal, didampingi Raja Sao-sao dari Laiwoi, dan
Haji Taata. Perjanjian ini tidak pemah diketahui isinya oleh masyarakat Konawe,
termasuk Watukila sendiri, oleh sebab itu segera setelah kembali dari
perundingan, ia mengatur strategi perjuangan dengan menghimpun para pejuang
seperti Lamboasa dan Langgolo untuk memimpin perlawanan, markas pasukan
ditempatkan di Sanuanggambo tempat tinggal Watukila, sekaligus sebagai penempatan
meriam, benteng pertahanan lainnya ada di Puundombi dengan taktik menggali
tanah untuk dijadikan benteng pertempuran di tengah hutan lebat. Benteng
pertahanan lainya terdapat di Abuki dan Wawotobi. Sehari sebelum serangan
Belanda ke markas Watukila salah seorang mata-mata Belanda beranama Haam Poo Seng terbunuh oleh pasukan
Watukila di Puday. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Trevers dapat mengejar
pasukan Konawe dan berhasil menewaskan panglima Langgolo, Watukila tidak
kehabisan akal mengangkat Lamboasa menggantikan posisi Langgolo dan memindahkan
markas pertahanannya ke Tanea, dalam pertempuran selanjutnya Lamboasapun gugur
dalam pertempuran, dalam situasi makin terdesak Belanda mengajak berunding,
tetapi Watukila menolaknya, meskipun akhimya ia tertawan oleh pasukan Belanda,
dan selanjutnya di asingkan ke Makassar.
Lamangga: Seorang pejuang
dalam menentang imperialisme Belanda di daerah Palangga (1909-1911). Dia
mengatur strategi perjuangan dengan mempersiapkan senjata Taawu (parang panjang) dan tombak. Strategi perjuangan Lamangga
dapat tercium oleh salah seorang mata-mata Belanda bemama Polingay seorang
bangsawan Andoolo, akhimya Lamangga dapat terbunuh oleh kaki tangan Polingay
pada tahun 1911. Sebagai penghargaan Belanda terhadap jasa Polingay membunuh
Lamangga, maka selanjutnya diangkat menjadi Kepala Distrik Palangga.
La
Ode Ijo: Kapitalau Lohia (Panglima Perang Lohia) di Kerajaan Muna penentangan
perjanjian kerja sama dengan Belanda yang dilakukan oleh Raja Muna La Ode
Maktubu. Pada tahun 1910 Belanda memerintahkan kepada La Ode Maktubu untuk
menangkap La Ode Ijo hidup atau mati. La Ode Ijo berusaha menggalang simpati
rakyat melawan Belanda yang bersekutu dengan La Ode Maktubu, dalam beberapa
kesempatan mereka berhasil menewaskan pasukan Belanda, meskipun pada
akhimya La Ode Ijo sendiri dapat
dikalahkan pada tahun 1914.
4. Pergerakan Nasional pada Masa Pendudukan Jepang
Pada masa
pendudukan Jepang di Sulawesi Tenggara tidak sepi dengan perlawanan diantaranya
tercatat: perlawanan di Wanci tahun 1943 dipimpin oleh La Ode Maniru dan Laode Abdulu
yang menyerang Gunco (Kepala Distrik) Wanci yang dikawal dua orang polisi
Jepang yang menemui ajalnya dan Gunco mengalami luka-luka. Sedangkan La Ode
Maniru dan La Ode Abdulu dihukum mati di depan mata pengikutnya di Wanci.
Demikian pula perjuangan Tojabi di Kolaka Utara berlanjut, namun karena usia
lanjut sehingga dapat ditangkap dan diasingkan ke Palopo.
5. Perjuangan Pascakemerdekaan
Segera setelah
kemerdekaan kekhawatiran para pemuda akan kedatangan sekutu bersama Belanda
menjadi kenyataan. Proklamasi yang telah diikrarkan mendapat ronrongan dari
Sekutu/Belanda (NICA), mereka memcap proklamasi Indonesia buatan Jepang, hal
ini tentu saja tidak dapat diterima oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia. Tampillah
para pahlawan pejuang dengan bermodalkan semangat yang dilengkapi senjata
sedanya terutama bambu runcing berhadapan dengan senjata moderan milik Sekutu
dan Belanda.
Sekutu
menyerahkan kekusaannya kepada Belanda dan bukan kepada Indonesia, terjadilan
perlawanan baik kepada Sekutu seperti yang terjadi di Surabaya yang dikenal
peristiwa 10 November 1945 oleh Arek-Arek Suroboyo, dan di beberapa belahan
daerah lainnya termasuk di Sulawesi Tenggara yang dikenal dengan peristiwa 10
November 1945 di Kolaka.
Perjuangan
rakyat Sulawesi Tenggara tidak berakhir setelah proklamasi, karena pada masa
revolusi fisik perlawanan semakin gencar dilakukan oleh para pemuda baik secara
pribadi maupun melalui organisasi kelaskaran. Berita proklamasi segera diterima
oleh rakyat di daerah ini, dimulai dengan kedatangan pelayar Wakatobi yang
memperoleh berika proklamasi di Pulau Jawa dan Makassar. Disusul dengan
pengibaran bendera merah putih pertama kali di Kolaka dipimpin oleh Kepala
Pemerintahan Kolaka Andi Kasim 17 September 1945, di Lasusua 5 Oktober 1945, di
Wawotobi Akhir Oktober 1945 dipelopori oleh pemuda yang mendapat dukuang Raja
II Laiwoi La Sandara, di Kota Kendari dilakukan penempelan pamplet berita
proklamai yang dlakukan oleh para pemuda, diantaranya Mahaseng, di Bupinang
pengibaran merah putih dilakukan akhir November 1945, di Muna para pemuda
militan dipimpin oleh Idrus Efendi melakukan penguabaran bendera merah putih di
luar Kota Raha.
Para pemuda
pejuang melakukan takntik perang gerilya untuk menghadapi Belanda NICA. Puncak
perlawanan terhadap NICA di Sultra terjadi pada tanggal 19 November 1945 ketika
para pemuda pejuang di Kolaka yang mendapat dukungan penuh dari pemimpim
pemerintahan Andi Kasim melakukan penyerangan terhadap ekspedisi NICA di luar
Kota Kolaka.
Tokoh tokoh masyarakat dan pemuda di Kolaka pada bulan Juni 1945 membentuk
Gerakan Kebangunan Rakyat (GKR) yang merupakan badan persiapan unntuk menyambut
kemerdekaan yang dijanjikan. Tokoh GKR adalah masyarakat/pemuda Kolaka yang
merupakan kader dari Gerakan perjuanga sebelum perang yaitu tokoh PSII,
Muhammadiyah dan PNI di Kolaka yang telah dibubarkan oleh Jepang. PSII dan
Muhammadiyah memang mempunyai kader-kader yang militan di Kolak terutama Kolaka
Utara (Lasusua).
PETA yang bergerak di bawah tanah setelah Kemerdekaan di
Kolaka pada awal September 1945 berhasil merebut beberapa pucuk senjata dari
Jepang. Semenjak terbentuknya API pemuda di bawah pimpinan Tahrir dan M. Ali
Kamry berhasil mendapat beberapa pucuk karabijn 95, atau senjata yang dibuang
Jepang di pelabuhan Pomalaa. Penyelaman senjata ini tidak mendapat rintangan
Jepang. Pengibaran sang Merah Putih di Kolaka dan pemyataan sebagai bagian dari
Rl dihadiri oleh Kabasima Taico. Demikian pula pengibaran bendera, di Wawotobi
yang dlihadiri pula oleh seorang Jepang yaitu Ninomiya Heizo sedangkan rapat
pemuda Ke rumah A. Baso juga dihadiri oleh sersan (Heizo) Sibata.
Namun demikian dilihat dari bentuk organisasi. GKR
merupakan suatu organisasi massa yang sifatnya menghimpun rakyat dan aspirasi masyarakat.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, PETA dibentuk di Kolaka pada akhir Agustus
1945. Organisasi ini bergerak di bawah tanah dengan maksud menghimpun pemuda
militan dengan tekad penuh membela Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dari
PETA kemudian bulan September 1945 muncullah API yaitu Angkatan Pemuda
Indonesia yang merupakan organisasi massa Pemuda pendukung Proklamasi
Kemerdekaan RI. Organisasi Pemuda di Kolaka ini pada tanggal 17 September 1945
berhasil meyakinkan pemerintah setempat sehingga Kolaka dinyatakan sebagai
wilayah atau bagian dari RI.
Sebulan kemudian API menjelma menjadi Pemuda
Republik Indonesia (PRI) pada tanggal 17 Oktober 1945, yang lebih menonjolkan
tekad para pemuda di Kolaka, untuk mendukung RI dan mempertahankan Kolaka sebagai
bagian dari RI. Berbeda dengan API dalam organisasi PRI walau pun sifatnya
sebagai organisasi massa, diadakan Bagian Keamanan/Pertahanan yang di bawahi
oleh H. Abd. Wahid Rahim, Kepolisian oleh Usman Effendi, persenjataan oleh
Lappase dan penggalangan potensi oleh M. Jufri. Keadaan ini menggambarkan bahwa
kemerdekaan itu memerlukan pertahanan dan perjuangan bersenjata.
Kemudian PRI di Kolaka secara resmi membentuk
bagian Kelasykaran yang diberi nama PKR (Pembela Keamanan Rakyat) yang dipimpin
oleh M. Josef seorang bekas KNIL yang saat itu dipekerjakan oleh Jepang di
Pomalaa bersama-sama dengan Sarilawang, M. Billibao dan J.M. Ohijver. Dalam PKR
tergabung bekas KNIL, Heiho dan para Pemuda dari kampung kampung (Seinendan).
Mereka diberi latihan kemiliteran di desa Silea. PRI Kolaka yang menjalin kerja
sama erat dengan PRI Luwu di Palopo
berusaha melebarkan wilayah pengaruh perjuangannya ke luar Kolaka.
Pemuda Wawotobi ingin menggabungkan diri ke dalam PRI
Kolaka dan kemudian datang pula utusan PRI Kolaka ke Wawotobi yaitu Yusuf, M.
Jufri dan A. Majid. Sebagai hasil kunjungan tersebut Wawotobi dibentuk “Sinar
Pemuda Konawe” yang dipimpin oleh J Muhsin. Sinar Pemuda Konawe tidak dapat
mewujudkan organisasi kelasykaran karena tidak lama kemudian Australia/NICA
memasuki Wawotobi. Di Kendari Selatan (Andoolo) terbentuk Pemuda Rakyat yang
dipimpin oleh M. Ali Silondae. Pemuda Rakyat di Andoolo ini kemudian menjelma
menjadi organisasi kelasykaran PKR dan bergabung dengan PKR Kolaka dengan
pimpinannya M."Ali Silondae PKR Andolo
merupakan batalion dari brigade PKR Kolaka dan mempunyai kompi yaitu :
(1) Andoolo, (2) Palangga, (3) Laea, dan (4) Kolono.
Pembentukan PKR sebagai badan kelasykaran dimatangkan
oleh kenyataan Belanda ingin kembali menguasai Sulawesi Tenggara. Tidak ada
pilihan lain dari pemuda Sulawesi Tenggara kecuali mengadakan perlawanan
bersenjata. Pusat dari pada perlawanan bersenjata adalah Kolaka. PKR Kolaka
yang dibentuk dalam tingkat brigade
memperluas diri dengan penggabungan para pemuda dari Andolo dan hulu
Sungai Konaweha, di Tawanga dan Tongauna terhadap kompi PKR.
PKR mengorganisir pemuda dan seluruh rakyat sampai ke
desa-desa, sehingga PKR sebagai badan kelasykaran resmi, dikenal pula di
desa-desa dengan adanya pasukan parang, pasukan tombak dan pasukan panah yang
berafiliasi dengan PKR. Pada dasamya perjuangan mempertahankan kemerdekaan
adalah perjuangan rakyat semesta.
Di Muna terbentuk "Barisan 20" pada 16 Oktober
1945 yang berorientasi pada perjuangan bersenta. Komandan "Barisan
20" adalah M. ldrus Efendi, dengan wakil komandan Taeda Akhmad. Disamping
"Barisan 20" di Raha (Muna) dibentuk pula organisasi pemberontakan
Republik Indonesia yang, dipimpin oleh Taeda Akhmad. Oganisasi ini kemudian
lebih dikenal oleh Belanda sebagai organisasi pemuda RI.
"Barisan 20" menyadari bahwa perjuangan tidak
akan berhasil tanpa kordinasi dengan organisasi perjuangan di sekitamya. Untuk keperluan itu, maka La Karaila diutus ke Kolaka
untuk menjalin bungan dengan PRI Kolaka khususnya dengan PKR. Hubungan ini
dimaksudkan untuk mengkoordinasikan langkah-langkah dan taktik perjuangan.
Namun usaha ini gagal karena La Karaila tertangkap musuh.
Usaha Barisan 20 untuk berhubungan dengan para pejuang di
Sulawesi Selatan gagal karena penghubungnya Kamaluddin juga tertembak oleh
NICA. Kemudian M. Idrus Effendi bersama La Ditu berangkat ke Makassar untuk
mencari senjata. Keduanya dapat kembali menumpang perahu “Sinar Bangkala”
dengan membawa 5 pucuk Karaben dan 10 granat tangan pada tanggal 15 Nopember
1945. M. ldrus Effendi dan La Ditu, kemudian
juga ditangkap oleh Belanda.
Barisan 20 yang diorganisir sebagai organisasi
ketentaraan mengadakan hubungan. pula dengan Angkatan Laut RI di Jawa Timur dan
memperoleh mandat dari Kol. Hamzah Tuppu untuk membentuk kelasykaran Batalyon
Sadar di daerah Sulawesi Tenggara (Muna). Penyerahan mandat ini disaksikan oleh
Sersan Mayor A. Hamid Langkosono putra Muna yang pada mulanya mengambil
inisiatif untuk menghubungkan Barisan 20 di Muna dengan ALRI (Kol. Hamzah
Tuppu) di Lawang (Jawa Timur).
Sejak
itu maka Barisan 20 merupakan organisasi ketentaraan dengan kesatuan Batalyon
bernama, Expedisi Batalyon Sadar. Wilayah Muna dibagi atas wilayah Kompi dan
anggotanya memakai pangkat ketentaraan. La Ode Taeda Akhmad sebagai Wakil
Komandan Batalyon memakai pangkat Letnan Satu, La Ditu sebagai wakil Komandan
Kompi diberi pangkat, Letnan Dua. Di Pulau Muna dibentuk 3 kompi di samping
satu kompi staf, sedang di Buton Utara terdapat 2 kompi.
D. PENUTUP
Kedatangan
nenek moyang dari Bangsa Mongloid dan Austro-Melanesoid, melahirkan beberapa
kelompok etnis di Sulawesi Tenggara, yang kemudian mengembangkan beberapa
keterampilan dalam bentuk budaya material dan non-material. Unsur-unsur budaya
inilah yang menjadi daya dorong perjuangan merebut dan mempertahankan
kemerdekaan. Rangkaian perjuangan merebut dan mempertahankan kemedekaan telah
menelan banyak korban baik harta maupun jiwa. Para pejuang berani mengorbankan
harta dan jiwanya demi mencapai cita-cita kemederkaan abadi, bukan semata-mata
untuk kepentingannya, tetapi untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan untuk
waktu yang tidak terhingga. Mereka rela
berkorban karena ada jiwa, semangat, nilai kejuangan dan pengabdian untuk
kejayaan bangsa dan negara di masa depan. Tugas generasi sekarang adalah
mewarisi, melanjutkan, dan mengebangkan perjuangannya dengan memelihara
persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengembangkan nilai-nilai moral bangsa
yang penuh kejujuran dan semangat ingin maju dalam rangka memajukan bangsa dan
negara tercita.
KEPUSTAKAAN
Abidin, A.Z. 1995. “Perbandingan Buku Sastra
I La Galigo dengan Cerita Rakyat di Sulawesi Tenggara tentang Hubungan
Raja-raja di Sulawesi Selatan dan Raja-raja di Sulawesi Tenggara”. Makalah Seminar Eksistensi dan Peranan
Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Di Kendari
tanggal 7-8 Agustus 1995.
Anonim. 1910. Kolonial Verslag- Gedrukt ter Algemeenc Landsdrukkeri. Batavia.
Anonim. 1976. Monografi Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Anonim. 1982. Dokumenta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Tingkat I
Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekretariat DPRD.
Anwar.
2000. “Pelayaran Niaga Orang Buton pada Abad XX”. Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 027,
Tahun ke-6 November 2000 (Hal. 694-710).
Anwar.
2003. “Nilai-nilai Edukatif dari Perjalanan Sawerigading ke Dunia Timur”. Makalah disajikan dalam Seminar
Internasional Sawerigading. Masamba, 10-14 Desember 2003.
Batoa,
L.K. 1991. Sejarah Kerajaan Daerah Muna.
Raha:
Astri.
Bhurhanuddin, B. dkk. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi
Tenggara. Kendari: Proyek IDKD Depdikbud.
Bhurhanuddin, B. dkk. 1979. Sejarah Masa Revolusi Fisik daerah Sulawesi
Tenggara. Kendari: Proyek IDKD Depdikbud.
Chalik, H. dkk. 1984. Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Djarudju, L.D.S. 1995. “Peranan Haluoleo
dalam Kerajaan dan Kesultanan Buton”. Makalah
Seminar Eksistensi dan Peranan Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi
Tenggara. Di Kendari tanggal 7-8 Agustus 1995.
Kansil, C.S.T dan Julianto. 1986. Sejarah Perjuangan Pergerakan
Kebangsaan Indoensia. Jakarta: Erlangga.
Kern, R.A. 1993. I La Galigo. Yogyakarta: Gadjah
Mada University
Press.
Koentjaraningrat.
1984. Beberapa Pokok Antropologi Sosial.
Jakarta: Dian
Kencana.
Mekuo, J. 1986. Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Kendari: FKIP Unhalu.
Poesponegoro, M. D. dan Notosusanto, N. 1984.
Sejarah Nasional Indonesia I.
Jakarta: Balai Pustaka.
Razake, A.A. Dkk. 1989. Profil Kependudukan dan Keluarga Berencana Propinsi Sulawesi Tenggara.
Kendari: BKKBN.
Sagimun, M.D. dkk. 1986. Perlawanan
dan Pengasingan Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press.
Subur, M. 1990. Peranan Sapati Manjawari terhadap Perkembangan Sejarah dan Budaya
Kerajaan Kotua di Pulau Kabaena. Kendari: Skripsi FKIP Unhalu.
Suparlan, P. (2000). “Hak
Budaya Komuniti dan Integrasi Kebangsaan”. Makalah disajikan dalam Diskusi
Gandi Afternoon Forum- Nasionalisme dalam Kesetaraan Warganegara Memperkokoh
Integrasi Kebangsaan. Jakarta: 26
Oktober 2000.
Tamburakan, R., dkk. 1999. Sejarah
Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekretarait Daerah Propinsi Sultra.
Zuhdi, S. 1994. “Buton dalam Jalur Pelayaran
di Bagian Timur Nusantara Abad XVII-XVIII”. Makalah
Disajikan dalam Simposium Internasional Kajian Budaya Austronesia I Mengenang
Seabad Wafatnya Van Der Tuuk. Dempasar, 14-16 Agustus 1994.
Zuhdi, S. 1997. “Sulawesi Tenggara dalam
Jalur Pelayaran dan Perdagangan Internasional Abad ke-17 dan ke-18”. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional
Sejarah dan Masyarakat Maritim di Kawasan Timur Indonesia. Universitas
Haluoleo Kendari, 8-9 September 1997.
Warsilah, H. (2000). “Pelibatan
Partisipasi Kelompok-Kelompok dalam Resolusi Konflik”. Makalah disajikan
dalam Seminar Hubungan Antar Kelompok di Indonesia dan Model-Model Resolusi Konflik. FISIP UI, Depok November 2000.
POTENSI BUDAYA DAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA
(Suatu Kajian di Sulawesi Tenggara)
Makalah
Disajikan
dalam Diklat Bela Negara bagi Pemuda Provinsi Sulawesi Tenggara, tanggal 16
Januari 2008
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
Dosen
FKIP dan Pascasarjana Universitas Haluoleo
PUSAT KOMUNIKASI GERAKAN BELA NEGARA
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar