BERITA
PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA DI SULAWESI DAN RESPONNYA
Oleh : Anwar Hafid
A. PENGANTAR
Ketika
Bung Karno membacakan naskah proklamasi di teras
rumahnya,
Jl. Pengangsaan Timur No. 56 Jakarta, tanggal 17 Agustus 1945. Empat orang
putra terbaik Sulawesi turut hadir pada peristiwa bersejarah itu. Mereka adalah
Dr. G.S.S.J. Ratulangie, Andi Pangerang Daeng Parani, Andi Sultan Daeng Raja dan
Mr. Andi
Zaenal Abidin. Sehari sebelumnya mereka juga menghadiri pertemuan penting
dirumah Laksamana Tadachi Maeda dan terlibat dalam kehangatan pertemuan itu. Kedatangan
delegasi Sulawesi ke Jakarta adalah dalam rangka mengikuti sidang-sidang PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Dr.
G.S.S.J. Ratulangie dan Andi Pangerang Daeng Parani adalah anggota PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mewakili Sulawesi sedang Andi Sultan Daeng Raja
sekalipun bukan anggota PPKI, tetapi ia diutus oleh para pemimpin pejuang
Sulawesi untuk mengikuti sidang-sidang PPKI di Jakarta, dalam kapasitasnya
sebagai tokoh masyarakat Sulawesi (Selatan) yang sangat berpengaruh dan juga
atas perannya sebagai anggota SUDARA (Sumber Darah Rakyat), sebuah organisasi
perjuangan kemerdekaan Indonesia di Makassar
yang sebelumnya dikenal dengan nama Ken
Koku Doshikai. Sementara itu Mr. Andi Zaenal Abidin bertugas selaku
sekretaris dari perutusan Sulawesi di PPKI. [1]
Selama
berada di Jakarta, keempat utusan Sulawesi itu sangat aktif mengikuti berbagai
kegiatan politik dan menghadiri acara-acara penting menjelang proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945. Mereka juga datang pada rapat dan pertemuan
politik di hari-hari awal pasca kemerdekaan. Pada tanggal 18 Agustus 1945
mereka berempat mengikuti sidang hari pertama PPKI sehari setelah kemerdekaan
Indonesia dan menjadi menjadi saksi hangatnya perdebatan pada sidang PPKI yang
menentukan bagi perjalanan sejarah Indonesia kemudian. Pada sidang itulah
disepakati untuk mengesahkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Pemilihan Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil
Presiden. Pada sidang itu juga dibicarakan tugas-tugas yang dibebankan kepada KNI
(Komite Nasional Indonesia) dalam mekanisme pemerintahan Republik Indonesia.
Utusan Sulawesi tersebut juga mengikuti sidang
PPKI pada tanggal 19 Agustus
1945 dengan agenda khusus; Pembentukan perangkat pemerintahan, pengukuhan
anggota-anggota kabinet, pembagian wilayah Republik Indonesia ke dalam delapan
propinsi serta pengangkatan gubernur-gubernur disetiap propinsi. Satu
diantaranya adalah pengangkatan Dr. G.S.S.J. Ratulangie menjadi Gubernur Sulawesi.
[2]
Pada
hari yang sama tanggal 19 Agustus 1945 sore hari segera setelah sidang PPKI Dr.
G.S.S.J. Ratulangie dkk, segera bergegas kembali ke Sulawesi dan mendarat dengan selamat disebuah lapangan
terbang kecil di Bulukumba ± 160 KM selatan Kota
Makassar. Sementara itu berita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang sampai ke
Sulawesi hanya diketahui oleh segelintir orang saja yang secara terbatas
memiliki radio. Berita kemerdekaan Indonesia barulah tersebar secara luas di
Sulawesi pada tanggal 20 Agustus 1945 bertepatan dengan kedatangan kembali Dr.
G.S.S.J. Ratulangie di
Makassar.
Bagi
para pejuang kemerdekaan Indonesia khususnya anggota SUDARA kemerdekaan
Indonesia adalah sebuah karunia Tuhan yang diberikan sebagai buah perjuangandan
pengorbanan mereka, tetapi bagi Dr. G.S.S.J. Ratulangie yang telah berstatus
sebagai gubernur Sulawesi mengisi kemerdekaan adalah sebuah perjuangan yang tak
kalah beratnya. Atas pengangkatannya
sebagai Gubernur Sulawesi ia
diberi mandat dan kekuasaan penuh tidak hanya sekedar mempermaklumkan diri
secara formal sebagai Gubernur
Sulawesi, tetapi juga kepadanya
dituntut untuk segera membentuk KNI–D (Komite Nasional Indonesia Daerah) yang
akan membantunya sebagai media pelaksana dalam menjalankan roda pemerintahan di
Sulawesi. Dr. G.S.S.J. Ratulangie
ditugaskan
juga segera mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan dan menyiapkan kantor
gubernur yang akan menjadi pusat kegiatan aparatur negara di Propinsi Sulawesi.
Uraian tugas-tugasnya selaku gubernur Sulawesi, telah tertuang dalam amanah
sidang PPKI 19 Agustus 1945.
Karena
itulah maka pembentukan KNI-D di Sulawesi sangat mendesak karena dengan
terbentuknya KNI-D,
maka secara langsung dapat dikatakan peran, tugas dan tanggung jawab seorang
gubernur telah berfungsi dan berjalan dengan baik. Dengan demikian maka secara
de facto Republik Indonesia telah berdiri dan berkuasa di Sulawesi. Namun apa
yang terjadi,
rakyat Sulawesi kecewa karena merasa bahwa Dr. G.S.S.J. Ratulangie tidak dapat berbuat
banyak dalam menjalankan perannya selaku gubernur. Keragu-raguan dan
kehati-hatian sang gubernur dalam penataan administrasi pemerintahan berawal
dari keragu-raguannya dalam hal pengambil alihan pemerintahan di Sulawesi dari
tangan penguasa Jepang yang ketika itu sudah berstatus kalah perang dan tidak
berdaya.
Sikap
Dr. G.S.S.J. Ratulangie yang
sangat hati-hati itu didasari oleh pertimbangan yang sangat dalam, terutama masalah keamanan Sulawesi,
karena bagi Dr. G.S.S.J. Ratulangie, sebuah kekuasaan haruslah dilindungi oleh
kekuatan bersenjata. Faktor utama itulah yang tidak dimiliki oleh Propinsi Sulawesi,
karena bagi Dr. G.S.S.J. Ratulangie,
dukungan yang besar dari
berbagai organisasi pemuda dan badan-badan perjuangan di Sulawesi belum cukup
dan belum dapat diandalkan sebagai perisai yang melindungi kekuasaan Republik
Indonesia di Sulawesi. Baginya para pemuda bukan tentara yang terlatih dan
mereka juga tidak memiliki persenjataan modern yang tangguh. Karena itu jika
terjadi pertempuran bisa dibayangkan akibatnya.
Untuk
itulah, maka Dr. G.S.S.J. Ratulangie
telah mengutus dua orang tokoh pemuda pejuang Sulawesi ke Jawa, Moh. Saleh
Lahade dan Manai Sophian untuk menemui Bung Karno agar pemerintah pusat dapat
mengirim bantuan pasukan, senjata serta peralatan perang lainnya ke Sulawesi.
Atas sikapnya yang hati-hati itu Dr. G.S.S.J. Ratulangie seakan tidak dapat
menangkap kegelisahan para pemuda pejuang Sulawesi, yang ketika itu sudah
berada dalam suasana revolusi yang hampir tidak dapat dibendung lagi. (Maulwi
Saelan, 2008) Namun demikian tampaknya perbedaan pandangan antara para pemuda
dengan gubernur Sulawesi tidak menyebabkan para pemuda dapat bertindak
seenaknya tanpa sepengetahuan sang Gubernur, karena bagaimanapun juga Dr. G.S.S.J
Ratulangie adalah seorang gubernur yang diangkat langsung dari pusat.
Sembilan
bulan lamanya Dr. G.S.S.J. Ratulangie berjalan pada prinsipnya yang sangat
hati-hati, penuh pertimbangan bahkan mungkin mendekati keragu-raguan, termasuk
satu setengah bulan lamanya Sulawesi dalam keadaan vakum dari tanggal 17 Agustus 1945 sampai
dengan 24 September
1945, atau sejak pernyataan kekalahan Jepang pada Sekutu tanggal 15
Agustus 1945 hingga kedatangan Tentara
Sekutu yang membawa
serta NICA (Nederlandsch Indie Civil
Administratie) di Makassar. [3]
Kedatangan
Sekutu yang membawa NICA
turut serta bersamanya ke Indonesia adalah sebuah babakan baru bagi sejarah
Kolonial Belanda di Indonesia, karena ketika itu NICA menemukan realitas yang
tidak diduga sebelumnya, ialah bahwa Nederlands Indie yang dulu sebagai negeri
jajahannya, kini telah memproklamasikan diri sebagai negara merdeka dengan nama
Republik Indonesia. Walaupun teritorialnya secara de facto hanya terbatas di
Indonesia Bagian
Barat terutama di Jawa
dan Sumatera. Sementara di Indonesia Bagian
Timur khususnya di
Sulawesi kekuasaan Negara Republik Indonesia belum sepenuhnya berdiri, tetapi
keadaan ini tidak berarti bahwa NICA dapat dengan mudah menguasai Indonesia
bagian timur khususnya Sulawesi.
Hal
ini terjadi karena di Sulawesi telah terbentuk organisasi-organisasi perjuangan
kemerdekaan Indonesia yang sangat tangguh, karena itu untuk menguasai Sulawesi,
memerlukan perjuangan yang berat. Atas dasar itulah NICA melakukan penekanan
dan pendekatan kepada Dr. G.S.S.J. Ratulangie agar mau berdamai dengan NICA.
Keadaan ini membuat Dr. G.S.S.J. Ratulangie menjadi sangat terpojok. Ia memang
pernah mengutus Moh. Saleh Lahade dan Manai Sophian untuk meminta bantuan
pasukan, senjata, dan peralatan militer agar segera dikirim ke Sulawesi untuk
menjaga kedaulatan Republik Indonesia. Tetapi pasukan, senjata, dan peralatan
militer yang ditunggu-tunggu tidak kunjung tiba. Karena itu ia memilih untuk
berunding demi menjaga ketentraman Sulawesi sambil menunggu datangnya bantuan
pemerintah pusat yang dimintanya. Walau akhirnya bantuan dalam jumlah yang
sangat besar tiba di Sulawesi untuk mendukung idealisme Dr. G.S.S.J. Ratulangie, tetapi ketika bantuan
itu tiba sang gubernur sudah ditangkap oleh KNIL dan dibuang ke Serui tanggal 5
April 1946.[4]
B.
Medium
(alat penyebaran berita: surat kabar, radio, orang/tokoh langsung, Kantor Berita Domei, tokoh PPKI, Pengiriman
Delegasi)
1.
Penyebaran Melalui Tokoh PPKI dan Pengiriman Delegasi
Setiba
Dr. G.S.S.J. Ratulangie di Makassar, langsung menginap di Hotel Empress bersama
Mr. Andi Zainal Abidin selama seminggu di sini mengorganisir strategi
perjuangan yang dimulai dengan penyebaran berita proklamasi, dan upaya
membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kemerdekaan dan upaya
mempertahankannya.
Selaku
Gubernur Sulawesi, menyadari bahwa Dr.
G.S.S.J. Ratulangie posisinya
amat sulit. Para pemuda menganggap tindakan gubernur terlalu berhati-hati. Oleh
karena itu, para pemuda mulai merencanakan untuk merebut gedung-gedung vital,
seperti stasiun radio dan tangsi polisi. Kelompok pemuda tersebut terdiri atas
kelompok Barisan Berani Mati, bekas Kaigun Heiho dan pelajar SMP.
Segera setelah Dr. G.S.S.J.
Ratulangie kembali ke Makassar, ia menyebarkan berita proklamasi dan menata
pemerintahan sekaligus mengorganisir perjuangan rakyat mempertahankan
kemerdekaan dalam wadah organisasi Pusat Keselematan Rakyat (PKR) yang dipimpin
oleh Dr. G.S.S.J. Ratulangie, dengan menghimpun segenap tokoh-tokoh lintas
etnis yang ada di Makassar, seperti:
1.
Lanto
Daeng Pasewang dari Sulawesi Selatan
2.
Saleh
Daeng Tompo dari Sulawesi Selatan
3.
Latumahina
dari Maluku
4.
Soewarno
dari Jawa
5.
Mr.
Andi Zainal Abidin dari Sulawesi Selatan
6.
I.P.L.
Tobing dari Sumatera
7.
W.S.T.
Pondang dari Sulawesi Utara.[5]
Rakyat Sulawesi menyambut
hangat berita proklamasi dan memberikan dukungan penuh kepada Dr. G.S.S.J.
Ratulangie untuk melakukan konsolidasi pemerintah RI di wilayah Sulawesi,
rakyat mendesak untuk mengambil alih kekuasaan dari Jepang, maka Dr. G.S.S.J.
Ratulangie mengadakan diplomasi dengan pimpinan Tentara Jepang di Makassar,
namun pihak Jepang tidak bersedia memberikan kekuasaan kepada Bangsa Indonesia
karena takut kepada Sekutu yang akan segerah datang. Dr.
G.S.S.J. Ratulangie menasehati para pemuda untuk
tidak melakukan tindakan revolusioner melawan Jepang, demi mencegah pertumpahan
darah dan meyakini bahwa Jepang akan segera meninggalkan Nusantara untuk
selamanya.
Penyebaran berita proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia itu disebarkan secara formal, melalui Tim Dr.
G.S.S.J. Ratulangie menuju ke Utara sedangkan Tim Lanto Daeng Pasewang ke
Selatan. Dimaksudkan untuk menyusun kekuasaan dan menggalang persatuan dengan makin
santernya berita pendaratan tentara Sekutu di Sulawesi Selatan. Dr. G.S.S.J.
Ratulangie tetap mempertahankan pendiriannya untuk tetap menghindari perlawanan
bersenjata dan menggantikannya dengan jalan diplomasi, berdasarkan suatu
perhitungan yang matang.
Sebelum
Gubernur Sulawesi Dr. G.S.S.J.
Ratulangie
menyampaikan secara resmi berita proklamasi, maka beberapa pemuka masyarakat
yang dekat dengan prajurit Jepang telah mengetahui kabar penting itu. Ada yang
mendengar langsung dari radio miliknya, ada pula lewat pemberitahuan tidak
resmi dari orang Jepang. Hal ini hampir terjadi disemua kota-kota kecil di
Sulawei Selatan, seperti: Pare-pare, Soppeng, dan Palopo. Selain itu, perlahan-lahan muncul
semacam pusat-pusat kegiatan pemuda pendukung kemerdekaan masing-masing:
1. Kota
Makassar dan sekitanya;
2. Kota
Pare-pare dan sekitanya; dan
3. Kota
Palopo dan sekitarnya.
4. Kota Watampone
5. Kota Watangsoppeng, dan
6. Kota Sengkang.
Di antara daerah-daerah tersebut,
Bonelah yang menonjol, dikaitkan figur Andi Mappayukki selaku Raja Bone yang sejak awal tergabung dalam
perjuangan mempersiapkan kemerdekaan dan Andi
Pangeran Daeng Parani selaku putra
Raja Bone (tokoh PPKI yang hadir dalam proklamasi kemerdekaan di Jakarta).
Kedudukan Bone pada awal proklamasi, dapat disamakan dengan Bulukumba, dimana
Andi Sultan Daeng Raja berada (tokoh
yang hadir dalam proklamasi kemerdekaan di Jakarta).[6]
Kesibukan
para pemuda di Kota Makassar dalam mendukung Proklamasi kemerdekaan, menarik
perhatian rakyat Gowa. Di Jongaya, pinggiran daerah Gowa berbatasan dengan Kota
Makassar, di tempat ini sejumlah pimpinan pemuda mengadakan pertemuan. Pada
akhir bulan Agustus 1945, rakyat mengibarkan
bendera Merah Putih di bawah pimpinan Abd. Rasyid Daeng Lurang.
Pengibaran bendera merah putih dimulai
di Kampung Pao-pao, sekitar makam Sultan Hasanuddin. Dijelaskan pula oleh
pimpinan masyarakat di kampung itu tentang arti kemerdekaan kepada
pemuda-pemuda di setiap kampung.
Pemuda
Gowa di Katangka pada pertengahan September 1945, berusaha mencari senjata.
Atas petunjuk Badollahi, beberapa pucuk karaben Jepang ditemukan dan juga
beberapa pucuk pistol genggam. Hanya peluru senjata api itu amat kurang,
sehingga manfaatnya pada masa itu tidak seperti yang di harapkan. Di Pannara,
atas usaha Supu dkk, ditemukan juga senjata karaben Jepang. Dengan demikian,
pemuda pendukung kemerdekaan di Gowa telah memiliki sekitar 10 pucuk senjata
Karabeng Jepang, dan beberapa pistol. Pusat kegiatan pemuda ialah Katangka dan
Tidung.
Meskipun
kota kecil Sungguminasa kurang nampak kegiatan dukungan terhadap proklamasi,
tetapi desa-desa lain di Gowa, penduduk bersemangat. Di Limbung, Pemuda Muhammadiyah
kembali aktif, dengan Pandu Hisbul Wathan sebagai intinya. Hal yang sama nampak
pula pada penduduk Kampung Pallangga, dan Barombong.
Dukungan
penduduk di Daerah Takalar berpusat di Polombangkeng, pada akhir bulan Agustus
1945, kesibukan penduduk Kota Makassar mendukung proklamasi kemerdekaan samapai
beritanya ke Polombangkeng. Ketika itu, Fakhruddin Daeng Romo, pemuda belasan
tahun datang ke Polombangkeng dari Kota Makassar. Melalui Madinah Daeng
Ngitung, kabar penting itu tiba pada Makkaraeng Daeng Manjarungi dan
Syamsuddin Daeng Ngerang. Pada hari itu
juga di Polombangkeng Pajonga Daeng Ngalle menyatakan dukungannya terhadap
proklamasi. Kemudian, raja menyampaikan perintah kepada pemuda dan sanak
keluarganya agar: (a) menunjukkan kecintaan terhadap tanah air dan bangsa
Indonesia, (b) siapkan seluruh rakyat polobangkeng untuk mempertahankan
kemerdekaan, (c) bentuklah organisasi yang dapat menggalang massa, bersatu padu
menghadapi segala kemungkinan yang akan menggangu kemerdekaan. [7]
Perintah
Raja Polombangkeng itu membuka lembaran sejarah yang amat penting di daerah
itu. Rakayt Polombangkeng bangkit dan bersiap membela proklamasi. Ikrar
kebulatan tekad dipertegas dalam semboyan: “siri
na pace” yang bermakan tanggung jawab yang tinggi dan solidaritas yang amat
dalam. Pada awal September 1945, segenap keluarga raja berintikan Syamsuddin
Daeng Ngerang, Makkaraeng Daeng Manjarungi, Madinah Daeng Ngitung, dan
Fakhruddin Daeng Romo. Upacara keteguhan hati raja bersama anggota keluarga dan
sahabat terdekat diadakan di Bontokadatto. Kampung itu terdapat Balla Lompoa atau Istana Raja, Adalah
tidak salah bila dikatakan Distrik Polombangkeng merupakan “wilalayah RI” yang pertama terbentuk di
Sulawesi Selatan.[8]
Dukungan
terhadap kemerdekaan semakin tegas, dengan kedatangan Lanto Daeng Pasewang pada
pertengahan bulan September 1945. Kepada utusan Gubernur Sulawesi itu,
disampaikan bahwa raja dan rakyat Polombangkeng telah berkebulatan tekad
mendukung proklamasi kemerdekaan. Tindakan nyata rakyat Polombangkeng nampak
pada rapat dihadiri massa dalam jumlah yang cukup besar jumlahnya. Rapat
tersebut berlangsung di lapangan terbuka, pada tanggal 18 September 1945.
Ketika diadakan penyematan lencana merah
putih di dada baju masing-masing. Para pemuda, murid-murid sekolah usia 12
tahun ke atas, bahkan rakyat biasa ramai-ramai menyematkan lencana. Pada saat
itu pula, mulai di resmikan “salam
perjuangan” dengan ucapan MERDEKA sambil mengancungkan tangan ke atas.
Di
Takalar sampai aparat NICA datang di tempat ini, dukungan terhadap kemerdekaan
cukup besar. Hal ini didorong oleh gerakan pemuda dan Raja Polombangkeng serta
usaha Moh. Saleh Lahade, membentuk organisasi PKPNI (Penjaga Keamanan
Pemerintahan Nasional Indonesia). Wadah perjuangan itu didirikan pada
pertengahan bulan September 1945,
diketuai
Moh. Saleh Lahade. Berhubung terjadi dualisme pusat gerakan dengan adanya
latihan di samping Polombangkeng, maka
Sale
Lahade menghentikan aktivitas
PKPNI di Takalar, dan pada bulan
Oktober 1945, semua kegiatan pemuda di pusatkan di Polombangkeng. [9]
Dukungan kemerdekan oleh pemuda dan
masyarakat Jeneponto bermula dari organisasi SUDARA, diperkuat kunjungan Lanto
Daeng Pasewang. Hasil kunjungan Lanto ialah pengambil-ahlihan kekuasaan dari Jepangpada awal September
1945, pimpinan SUDARA Malajong Daeng Liwang bersama pemuda militan seperti:
Anwar Said, Abd. Aziz Tutu, Ahmad Abdullah, mengorganisir para pemuda. Kecuali
itu tampil Kepanduan Hisbul Wathan dari Muhammadiyah
Jeneponto. Kekuatan pendukung kemerdekaan bertambah, berhubung Raja Binamu Haji
Mattewakkang Daeng Raja dengan sepenuh hatimendukung
proklamasi 17 Agustus 1945. Pernyataan dukungan diikrarkan dalam suatu rapat
dihadiri sekitar 1000 di lapangan terbuka Jeneponto.
Di
Bantaeng (Bonthain) SUDARA di bawah pimpinan Andi Mannapiang bersama anggota
pengurus lainnya mengorganisir dukungan terhadap proklamasi. Pada masa
kekuasaan Jepang, cukup banyak pemuda Bantaeng memasuki latihan kemiliteran.
Beberapa orang anggota Boei Teisin Tai dibentuk latihan khusus yang
dipersiapkan untuk pertempuran. Wanita dilatih dalam Fujin
Kai, dengan materi latihan pertempuran garis
belakang. Andi Mannapiang menjalin hubungan dengan Raja Gantarang Andi Sultan
Daeng Raja di Bulukumba. Andi Sultan yang menampung pemuda untuk latihan
khusus.
Jalinan
hubungan Andi Mannapiang dan pimpinan pemuda republic Bantaeng dengan Andi Sultan
Daeng Raja berlangsung terus. Karena itu pengaruh Andi Sultan cukup kuat di
Bantaeng. Atas petunjuk Andi Sultan, maka Andi Mannapiang menyusun
pemerintahan RI sambil menunggu berita
dari Kota Makassar. Atas dasar itu sejak tanggal 27 Agustus 1945, Andi
Mannapiang menyerukan kepada penduduk agar mengibarkan bendera merah putih.
Semangat
bertambah kokoh, berhubung beberapa tokoh kemerdekaan dari Makassar ke
Bantaeng, mereka tiba pada awal Septembar 1945 yang terdiri dari Lanto Daeng
Pasewang, Manai Sophian, A.N. Hajarati, A. Majid, dan Achmad Massiara. Andi
Mannapiang sebagai Raja Bantaeng yang ditemui tokoh politik itu, segera menyatakan bahwa Bantaeng
sebagai wilayah RI. Melihat
gejala para pemuda akan bertindak,
maka pasukan Jepang meninggalkan Bantaeng, mereka melarikan diri ke
gunung-gunung dan semua persenjataan milik Jepang dibawa serta sebelum dirampas
oleh pemuda.
Di
daerah kediaman Andi Sultan Daeng Raja Bulukumba, gerakan kemerdekaan cukup
menonjol. Andi Sultan yang juga menjadi Raja Gattarang, suatu kerajaan kecil di
Bulukumba sejak masa pemerintahan Jepang sudah sering kali menyelipkan ide
kemerdekaan dalam setiap pidatonya. Ia membuka pintu berkembangnya pertahanan
kemerdekaan seperti:
Muhammadiyah, PNI, dan organisasi SUDARA dibentuknya. Melalui organisasi itu,
dukungan terhadap kemerdekaan dibina. Ketika berita kemerdekaan dibawa oleh
Andi Sultan dari Jakarta, 19 Agustus 1945, tokoh pergerakan dan organisasi
pemuda menyambut dengan amat gembira.
Para pemuda di Daerah Sinjai pada awal kemerdekaan tampil
dan konsekuen atas pernyataan dukungan mereka terhadap proklamasi pemerintahan
RI Daerah Sinjai terbentuk. Kepala pemerintahan RI yang pertama ialah Andi
Mappotaba, dibantu oleh Andi Indar, dan Andi Jayalangkara. Dengan demikian
kevakuman kekuasaan setelah pemerintah militer Jepang menyerah kepada Sekutu
diisi oleh pemerintah RI yang berlangsung sampai munculnya NICA pada
pertengahan bulan Oktober 1945.
Di
Selayar pulau kecil di sebelah selatan agak dekat dengan Bulukumba, dukungan
rakyat dibuktikan pada tanggal 10 Oktober 1945, mereka menurunkan bendera
Belanda dan menaikkan bendera merah putih. Pelopor kemerdekaan yang disegani
rakyat Selayar ialah Aruppala. Wadah organisasi yang mempersatukan pendukung
kemerdekaan, PKR (Perkumpulan Kedaulatan Rakyat ) yang dibentuk diketuai oleh
Aruppala, maka sejak hari itu bendera merah putih berkibar di ibu kota Selayar. [10]
Kota
kecil yang terdekat di sebelah utara Makassar ialah Maros, pusatnya di Desa
Turikale di bawah kepeloporan Karaeng Turikale dan Abd. Hamid Daeng Manassa. Ia
juga menjabat sebagai pimpinan organisasi SUDARA di Maros pada akhir kekuasaan
Jepang. Berita kemerdekaan yang diketahui umum pada akhir Agustus 1945, dengan
cepat tiba dan meluas di Maros. Di Kassi Kebo masih dalam Kota Maros, Abd.
Hamid Sahaban Daeng Pabeta memimpin rapat untuk menyatukan gerakan dalam
mendukung dan mempertahankan kemerdekaan. Pertemuan itu dihadiri tidak kurang
dari 120 orang pemuda, seperti:
M. Tajuddin Daeng Masiga (karaeng), Abd. Kamaruddin Sahban, Abd. Hamid, H. Muh. Kasim, Mansyur Iskandar. Sementara
itu, Mania Sophian dari Makassar mengundang 25 orang tokoh-tokoh utama pejuang
melakukan pertemuan tertutup di Kantor Karaeng Turikale. Pertemuan itu membahas
tentang langkah-langkah yang akan ditempuh dalam usaha mempertahankan
kemerdekaan.
2.
Pemberitaan Melalui Media Radio
Selain
itu berita radio dan informasi dari prajurit-prajurit Jepang yang bersimpati
terhadap perjuangan Bangsa Indonesia. Di Soppeng, berita kemerdekaan mulai
dibicarakan secara berbisik sejak tanggal 22 Agustus1945. Kemudian, setelah
organisasi PNI (Pemuda Nasional Indonesia) terbentuk atas inisiatip Andi
Mahmud, berita kemerdekaan tersebar luas. Andi Mahmud yang memiliki pesawat
radio sempat mendengar adaya proklamsi itu. Ketik itu, ia menjabat sebagai
Kepala Distrik Liliriaja Onderafdeling Sopeng. Di Kota Pare-pare, Andi Abdullah
Bau Masspe dapat mendengar berita proklamasi Kemedekaan melalui radio miliknya,
sehingga dengan cepat dapat menyebarkan ke segenap kerabat dan rakyat, dan
selanjutnya Andi Abdullah Bau Masspe menjadi salah seorang pelopor pendukung
kemerdekaan diantara para raja dan bangsawan yang ada di Sulawesi Selatan.
Berita Proklamasi 17 Agustus 1945 di Kolaka diterima dari
orang Jepang yang mendengar melalui radio, yaitu oleh Kabasima Komandan Tentara
Jepang yang bertugas di daerah pertambangan Nikel Pomalaa-Kolaka. Patut dicatat
bahwa Kabasima Taico yang kemudian berganti nama menjadi Mansur bersama
temannya yang dikenal dengan nama Sukri tidak mau dipulangkan ke Jepang bersama
tawanan peran dan ikut berjuang bersama pemuda Kolaka menentang pendudukan
Belanda di Kolaka Utara (Lasusua) mereka mendirikan gerakan Kipas Hitam untuk
menentang NICA. [11]
Kolaka
sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Luwu para pemudanya telah melakukan
langkah maju, karena sejak tanggal 18 Agustus1945, membentuk organisasi pemuda
militan, bernama GKR (Gerakan Kebangunan Rakyat). Wadah itu dibentuk atas izin
Kabasima (AL). Jepang yang bertugas
di wilayah pertambangan
Nikel Pomalaa. Pimpian GKR ialah M. Jufri Tambora, dibantu oleh Andi Punna, Ali Kamri
bersama 11 orang. Dari pihak Jepang duduk sebagai penasehat: Kapten Kabasima
dan Kapten Fujiyama. Dari pihak Jepang, telah diperoleh informasi perubahan
situsai, termasuk kekalahan Jepang kepada Sekutu dan berita proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia. Demikian pula, jalur lalulintas laut di Teluk
Bone antara Luwu dan Kolaka (Mincarangapa) tidak pernah berhenti. Dengan
demikian, pada tanggal 20 Agustus 1945, berita proklamasi kemerdekaan dari Palopo sudah sampai
pada para pemuda GKR dan masyarakat luas di Kolaka karena dibawa pula oleh para
perantau yang baru datang dari Palopo. Atas dasar itu, M Jufri Tambora yang
masih memiliki hubungan keluarga dengan bangsawan Luwu, berangkat menuju
Palopo. Tujuannya, ialah untuk mendapat berita resmi seikap Raja Luwu terhadap
proklamasi kemerdekaan bangsa Insonesia.
Jufri Tambora kembali ke Kolaka pada pertengahan September 1945 membawa
kepastian sikap Raja Luwu terhadap kemerdekaan itu. [12]
Turut sertanya beberapa orang Jepang dalam perjuangan
menentang Belanda/NICA menggambarkan betapa jauhnya oknum tentara Jepang
membantu mendirikan kekuasaan RI di
Sulawesi Tenggara. Di Kendari berita Proklamasi mulai diketahui dari
kalangan Kaigun dan Heiho yang disampaikan juga oleh Tentara Jepang yang
bertugas memimpin Heiho tersebut yaitu Idie Heiso dan Sadamitsu Heiso.
3.
Peran ParaTokoh
Pengibaran bendera
merah putih di Kota Makassar pada hari Senin 17 September 1945 sekitar pukul
09.00 diinspirasi oleh kedatangan seorang tokoh PSII Sulawesi bernama Jusuf
Samah dari Jawa yang menceritakan tentang perjuangan mempertahankan proklamasi
kemerdekaan, maka para pemuda dan tokoh yang mendengar menjadi berkobar
semangat patriotisnya untuk segera mengibarkan bendera merah putih, maka
bertempat di Halaman Perguruan Islam di Jalan Datu Museng No. 8 Makassar
dilaksanakan pengibaran merah putih oleh 2 orang pelajar sekolah itu yang
disaksikan seluruh pelajar, segenap masyarakat sekitar dan disaksikan beberapa
orang Bekas Heiho yang menyamar dengan membahwa geranat tangan. Para pelajar
dengan penuh percaya diri, mereka memakai lencana merah putih di dadanya.
Peristiwa ini dipimpin oleh Kepala Perguruan tersebut bernama Ustaz Gazali
Sjahlan,
Walaupun
kemerdekaan Indonesia sudah diplokamirkan 17 Agustus 1945 tetapi tokoh-tokoh
perjuangan di Bolaang Mongondow belum melihat naskah proklamasi itu. Untunglah ada
seorang penduduk Desa Molinow yang menjadi guru di SD Molibagu (Bolsel) bernama
Siata Paputungan yang memperoleh salinan naskah proklamasi yang berasal dari
Gorontalo, maka dengan berjalan kaki ia datang ke Desa Molinow memperlihatkan
naskah proklamasi kepada tokoh PSII.
Maka tokoh-tokoh PSII didukung bekas pemuda Heiho dan beberapa anggota
tentara Jepang yang tidak mau dipulangkan ke tanah leluhurnya pada tanggal 19
Desember 1945 datang mengibarkan bendera Merah Putih di lapangan Desa Molinow.
Pengibaran Merah Putih didukung Lettu Hirayama yang pagi itu bermarkas di rumah
JFK Damopolii yang akhirnya markas Lettu Hirayama dikepung Polisi Belanda yang
bermarkas di Kotamobagu pimpinan Lettu Kambey, dan Kambey terkena tembakan di
paha,
sehingga polisi Belanda mundur kembali ke markasnya di Kotamobagu.
Di Kepulauan
Wakatobi Sulawesi Tenggara, berita proklamasi dibawa oleh para pelayar yang
baru datang dari Jawa dan Sumatra seperti yang dilakukan oleh La Ola yang pada
bulan September 1945 di bawah Komando BKR Laut pimpinan Mayor S. Daeng Mangatta
berlayar ke Singapura dan bertemua dengan Sumitro Djojohadikusumo, mereka
sepakat memuat senjata dari Singapura ke Jawa, dalam perjalanan pulang dari
Singapura pada bulan September 1945, mereka singgah di Tanjung Pinang, dan kemudian mendapat tugas
tambahan menyelamtkan Soepardjo Rustam
dari Rumah Tahanan di Tanjung Pinang menuju ke Cirebon selanjutnya ke
Ambarawa Jawa Tengah. La Ola juga terlibat dalam perjuangan melawan Sekutu/NICA pada bulan November 1945 di Surabaya.[13]
Di
Toli-Toli pada masa awal proklamasi kemerdekaan rakyat tak mengetahuinya.
Karena seringnya mendapat pemboman Sekutu, maka rakyat berpencar menyingkir ke
Desa-desa di luar Toli-Toli. Sekitar pertengahan bulan Oktober 1945 Mohammad
Mahmud dan Ahmad Mahmud datang dari Gorontalo diutus oleh Nani Wartabone
membawa bendera Merah Putih ke Daerah Buol. Bendera tersebut dikibarkan di Leok
selama 3 minggu.
Berita
proklamasi kemerdekaan di Daerah Sulawesi Tengah mula-mula terdengar dan
diketahui oleh tokoh-tokoh pejuang di Poso dari pemberitaan orang Jepang
sendiri. Pada tanggal 15 Agustus 1945 di atas Daerah Poso pesawat-pesawat
Sekutu menyebarkan pamflet berwarna kuning berisikan pemberitahuan bahwa Jepang
telah menyerah tanpa syarat. Oleh kepala Kampung Malei (bagian kerajaan Tojo)
bernama Abu Maloco, secara rahasia selembar dari pamflet itu dikirimkan kepada
Abdul Latief Mangitung di tempat
persembunyiannya di atas kampung Malei karena ia menjadi buronan polisi Jepang
sejak peristiwa Gerakan Merah Putih tahun 1942 di Ampana-Tojo. Setelah membaca isi
pamflet tersebut Abdul Latief Mangitung berangkat ke Poso pada tanggal 16
Agustus 1945 untuk mengetahui dari dekat situasi yang sebenarnya dan bermalam
di rumah Lanokang. Pada tanggal 17
Agustus 1945 kira-kira jam 15.00 sore Abdul Latief Mangitung dikunjungi di
tempat penginapannya oleh seorang perwira Jepang yang dikawal oleh dua orang
anggota Heiho asal Sulawesi Selatan
bernama Saleh Topetau dan Djafar.
Perwira Jepang itu mengatakan bahwa “bangsa
Indonesia sudah merdeka“. Mula-mula berita ini dianggap hanya pancingan
Jepang terhadapnya, sehingga ia tidak berani menanggapinya. Baru setelah dua orang Heiho membenarkan
berita itu dengan menyatakan bahwa mereka
berduapun langsung mendengar berita proklamasi dari radio milik Jepang
sewaktu mereka sedang bertugas, barulah berita itu diyakini kebenarannya.
Sementara
itu dari keterangan I Latanco Talamoa diperoleh penjelasan bahwa berita
proklamasi diketahuinya dari seorang tentara Jepang kenalan baiknya bernama Nakamura dari Angkatan Darat. Setelah
mendengar dari radio tentang proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Nakamura
dengan segerah ke rumah I Latanco Talamoa dan berkata; “Jepang sudah kalah, tapi Indonesia sudah merdeka menghadapi Belanda.
Belanda, Amerika ganti Jepang.” Ketika I Latanco Talamoa bertanya : “Mengapa begitu?” Dijawab oleh tentara
Jepang tersebut: “Ada berita dari
Batavia, Indonesia ada proklamasi kemerdekaan melalui radio oleh Sukarno-Hatta”.[14]
Menurut catatan harian dari R.G. Ratupamusu, tidak lama sesudah
berita proklamasi didengar di Poso, maka pada tanggal 25 Agustus 1945 tibalah
di Poso utusan Gubernur Sulawesi Dr. G.S. S.J. Ratulangi dari Makassar melalui
jalan darat dari Palopo ke Poso. Utusan tersebut adalah A.N. Hajarati dan
Hamzah Ilahude untuk membentuk Pemerintahan Nasional di Poso serta memberi
penerangan tentang telah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945.[15]
Pada
saat kedatangn A.N. Hajarati dan Hamzah Ilahude inilah bendera Merah Putih
dinaikkan diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Diadakanlah pertemuan dengan
tokoh-tokoh masyarakat setempat dihadiri sekitar 40 orang. Pada pertemuan itu
dibentuk Dewan Nasional dan Dewan Pertahanan Nasional dengan mengangkat Wongko
Lemba Talasa sebagai Kepala
Pemerintahan Nasional Wilayah Poso. Untuk Dewan Pertahanan Nasional dipimpin Ibrahim Muhammad, dan
sebagai delegasi utusan ke Palu untuk membawa dokumen propaganda Merah
Putih/lambang Merah Putih dipilih R.G. Datupamusu.
Ada
9 dokumen/surat yang harus dibawanya ke Palu, masing-masing untuk: (1) Raja
Parigi: Tagunu, (2) Raja Tawaeli: Lamakampali, (3) Raja Palu: Janggola, (4)
Raja Banewa: Rohana Lamarauna, (5) Raja Biromaru: Lamasaera; (6) Raja Kulawi:
Djiloi, (7) Raja Moutong: Kuti Tombolotutu, (8) Kepala Pemerintahan Negeri
Palu: Tjatjo Ijazah, dan (9) Kepala Polisi di Palu. Menyusul pada bulan November 1945 tiba lagi
utusan Pemuda Republik Indonesia (PRI) dari Palopo ke Poso melalui jalan darat.
Utusan tersebut terdiri dari M. Landau selaku pimpinan rombongan, bersama Umar
Abdullah dan Nur Apala. Tujuannya ke Sulawesi Tengah umtuk membantu cabang PRI
di Poso sambil mengadakan pertemuan untuk meberikan penerangan tentang
proklamasi kemerdekaandan tugas-tugas bangsa Indonesia untuk mempertahankan
kemerdekaan yang telah diproklamirkan.
Dari
Poso M. Landau dengan rombongannya ke Ampana, Bunta dan Pagimana. Di Ampana
Raja meminta M. Landau dan kawan-kawannya memberikan penerangan kepada rakyat
Ampana dan sekaligus mengibarkan bendera Merah Putih. Pada saat M. Landau dan kawan-kawan tiba di
Bunta mereka disambut dengan hangat oleh masyarakat setempat. Begitu pula
ketika mereka tiba di Pagimana, mereka mendapat kesan tokoh-tokoh politik dan
masyarakat di tempat itu memang telah memiliki kesadaran dan jiwa nasionalisme
yang telah mendalam karena sudah mengalami perkembangan sejak zaman Belanda
sampai zaman Jepang. Mengenai sikap Jepang terhadap ini semua, mereka hanya diam
saja, akan tetapi di Poso, Jepang
tidak melarang pemuda mengambil senjata yang sudah terkumpul sambil mengatakan:
“Indonesia Senjata boleh curi-curi “.[16] Pada waktu itu pimpinan
pemuda di Kota Poso adalah Sidik Utina, Yakob Lamadjuda dan W.L. Talasa.
4.
Penyebaran
Berita Proklamasi Melalui Media Majalah/Koran
Pernyataan
kemerdekaan yang disampaikan oleh Gubernur Dr. G.S.S.J. Ratulangie, juga dimuat harian
Pewarta Selebes pada tanggal 29 Agustus 1945. Melalui pemberitaan Koran ini,
sehingga para kaum terpelajar semakin meningkatkan semangat nasionalisme dan
patriotismenya, mereka rela berkorban untuk membela dan mempertahankan
kemerdekaan.
Sebelum
Oktober 1945, Tondano menjadi ibu kota
pemerintahan sipil Jepang untuk Sulawesi Utara dan Tengah. Markas tentara Jepang
yang terakhir ialah di Tonsea-Lama. Panglima Terakhir Laksamana Hamanak berada
dalam tahanan tentara Sekutu di Manado untuk diadili. Di kota ini NICA tidak
menempatkan pos militer, hanya ada sebuah Detasemen Polisi. Markas pemuda
terdapat di Kampung-Jawa dengan pemimpin-pemimpin pemuda Wim Pangalila dan
Rahmat Pulukadang. Untuk melebarkan
barisan pemuda dan front perjuangan, telah ditugaskan pemuda-pemuda Andaria
Tatehe ke Sangir-Talaud, Pon Mokodongan dan Hasan Usman ke Gorontola. Dikirim
pula tenaga-tenaga penghubung ke Donggala dan Poso.
Bagi pemuda Minahasa dalam mendukung proklamasi RI,
maka pada tanggal 8 Oktober 1945 mendirikan organisasi Barisan Pemuda Nasional
Indonesia (BPNI). Suatu media penerangan dan
propaganda dilancarkan oleh BPNI dengan penerbitan majalah yang bernama
“CATAPULT” dan “Suara Indonesia Moeda”, di bawah asuhan Chris Pontoh dan John
Rahasia. Catapult berbahasa Belanda karena masyarakat terpelajar umumnya
berbahasa Belanda. [17]Melalui
media penyiaran ini, maka rakyat dapat mengikuti keadaan perjuangan di Jawa dan
pembangkitan semangat untuk berpartisipasi. Sumber-sumber berita diperoleh dari
Dokter Senduk dan Dr. W.J Ratulangi yang menangkapnya dari pesawat-pesawat
radio yang ditingkalkan oleh dinas PHB-Jepang.
5.
Penyebaran
Berita Proklamasi Melalui Kantor Berita Domei
Sesungguhnya sudah sejak bulan Agustus para pemuda
Minahasa bangkit menyambut Proklamasi Kemerdekaan yang di kumandangkan di
Jakarta pada tanggal 17 agustus 1945. Berita Proklamasi pertama kali diketahui
pada tanggal 18 Agustus 1945. A. S. Rombot dan A. Siga yang ketika itu bertugas
di Markas Angkatan Laut Jepang di Tondano sebagai markonis, mendengar berita
itu yang disiarkan oleh Kantor Berita Jepang (Domei) di Tokyo. Berita yang
sangat penting itu hanya diselipkan di antara berita-berita lain mengenai bom
atom di Hiroshima dan Nagasaki, kapitulasi Jepang (10 Agustus), perintah
gencatan senjata yang dikeluarkan oleh Kaisar Jepang, dan sebagainya. Kedua
pemuda itu lalu menyampaikan berita itu antara lain kepada Wangko F. Sumantri
yang ketika itu menjabat sebagai Komandan Benteng Pertahanan Tanah Air di
Tondano. Sebab itu tidaklah mengherankan kalau para pemuda di Tondanolah yang
memulai gerakan pembelaan Proklamasi itu.
Kegiatan
para pemuda di Tondano pertama-tama tampak di Sekolah Kepolisian (Nippon no Tokibetsu) yang didirikan pada
masa pendudukan Jepang di sebuah gedung gereja Advent di Rerewoken (Tondano).
Jumlah siswanya adalah sekitar 70 orang yang rata-rata berusia 17 dan direkrut
dari seluruh penjuru Minhasa, anatar
lain Alex Lelengboto, Frans Karepouan, John Somba, Adolf Wungow dan Karinda.
Diantara para gurunya terdapat juga orang Indonesia seperti Samsuri, Rusman,
dan Massu. Segera setelah menerima
berita baru dari Sigar-Rombot, pada tanggal 19 Agustus 1945 para pelajar di
sekolah Kepolosian di Tondano itu mengadakan apel dan menaikan Merah-Putih
serta menyanyikan Indonesia Raya.
Badan
pemerintah Sementara (Komite
Tenaga Rakyat) dibawah pimpinan E.H.W Pelengkahu kemudian
memutuskan agar pada tanggal 23 Agustus 1945 Merah Putih dikibarkan serentak di
beberapa tempat di Minahasa, seperi Tondano, Kawangkoan, Kombi, dan Sonder.[18]
6.
Perjuangan
Putra Sulawesi di Jawa
Menjelang proklamasi kemerdekaan, para pemuda yang
berasal dari Sulawesi terlibat dalam kegiatan persiapan kemerdekaan, termasuk
dalam wadah BPUPKI seperti Mr. A.A. Maramis
sebagai anggota BPUPKI, ia duduk dalam Panitia Sembilan, yang diketuai oleh Ir.
Sukarno dan wakilnya Drs. Mohammad Hatta, mereka
bekerja merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Beliau turut
menandatangani rumusan ini pada tanggal 22 Juni 1945. Rumusan Pembukaan UUD
1945 ini kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta.
Mencermati kegiatan putra asal
Sulawesi di Jawa pada masa perjuangan kemerdekaan yang pada akhirnya mereka bersatu dalam
brigade XVI, di dalam perkembangannya dapatlah dibagi menurut dan laskar kegiatan
mereka, yaitu:
1. Di
Jawa Tengah pimpinan Kahar Muzakar
2. Di
Jawa Timur (Malang) Angkatan Darat pimpinan Warouw
3. Di
Jawa Timur (Lawang) Angkatan Laut pimpinan Aris dan Hamzah Tuppu
4. Di
Jawa Timur (Porong) Angkatan Kepolisian pimpinan M. Jasim.[19]
Kahar
Muzakar bertambah menarik perhatian ketika berhasil mendapat izin untuk membebaskan
narapidana Suku Bugis Makassar yang telah menjalani hukuman dua zaman di
penjara-penjara Nusa Kambangan, Cipinang Jakarta, Sukamiskin Bandung, Ambarawa
dan Sragen. Para narapidana dua
zaman ialah mereka yang dihukum pada zaman Hindia Belanda dan masih menjalani
hukumannya pada masa pendudukan Jepang. Mereka ini terdiri dari orang-orang
yang dihukum karena membunuh. Di Asrama Pingit lebih dahulu sudah ada
perantau-perantau/pelajar-pelajar Bugis-Makassar yang dilatih untuk menjadi
prajurit, antara lain Ukas Arifin, Muhamadong, Hasyim Komba, Arsyad, Ale
Abdullah, Moh. Said dan lain-lain.
Kemudian
para tahanan yang baru
dibebaskan jumlahnya lebih dari 1000 orang secara bergelombang dididik jiwanya
dan dilatih untuk menjadi prajurit tanah air di asrama ini, sebelum mereka
diterjunkan ke dalam pertempuran. Sedang para anggota senior dimasukkan untuk
pendidikan opsir antara lain: KS. Gani, Puddu Mas’ud, H. Moh. Idrus G.P, Daeng
Mangatta dan lain-lain. Mereka ini bersama pelarian dan perantau yang kemudian datang
di Jawa dari Sulawesi Selatan, merupakan pasukan Kahar Muzakar.
Kegigihan Kahar Muzakkar memperjuangkan para tahanan
menjadi kader-kader pejuang republic, tidak berhenti dalam periode ini, karena
pada tahun 1951 kembali Kahar Muzakkar menyatakan bahwa seluruh pemuda
pejuang/gerilyawan harus diangkat menjadi prajurit TNI, namun pada bulan Maret
1951, berdasarkan kesepakatan sementara, para gerilyawan dilebur menjadi Corps
Tjadangan Nasional (CTN) yang terdiri atas 5 batalyon, sambil menunggu hasil seleksi
mereka, yang layak diterima dalam kesatuan tentara dan yang tidak lulus
seleksi, kembali ke tengah masyarakat. Kondisi inilah yang ditentang Kahar
Muzakkar, sehingga sejak 17 Agustus 1951 ketika diadakan upacara penggabungan
pasukan, Kahar Muzakkar sudah tidak hadir, dan selanjunya mereka kembali ke
hutan. Sejak tahun 1952 Kahar Muzakkar menerima tawaran Pimpinan Darul Islam (DI) Kartosuwirjo untuk
bergabung melawan pemerintah Jakarta dan menerima Jabatan Komandan Divisi IV
Hasanuddin Tentara Islam Indonesia (TII).[20]
Aksi tersebut, kelak dikenal sebagai Pemberontakan
DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tenggara yang berlangsung sampai
tahun tahun 1962, ketika Kahar
Muzakar tertembak mati
pada awal Februari 1962 di tepi Sungai Lasolo oleh Koptu Sadeli dari anggota
Komando Operasi Kilat yang dipimpin oleh Kolonel Solichin G.P.[21]
Pada
bulan Januari 1946 tibalah di Yogyakarta dua orang tokoh pemuda Sulawesi
Selatan, yaitu Andi
Mattalatta dan Saleh Lahade. Kedua tokoh
ini bertemu dengan Presiden Republik Indonesia untuk melaporkan keadaan di
Sulawesi dan melaporkan usulan
Gubernur Ratulangie, mereka diutus untuk: (1) meminta bantuan pasukan dan
persenjataan kepada Pemerintah Pusat di Yogyakarta, (2)
menyampaikan resolusi raja-raja yang menolak kerjasama dengan NICA.
Pada
tanggal 25 Januari 1946, presiden mengeluarkan dekrit menggantikan nama TKR
menjadi Tentara Republik Indonesia. Kemudian disusul dengan suatu perombakan
besar-besaran organisasi ketentaraan. Pada tanggal 21 Juni 1946 menghadaplah ke
MBT Yogyakarta 4 orang tokoh-tokoh pejuang Sulawesi Selatan ialah Kahar
Muzakar, Andi Mattalatta, Mas’ud, dan Muhamadong dengan diantar oleh Kol.
Martono Subroto, keempat tokoh ini mengusulkan TRIPS (Tentara Republik
Indonesia Persiapan Sulawesi). Usul diterima dan tak lama kemudian keluarlah
penetapan dari Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk pembentukan TRIPS dengan
tugas menyelenggarakan ekspedisi ke daerah-daerah seberang yang telah diduduki
oleh Belanda. Untuk kepentingan ini, maka bintara-bintara atau opsir-opsir
berasal dari Sulawesi Selatan yang berada diberbagai kesatuan dipanggil untuk
menggabungkan diri ke dalam TRIPS. Antara
lain yang datang dari Jawa Barat (Siliwangi), Overste Sarifin, Letnan A.
Latief, Mayor Mas’ud, Sersan Syamsul Bahri dan Kopral PT. (Polisi Tentara)
Bahar Mattaliu.
Sebagai komandan TRIPS diangkat
Kahar Muzakkar dengan pangkat Letkol, Andi Mattalatta sebagai kepala stafnya
dengan pangkat Kapten. Sementara itu Saleh Lahade diangkat menjadi Komisaris
TRIPS Indonesia Timur. Persiapan untuk mengirim ekspedisi ke seberang segera
dimulai. Perlengkapan dan peralatan sudah didapat dari MBT. Berton-ton gula
disediakan untuk pembiayaan Letnan M. Jusuf dan Letnan Syamsuddin Rakka yang
ditugaskan ke Singapura membawa gula untuk dibarter dengan pakaian dan senjata.
Setelah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus1945, putera-putera Indonesia
di Jakarta yang berasal dari Sulawesi, membentuk berbagai wadah/organisasi
perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Organisasi pertama yang
dibentuk adalah GEPIS, kemudian APIS. Setelah itu pada tanggal 10 Oktober 1945
dibentuk “Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dengan susunan pengurus
sebagai berikut:
Ketua
: Bart Ratulangi
Wakil
Ketua : Baharuddin
Sekretaris
I : Kahar Muzakkar
Sekretaris
II : Boetje Woworoentoe
Bendahara
I : Haji Moh. Indrus G.P.
Bendahara
II : G. Pakasi
Komisaris-Komisaris
: 1. Moh. Indrus
2.
J.D. Pontoan
3.
Machmud
Bagian
Penerangan : F. Palenewen
Bagian
Pertahanan : 1. J. Rapa
2. Kahar Muzakkar
Dalam waktu singkat organisasi
perjuangan ini telah dapat mendirikan cabang-cabangnya hampir diseluruh
kota-kota penting yang berada dipulau Jawa. Pada akhir tahun 1945 anggota KRIS
di Jakarta Haji Lamban dan Haji Kaddase. Diberangkatkan ke Sulawesi Selatan
melalui Tegal dengan menumpang perahu layar dan berhasil mendarat di pantai
Polewali. Sedangkan anggota KRIS di Jawa Tengah Hasan Bin Tahir dan Daeng
Parani. Diberangkatkan ke pantai Barat Teluk Bone. Keberangkatan Kedua
rombongan KRIS ini belum merupakan expedisi bersenjata, tetapi hanya sekedar
rombongan penerangan terutama untuk meyakinkan para raja-raja di Sulawesi
Selatan untuk turut berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan, dan jangan
sampai dapat bekerja sama atau diperalat oleh NICA. Expedisi ini berhasil
mendarat di tempat tujuan masing-masing sesuai rencana semula, dan berhasil
pula mengadakan pendekatan dengan raja-raja sesuai mandat dari KRIS di Jawa.
Tetapi sayang tidak lama sesudah itu mereka satu-persatu anggota KRIS ini
ditangkap oleh NICA dan dibunuh secara kejam. Mereka gugur sebagai bunga
bangsa.
Organisasi perjuangan KRIS yang telah
terbentuk hampir seluruh kota-kota penting di Jawa ini, telah turut mengambil
bahagian dalam berbagai peristiwa pertempuran dan kegiatan perjuangan lainnya
bersama-sama badan-badan perjuangan lainnya. Rupanya symbol KRIS dalam arti
senjata tradisional pusaka kebanggaan umumnya orang Indonesia, dan dianggap
identik dengan “badik” bagi orang Bugis-Makassar, telah berhasil dengan
gemilang menggugah hati putera-putera Sulawesi baik yang berada di rantau
maupun yang berada di Sulawesi sendiri untuk turut serta mengambil bagian dalam
Perjuangan Kemerdekaan, meskipun mereka terdiri dari profesi yang berbeda-beda.
Alangkah tepatnya memilih nama KRIS ini sebagai simbol perjuangan kemerdekaan.
Selain itu ada dua orang opsir PETA
bagian laut yang berasal dari Sulawesi Selatan yang pertama bernama M. Aris dan
Hamzah Tuppu seorang keturunan Karaeng Galesong. Keduanya bersama-sama dengan
J. Tamboto, Tuege, J. Bolang, Luntungan, Sutrisno, Muchtar dan lain-lain,
membentuk BKR laut yang kemudian menjadi TKR laut, di samping organisasi PRIAL
(Pemuda Republik Indonesia Angkatan Laut) di Surabaya.
Pada akhir tahun 1946 menjelang tahun
1947 dimulailah ekspedisi pasukan TRIPS ke Sulawesi, ada yang selamat mendarat,
ada yang terpaksa kembali dan ada yang tertangkap di perjalanan. Ekspedisi
tentara ke Sulawesi Selatan itu menumpang perahu layar sebagaimana kebiasaan
anak-anak Bugis-Makassar. Tercatatlah nama-nama Andi Mattalatta, Saleh Lahade,
Andi Sarifin, Andi Sapada, Murtalak dan lain-lain sebagai pelopor-pelopor
perjuangan kemerdekaan untuk Sulawesi Selatan yang berhasi mendarat setelah
bertempur mati-matian dengan tentara Belanda.
B.
Pembawa Berita Proklamasi
Sementara Dr. G.S.S.J. Ratulangie
menunggu-nunggu kedatangan para pemuda pendukung kemerdekaan ditempat ia
menginap di Hotel Empress, muncul Sanusi Daeng Mattata dari Palopo. Sanusi
diutus oleh Pemerintah Kerajaan Luwu di Palopo atas desakan organisasi Sukarno
Muda, agar segera menemui Dr. G.S.S.J. Ratulangie. Pertemuan antara Sanusi
dengan Dr.Ratulanggi pada tanggal 26 Agustus1945 mendorong segera diumumkannya
berita proklamasi secara resmi. Sehari sebelum tanggal 25 Agustus1945,
Panglima Pangkalan Istimewa XXIII Jepang, Laksamana Muda Sugi Mori Kadzu
mengundang beberapa orang tokoh Heiho unsur Kaigun. Sekitar 20 orang dari
mereka hadir dalam pertemuan, antara lain Abd. Syukur, Dahlan Tahir, Alex, dan
Z.A. Sugianto. Sugimori berharap, agar meraka berusaha menjamin keamanan pada
waktu Sekutu mendarat. Dengan maksud Sugimori, para menuda bekas Heiho ingin
mempertahankan diri kembali, meskipun hanya senjata ringan. Abd Syukur akan menemui perwira
Jepang tersebut guna merundingkan pelaksanaan tugas-tugas keamanan dan soal senjata.
Sugimori bersemangat memberikan senjata secukupnya, asal melalui persetujuan
dengan kepemimpinan politik Bangsa Indonesia prokemerdekaan diMakassar ketika
itu.[23]
Bersama Abdul Syukur, Letnan Kawamura
menemui salah seorang pemuda pendukung kemerdekaan. Ternyata, Manai Sophian
kurang tertarik dengan rencana bekas Kaigun Heiho. Dalam pertemuan tanggal 27
Agustus 1945 itu, Manai Sophian menganjurkan pembentukan organisasi dengan
pendukung kemerdekaan tanpa persenjataan militer. Rupanya Manai Sophian dalam
sikapnya itu, berdasarkan jalan pikiran Dr. G.S.S.J. Ratulangie yang dalam
kepalanya penuh pertimbangan matang bahwa dalam waktu singkat Sekutu akan
mendarat dengan persenjataan lengkap.
Tentu saja, Manai Sophian disalahkan dalam penolakan itu, dan sangat mengecewakan
para pemuda militan.
Dalam keadaan kecewa di kalangan pemuda,
pada tanggal 28 Agustus1945, Dr. G.S.S.J. Ratulangie mengadakan pertemuan
dengan tokoh-tokoh SUDARA di Makassar. Di sini pun terdengar nada-nada
kekecewaan, yang ditujukan kepada Dr. G.S.S.J. Ratulangie. Kecaman tajam
dilemparkan oleh sebagian anggota rapat, terutama dari Najamuddin Daeng Malewa.
Dalam beberapa hal mengenai haluan politik, antara Najamuddin Daeng Malewa dan
Ratulangi terdapat perbedaan, setelah aparat Belanda/NICA mengambil alih
kekuasaan dari Sekutu, selanjutnya Dr. G.S.S.J. Ratulangie ditangkap pada
tanggal 5 April 1946, dan Najamuddin Daeng Malewa menjadi aparat NICA
terpercaya , maka para pemuda semakin yakin akan kegagalan perjuangan diplomasi
yang dikembangkan oleh Ratulangi.[24]
Sesungguhnya rakyat Sulawesi Selatan
mendukung Dr. G.S.S.J. Ratulangie sebagai gubernur, mereka bersama para
raja-raja tampak bersedia bekerja sama dengan gubernur. Akan tetapi, sang
gubernur berfikir terlalu jauh, khawatir akan timbul pertumpahan darah apabila
berhadapan dengan pasukan Sekutu yang segera akan mendarat. Dr. G.S.S.J.
Ratulangie mengadakan perjalanan ke Pare-pare terus ke Wajo, dan Watampone,
sedangkan ke Luwu dikirim A.N. Hajarati yang meneruska perjalannan ke Poso
Sulawesi Tengah. Aderah-daerah sebelah selatan Kota Makassar di kunjungi Lanto
Daeng Pasewang, mulai dari Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng (Bonthain),
Bulungkumba; Lanto Daeng Pasewang sangat gesit dan ulet selanjutnya menuju ke
wilayah utara bersama A.N Hajarati menemui Andi Burhanuddin dan Andi
Mallarangeng di Pankajene Kepulauan. Kemudian, pada awal September 1945,
menuruskan perjalanan ke Pare-pare menemui Andi Abdullah di Bau Masspe. Dua
bangsawan terkemuka di Pare-pare Andi Abdullah Bau Masspe dan Andi Makkasau,
sebagai tokoh utama SUDARA menjadi pelapor penyebar luasan berita proklamasi.
Dari Kota Pare-pare, berita resmi
proklamasi kemerdekaan disebarluaskan ke Rappang, Sidenreng , Enrekang bahkan
terus ke Tanah Toraja. Ke arah utara Kota Pare-pare yakni ke Suppa, Pindrang,
terus ke Daerah Mandar. Berita resmi kemerdekaan bangsa Indonesia telah
tersebar luas dan diketahui penduduk Sulawesi Selatan menjelang pertengahan
bulan September 1945. Bulan suci umat Islam, ramadhan atau bulan puasa tahun
itu bertepatan dengan suasana proklamasi kemerdekaan dan pada hari raya Iidul
Fitri 1876 H, bertepatan dengan tanggal 7 September 1945, pegumuman kemerdekaan
disampaikan secara massal. Di Sulawesi Selatan, kaum pergerakan PSII dan
Muhammadiyah menjadi juru pidato keagamaan, sekaligus menjadi juru menerang
dalam penyebar luasan berita proklamasi. Tanpa mengurangi sambutan penganut
agama selain Islam, proklamasi yang diumumkan bertepatan hari Jum’at bulan
Ramadan itu dinilai suatu Rahmat Tuhan Yang Maha Esa.[25]
Di Palopo ibukota pemerintahan Kerajaan
Luwu, pemuka masyarakat telah mempersiapkan diri dalam perjuangan kemerdekaan
pada akhir pemeritahan Jepang 1944, berkali-kali tokoh pergerakan kemerdekaan
datang ke Palopo, seperti Wahab Tarru, Siarahmal, serta pimpinan PSII dan
mauhammadiyah. Ketika itu pula, Sakata yang menjabat Tokketai Pelabuhan Palopo
membentuk perkumpulan seni. Ia menghimpun beberapa orang pemuda bidang seni
itu, seperti Rudhy Kamph, Wimpoli, Ani Assah, Bram hitaria, dan juga putera
Datu Luwu Andi Akhmad serta beberapa puteri Luwu.
Sakata adalah juga perwira intel Jepang.
Ia mengikuti terus situasi peperangan yang menyudutkan pasukan Jepang.
Perasaanya yang gundah gulau akibat kekalahn pasukan Jepang di berbagai front,
dicetuskan dalam Kesenian Band Hawaianya. Rahasia Jepang sering dibuka oleh
Sakata tanpa sadar, namun para anggotanya kurang peka menerimanya. Kepada Andi
Akhmad ia berkata, bahwa seandainya Jepang kalah, kira-kira bagimana
selanjutya. Andi Akhamd menjawab, maka saat itu kesempatan Indonesia merdeka.
Selang beberapa hari, tepatnya tanggal
17 Agustus1945 sore, Sakata memberitahukan kepada Andi Akhmad tentang
proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno-Hatta, disaksikan oleh perwira
Jepang Maeda. Adanya Maedah di Jakarta, hendak dimasukkan peranannya ke dalam
diri Sakata di Palopo. Pada malamnya, kelompok Sakata tidak mengadakan latihan
band, melainkan membuat pamflet untuk mengumumkan proklamasi kemerdekaan.
Setelah disepakati, kalimat pamflet ditulis oleh Wim Poli, yang berbunyi:
DENGAN DISAKSIKAN LAKSAMANA MAEDA, SUKARNO-HATTA TELAH MEGUMUMKAN KEMERDEKAAN
INSONESIA. Lewat tengah malam sementara penduduk kota yang muslim sibuk santap
sahur, kelompok Sakata memasang pamflet
pada dinding kantor-kantor, tembok pagar pinggir jalan, dan pohon-pohon besar.
Keesokan hariya, tanggal 18 Agustus1945 penduduk kota tersentak melihat
pamflet. Pembicaraan pun berkisar pada isi pamflet, dan tentang siapa yang
memasangnya.[26]
Penyebarluasan proklamasi kemerdekaan di
Palopo berlagsung sangat cepat. Penyebarluasan berita proklamasi ke pelosok
Luwu berlangung sesuai arus lalulintas mobilitas penduduk. Masjid, pasar, dan
arena pesta yang mempertemukan sejumlah orang,
bahkan rumah tangga menjadi media komunikasi. Dengan amat cepat berita
kemerdekaan tersebar luas, secara otomatis.
Berita proklamasi sampai di Tanah Toraja
seminggu kemudian, yakni pada tanggal 24 Agustus1945. Seorang pimpinan pemuda,
bernama Mahmud (biasa disebut Guru Mude) menjadi pelopor dalam penyebarluasan
berita proklamasi. Di Kota Makale, ibukota Afdeling Tanah Toraja, Mahmud
bekerjasama A. Y. K. Andi Lolo, Baledeng Makawaru menyusun rencana
menyebarluaskan berita kemerdekaan. Ketika itu, kelompok Mahmud hanya dikenal
sebagai perkumpulan Muhammadiyah dengan adanya A. Y. K. Andi Lolo dalam kelomok
itu, perlahan-lahan anggapan sekitarnya berubah. Sedangkan para pendukung
kemerdekaan menyebarluaskan kemerdekaan arti dan kebaikannya bagi peduduk,
masyarakat luas menerima dan menyambut baik usaha para pemuda itu.
Berita proklamasi kemrdekaan dibawa oleh
Andi Pageran Daeng Parani ke Watampone
ketika ia kembali dari Jakarta tanggal 19 Agustus1945. Melalui istana Mangkau
(raja) Bone, berita penting ini tersebar dari mulut-kemulut. Pihak Heiho pun
telah menduga masih akan ada perubahan situasi di Indonesia. Hal itu nampak
adanya pembubaran latihan para Heiho dan Seinendan. Tentara Jepang dimana-mana
kelihatan lesu dan tidak bersemangat.
Dari istana Raja Bone, berita kemerdekaan disebarkan ke pedalaman. Pimpinan
barisan Heiho, Seinendan, dan pendukung PNI Mr. Tajuddin Noer menyambut
proklamasi, dan menjadi juru penerang.
Di Soppeng, berita kemerdekaan mulai
dibicarakan secara berbisik sejak tanggal 22 Agustus1945. Kemudian, setelah
organisasi PNI (Pemuda Nasional Indonesia) terbentuk atas inisiatip Andi
Mahmud, berita kemerdekaan tersebar luas. Andi Mahmud yang memiliki pesawat
radio sempat mendengar adaya proklamsi itu. Ketik itu, ia menjabat sebagai
Kepala Distrik Liliriaja Onderafdeling Sopeng.
Penyebarluasan berita proklamasi di Wajo
dimulai oleh putera Andi Ninong bernama Andi Mahmud. Andi Mahmud atau nama
lainnya Andi Arif Muliyadi, datang dari Kota Makassar ke Kota Sengkang, ibu
Kota Kerajaan Wajo. Ia menyampaikan kepada ibunya, Andi Ninong, bahwa di Kota
Makassar para pemuda amat sibuk menyambut proklamasi. Sesudah Lanto Daeng
Pasewang tiba di Sengkang, rakyat semakin banyak mengerti makna kemerdekaan
yang baru saja diumumkan.
Sesungguhnya berita
proklamsi sudah masuk ke Wajo ketika utusan dari Palopo menuju Makassar pada tanggal 24
Agustus1945. M. Sanusi Daeng Mattata
bersama M. Yusuf Arief yang menjadi utusan Luwu, M. Sanusi Daeng Mattata singgah di Wajo dan Bone menemui Andi Panggaru
dan Guru Anwar di Sengkang, sedangkan di Bone menemui pemuda dan raja
Bone. M. Sanuasi
Dg. Mattata mnyampaikan kepada mereka tujuan
perjalanannya dari
Luwu ke Makassar, yakni untuk menemui Dr. G.S.S.J. Ratulangie, dan menanyakan
kepastian adanya proklamasi kemerdekaan.
[27]
Namun demikian Andi Panggaru dan Anwar
hanya menyebarkan berita penting itu dikalangan sahabatnya dalam Muhammadiyah.[28]
Setelah pihak keluarga Andi Ninong,
bangsawan tinggi dan pemangku salah satu jabatan utama dalam Kerajaan Wajo,
menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan, dan menyebarluaskan berita
proklamasi, penduduk Wajo baru yakin kebenaran berita itu. Andi Ninong adalah
Ranreng Tua Kerajaaan Wajo, bertempat tinggal dalam istananya di Tempe,
pinggiran Kota Sengkang.
Dr. G.S.S.J. Ratulangie bersama Lanto
Daeng Passewang tiba di Sengkang pada awal bulan September 1945. Rombongan dari
Makassar itu langsug berhadapan dengan masyarakat Kota Sengkang pada hari
kedatangannya. Dalam pertemuan itu, dijelaskan tentang makna kemerdekaan bagi
bangsa Indonesia, dan cara-cara yang akan ditempuh dalam usaha menegakkan dan mempertahankan
kemerdekaan. Peserta rapat umum mengucapkan ikrar, bahwa Rakyat Wajo berdiri di
belakag RI. Keesokan harinya, Dr. G.S.S.J. Ratulangie bersama Lanto Daeng
Passewang meneruskan perjalanan ke Bone.
Berita proklamasi kemerdekaan telah
mencapai seluruh pelosok Sulawesi Selatan pada pertengahan bulan September
1945. Mereka mendukung proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 serta bersiap
mempertahankanya. Rakyat pada umumnyapun tahu bahwa Belanda berupaya kembali
melanjutkan penjajahanya, akan tetapi pengalaman selama masa penjajahan telah
menjadi pelajaran berharga, rakyat tidak ingin lagi mengulangi pengalaman pahit
itu. Karena itu, kemerdekaan bangsa Indoesia dari pejajahan asing berdasarka
proklamasi 17 Agustus, sebagai tonggak sejarah yang harus ditegakkan.
Hubungan komuikasi yang jauh dari
sempurna pada awal proklamsi meyebabkan para pemimpin dari Makassar sebagai ibukota
Provinsi Sulawesi dalam Indonesia merdeka, melakukan kunjugan maraton ke
pedalaman. Kemudian, tokoh masyarakat dan pemuda pada setiap kota kecil di
pedalaman, menyebarluaskan berita kemerdekaan itu beserta penjelasan-penjelasan
seperluya, kepada rakyat pada umumnya. Ketika itu, media komunikasi seperti
radio masih langka, diperkirakan hanya ada sekitar 10 orang di Sulawesi Selatan
yang menyimpan radio di rumahnya saat Jepang menyerah (Agustus1945). Di Kota
Pare-pare, hanya Andi Abdullah Bau Masspe yang memiliki radio. Sedangkan Andi
Makkasau, Datu Suppa Towa (bekas Raja Suppa) tidak menyimpan radio. Kendaraan
roda empat amat jarang kelihatan di jalan raya. Mereka yang berduit, sudah
boleh berbagga jika memiliki sepeda. Oleh karena itu, penyebarluasan berita
proklamasi lebih banyak dilakukan dalam berjalan kaki. Meskipun keadaan serba
sulit, rakyat Sulawesi Selatan umunya mengetahuu bahwa mereka telah bebas dari
cengkraman asing.
Kesibukan para pemuda di Kota Makassar
dalam mendukung proklamasi kemerdekaan, menarik perhatian Rakyat Gowa.
Kampung Jongaya yang berdada di Daerah
Gowa berbatasan dengan Kota Makassar, di tempati sejumlah pimpinan pemuda
mengadakan pertemuan. Di tempat itu juga, Andi Mappanyukki bermalam, bila ke
Makassar. Pada akhir bulan Agustus1945,
rakyat mengibarkan bendera merah putih
di bawah pimpinan Abd. Rasyud Daeng Lurang. Pengibaran bendera dimulai di
Kampung Pao-pao, sekitar makam Sultan Hasanuddin. Di jelaskan pula oleh
pimpinan masyarakat di kampung itu, arti kemerdekaan pemuda-pemuda di setiap
kampung, desas-desus itu justru menjadi pendorong menggalang persatuan. Muncul
perkumpulan pemuda kampung pada pinggiran kota.
Pemuda Gowa di Katangka pada pertengahan
September 1945, berusaha mencari senjata. Atas petunjuk Badollahi, beberapa
pucuk karaben Jepang ditemukan dan juga beberapa pucuk pistol genggam. Hanya
peluru senjata api itu amat kurang, sehingga manfaatnya pada masa itu tidak
seperti yang di harapkan. Di Pannara, atas usaha Supu dkk. Ditemukan lagi
senjata karaben Jepang. Dengan demikian, pemuda pendukung kemerdekaan di Gowa
telah memiliki sekitar 10 pucuk senjata karabeng Jepang, dan beberapa pistol.
Pusat kegiatan pemuda ialah katangka Tidung. Meskipun kota kecil Sungguminasa
kurang Nampak kegiatan dukungan terhadap proklamasi, tetapi di desa-desa Gowa,
penduduk bersemangat. Di limbung, pemuda Muhammadiyah kembali aktif, dengan
pandu HW sebagai intinya. Hal yang sama Nampak pula pada penduduk kampung
Pallangga, dan juga Barombong. Pada dasarnya, penduduk Gowa memberikan dukungan
penuh terhadap proklamasi kemerdekaan, terutama pada awal perjuangan.
Kota Pare-pare merupakan kota tersibuk
kedua setelah Makassar dalam masa awal proklamasi. Di kota itu telah lama
dikembangkan ide kemerdekaan lewat pergerakan politik. Usia pergerakan telah
ada 17 tahun ketika proklamasi dikumandakan di Jakarta. Tercatat PSII yang
lebih dominan di tempat itu, kemudian Muhammadiyah. PSII tersebar di Sulawesi
Selatan pada umumnya dikembangan dari Pare-pare. Misalnya, Haji Yahya membina
Daeng Risaju dari Luwu pada tahun 1930 yang menyebabkan di Luwu berdiri PSII
yang cukup berpengaruh. Pada akhir tahun 1944, terjadi konsentrasi Heiho dan
pemuda lainnya di Pare-pare seperti siswa sekolah pelayaran Kai in Yoseijo.[29]
Tokoh utama dan paling berpengaruh di
Pare-pare dan daerah sekitarnya ialah Andi Abdullah Bau Masspe. Ia menjabat
Datu (Raja) Suppa, dan pada masa Jepang sebagai Bunken Kanrikan. orang kedua
ialah Andi Makkasau, Datu Suppa yang diganti oleh Bau Masspe, maka kedua tokoh
itu ditambah lagi keuletan Yusuf Binol, dukungan akan kemerdekaan bangsa
Indonesia bertambah kokoh di kota itu. Sebagai bekas aparat Jepang, Bau Masspe
masih memiliki sejumlah fasilitas serta berkehidupan yang terbilang
berkecukupan, kemurahan hati dan sifatnya yang membuat orang lain hormat
kepadanya.
Hubungan dengan Dr. G.S.S.J. Ratulangie
semakin baik pula, Bau Masspe rupanya lebih progresif dan berjiwa kepemudahan.
Ia mengisyaratkan diadakannya perlawanan bersenjata. Karena itu di Pare-pare,
dukungan terhadap proklamasi tidak hanya dengan cara diplomasi, tetapi lebih
diutamakan persiapan perlawanan bersenjata. Rakyat dan pemuda siap menunggu
komando. Hanya yang menjadi hambatan
ialah kekurangan senjata, sementara pimpinan Jepang di Pare-pare tidak mau
merundingkan penyerahan senjata, sedangkan rakyat dan pemuda belum tahu
bagaimana cara yang bisa dilakukan untuk memperoleh senjata.
Seperti halnya di Makassar sebagian
tokoh pemuda berpengaruh mengikuti langkah-langkah Dr. G.S.S.J. Ratulangie
yakni jalan damai. Pikiran orang tua yang menyayangi nyawa anak-anaknya bagai
menghambat diadakannya perlawanan bersenjata terhadap musuh kemerdekaan. Pada
hal pemuda saat itu tidak menyayangi jiwanya, tergambar dalam tekad MERDEKA atau MATI.
Dari Pare-pare berita dan dukungan
proklamasi meluas ke Soppengriaja Barru, terus ke Tanete 70 KM sebelah selatan
Kota Pare-pare. Di Daerah Barru telah cukup lama diperkenalkan kepada penduduk
tentang cita-cita kemerdekaan. Organisasi PSII dan Muhammadiyah secara
sembunyi-sembunyi cukup menarik perhatian masyarakat ketika Jepang masih
berkuasa. Pada awal kemerdekaan, pihak PSII kembali meningkatkan kegiatannya.
Para pimpinan organisasi pergerakan nasional itu, menjadi juru penerang berita
kemerdekaan. Kemudian mereka itu segera tertangkap ketika Barru diduduki oleh
NICA.
Para pemuda asal Barru yang berdiam di
Makassar seperti Andi Mattalatta dan teman seperjuangannya tidak henti-hentinya
memberikan kesadaran akan kemerdekaan kepada penduduk Barru, termasuk yang
masih berusia muda. Pada tanggal 28 Agustus1945 di Lapangan Sumpang Minangae
Barru, dilakukan pengibaran bendera merah putih yang dipimpin oleh Andi
Mattalatta. Pengibaran bendera tersebut sebagai isyarat komando kepada penduduk
Barru agar bangkit mempertahankan kemerdekaan.
Di Tanete biasanya disebut berkaitan
dengan Barru, menjadi Tanete-Barru pada awal bulan September 1945 berita
kemerdekaan diterima penduduk, dan dengan cepat tokoh masyarakat menyatakan
dukungannya, sebab seperti di tempat lain dalam wilayah Pare-pare, berita
kemerdekaan sudah lama dinanti-nantikan. Pemuka PSII yang mempunyai banyak
pengaruh di Tanete, cukup besar andilnya menyadarkan penduduk tentang
kemerdekaan. Berita kemerdekaan tiba di Tanete, di bawa oleh Abd. Rakhman
Gazali bersama H. M. Jauharuddin. Abd. Rachman Gazali mendengar berita itu dari
Ali Malaka di Kota Makassar. Oleh karena
ia seorang Kadhi di Tanete, maka berita yang disamapaikannya itu dinilai amat
penting oleh masyarakat setempat. Mesjid di Tanete menjadi pusat pemberitaan
proklamasi kemerdekaan. Kadhi Abd. Gazali bersama H. M. Jauharuddin melaporkan
berita penting kepada Kepala Pemerintahan Tanete Andi Abd. Muis.[30]
Dukungan kuat yang diberikan Andi Abd.
Muis dan pemuka agama di Tanete, menyebabkan semua penduduk turut serta, mereka
bangkit menyatakan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan pada tanggal 15
September 1945 di Kampung Peppae, Padaelo, bertempat di Komleks Galangan Kapal
milik Japri. Rapat umum diadakan yang dihadiri sekitar 500 orang, serta lima
tokoh masyarakat Ternate, masing-masing: Haji Sulaiman, Muhamad Amin, Ambona
Ilili, H. M. Jaharuddin, dan Abd. Gazali. Para pemuda pengawal dipimpin oleh
Abd. Karing yang pada saat itu juga meresmikan berdirinya wadah Satuan Pemuda
Tanete.
Di Sidenreng-Rappang, ide kemerdekaan
dimotori oleh PSII, karena sejak tahun 1928, di Tetaji Tellu Limpoe Daerah
Sidenreng, didirikan PSII. Tidak lama setelah berdiri, pimpinan pusat PSII Haji
Umar Said Cokroaminoto berkunjung ke
Sidenreng, langsung ke Tetaji. Raja Sidenreng ketika itu Andi Sulolipu, sempat
berbincang-bincang dengan Cokroaminoto tentang perjuangan menuju kemerdekaan.
Dukungan raja, dan penerangan para guru-guru lembaga pendidikan Nasrul Hak di
Amparita, seperti Usman Isa. Dukungan terhadap proklamasi dengan mudah
diperoleh dari rakyat. Demikian pula sdanya PNI Tajuddin Noer yang di dirikan
Andi Sulolipu di Parita, tambah
memperkokoh semangat kemerdekaan. Massa rakyat mempertahankan kemerdekaan, yang
diketahui dari pemuda Pare-pare. Haluan lunak pada diri Dr.Ratulangi dan
Tajudin Neor dianut pula oleh Andi Sulolipu.
Andi Abdullah Bau Massepe menjadi Raja
atau Datu Suppa, dengan segera dinyatakan sebagai wilayah RI. Orang yang tidak
setuju dengan pernyataan Datu itu, dilarang tinggal di Suppa. Pelaksanaan
gerakan kemerdekaan di Suppa digerakan oleh Andi Selle, dibantu Andi Baso Daeng
Ngerang dan Usman. Di daerah Sawitto atau Pinrang, para pendukung kemerdekaan
dipelopori oleh Andi Saping. Sebagaimana halnya dengan Suppa, hubungan dengan
Kota Pare-pare cukup lancer, sehingga setiap perubahan yang terjadi di
Pare-pare dengan cepat tiba di Pinrang, karena hanya berjarak 30 KM sebelah
utara Kota Pare-pare. Kaum pergerakan dari PSSI di Pinrang menjadi pendukung
utama proklamasi kemerdekaan.
Berita proklamasi kemerdekaan di Deerah
Enrekang didukung oleh unsur-unsur bekas Heiho, Boei Teinsin Tai, Seinendan,
dan dari badan pandu, yaitu: SIAP dan Hizbul Wathan. Hubungan dengan Kota
Pare-pare dan Rappang yang cukup lancar,mempercepat berita-berita berbagai hal
yang berhubungan dengan kemerdekaan dari kota pelabuhan itu ke Enrekang. Para
pelopor yang dikenal di Enrekang, masing-masing: Rahman Kulau, Abubakar
Lambogo, dan Umar Hafsah. pada bulan November 1945, di Enrekang dilakukan
penerangan dan usaha mengembangkan para pemuda, maka ketika diadakan pembetukan
wadah perjuangan melawan musuh kemerdekaan, penduduk Enrekang mendukung
sepenuhnya.
Di Daerah Mandar yang berpusat di
Balanipa, para pendukung kemerdekaan berasal dari badan organisasi pada masa
Jepang, yakni: API (Angkatan Pemuda Islam) pada awal kemerdekaan, pimpinan API
mengubah nama organisasi menjadi KRIS MUDA (Kebaktian Rahasia Islam Muda). Nama
yang baru itu mempunyai kaitan permulaan tampilnya Ibu Depu yang oleh
masyarakat Mandar menyebutnya Ibu Agung Meradia Towaine. Hj. Andi Depu
menggerakan para pemuda dan sejumlah bangsawan menyambut dan mendukung
proklamasi kemerdekaan. Pada akhir kekuasaan Jepang, dalam tahun 1944, Ibu Depu
tampil memimpin pengibaran bendera merah putih di Campalagian, dihadiri oleh
ribuan pemuda dan rakyat, karena itu, setelah kemerdekaan diproklamirkan,
Rakyat Mandar segera bangkit dan mendukung.
Sementara di Majene, sekitar 10 km
sebelah utara Balanipa, H.M. Syarif mempelopori dukungan terhadap proklamasi
kemerdekaan. Pada awal proklamasi itu Rakyat Mandar bangkit membela kemerdekaan
dan kedaulatan RI. Penyebaran
berita Proklamasi di Luwu diawali dengan adanya pamflet yang dijatuhkan Tentara
Sekutu dari udara. Selanjutnya dibuat pula pamflet pada subuh pagi tanggal 18
Agustus1945 yang dibuat para kelompok Sakata, dimana Andi Achmad ikut serta,
semula menimbulkan tanda tanya penduduk, akan tetapi, setelah menjadi bahan
pidato di mesjid-mesjid dalam suasana bulan Ramadhan 1867 H. akhirnya penduduk
menjadi yakin dan menyambut dengan gembira. Pada malamnya, tujuh Petaka
Masyarakat yang republiken mengadakan rapat rahasia. Andi Achmad termasuk pula
dalam kelompok itu, bersama kakaknya Andi Makkulawu, sebagian dari mereka
merupakan juru pidato kawakan pada wuaktu itu, seperti Martin Guli, Yusuf
Arief, dan Haji Kadir Daud. Andi Makkulawu, Andi Achmad, Andi Tenriajeng, dan
Mungkasa, meskipun jarang berpidato, tetapi menjadi sumber berita adanya
kemerdekaan RI. Dalam tempo dua hari saja, penduduk Kota Palopo telah
mengetahui adanya kemerdekaan dan
menyambutnya dengan amat gembira.
Organisasi Sukarno Muda yang dibentuk
ketujuh tokoh dibawah pimpinan Andi Makkulau,
melakukan jalinan gerakan semi rahasia. Pengatur strategi ialah M. Yusuf Arief,
bekas guru yang telah menjadi wartawan Pewarta Selebes, ia menirukan gerakan
pemuda Hitler di Jerman, dengan sistem informasi 1.7 artinya seorang anggota hanya boleh
menghubungi 7 orang lainnya, hasilnya memuaskan, karena dalam waktu yang amat
singkat, Luwu seluruhnya telah berada dalam suasana kemerdekaan. Kaum
pergerakan dan muhammadiyah, di tambah para bekas Heiho, dan Seinendan, menjadi
inti pendukung kemerdekaan. Kemudian, pemuda anak bangsawan republiken kelompok
Datu Luwu Andi Jemma, menambah dukungan proklamasi. Pada tanggal 19 Agustus
1945, berita demokrasi kemerdekaan diumumkan di lapangan. Ditambahkan, bahwa
umat Islam yang menjadi Juru Pidato menambah bumbu dengan membakar emosi
kegamaan, agar mereka rela berkorban apa saja, termasuk jiwa dalam
mempertahankan kemerdekaan. Wakil Datu Luwu dalam sambutan hari lebaran di
Palopo, menyampaikan pernyataan Pemerintah dan Rakyat Luwu, bahwa daerah ini
menjadi wilayah RI, maka semua pegawai dan aparatnya juga pegawai dan aparat
pemerintah RI. Ketika itu, Kerajaan Luwu meliputi Luwu sekarang, Tanah Toraja
dan Kabupaten Kolaka. Daerah Poso masih menjalin tali hubungan kuat dengan
Luwu, berhubungan dengan latar belakang sejarah.[31]
Hubungan dengan Bone semakin erat,
karena Puteri Andi Mappanyukki yang bernama Andi Tenripadang menjadi permaisuri
Datu Luwu Andi Jemma. Perkawinan dilangsungkan pada awal Agustus1945. Dengan
demikian informasi yang ada di Luwu cepat diketahui di Bone demikian pula
sebaliknya. Susunan pemangku pemerintah Kerajaan Luwu disesuaikan dengan
suasana kemerdekaan, para pejabat yang tidak medukung proklamsi/kurang sepaham
diganti atau mengundurkan diri, sehingga Adat Luwu yang baru tersusun sebagai
Kabinet pendukung Kemerdekaan RI. Sebelum Sekutu datang di Palopo dalam bulan
Oktober 1945, dua kali dikirim utusan ke Watampone Bone untuk menyampaikan
sikap dan pandang Datu Luwu kepada Raja Bone, yang pada akhirnya disepakati
untuk memperkuat dukungan kemerdekaan dengan mengadakan Konperensi Raja-raja di
Watampone pada bulan Oktober 1945. Hasil konperensi ini memperkuat jalinan
kerja sama dan arus informasi diantara raja-raja di Sulawesi untuk memdukung
dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam masa revolusi fisik
ini, Andi Djemma begitu besar perannya dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaan sampai rela meninggalkan istananya di Palopo sejak tanggal 24
Januari 1946, demi memimpin perlawanan terhadap Belanda dalam rangka tegaknya
Republik Indonesia dan memilih hutan belantara dan benteng alam batu Putih
sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia di Luwu.[32]
Di
Wilayah Sulawesi Tengah, tempat yang pertama mendengar berita Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus1945 di wilayah Sulawesi Tengah adalah Poso karena pada
tanggal 17 Agustus1945 sore Abdul Latief
Mangitung dan I Latanco Talamoa serta Yusuf Manoarfa mendengarnya dari seorang
Tentara Jepang.
Abdul
Latief Mangitung salah seorang tokoh dari Gerakan Merah Putih 1942 di Poso,
selanjutnya mengambil inisiatif mengaktifkan kembali pasukan Gerakan Merah
Putih 1942 dengan membentuk Laskar Tanjumbulu. Begitu mendengar berita
proklamasi dari seorang Tentara Jepang yang disertai 2 orang anggota Heiho, Abdul Latif Mangitung mengundang
kedua orang anggota Heiho tersebut
menghadiri pertemuan pada malamnya jam 19.00 di mana turut pula hadir
tokoh-tokoh Gerakan Merah Putih Poso tahun 1942.
Pertemuan
diadakan di rumah tempat Abdul Latief Mangitung menginap dan yang hadir di
antaranya:
1. Abdul
Latief Mangitung
2. Yap
Sui Ciong
3. R.
Mangolo
4. A.L
Pangemanan
5. Tosayang
6. Saleh
Topetau (Heiho)
7. Jafar
(Heiho).
Hasil pertemuan itu adalah
terbentuknya organisasi Laskar Tanjumbulu dengan susunan personalia:
1. Abdul
Latief Mangitung, Komandan Laskar Tanjumbulu
2. Yap
Sui Ciong, Wakil Komandan Laskar Tanjumbulu
3. R.
Mangolo, Kepala Staf
4. A.
L Pangemanan, Wakil Kepala Staf merangkap Urusan Personalia
5. Tosayang,
Kepala Bagian Perlengkapan
6. Saleh
Topetau, Komandan Pasukan Tempur
7. Jafar,
Bagian Persenjataan
8. Lapasondrong,
Bagian Kesejahteraan/Pemasak
Sebagai Markas
Induk Pasukan diputuskan Kampung Malei. Pada tanggal 18 Agustus1945 Saleh
Topetau dan Jafar datang melapor pada komandan lasyar bahwa telah berhasil
menyembunyikan 5 pucuk senjata karabin Jepang
dan beberapa granat tangan. Senjata itu ditanam di Kuburan Cina dan dijaga oleh
Maleda seorang Suku Mandar.
Berita
Proklamasi Kemerdekaan juga dikumandangkan oleh Kurir-kurir yang diutus
oleh Gubernur Dr.
G.S.S.J. Ratulangie, misalnya sekitar bulan September 1945, telah mengirimkan
utusan ke beberapa daerah termasuk ke Sulawesi Tengah untuk menyampaikan
instruksi dan pedoman perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Melalui Palopo
dikirim utusan ke Poso terdiri atas Landau, kemudian menyusul Sulaeman Umar.
Dari Manado datang kurir Ali Lemato dan dari Gorontalo A. Tumu. Selanjutnya
berita proklamasi ke Daerah
Sulawesi Tengah juga disampaikan oleh A.N. Hadjarati dan Hamzah Ilahude dari
Makassar yang membawa amanat dari Gubernur dan mereka berhasil mengadakan
pertemuan dengan tokoh-tokoh terkemuka di Poso. Amanat Gubernur Sulawesi dan
penjelasan mengenai Proklamasi 17 Agustus1945 yang dikemukakan dihadapan para
undangan, berhasil membentuk "Dewan Nasional" dengan Kepala
Pemerintahannya Wangkalembah Talasa dan undangan lainnya sebagai pembantu. Disamping itu
dibentuk juga Dewan Pertahanan Nasional, kesatuan pertahanan dengan intinya
dari pemuda-pemuda bekas Heiho yang dipersenjatai tombak, keris dan senjata
hasil rampasan dari Jepang.
Sebelum tentara NICA datang, telah tiba
di Buol Mohammad Mahmud dan Ahmad Mahmud yang diutus oleh Nani Wartabone,
pimpinan Pemerintahan Nasional Gorontalo membawa sehelai bendera Merah Putih
untuk dikibarkan di Buol. Kedua orang tersebut datang di Leok pada pertengahan
bulan Oktober 1945 dan langsung menaikkan bendera Merah Putih di Leok yang
sempat berkibar selama 3 minggu, kemudian tentara NICA pimpinan Sersan Lumoa
datang dan menurunkan bendera merah putih, kemudian menggantikannya dengan
bendera merah putih biru.
Pada tanggal 20 Agustus1945 Abdul Latif
Mangitung mulai keluar dari Poso untuk menghubungi bekas-bekas pejuang 1942
lainnya guna menggalakkan kembali Pasukan Gerakan Merah Putih 1942 sambil
menyampaikan berita tentang Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus1945. Daerah-daerah yang dikunjunginya adalah:
1. Pusat
Markas Induk di Kampung Malei, menghubungi Mohammad Amin Dahlan.
2. Pusat
Gerakan Merah Putih 1942 Ampana-Tojo dan menghubungi R.G. Datupamusu dan M.
Sunusi Patimbang.
3. Wilayah
Kecamatan Bunta dan menghubungi Haji Sunusi Mangaco, Baba Hamzah dan Lamusa.
Ia meneruskan perjalanan ke Tojo-Ampana,
Pagimana, Bunta dan Palu untuk menghubungi tokoh-tokoh pejuang ditempat
tersebut agar membentuk pula barisan-barisan lasyar mempertahankan kemerdekaan
apabila Sekutu datang, yang berarti Belanda akan kembali menjajah sebab Belanda
berada dalam koalisi Sekutu.
Wilayah Donggala dan Palu diutus Abd.
Gani dan kawan-kawan untuk membawa saran-saran tertulis dari Gubernur Sulawesi
untuk dijadikan pedoman dalam gerakan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI.
Diadakan pertemuan di bekas Kantor Kenkanrikan Donggala, dipimpin oleh Muhammad Amu dan
Umar Papeo, pada tanggal 7 November 1945 dibentuk organisasi kelaskaran bernama
Laskar Pemuda Indonesia, suatu
organisasi bersenjata yang bergerak di bawah tanah dan melancarkan aksi
gerilya.
Masyarakat
Donggala menanggapi berita proklamasi terbagi dua: ada yang pro dan ada yang
kontra. Oleh rakyat yang pro dengan tokoh-tokoh pimpinananya, segera mengusahakan
kontak dengan pejuang-pejuang di Wani, Tawaeli, Palu, Biromaru, Kaleke, Bambara
(Keris Muda) untuk mengadakan kerja sama dan saling membantu dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Sementara Alwi Muhammad dan Muhammad Amu (Klerk pada kantor Kei Kanrikan Donggala)
sibuk menyusun program perjuangan tiba-tiba datanglah Alexander Monoarfa
September 1945 yang ketika itu sebagai kepala kantor Minsen Unkookai (kepala bagian pelayaran perahu) di Donggala, dari
Ujung Pandang membawa petunjuk dan program/perjuangan.
Atas
anjuran Alexander Monoarfa, maka pada tanggal 21 September 1945 oleh Alwi
Muhammad, Mohammad Amu dan kawan-kawan mengadakan pertemuan dengan
pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan di kampung Ganti (5 km dari Donggaia). Dalam
pertemuan itulah dihasilkan suatu bentuk organisasi perjuangan yang dinamai
Gerakan Merah Putih dengan susunan pengurusnya:
1) Pelindung
: Rohana Larnarauna (Raja
Banawa).
2) Ketua
Umum : Alwi Muhammad (Penilik
Sekolah Donggala).
3) Wk.
Ketua Umum : Mohammad Amu.
4) Sekretaris : Alexander Monoarfa.
5) Wakil
Sekretaris : Udin Muhammad.
6) Bendahara
: Ahdul Wahid Maluku.
7) Pembantu-pembantu
: A. Muhammad, Umar Papeo, A.T.Nurdin dan L.D. Lamarauna.
8)
Pembantu Khusus : Andi Raga Peta1olo.[35]
Kepada
semua anggota Gerakan Merah Putih diberi lencana Merah Putih berukuran 2x 3cm
sebagai tanda pengenal dan sebagai kode dipergunakan salam 2 jari selaku simbol
merah putih. Menyusul pula penggabungan diri dalam Gerakan Merah Putih seluruh
ex anggota Seinendan Limboro yang
dipimpin oleh Abdul Wahid Maluku dan
Labaci serta bekas Seinendan Towale
di bawah pimpinan Mislaini Laujeng dan Abubakar.
Kesemua
aktivitas Gerakan Merah Putih di Donggala ini baru pada taraf persiapan dalam
bentuk organisasi politik karena mereka belum memiliki senjata. Tiba-tiba pada
akhir bulan September 1945 Alexander Monoarfa ditangkap oleh kesatuan KNIL yang
telah mengkonsolidasi diri dan mengambil alih tugas keamanan dari Jepang,
kemudian dipenjarakan di tangsi militer Palu. Penangkapan Alexander Monoarfa
merupakan suatu pukulan bagi Gerakan Merah Putih.
Dari Donggala Abd. Gani (Isa Piola)
terus ke Palu dan bertempat di rumah Lolon Tamene Lamakarate di Biromaru
diadakan pertemuan untuk membicarakan instruksi-istruksi Gubernur untuk
dilaksanakan. Di wilayah Palu dan sekitarnya dibebankan kepada Lolon Tamene
Lamakarate melaksanakannya. Sebagai kelanjutannya, maka terbentuk
laskar-laskar Merah Putih di wilayah
kerajaan: Sigi Dolo, Palu, dan Tawaeli dipimpin oleh Dr. Pawindu, Moh. Djarudin
Abdullah, Thalib Lasinala dan Daeng Pawata Lahusaeni. Pimpinan Pemuda Laskar
Merah Putih untuk Sigi dan Palu dipimpin oleh Lolon Tamene Lamakarate, Wilayah
Dolo dipimpin Daeng Mangera Gagaramusu dan Wilayah Tawaeli dipimpin oleh D. M.
Lamakampali dan Dj. Jotolembah.[36]
Di Sidera sekitar 15 km dari Palu
bertempat di rumah Djaruddin Abdullah para pemimpin Laskar Merah Putih
mengadakan pertemuan, untuk mengutus Lolon
Tamene dan Daeng Mangera
Gagaramusu ke Makassar melaporkan situasi perkembangan terakhir pada Gubernur
Ratulangi dan harus pulang cepat membawa instruksi-instruksi baru. Saat
pertemuan berlangsung, tiba-tiba rumah tempat petemuan dikepung tentara NICA
dipimpin oleh Komandan Qune Indo. Dokumen-dokumen penting dirampas, rapat
dibubarkan dan Lolon Tamene Lamakarate ditangkap kemudian dibawa ke Palu,
tetapi keesokan harinya dibebaskan kembali atas tanggungan iparnya Tjatjo
Idjazah yang waktu itu menjadi Raja di Palu.
Wilayah Donggala,
pembentukan badan perjuangan gerakan
merah putih terjadi pada bulan September 1945 setelah datangnya Aleksander
Monoarfa dari Makassar membawa beberapa
petunjuk pelaksanaan perjuangan, akan tetapi belum sempat bergerak Aleksande
Monoafa telah tertangakap. Pada tangan 11 November 1945 malam beberapa orang
pemuda anggota gerakan merah putih antara lain A. T. Nurdin, Abdul Wahid
Maluku, dan Andi Garu Pettalolo menyelinap masuk ke Pelabuha Donggala untuk menaikkan bendera merah putih yang
berasal dari bendera merah putih biru yang dirobek birunya.[37]
Meskipun terjadi
penangkapan atas anggota gerakan merah putih, tetapi tokoh-tokoh lainnya yang
masih bebas kemudian membentuk organisasi kelaksaran bernama Lasykar Pemuda
Indonesi Merdeka (PIM) pada bulan November 1945. kemudian tiba pula utusan dari
Sulawesi Selatan bernama Abdul Gani
(nama samaran Piola Isa) dengan menumpang perahu membawa surat-suat
dokumen untuk perjuangan di Donggala dan Palu. Awal tahun 1946 Umar Papeo di
tangkap dan pertengahan tahun 1946 menyusul penangkapan atas diri A. T. Nurdin,
ditahan pada Tangsi Besusu Palu selama sebulan. Menyusul penangkapan atas diri
Piola Isa, Filips Ranti, dan Umar, akibat bocornya rahasia rencana penyerbuan
pada tangsi di Kota Palu.
Pembakaran gudang Yayasan Kopra Fonds
Donggala di Tanjung Batu oleh Ladising dan kawan-kawan yang mengakibatkan
ribuan ton kopra habis terbakar. Pemuda Gerakan Merah Putih membentuk suatu
perkumpulan seni drama yang bernama Sandiwara Pemuda Kita (SPK). Pimpinannya
adalah Abdullah Bachmid dan Muhammad Amin Pettalolo di Donggala yang
menampilkan cerita-cerita yang bertemakan perjuangan. Oleh kaki tangan Belanda,
SPK ditantang dengan mendirikan Persatuan Pemuda Donggala (PPD) yang
menampilkan drama-drama dan menyanyikan lagu yang bernuansa
kebelanda-belandaan. Karena situasi makin panas antar pejuang-pejuang dengan
NICA, maka mulailah dibentuk sektor-sektor pertahanan dalam wilayah Donggala.
Di pihak NICA pun makin sering melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh
pejuang termasuk di antaranya Alwi Muhamad, pimpinan gerakan Merah Putih
ditahan di tangsi militer Palu. Oleh karena itu makin banyak pejuang ditahan,
maka oleh pemuda lascar PIM merencanakan suatu penyerbuan atas Tangsi Militer
Palu akan tetapi rahasia penyerbuan itu dapat diketahui oleh Belanda dari kaki
tangannya.[38]
C. Peralihan
Kekuasaan dan
Gerakan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Sulawesi
Setelah
tiba kembali di Makassar, maka
pada tanggal 20 Agustus 1945
Dr. G.S.S.J. Ratulangie segera mempersiapkan pemerintahan peralihan dari
pemerintahan Jepang dan menyusun struktur aparat pemerintahannya:
1. Gubernur : Dr. G.S.S.J. Ratulangie
2. Sekretariat : Mr. A. Zainal Abidin
3. Wakil Sekretaris : F. Tobing
4. Biro Umum : Lanto Daeng Pasewang
5. Biro Ekonomi : Najamuddin Daeng
Malewa dan Mr. Tajuddin Noor
6. Biro Pemuda : Siaranamual dan Saelan
7. Biro Penerangan : Manai Sophian
8. Pembantu-Pembantu : A. N. Hajarati,
GR. Pantouw, Syam, Supardi, Pondaag Dr. Syafrie dan Mu. Saleh Lahade.[39]
Selanjutnya
di Kerajaan Bone setelah kedatangan Andi Pangeran Daeng Parani dari Jakarta
tanggal 19 Agustus 1945,
maka ia bersama ayahnya Raja Bone Andi Mappanyukki segera menata
pemerintahannya dan menyatakan Kerajaan Bone bersama rakyatnya mendukung
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pendiiriannya makin teguh setelah
menerima utusan datu Luwu Andi Jemma yang menyampaikan bahwa Pemerintah dan
rakyat Kerajaan Luwu menyambut baik kemerdekaan Indonesia.
Upaya
untuk mendukung proklamasi, maka pada tanggal 8 Oktober 1945 para tokoh
pergerakan nasional di Makassar, seperti: Gubernur Sulawesi Dr. G.S.S.J.
Ratulangie, Lanto Daeng Pasewang, Mr. Zainal Abidin, Suwarno dan Malajong Daeng
Liwang mendirikan sebuah Perguruan Nasional, yang bertujuan memupuk semangat
kebangsaan dan menghasilkan kader bangsa bagi pemuda-pemuda yang ada di
Makassar. Ide-ide nasional Republiken dipompakan kepada anak didik melalui
pelajaran sejarah dan bahasa Indonesia. Dari sekolah inilah muncul pemuda
militan seperti:
Wolter Mongisidi, Rivai Paerai dan sejumlah tokoh pejuang yang menentang
kekuasaan NICA.[40]
Pertengahan
bulan Oktober 1945, Raja-raja di Sulawesi Selatan mengadakan Koperensi di
Watampone diprakarsai oleh Andi Djemma (Datu Luwu ) bersama Raja Bone Andi
Mappanjukki, untuk mempersatukan pendirian para raja-raja di Sulawesi agar tetap di belakang
Proklamasi RI. Melalui telpon,
maka Andi Abdullah Bau Massepe dari Pare-pare menyatakan mendukung konperensi,
yang tidak dapat dihadiri karena kesibukan dalam perjuangan. Komperensi ini
sebagai conter-Move atas move conica di Makassar yang mengundang Raja-raja
Sulawesi Selatan untuk mengadakan Koperensi Kopromi yang disampaikan
Komondan Brigadier General Iwan Dougherty
di Makassar peristiwa ini disaksikan oleh komondan NICA Mayor Wegner.[41]
Kuatnya
upaya Raja Bone menyatukan pandangan para raja di Sulawesi, nampak dari adanya
tiga kali pertemuan raja-raja terkemuka dari Sulawesi di Watampone yang
terakhir dalam bulan November 1945. Pernyataan Raja Bone Andi Mappanyukki bahwa
Bone berdiri sepenuhnya di belakang RI dalam keadaan bagaimanapun, menggugah
pemuda pemuda membentuk kekuatan bersenjata dan selanjutnya para pemuda
se-Sulawesi mengadakan Konverensi di Sengkang pada tanggal 12 Oktober 1945.
Sebagai tindak lanjutnya, maka pada tanggal 19 Oktober 1945 di Watampone
didirikan PTB (Pengawal Tana Bone), selanjutnya pada tanggal 20 Oktober 1945 dilakukan
pengibaran bendera Merah Putih di kantor-kantor diwajibkan mengibarkan bendera
nasional itu.
Di wilayah Kerjaan luwu, segera setelah
memperoleh kepastian berita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, maka
pada pertengahan bulan September 1945, Andi Maradang mengubah Hadat Luwu atau
susunan pemangku pemerintahan Kerajaan Luwu disesuaikan dengan suasana
kemerdekaan. Mereka yang kurang sepaham diganti atau mengundurkan diri, dengan susunan baru menjadi:
1. Opu
Patunru :
Andi Maradang
2. Opu
Pabbicara : Andi Pangerang (menggantikan Andi Jelling )
3. Opu
Tomarilaleng: Andi Mappanyompa ( menggantikan Andi Baso L )
4. Opu
Baliranete : Andi Hamid ( menggantikan Andi Pangiu )
5. Peter
Besar :
Andi Kaso
Adat
Luwu yang telah tersusun itu dinilai sebagai Kabinet Revolusi Kemerdekaan RI,
maka Datu Luwu pun merasa lega karena memperoleh pembantu yang dijamin
kesetiaannya terhadap proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia. Beberapa hari kemudian
setelah terjadinya penyerbuan pemuda dan rakyat Indonesia di Palopo untuk
merebut senjata/kekuasaan dari tangan Tentara Jepang. “Sukarno Muda“ menjelma
menjadi “Pemuda Nasional Indonesia“ (PNI). Di bawah pinpinan Andi Muhammad Kasim.
Sejak tanggal 17 September 1945,
kemudian diubah lagi menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI) Pada tanggal 5
Oktober 1945, di bawah pinpinan Andi Makkulau Opu Daeng Parebba.
Berdasarkan desakan Pimpinan PNI Luwu, maka pada
tanggal 2 Oktober 1945, di lapangan
sepak bola Palopo, Andi Baso Petor Besar,
Memproklamasikan Daerah Luwu secara resmi sebagai bagian dari Negara RI.
Pegawai dan rakyat Luwu adalah Pegawai/Rakyat Republik Indonesia. Badan
pemerintahan akan mengadakan pemogokan jika NICA datang. Luwu akan menentang NICA/KNIL dengan segala
konsekuensinya yang telah diperhitungkan. Pernyataan resmi ini akan di sampaikan kepada
Gubernur Dr. G.S.S.J. Ratulangie dan Brigadier General Iwan Dougherty Komondan
tentara Sekutu/Australia di Makassar.
Para pemuda juga mengadakan konperensi di Sengkang pada
tanggal 12 Oktober 1945, yang diprakarsai oleh M. Jusuf Arief, Andi Paggaru,
dan Anwar. Komperensi ini dihadiri oleh utusan-utusan Pemuda Republik
Indonesia dari seluruh Jazirah Sulawesi. Yang mewakili Sulawesi Utara ialah R. M. Kusno Dhanupojo, Ahmad Dahlan,
Muhammad Djazuli Kartawinata, dari Sulawesi Tengah ialah Raja Muda Wongkolemba
Talasa dan Ince Moh. Dachlan.
Tujuan Komferensi ini ialah mendesak raja-raja di Sulawesi agar tetap pada
pendiriannya semula sesuai dengan hasil Koperensi Raja-raja di Watonpone, dan
untuk menggalang kesatuan gerakan/asksi
melawan NICA dan KNIL yang mulai merajarela.
Dalam suatu kesempatan Gubernur Dr.
G.S.S.J. Ratulangie membuat petisi yang ditandatangani oleh pemuka masyarakat
Sulawesi. Dalam petisi itu dinyatakan bahwa seluruh Rakyat Sulawesi tidak dapat
dipisahkan dari Republik Indonesia. Oleh karena petisi itu, pada tanggal 5
April 1946, Dr. G.S.S.J. Ratulangie, Lanto Daeng Pasewang, Saleh Daeng Tompo,
J. Latumahina, W.S.T Pondaag, I.P.L Tobing, dan Suwarno ditangkap dan ditahan
di Penjara Hogepad di Makassar.
Menanggapi hal itu, maka H. Mansjur
Daeng Tompo Ketua Persatuan Islam bersama Nurdin Sjahadat, membuat sepucuk surat permohonan pembebasan
tokoh-tokoh pejuang tersebut kepada pimpinan Sekutu di Makassar bernama
Brigadier General Chilton, namun ditolak, sehingga pada tanggal 18 Juni 1945
para tokoh tersebut dibuang ke Serui (Irian Barat/Papua).
Beberapa hari setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada
Sekutu, di Sulawesi Tenggara disebarkan panflet dari udara yang memberitakan
kekalahan Jepang tersebut. Dengan demikian berita itu diketahui secara meluas
oleh rakyat Sulawesi Tenggara. Tindakan Jepang yang pertama dalam menyambut
berita tersebut adalah membuang sebagian peralatan di Teluk Kendari dan Pomalaa
dan melumpuhkan peralatan perang yang potensial.
Kolaka diproklamirkan oleh Andi Kasim sebagai Kepala
Pemerintahan setempat sekaligus sebagai
wakil Kerajaan Luwu di Kolaka yang disebut Mincara Ngapa, menjadi bagian
dari Wilayah Republik Indonesia, dan segera mengambil alih pemerintahan setelah
Jepang menyerah. Proklamasi ini dicetuskan atas desakan Pemuda Kolaka yang
tergabung dalam organisasi API (Angkatan Pemuda Indonesia). Organisasi ini
dibentuk pada tanggal 9 September 1945, merupakan penjelmaan dari organisasi
bawah tanah PETA (Pembela Tanah Air) yang dibentuk setelah berita proklamasi
diterima. Sebagai organisasi bawah tanah, maka penerimaan anggota harus melalui
pengucapan ikrar untuk mempertahankan kemerdekaan dan setia kepada RI. Pimpinan
PETA ialah: Andi Punna, Abu Baeda, dan Syamsuddin Opa.[43]
Setelah PETA menjelama menjadi API pada tanggal 10
September 1945, sifatnya yang bergerak di bawah tanah berubah menjadi terbuka
dan berusaha menggalang persatuan dan potensi rakyat dalam mempertahankan
kemerdekaan. Pada tanggal 12 September 1945 para pimpinan dan anggota API
mendatangi rumah-rumah penduduk Kolaka yang daragukan pendiriannya terhadap
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Atas tindakan para pemuda yang tergabung dalam API, maka
Andi Kasim selaku Kepala Pemerintahan Kolaka mengadakan pertemuan dengan para
Pimpinan API. Dalam pertemuan para Pimpinan API dapat meyakinkan Pemerintah
Kolaka akan kesiapan pemuda dan rakyat untuk mendukung dan mempertahankan
kemerdekaan. Selanjutnya atas usul API, maka Kolaka diprolamirkan menjadi
wilayah RI pada tanggal 17 September 1945 dalam suatu upacara bendera di depan
rapat umum dimana Bendera Merah Putih dikibarkan dengan iringan lagu Indonesia
Raya. Berikut susunan Pengurus API:
1. Ketua :
Andi Punna
2. Kepala Penerjang :
Tahrir
3. Wakil Kepala Penerjang : Abd. Wahid
4. Kepala Penyelidik :
Bangsa Salampessy
5. Wakil Kepala Penyelidik : Abu Baeda
6. Anggota-Anggota :
Barohima
Cokeng
Ali Arifin, dan lain-lain.[44]
Sebulan kemudian yaitu pada tanggal 17 Oktober 1945 API
menjelma menjadi PRI (Pemuda Republik Indonesia). Namun demikian semua Kepala Pemerintahan setempat tampak
ragu-ragu dan bersikap menunggu perkembangan dalam menerima berita Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, kecuali Andi Kasim di Kolaka. Melihat potensi dan atas
dorongan Para Pemuda Kolaka Andi Kasim dalam upacara bendera memproklamirkan Kolaka
sebagai bagian dari RI. Upacara pengibaran bendera merah putih di Kolaka
dilaksanakan pada tanggal 17 September 1954 diiringi lagu Indonesia Raya,
dipimpin oleh Andi Kasim Petor (Kepala Pemerintahan) Kolaka, didampingi oleh
anggota Swapraja, yaitu: Sulewatang Indumo, Bokeo Puwatu, Guru Kapitan, Sapati
Baso Umar Daeng Marakka, selanjutnya mengumumkan bahwa Kolaka dan sekitarnya
adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia. Pengibaran bendera Merah Putih
oleh Kepala Pemerintahan di Kolaka (Andi Kasim) dihadiri dan disaksikan Pula
oleh Kabasima Taico Komandan Tentara Jepang di Pomalaa.
Pengibaran
Merah Putih di Lasusua pada tanggal 5 Oktober 4945 yang dihadiri oleh Kepala
Distrik Patampanua dan beberapa pimpinan Pemuda Republik Indonesia dari Luwu. Di Wawotobi kota kedua terbesar dalam wilayah Kerajaan
Laiwoi dan tempat kediaman Raja II
Laiwoi bendera Merah Putih dikibarkan
pada Akhir Oktober 1945 oleh para pemuda setempat atas dorongan utusan Pemuda
Kolaka dan Pemuda Luwu yang saat itu berkunjung ke sana. Pengibaran bendera
merah putih dilakukan pula di Bupinang pada akhir November 1945 atas dorongan
Pemuda Kolaka/Luwu dihadiri oleh Kepala Distrik (Gunco) setempat.
Salah satu bentuk semangat juang rakyat Kolaka, maka pada
tanggal 29 Agustus 1945 pemuda Kolaka terdiri atas 19 orang melakukan sumpah
setia terhadap proklamasi kemerdeakaan dengan keris terhunus dan dengan
menggoreskan tanda tangan darah pada bendera merah putih bertempat di rumah
Andi Kamaruddin (di tepi sungai Kampung Sakuli). Mereka membaca Al-Qur’an Surat
Al-Fatihah dan masing-masning berikrar/berjanji: sekali merdeka tetap merdeka;
merdeka tau mati; merah putih tidak diturunkan sebelum melangkahi mayatku;
segalanya kukorbankan untuk kemerdekaan bangsaku; maju mati mundur mati, lebih
baik maju mati; tidak ada kemerdekaan tanpa pengorbanan; saya sedia gugur untuk
bangsaku.
Dari Kolaka sinar perjuangan kemerdekaan memancar ke
sekitamya sampai ke Kendari dan Bupinang yang masuk dalam kesultanan Buton.
Utusan Pemuda Kolaka bersama Pemuda Luwu merangsang semangat terpendam dari
Pemuda Wawotobi untuk membela kemerdekaan. Pemuda kota Kendari dan sekitamya
cukup berusaha dan berambisi, tetapi gagal dalam mewujudkan suatu organisasi
perjuangan sehingga kegiatannya terselubung, walaupun terbentuk semacam
organisasi pemuda dengan pimpinan Makmun Dg. Mattiro. Hal ini disebabkan karena
Makmun Dg Mattiro sebagai seorang Pamongpraja terlalu berhati hati dan
ragu-ragu menghadapi keadaan pada saat itu. Sesudah datangnya NICA, Makmun Dg.
Mattiro bekerja pada Belanda.
Di Wawotobi setelah pengibaran bendera Merah Putih
berhasil pula dibentuk Sinar Pemuda Konawe dengan pimpman sebagai berikut:
1)
Saido Johan Syah
2) M. Jamil Muchsin
3) Assadiq Mekoa
4) Hamzah. [45]
Nuhung
Silondae, Mokole (Kepala Distrik) Andoolo (Kendari Selatan) bersatu dengan para
pemuda yang tergabung dalam Pemuda Rakyat Kendari dan mendapat dukungan dari
rakyat Andoolo dengan tegas menyatakan Andoolo sebagai wilayah RI. Pada waktu
tentara Australia/NICA mendarat di Kendari dan diterima oleh Raja Laiwoi
(Tekaka), maka Nuhung Silondae mengirim utusan ke Kolaka di bawah pimpinan
M.Ali Silondae dan menyatakan bahwa Andoolo ikut Kolaka sebagai wilayah Rl.
Oleh Pemerintah RI di Kolaka pernyataan Andoolo itu diterima dengan baik.
Setelah utusan tiba kembali, maka secara resmi diumumkan di depan umum bahwa
Andoolo adalah bagian dari RI dan bergabung dengan Kolaka. Rapat umum itu
diakhiri dengan penaikan bendera Merah Putih akhir Nopember 1945.
Pemimpin-pemimpin perjuangan kemerdekaan di Andoolo adalah: (1) Nuhung
Silondae, (2) Ali Silondae, (3) Abdullah Silondae, (4) Jacob Silondae, (5)
Aburaera Silondae, (6) A. Parenrengi, (7) Saiman, dan (8) Saradia (V. Bolo).
Pada awal bulan Desember 1945 delegasi rakyat
Distrik Buapinang (Bunken Buton) yang terletak di sebelah selatan wilayah
Kolaka mengirim pula utusean ke Kolaka dan menyatakan Bupinangi sebagai wilayah
RI. Pimpin an delegasi adalah:
1) Mappeare
Daeng Mananrang
2) Abd. Fattah
3) Daeng
Makkita
4) Pabottinggi
Daeng Maroa.[46]
Di Muna para pemuda yang dipimpin oleh M. Idrus Efendi
tidak dapat meyakinkan Raja Muna La Ode Ipa untuk segera secara resmi
menyatakan Muna sebagai bagian dari wilayah RI dan mengibarkan bendera merah
putih, sehingga pengibaran merah putih di wilayah Kerajaan Muna dilaksanakan di
Labalano diluar ibu kota yang dimpin oleh M. Idrus Efendi. Pelayar-pelayar
Buton yang berasal dari Wakatobi yang baru pulang dari Jawa dan Sumatra membawa
berita proklamasi dan berhasil mengibarkan bendera marah putih untuk pertama
kalinya pada tanggal 15 Desember 1945.
Tidak berapa lama setelah tersiarnya berita Proklamasi
Kemerdekaan pimpinan pemuda Wawo dan sekitamya (Kolaka Utara) M. Ali Kamry
menugnjungi Kabasims Taico di Pomalaa untuk meminta senjata dengan diantar oleh
Sigimitsu. Tapi Kabasima tidak dapat memberikan senjata, karena senjata di
Pomalaa telah didaftar oleh Australia. Kabasima hanya menjanjikan 1000 pucuk
yang akan diambil dari Kendari. Kemudian M. Ali Kamry datang menagih janji
Kabasima, tetapi tidak dipenuhi karena senjata di Kendari telah dibuang ke
Teluk Kendari. Kali ini M. Ali Kamry hanya mendapatkan beberapa samurai,
sejumlah pistol, dan sejumlah granat tangan. PETA yang bergerak di bawah tanah
setelah Proklamasi Kemerdekaan, maka pada awal September 1945 berhasil mendapat
2 pucuk senjata dari Jepang. Semenjak terbentuknya API pemuda Kolaka di bawah
pimpinan Tahrir dan M. Ali Kamry berhasil mendapatkan 49 pucuk karabijn, yaitu
senjata yang dibuang Jepang di pelabuhan Pomalaa. Penyelaman senjata ini tidak
mendapat rintangan dari Jepang.
Turut sertanya beberapa orang Jepang dalam perjuangan
menentang Belanda/NICA menggambarkan betapa jauhnya oknum tentara Jepang
membantu mendirikan kekuasaan RI di
Sulawesi Tenggara, walaupun kemungkinan di dalamnya terselip alasan
pribadi masing masing. Di antara mereka malah ada yang berpangkat perwira
(Taico=Kapten).
Pada tanggal 5 September 1945, Andi Punna selaku Kepala
Penyelidik Barisan API, mengutus
Salampessy untuk melaporkan bahwa nama barisan PETA di ganti menjadi barisan
API (Angkatan Pemuda Indonesia). Kapten
Kabasima meneriama baik perubahan nama PETA menjadi API. Kapten Kabasima menyampaikan telah bertemu
Tokoh Islam K. H. Mahading dan memberi
senjata api sebanyak 51 pucuk, 1 rusak pelatuknya (tidak dapat dipakai). Pemberian senjata api dari Kapten Kabasima,
secara rahasia melalui seorang Goco (sersan) dibuang (ditenggelamkan) ke dasar
laut, pemuda Suku Bajo berusaha mengambil dengan menyelem yang diawasi pemuda
API. Senjata api dari Kapten
Kabasima, terdiri Karabeyn Bekas Tentara
KNIL 9, 5 dan Karabeyn Tentara Jepang Sanpatzu.
Pada tanggal 7 September
1945, Pemuda PETA dan API mempermahir
menggunakan senjata api, yang memberi latihan kemeliteran 3 anggota bekas
HEIHO, (Lappase, Nasir dan Abu Bone), 2 orang pemuda yaitu: Pakalu dan Tiro
pembantu Tokke Tai yang sementara tugas di Tanjung Oko-oko (Batu Kilat) membawa
2 buah senjata Karabeyn 9,5. Andi Becce
(M. Aryad) juru tulis II Indumo Daeng Makkalu Kepala Distrik Kolaka bergabung
Pemuda API memegang 1 pucuk senjata api Karabeyn 9,5 milik Indumo Daeng
Makkalu.
Pada tanggal 18 September 1945 Kapten Kabasima memberi
bantuan Pemerintah RI dan Barisan Pejuang bersenjata berupa: 1 Kapal Motor Boat
untuk angkutan laut, 6 Mobil Truk
“Toyota” untuk angkutan darat, dan beberapa perlengkapan kemiliteran.
Satu ekspedisi tentara Sekutu berangkat dari Kendari ke
Kolaka pada tanggal 19 Nopember 1945 dengan maksud menjemput bekas tentara KNIL
yang ditawan oleh Jepang dan dipekerjakan di Tambang Nikel Pomalaa. Pada pagi hari itu, pukul 07. 00 Andi Kasim Tuan Petor
Kepala pemerintah RI Kolaka didampingi M. Yunus Ketua API, menunggu kedatangan
tentara Belanda/Sekutu dari jurusan Kendari di tempat itu dipasang penghambat
jalan mobil menuju ke Pomalaa. Susunan formasi pertahanan:
Kepala
Penerjang : H. Abdul Wahid didampingi
Abd.
Kadir Towokia
Kepala
Penyelidik : Andi
Punna didampingi Salam Pessy
Regu
Penyelidik dan Penghubung :
Abu Baeda dibantu Syamsudin Opa
Penembak
Tanda Komando Pertempuran : Raccade
didampingi Ali Arifin.
Regu
I Sayap Kanan
: Lappase dibantu Abu Bone (bekas Heiho)
Regu II Sayap Kiri : Muhiddin S. dibantu Mallise (bekas Manarai Jumpo)
Regu III Pegawai I Komando : Talibbe dibantu H. Arafah
(bekas Kaijo Sen Tai).[47]
Senjata Laras panjang digunakan 30 pucuk. Pengatur Rakyat Repulik
bersenjata tajam, Indumo Daeng Makkalu
Kepala Distrik Kolaka dibantu M. Nur Kepala Kampung Kolaka. Pada
pukul 11. 00 kedengaran deru mobil dari arah Kendari. Tentara Belanda/Sekutu dengan 3 pengawalnya
lengkap senjata api turun di tempat penghalang jalan. Komandan Tentara Belanda/Sekutu bertolak
pinggang, berkata: ”Kurang ajar siapa yangpasang kayu penghalang di
sini?”. Ada 4 orang Tentara Jepang tanpa
senjata dan topi baja, dua orang sopir mobil
truk Toyota persiapan mengangkut bekas KNIL yang tinggal di Kampung
Huko-Huko. Komandan Tentara
Belanda/Sekutu memerintahkan keempat Tentara Jepang hendak mengangkat dan
menyingkirkan kayu penghalang jalan.
Sementara keempat Tentara Jepang hendak mengangkat kayu penghalang, tiba-tiba Andi Kasim yang didampingi M. Yunus
muncul langsung berhadap-hadapan dengan tentara Belanda/Sekutu, akhirnya
terjadi dialog antara Andi Kasim dengan Komandan Tentara Belanda/Sekutu.
(AK)
Selamat siang Tuan, Saya Andi Kasim Petor Kepala Pemerintah RI Kolaka
Daerah Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta.
(TB)
Saya Letnan John Van Boon Tentara Sekutu,
atas perintah Komandan Tentara Sekutu di Makassar saya mau ke
Pomalaa untuk memeriksa keadaan dan
peninggalan Tentara Jepang, dan
mengambil bekas KNIL yang pernah di tawan Tentara Jepang di Pomalaa.
(AK)
Dimana surat perintah Komandan Tentara Sekutu?
(TB) Letnan John
Van Boom diam pura-pura meraba saku bajunya, tidak dapat memperlihatkan
Surat Perintah Komandan Tentara Sekutu
(AK)
Tuan melanggar memasuki Daerah RI tanpa izin Pemerintah RI Kolaka, Tuan tidak
boleh melanjut melanjutkan perjalanan ke Pomalaa, senjata tuan-tuan dititip di
Markas Barisan PETA/API/PI Kolaka. Bila
Tuan-tuan kembali dari Pomalaa senjatanya boleh diambil. “Keamanan Tuan-tuan selama berada dalam
Daerah RI Kolaka tanggungan kami. Kalau Tuan-tuan tidak menghiraukan permintaan kami,
keselamatan Tuan-tuan diluar pengetahuan kami[48].
Letnan John Van Boon dengan congkak tanpa kata-kata
melanjutkan perjalanan ke Pomalaa melewati pos-pos barisan PETA/API/PI. Letnan John Van Boon dan pasukannya jelas
adalah Tentara NICA, yang tidak mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945 dan
menghina serta memandang enteng Pemerintah dan Pejuang bersenjata Pembela
Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sore hari pada pukul 15. 30 tanggal 19 November 1945 rombongan
kembali dari Pomalaa, pada saat akan melewati Pos penjagaan Sabilambo, maka
para pemuda menghadang mereka. Tembakan pertama di mulai disusul tembakan
beruntun dari pemuda pejuang. Tentara
NICA membalas tembakan beruntun, seorang
pemuda Republik kena tembakan (luka ringan siku kiri).
Tentara Jepang lompat berlindung di selokan tidak
melepaskan tembakan, kemudian berteriak
“Indonesiaaa. Tembak, di sini Nippon
Tuan, Nippon Indoneia Banzai. Seluruh
tembakan Pejuang bersenjata di arahkan pada mobil Tentara NICA. Pemuda pejuang serempak menembak sambil
berteriak, kalau mau hidup menyerah
Tentara NICA diserbu Barisan Tombak, Letnan John Van Boon menghilang
(lari meninggalkan pasukannya sambil bertempur). Satu orang Tentara NICA (berkebangsaan
Indonesia) mati tertombak oleh pemuda Lantema dengan menggunakan Tombak Karada.
Ada 2 orang Tentara NICA (Bangsa Indonesia) menyerah dengan senjatanya Yunggle
Gun (Jenggel), 2 orang Tentara Jepang luka ringan bagian paha, setelah mendapat
pertolongan Palang Merah Indonesia mereka bergabung dengan pemuda pejuang. Pada pukul 17. 00 para pejuan bersenjata
mengadakan apel konsolidasi dan pemekaran organisasi perjuangan di Markas
Pemuda Pundoho. Selesai santap siang dan
istirahat, Opu Topatampanangi anggota
BPR (Badan Pertimbangan Revolusi) mengumumkan Terbentuknya PKR (Pembela
Kedaulatan Rakyat). Pimpinan Utama PKR:
Kepala Penerjang
: H. Abdul Wahid
Kepala Penyelidik : Andi Punna
Kepala Pelatih
: M. Yoseph.
Satu pelaton anggota penyelidik yang dipimpin Andi Punna
memburu Letnan John Van Boon dan memberitakan pos-pos penjagaan API sektor
Distrik Rate-rate. Pada tanggal 22
November 1945, barisan API yang ada di Distrik Rate-rate (Abdul Hamid
dkk), Pos Kampung Poli-Polia Ladongi,
menyergap Letnan John Van Boon bersama senjatanya. Letnan John Van Boon menampakkan dirinya, ia
menyangka sudah masuk Daerah Kendari. Letnan John Van Boon kemudian dibawa ke Kolaka dan dimasukkan dalam Penjara
Kolaka. Dalam pemeriksaan
dan penjagaan PI (Polisi Istimewa) bekerja sama Bagian Penyelidik PKR Kolaka.
Para Tentara NICA yang ditawan pejuang bersenjata diperlakukan sesuai HAM (Hak
Asasi Manusia).
Di Sulawesi Tengah, pada tanggal 25 Agustus 1945 utusan
Gubernur Sulawesi bernama Hajarati datang dari Makassar tiba di Poso utusan untuk membentuk pemerintahan
sipil di Poso dimana W. L. Talasa diangkat sebagai Kepala Pemerintah di Poso.
Untuk menghubungi raja-raja di wilayah Donggala-Palu dikirim R.G. Datu Pamusu
dan ke Luwuk dikirim Abdul Muis Lanasir untuk menemui Raja Banggai. Keduanya
membawa dokumen dari Gubernur Sulawesi Dr. G.S.S.J. Ratulangie. Juga dibentuk PNI (Pemuda Nasional Indonesia)
dipimpin oleh Sidik Utina dan Jakob Lamadjuda. Mengenai perjuangan di Poso
menurut Abdul Latief Mangitung adalah sebagai berikut: Pada waktu itu pemuda
dipersenjatai dari hasil pencurian senjata Jepang Karena sejak pasukan Jepang
yang ada di poso mengetahui kekalahannya pada sekutu maka mereka lalu
melepaskan dan menumpuk begitu saja senjatanya di gudang untuk diserahkan
apabila tentara sekutu dating.
Secara
terang-terangan Jepang tak mau menyerahkan senjatanya pada pemuda tapi apabila
senjata itu dicuri maka inipun dibiarkannya saja. Pada awal bulan Nopember 1945
datang di Poso utusan dari PRI (Pemuda Republik Indonesia) Palopo, M. Landau
bersama 2 (dua) orang kawannya Umar Abdullah dan Nur Apala dengan tujuan
memebntuk cabang PRI di Poso.[49]
Terbentuklah
Cabang PRI Poso yang dipimpin oleh Abdul Latief Mangitung, akan tetapi pada awal Nopember 1945,
datanglah pasukan tentara Sekutu
(Australia) dan membawa NICA yang disambut baik oleh Raja Tua Poso
bernama W.L. Talasa. Karena raja tua tak mengizinkan pemuda-pemuda melakukan
perlawanan di Poso, maka para pemuda PNI pimpinan Sidik Utina dan Yakob
Lamadjuda menyerahkan senjatanya sebelum bertempur.
Utusan
M. Landau dari PRI Palopo melihat setuasi ini, selanjutnya dengan cepat kembali
ke Palopo untuk melaporkan setuasi di Poso dengan melalui Tentena dikawal satu regu kesatuaan Lasykar Tanjumbulu dipimpin oleh Martinus.
Pada akhir Nopember 1945 utusan Organisasi pemuda Poso Y. K. Yanis dan Ahmad
Dahlan menuju Senggakng untuk menghindari
Koperensi Pemuda se Sulawesi. Koperensi tersebut menghasilkan kebulatan
tekad menolak kedatangan Belanda di Indonesia. Koperensi pemuda itu juga
mengusulkan agar dapat memberikan bantuan persenjataan dari pihak manapun untuk
mengusir penjajah NICA yang di bantu oleh Sekutu di Indonesia.
W.
L. Talasa ikut pula menghadiri pertemuan Pemuda di Sengkang, kemudian
meneruskan perjalanan ke Watampone. Karena Kota Poso sudah dikuasai oleh Belanda,
maka markas perjuangan depindahkan ke
luar Kota Poso yaitu Malei. Pada tanggal 31 Desember 1945 kesatuan Lasykar Tajungbulu ditingkatkan
susunan personaliannya karena wilayah kegiatannya meliputi seluruh Sulawesi
Tengah, maka susunan pengurusnnya adalalah sebagai berikut:
1. Abdul
Latief Manghitung : Komondan
Lasykar Tanjumbulu
2. Yap
Sui Ciong :
Wk. Komondan Lasykar Tanjumbulu
3. A.
L. Panggamanan :
Kepala Staf
4. I
Lataco Talamoa :
Kepala Staf 1/Penyelidik
5. L.
Bungkato :
Wakil Kepala Staf 1/Pantai Barat
Donggala
6. Abu
Saleh Tanjumbulu : Kepala
staf II /Bagian Operasi
7. R. Manggolo :
Kepala Staf III/Personalia
8. Abu
Maloco :
Kepala Staf IV/Bagian Keuangan
9. Darius
Raupa : Kepala Staf V/Penerangan
10. Ipassa :
Penghubung
11. M.
Nani :
Urusan Perlengkapan Senjata Seberang/Tawao
12. Saleh
Topetau :
Komandan Batalyon I Poso-Tojo
13. Abdulah
Hamid : Komandan
Batalyon II Poso Moutong
14. Lae
Pendolo :
Komandan Batalyon III Pendolo Tentara
15. Laucu
Lanasir :
Komondan Batalyon IV Luwuk-Kolonodale
16. Mumahamad
Amin Dahlan : Komanadan Batalyon V
Ampana Togeang
17. R.G.
Datu Pamusu :
Komandan Batalyon VI Palu-Donggala
18. P.
Marhum :
Komandan Kompi Otonom Buol Toli-Toli
19. R.M. Kusnod Hanupoyo : Penasehat
Para pejuang tersebut menjadi
pimpinan Lasykar Tanjumbulu Sulawesi Tengah dan bermarkas Induk di Kampung
Malei, dan segala kegiatan dipertanggung jawabkan pada masing-masing pimpinan
di daerah yang telah ditentukan dan senantiasa kompak dengan pimpinan Komando
Markas di Malei.
Sejak
tanggal 12 Oktober 1945 pasuka Sekutu (Australia) ditempatkan di Kota Tomohon
sekaligus menjadi markas NICA. Tomohon
dikenal sebagai kota pendidikan, juga tempat pusat-pusat pimpinan Agama Kristen
dan Khatolik sejak puluhan tahun.[51]
Di Manado, baik pemuda maupun militer sepakat bahwa aksi perebutan kekuasaan
harus dimulai oleh kalangan tentara bersenjata, yaitu dari Teling Manado,
dimana berpusat potensi militer Belanda. Seorang tokoh pejuang yang telah turut
dalam barisan Tentara Sekutu yang memimpin Tangsi-Hitam di Teling adalah Letnan
Lembong. Bulan Januari 1946 ia meninggalkan Kota Manado untuk seterusnya
bergabung dengan tentara revolusi di Jawa.
Niat untuk menumbangkan kekuasaan
militer Belanda di daerah ini diambil alih Ch.Ch. Taulu, seorang bekas KNIL
yang mengepalai gudang-gudang supply bahan makanan dan pakaian tentara di
Teling. Berdekatan dengan gudang-gudang ini terdapat Arsenal, gudang senjata,
yang ketika itu berada di bawah pimpinan Sersan S.D. Mais (Wuisan). Selanjutnya
Sersan Wim Wanei memegang Supply dari Kompi 148, fourir sigar Monde supply
kompi 144, sedang kompi VII yang baru tiba dari tugas sebagai Tentara Sekutu,
dipimpin oleh Frans Bisman.
Melalui kampanye, maka dikalangan
militer KNIL ditaburkan rasa kecewa terhadap pelayanan yang diskriminatif terhadap anak buah bangsa Indonesia. Dalam segi politik, dilancarkan desas-desus, bahwa janji
Ratu Belanda pada tanggal 7 Desember 1942 untuk memberikan persamaan hak dan
pemerintahan sendiri kepada bangsa indonesia, ternyata dikesampingkan oleh
NICA. Jadi, satu-satunya jalan ke arah persamaan, keadilan dan kebahagiaan bagi
bangsa Indonesia termasuk tentara KNIL,
adalah menggulingkan pemerintahan NICA.
Pembagian tugas yang ditetapkan oleh
Ch. Ch. Taulu beserta kawan-kawannya adalah sebagai berikut:
1. Kompi
VII dijadikan combattroop, dipimpin oleh Frans Bisman dan Mambi Runtukahu.
Lain-lain pelopor adalah Jus Kotambunan, Mas Sitam, Lengkong Item, Gerson
Andris dan Nico Anes. Mereka ini akan menguasai dan mengamankan perwira-perwira
Belanda KNIL dan NICA.
2. Yang
pertama-tama harus dikuasai adalah bahan makanan, senjata, mesiu, pakayan.
3. Kompi
148 dibawah pimpinan Wim Waney, dibantu oleh Wim Tamburian, Wangko Sumanti,
Frans Lantu, Jan Sambuaga, Bert Sigarlaki, Samel Kumaunang, Osacar Rumambi
setelah dapat menguasai tempat-tempat supply tersebut, harus menjalankan
aksi-aksi penangkapan terhadap anggota tentara Belanda dan pejabat-pejabat NICA
di rumah-rumah mereka.
4. Mais
Wuisan menguasai kompi 143 dan akan mengawasi kamp tawanan Jepang di
Girian-Bitung;
Sigar
Mende dan Polet Molanda menguasai kompi 144 di Manado dan Suparmin kompi 142 di
Tomohon.
5. Pengamanan
terhadap komunikasi ditugaskan kepada redio-telegrafist Rombot yang selanjutnya
akan menguasai semua dinas radio. No Tooy mengawasi semua dinas telepon dan
Maurits Rotinsulu dinas pengangkutan.
6. Kurir-kurir
istimewa untuk menghubungi pemuda-pemuda di Manado, Tondano dan pedalaman
Minahasa adalah No Korompis (Kompi VII), Gustaf Sumarauw (Kompi VII), Jan
Sambuaga (Kompi 148) dan Wim Tamburian (Kompi 148).[52]
Pada
tanggal 7 Februari
1946 seluruh rencana telah rampung sampai ia pada tindakan-tindakan darurat dan
pengamanan bilamana terjadi sesuatu kemacetan. Rencana ini telah diberitahukan
kepada B.W. Lapian dalam suatu rapat rahasia yang diadakan pada hari itu di
Singkil. Juga turut dalam perundingan ialah P.M. Tangkilisan, Ticoalu dan Dr.
Tumbelaka. Pimpinan
KNIL sudah dapat menduga bahwa suasana di kalangan tentara bangsa Indonesia
bisa meletuskan suatu pemberontakan. Biang keladinya sedang dicurigai, sehingga
rumah S.D. Wuisan diintai.
Pada
tanggal 9 Pebruari 1945 jam 17.00 petang suasana di Teling makin tegang dan
akhirnya Ch. Ch. Taulu dan S.D. Wuisan ditangkap dan dijebloskan dalam tahanan.
Di samping itu diambil tindakan pengamanan terhadap Kompi VII dengan menarik
semua peluru yang ada pada pasukan. Dengan demikian pimpinan KNIL sudah merasa
agak legah dan tidk perlu khawatir akan terjadi sesuatu keonaran pada hari-hari
berikut. Tetapi juga tindakan-tindakan Belanda ini telah diperhitungkan, maka
sesuai rencana permulaan aksi dipercepat satu jam, jelasnya menjadi jam 01.00
tengah malam menjelang 14 Februari 1946.
Komandan
Garnisun Manado Kapitein Blom yang berdiam di Sario dibangunkan oleh ajudannya
dengan kata-kata: Kapten diminta datang ke Teling karena keadaan agak
berbahaya. Letnan Ver Waayen mendesak supaya segera datang. Juga ditegaskan oleh ajudannya bahwa
pengawal-pengawalnya sudah siap menunggu di luar dengan sebuah Jeep bahwa perjalanan
aman dan penjagaan cukup kuat. Di sepanjang jalan dari Sario menuju ke Teling
(melalui jalan yang dinamakan sekarang ”jalan 14 Februari”). Kapten Blom dapat
menyaksikan sendiri bahwa pos-pos melakukan kewajiban mereka dengan baik. Tiba
di Markas Teling, penjaga pos memberik hormat, Piket datang menjmput
dengan sikap-hormat, kemudian minta kepada Perwira Belanda itu supaya
senjatanya diserahkan. Pengawal-pengawalnya mengawasi pelaksanaan permintaan
piket itu. Barulah Kapten itu sadar bahwa ia sudah terjebak, tetapi mengikuti
printah untuk masuk di tempat tahanan, dimana Letnan Ver Waayen, wakilnya sudah
ada lebih dahulu setelah ia ditangkap oleh pengawalnya sendiri.
Sewaktu aksi penangkapan
sedang berjalan, maka pada
jam 04:00 bertempat di Markas
Tentara Bukit Teling, Wangko
Sumanti mengambil bendera belanda yang disimpan di Pos Penjagaan, merobek warna birunya dan bersama teman-temannya menaikkan bendera yang menjadi dwi-warna
di tiang bendera Tangsi Teling, para pemuda lainnya
juga mengikuti tindakan itu, sehingga di sana sini tampak merah putih berkibar[53]
Menjelang subuh Wim Kereh memimpin pasukan untuk membebaskan kaum
nasionalis yang selama ini ditahanan
di Penjara Manado. Para tawanan politik yang terlibat
dalam rencana pemboikotan perayaan 10 Januari pagi itu dapat pulang ke rumah
masing-masing, seperti: John Rahasia, G.A. Maenkom, Kusno, Dhanu Pojo,
G.E. Dauhan, O.H. Pantouw,
A. Manoppo, Max Tumbel, dr.
Sabu, F.W. Kumontoy, dan Mat Canon.
Di
Tondano sejak tanggal 14 Februari 1945 malam, pos-pos pemuda telah mengadakan
penjagaan di persimpangan jalan dan gedung-gedung penting. Ketika kode berhasil tembus di
Tondano dengan letusan senjata beberapa kali, maka pejabat-pejabat pemerintah
setempat yaitu H.M. Besar Bram Wenas dan komandan polisi, Inspekrur Brender A.
Brandish dihubungi oleh pemimpin-pemimin pemuda, bahwa keamanan di Tondano akan
dipegang oleh pemuda.
Kemudian
dari Tomohon diterima berita, bahwa di sana masih terdapat suatu kesulitan
pokok. Komandan NICA Coomans D Ruiter dan Troepen Commandant Overste de Vries
berdiam di Kota ini. Kompi 142 masih tetap dikuasai oleh Belanda, sehingga
penyelesaian kompi ini harus dilakukan dari Manado dan pucuk piminan NICA masih
harus direbut. Frans Bisman ditugaskan oleh Taulu untuk menangkap kedua
pembesar Belanda sesudah menguasai dan menertibkan kompi tersebut.[54]
Bermodalkan dua buah peleton
tempur, Bisman berangkat
menuju ke Tomohon, bendera merah-putih berkibar di mobil depan, suatu
tanda untuk menyerbu. Tiba di kota ini Bisman menyiapkan steling untuk
menyerang pertahanan KNIL tembakan pertama datang dari seorang Sersan Mayor
Belanda yang mengenai tepat pada kepala sopir mobil depan itu. Ia gugur sebagai
pahlawan 14 Februari 1945, tembakan ini dibalas oleh pasukan Bisman dan
beberapa peluru bersarang dalam tubuh
Tenara Belanda itu. Waktu ia diangkut ke
rumah sakit ternyata bahwa luka-luka itu tidak membahayakan nyawanya melihat
keadaan jadi demikian, maka komandan KNIL, melalui Kepala Polisi Tomohon,
Inspektur Samsoeri, menyatakan menyerahkan diri bersama segenap Kompi 142 Corps
NICA yang ada di Tomohon, maka Corps-NICA bersama seluruh stafnya dibawa ke
Manado. Sebuah patroli tentara yang
dipimpin oleh Freddy Lumanaw memasuki Kota Tondano dan mengadakan upacara
penaikan bendera merah putih di depan
markas kepolisian, setelah dimabil tindakan-tidakan penertiban seperlunya.
Suatu
pasukan di bawah pimpinan F. (wangko) Sumanti yang ditugaskan ke Girian
mula-mula menemui kesulitan, karena komandan tawanan Jepang Letnan Van Emden
tidak megakui penyerahan diri pimpinan KNIL, ia bertanggungjawab kepada
pimpinan Sekutu. Tetapi dalam suatu percakapan bujukan, maka ia secara
tiba-tiba disergap dari belakang,
sehingga ia terpaksa menyerah dan mengalihkan tugas pengawasan kamp tersebut
kepada tentara nasional Indonesia. Dengan demikian Kompi 143 di Girian dapat
ditertibkan, termasuk kamp tawanan yang menampung 8000 Serdadu Jepang. Hanya
seorang pegawai perkebunan Belanda bernama Van Loon dapat meloloskan diri
dengan menggunakan sebuah perahu kecil ke Ternate.
Pada
tanggal 15 Februari 1946 jam 8.00 pagi diadakan perundingan kilat antara
pimpinan KNIL/NICA dan pimpinan Pejuang RI masing-masing dibawah pimpinan
Letkol de Vries dan Ch.Ch. Taulu. Pertemuan dilangsungkan di Markas Teling Manado.
Usaha
de Vries untuk mempengaruhi Taulu dan kawan-kawannya supaya kekuasaan militer dikembalikan
saja, dengan pelbagai janji, adalah tidak berhasil. Overste Dr. Tumbelaka dan
Kapten Keseger dapat memahami kesulitan-kesulitan dan beratnya konsekuensi yang
akan dihadapi Taulu. Jika ia bertahan dan mendukung ususl-usul de Vries. Tetapi
tentara pemberontak tetap pada pendirian, bahwa kekuasaan sejak tanggal 14
Pebruari 1946 berada de facto di tangan pemerintah Indonesia. Dengan demikian
suatu komando pemerintahan nasional ditetapkan untuk daerah Sulawesi Utara dan
Tengah, yaitu wilayah Keresidenan Manado, dibawah pimpinan B.W. Lapian, yang
menggantiakan NICA sebagai pimpinan pemerintahan sipil, dan Ch, Ch. Taulu,
dibantu oleh S.D. Wuisan, F.H. Nelwan, dan Fr. Bisman sebagai pimpinan militer.[55]
Secara
analogi pangkat Residen diberikan kepada B.W. Lapian dan Letkol kepada Ch.Ch.
Taulu, sedang S.D. Wuisan dijadikan Mayor dan berturut-turut F.H. Nelwan dan F.
Bisman, Kapten. Dengan pengambilan alihan pimpinan KNIL dan NICA secara sepihak
ini, maka semua warga Belanda menjadi status tawanan dan mereka diasingkan
dalam suatu kompleks perumahan di Sario Manado. Para keluarga dapat
menggabungkan diri dengan mereka, sedang harta milik mereka tidak diganggu,
kecuali kendaraan-kendaraan mereka yang semuanya dinyatakan dalam rekwirasi.
Yang tidak memilih status tawanan adalah rohaniwan-rohaniwan Katolik, seperti:
Pastor, Frater, Bruder, dan Suster yang tetap menjalankan tugas-tugas mereka
dalam bidang paroki, sekolah dan perawatan.
Berkenan
dengan peralihan kekuasaan ini, maka media yang maha penting, yaitu dinas
penerangan yang sebelumnya dibina oleh NICA, berupa R.V.D., percetakan
pemerintah dan siaran radio, dikuasai oleh pemerintah Nasional dan pimpinannya
diserahkan kepada Wolter Saerang, dibantu oleh Jo Jocom, keduanya wartawan
nasionalis.
Tujuan
utama dari pada peristiwa perebutan kekuasaan ini ialah turut dalam revolusi
kemerdekaan Indonesia yang sedang berkobar di seluruh tanah air dan berpusat di
Yogyakarta. Kaum perintis nasional yang tidak banyak itu harus menyerahkan obor
perjuangan kepada barisan pemuda yang akan dijuluki kemudian Angkatakn 45.
Itulah sebabnya pembinaan jiwa pemuda yang bersifat menyeluruh di daerah ini
harus dijalankan segera melalui media penerangan dan propaganda. Surat kabar
dan selebara-selebaran menggunakan kesempatan untuk menananamkan dan
menjelaskan tentang maksud perebutan
kekuasaan ini. Bahwa darah dan rakyat disini adalah bagian dari wilayah
Republik Indonesia dengan pusat pemerintaha di Yogyakarta. Siaran-siaran kepada
dunia luar, khususnya kepada pemerintah RI tentang coup d’etat di Manado
sebagai pernyataan partisipasi dalam revolusi kemerdekaan di Jawa telah
dilakuakan secara broadcasting oleh Dinas Telegraf Tentara. Berita telah diterima kemudian dari
Markonis Kapal Patroli Australia S.S. Luna, bahwa radio-radio Sanfransisco dan
Meulbourne telah mengetahui tentang peristiwa merah-putih di Sulawesi Utara itu
dan telah menyiarkan ke seluruh dunia. Jelaslah bahwa berita ini telah
menggemparkan pihak Sekutu, terutama pimpinannya di Makassar, yang dipegang
oleh Brigjend Thornton kemudian menurut radio, telegrafis tentara di Teling,
bahwa Soekarno melalui Radio Yogyakarta telah mengakui perjuangan rakyat di
Sulawesi Utara dan merasa bangga atas saham dan bakti rakyat ini dalam
memenangkan revolusi kemerdekaan Indonesia.
Pada
tanggal 16 Februari
1946 bertempat di Gedung Minahasa Raad Manado diadakan suatu rapat penting yang dihadiri oleh pempinan militer, polisi
dan sipil bersama pimpinan pemuda BPNI/PIN. Dalam rapat itu diumumkan keputusan
bahwa KNIL dihapus dan selanjutnya
menjadi Tentara Republik Indonesia Sulawesi Utara (TRISU). Pasukan ini akan
berada di bawah komando Letkol Ch.Ch Taulu dengan stafnya Mayor S.D. Wuisan,
Kapten H.V. Nelwan dan Kapten F. Bisman. Sedangkan Kaseger (yang tidak
menyetujui perebutan kekuasaan KNIL ini) dimasukan juga dalam Staf Komando
dengan diberi Pangkat Mayor.
Selanjutnya
dalam rapat ini telah dibentuk Pemerintahan Sipil yang dipimpin oleh Residen
B.W. Lapian. Sedang Staf Pemerintahan terdiri dari D.A. Th. Gerungan
(Keperintahan), Alex I.A. Ratulangi (Keuangan), Dr. W.J Ratulangi
(Perekonomian), dr.ch Singal (Kesehatan), S.D. Wuisan (Kepolisian), E. Katoppo
(P.P. & K), Hidayat (Kehakiman), Wolter Saerang (Penerangan) dan Max Tumbel
(Pelabuhan & Pelayaran). Terhadap pejabat-pejabat lama yang nasionalis pada
masa NICA memimpin Dinas dan Jawatan, seperti: R.C. Lasut, P.M. Tangkilisan, No
Ticoalu, Fr. Walandouw, tetap dipertahankan. Di kalanagan kepolisian diadakan reorganisasi di bawah pimpinan
inspektur-inspektur Polisi Sorongan, Warikki dan lain-lain, dengan menempatkan
anggota-anggota polisi yang nasionalis pada pos-pos penting di Sulawesi Utara.
Akhirnya dalam rapat ini dapat disetujui, bahwa kekuasaan untuk memelihara
keamanan dan ketertiban, disamping polisi dan pamongpraja, diberikan kepada
Pasukan Pemuda Indonesia (PPI) yang berpusat di Tondano (Patang, 1975). Surat
keputusan ini dikeluarkan dan ditanda-tangani oleh komandan TRISU, Letkol Ch.Ch
Taulu tertanggal 16 Februari 1946.
Kepada PPI komandan TRISU menjanjikan pemberian senjata, setelah
pemuda-pemuda mendapat latihan militer secukupnya dari pada instrukturnya.
Markas besar PPI yang ditetapkan di Tondano itu, disusun pula dalam bentuk
komando dan pimpinan oleh seorang Hulubalang-besar, yakni E.D. Johannes,
Penasehat BPNI/PIM. Kepala stafnya ialah Wim Pangalila.
Kotapraja
Manado dalam kedudukannya sebagai gernisun diberikan juga status markas-besar
dengan suatu wewenang yang otonom-taktis. Hulubalang ialah John Rahasia dan
Wakilnya Mat Canon. Selnjutnya di tiap-tiap sektor di daerah Minahasa dibentuk
Komando P.P.I yang lengkap dibawah pimpinan hulubalang, wakil Hulubalang dan
kepala staf, dan seterusnya. Untuk sektor Tomohon diangkat Eddy Mondong dan
Freddy Wongkar, untuk Tondano Jo L.M. Supit dan Usman Pulukadang. Untuk Tonsea
J.P Karamoy, Victor Mnadey dan Bang Wenas. Untuk Kawangkoan H. M Taulu dan G. Mendur.
Untuk Ratahan P. Salassa dan J Methulusa dan untuk Amurang J. Sarijowan dan J.
Mamesah. Hulubalang muda diangkat pula untuk memimpin PPI sub sektor
(kecamatan).
Markas
besar PPI di Tondano dibagi menurut asistensi atau urusan yang masing-masing
dipimpin oleh seorang pengurus dengan personalia sebagai berikut: Umum: R. (Mat)
Pulukadang, Keuangan: Wuli Supit, perhubungan: B. Wowor, Penerangan” Ch. D.
Pontoh, Pendidikan/pengajaran: E.A. Parengkuan, perekonomian J. Kumaunang,
Perbekalan: Andi Masengi, Latihan B. Matulandi, Agama/Kebudayaan F. Dendeng dan
kesehatan: A. Tampi. Komandan Markas: J Lumungkewas. Oleh karena keadaan pada
waktu itu bersifat darurat, maka segala kegiatan dalam bidang pemerintahan,
perekonomian/perbekalan, komunikasi, keamanan/pertahanan, dijalankan oleh pihak
tentra dibantu oleh PPI.
Pimpinan pemeritahan sipil membahas
segi-segi politik, mengurus administrasi dan organisasi pemerintah serta
mengeluarkan keputusan-keputusan yang bertalian dengan itu. Dalam bidang
keuangan, ekonomi dan sosial diusahakan supaya membayar gaji dan pensiun
berjalan lancar, sekalipun ternyata NICA tidak meningggalkan persediaan uang
yang cukup dalam kas Negara. Hal ini terlihat dalam serah-terima keuangan dari
pemegangkas NICA Letn.
Murk C. De Jong kepada A.I.A. Ratulangi, yang hanya berkisar 6 juta gulden. Ini
berarti, bahwa kekuatan keuangan hanya mampu sampai tiga bulan, jika diingat
bahwa pensiunan KNIL sudah berjumlah 20.000 orang.
Demikian pula mengenai perbekalan,
khususnya beras yang bagi pasukan-pasukan tentara hanya cukup untuk beberapa
minggu saja. Masalah ini adalah penting dan menentukan, sehingga pemimpin
pemerintahan harus mencari jalan keluar, perlunya bentuan dari daerah-daerah
lain. Namun demikian PPI melihat perampasan kekuasaan dari NICA itu dari segi
lain, yaitu segi perjuangan dan revolusi
kemerdekaan, yang terang membawa konsekwensi semacam ini.
Program
PPI ialah supaya kepada 15.000 anggotanya diberikan latihan militer/tempur dan
dipersenjatai. Persediaan cukup banyak dari persenjataan yang diserahkan oleh
tentara Jepang kepada Sekutu. Tuntutan PPI ini mutlak, karena NICA dan Sekutu
tidak akan membiarkan tanggungjawab dan tugas pengawasan mereka atas Sulawesi
Utara ini dicopot begitu saja oleh anggota KNIL yang memberontak, oleh karena
itu sedang menyiapkan diri untuk merebut kembali kekuasaan ini.
Latihan-latihan
militer diberikan oleh para Instruktur dari Teling kepada PPI di Manado dan
Tondano dengan mulai menggunakan senjata, sedang pemuda-pemuda PPI di
tempat-tempat lainnya dilatih dengan kayu dan bambu oleh pelatih-pelatih
setempat. Pada umumnya pemuda-pemuda sudah tahu memakai senjata karena sebagian
mereka adalah bekas Tentara Heiho, Tokubets-Tai dan sebagainya. Pemuda-pemuda
pelajar dari SMRK Kebangsaan di Tondano, dimobilisir menjadi pasukan
pertahanan, sehingga mata pelajaran diganti dengan latihan baris-berbaris,
memanggul senjata, dan lain-lain.
Seminggu
sesudah perebutan kekuasaan dari NICA di Manado, maka pemerintah nasional di
bawah pimpinan Residen Lapian mengumumkan secara resmi, bahwa daerah Sulawesi
Utara dan Tengah, bekas wilayah Keresidenan Manado berada di bawah kekuasaan
pemerintah RI. Peristiwa ini dirayakan dalam suatu upacara resmi pada tanggal
22 Februari 1946 di Lapangan Tikala, dihadiri oleh Komandan TRISU Letkol Taulu,
Mayor Wuisan, Kapten Nelwan, Kapten Bisman, sedang staf sipil nampak hadir
anatara lain: Dr. W.J. Ratulangi, Dr. Kisman, A. Dauhan, Oei Pek Yong, O.
Dajoh, A.B.H. Waworuntu, dan No Ticoalu. Pada kesempatan ini Residen Lapian
menyampaikan pidatonya. Di Tondano pada pagi hari itu diadakan parade pemuda yang
terdiri dari 3000 pemuda PPI yang telah datang dari seluruh Sektor Tolour
(Tondano, Eris, Kakas dan Remboken). Komandan upacara ialah Jo Supit, sedang
sebagai inspektur upacara bertindak E. D. Johannes, Hulubalang-besar PPI.
Mewakili Pemerintahan Naisonal ialah Bram Wenas.[56]
Pada
16 Februari 1946 berlangsung sidang darurat Dewan Minahasa di Manado menetapkan
sesuai rencana semula Kepala Distrik Manado, BW Lapian sebagai Kepala
Pemerintah Merah-Putih Merdeka dengan kabinetnya, yakni: W. Saerang
(sekretariat), DA. Th. Gerungan (pemerintahan), Alex Ratulangi (keuangan), drh.
Wim Ratulangi (perekonomian), R. Hidayat (kehakiman), Mayor SD. Wuisan
(merangkap kepolisian), dr. Ch. Singal (kesehatan), E. Katoppo (pengajaran),
Max Tumbel (perhubungan/pelabuhan).
Selanjutnya
barisan pemuda PPI dipercayakan memelihara keamanan di seluruh wilayah di bawah
hulubalang besar ED. Johannes dan para hulubalang dengan kota serta kecamatan,
yakni untuk kota besar Manado John Rahasia. Selanjutnya untuk berbagai wilayah
kecamatan para komandan Mat Canon, Eddy Mondong, Jo Supit, John Malonda, Max
Roringkon, Ton Lumenta dan lain-lain. Untuk markas besar PPI di Tondano
terdapat nama-nama Wim Pangalila, Chris Ponto, Ben Wowor, Engel Parengkuan,
Andi Masengi, Mat dan Usman Pulukadang, Nona Wuli Supit dan lain-lain.
Tindakan
Heroik di Sulawesi Utara tanggal 14 Februari 1946, para pemuda Indonesia
anggota KNIL tergabung dalam Pasuka Pemuda Indonesia (PPI) mengadakan gerakan
Tangsi Putih dan Tangsi Hitam di Teling Manado. Mereka membebaskan tawanan yang
mendukung Republik Indonesia antara lain Taulu, Wuisan, Sumanti, G.A Maengkom,
Kusno Dhanupojo, G.E. Duhan, juga menahan Komandan Garnisun Menado dan semua
pasukan Belanda di Teling dan Penjara Manado. Diawali peristiwa tersebut para
pemuda menguasai markas Belanda di Tomohon dan Tordano. Berita dan perebutan
kekuasaan tersebut dikirim ke Pemerintah Pusat yang saat itu di Yogyakarta dan
mengeluarkan maklumat no 1 yang ditandatangi oleh Ch.Ch.Taulu. Pemerintah sipil
dibentuk tanggal 16 Februari 1946 sebagai rasiden dipilih B.W. Lapian.
Peristiwa Merah Putih terjadi
tanggal 14 Februari 1946 di Manado. Para pemuda tergabung dalam pasukan KNIL
Kompeni VII bersama lasykar rakyat dari barisan pejuang melakukan perebutan
kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon, dan Minahasa. Sekitar 600 orang
pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditahan. Pada tanggal 16 Februari 1946
mereka mengeluarkan surat selebaran yang menyatakan bahwa kekuasaan di seluruh
Manado telah berada di tangan bangsa Indonesia. Untuk memperkuat kedudukan
Republik Indonesia, para pemimpin dan pemuda menyusun pasukan keamanan dengan
nama Pasukan Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh Mayor Waisan. Bendera Merah
putih dikibarkan di seluruh pelosok Minahasa hampir selama satu bulan, yaitu
sejak tanggal 14 Februari 1946. Pada
malam hari tanggal 22 Pebruari 1946 bertempat di halaman rumah bekas
Hukum-Besar Supit diadakan resepsi dan Pesta Rakyat untuk para pembesar yang
baru tiba di Tondano dari Manado.
Di Gorontalo, setelah Jepang
menyerah,
mereka masih tetap menghormati
Nani Wartabone sebagai pemimpin Rakyat Gorontalo. Terbukti dengan
penyerahan pemerintahan dari Jepang kepada Nani Wartabone pada tanggal 16 Agustus
1945. Sejak hari itu Sang Saka Merah Putih kembali berkibar di Gorontalo
setelah diturunkan Jepang sejak 6 Juni 1942, karena pada tanggal 23 Januari 1942, Rakyat Gorontalo telah mengumumkan Kemerdekaan dan
mengibarkan bendera Merah Putih. Anehnya, setelah
penyerahan kekuasaan dari Jepang, Nani Wartabone dan Rakyat Gorontalo belum
mengetahui telah terjadi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta 17 Agustus
1945 keesokan harinya, mereka
baru mengetahuinya pada tanggal 28 Agustus 1945.
Untuk
memperkuat pemerintahan nasional di Gorontalo yang baru saja diambil alih dari
tangan Jepang, maka Nani Wartabone merekrut 500 pemuda untuk dijadikan pasukan
keamanan dan pertahanan. Mereka dibekali dengan senjata hasil rampasan dari
Jepang dan Belanda. Pasukan ini dilatih sendiri oleh Nani Wartabone, sedangkan
lokasi latihannya dipusatkan di Tabuliti, dan Suwawa. Wilayah ini sangat
strategis, berada di atas sebuah bukit yang dikelilingi beberapa bukit kecil,
dan bisa memantau seluruh Kota Gorontalo. Di tempat ini pula, raja-raja
Gorontalo zaman dahulu membangun benteng-benteng pertahanan mereka.
Setelah
menerima berita proklamasi dari Jakarta, maka pada tanggal 1 September 1945
Nani Wartabone membentuk Dewan Nasional di Gorontalo sebagai badan legislatif
untuk mendampingi kepala pemerintahan. Dewan yang beranggotakan 17 orang ini
terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat dan ketua parpol. G. Maengkomdan Muhammad
Ali adalah dua dari 17 orang anggota dewan tersebut. Upaya mempertahankan
Pemerintahan Republik Indonesia, maka para pemuda berhasil merebut senjata dari
markas-markas Jepang pada 13 Sepember 1945. Pada tanggal 30 November 1945 Nani
Wartabone pun ditangkap ketika melakukan perundingan dan dipenjarakan di
Jakarta.
Dalam perjuangan rakyat Sulawesi (terutama di Kolaka)
nampak keikutsertaan kaum perempuan cukup meyakinkan dalam mempertahankan
kemerdekaan. Sehingga perjuangan rakyat dalam mempertahakan RI merupakan
perjuangan seluruh rakyat dengan tidak membedakan jenis kelamin, kepercayaan,
suku, dan asal-usul. Dalam wadah PRI misalnya, nampak persatuan antara golongan
Islam dan Kristen dalam perjuangannya membela kemerdekaan. Begitupun suku Mekongga, Bugis, Manado, Ambon, Timor, dan
lain lain bahu membahu dalam perjuangan. Kader-kader PSII, Muhammadiyah/Hisbul Wathan, PNI, bekas KNIL, bekas
Heiho/Seinendan/Romusya bersatu dalam perjuangan untuk mempertahankan
kemerdekaan.
D. Konflik Antar Tokoh di
Daerah
Sebelum
Dr. G.S.S.J. Ratulangie dan yang lainnya datang ke Makassar, Nadjamuddin Daeng
Malewa sudah merupakan tokoh pergerakan nasional terkemuka di Sulawesi Selatan
yang telah mengakar dikalangan rakyat dalam beberapa catatan tokoh ini jarang
tertandingi oleh tokoh pergerakan lokal pada zamannya. Sejak kedatangan Dr.
G.S.S.J. Ratulangie di Makassar, kelihatan ada suatu persaingan yang kemudian
akan menjadi kendala besar bagi jalannya sejarah kemerdekaan di Makassar.[57]
Nadjamuddin
Daeng Malewa beserta pemimpin lokal lainnya merasa tersingkirkan, apalagi Dr.
G.S.S.J. Ratulangie semakin menonjol, baik di kalangan tokoh pergerakan lokal
maupun di kalangan Bangsawan yang banyak berpengaruh pada kelanjutan karier
politiknya di Sulawesi Selatan. Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Dr. G.S.S.J.
Ratulangie berusaha menggalang semua unsur kekuatan di Sulawesi Selatan.
Sebagai langkah awal maka, Dr. G.S.S.J. Ratulangie mendekati pihak bangsawan
yang sangat berpengaruh di daerah ini. Pada awal pendudukan Jepang
diprakarsailah berdirinya SUDARA (Sumber Darah Rakyat) oleh Dr. G.S.S.J.
Ratulangie atas bantuan pemerintah pendudukan Jepang dan menempatkan Andi
Mappanyukki sebagai Ketua dalam oraganisasi ini. Ratulangi sendiri bertindak
sebagai wakil ketua sekaligus menjadi organisator yang efektif dalam SUDARA
ini. Tokoh-tokoh lainnya, diantaranya; Lanto Daeng Pasewang sebagai kepala
bagian umum, Mr. Tadjuddin Noor sebagai kepala bagian ekonomi, Sijaranamual dan
Saelan ditunjuk sebagai biro pemuda. Hubungan Ratulangi dengan Raja Bone Andi
Mappanyukki dalam SUDARA amat penting untuk memudahkan kerjasama antara kaum
nasionalis Makassar yang kosmopolitan dan kaum bangsawan tradisional di
kerajaan-kerajaan setempat untuk mendukung Republik dan untuk menentang kembalinya
Belanda.[58]
Dalam perjalanannya, organisasi
yang dimaksudkan oleh Jepang sebagai propaganda anti Barat (Belanda) ini,
ternyata diarahkan oleh tokoh-tokoh pergerakan Sulawesi Selatan ke arah
penumbuhan nasionalisme dikalangan rakyat dalam mempersiapkan kemerdekaan.
Terdapat tiga tokoh pergerakan lokal persatuan progressif SUDARA ini yang
sangat aktif menanamkan propaganda dan menggalang perjuangan rakyat baik di pelosok
daerah, maupun dalam Kota
Makassar sendiri, yakni:
Dr. G.S.S.J. Ratulangie, Mr. Tadjuddin Noor dan Nadjamuddin Daeng Malewa.[59]
Organisasi
tersebut meluas ke seluruh daerah dalam bentuk komite-komite perjuangan.
Nadjamuddin Daeng Malewa seorang nasionalis yang mempunyai pengaruh luas sempat
bekerjasama dengan Ratulangie
dan termasuk pengurus didalamnya. Tapi kerjasama itu tidaklah begitu baik.
Ratulangie
dan Tadjuddin Noor berada dalam persaingan, sedang kesetiaan Nadjamuddin
diragukan. Terdapat kemungkinan, Nadjamuddin yang merasa dirinya mempunyai
kemampuan dan banyak berjasa terhadap Pergerakan Nasional di Sulawesi Selatan,
ternyata ditempatkan pada posisi tak berarti dalam SUDARA yang baru dibentuk
oleh Ratulangi tersebut.[60]
Nadjamuddin
Daeng Malewa dan Mr. Tadjuddin Noor semakin merasa disingkirkan oleh Dr.
G.S.S.J. Ratulangie setelah munculnya undangan dari pihak penguasa Angkatan
laut Jepang untuk menghadiri rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) di Jakarta. Dari nama-nama yang diberangkatkan rupanya kedua tokoh itu
tidak ada, melainkan yang diberangkatkan ke Jakarta adalah: Dr. G.S.S.J.
Ratulangie, disertai oleh Andi Pangerang Petta Rani (Anak Arumpone Andi
Mappanyukki), Sultan Daeng Raja dan Mr. Zainal Abidin.[61]
Tidak
diikutsertakannya Nadjamuddin Daeng Malewa dalam delegasi Ratulangie semakin menimbulkan
kekecewaan baginya
yang sangat mempengaruhi sikap politiknya dikemudian hari. Mengingat
Nadjamuddin Daeng Malewa adalah putera Sulawesi Selatan sekaligus Walikota Makassar
yang pernah menjadi anggota Partai Politik Parindra dan sangat besar
pengaruhnya di dalam serikat-serikat buruh angkutan perahu. Dilihat dari sudut
ini memang dapat dianggap Nadjamuddin Daeng Malewa adalah seorang tokoh politik yang terkemuka
di daerah Sulawesi Selatan. Pengangkatan Ratulangi sebagai Gubernur Sulawesi
mengundang berbagai “pertanyaan”, bukan saja Nadjamuddin, melainkan juga di kalangan raja-raja dan bangsawan
Sulawesi Selatan, tetapi berkat dukungan aktif Andi Mappanyukki, maka sebagian
besar bangsawan Sulawesi Selatan kemudian turut mendukungnya melalui “Deklarasi
Djongaya” 15 Oktober 1945.[62]
Refleksi
persaingan itu semakin jelas terlihat dari pembentukan organisasi oleh ketiga
tokoh pergerakan masing-masing. Dr. G.S.S.J. Ratulangie yang lebih awal
mendirikan Pusat Keselamatan Rakyat Sulawesi (PKR) tidak memberikan kedudukan
“stategis” bagi Mr. Tadjuddin Noor yang sejak awal setia mendampinginya.
Sedangkan Nadjamuddin Daeng Malewa sama sekali tidak masuk dalam kepengurusan
itu. PKR ini kemudian dianggap sebagai badan resmi dari pemerintah Gubernur
Sulawesi. Dalam waktu yang bersamaan dibentuklah Partai Nasional Indonesia
(PNI) oleh Mr. Tadjuddin Noor sekaligus menjadi ketua partai itu. Sedangkan
Nadjamuddin sendiri tetap berada di Partai Sarekat Selebes dan mempertahankan
cirinya sebagai organisasi nasional yang memperjuangkan kepentingan lokal.
Perjalanan keliling Ratulangie ke berbagai daerah di
Sulawesi Selatan, para raja-raja mendukung Proklamasi RI, tetapi belakangan
hanya sedikit yang menolak menandatangani perjanjian kerja sama dengan NICA, diantara
yang meniolak, seperti: Raja Bone Andi Mappanyukki dan Datu Tempe Andi Ninong.[63]
Konflik
antara elit bangsawan dengan elit terdidik yang diwakili oleh kaum pergerakan
ini, kemudian dimanfaatkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Nadjamuddin Daeng
Malewa yang kecewa terhadap sikap Dr. G.S.S.J. Ratulangie menyatakan diri
bekerjasama dengan Belanda, dan pada tanggal 11 Nopember 1945 Belanda
memberikan kedudukan Handels Consulent, suatu jabatan tinggi untuk orang
Indonesia pada masa itu. Konflik tersebut akhirnya banyak berpengaruh terhadap
kelanjutan revolusi di Sulawesi Selatan, atau sepanjang berdirinya Negara
Indonesia Timur hingga menyatakan diri bergabung dengan RI dalan negara kesatuan.[64]
Di
wilayah Kerajaan Bone, setelah NICA memasuki daerah ini,
maka Raja Bone Andi Mappanyukki melepaskan jabatannya karena tidak mau bekerja
sama dengan Belanda, maka dia digantikan oleh Andi Pabbenteng. Sikap yang sama
juga dilakukan oleh Andi Ninnong Datu Tempe yang rela meninggalkan kedudukan
sebagai Ranreng Towa karena tidak rela bekerjasama dengan Belanda, sekalipun
Matowa Wajo akhirnya bekerja sama dengan NICA, tetapi para pemuda Wajo yang
tergabung dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) tetap berjuang di bawah
pimpinan Andi Magga Amirullah Sulewatangpugi dan Andi Muh. Noor.
Di
Wilayah Bulukumba Andi Sultan Daeng Raja menggalang para bangsawan dan rakyat
untuk mengusir tentara NICA di awal Desember 1945 hingga tertangkap dan dibuang
ke Manado selama lima tahun. Penangkapan
Andi Sultan Daeng Raja terjadi karena dikhianati oleh
sahabatnya sendiri yaitu Andi Abdul Gani yang kemudian diangkat sebagai penjabat Karaeng
Gantarang secara sepihak oleh NICA. Selanjutnya
berkonspirasi dengan NICA pimpinan Raymond Westerling
menghalau dan menindas gerakan
prorepublik, dalam pembunuhan massal di Bantaeng dan beberapa wilayah Sulawesi yang
terkenal sebagai peristiwa pembantaian korban 40.000 jiwa 1946–1947.
Di Wilayah Sulawesi Tenggara, pada tnggal 13 September 1945, mata-mata Tentara NICA melancarkan isu-isu
pemecah belah dalam perjuangan, antara lain: Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945 hanya untuk di Pulau Jawa (tidak masuk di luar Pulau Jawa). Barisan PETA/API bergerak pada malam Jumat
pukul 01.00 menyadarkan atau menahan orang-orang yang dicurigai anti Repubik
Indonesia. Pada tanggal 14 September 1945, barisan PETA/API membentuk Barisan PI (Polisi
Istimewa) dipimpin Abdul Kadir dibantu Usman Efendi (Keduanya Bekas Anggota
Kempe Tai atau Polisi Meliter Angkatan Darat Tentara Jepang).[65]
Kedatangan pasukan Sekutu (Australia) dan membawa NICA pada awal Nopember 1945, yang
disambut baik oleh Raja Tua Poso bernama W.L. Talasa, sehingga Raja Tua tidak
mengizinkan pemuda-pemuda melakukan perlawanan di Poso, maka para pemuda PNI
pimpinan Sidik Utina dan Yakob Lamadjuda menyerahkan senjatanya sebelum
bertempur.[66]
Di Donggala sebelum tentara NICA
mendarat terbentuklah
PIM (Pemuda Indonesia Merdeka). Pemimpin PIM antara lain: M.A. Pettalolo, Ladising, Usman Monoarfa, dan
M. Amu. Tokoh utamanya adalah Alwi Mohammad, akan
tetapi dengan tidak disangaka pada mulanya disaat mereka sedang menyusun
kekuatan untuk mengadakan pertahanan sebelum NICA mendarat, tiba-tiba muncul
beberapa tokoh yang belum menginginkan kemerdekaan dan bekerja sama dengan
bekas KNIL.
Pemuda PIM dan pemuda Prorepublik Indonesia ditangkap serta rumah penduduk yang dicurigai digeledah untuk mencari
dokumen. Tindakan liar ini dilakukan pemuda bekas KNIL yang tidak menginginkan kemerdekaan. PIM
yang bekerja sama dengan Pemuda yang datang dari Mandar dipimpinan Andi Gani
dan Jusuf, menyerbu Asrama Polisi di Donggala, menurunkan bendera belanda dan menggantikannya
dengan Merah Putih. Sementara dari Poso instruksi
Gubernur Dr. G.S.S.J. Ratulangie berupa:
(1) Teks Prokiamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, (2) Surat anjuran
mempertahankan kemerdekan bangsa dan tanah air yang telah diproklamirkan, dan (3) Surat keputusan Konpereni raja-raja se
Sulawesi Selatan
yang menyatakan tidak ingin dijajah
lagi.
Berita tersebut juga disebarluaskan
ke Luwuk Banggai dengan mengutus
Abdul Muis,
M. Nasir pada awal November 1945. Waktu
itu Raja Banggai S.A. Amir
baru saja menerima
kekuasaan pemerintanan NICA yang dipercayakan kepadanya. Ketika diperlihatkan
ketiga surat dari Gubernur Sulawesi kepadanya, raja SA. Amir, merasa bingung dan bimbang.
Permintaan untuk mengadakan pertemuan dengan pemuda Gerakan Merah putih yang pernah
berjuang bersamanya di tahun 1942, dihindarinya dengan meninggalkan Luwuk
menuju Kampung Kintom dan mengajukan
adiknya Sulaeman Amir sebagai wakil.
Pertemuan di rumah
Sulaeman Amir pada
tanggal 5 November 1945 dihadiri oleh:
(1) Suleman
Amir, mewakili Raja Banggai (Pemeriniah),
(2) Lamuis Lanasir (bekas Heiho) sebagai kurir dari Poso, (3) T.S. Bullah, Pimpinan
GIM (Gerakan Indonesia Merdeka) dari Pagimana, dan (4) A.R. Lanasir, Pembantu
Komandan/Koordinator keamanan Keris Muda Luwuk.
Pembicaraan
tentang sikap peimerintah kerajaan terhadap isi surat tersebut. Akan tetapi tanggapan
pihak pemerintah kerajaan mengecewakan dengan mengemukakan alasan-alasan: (1)
Raja Banggai diangkat dan diambil sumpahnya secara tradisionil oleh 4 orang
kepala kampung atau disebut Basalo Sangkap, sedangkan merek belum pernah
dihubungi, (2) Telah beberapa kali terjadi
perubahan pemerintahan,
sehingga menyulitkan administrasi kerajaan Banggai, dan yang memikul
tanggungjawab adalah Swapraja.
Mendengar
itu maka, A.R. Lanasir kemudian
menjawab: bahwa kalau memang begitu seharusnya prosedur yang ditempuh, mengapa
menerima NICA tanpa lebih
dahulu mendapatkan persetujuan dari Basalo Sangkap? Karena sikap pemerintah
kerajaan demikian, maka Lamuis Lanasir, A.R. Lanasir dan TS. Bullah meninggalkan
pertemuan dan menuju ke Pagimana dan Bunta seterusnya Lamuis Lanasir kembali ke
Poso.[67]
Sejak
11 Januari 1946 seluruh wilayah Keresidenan Manado telah diduduki NICA.
Administrasi dan personalia dikembalikan pada status yang lama sebelum perang dunia
II. Rehabilitasi dan prioritas diberikan kepada pegawai-pegawai yang setia
kepada Belanda. Rakyat yang sebagian besar telah mengetahui bahwa kemerdekaan
telah diploklamirkan 17 Agustus 1945 di Jakarta, spontan mendukung RI dengan bimbingan dari
tokoh-tokoh pergerakan setempat.
Setelah
berlalu peristiwa 10 Januari 1946,
maka NICA mengambil sikap lunak dan simpatik terhadap usul COMITE VAN
INITIATIEF (Badan Penyalur Kehendak Rakyat) supaya jiwa pemuda Indonesia dipahami, maka daerah Minahasa
dan Manado dibentuk suatu oraganisasi penggabungan
kaum muda, yang terdiri dari pelbagai golongan: Pemuda Kristen, Pemuda Katolik, Pemuda
Islam dan Pemuda Nasionalis, masing-masing dalam tingkatan-tingkatan ranting,
cabang dan pusat. Untuk menyukseskan konsepsi ini, maka dengan sendirinya
pemuda-pemuda BPNI yang ditahan itu harus dilepaskan untuk disalurkan melalui
organisasi yang dikehendaki NICA.
Dalam
rapat pembentukan PIM ini telah dibacakan surat pesanan dari Dr. G.S.S.J. Ratulangie, yang menyerukan agar
pemimpin-pemimpin rakyat menjauhkan dari pikiran dan tindakan provinsialistis.
Beliau menyebutkan diri “Orang Indonesia dan Bukan Orang Minahasa”. Dalam
Kongres pemuda di Kinilow, delegasi pemuda menyiapkan rencana untuk mengadakan
massa aksi untuk mengacaukan
jalannya rapat. Tetapi maksud utama pembentukan PIM ialah untuk memelihara
kesiapan pemuda dalam rangka menggulingkan kekuasaan NICA itu di daerah ini.
Kongres
pemuda di Kinilow pada tanggal 9 Februari
1946 berlangsung dalam
suasana tegang. Ds Wim Rumambi ditetapkan untuk memimpin kongres, NICA amati jalannya
rapat, gedung pertemuan penuh sesak dengan
utusan tiap
cabang, massa BPNI/PIM
bercampuur dengan pelbagai utusan. Pada saat struktur organisasi dibacakan, maka suasana berubah mendadak dan
lahirlah dua
pihak yang bertentangan.
Chris
Pontoh berbicara atas nama BPNI/PIM,
menolak bentukan organisasi yang dipimpin oleh suatu badan yang bersifat
penggabungan. Pada
saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan bersama. Separuh hadirin mendengungkan
“Indonees-Indonees mulia-mulia” sedang yang lainnya meneriakkan: Indonesia
Raya, merdeka-merdeka”. Kongres
terpaksa ditutup tanpa mencapai hasil yang diharapkan NICA. Bagi BPNI/PIM dua hasil yang
diperoleh melalui Kongres
Kinilow, yaitu:
1. Meyakinkan
organisasi pemuda bahwa perjuangan kemerdekaan tidak mungkin berhasil melalui
kompromi dengan Belanda dan perjuangan harus bersifat radikal.
2. Turut
sertanya PIM dalam Kongres
telah memperdaya NICA, bahwa pemuda secara diam-diam mempersiapkan suatu coup
kedua yang akan diwujudkan oleh kekuatan bersenjata dengan ancer-ancer waktu
tanggal 14 Pebruari 1946. [68]
Untu
membuktikan, bahwa pemerintahan di Sulawesi Utara berjalan seperti biasa, maka
pemerintah Lapian-Taulu mengirim
Radiogaram melalui kapal peronda Australia S.S LUNA, yang mengundang Pimpinan Sekutu di Makassar untuk datang berunding di
Manado. Pada tanggal 23 Februari 1946 kapal S.S. El Libertador (4000
ton) tiba di pelabuhan Manado dengan membawa sebuah delegasi pimpinan sekutu
dan NICA yang dikepalai oleh Lekol. Colson (Ingg).
Perundingan
ditetapkan tanggal 24 Februari 1946, mulai jam 9 pagi di atas kapal. Sebelumnya Mayor Wilson (Sekutu) turun ke darat untuk
menjemput utusan
Indonesia dan utusan Belanda. Delegasi
NICA menghendaki supaya pihak Indonesia harus hadir
pimpinan militer, yaitu:
Taulu Wuisan, Nelwan dan Bisman serta pejabat sipil, yaitu: B.W. Lapian, D.A.
Gerungan, Dr. Singal dan E. Katoppo, ditambah lagi dengan wakil golongan
Tionghoa, Kapitein der Chinezen, Oei Pek Yong. Personalia ini diubah oleh pemerintah
Indonesia yang mengajukan delegsinya terdiri dari: Lapian, Taulu, Gerungan,
Katoppo, ditambah dengan Hidayat, Chris
Pontoh dan A.B.H. Waworuntu,
susunan personalia ini
diterima Sekutu. Delegasi Sekutu dipimpin oleh Lt.
Col Colson, selanjutnya
Chief Co-NICA Kol. De Rooy dan komanadan KNIL Kol. Gilberth serta Mayor Wilson. Pihak Indonesia dipimpin oleh
Residen B.W. Lapian dan pihak NICA oleh Co-NICA Coomans de Ruyter, sebagai penerjemah
bertindak A.B.H. Waworuntu.
Setelah
rapat dibuka oleh Colson, maka Sekutu
mengajukan tuntutannya, supaya kekuasaan dikembalikan kepada NICA, mengenai
syarat yang diajukan Indonesia
akan diambil perhatian. Cara peralihan kekuasaan akan berlaku secara
berangsur-angsur, dimulai
dengan pelarangan pengibaran bendera Merah-Putih. Jawaban Chris Pontoh, bahwa jika merah putih hendak
diturunkan, maka pasti akan terjadi pertumpahan darah.
Tuntutan
kedua Sekutu, supaya semua senjata
yang ada pada anggota tentara yang direbut dari KNIL harus dikembalikan kepada Sekutu. Dijawab oleh
delegasi Indonesia, bahwa senjata adalah syarat mutlak untuk memelihara
keamanan dan
yang bertanggung jawab adalah Tentara Nasional Indonesia, termasuk jaminan keamanan terhadap
kamp tawanan Jepang
sebanyak 8000 orang.
Tuntutan
ketiga, supaya delegasi dari
darat turut serta dalam kapal menuju Makassar untuk
melanjutkan perundingan, tetapi
ditolak oleh Lapian. Untuk
keluar dari jalan buntu, maka delegasi Indonesia diberi kesempatan mengadakan referendum
melalui Kongres Rakyat
dalam waktu 24 ajam. Kongres
berlangsung 25 Februari
1946 dihadiri oleh semua tokoh yang mewakili organisasi,
golongan dan lapisan masyarakat.
Timbullah
perbedaan pendapat satu sisi ada
suara kompromi, tetapi Mat Canon wakil PPI secara
lantang menegaskan bahwa “Bendera Merah-Putih harus tetap dikibarkan: lebih
baik daerah ini tenggelam didasar samudera, dari pada sang Dwi-Warna dilarang
berkibar”. Nada ini menguasai rapat,
Chris Pontoh merumuskan dua alternatif:
1. Bendera merah-putih dikibarkan
bersama-sama dengan bendera Sekutu,
seperti berlaku di Jakarta, sembil
menunggu penyelesaian lebih lanjut pada tingkat pusat.
Kongres
rakyat memutuskan perundingan dengan Belanda dihentikan agar revolusi
kemerdekaan berjalan terus. Akibat dari
sikap pemuda dan NICA yang berbeda, sehingga gerakan
perlawanan terhadap Belanda yang dilakukan secara terang-terangan melalui
organisasi politik maupun gerilya berlangsung terus hingga terbentuknya Negara
Indonesia Timur (NIT). NIT dilahirkan melalui Konferensi Denpasar tanggal 8
Desember 1946 sebagai kelanjutan dari Konferensi Malino tanggal 15-25 Juli
1946. Selanjutnya pada tanggal 24
Desember 1946 adalah tanggal berdirinya Negara Indonesia Timur dengan ibu
kotanya Makassar dan Presidennya
diangkat Tjokorde Gede Rake Sukawati.
DAFTAR
PUSTAKA
Anak Agung Gde Agung.
Dari Negara Indonesia Timur ke Negara
Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. 1985.
Ali-Hadara. Profil Pejuang Sulawesi Tenggara.
Kendari: Laporan Penelitian Kerjasama Barida dan Unhalu. 2007.
Anonim. Sejarah
Daerah Sulawesi Tengah. Jakarta: Depdikbud. 1979.
Anonim. Lahirnya Tri. Devisi Hasanuddin di Sulawesi
Selatan dan Tenggara. Ujung Pandang: Tim Penelitian Sejarah Perjuangan
Rakyat Sulselra Kerja Sama Kodam XIV Hasanuddin, Unhas dan IKIP Ujung Pandang.
1983.
Anwar Hafid, dkk.
Sejarah Daerah Kolaka. Bandung:
Humaniora Utama Press. 2009.
Anwar Hafid dan Safruddin. Sejarah Daerah Konawe Utara. Bandung:
Alfabeta. 2014.
Audrey R Kahin (ed.). Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan.
Jakarta: Grafiti Perss. 1990.
A. Rahman Rahim.
Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis.
Ujung Pandang: Lembaga Penerbit UNHAS. 1985.
B.Bhurhanuddin. Sejarah Masa Revolusi Fisik Daerah Sulawesi
Tenggara. Jakarta: Depdikbud. 1980.
Christian Pelras. Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Forum
Jakarta Paris-Ecole Francaise d’Extreme-Orient. 2006.
Harun Kadir, dkk. Sejarah Perjuangan
Rakyat Sulawesi Selatan. Jakarta: Depdibud. 1982.
Harun Kadir, dkk. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi Selatan.
Ujung Pandang: Kerjasama Bappeda TK I Sul-Sel dengan UNHAS, 1984.
Kementerian Penerangan RI. Propinsi Sulawesi. Makassar: Djawatan
Penerangan RI Propinsi Sulawesi. 1953.
Lahadjdji Patang. Sulawesi
dan Pahlwan-Pahlawanya. Makassar: Yayasan
Kesejahteraan Generasi Muda Indonesia. 1975.
Manai Sophian.
Apa yang Masih Teringat. Jakarta:
Yayasan Mencerdaskan Bangsa Sulawesi Selatan. 1991.
Maulwi Saelan.
Dari Revolui ’45
sampai Kudeta ’66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa. Jakarta: Visimedia Pustaka. 2008.
Moh. Ali Fadillah
dan Iwan Sumantri. Kedatuan Luwu. Makassar:
Lembaga Penerbit Universitas Hasanuddin. 2000.
M. Sanusi Dg. Mattata. Luwu dalam Revolusi. Makassar: Yayasan Pembangunan Asrama Ikatan Pelajar
Mahasiswa Indonesia Luwu. 1967.
Mukhlis PaEni dan Kathryn Robinson (ed.).
Politik Kekuasaan dan Kepemimpinan di
Desa. Ujung Pandang: Lembaga Penerbit: UNHAS. 1985.
Mukhlis PaEni, dkk.
Sejarah Sosial Daerah: Mobilitas Sosial
Kota Makassar 1900-1950. Jakarta: Disjarahnitra Depdikbud. 1995.
Nugroho
Notosusanto, dkk. 30
Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949. Jakarta: Sekretariat Negara RI. 1985.
Nurhayati Nainggolan, dkk. Sejarah Revolusi Kemedekaan
Daerah Sulawesi Tengah. Jakarta: Depdikbud. 1982.
R.Z. Leirissa. Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan
Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar harapan dan Yayasan Malesung Rondor.
1997.
Sagimun MD, dkk. Perlawanan dan Pengasingan Pejuang
Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press. 1986.
Sanusi Daeng
Mattata. Luwu Dalam Revolusi. Makassar:
Yayasan Pembangunan Asrama Ikatan Palajar Mahasiswa Indonesia Luwu.
1967.
Sarita Pawiloy,
dkk. Sejaran
Perjuangan Angkatan 45 di Sulawesi Selatan 17 Agustus 1945-17 Agustus 1950.
Ujung Pandang: Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Propinsi Sulawesi Selatan. 1987.
Teuku H. Ibrahim Alfian. Perjuangan Datu Kerajaan Luwu Andi Djemma
dalam Menancapkan Pilar Begara Kesatuan Republik Indonesia dan Pengusulannya
sebagai Pahlawan Nasional. Dalam
Andi Djemma Pahlawan Nasional dari Bumi Sawerigading. Editor. A. Mattingaragau
T, dkk. Makassar: Unanda Press. 2003.
Willem Ijzereef. De Zuid-Celebes Affaire, Dieren. 1984.
NASKAH BUKU
PENYEBARAN BERITA PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA KE WILAYAH NUSANTARA
Sub-Tema:
BERITA
PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA DI SULAWESI DAN RESPONNYA
Oleh:
Anwar Hafid
Editor:
Prof. Dr. Taufiq Abdullah
Prof. Dr. H. Asyumardi Azra
Prof. Dr. Susanto Zuhdi
Dr. Mukhlis PaEni
Dr. H. Anhar Gonggong
DIREKTORAT SEJARAH
DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
2015
[1] Maulwi
Saelan. Dari Revolui
’45 sampai Kudeta ’66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa. Jakarta:
Visimedia Pustaka. 2008, hal. 41
[2] Nugroho Notosusanto, dkk. 1985. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949.
Jakarta: Sekretariat Negara RI, hal. 30.
[5] Lahadjdji Patang. Sulawesi dan Pahlwan-Pahlawanya. Makassar: Yayasan Kesejahteraan Generasi Muda Indonesia. 1975, hal. 59.
[6] Sarita Pawiloy, dkk.
Sejaran Perjuangan Angkatan 45 di
Sulawesi Selatan 17 Agustus 1945-17 Agustus 1950. Ujung Pandang: Dewan
Harian Daerah Angkatan 45 Propinsi Sulawesi Selatan. 1987, hal. 124.
[7] Ibid, hal. 139.
[13]Ali-Hadara. Profil
Pejuang Sulawesi Tenggara. Kendari: Laporan Penelitian Kerjasama Barisda
dan Unhalu. 2007, hal. 58.
[14]Sarita
Pawiloy, 1987, op cit, hal. 66.
[15] M. Sanusi Dg. Mattata. Luwu dalam Revolusi.
Makassar: Yayasan Pembangunan Asrama
Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu. 1967, hal. 215.
[17] R.Z.
Leirissa. Minahasa di Awal Perang
Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar harapan dan Yayasan Malesung
Rondor. 1997, hal. 118.
[20]Christian Pelras. Manusia Bugis
Makassar. Jakarta: Forum Jakarta Paris-Ecole Francaise d’Extreme-Orient.
2006, hal. 335.
[24] Anonim. Lahirnya
Tri. Devisi Hasanuddin di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Ujung Pandang: Tim
Penelitian Sejarah Perjuangan Rakyat Sulselra Kerja Sama Kodam XIV Hasanuddin,
Unhas dan IKIP Ujung Pandang. 1983, hal. 34.
[32] Teuku H. Ibrahim Alfian. Perjuangan
Datu Kerajaan Luwu Andi Djemma dalam Menancapkan Pilar Begara Kesatuan Republik
Indonesia dan Pengusulannya sebagai Pahlawan Nasional. Dalam Andi Djemma Pahlawan Nasional dari Bumi
Sawerigading. Editor. A. Mattingaragau T, dkk. Makassar: Unanda Press. 2003,
hal. 53.
[40] Mukhlis PaEni, dkk.
Sejarah Sosial Daerah: Mobilitas Sosial
Kota Makassar 1900-1950. Jakarta: Disjarahnitra Depdikbud. 1995, hal. 34.
[47] Ibid, hal. 160.
[53] R.Z. Leirissa. Minahasa
di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar harapan dan
Yayasan Malesung Rondor. 1997, hal. 133.
[57] Manai Sophian. Apa yang Masih Teringat. Jakarta: Yayasan Mencerdaskan Bangsa
Sulawesi Selatan. 1991, hal. 23.
[58] Audrey
R. Kahin (ed.). Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan. Jakarta: Grafiti Perss. 1990, hal. 72.
[59]
Kementerian Penerangan RI. 1953. Propinsi
Sulawesi. Makassar: Djawatan Penerangan RI Propinsi Sulawesi hal. 39.
[61] Anak
Agung Gde Agung. Dari Negara Indonesia Timur ke Negara Indonesia Serikat.
Yogyakarta: Gadjah Mada Press. 1985, hal. 57.
[63]Christian Pelras, 2006, op cit, hal. 332.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar