Minggu, 28 Juni 2020

BERITA PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA DI SULAWESI DAN RESPONNYA


BERITA PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA DI SULAWESI DAN RESPONNYA
Oleh : Anwar Hafid
A.    PENGANTAR
Ketika Bung Karno membacakan naskah proklamasi di teras rumahnya, Jl. Pengangsaan Timur No. 56 Jakarta, tanggal 17 Agustus 1945. Empat orang putra terbaik Sulawesi turut hadir pada peristiwa bersejarah itu. Mereka adalah Dr. G.S.S.J. Ratulangie, Andi Pangerang Daeng Parani, Andi Sultan Daeng Raja dan Mr. Andi Zaenal Abidin. Sehari sebelumnya mereka juga menghadiri pertemuan penting dirumah Laksamana Tadachi Maeda dan terlibat dalam kehangatan pertemuan itu. Kedatangan delegasi Sulawesi ke Jakarta adalah dalam rangka mengikuti sidang-sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Dr. G.S.S.J. Ratulangie dan Andi Pangerang Daeng Parani adalah anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mewakili Sulawesi sedang Andi Sultan Daeng Raja sekalipun bukan anggota PPKI, tetapi ia diutus oleh para pemimpin pejuang Sulawesi untuk mengikuti sidang-sidang PPKI di Jakarta, dalam kapasitasnya sebagai tokoh masyarakat Sulawesi (Selatan) yang sangat berpengaruh dan juga atas perannya sebagai anggota SUDARA (Sumber Darah Rakyat), sebuah organisasi perjuangan kemerdekaan Indonesia di Makassar yang sebelumnya dikenal dengan nama Ken Koku Doshikai. Sementara itu Mr. Andi Zaenal Abidin bertugas selaku sekretaris dari perutusan Sulawesi di PPKI. [1]
Selama berada di Jakarta, keempat utusan Sulawesi itu sangat aktif mengikuti berbagai kegiatan politik dan menghadiri acara-acara penting menjelang proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Mereka juga datang pada rapat dan pertemuan politik di hari-hari awal pasca kemerdekaan. Pada tanggal 18 Agustus 1945 mereka berempat mengikuti sidang hari pertama PPKI sehari setelah kemerdekaan Indonesia dan menjadi menjadi saksi hangatnya perdebatan pada sidang PPKI yang menentukan bagi perjalanan sejarah Indonesia kemudian. Pada sidang itulah disepakati untuk mengesahkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pemilihan Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada sidang itu juga dibicarakan tugas-tugas yang dibebankan kepada KNI (Komite Nasional Indonesia) dalam mekanisme pemerintahan Republik Indonesia.
Utusan Sulawesi tersebut juga mengikuti sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 dengan agenda khusus; Pembentukan perangkat pemerintahan, pengukuhan anggota-anggota kabinet, pembagian wilayah Republik Indonesia ke dalam delapan propinsi serta pengangkatan gubernur-gubernur disetiap propinsi. Satu diantaranya adalah pengangkatan Dr. G.S.S.J. Ratulangie menjadi Gubernur Sulawesi. [2]
Pada hari yang sama tanggal 19 Agustus 1945 sore hari segera setelah sidang PPKI Dr. G.S.S.J. Ratulangie dkk, segera bergegas kembali ke Sulawesi  dan mendarat dengan selamat disebuah lapangan terbang kecil di Bulukumba ± 160 KM selatan Kota Makassar. Sementara itu berita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang sampai ke Sulawesi hanya diketahui oleh segelintir orang saja yang secara terbatas memiliki radio. Berita kemerdekaan Indonesia barulah tersebar secara luas di Sulawesi pada tanggal 20 Agustus 1945 bertepatan dengan kedatangan kembali Dr. G.S.S.J. Ratulangie di Makassar.
Bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia khususnya anggota SUDARA kemerdekaan Indonesia adalah sebuah karunia Tuhan yang diberikan sebagai buah perjuangandan pengorbanan mereka, tetapi bagi Dr. G.S.S.J. Ratulangie yang telah berstatus sebagai gubernur Sulawesi mengisi kemerdekaan adalah sebuah perjuangan yang tak kalah beratnya.  Atas pengangkatannya sebagai Gubernur Sulawesi ia diberi mandat dan kekuasaan penuh tidak hanya sekedar mempermaklumkan diri secara formal sebagai Gubernur Sulawesi, tetapi juga kepadanya dituntut untuk segera membentuk KNI–D (Komite Nasional Indonesia Daerah) yang akan membantunya sebagai media pelaksana dalam menjalankan roda pemerintahan di Sulawesi. Dr. G.S.S.J. Ratulangie ditugaskan juga segera mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan dan menyiapkan kantor gubernur yang akan menjadi pusat kegiatan aparatur negara di Propinsi Sulawesi. Uraian tugas-tugasnya selaku gubernur Sulawesi, telah tertuang dalam amanah sidang PPKI 19 Agustus 1945.
Karena itulah maka pembentukan KNI-D di Sulawesi sangat mendesak karena dengan terbentuknya KNI-D, maka secara langsung dapat dikatakan peran, tugas dan tanggung jawab seorang gubernur telah berfungsi dan berjalan dengan baik. Dengan demikian maka secara de facto Republik Indonesia telah berdiri dan berkuasa di Sulawesi. Namun apa yang terjadi, rakyat Sulawesi kecewa karena merasa bahwa Dr. G.S.S.J. Ratulangie tidak dapat berbuat banyak dalam menjalankan perannya selaku gubernur. Keragu-raguan dan kehati-hatian sang gubernur dalam penataan administrasi pemerintahan berawal dari keragu-raguannya dalam hal pengambil alihan pemerintahan di Sulawesi dari tangan penguasa Jepang yang ketika itu sudah berstatus kalah perang dan tidak berdaya.
Sikap Dr. G.S.S.J. Ratulangie yang sangat hati-hati itu didasari oleh pertimbangan yang sangat dalam, terutama masalah keamanan Sulawesi, karena bagi Dr. G.S.S.J. Ratulangie, sebuah kekuasaan haruslah dilindungi oleh kekuatan bersenjata. Faktor utama itulah yang tidak dimiliki oleh Propinsi Sulawesi, karena bagi Dr. G.S.S.J. Ratulangie, dukungan yang besar dari berbagai organisasi pemuda dan badan-badan perjuangan di Sulawesi belum cukup dan belum dapat diandalkan sebagai perisai yang melindungi kekuasaan Republik Indonesia di Sulawesi. Baginya para pemuda bukan tentara yang terlatih dan mereka juga tidak memiliki persenjataan modern yang tangguh. Karena itu jika terjadi pertempuran bisa dibayangkan akibatnya.
Untuk itulah, maka Dr. G.S.S.J. Ratulangie telah mengutus dua orang tokoh pemuda pejuang Sulawesi ke Jawa, Moh. Saleh Lahade dan Manai Sophian untuk menemui Bung Karno agar pemerintah pusat dapat mengirim bantuan pasukan, senjata serta peralatan perang lainnya ke Sulawesi. Atas sikapnya yang hati-hati itu Dr. G.S.S.J. Ratulangie seakan tidak dapat menangkap kegelisahan para pemuda pejuang Sulawesi, yang ketika itu sudah berada dalam suasana revolusi yang hampir tidak dapat dibendung lagi. (Maulwi Saelan, 2008) Namun demikian tampaknya perbedaan pandangan antara para pemuda dengan gubernur Sulawesi tidak menyebabkan para pemuda dapat bertindak seenaknya tanpa sepengetahuan sang Gubernur, karena bagaimanapun juga Dr. G.S.S.J Ratulangie adalah seorang gubernur yang diangkat langsung dari pusat.
Sembilan bulan lamanya Dr. G.S.S.J. Ratulangie berjalan pada prinsipnya yang sangat hati-hati, penuh pertimbangan bahkan mungkin mendekati keragu-raguan, termasuk satu setengah bulan lamanya Sulawesi dalam keadaan vakum dari tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan 24 September 1945, atau sejak pernyataan kekalahan Jepang pada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945 hingga kedatangan Tentara Sekutu yang membawa serta NICA (Nederlandsch Indie Civil Administratie) di Makassar. [3]
Kedatangan Sekutu yang membawa NICA turut serta bersamanya ke Indonesia adalah sebuah babakan baru bagi sejarah Kolonial Belanda di Indonesia, karena ketika itu NICA menemukan realitas yang tidak diduga sebelumnya, ialah bahwa Nederlands Indie yang dulu sebagai negeri jajahannya, kini telah memproklamasikan diri sebagai negara merdeka dengan nama Republik Indonesia. Walaupun teritorialnya secara de facto hanya terbatas di Indonesia Bagian Barat terutama di Jawa dan Sumatera. Sementara di Indonesia Bagian Timur khususnya di Sulawesi kekuasaan Negara Republik Indonesia belum sepenuhnya berdiri, tetapi keadaan ini tidak berarti bahwa NICA dapat dengan mudah menguasai Indonesia bagian timur khususnya Sulawesi.
Hal ini terjadi karena di Sulawesi telah terbentuk organisasi-organisasi perjuangan kemerdekaan Indonesia yang sangat tangguh, karena itu untuk menguasai Sulawesi, memerlukan perjuangan yang berat. Atas dasar itulah NICA melakukan penekanan dan pendekatan kepada Dr. G.S.S.J. Ratulangie agar mau berdamai dengan NICA. Keadaan ini membuat Dr. G.S.S.J. Ratulangie menjadi sangat terpojok. Ia memang pernah mengutus Moh. Saleh Lahade dan Manai Sophian untuk meminta bantuan pasukan, senjata, dan peralatan militer agar segera dikirim ke Sulawesi untuk menjaga kedaulatan Republik Indonesia. Tetapi pasukan, senjata, dan peralatan militer yang ditunggu-tunggu tidak kunjung tiba. Karena itu ia memilih untuk berunding demi menjaga ketentraman Sulawesi sambil menunggu datangnya bantuan pemerintah pusat yang dimintanya. Walau akhirnya bantuan dalam jumlah yang sangat besar tiba di Sulawesi untuk mendukung idealisme Dr. G.S.S.J. Ratulangie, tetapi ketika bantuan itu tiba sang gubernur sudah ditangkap oleh KNIL dan dibuang ke Serui tanggal 5 April 1946.[4]

B.     Medium (alat penyebaran berita: surat kabar, radio, orang/tokoh langsung,  Kantor Berita Domei, tokoh PPKI, Pengiriman Delegasi)
1.      Penyebaran Melalui Tokoh PPKI dan Pengiriman Delegasi
Setiba Dr. G.S.S.J. Ratulangie di Makassar, langsung menginap di Hotel Empress bersama Mr. Andi Zainal Abidin selama seminggu di sini mengorganisir strategi perjuangan yang dimulai dengan penyebaran berita proklamasi, dan upaya membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kemerdekaan dan upaya mempertahankannya.
Selaku Gubernur Sulawesi,  menyadari bahwa Dr. G.S.S.J. Ratulangie posisinya amat sulit. Para pemuda menganggap tindakan gubernur terlalu berhati-hati. Oleh karena itu, para pemuda mulai merencanakan untuk merebut gedung-gedung vital, seperti stasiun radio dan tangsi polisi. Kelompok pemuda tersebut terdiri atas kelompok Barisan Berani Mati, bekas Kaigun Heiho dan pelajar SMP.
Segera setelah Dr. G.S.S.J. Ratulangie kembali ke Makassar, ia menyebarkan berita proklamasi dan menata pemerintahan sekaligus mengorganisir perjuangan rakyat mempertahankan kemerdekaan dalam wadah organisasi Pusat Keselematan Rakyat (PKR) yang dipimpin oleh Dr. G.S.S.J. Ratulangie, dengan menghimpun segenap tokoh-tokoh lintas etnis yang ada di Makassar, seperti:
1.      Lanto Daeng Pasewang dari Sulawesi Selatan
2.      Saleh Daeng Tompo dari Sulawesi Selatan
3.      Latumahina dari Maluku
4.      Soewarno dari Jawa
5.      Mr. Andi Zainal Abidin dari Sulawesi Selatan
6.      I.P.L. Tobing dari Sumatera
7.      W.S.T. Pondang dari Sulawesi Utara.[5]
Rakyat Sulawesi menyambut hangat berita proklamasi dan memberikan dukungan penuh kepada Dr. G.S.S.J. Ratulangie untuk melakukan konsolidasi pemerintah RI di wilayah Sulawesi, rakyat mendesak untuk mengambil alih kekuasaan dari Jepang, maka Dr. G.S.S.J. Ratulangie mengadakan diplomasi dengan pimpinan Tentara Jepang di Makassar, namun pihak Jepang tidak bersedia memberikan kekuasaan kepada Bangsa Indonesia karena takut kepada Sekutu yang akan segerah datang. Dr. G.S.S.J. Ratulangie menasehati para pemuda untuk tidak melakukan tindakan revolusioner melawan Jepang, demi mencegah pertumpahan darah dan meyakini bahwa Jepang akan segera meninggalkan Nusantara untuk selamanya. 
Penyebaran berita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia itu disebarkan secara formal, melalui Tim Dr. G.S.S.J. Ratulangie menuju ke Utara sedangkan Tim Lanto Daeng Pasewang ke Selatan. Dimaksudkan untuk menyusun kekuasaan dan menggalang persatuan dengan makin santernya berita pendaratan tentara Sekutu di Sulawesi Selatan. Dr. G.S.S.J. Ratulangie tetap mempertahankan pendiriannya untuk tetap menghindari perlawanan bersenjata dan menggantikannya dengan jalan diplomasi, berdasarkan suatu perhitungan yang matang.
Sebelum Gubernur Sulawesi Dr. G.S.S.J. Ratulangie menyampaikan secara resmi berita proklamasi, maka beberapa pemuka masyarakat yang dekat dengan prajurit Jepang telah mengetahui kabar penting itu. Ada yang mendengar langsung dari radio miliknya, ada pula lewat pemberitahuan tidak resmi dari orang Jepang. Hal ini hampir terjadi disemua kota-kota kecil di Sulawei Selatan, seperti: Pare-pare, Soppeng, dan Palopo. Selain itu, perlahan-lahan muncul semacam pusat-pusat kegiatan pemuda pendukung kemerdekaan masing-masing:
1.      Kota Makassar dan sekitanya;
2.      Kota Pare-pare dan sekitanya; dan
3.      Kota Palopo dan sekitarnya.
4.      Kota Watampone
5.      Kota Watangsoppeng, dan
6.      Kota Sengkang.
Di antara daerah-daerah tersebut, Bonelah yang menonjol, dikaitkan figur Andi Mappayukki selaku Raja Bone yang sejak awal tergabung dalam perjuangan mempersiapkan kemerdekaan dan Andi Pangeran Daeng Parani selaku putra Raja Bone (tokoh PPKI yang hadir dalam proklamasi kemerdekaan di Jakarta). Kedudukan Bone pada awal proklamasi, dapat disamakan dengan Bulukumba, dimana Andi Sultan Daeng Raja berada (tokoh yang hadir dalam proklamasi kemerdekaan di Jakarta).[6]   
Kesibukan para pemuda di Kota Makassar dalam mendukung Proklamasi kemerdekaan, menarik perhatian rakyat Gowa. Di Jongaya, pinggiran daerah Gowa berbatasan dengan Kota Makassar, di tempat ini sejumlah pimpinan pemuda mengadakan pertemuan. Pada akhir bulan Agustus 1945, rakyat mengibarkan  bendera Merah Putih di bawah pimpinan Abd. Rasyid Daeng Lurang. Pengibaran bendera merah putih dimulai di Kampung Pao-pao, sekitar makam Sultan Hasanuddin. Dijelaskan pula oleh pimpinan masyarakat di kampung itu tentang arti kemerdekaan kepada pemuda-pemuda di setiap kampung.
Pemuda Gowa di Katangka pada pertengahan September 1945, berusaha mencari senjata. Atas petunjuk Badollahi, beberapa pucuk karaben Jepang ditemukan dan juga beberapa pucuk pistol genggam. Hanya peluru senjata api itu amat kurang, sehingga manfaatnya pada masa itu tidak seperti yang di harapkan. Di Pannara, atas usaha Supu dkk, ditemukan juga senjata karaben Jepang. Dengan demikian, pemuda pendukung kemerdekaan di Gowa telah memiliki sekitar 10 pucuk senjata Karabeng Jepang, dan beberapa pistol. Pusat kegiatan pemuda ialah Katangka dan Tidung.
Meskipun kota kecil Sungguminasa kurang nampak kegiatan dukungan terhadap proklamasi, tetapi desa-desa lain di Gowa, penduduk bersemangat. Di Limbung, Pemuda Muhammadiyah kembali aktif, dengan Pandu Hisbul Wathan sebagai intinya. Hal yang sama nampak pula pada penduduk Kampung Pallangga, dan Barombong.
Dukungan penduduk di Daerah Takalar berpusat di Polombangkeng, pada akhir bulan Agustus 1945, kesibukan penduduk Kota Makassar mendukung proklamasi kemerdekaan samapai beritanya ke Polombangkeng. Ketika itu, Fakhruddin Daeng Romo, pemuda belasan tahun datang ke Polombangkeng dari Kota Makassar. Melalui Madinah Daeng Ngitung, kabar penting itu tiba pada Makkaraeng Daeng Manjarungi dan Syamsuddin   Daeng Ngerang. Pada hari itu juga di Polombangkeng Pajonga Daeng Ngalle menyatakan dukungannya terhadap proklamasi. Kemudian, raja menyampaikan perintah kepada pemuda dan sanak keluarganya agar: (a) menunjukkan kecintaan terhadap tanah air dan bangsa Indonesia, (b) siapkan seluruh rakyat polobangkeng untuk mempertahankan kemerdekaan, (c) bentuklah organisasi yang dapat menggalang massa, bersatu padu menghadapi segala kemungkinan yang akan menggangu kemerdekaan. [7]
Perintah Raja Polombangkeng itu membuka lembaran sejarah yang amat penting di daerah itu. Rakayt Polombangkeng bangkit dan bersiap membela proklamasi. Ikrar kebulatan tekad dipertegas dalam semboyan: “siri na pace” yang bermakan tanggung jawab yang tinggi dan solidaritas yang amat dalam. Pada awal September 1945, segenap keluarga raja berintikan Syamsuddin Daeng Ngerang, Makkaraeng Daeng Manjarungi, Madinah Daeng Ngitung, dan Fakhruddin Daeng Romo. Upacara keteguhan hati raja bersama anggota keluarga dan sahabat terdekat diadakan di Bontokadatto. Kampung itu terdapat Balla Lompoa atau Istana Raja, Adalah tidak salah bila dikatakan Distrik Polombangkeng merupakan “wilalayah RI” yang pertama terbentuk di Sulawesi Selatan.[8]
Dukungan terhadap kemerdekaan semakin tegas, dengan kedatangan Lanto Daeng Pasewang pada pertengahan bulan September 1945. Kepada utusan Gubernur Sulawesi itu, disampaikan bahwa raja dan rakyat Polombangkeng telah berkebulatan tekad mendukung proklamasi kemerdekaan. Tindakan nyata rakyat Polombangkeng nampak pada rapat dihadiri massa dalam jumlah yang cukup besar jumlahnya. Rapat tersebut berlangsung di lapangan terbuka, pada tanggal 18 September 1945. Ketika diadakan penyematan  lencana merah putih di dada baju masing-masing. Para pemuda, murid-murid sekolah usia 12 tahun ke atas, bahkan rakyat biasa ramai-ramai menyematkan lencana. Pada saat itu pula, mulai di resmikan “salam perjuangan” dengan ucapan MERDEKA sambil mengancungkan tangan ke atas.
Di Takalar sampai aparat NICA datang di tempat ini, dukungan terhadap kemerdekaan cukup besar. Hal ini didorong oleh gerakan pemuda dan Raja Polombangkeng serta usaha Moh. Saleh Lahade, membentuk organisasi PKPNI (Penjaga Keamanan Pemerintahan Nasional Indonesia). Wadah perjuangan itu didirikan pada pertengahan bulan September 1945, diketuai Moh. Saleh Lahade. Berhubung terjadi dualisme pusat gerakan dengan adanya latihan di samping Polombangkeng, maka Sale Lahade menghentikan aktivitas PKPNI di Takalar, dan pada bulan Oktober 1945, semua kegiatan pemuda di pusatkan di Polombangkeng. [9]
            Dukungan kemerdekan oleh pemuda dan masyarakat Jeneponto bermula dari organisasi SUDARA, diperkuat kunjungan Lanto Daeng Pasewang. Hasil kunjungan Lanto ialah pengambil-ahlihan kekuasaan dari Jepangpada awal September 1945, pimpinan SUDARA Malajong Daeng Liwang bersama pemuda militan seperti: Anwar Said, Abd. Aziz Tutu, Ahmad Abdullah, mengorganisir para pemuda. Kecuali itu tampil  Kepanduan Hisbul Wathan dari Muhammadiyah Jeneponto. Kekuatan pendukung kemerdekaan bertambah, berhubung Raja Binamu Haji Mattewakkang Daeng Raja dengan sepenuh hatimendukung proklamasi 17 Agustus 1945. Pernyataan dukungan diikrarkan dalam suatu rapat dihadiri sekitar 1000 di lapangan terbuka Jeneponto.
Di Bantaeng (Bonthain) SUDARA di bawah pimpinan Andi Mannapiang bersama anggota pengurus lainnya mengorganisir dukungan terhadap proklamasi. Pada masa kekuasaan Jepang, cukup banyak pemuda Bantaeng memasuki latihan kemiliteran. Beberapa orang anggota Boei Teisin Tai dibentuk latihan khusus yang dipersiapkan untuk pertempuran. Wanita dilatih dalam Fujin Kai, dengan materi latihan pertempuran garis belakang. Andi Mannapiang menjalin hubungan dengan Raja Gantarang Andi Sultan Daeng Raja di Bulukumba. Andi Sultan yang menampung pemuda untuk latihan khusus.
Jalinan hubungan Andi Mannapiang dan pimpinan pemuda republic Bantaeng dengan Andi Sultan Daeng Raja berlangsung terus. Karena itu pengaruh Andi Sultan cukup kuat di Bantaeng. Atas petunjuk Andi Sultan, maka Andi Mannapiang menyusun pemerintahan  RI sambil menunggu berita dari Kota Makassar. Atas dasar itu sejak tanggal 27 Agustus 1945, Andi Mannapiang menyerukan kepada penduduk agar mengibarkan bendera merah putih.
Semangat bertambah kokoh, berhubung beberapa tokoh kemerdekaan dari Makassar ke Bantaeng, mereka tiba pada awal Septembar 1945 yang terdiri dari Lanto Daeng Pasewang, Manai Sophian, A.N. Hajarati, A. Majid, dan Achmad Massiara. Andi Mannapiang sebagai Raja Bantaeng yang ditemui tokoh  politik itu, segera menyatakan bahwa Bantaeng sebagai wilayah RI. Melihat gejala para pemuda akan bertindak, maka pasukan Jepang meninggalkan Bantaeng, mereka melarikan diri ke gunung-gunung dan semua persenjataan milik Jepang dibawa serta sebelum dirampas oleh pemuda.
Di daerah kediaman Andi Sultan Daeng Raja Bulukumba, gerakan kemerdekaan cukup menonjol. Andi Sultan yang juga menjadi Raja Gattarang, suatu kerajaan kecil di Bulukumba sejak masa pemerintahan Jepang sudah sering kali menyelipkan ide kemerdekaan dalam setiap pidatonya. Ia membuka pintu berkembangnya pertahanan kemerdekaan seperti: Muhammadiyah, PNI, dan organisasi SUDARA dibentuknya. Melalui organisasi itu, dukungan terhadap kemerdekaan dibina. Ketika berita kemerdekaan dibawa oleh Andi Sultan dari Jakarta, 19 Agustus 1945, tokoh pergerakan dan organisasi pemuda menyambut dengan amat gembira.
Para pemuda di Daerah Sinjai pada awal kemerdekaan tampil dan konsekuen atas pernyataan dukungan mereka terhadap proklamasi pemerintahan RI Daerah Sinjai terbentuk. Kepala pemerintahan RI yang pertama ialah Andi Mappotaba, dibantu oleh Andi Indar, dan Andi Jayalangkara. Dengan demikian kevakuman kekuasaan setelah pemerintah militer Jepang menyerah kepada Sekutu diisi oleh pemerintah RI yang berlangsung sampai munculnya NICA pada pertengahan bulan Oktober 1945.
Di Selayar pulau kecil di sebelah selatan agak dekat dengan Bulukumba, dukungan rakyat dibuktikan pada tanggal 10 Oktober 1945, mereka menurunkan bendera Belanda dan menaikkan bendera merah putih. Pelopor kemerdekaan yang disegani rakyat Selayar ialah Aruppala. Wadah organisasi yang mempersatukan pendukung kemerdekaan, PKR (Perkumpulan Kedaulatan Rakyat ) yang dibentuk diketuai oleh Aruppala, maka sejak hari itu bendera merah putih berkibar di ibu  kota Selayar. [10]
Kota kecil yang terdekat di sebelah utara Makassar ialah Maros, pusatnya di Desa Turikale di bawah kepeloporan Karaeng Turikale dan Abd. Hamid Daeng Manassa. Ia juga menjabat sebagai pimpinan organisasi SUDARA di Maros pada akhir kekuasaan Jepang. Berita kemerdekaan yang diketahui umum pada akhir Agustus 1945, dengan cepat tiba dan meluas di Maros. Di Kassi Kebo masih dalam Kota Maros, Abd. Hamid Sahaban Daeng Pabeta memimpin rapat untuk menyatukan gerakan dalam mendukung dan mempertahankan kemerdekaan. Pertemuan itu dihadiri tidak kurang dari 120 orang pemuda, seperti: M. Tajuddin Daeng Masiga (karaeng), Abd. Kamaruddin Sahban, Abd. Hamid,  H. Muh. Kasim, Mansyur Iskandar. Sementara itu, Mania Sophian dari Makassar mengundang 25 orang tokoh-tokoh utama pejuang melakukan pertemuan tertutup di Kantor Karaeng Turikale. Pertemuan itu membahas tentang langkah-langkah yang akan ditempuh dalam usaha mempertahankan kemerdekaan.

2.      Pemberitaan Melalui Media Radio
Selain itu berita radio dan informasi dari prajurit-prajurit Jepang yang bersimpati terhadap perjuangan Bangsa Indonesia. Di Soppeng, berita kemerdekaan mulai dibicarakan secara berbisik sejak tanggal 22 Agustus1945. Kemudian, setelah organisasi PNI (Pemuda Nasional Indonesia) terbentuk atas inisiatip Andi Mahmud, berita kemerdekaan tersebar luas. Andi Mahmud yang memiliki pesawat radio sempat mendengar adaya proklamsi itu. Ketik itu, ia menjabat sebagai Kepala Distrik Liliriaja Onderafdeling Sopeng. Di Kota Pare-pare, Andi Abdullah Bau Masspe dapat mendengar berita proklamasi Kemedekaan melalui radio miliknya, sehingga dengan cepat dapat menyebarkan ke segenap kerabat dan rakyat, dan selanjutnya Andi Abdullah Bau Masspe menjadi salah seorang pelopor pendukung kemerdekaan diantara para raja dan bangsawan yang ada di Sulawesi Selatan.
Berita Proklamasi 17 Agustus 1945 di Kolaka diterima dari orang Jepang yang mendengar melalui radio, yaitu oleh Kabasima Komandan Tentara Jepang yang bertugas di daerah pertambangan Nikel Pomalaa-Kolaka. Patut dicatat bahwa Kabasima Taico yang kemudian berganti nama menjadi Mansur bersama temannya yang dikenal dengan nama Sukri tidak mau dipulangkan ke Jepang bersama tawanan peran dan ikut berjuang bersama pemuda Kolaka menentang pendudukan Belanda di Kolaka Utara (Lasusua) mereka mendirikan gerakan Kipas Hitam untuk menentang NICA. [11]
Kolaka sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Luwu para pemudanya telah melakukan langkah maju, karena sejak tanggal 18 Agustus1945, membentuk organisasi pemuda militan, bernama GKR (Gerakan Kebangunan Rakyat). Wadah itu dibentuk atas izin Kabasima (AL). Jepang yang bertugas di wilayah pertambangan Nikel Pomalaa. Pimpian GKR ialah M. Jufri Tambora, dibantu oleh Andi Punna, Ali Kamri bersama 11 orang. Dari pihak Jepang duduk sebagai penasehat: Kapten Kabasima dan Kapten Fujiyama. Dari pihak Jepang, telah diperoleh informasi perubahan situsai, termasuk kekalahan Jepang kepada Sekutu dan berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Demikian pula, jalur lalulintas laut di Teluk Bone antara Luwu dan Kolaka (Mincarangapa) tidak pernah berhenti. Dengan demikian, pada tanggal 20 Agustus 1945, berita proklamasi kemerdekaan dari Palopo sudah sampai pada para pemuda GKR dan masyarakat luas di Kolaka karena dibawa pula oleh para perantau yang baru datang dari Palopo. Atas dasar itu, M Jufri Tambora yang masih memiliki hubungan keluarga dengan bangsawan Luwu, berangkat menuju Palopo. Tujuannya, ialah untuk mendapat berita resmi seikap Raja Luwu terhadap proklamasi kemerdekaan bangsa Insonesia. Jufri Tambora kembali ke Kolaka pada pertengahan September 1945 membawa kepastian sikap Raja Luwu terhadap kemerdekaan itu. [12]
Turut sertanya beberapa orang Jepang dalam perjuangan menentang Belanda/NICA menggambarkan betapa jauhnya oknum tentara Jepang membantu mendirikan kekuasaan RI di  Sulawesi Tenggara. Di Kendari berita Proklamasi mulai diketahui dari kalangan Kaigun dan Heiho yang disampaikan juga oleh Tentara Jepang yang bertugas memimpin Heiho tersebut yaitu Idie Heiso dan Sadamitsu Heiso.

3.      Peran ParaTokoh
Pengibaran bendera merah putih di Kota Makassar pada hari Senin 17 September 1945 sekitar pukul 09.00 diinspirasi oleh kedatangan seorang tokoh PSII Sulawesi bernama Jusuf Samah dari Jawa yang menceritakan tentang perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan, maka para pemuda dan tokoh yang mendengar menjadi berkobar semangat patriotisnya untuk segera mengibarkan bendera merah putih, maka bertempat di Halaman Perguruan Islam di Jalan Datu Museng No. 8 Makassar dilaksanakan pengibaran merah putih oleh 2 orang pelajar sekolah itu yang disaksikan seluruh pelajar, segenap masyarakat sekitar dan disaksikan beberapa orang Bekas Heiho yang menyamar dengan membahwa geranat tangan. Para pelajar dengan penuh percaya diri, mereka memakai lencana merah putih di dadanya. Peristiwa ini dipimpin oleh Kepala Perguruan tersebut bernama Ustaz Gazali Sjahlan, 
Walaupun kemerdekaan Indonesia sudah diplokamirkan 17 Agustus 1945 tetapi tokoh-tokoh perjuangan di Bolaang Mongondow belum melihat naskah proklamasi itu. Untunglah ada seorang penduduk Desa Molinow yang menjadi guru di SD Molibagu (Bolsel) bernama Siata Paputungan yang memperoleh salinan naskah proklamasi yang berasal dari Gorontalo, maka dengan berjalan kaki ia datang ke Desa Molinow memperlihatkan naskah proklamasi kepada tokoh PSII.  Maka tokoh-tokoh PSII didukung bekas pemuda Heiho dan beberapa anggota tentara Jepang yang tidak mau dipulangkan ke tanah leluhurnya pada tanggal 19 Desember 1945 datang mengibarkan bendera Merah Putih di lapangan Desa Molinow. Pengibaran Merah Putih didukung Lettu Hirayama yang pagi itu bermarkas di rumah JFK Damopolii yang akhirnya markas Lettu Hirayama dikepung Polisi Belanda yang bermarkas di Kotamobagu pimpinan Lettu Kambey, dan Kambey terkena tembakan di paha, sehingga polisi Belanda mundur kembali ke markasnya di Kotamobagu.
Di Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara, berita proklamasi dibawa oleh para pelayar yang baru datang dari Jawa dan Sumatra seperti yang dilakukan oleh La Ola yang pada bulan September 1945 di bawah Komando BKR Laut pimpinan Mayor S. Daeng Mangatta berlayar ke Singapura dan bertemua dengan Sumitro Djojohadikusumo, mereka sepakat memuat senjata dari Singapura ke Jawa, dalam perjalanan pulang dari Singapura pada bulan September 1945, mereka singgah di  Tanjung Pinang, dan kemudian mendapat tugas tambahan menyelamtkan Soepardjo Rustam  dari Rumah Tahanan di Tanjung Pinang menuju ke Cirebon selanjutnya ke Ambarawa Jawa Tengah. La Ola juga terlibat dalam perjuangan melawan Sekutu/NICA pada bulan November 1945 di Surabaya.[13]
Di Toli-Toli pada masa awal proklamasi kemerdekaan rakyat tak mengetahuinya. Karena seringnya mendapat pemboman Sekutu, maka rakyat berpencar menyingkir ke Desa-desa di luar Toli-Toli. Sekitar pertengahan bulan Oktober 1945 Mohammad Mahmud dan Ahmad Mahmud datang dari Gorontalo diutus oleh Nani Wartabone membawa bendera Merah Putih ke Daerah Buol. Bendera tersebut dikibarkan di Leok selama 3 minggu.
Berita proklamasi kemerdekaan di Daerah Sulawesi Tengah mula-mula terdengar dan diketahui oleh tokoh-tokoh pejuang di Poso dari pemberitaan orang Jepang sendiri. Pada tanggal 15 Agustus 1945 di atas Daerah Poso pesawat-pesawat Sekutu menyebarkan pamflet berwarna kuning berisikan pemberitahuan bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat. Oleh kepala Kampung Malei (bagian kerajaan Tojo) bernama Abu Maloco, secara rahasia selembar dari pamflet itu dikirimkan kepada Abdul Latief  Mangitung di tempat persembunyiannya di atas kampung Malei karena ia menjadi buronan polisi Jepang sejak peristiwa Gerakan Merah Putih tahun 1942 di Ampana-Tojo. Setelah membaca isi pamflet tersebut Abdul Latief Mangitung berangkat ke Poso pada tanggal 16 Agustus 1945 untuk mengetahui dari dekat situasi yang sebenarnya dan bermalam di rumah Lanokang.  Pada tanggal 17 Agustus 1945 kira-kira jam 15.00 sore Abdul Latief Mangitung dikunjungi di tempat penginapannya oleh seorang perwira Jepang yang dikawal oleh dua orang anggota Heiho asal Sulawesi Selatan bernama Saleh Topetau dan Djafar.  Perwira Jepang itu mengatakan bahwa “bangsa Indonesia sudah merdeka“. Mula-mula berita ini dianggap hanya pancingan Jepang terhadapnya, sehingga ia tidak berani menanggapinya.  Baru setelah dua orang Heiho membenarkan berita itu dengan menyatakan bahwa mereka  berduapun langsung mendengar berita proklamasi dari radio milik Jepang sewaktu mereka sedang bertugas, barulah berita itu diyakini kebenarannya.
Sementara itu dari keterangan I Latanco Talamoa diperoleh penjelasan bahwa berita proklamasi diketahuinya dari seorang tentara Jepang kenalan baiknya bernama Nakamura dari Angkatan Darat. Setelah mendengar dari radio tentang proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Nakamura dengan segerah ke rumah I Latanco Talamoa dan berkata; “Jepang sudah kalah, tapi Indonesia sudah merdeka menghadapi Belanda. Belanda, Amerika ganti Jepang.” Ketika I Latanco Talamoa bertanya : “Mengapa begitu?” Dijawab oleh tentara Jepang tersebut: “Ada berita dari Batavia, Indonesia ada proklamasi kemerdekaan melalui radio oleh Sukarno-Hatta”.[14]
Menurut catatan harian dari R.G. Ratupamusu, tidak lama sesudah berita proklamasi didengar di Poso, maka pada tanggal 25 Agustus 1945 tibalah di Poso utusan Gubernur Sulawesi Dr. G.S. S.J. Ratulangi dari Makassar melalui jalan darat dari Palopo ke Poso. Utusan tersebut adalah A.N. Hajarati dan Hamzah Ilahude untuk membentuk Pemerintahan Nasional di Poso serta memberi penerangan tentang telah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.[15]
Pada saat kedatangn A.N. Hajarati dan Hamzah Ilahude inilah bendera Merah Putih dinaikkan diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Diadakanlah pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat dihadiri sekitar 40 orang. Pada pertemuan itu dibentuk Dewan Nasional dan Dewan Pertahanan Nasional dengan mengangkat Wongko Lemba Talasa sebagai Kepala Pemerintahan Nasional Wilayah Poso. Untuk Dewan Pertahanan Nasional dipimpin Ibrahim Muhammad, dan sebagai delegasi utusan ke Palu untuk membawa dokumen propaganda Merah Putih/lambang Merah Putih dipilih R.G. Datupamusu.
Ada 9 dokumen/surat yang harus dibawanya ke Palu, masing-masing untuk: (1) Raja Parigi: Tagunu, (2) Raja Tawaeli: Lamakampali, (3) Raja Palu: Janggola, (4) Raja Banewa: Rohana Lamarauna, (5) Raja Biromaru: Lamasaera; (6) Raja Kulawi: Djiloi, (7) Raja Moutong: Kuti Tombolotutu, (8) Kepala Pemerintahan Negeri Palu: Tjatjo Ijazah, dan (9) Kepala Polisi di Palu.  Menyusul pada bulan November 1945 tiba lagi utusan Pemuda Republik Indonesia (PRI) dari Palopo ke Poso melalui jalan darat. Utusan tersebut terdiri dari M. Landau selaku pimpinan rombongan, bersama Umar Abdullah dan Nur Apala. Tujuannya ke Sulawesi Tengah umtuk membantu cabang PRI di Poso sambil mengadakan pertemuan untuk meberikan penerangan tentang proklamasi kemerdekaandan tugas-tugas bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan.
Dari Poso M. Landau dengan rombongannya ke Ampana, Bunta dan Pagimana. Di Ampana Raja meminta M. Landau dan kawan-kawannya memberikan penerangan kepada rakyat Ampana dan sekaligus mengibarkan bendera Merah Putih.  Pada saat M. Landau dan kawan-kawan tiba di Bunta mereka disambut dengan hangat oleh masyarakat setempat. Begitu pula ketika mereka tiba di Pagimana, mereka mendapat kesan tokoh-tokoh politik dan masyarakat di tempat itu memang telah memiliki kesadaran dan jiwa nasionalisme yang telah mendalam karena sudah mengalami perkembangan sejak zaman Belanda sampai zaman Jepang. Mengenai sikap Jepang terhadap ini semua, mereka hanya diam saja, akan tetapi di Poso, Jepang tidak melarang pemuda mengambil senjata yang sudah terkumpul sambil mengatakan: “Indonesia Senjata boleh curi-curi “.[16] Pada waktu itu pimpinan pemuda di Kota Poso adalah Sidik Utina, Yakob Lamadjuda dan W.L. Talasa.

4.      Penyebaran Berita Proklamasi Melalui Media Majalah/Koran
Pernyataan kemerdekaan yang disampaikan oleh Gubernur Dr. G.S.S.J. Ratulangie, juga dimuat harian Pewarta Selebes pada tanggal 29 Agustus 1945. Melalui pemberitaan Koran ini, sehingga para kaum terpelajar semakin meningkatkan semangat nasionalisme dan patriotismenya, mereka rela berkorban untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan.
Sebelum Oktober  1945, Tondano menjadi ibu kota pemerintahan sipil Jepang untuk Sulawesi Utara dan Tengah. Markas tentara Jepang yang terakhir ialah di Tonsea-Lama. Panglima Terakhir Laksamana Hamanak berada dalam tahanan tentara Sekutu di Manado untuk diadili. Di kota ini NICA tidak menempatkan pos militer, hanya ada sebuah Detasemen Polisi. Markas pemuda terdapat di Kampung-Jawa dengan pemimpin-pemimpin pemuda Wim Pangalila dan Rahmat Pulukadang.  Untuk melebarkan barisan pemuda dan front perjuangan, telah ditugaskan pemuda-pemuda Andaria Tatehe ke Sangir-Talaud, Pon Mokodongan dan Hasan Usman ke Gorontola. Dikirim pula tenaga-tenaga penghubung ke Donggala dan Poso.
Bagi pemuda Minahasa dalam mendukung proklamasi RI, maka pada tanggal 8 Oktober 1945 mendirikan organisasi Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BPNI). Suatu media penerangan dan propaganda dilancarkan oleh BPNI dengan penerbitan majalah yang bernama “CATAPULT” dan “Suara Indonesia Moeda”, di bawah asuhan Chris Pontoh dan John Rahasia. Catapult berbahasa Belanda karena masyarakat terpelajar umumnya berbahasa Belanda. [17]Melalui media penyiaran ini, maka rakyat dapat mengikuti keadaan perjuangan di Jawa dan pembangkitan semangat untuk berpartisipasi. Sumber-sumber berita diperoleh dari Dokter Senduk dan Dr. W.J Ratulangi yang menangkapnya dari pesawat-pesawat radio yang ditingkalkan oleh dinas PHB-Jepang.

5.      Penyebaran Berita Proklamasi Melalui Kantor Berita Domei
Sesungguhnya  sudah sejak bulan Agustus para pemuda Minahasa bangkit menyambut Proklamasi Kemerdekaan yang di kumandangkan di Jakarta pada tanggal 17 agustus 1945. Berita Proklamasi pertama kali diketahui pada tanggal 18 Agustus 1945. A. S. Rombot dan A. Siga yang ketika itu bertugas di Markas Angkatan Laut Jepang di Tondano sebagai markonis, mendengar berita itu yang disiarkan oleh Kantor Berita Jepang (Domei) di Tokyo. Berita yang sangat penting itu hanya diselipkan di antara berita-berita lain mengenai bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, kapitulasi Jepang (10 Agustus), perintah gencatan senjata yang dikeluarkan oleh Kaisar Jepang, dan sebagainya. Kedua pemuda itu lalu menyampaikan berita itu antara lain kepada Wangko F. Sumantri yang ketika itu menjabat sebagai Komandan Benteng Pertahanan Tanah Air di Tondano. Sebab itu tidaklah mengherankan kalau para pemuda di Tondanolah yang memulai gerakan pembelaan Proklamasi itu.
Kegiatan para pemuda di Tondano pertama-tama tampak di Sekolah Kepolisian (Nippon no Tokibetsu) yang didirikan pada masa pendudukan Jepang di sebuah gedung gereja Advent di Rerewoken (Tondano). Jumlah siswanya adalah sekitar 70 orang yang rata-rata berusia 17 dan direkrut dari seluruh penjuru  Minhasa, anatar lain Alex Lelengboto, Frans Karepouan, John Somba, Adolf Wungow dan Karinda. Diantara para gurunya terdapat juga orang Indonesia seperti Samsuri, Rusman, dan Massu. Segera setelah menerima berita baru dari Sigar-Rombot, pada tanggal 19 Agustus 1945 para pelajar di sekolah Kepolosian di Tondano itu mengadakan apel dan menaikan Merah-Putih serta menyanyikan Indonesia Raya.
Badan pemerintah Sementara (Komite Tenaga Rakyat) dibawah pimpinan E.H.W Pelengkahu kemudian memutuskan agar pada tanggal 23 Agustus 1945 Merah Putih dikibarkan serentak di beberapa tempat di Minahasa, seperi Tondano, Kawangkoan, Kombi, dan Sonder.[18]

6.      Perjuangan Putra Sulawesi di Jawa
Menjelang proklamasi kemerdekaan, para pemuda yang berasal dari Sulawesi terlibat dalam kegiatan persiapan kemerdekaan, termasuk dalam wadah BPUPKI seperti Mr. A.A. Maramis sebagai anggota BPUPKI, ia duduk dalam Panitia Sembilan, yang diketuai oleh Ir. Sukarno dan wakilnya Drs. Mohammad Hatta, mereka bekerja merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Beliau turut menandatangani rumusan ini pada tanggal 22 Juni 1945. Rumusan Pembukaan UUD 1945 ini kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta.
            Mencermati kegiatan putra asal Sulawesi di Jawa pada masa perjuangan kemerdekaan yang pada akhirnya mereka bersatu dalam brigade XVI, di dalam perkembangannya dapatlah dibagi menurut dan laskar kegiatan mereka, yaitu:
1.      Di Jawa Tengah pimpinan Kahar Muzakar
2.      Di Jawa Timur (Malang) Angkatan Darat pimpinan Warouw
3.      Di Jawa Timur (Lawang) Angkatan Laut pimpinan Aris dan Hamzah Tuppu
4.      Di Jawa Timur (Porong) Angkatan Kepolisian pimpinan M. Jasim.[19]
Kahar Muzakar bertambah menarik perhatian ketika berhasil mendapat izin untuk membebaskan narapidana Suku Bugis Makassar yang telah menjalani hukuman dua zaman di penjara-penjara Nusa Kambangan, Cipinang Jakarta, Sukamiskin Bandung, Ambarawa dan Sragen. Para narapidana dua zaman ialah mereka yang dihukum pada zaman Hindia Belanda dan masih menjalani hukumannya pada masa pendudukan Jepang. Mereka ini terdiri dari orang-orang yang dihukum karena membunuh. Di Asrama Pingit lebih dahulu sudah ada perantau-perantau/pelajar-pelajar Bugis-Makassar yang dilatih untuk menjadi prajurit, antara lain Ukas Arifin, Muhamadong, Hasyim Komba, Arsyad, Ale Abdullah, Moh. Said dan lain-lain.
Kemudian para tahanan yang baru dibebaskan jumlahnya lebih dari 1000 orang secara bergelombang dididik jiwanya dan dilatih untuk menjadi prajurit tanah air di asrama ini, sebelum mereka diterjunkan ke dalam pertempuran. Sedang para anggota senior dimasukkan untuk pendidikan opsir antara lain: KS. Gani, Puddu Mas’ud, H. Moh. Idrus G.P, Daeng Mangatta dan lain-lain. Mereka ini bersama pelarian dan perantau yang kemudian datang di Jawa dari Sulawesi Selatan, merupakan pasukan Kahar Muzakar.
Kegigihan Kahar Muzakkar memperjuangkan para tahanan menjadi kader-kader pejuang republic, tidak berhenti dalam periode ini, karena pada tahun 1951 kembali Kahar Muzakkar menyatakan bahwa seluruh pemuda pejuang/gerilyawan harus diangkat menjadi prajurit TNI, namun pada bulan Maret 1951, berdasarkan kesepakatan sementara, para gerilyawan dilebur menjadi Corps Tjadangan Nasional (CTN) yang terdiri atas 5 batalyon, sambil menunggu hasil seleksi mereka, yang layak diterima dalam kesatuan tentara dan yang tidak lulus seleksi, kembali ke tengah masyarakat. Kondisi inilah yang ditentang Kahar Muzakkar, sehingga sejak 17 Agustus 1951 ketika diadakan upacara penggabungan pasukan, Kahar Muzakkar sudah tidak hadir, dan selanjunya mereka kembali ke hutan. Sejak tahun 1952 Kahar Muzakkar menerima tawaran Pimpinan Darul Islam (DI) Kartosuwirjo untuk bergabung melawan pemerintah Jakarta dan menerima Jabatan Komandan Divisi IV Hasanuddin Tentara Islam Indonesia (TII).[20]
Aksi tersebut, kelak dikenal sebagai Pemberontakan DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tenggara yang berlangsung sampai tahun  tahun 1962, ketika Kahar Muzakar tertembak mati pada awal Februari 1962 di tepi Sungai Lasolo oleh Koptu Sadeli dari anggota Komando Operasi Kilat yang dipimpin oleh Kolonel Solichin G.P.[21]
Pada bulan Januari 1946 tibalah di Yogyakarta dua orang tokoh pemuda Sulawesi Selatan, yaitu Andi Mattalatta  dan Saleh Lahade. Kedua tokoh ini bertemu dengan Presiden Republik Indonesia untuk melaporkan keadaan di Sulawesi dan melaporkan usulan Gubernur Ratulangie, mereka diutus untuk: (1) meminta bantuan pasukan dan persenjataan kepada Pemerintah Pusat di Yogyakarta, (2) menyampaikan resolusi raja-raja yang menolak kerjasama dengan NICA.
Pada tanggal 25 Januari 1946, presiden mengeluarkan dekrit menggantikan nama TKR menjadi Tentara Republik Indonesia. Kemudian disusul dengan suatu perombakan besar-besaran organisasi ketentaraan. Pada tanggal 21 Juni 1946 menghadaplah ke MBT Yogyakarta 4 orang tokoh-tokoh pejuang Sulawesi Selatan ialah Kahar Muzakar, Andi Mattalatta, Mas’ud, dan Muhamadong dengan diantar oleh Kol. Martono Subroto, keempat tokoh ini mengusulkan TRIPS (Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi). Usul diterima dan tak lama kemudian keluarlah penetapan dari Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk pembentukan TRIPS dengan tugas menyelenggarakan ekspedisi ke daerah-daerah seberang yang telah diduduki oleh Belanda. Untuk kepentingan ini, maka bintara-bintara atau opsir-opsir berasal dari Sulawesi Selatan yang berada diberbagai kesatuan dipanggil untuk menggabungkan diri ke dalam  TRIPS. Antara lain yang datang dari Jawa Barat (Siliwangi), Overste Sarifin, Letnan A. Latief, Mayor Mas’ud, Sersan Syamsul Bahri dan Kopral PT. (Polisi Tentara) Bahar Mattaliu.
            Sebagai komandan TRIPS diangkat Kahar Muzakkar dengan pangkat Letkol, Andi Mattalatta sebagai kepala stafnya dengan pangkat Kapten. Sementara itu Saleh Lahade diangkat menjadi Komisaris TRIPS Indonesia Timur. Persiapan untuk mengirim ekspedisi ke seberang segera dimulai. Perlengkapan dan peralatan sudah didapat dari MBT. Berton-ton gula disediakan untuk pembiayaan Letnan M. Jusuf dan Letnan Syamsuddin Rakka yang ditugaskan ke Singapura membawa gula untuk dibarter dengan pakaian dan senjata.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus1945, putera-putera Indonesia di Jakarta yang berasal dari Sulawesi, membentuk berbagai wadah/organisasi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Organisasi pertama yang dibentuk adalah GEPIS, kemudian APIS. Setelah itu pada tanggal 10 Oktober 1945 dibentuk “Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dengan susunan pengurus sebagai berikut:
Ketua                       : Bart Ratulangi
Wakil Ketua             : Baharuddin
Sekretaris I               : Kahar Muzakkar
Sekretaris II             : Boetje Woworoentoe
Bendahara I             : Haji Moh. Indrus G.P.
Bendahara II            : G. Pakasi
Komisaris-Komisaris : 1. Moh. Indrus
                            2. J.D. Pontoan
                            3. Machmud
Bagian Penerangan : F. Palenewen
Bagian Pertahanan   : 1. J. Rapa
                                   2. Kahar Muzakkar
Koordinator              : Daan Mogot. [22]
Dalam waktu singkat organisasi perjuangan ini telah dapat mendirikan cabang-cabangnya hampir diseluruh kota-kota penting yang berada dipulau Jawa. Pada akhir tahun 1945 anggota KRIS di Jakarta Haji Lamban dan Haji Kaddase. Diberangkatkan ke Sulawesi Selatan melalui Tegal dengan menumpang perahu layar dan berhasil mendarat di pantai Polewali. Sedangkan anggota KRIS di Jawa Tengah Hasan Bin Tahir dan Daeng Parani. Diberangkatkan ke pantai Barat Teluk Bone. Keberangkatan Kedua rombongan KRIS ini belum merupakan expedisi bersenjata, tetapi hanya sekedar rombongan penerangan terutama untuk meyakinkan para raja-raja di Sulawesi Selatan untuk turut berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan, dan jangan sampai dapat bekerja sama atau diperalat oleh NICA. Expedisi ini berhasil mendarat di tempat tujuan masing-masing sesuai rencana semula, dan berhasil pula mengadakan pendekatan dengan raja-raja sesuai mandat dari KRIS di Jawa. Tetapi sayang tidak lama sesudah itu mereka satu-persatu anggota KRIS ini ditangkap oleh NICA dan dibunuh secara kejam. Mereka gugur sebagai bunga bangsa.
Organisasi perjuangan KRIS yang telah terbentuk hampir seluruh kota-kota penting di Jawa ini, telah turut mengambil bahagian dalam berbagai peristiwa pertempuran dan kegiatan perjuangan lainnya bersama-sama badan-badan perjuangan lainnya. Rupanya symbol KRIS dalam arti senjata tradisional pusaka kebanggaan umumnya orang Indonesia, dan dianggap identik dengan “badik” bagi orang Bugis-Makassar, telah berhasil dengan gemilang menggugah hati putera-putera Sulawesi baik yang berada di rantau maupun yang berada di Sulawesi sendiri untuk turut serta mengambil bagian dalam Perjuangan Kemerdekaan, meskipun mereka terdiri dari profesi yang berbeda-beda. Alangkah tepatnya memilih nama KRIS ini sebagai simbol perjuangan kemerdekaan.
Selain itu ada dua orang opsir PETA bagian laut yang berasal dari Sulawesi Selatan yang pertama bernama M. Aris dan Hamzah Tuppu seorang keturunan Karaeng Galesong. Keduanya bersama-sama dengan J. Tamboto, Tuege, J. Bolang, Luntungan, Sutrisno, Muchtar dan lain-lain, membentuk BKR laut yang kemudian menjadi TKR laut, di samping organisasi PRIAL (Pemuda Republik Indonesia Angkatan Laut) di Surabaya.    
Pada akhir tahun 1946 menjelang tahun 1947 dimulailah ekspedisi pasukan TRIPS ke Sulawesi, ada yang selamat mendarat, ada yang terpaksa kembali dan ada yang tertangkap di perjalanan. Ekspedisi tentara ke Sulawesi Selatan itu menumpang perahu layar sebagaimana kebiasaan anak-anak Bugis-Makassar. Tercatatlah nama-nama Andi Mattalatta, Saleh Lahade, Andi Sarifin, Andi Sapada, Murtalak dan lain-lain sebagai pelopor-pelopor perjuangan kemerdekaan untuk Sulawesi Selatan yang berhasi mendarat setelah bertempur mati-matian dengan tentara Belanda.

B. Pembawa Berita Proklamasi
Sementara Dr. G.S.S.J. Ratulangie menunggu-nunggu kedatangan para pemuda pendukung kemerdekaan ditempat ia menginap di Hotel Empress, muncul Sanusi Daeng Mattata dari Palopo. Sanusi diutus oleh Pemerintah Kerajaan Luwu di Palopo atas desakan organisasi Sukarno Muda, agar segera menemui Dr. G.S.S.J. Ratulangie. Pertemuan antara Sanusi dengan Dr.Ratulanggi pada tanggal 26 Agustus1945 mendorong segera diumumkannya berita proklamasi secara resmi. Sehari sebelum tanggal 25 Agustus1945, Panglima Pangkalan Istimewa XXIII Jepang, Laksamana Muda Sugi Mori Kadzu mengundang beberapa orang tokoh Heiho unsur Kaigun. Sekitar 20 orang dari mereka hadir dalam pertemuan, antara lain Abd. Syukur, Dahlan Tahir, Alex, dan Z.A. Sugianto. Sugimori berharap, agar meraka berusaha menjamin keamanan pada waktu Sekutu mendarat. Dengan maksud Sugimori, para menuda bekas Heiho ingin mempertahankan diri kembali, meskipun hanya senjata  ringan. Abd Syukur akan menemui perwira Jepang tersebut guna merundingkan pelaksanaan tugas-tugas keamanan dan soal senjata. Sugimori bersemangat memberikan senjata secukupnya, asal melalui persetujuan dengan kepemimpinan politik Bangsa Indonesia prokemerdekaan diMakassar ketika itu.[23]
Bersama Abdul Syukur, Letnan Kawamura menemui salah seorang pemuda pendukung kemerdekaan. Ternyata, Manai Sophian kurang tertarik dengan rencana bekas Kaigun Heiho. Dalam pertemuan tanggal 27 Agustus 1945 itu, Manai Sophian menganjurkan pembentukan organisasi dengan pendukung kemerdekaan tanpa persenjataan militer. Rupanya Manai Sophian dalam sikapnya itu, berdasarkan jalan pikiran Dr. G.S.S.J. Ratulangie yang dalam kepalanya penuh pertimbangan matang bahwa dalam waktu singkat Sekutu akan mendarat dengan persenjataan  lengkap. Tentu saja, Manai Sophian disalahkan dalam penolakan itu, dan sangat mengecewakan para pemuda militan.
Dalam keadaan kecewa di kalangan pemuda, pada tanggal 28 Agustus1945, Dr. G.S.S.J. Ratulangie mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh SUDARA di Makassar. Di sini pun terdengar nada-nada kekecewaan, yang ditujukan kepada Dr. G.S.S.J. Ratulangie. Kecaman tajam dilemparkan oleh sebagian anggota rapat, terutama dari Najamuddin Daeng Malewa. Dalam beberapa hal mengenai haluan politik, antara Najamuddin Daeng Malewa dan Ratulangi terdapat perbedaan, setelah aparat Belanda/NICA mengambil alih kekuasaan dari Sekutu, selanjutnya Dr. G.S.S.J. Ratulangie ditangkap pada tanggal 5 April 1946, dan Najamuddin Daeng Malewa menjadi aparat NICA terpercaya , maka para pemuda semakin yakin akan kegagalan perjuangan diplomasi yang dikembangkan oleh Ratulangi.[24]
Sesungguhnya rakyat Sulawesi Selatan mendukung Dr. G.S.S.J. Ratulangie sebagai gubernur, mereka bersama para raja-raja tampak bersedia bekerja sama dengan gubernur. Akan tetapi, sang gubernur berfikir terlalu jauh, khawatir akan timbul pertumpahan darah apabila berhadapan dengan pasukan Sekutu yang segera akan mendarat. Dr. G.S.S.J. Ratulangie mengadakan perjalanan ke Pare-pare terus ke Wajo, dan Watampone, sedangkan ke Luwu dikirim A.N. Hajarati yang meneruska perjalannan ke Poso Sulawesi Tengah. Aderah-daerah sebelah selatan Kota Makassar di kunjungi Lanto Daeng Pasewang, mulai dari Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng (Bonthain), Bulungkumba; Lanto Daeng Pasewang sangat gesit dan ulet selanjutnya menuju ke wilayah utara bersama A.N Hajarati menemui Andi Burhanuddin dan Andi Mallarangeng di Pankajene Kepulauan. Kemudian, pada awal September 1945, menuruskan perjalanan ke Pare-pare menemui Andi Abdullah di Bau Masspe. Dua bangsawan terkemuka di Pare-pare Andi Abdullah Bau Masspe dan Andi Makkasau, sebagai tokoh utama SUDARA menjadi pelapor penyebar luasan berita proklamasi.
Dari Kota Pare-pare, berita resmi proklamasi kemerdekaan disebarluaskan ke Rappang, Sidenreng , Enrekang bahkan terus ke Tanah Toraja. Ke arah utara Kota Pare-pare yakni ke Suppa, Pindrang, terus ke Daerah Mandar. Berita resmi kemerdekaan bangsa Indonesia telah tersebar luas dan diketahui penduduk Sulawesi Selatan menjelang pertengahan bulan September 1945. Bulan suci umat Islam, ramadhan atau bulan puasa tahun itu bertepatan dengan suasana proklamasi kemerdekaan dan pada hari raya Iidul Fitri 1876 H, bertepatan dengan tanggal 7 September 1945, pegumuman kemerdekaan disampaikan secara massal. Di Sulawesi Selatan, kaum pergerakan PSII dan Muhammadiyah menjadi juru pidato keagamaan, sekaligus menjadi juru menerang dalam penyebar luasan berita proklamasi. Tanpa mengurangi sambutan penganut agama selain Islam, proklamasi yang diumumkan bertepatan hari Jum’at bulan Ramadan itu dinilai suatu Rahmat Tuhan Yang Maha Esa.[25]
Di Palopo ibukota pemerintahan Kerajaan Luwu, pemuka masyarakat telah mempersiapkan diri dalam perjuangan kemerdekaan pada akhir pemeritahan Jepang 1944, berkali-kali tokoh pergerakan kemerdekaan datang ke Palopo, seperti Wahab Tarru, Siarahmal, serta pimpinan PSII dan mauhammadiyah. Ketika itu pula, Sakata yang menjabat Tokketai Pelabuhan Palopo membentuk perkumpulan seni. Ia menghimpun beberapa orang pemuda bidang seni itu, seperti Rudhy Kamph, Wimpoli, Ani Assah, Bram hitaria, dan juga putera Datu Luwu Andi Akhmad serta beberapa puteri Luwu.
Sakata adalah juga perwira intel Jepang. Ia mengikuti terus situasi peperangan yang menyudutkan pasukan Jepang. Perasaanya yang gundah gulau akibat kekalahn pasukan Jepang di berbagai front, dicetuskan dalam Kesenian Band Hawaianya. Rahasia Jepang sering dibuka oleh Sakata tanpa sadar, namun para anggotanya kurang peka menerimanya. Kepada Andi Akhmad ia berkata, bahwa seandainya Jepang kalah, kira-kira bagimana selanjutya. Andi Akhamd menjawab, maka saat itu kesempatan Indonesia merdeka.
Selang beberapa hari, tepatnya tanggal 17 Agustus1945 sore, Sakata memberitahukan kepada Andi Akhmad tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno-Hatta, disaksikan oleh perwira Jepang Maeda. Adanya Maedah di Jakarta, hendak dimasukkan peranannya ke dalam diri Sakata di Palopo. Pada malamnya, kelompok Sakata tidak mengadakan latihan band, melainkan membuat pamflet untuk mengumumkan proklamasi kemerdekaan. Setelah disepakati, kalimat pamflet ditulis oleh Wim Poli, yang berbunyi: DENGAN DISAKSIKAN LAKSAMANA MAEDA, SUKARNO-HATTA TELAH MEGUMUMKAN KEMERDEKAAN INSONESIA. Lewat tengah malam sementara penduduk kota yang muslim sibuk santap sahur, kelompok Sakata  memasang pamflet pada dinding kantor-kantor, tembok pagar pinggir jalan, dan pohon-pohon besar. Keesokan hariya, tanggal 18 Agustus1945 penduduk kota tersentak melihat pamflet. Pembicaraan pun berkisar pada isi pamflet, dan tentang siapa yang memasangnya.[26]
Penyebarluasan proklamasi kemerdekaan di Palopo berlagsung sangat cepat. Penyebarluasan berita proklamasi ke pelosok Luwu berlangung sesuai arus lalulintas mobilitas penduduk. Masjid, pasar, dan arena pesta yang mempertemukan sejumlah orang,  bahkan rumah tangga menjadi media komunikasi. Dengan amat cepat berita kemerdekaan tersebar luas, secara otomatis.
Berita proklamasi sampai di Tanah Toraja seminggu kemudian, yakni pada tanggal 24 Agustus1945. Seorang pimpinan pemuda, bernama Mahmud (biasa disebut Guru Mude) menjadi pelopor dalam penyebarluasan berita proklamasi. Di Kota Makale, ibukota Afdeling Tanah Toraja, Mahmud bekerjasama A. Y. K. Andi Lolo, Baledeng Makawaru menyusun rencana menyebarluaskan berita kemerdekaan. Ketika itu, kelompok Mahmud hanya dikenal sebagai perkumpulan Muhammadiyah dengan adanya A. Y. K. Andi Lolo dalam kelomok itu, perlahan-lahan anggapan sekitarnya berubah. Sedangkan para pendukung kemerdekaan menyebarluaskan kemerdekaan arti dan kebaikannya bagi peduduk, masyarakat luas menerima dan menyambut baik usaha para pemuda itu.
Berita proklamasi kemrdekaan dibawa oleh Andi  Pageran Daeng Parani ke Watampone ketika ia kembali dari Jakarta tanggal 19 Agustus1945. Melalui istana Mangkau (raja) Bone, berita penting ini tersebar dari mulut-kemulut. Pihak Heiho pun telah menduga masih akan ada perubahan situasi di Indonesia. Hal itu nampak adanya pembubaran latihan para Heiho dan Seinendan. Tentara Jepang dimana-mana kelihatan lesu  dan tidak bersemangat. Dari istana Raja Bone, berita kemerdekaan disebarkan ke pedalaman. Pimpinan barisan Heiho, Seinendan, dan pendukung PNI Mr. Tajuddin Noer menyambut proklamasi, dan menjadi juru penerang. 
Di Soppeng, berita kemerdekaan mulai dibicarakan secara berbisik sejak tanggal 22 Agustus1945. Kemudian, setelah organisasi PNI (Pemuda Nasional Indonesia) terbentuk atas inisiatip Andi Mahmud, berita kemerdekaan tersebar luas. Andi Mahmud yang memiliki pesawat radio sempat mendengar adaya proklamsi itu. Ketik itu, ia menjabat sebagai Kepala Distrik Liliriaja Onderafdeling Sopeng.
Penyebarluasan berita proklamasi di Wajo dimulai oleh putera Andi Ninong bernama Andi Mahmud. Andi Mahmud atau nama lainnya Andi Arif Muliyadi, datang dari Kota Makassar ke Kota Sengkang, ibu Kota Kerajaan Wajo. Ia menyampaikan kepada ibunya, Andi Ninong, bahwa di Kota Makassar para pemuda amat sibuk menyambut proklamasi. Sesudah Lanto Daeng Pasewang tiba di Sengkang, rakyat semakin banyak mengerti makna kemerdekaan yang baru saja diumumkan.
Sesungguhnya berita proklamsi sudah masuk ke Wajo ketika utusan dari Palopo menuju Makassar pada tanggal 24 Agustus1945.  M. Sanusi Daeng Mattata bersama M. Yusuf Arief yang menjadi utusan Luwu, M. Sanusi Daeng  Mattata singgah di Wajo dan Bone menemui Andi Panggaru dan Guru Anwar di Sengkang, sedangkan di Bone menemui pemuda dan raja Bone. M. Sanuasi Dg. Mattata mnyampaikan kepada mereka tujuan perjalanannya dari Luwu ke Makassar, yakni untuk menemui Dr. G.S.S.J. Ratulangie, dan menanyakan kepastian adanya proklamasi kemerdekaan. [27] Namun demikian Andi Panggaru dan Anwar hanya menyebarkan berita penting itu dikalangan sahabatnya dalam Muhammadiyah.[28]
Setelah pihak keluarga Andi Ninong, bangsawan tinggi dan pemangku salah satu jabatan utama dalam Kerajaan Wajo, menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan, dan menyebarluaskan berita proklamasi, penduduk Wajo baru yakin kebenaran berita itu. Andi Ninong adalah Ranreng Tua Kerajaaan Wajo, bertempat tinggal dalam istananya di Tempe, pinggiran Kota Sengkang.
Dr. G.S.S.J. Ratulangie bersama Lanto Daeng Passewang tiba di Sengkang pada awal bulan September 1945. Rombongan dari Makassar itu langsug berhadapan dengan masyarakat Kota Sengkang pada hari kedatangannya. Dalam pertemuan itu, dijelaskan tentang makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, dan cara-cara yang akan ditempuh dalam usaha menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan. Peserta rapat umum mengucapkan ikrar, bahwa Rakyat Wajo berdiri di belakag RI. Keesokan harinya, Dr. G.S.S.J. Ratulangie bersama Lanto Daeng Passewang meneruskan perjalanan ke Bone.
Berita proklamasi kemerdekaan telah mencapai seluruh pelosok Sulawesi Selatan pada pertengahan bulan September 1945. Mereka mendukung proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 serta bersiap mempertahankanya. Rakyat pada umumnyapun tahu bahwa Belanda berupaya kembali melanjutkan penjajahanya, akan tetapi pengalaman selama masa penjajahan telah menjadi pelajaran berharga, rakyat tidak ingin lagi mengulangi pengalaman pahit itu. Karena itu, kemerdekaan bangsa Indoesia dari pejajahan asing berdasarka proklamasi 17 Agustus, sebagai tonggak sejarah yang harus ditegakkan.
Hubungan komuikasi yang jauh dari sempurna pada awal proklamsi meyebabkan para pemimpin dari Makassar sebagai ibukota Provinsi Sulawesi dalam Indonesia merdeka, melakukan kunjugan maraton ke pedalaman. Kemudian, tokoh masyarakat dan pemuda pada setiap kota kecil di pedalaman, menyebarluaskan berita kemerdekaan itu beserta penjelasan-penjelasan seperluya, kepada rakyat pada umumnya. Ketika itu, media komunikasi seperti radio masih langka, diperkirakan hanya ada sekitar 10 orang di Sulawesi Selatan yang menyimpan radio di rumahnya saat Jepang menyerah (Agustus1945). Di Kota Pare-pare, hanya Andi Abdullah Bau Masspe yang memiliki radio. Sedangkan Andi Makkasau, Datu Suppa Towa (bekas Raja Suppa) tidak menyimpan radio. Kendaraan roda empat amat jarang kelihatan di jalan raya. Mereka yang berduit, sudah boleh berbagga jika memiliki sepeda. Oleh karena itu, penyebarluasan berita proklamasi lebih banyak dilakukan dalam berjalan kaki. Meskipun keadaan serba sulit, rakyat Sulawesi Selatan umunya mengetahuu bahwa mereka telah bebas dari cengkraman asing.
Kesibukan para pemuda di Kota Makassar dalam mendukung proklamasi kemerdekaan, menarik perhatian Rakyat Gowa. Kampung  Jongaya yang berdada di Daerah Gowa berbatasan dengan Kota Makassar, di tempati sejumlah pimpinan pemuda mengadakan pertemuan. Di tempat itu juga, Andi Mappanyukki bermalam, bila ke Makassar.  Pada akhir bulan Agustus1945, rakyat mengibarkan  bendera merah putih di bawah pimpinan Abd. Rasyud Daeng Lurang. Pengibaran bendera dimulai di Kampung Pao-pao, sekitar makam Sultan Hasanuddin. Di jelaskan pula oleh pimpinan masyarakat di kampung itu, arti kemerdekaan pemuda-pemuda di setiap kampung, desas-desus itu justru menjadi pendorong menggalang persatuan. Muncul perkumpulan pemuda kampung pada pinggiran kota.
Pemuda Gowa di Katangka pada pertengahan September 1945, berusaha mencari senjata. Atas petunjuk Badollahi, beberapa pucuk karaben Jepang ditemukan dan juga beberapa pucuk pistol genggam. Hanya peluru senjata api itu amat kurang, sehingga manfaatnya pada masa itu tidak seperti yang di harapkan. Di Pannara, atas usaha Supu dkk. Ditemukan lagi senjata karaben Jepang. Dengan demikian, pemuda pendukung kemerdekaan di Gowa telah memiliki sekitar 10 pucuk senjata karabeng Jepang, dan beberapa pistol. Pusat kegiatan pemuda ialah katangka Tidung. Meskipun kota kecil Sungguminasa kurang Nampak kegiatan dukungan terhadap proklamasi, tetapi di desa-desa Gowa, penduduk bersemangat. Di limbung, pemuda Muhammadiyah kembali aktif, dengan pandu HW sebagai intinya. Hal yang sama Nampak pula pada penduduk kampung Pallangga, dan juga Barombong. Pada dasarnya, penduduk Gowa memberikan dukungan penuh terhadap proklamasi kemerdekaan, terutama pada awal perjuangan.
Kota Pare-pare merupakan kota tersibuk kedua setelah Makassar dalam masa awal proklamasi. Di kota itu telah lama dikembangkan ide kemerdekaan lewat pergerakan politik. Usia pergerakan telah ada 17 tahun ketika proklamasi dikumandakan di Jakarta. Tercatat PSII yang lebih dominan di tempat itu, kemudian Muhammadiyah. PSII tersebar di Sulawesi Selatan pada umumnya dikembangan dari Pare-pare. Misalnya, Haji Yahya membina Daeng Risaju dari Luwu pada tahun 1930 yang menyebabkan di Luwu berdiri PSII yang cukup berpengaruh. Pada akhir tahun 1944, terjadi konsentrasi Heiho dan pemuda lainnya di Pare-pare seperti siswa sekolah pelayaran Kai in Yoseijo.[29]
Tokoh utama dan paling berpengaruh di Pare-pare dan daerah sekitarnya ialah Andi Abdullah Bau Masspe. Ia menjabat Datu (Raja) Suppa, dan pada masa Jepang sebagai Bunken Kanrikan. orang kedua ialah Andi Makkasau, Datu Suppa yang diganti oleh Bau Masspe, maka kedua tokoh itu ditambah lagi keuletan Yusuf Binol, dukungan akan kemerdekaan bangsa Indonesia bertambah kokoh di kota itu. Sebagai bekas aparat Jepang, Bau Masspe masih memiliki sejumlah fasilitas serta berkehidupan yang terbilang berkecukupan, kemurahan hati dan sifatnya yang membuat orang lain hormat kepadanya.
Hubungan dengan Dr. G.S.S.J. Ratulangie semakin baik pula, Bau Masspe rupanya lebih progresif dan berjiwa kepemudahan. Ia mengisyaratkan diadakannya perlawanan bersenjata. Karena itu di Pare-pare, dukungan terhadap proklamasi tidak hanya dengan cara diplomasi, tetapi lebih diutamakan persiapan perlawanan bersenjata. Rakyat dan pemuda siap menunggu komando. Hanya yang menjadi  hambatan ialah kekurangan senjata, sementara pimpinan Jepang di Pare-pare tidak mau merundingkan penyerahan senjata, sedangkan rakyat dan pemuda belum tahu bagaimana cara yang bisa dilakukan untuk memperoleh senjata.
Seperti halnya di Makassar sebagian tokoh pemuda berpengaruh mengikuti langkah-langkah Dr. G.S.S.J. Ratulangie yakni jalan damai. Pikiran orang tua yang menyayangi nyawa anak-anaknya bagai menghambat diadakannya perlawanan bersenjata terhadap musuh kemerdekaan. Pada hal pemuda saat itu tidak menyayangi jiwanya, tergambar dalam tekad  MERDEKA atau MATI.
Dari Pare-pare berita dan dukungan proklamasi meluas ke Soppengriaja Barru, terus ke Tanete 70 KM sebelah selatan Kota Pare-pare. Di Daerah Barru telah cukup lama diperkenalkan kepada penduduk tentang cita-cita kemerdekaan. Organisasi PSII dan Muhammadiyah secara sembunyi-sembunyi cukup menarik perhatian masyarakat ketika Jepang masih berkuasa. Pada awal kemerdekaan, pihak PSII kembali meningkatkan kegiatannya. Para pimpinan organisasi pergerakan nasional itu, menjadi juru penerang berita kemerdekaan. Kemudian mereka itu segera tertangkap ketika Barru diduduki oleh NICA.
Para pemuda asal Barru yang berdiam di Makassar seperti Andi Mattalatta dan teman seperjuangannya tidak henti-hentinya memberikan kesadaran akan kemerdekaan kepada penduduk Barru, termasuk yang masih berusia muda. Pada tanggal 28 Agustus1945 di Lapangan Sumpang Minangae Barru, dilakukan pengibaran bendera merah putih yang dipimpin oleh Andi Mattalatta. Pengibaran bendera tersebut sebagai isyarat komando kepada penduduk Barru agar bangkit mempertahankan kemerdekaan.
Di Tanete biasanya disebut berkaitan dengan Barru, menjadi Tanete-Barru pada awal bulan September 1945 berita kemerdekaan diterima penduduk, dan dengan cepat tokoh masyarakat menyatakan dukungannya, sebab seperti di tempat lain dalam wilayah Pare-pare, berita kemerdekaan sudah lama dinanti-nantikan. Pemuka PSII yang mempunyai banyak pengaruh di Tanete, cukup besar andilnya menyadarkan penduduk tentang kemerdekaan. Berita kemerdekaan tiba di Tanete, di bawa oleh Abd. Rakhman Gazali bersama H. M. Jauharuddin. Abd. Rachman Gazali mendengar berita itu dari Ali Malaka di Kota Makassar.  Oleh karena ia seorang Kadhi di Tanete, maka berita yang disamapaikannya itu dinilai amat penting oleh masyarakat setempat. Mesjid di Tanete menjadi pusat pemberitaan proklamasi kemerdekaan. Kadhi Abd. Gazali bersama H. M. Jauharuddin melaporkan berita penting kepada Kepala Pemerintahan Tanete Andi Abd. Muis.[30]
Dukungan kuat yang diberikan Andi Abd. Muis dan pemuka agama di Tanete, menyebabkan semua penduduk turut serta, mereka bangkit menyatakan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan pada tanggal 15 September 1945 di Kampung Peppae, Padaelo, bertempat di Komleks Galangan Kapal milik Japri. Rapat umum diadakan yang dihadiri sekitar 500 orang, serta lima tokoh masyarakat Ternate, masing-masing: Haji Sulaiman, Muhamad Amin, Ambona Ilili, H. M. Jaharuddin, dan Abd. Gazali. Para pemuda pengawal dipimpin oleh Abd. Karing yang pada saat itu juga meresmikan berdirinya wadah Satuan Pemuda Tanete.
Di Sidenreng-Rappang, ide kemerdekaan dimotori oleh PSII, karena sejak tahun 1928, di Tetaji Tellu Limpoe Daerah Sidenreng, didirikan PSII. Tidak lama setelah berdiri, pimpinan pusat PSII Haji Umar Said Cokroaminoto  berkunjung ke Sidenreng, langsung ke Tetaji. Raja Sidenreng ketika itu Andi Sulolipu, sempat berbincang-bincang dengan Cokroaminoto tentang perjuangan menuju kemerdekaan. Dukungan raja, dan penerangan para guru-guru lembaga pendidikan Nasrul Hak di Amparita, seperti Usman Isa. Dukungan terhadap proklamasi dengan mudah diperoleh dari rakyat. Demikian pula sdanya PNI Tajuddin Noer yang di dirikan Andi Sulolipu  di Parita, tambah memperkokoh semangat kemerdekaan. Massa rakyat mempertahankan kemerdekaan, yang diketahui dari pemuda Pare-pare. Haluan lunak pada diri Dr.Ratulangi dan Tajudin Neor dianut pula oleh Andi Sulolipu.
Andi Abdullah Bau Massepe menjadi Raja atau Datu Suppa, dengan segera dinyatakan sebagai wilayah RI. Orang yang tidak setuju dengan pernyataan Datu itu, dilarang tinggal di Suppa. Pelaksanaan gerakan kemerdekaan di Suppa digerakan oleh Andi Selle, dibantu Andi Baso Daeng Ngerang dan Usman. Di daerah Sawitto atau Pinrang, para pendukung kemerdekaan dipelopori oleh Andi Saping. Sebagaimana halnya dengan Suppa, hubungan dengan Kota Pare-pare cukup lancer, sehingga setiap perubahan yang terjadi di Pare-pare dengan cepat tiba di Pinrang, karena hanya berjarak 30 KM sebelah utara Kota Pare-pare. Kaum pergerakan dari PSSI di Pinrang menjadi pendukung utama proklamasi kemerdekaan.
Berita proklamasi kemerdekaan di Deerah Enrekang didukung oleh unsur-unsur bekas Heiho, Boei Teinsin Tai, Seinendan, dan dari badan pandu, yaitu: SIAP dan Hizbul Wathan. Hubungan dengan Kota Pare-pare dan Rappang yang cukup lancar,mempercepat berita-berita berbagai hal yang berhubungan dengan kemerdekaan dari kota pelabuhan itu ke Enrekang. Para pelopor yang dikenal di Enrekang, masing-masing: Rahman Kulau, Abubakar Lambogo, dan Umar Hafsah. pada bulan November 1945, di Enrekang dilakukan penerangan dan usaha mengembangkan para pemuda, maka ketika diadakan pembetukan wadah perjuangan melawan musuh kemerdekaan, penduduk Enrekang mendukung sepenuhnya.
Di Daerah Mandar yang berpusat di Balanipa, para pendukung kemerdekaan berasal dari badan organisasi pada masa Jepang, yakni: API (Angkatan Pemuda Islam) pada awal kemerdekaan, pimpinan API mengubah nama organisasi menjadi KRIS MUDA (Kebaktian Rahasia Islam Muda). Nama yang baru itu mempunyai kaitan permulaan tampilnya Ibu Depu yang oleh masyarakat Mandar menyebutnya Ibu Agung Meradia Towaine. Hj. Andi Depu menggerakan para pemuda dan sejumlah bangsawan menyambut dan mendukung proklamasi kemerdekaan. Pada akhir kekuasaan Jepang, dalam tahun 1944, Ibu Depu tampil memimpin pengibaran bendera merah putih di Campalagian, dihadiri oleh ribuan pemuda dan rakyat, karena itu, setelah kemerdekaan diproklamirkan, Rakyat Mandar segera bangkit dan mendukung.
Sementara di Majene, sekitar 10 km sebelah utara Balanipa, H.M. Syarif mempelopori dukungan terhadap proklamasi kemerdekaan. Pada awal proklamasi itu Rakyat Mandar bangkit membela kemerdekaan dan kedaulatan RI. Penyebaran berita Proklamasi di Luwu diawali dengan adanya pamflet yang dijatuhkan Tentara Sekutu dari udara. Selanjutnya dibuat pula pamflet pada subuh pagi tanggal 18 Agustus1945 yang dibuat para kelompok Sakata, dimana Andi Achmad ikut serta, semula menimbulkan tanda tanya penduduk, akan tetapi, setelah menjadi bahan pidato di mesjid-mesjid dalam suasana bulan Ramadhan 1867 H. akhirnya penduduk menjadi yakin dan menyambut dengan gembira. Pada malamnya, tujuh Petaka Masyarakat yang republiken mengadakan rapat rahasia. Andi Achmad termasuk pula dalam kelompok itu, bersama kakaknya Andi Makkulawu, sebagian dari mereka merupakan juru pidato kawakan pada wuaktu itu, seperti Martin Guli, Yusuf Arief, dan Haji Kadir Daud. Andi Makkulawu, Andi Achmad, Andi Tenriajeng, dan Mungkasa, meskipun jarang berpidato, tetapi menjadi sumber berita adanya kemerdekaan RI. Dalam tempo dua hari saja, penduduk Kota Palopo telah mengetahui adanya  kemerdekaan dan menyambutnya dengan amat gembira.
Organisasi Sukarno Muda yang dibentuk ketujuh tokoh dibawah pimpinan Andi Makkulau, melakukan jalinan gerakan semi rahasia. Pengatur strategi ialah M. Yusuf Arief, bekas guru yang telah menjadi wartawan Pewarta Selebes, ia menirukan gerakan pemuda Hitler di Jerman, dengan sistem informasi 1.7  artinya seorang anggota hanya boleh menghubungi 7 orang lainnya, hasilnya memuaskan, karena dalam waktu yang amat singkat, Luwu seluruhnya telah berada dalam suasana kemerdekaan. Kaum pergerakan dan muhammadiyah, di tambah para bekas Heiho, dan Seinendan, menjadi inti pendukung kemerdekaan. Kemudian, pemuda anak bangsawan republiken kelompok Datu Luwu Andi Jemma, menambah dukungan proklamasi. Pada tanggal 19 Agustus 1945, berita demokrasi kemerdekaan diumumkan di lapangan. Ditambahkan, bahwa umat Islam yang menjadi Juru Pidato menambah bumbu dengan membakar emosi kegamaan, agar mereka rela berkorban apa saja, termasuk jiwa dalam mempertahankan kemerdekaan. Wakil Datu Luwu dalam sambutan hari lebaran di Palopo, menyampaikan pernyataan Pemerintah dan Rakyat Luwu, bahwa daerah ini menjadi wilayah RI, maka semua pegawai dan aparatnya juga pegawai dan aparat pemerintah RI. Ketika itu, Kerajaan Luwu meliputi Luwu sekarang, Tanah Toraja dan Kabupaten Kolaka. Daerah Poso masih menjalin tali hubungan kuat dengan Luwu, berhubungan dengan latar belakang sejarah.[31]
Hubungan dengan Bone semakin erat, karena Puteri Andi Mappanyukki yang bernama Andi Tenripadang menjadi permaisuri Datu Luwu Andi Jemma. Perkawinan dilangsungkan pada awal Agustus1945. Dengan demikian informasi yang ada di Luwu cepat diketahui di Bone demikian pula sebaliknya. Susunan pemangku pemerintah Kerajaan Luwu disesuaikan dengan suasana kemerdekaan, para pejabat yang tidak medukung proklamsi/kurang sepaham diganti atau mengundurkan diri, sehingga Adat Luwu yang baru tersusun sebagai Kabinet pendukung Kemerdekaan RI. Sebelum Sekutu datang di Palopo dalam bulan Oktober 1945, dua kali dikirim utusan ke Watampone Bone untuk menyampaikan sikap dan pandang Datu Luwu kepada Raja Bone, yang pada akhirnya disepakati untuk memperkuat dukungan kemerdekaan dengan mengadakan Konperensi Raja-raja di Watampone pada bulan Oktober 1945. Hasil konperensi ini memperkuat jalinan kerja sama dan arus informasi diantara raja-raja di Sulawesi untuk memdukung dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. 
Dalam masa revolusi fisik ini, Andi Djemma begitu besar perannya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan sampai rela meninggalkan istananya di Palopo sejak tanggal 24 Januari 1946, demi memimpin perlawanan terhadap Belanda dalam rangka tegaknya Republik Indonesia dan memilih hutan belantara dan benteng alam batu Putih sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia di Luwu.[32]
Di Wilayah Sulawesi Tengah, tempat yang pertama mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus1945 di wilayah Sulawesi Tengah adalah Poso karena pada tanggal 17 Agustus1945 sore  Abdul Latief Mangitung dan I Latanco Talamoa serta Yusuf Manoarfa mendengarnya dari seorang Tentara Jepang.
Abdul Latief Mangitung salah seorang tokoh dari Gerakan Merah Putih 1942 di Poso, selanjutnya mengambil inisiatif mengaktifkan kembali pasukan Gerakan Merah Putih 1942 dengan membentuk Laskar Tanjumbulu. Begitu mendengar berita proklamasi dari seorang Tentara Jepang yang disertai 2 orang anggota Heiho, Abdul Latif Mangitung mengundang kedua orang anggota Heiho tersebut menghadiri pertemuan pada malamnya jam 19.00 di mana turut pula hadir tokoh-tokoh Gerakan Merah Putih Poso tahun 1942.
Pertemuan diadakan di rumah tempat Abdul Latief Mangitung menginap dan yang hadir di antaranya:
1.      Abdul Latief Mangitung
2.      Yap Sui Ciong
3.      R. Mangolo
4.      A.L Pangemanan
5.      Tosayang
6.      Saleh Topetau (Heiho)
7.      Jafar (Heiho).
Hasil pertemuan itu adalah terbentuknya organisasi Laskar Tanjumbulu dengan susunan personalia:
1.      Abdul Latief Mangitung, Komandan Laskar Tanjumbulu
2.      Yap Sui Ciong, Wakil Komandan Laskar Tanjumbulu
3.      R. Mangolo, Kepala Staf
4.      A. L Pangemanan, Wakil Kepala Staf merangkap Urusan Personalia
5.      Tosayang, Kepala Bagian Perlengkapan
6.      Saleh Topetau, Komandan Pasukan Tempur
7.      Jafar, Bagian Persenjataan
8.      Lapasondrong, Bagian Kesejahteraan/Pemasak
9.      Lanokang, Penghubung.[33]
Sebagai Markas Induk Pasukan diputuskan Kampung Malei. Pada tanggal 18 Agustus1945 Saleh Topetau dan Jafar datang melapor pada komandan lasyar bahwa telah berhasil menyembunyikan 5 pucuk senjata karabin Jepang dan beberapa granat tangan. Senjata itu ditanam di Kuburan Cina dan dijaga oleh Maleda seorang Suku Mandar.
Berita Proklamasi Kemerdekaan juga dikumandangkan oleh Kurir-kurir yang diutus oleh  Gubernur Dr. G.S.S.J. Ratulangie, misalnya sekitar bulan September 1945, telah mengirimkan utusan ke beberapa daerah termasuk ke Sulawesi Tengah untuk menyampaikan instruksi dan pedoman perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Melalui Palopo dikirim utusan ke Poso terdiri atas Landau, kemudian menyusul Sulaeman Umar. Dari Manado datang kurir Ali Lemato dan dari Gorontalo A. Tumu. Selanjutnya berita proklamasi ke Daerah Sulawesi Tengah juga disampaikan oleh A.N. Hadjarati dan Hamzah Ilahude dari Makassar yang membawa amanat dari Gubernur dan mereka berhasil mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh terkemuka di Poso. Amanat Gubernur Sulawesi dan penjelasan mengenai Proklamasi 17 Agustus1945 yang dikemukakan dihadapan para undangan, berhasil membentuk "Dewan Nasional" dengan Kepala Pemerintahannya Wangkalembah Talasa dan undangan lainnya sebagai pembantu. Disamping itu dibentuk juga Dewan Pertahanan Nasional, kesatuan pertahanan dengan intinya dari pemuda-pemuda bekas Heiho yang dipersenjatai tombak, keris dan senjata hasil rampasan dari Jepang.
Sebelum tentara NICA datang, telah tiba di Buol Mohammad Mahmud dan Ahmad Mahmud yang diutus oleh Nani Wartabone, pimpinan Pemerintahan Nasional Gorontalo membawa sehelai bendera Merah Putih untuk dikibarkan di Buol. Kedua orang tersebut datang di Leok pada pertengahan bulan Oktober 1945 dan langsung menaikkan bendera Merah Putih di Leok yang sempat berkibar selama 3 minggu, kemudian tentara NICA pimpinan Sersan Lumoa datang dan menurunkan bendera merah putih, kemudian menggantikannya dengan bendera merah putih biru.
Pada tanggal 20 Agustus1945 Abdul Latif Mangitung mulai keluar dari Poso untuk menghubungi bekas-bekas pejuang 1942 lainnya guna menggalakkan kembali Pasukan Gerakan Merah Putih 1942 sambil menyampaikan berita  tentang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus1945. Daerah-daerah yang dikunjunginya adalah:
1.      Pusat Markas Induk di Kampung Malei, menghubungi Mohammad Amin Dahlan.
2.      Pusat Gerakan Merah Putih 1942 Ampana-Tojo dan menghubungi R.G. Datupamusu dan M. Sunusi Patimbang.
3.      Wilayah Kecamatan Bunta dan menghubungi Haji Sunusi Mangaco, Baba Hamzah dan Lamusa.
4.      Wilayah Kecamatan  Pagimana-Luwuk dengan menghubungi A.R. Lanasir dan Laicu Lanasir.[34]
Ia meneruskan perjalanan ke Tojo-Ampana, Pagimana, Bunta dan Palu untuk menghubungi tokoh-tokoh pejuang ditempat tersebut agar membentuk pula barisan-barisan lasyar mempertahankan kemerdekaan apabila Sekutu datang, yang berarti Belanda akan kembali menjajah sebab Belanda berada dalam koalisi Sekutu.
Wilayah Donggala dan Palu diutus Abd. Gani dan kawan-kawan untuk membawa saran-saran tertulis dari Gubernur Sulawesi untuk dijadikan pedoman dalam gerakan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Diadakan pertemuan di bekas Kantor Kenkanrikan  Donggala, dipimpin oleh Muhammad Amu dan Umar Papeo, pada tanggal 7 November 1945 dibentuk organisasi kelaskaran bernama Laskar Pemuda Indonesia, suatu organisasi bersenjata yang bergerak di bawah tanah dan melancarkan aksi gerilya.
Masyarakat Donggala menanggapi berita proklamasi terbagi dua: ada yang pro dan ada yang kontra. Oleh rakyat yang pro dengan tokoh-tokoh pimpinananya, segera mengusahakan kontak dengan pejuang-pejuang di Wani, Tawaeli, Palu, Biromaru, Kaleke, Bambara (Keris Muda) untuk mengadakan kerja sama dan saling membantu dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sementara Alwi Muhammad dan Muhammad Amu (Klerk pada kantor Kei Kanrikan Donggala) sibuk menyusun program perjuangan tiba-tiba datanglah Alexander Monoarfa September 1945 yang ketika itu sebagai kepala kantor Minsen Unkookai (kepala bagian pelayaran perahu) di Donggala, dari Ujung Pandang membawa petunjuk dan program/perjuangan.
Atas anjuran Alexander Monoarfa, maka pada tanggal 21 September 1945 oleh Alwi Muhammad, Mohammad Amu dan kawan-kawan mengadakan pertemuan dengan pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan di kampung Ganti (5 km dari Donggaia). Dalam pertemuan itulah dihasilkan suatu bentuk organisasi perjuangan yang dinamai Gerakan Merah Putih dengan susunan pengurusnya:
1)      Pelindung                  : Rohana Larnarauna (Raja Banawa).
2)      Ketua Umum             : Alwi Muhammad (Penilik Sekolah Donggala).
3)      Wk. Ketua Umum     : Mohammad Amu.
4)      Sekretaris                   : Alexander Monoarfa.
5)      Wakil Sekretaris        : Udin Muhammad.
6)      Bendahara                 : Ahdul Wahid Maluku.
7)      Pembantu-pembantu : A. Muhammad, Umar Papeo, A.T.Nurdin dan L.D. Lamarauna.
8) Pembantu Khusus       : Andi Raga Peta1olo.[35]
Kepada semua anggota Gerakan Merah Putih diberi lencana Merah Putih berukuran 2x 3cm sebagai tanda pengenal dan sebagai kode dipergunakan salam 2 jari selaku simbol merah putih. Menyusul pula penggabungan diri dalam Gerakan Merah Putih seluruh ex anggota Seinendan Limboro yang dipimpin oleh Abdul  Wahid Maluku dan Labaci serta bekas Seinendan Towale di bawah pimpinan Mislaini Laujeng dan Abubakar.
Kesemua aktivitas Gerakan Merah Putih di Donggala ini baru pada taraf persiapan dalam bentuk organisasi politik karena mereka belum memiliki senjata. Tiba-tiba pada akhir bulan September 1945 Alexander Monoarfa ditangkap oleh kesatuan KNIL yang telah mengkonsolidasi diri dan mengambil alih tugas keamanan dari Jepang, kemudian dipenjarakan di tangsi militer Palu. Penangkapan Alexander Monoarfa merupakan suatu pukulan bagi Gerakan Merah Putih.
Dari Donggala Abd. Gani (Isa Piola) terus ke Palu dan bertempat di rumah Lolon Tamene Lamakarate di Biromaru diadakan pertemuan untuk membicarakan instruksi-istruksi Gubernur untuk dilaksanakan. Di wilayah Palu dan sekitarnya dibebankan kepada Lolon Tamene Lamakarate melaksanakannya. Sebagai kelanjutannya, maka terbentuk laskar-laskar  Merah Putih di wilayah kerajaan: Sigi Dolo, Palu, dan Tawaeli dipimpin oleh Dr. Pawindu, Moh. Djarudin Abdullah, Thalib Lasinala dan Daeng Pawata Lahusaeni. Pimpinan Pemuda Laskar Merah Putih untuk Sigi dan Palu dipimpin oleh Lolon Tamene Lamakarate, Wilayah Dolo dipimpin Daeng Mangera Gagaramusu dan Wilayah Tawaeli dipimpin oleh D. M. Lamakampali dan Dj. Jotolembah.[36]
Di Sidera sekitar 15 km dari Palu bertempat di rumah Djaruddin Abdullah para pemimpin Laskar Merah Putih mengadakan pertemuan, untuk mengutus Lolon  Tamene  dan Daeng Mangera Gagaramusu ke Makassar melaporkan situasi perkembangan terakhir pada Gubernur Ratulangi dan harus pulang cepat membawa instruksi-instruksi baru. Saat pertemuan berlangsung, tiba-tiba rumah tempat petemuan dikepung tentara NICA dipimpin oleh Komandan Qune Indo. Dokumen-dokumen penting dirampas, rapat dibubarkan dan Lolon Tamene Lamakarate ditangkap kemudian dibawa ke Palu, tetapi keesokan harinya dibebaskan kembali atas tanggungan iparnya Tjatjo Idjazah yang waktu itu menjadi Raja di Palu.
Wilayah Donggala, pembentukan badan perjuangan  gerakan merah putih terjadi pada bulan September 1945 setelah datangnya Aleksander Monoarfa dari Makassar  membawa beberapa petunjuk pelaksanaan perjuangan, akan tetapi belum sempat bergerak Aleksande Monoafa telah tertangakap. Pada tangan 11 November 1945 malam beberapa orang pemuda anggota gerakan merah putih antara lain A. T. Nurdin, Abdul Wahid Maluku, dan Andi Garu Pettalolo menyelinap masuk ke Pelabuha Donggala  untuk menaikkan bendera merah putih yang berasal dari bendera merah putih biru yang dirobek birunya.[37]
Meskipun terjadi penangkapan atas anggota gerakan merah putih, tetapi tokoh-tokoh lainnya yang masih bebas kemudian membentuk organisasi kelaksaran bernama Lasykar Pemuda Indonesi Merdeka (PIM) pada bulan November 1945. kemudian tiba pula utusan dari Sulawesi Selatan bernama Abdul Gani  (nama samaran Piola Isa) dengan menumpang perahu membawa surat-suat dokumen untuk perjuangan di Donggala dan Palu. Awal tahun 1946 Umar Papeo di tangkap dan pertengahan tahun 1946 menyusul penangkapan atas diri A. T. Nurdin, ditahan pada Tangsi Besusu Palu selama sebulan. Menyusul penangkapan atas diri Piola Isa, Filips Ranti, dan Umar, akibat bocornya rahasia rencana penyerbuan pada tangsi di Kota Palu.
Pembakaran gudang Yayasan Kopra Fonds Donggala di Tanjung Batu oleh Ladising dan kawan-kawan yang mengakibatkan ribuan ton kopra habis terbakar. Pemuda Gerakan Merah Putih membentuk suatu perkumpulan seni drama yang bernama Sandiwara Pemuda Kita (SPK). Pimpinannya adalah Abdullah Bachmid dan Muhammad Amin Pettalolo di Donggala yang menampilkan cerita-cerita yang bertemakan perjuangan. Oleh kaki tangan Belanda, SPK ditantang dengan mendirikan Persatuan Pemuda Donggala (PPD) yang menampilkan drama-drama dan menyanyikan lagu yang bernuansa kebelanda-belandaan. Karena situasi makin panas antar pejuang-pejuang dengan NICA, maka mulailah dibentuk sektor-sektor pertahanan dalam wilayah Donggala. Di pihak NICA pun makin sering melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh pejuang termasuk di antaranya Alwi Muhamad, pimpinan gerakan Merah Putih ditahan di tangsi militer Palu. Oleh karena itu makin banyak pejuang ditahan, maka oleh pemuda lascar PIM merencanakan suatu penyerbuan atas Tangsi Militer Palu akan tetapi rahasia penyerbuan itu dapat diketahui oleh Belanda dari kaki tangannya.[38]

C.    Peralihan Kekuasaan dan Gerakan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Sulawesi
Setelah tiba kembali di Makassar, maka pada tanggal 20 Agustus 1945 Dr. G.S.S.J. Ratulangie segera mempersiapkan pemerintahan peralihan dari pemerintahan Jepang dan menyusun struktur aparat pemerintahannya:
1.      Gubernur : Dr. G.S.S.J. Ratulangie
2.      Sekretariat : Mr. A. Zainal Abidin
3.      Wakil Sekretaris : F. Tobing
4.      Biro Umum : Lanto Daeng Pasewang
5.      Biro Ekonomi : Najamuddin Daeng Malewa dan Mr. Tajuddin Noor
6.      Biro Pemuda : Siaranamual dan Saelan
7.      Biro Penerangan : Manai Sophian
8.      Pembantu-Pembantu : A. N. Hajarati, GR. Pantouw, Syam, Supardi, Pondaag Dr. Syafrie dan Mu. Saleh Lahade.[39]
Selanjutnya di Kerajaan Bone setelah kedatangan Andi Pangeran Daeng Parani dari Jakarta tanggal 19 Agustus 1945, maka ia bersama ayahnya Raja Bone Andi Mappanyukki segera menata pemerintahannya dan menyatakan Kerajaan Bone bersama rakyatnya mendukung Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pendiiriannya makin teguh setelah menerima utusan datu Luwu Andi Jemma yang menyampaikan bahwa Pemerintah dan rakyat Kerajaan Luwu menyambut baik kemerdekaan Indonesia.  
Upaya untuk mendukung proklamasi, maka pada tanggal 8 Oktober 1945 para tokoh pergerakan nasional di Makassar, seperti: Gubernur Sulawesi Dr. G.S.S.J. Ratulangie, Lanto Daeng Pasewang, Mr. Zainal Abidin, Suwarno dan Malajong Daeng Liwang mendirikan sebuah Perguruan Nasional, yang bertujuan memupuk semangat kebangsaan dan menghasilkan kader bangsa bagi pemuda-pemuda yang ada di Makassar. Ide-ide nasional Republiken dipompakan kepada anak didik melalui pelajaran sejarah dan bahasa Indonesia. Dari sekolah inilah muncul pemuda militan seperti: Wolter Mongisidi, Rivai Paerai dan sejumlah tokoh pejuang yang menentang kekuasaan NICA.[40]
Pertengahan bulan Oktober 1945, Raja-raja di Sulawesi Selatan mengadakan Koperensi di Watampone diprakarsai oleh Andi Djemma (Datu Luwu ) bersama Raja Bone Andi Mappanjukki, untuk mempersatukan pendirian para raja-raja di Sulawesi agar tetap  di belakang  Proklamasi  RI. Melalui telpon, maka Andi Abdullah Bau Massepe dari Pare-pare menyatakan mendukung konperensi, yang tidak dapat dihadiri karena kesibukan dalam perjuangan. Komperensi ini sebagai conter-Move atas move conica di Makassar yang mengundang  Raja-raja  Sulawesi Selatan untuk mengadakan Koperensi Kopromi yang disampaikan Komondan Brigadier General Iwan Dougherty di Makassar peristiwa ini disaksikan oleh komondan NICA Mayor Wegner.[41]
Kuatnya upaya Raja Bone menyatukan pandangan para raja di Sulawesi, nampak dari adanya tiga kali pertemuan raja-raja terkemuka dari Sulawesi di Watampone yang terakhir dalam bulan November 1945. Pernyataan Raja Bone Andi Mappanyukki bahwa Bone berdiri sepenuhnya di belakang RI dalam keadaan bagaimanapun, menggugah pemuda pemuda membentuk kekuatan bersenjata dan selanjutnya para pemuda se-Sulawesi mengadakan Konverensi di Sengkang pada tanggal 12 Oktober 1945. Sebagai tindak lanjutnya, maka pada tanggal 19 Oktober 1945 di Watampone didirikan PTB (Pengawal Tana Bone), selanjutnya pada tanggal 20 Oktober 1945 dilakukan pengibaran bendera Merah Putih di kantor-kantor diwajibkan mengibarkan bendera nasional itu.
Di wilayah Kerjaan luwu, segera setelah memperoleh kepastian berita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, maka pada pertengahan bulan September 1945, Andi Maradang mengubah Hadat Luwu atau susunan pemangku pemerintahan Kerajaan Luwu disesuaikan dengan suasana kemerdekaan. Mereka yang kurang sepaham diganti atau mengundurkan diri,  dengan susunan baru menjadi:
1.      Opu Patunru          : Andi Maradang
2.      Opu Pabbicara       : Andi Pangerang (menggantikan Andi Jelling )
3.      Opu Tomarilaleng: Andi Mappanyompa ( menggantikan Andi Baso L )
4.      Opu Baliranete      : Andi Hamid ( menggantikan Andi Pangiu )
5.      Peter Besar            : Andi Kaso
6.      Sekretaris Datu     : Sanusi Daeng Mattata.[42]
Adat Luwu yang telah tersusun itu dinilai sebagai Kabinet Revolusi Kemerdekaan RI, maka Datu Luwu pun merasa lega karena memperoleh pembantu yang dijamin kesetiaannya terhadap proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Beberapa hari kemudian setelah terjadinya penyerbuan pemuda dan rakyat Indonesia di Palopo untuk merebut senjata/kekuasaan dari tangan Tentara Jepang. “Sukarno Muda“ menjelma menjadi “Pemuda Nasional Indonesia“ (PNI). Di bawah pinpinan Andi Muhammad Kasim. Sejak tanggal 17 September  1945, kemudian diubah lagi menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI) Pada tanggal 5 Oktober 1945, di bawah pinpinan Andi Makkulau Opu Daeng Parebba.
Berdasarkan desakan Pimpinan PNI Luwu, maka pada tanggal  2 Oktober 1945, di lapangan sepak bola Palopo, Andi Baso Petor Besar, Memproklamasikan Daerah Luwu secara resmi sebagai bagian dari Negara RI. Pegawai dan rakyat Luwu adalah Pegawai/Rakyat Republik Indonesia. Badan pemerintahan akan mengadakan pemogokan jika NICA datang.  Luwu akan menentang NICA/KNIL dengan segala konsekuensinya yang telah diperhitungkan. Pernyataan resmi ini akan di sampaikan kepada Gubernur Dr. G.S.S.J. Ratulangie dan Brigadier General Iwan Dougherty Komondan tentara Sekutu/Australia di Makassar.
Para pemuda juga mengadakan konperensi di Sengkang pada tanggal 12 Oktober 1945, yang diprakarsai oleh M. Jusuf Arief, Andi Paggaru, dan Anwar. Komperensi ini dihadiri oleh utusan-utusan Pemuda Republik Indonesia dari seluruh Jazirah Sulawesi. Yang mewakili Sulawesi Utara  ialah R. M. Kusno Dhanupojo, Ahmad Dahlan, Muhammad Djazuli Kartawinata, dari Sulawesi Tengah ialah Raja Muda Wongkolemba Talasa dan Ince Moh. Dachlan. Tujuan Komferensi ini ialah mendesak raja-raja di Sulawesi agar tetap pada pendiriannya semula sesuai dengan hasil Koperensi Raja-raja di Watonpone, dan untuk menggalang kesatuan  gerakan/asksi melawan NICA dan KNIL yang mulai merajarela.
Dalam suatu kesempatan Gubernur Dr. G.S.S.J. Ratulangie membuat petisi yang ditandatangani oleh pemuka masyarakat Sulawesi. Dalam petisi itu dinyatakan bahwa seluruh Rakyat Sulawesi tidak dapat dipisahkan dari Republik Indonesia. Oleh karena petisi itu, pada tanggal 5 April 1946, Dr. G.S.S.J. Ratulangie, Lanto Daeng Pasewang, Saleh Daeng Tompo, J. Latumahina, W.S.T Pondaag, I.P.L Tobing, dan Suwarno ditangkap dan ditahan di Penjara Hogepad di Makassar.
Menanggapi hal itu, maka H. Mansjur Daeng Tompo Ketua Persatuan Islam bersama Nurdin Sjahadat,  membuat sepucuk surat permohonan pembebasan tokoh-tokoh pejuang tersebut kepada pimpinan Sekutu di Makassar bernama Brigadier General Chilton, namun ditolak, sehingga pada tanggal 18 Juni 1945 para tokoh tersebut dibuang ke Serui (Irian Barat/Papua).
Beberapa hari setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu, di Sulawesi Tenggara disebarkan panflet dari udara yang memberitakan kekalahan Jepang tersebut. Dengan demikian berita itu diketahui secara meluas oleh rakyat Sulawesi Tenggara. Tindakan Jepang yang pertama dalam menyambut berita tersebut adalah membuang sebagian peralatan di Teluk Kendari dan Pomalaa dan melumpuhkan peralatan perang yang potensial.
Kolaka diproklamirkan oleh Andi Kasim sebagai Kepala Pemerintahan  setempat sekaligus sebagai wakil Kerajaan Luwu di Kolaka yang disebut Mincara Ngapa, menjadi bagian dari Wilayah Republik Indonesia, dan segera mengambil alih pemerintahan setelah Jepang menyerah. Proklamasi ini dicetuskan atas desakan Pemuda Kolaka yang tergabung dalam organisasi API (Angkatan Pemuda Indonesia). Organisasi ini dibentuk pada tanggal 9 September 1945, merupakan penjelmaan dari organisasi bawah tanah PETA (Pembela Tanah Air) yang dibentuk setelah berita proklamasi diterima. Sebagai organisasi bawah tanah, maka penerimaan anggota harus melalui pengucapan ikrar untuk mempertahankan kemerdekaan dan setia kepada RI. Pimpinan PETA ialah: Andi Punna, Abu Baeda, dan Syamsuddin Opa.[43]
Setelah PETA menjelama menjadi API pada tanggal 10 September 1945, sifatnya yang bergerak di bawah tanah berubah menjadi terbuka dan berusaha menggalang persatuan dan potensi rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan. Pada tanggal 12 September 1945 para pimpinan dan anggota API mendatangi rumah-rumah penduduk Kolaka yang daragukan pendiriannya terhadap proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Atas tindakan para pemuda yang tergabung dalam API, maka Andi Kasim selaku Kepala Pemerintahan Kolaka mengadakan pertemuan dengan para Pimpinan API. Dalam pertemuan para Pimpinan API dapat meyakinkan Pemerintah Kolaka akan kesiapan pemuda dan rakyat untuk mendukung dan mempertahankan kemerdekaan. Selanjutnya atas usul API, maka Kolaka diprolamirkan menjadi wilayah RI pada tanggal 17 September 1945 dalam suatu upacara bendera di depan rapat umum dimana Bendera Merah Putih dikibarkan dengan iringan lagu Indonesia Raya.  Berikut susunan Pengurus API:
1. Ketua                                              : Andi Punna
2. Kepala Penerjang                            : Tahrir
3. Wakil Kepala Penerjang                  :  Abd. Wahid
4. Kepala Penyelidik                           : Bangsa Salampessy
5. Wakil Kepala Penyelidik                : Abu Baeda
6. Anggota-Anggota                           : Barohima
  Cokeng
  Ali Arifin, dan lain-lain.[44]
Sebulan kemudian yaitu pada tanggal 17 Oktober 1945 API menjelma menjadi PRI (Pemuda Republik Indonesia). Namun demikian semua Kepala Pemerintahan setempat tampak ragu-ragu dan bersikap menunggu perkembangan dalam menerima berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, kecuali Andi Kasim di Kolaka. Melihat potensi dan atas dorongan Para Pemuda Kolaka Andi Kasim dalam upacara bendera memproklamirkan Kolaka sebagai bagian dari RI.  Upacara pengibaran bendera merah putih di Kolaka dilaksanakan pada tanggal 17 September 1954 diiringi lagu Indonesia Raya, dipimpin oleh Andi Kasim Petor (Kepala Pemerintahan) Kolaka, didampingi oleh anggota Swapraja, yaitu: Sulewatang Indumo, Bokeo Puwatu, Guru Kapitan, Sapati Baso Umar Daeng Marakka, selanjutnya mengumumkan bahwa Kolaka dan sekitarnya adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia. Pengibaran bendera Merah Putih oleh Kepala Pemerintahan di Kolaka (Andi Kasim) dihadiri dan disaksikan Pula oleh Kabasima Taico Komandan Tentara Jepang di Pomalaa.
Pengibaran Merah Putih di Lasusua pada tanggal 5 Oktober 4945 yang dihadiri oleh Kepala Distrik Patampanua dan beberapa pimpinan Pemuda Republik Indonesia dari Luwu. Di Wawotobi kota kedua terbesar dalam wilayah Kerajaan Laiwoi  dan tempat kediaman Raja II Laiwoi  bendera Merah Putih dikibarkan pada Akhir Oktober 1945 oleh para pemuda setempat atas dorongan utusan Pemuda Kolaka dan Pemuda Luwu yang saat itu berkunjung ke sana. Pengibaran bendera merah putih dilakukan pula di Bupinang pada akhir November 1945 atas dorongan Pemuda Kolaka/Luwu dihadiri oleh Kepala Distrik (Gunco) setempat.
Salah satu bentuk semangat juang rakyat Kolaka, maka pada tanggal 29 Agustus 1945 pemuda Kolaka terdiri atas 19 orang melakukan sumpah setia terhadap proklamasi kemerdeakaan dengan keris terhunus dan dengan menggoreskan tanda tangan darah pada bendera merah putih bertempat di rumah Andi Kamaruddin (di tepi sungai Kampung Sakuli). Mereka membaca Al-Qur’an Surat Al-Fatihah dan masing-masning berikrar/berjanji: sekali merdeka tetap merdeka; merdeka tau mati; merah putih tidak diturunkan sebelum melangkahi mayatku; segalanya kukorbankan untuk kemerdekaan bangsaku; maju mati mundur mati, lebih baik maju mati; tidak ada kemerdekaan tanpa pengorbanan; saya sedia gugur untuk bangsaku.
Dari Kolaka sinar perjuangan kemerdekaan memancar ke sekitamya sampai ke Kendari dan Bupinang yang masuk dalam kesultanan Buton. Utusan Pemuda Kolaka bersama Pemuda Luwu merangsang semangat terpendam dari Pemuda Wawotobi untuk membela kemerdekaan. Pemuda kota Kendari dan sekitamya cukup berusaha dan berambisi, tetapi gagal dalam mewujudkan suatu organisasi perjuangan sehingga kegiatannya terselubung, walaupun terbentuk semacam organisasi pemuda dengan pimpinan Makmun Dg. Mattiro. Hal ini disebabkan karena Makmun Dg Mattiro sebagai seorang Pamongpraja terlalu berhati hati dan ragu-ragu menghadapi keadaan pada saat itu. Sesudah datangnya NICA, Makmun Dg. Mattiro bekerja pada Belanda.
Di Wawotobi setelah pengibaran bendera Merah Putih berhasil pula dibentuk Sinar Pemuda Konawe dengan pimpman sebagai berikut:
1) Saido Johan Syah
2) M. Jamil Muchsin
3) Assadiq Mekoa
4) Hamzah.  [45]
            Nuhung Silondae, Mokole (Kepala Distrik) Andoolo (Kendari Selatan) bersatu dengan para pemuda yang tergabung dalam Pemuda Rakyat Kendari dan mendapat dukungan dari rakyat Andoolo dengan tegas menyatakan Andoolo sebagai wilayah RI. Pada waktu tentara Australia/NICA mendarat di Kendari dan diterima oleh Raja Laiwoi (Tekaka), maka Nuhung Silondae mengirim utusan ke Kolaka di bawah pimpinan M.Ali Silondae dan menyatakan bahwa Andoolo ikut Kolaka sebagai wilayah Rl. Oleh Pemerintah RI di Kolaka pernyataan Andoolo itu diterima dengan baik. Setelah utusan tiba kembali, maka secara resmi diumumkan di depan umum bahwa Andoolo adalah bagian dari RI dan bergabung dengan Kolaka. Rapat umum itu diakhiri dengan penaikan bendera Merah Putih akhir Nopember 1945. Pemimpin-pemimpin perjuangan kemerdekaan di Andoolo adalah: (1) Nuhung Silondae, (2) Ali Silondae, (3) Abdullah Silondae, (4) Jacob Silondae, (5) Aburaera Silondae, (6) A. Parenrengi, (7) Saiman, dan (8) Saradia (V. Bolo).
            Pada    awal bulan Desember 1945 delegasi rakyat Distrik Buapinang (Bunken Buton) yang terletak di sebelah selatan wilayah Kolaka mengirim pula utusean ke Kolaka dan menyatakan Bupinangi sebagai wilayah RI. Pimpin an delegasi adalah:
      1) Mappeare Daeng Mananrang
      2) Abd. Fattah
      3) Daeng Makkita
      4) Pabottinggi Daeng Maroa.[46]
Di Muna para pemuda yang dipimpin oleh M. Idrus Efendi tidak dapat meyakinkan Raja Muna La Ode Ipa untuk segera secara resmi menyatakan Muna sebagai bagian dari wilayah RI dan mengibarkan bendera merah putih, sehingga pengibaran merah putih di wilayah Kerajaan Muna dilaksanakan di Labalano diluar ibu kota yang dimpin oleh M. Idrus Efendi. Pelayar-pelayar Buton yang berasal dari Wakatobi yang baru pulang dari Jawa dan Sumatra membawa berita proklamasi dan berhasil mengibarkan bendera marah putih untuk pertama kalinya pada tanggal 15 Desember 1945.
Tidak berapa lama setelah tersiarnya berita Proklamasi Kemerdekaan pimpinan pemuda Wawo dan sekitamya (Kolaka Utara) M. Ali Kamry menugnjungi Kabasims Taico di Pomalaa untuk meminta senjata dengan diantar oleh Sigimitsu. Tapi Kabasima tidak dapat memberikan senjata, karena senjata di Pomalaa telah didaftar oleh Australia. Kabasima hanya menjanjikan 1000 pucuk yang akan diambil dari Kendari. Kemudian M. Ali Kamry datang menagih janji Kabasima, tetapi tidak dipenuhi karena senjata di Kendari telah dibuang ke Teluk Kendari. Kali ini M. Ali Kamry hanya mendapatkan beberapa samurai, sejumlah pistol, dan sejumlah granat tangan. PETA yang bergerak di bawah tanah setelah Proklamasi Kemerdekaan, maka pada awal September 1945 berhasil mendapat 2 pucuk senjata dari Jepang. Semenjak terbentuknya API pemuda Kolaka di bawah pimpinan Tahrir dan M. Ali Kamry berhasil mendapatkan 49 pucuk karabijn, yaitu senjata yang dibuang Jepang di pelabuhan Pomalaa. Penyelaman senjata ini tidak mendapat rintangan dari Jepang.
Turut sertanya beberapa orang Jepang dalam perjuangan menentang Belanda/NICA menggambarkan betapa jauhnya oknum tentara Jepang membantu mendirikan kekuasaan RI di  Sulawesi Tenggara, walaupun kemungkinan di dalamnya terselip alasan pribadi masing masing. Di antara mereka malah ada yang berpangkat perwira (Taico=Kapten).
Pada tanggal 5 September 1945, Andi Punna selaku Kepala Penyelidik Barisan API,  mengutus Salampessy untuk melaporkan bahwa nama barisan PETA di ganti menjadi barisan API (Angkatan Pemuda Indonesia).  Kapten Kabasima meneriama baik perubahan nama PETA menjadi API.  Kapten Kabasima menyampaikan telah bertemu Tokoh Islam K. H.  Mahading dan memberi senjata api sebanyak 51 pucuk, 1 rusak pelatuknya (tidak dapat dipakai).  Pemberian senjata api dari Kapten Kabasima, secara rahasia melalui seorang Goco (sersan) dibuang (ditenggelamkan) ke dasar laut, pemuda Suku Bajo berusaha mengambil dengan menyelem yang diawasi pemuda API.  Senjata api dari Kapten Kabasima,  terdiri Karabeyn Bekas Tentara KNIL 9, 5 dan Karabeyn Tentara Jepang Sanpatzu.  Pada tanggal  7 September 1945,  Pemuda PETA dan API mempermahir menggunakan senjata api, yang memberi latihan kemeliteran 3 anggota bekas HEIHO, (Lappase, Nasir dan Abu Bone), 2 orang pemuda yaitu: Pakalu dan Tiro pembantu Tokke Tai yang sementara tugas di Tanjung Oko-oko (Batu Kilat) membawa 2 buah senjata Karabeyn 9,5.  Andi Becce (M. Aryad) juru tulis II Indumo Daeng Makkalu Kepala Distrik Kolaka bergabung Pemuda API memegang 1 pucuk senjata api Karabeyn 9,5 milik Indumo Daeng Makkalu.
Pada tanggal 18 September 1945 Kapten Kabasima memberi bantuan Pemerintah RI dan Barisan Pejuang bersenjata berupa: 1 Kapal Motor Boat untuk angkutan laut,  6 Mobil Truk “Toyota” untuk angkutan darat, dan beberapa perlengkapan kemiliteran.
Satu ekspedisi tentara Sekutu berangkat dari Kendari ke Kolaka pada tanggal 19 Nopember 1945 dengan maksud menjemput bekas tentara KNIL yang ditawan oleh Jepang dan dipekerjakan di Tambang Nikel Pomalaa. Pada pagi hari itu, pukul 07. 00 Andi Kasim Tuan Petor Kepala pemerintah RI Kolaka didampingi M. Yunus Ketua API, menunggu kedatangan tentara Belanda/Sekutu dari jurusan Kendari di tempat itu dipasang penghambat jalan mobil menuju ke Pomalaa. Susunan formasi pertahanan:
Kepala Penerjang                                         : H. Abdul Wahid didampingi 
                                                                        Abd. Kadir Towokia
Kepala Penyelidik                                        : Andi Punna didampingi Salam Pessy
Regu Penyelidik dan Penghubung               : Abu Baeda dibantu Syamsudin Opa
Penembak Tanda Komando Pertempuran   : Raccade didampingi Ali Arifin.
Regu I Sayap Kanan                                    : Lappase dibantu Abu Bone (bekas Heiho)
Regu II Sayap Kiri                                       : Muhiddin S.  dibantu Mallise (bekas Manarai Jumpo)
Regu III Pegawai I Komando                    : Talibbe dibantu H.  Arafah (bekas Kaijo Sen Tai).[47]
Senjata Laras panjang digunakan 30 pucuk. Pengatur Rakyat Repulik bersenjata tajam,  Indumo Daeng Makkalu Kepala Distrik Kolaka dibantu M. Nur Kepala Kampung Kolaka.  Pada pukul 11. 00 kedengaran deru mobil dari arah Kendari.  Tentara Belanda/Sekutu dengan 3 pengawalnya lengkap senjata api turun di tempat penghalang jalan.  Komandan Tentara Belanda/Sekutu bertolak pinggang, berkata: ”Kurang ajar siapa yangpasang kayu penghalang di sini?”.  Ada 4 orang Tentara Jepang tanpa senjata dan topi baja, dua orang sopir mobil  truk Toyota persiapan mengangkut bekas KNIL yang tinggal di Kampung Huko-Huko.  Komandan Tentara Belanda/Sekutu memerintahkan keempat Tentara Jepang hendak mengangkat dan menyingkirkan kayu penghalang jalan.  Sementara keempat Tentara Jepang hendak mengangkat kayu penghalang,  tiba-tiba Andi Kasim yang didampingi M. Yunus muncul langsung berhadap-hadapan dengan tentara Belanda/Sekutu, akhirnya terjadi dialog antara Andi Kasim dengan Komandan Tentara Belanda/Sekutu. 
(AK) Selamat siang Tuan,  Saya Andi  Kasim Petor Kepala Pemerintah RI Kolaka Daerah Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta.
(TB) Saya Letnan John Van Boon Tentara Sekutu,  atas perintah Komandan Tentara Sekutu di Makassar saya mau ke Pomalaa  untuk memeriksa keadaan dan peninggalan Tentara Jepang,  dan mengambil bekas KNIL yang pernah di tawan Tentara Jepang di Pomalaa.
(AK) Dimana surat perintah Komandan Tentara Sekutu?
(TB)  Letnan John  Van Boom diam pura-pura meraba saku bajunya, tidak dapat memperlihatkan Surat   Perintah Komandan Tentara Sekutu
(AK) Tuan melanggar memasuki Daerah RI tanpa izin Pemerintah RI Kolaka, Tuan tidak boleh melanjut melanjutkan perjalanan ke Pomalaa, senjata tuan-tuan dititip di Markas Barisan PETA/API/PI Kolaka.  Bila Tuan-tuan kembali dari Pomalaa senjatanya boleh diambil.  “Keamanan Tuan-tuan selama berada dalam Daerah RI Kolaka tanggungan kami.  Kalau Tuan-tuan tidak menghiraukan permintaan kami, keselamatan Tuan-tuan diluar pengetahuan kami[48].
Letnan John Van Boon dengan congkak tanpa kata-kata melanjutkan perjalanan ke Pomalaa melewati pos-pos barisan PETA/API/PI.  Letnan John Van Boon dan pasukannya jelas adalah Tentara NICA, yang tidak mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945 dan menghina serta memandang enteng Pemerintah dan Pejuang bersenjata Pembela Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sore hari pada pukul 15. 30 tanggal 19 November 1945 rombongan kembali dari Pomalaa, pada saat akan melewati Pos penjagaan Sabilambo, maka para pemuda menghadang mereka. Tembakan pertama di mulai disusul tembakan beruntun dari pemuda pejuang.  Tentara NICA membalas tembakan beruntun,  seorang pemuda Republik kena tembakan (luka ringan siku kiri).
Tentara Jepang lompat berlindung di selokan tidak melepaskan tembakan,  kemudian berteriak “Indonesiaaa.  Tembak, di sini Nippon Tuan, Nippon Indoneia Banzai.  Seluruh tembakan Pejuang bersenjata di arahkan pada mobil Tentara NICA.  Pemuda pejuang serempak menembak sambil berteriak, kalau mau hidup menyerah  Tentara NICA diserbu Barisan Tombak, Letnan John Van Boon menghilang (lari meninggalkan pasukannya sambil bertempur).  Satu orang Tentara NICA (berkebangsaan Indonesia) mati tertombak oleh pemuda Lantema dengan menggunakan Tombak Karada. Ada 2 orang Tentara NICA (Bangsa Indonesia) menyerah dengan senjatanya Yunggle Gun (Jenggel), 2 orang Tentara Jepang luka ringan bagian paha, setelah mendapat pertolongan Palang Merah Indonesia mereka bergabung dengan pemuda pejuang.  Pada pukul 17. 00 para pejuan bersenjata mengadakan apel konsolidasi dan pemekaran organisasi perjuangan di Markas Pemuda Pundoho.  Selesai santap siang dan istirahat,  Opu Topatampanangi anggota BPR (Badan Pertimbangan Revolusi) mengumumkan Terbentuknya PKR (Pembela Kedaulatan Rakyat).  Pimpinan Utama PKR:
Kepala Penerjang     :   H. Abdul Wahid

Kepala Penyelidik   :   Andi Punna

Kepala Pelatih         :   M. Yoseph.
Satu pelaton anggota penyelidik yang dipimpin Andi Punna memburu Letnan John Van Boon dan memberitakan pos-pos penjagaan API sektor Distrik Rate-rate.  Pada tanggal 22 November 1945,  barisan API  yang ada di Distrik Rate-rate (Abdul Hamid dkk), Pos Kampung Poli-Polia Ladongi,  menyergap Letnan John Van Boon bersama senjatanya.  Letnan John Van Boon menampakkan dirinya, ia menyangka sudah masuk Daerah Kendari. Letnan John Van Boon kemudian dibawa ke Kolaka dan dimasukkan dalam Penjara Kolaka. Dalam pemeriksaan dan penjagaan PI (Polisi Istimewa) bekerja sama Bagian Penyelidik PKR Kolaka. Para Tentara NICA yang ditawan pejuang bersenjata diperlakukan sesuai HAM (Hak Asasi Manusia).
Di Sulawesi Tengah, pada tanggal 25 Agustus 1945 utusan Gubernur Sulawesi bernama Hajarati datang dari Makassar  tiba di Poso utusan untuk membentuk pemerintahan sipil di Poso dimana W. L. Talasa diangkat sebagai Kepala Pemerintah di Poso. Untuk menghubungi raja-raja di wilayah Donggala-Palu dikirim R.G. Datu Pamusu dan ke Luwuk dikirim Abdul Muis Lanasir untuk menemui Raja Banggai. Keduanya membawa dokumen dari Gubernur Sulawesi Dr. G.S.S.J. Ratulangie.  Juga dibentuk PNI (Pemuda Nasional Indonesia) dipimpin oleh Sidik Utina dan Jakob Lamadjuda. Mengenai perjuangan di Poso menurut Abdul Latief Mangitung adalah sebagai berikut: Pada waktu itu pemuda dipersenjatai dari hasil pencurian senjata Jepang Karena sejak pasukan Jepang yang ada di poso mengetahui kekalahannya pada sekutu maka mereka lalu melepaskan dan menumpuk begitu saja senjatanya di gudang untuk diserahkan apabila tentara sekutu dating.
            Secara terang-terangan Jepang tak mau menyerahkan senjatanya pada pemuda tapi apabila senjata itu dicuri maka inipun dibiarkannya saja. Pada awal bulan Nopember 1945 datang di Poso utusan dari PRI (Pemuda Republik Indonesia) Palopo, M. Landau bersama 2 (dua) orang kawannya Umar Abdullah dan Nur Apala dengan tujuan memebntuk cabang PRI di Poso.[49]
            Terbentuklah Cabang PRI Poso yang dipimpin oleh Abdul Latief Mangitung,  akan tetapi pada awal Nopember 1945, datanglah pasukan tentara Sekutu  (Australia) dan membawa NICA yang disambut baik oleh Raja Tua Poso bernama W.L. Talasa. Karena raja tua tak mengizinkan pemuda-pemuda melakukan perlawanan di Poso, maka para pemuda PNI pimpinan Sidik Utina dan Yakob Lamadjuda menyerahkan senjatanya sebelum bertempur.
            Utusan M. Landau dari PRI Palopo melihat setuasi ini, selanjutnya dengan cepat kembali ke Palopo untuk melaporkan setuasi di Poso dengan melalui Tentena  dikawal satu regu kesatuaan  Lasykar Tanjumbulu dipimpin oleh Martinus. Pada akhir Nopember 1945 utusan Organisasi pemuda Poso Y. K. Yanis dan Ahmad Dahlan menuju Senggakng untuk menghindari  Koperensi Pemuda se Sulawesi. Koperensi tersebut menghasilkan kebulatan tekad menolak kedatangan Belanda di Indonesia. Koperensi pemuda itu juga mengusulkan agar dapat memberikan bantuan persenjataan dari pihak manapun untuk mengusir penjajah NICA yang di bantu oleh Sekutu di Indonesia.
            W. L. Talasa ikut pula menghadiri pertemuan Pemuda di Sengkang, kemudian meneruskan perjalanan ke Watampone. Karena Kota Poso sudah dikuasai oleh Belanda, maka markas  perjuangan depindahkan ke luar Kota Poso yaitu Malei. Pada tanggal 31 Desember 1945  kesatuan Lasykar Tajungbulu ditingkatkan susunan personaliannya karena wilayah kegiatannya meliputi seluruh Sulawesi Tengah, maka susunan pengurusnnya adalalah sebagai berikut:
1.      Abdul Latief Manghitung           : Komondan Lasykar Tanjumbulu
2.      Yap Sui Ciong                             : Wk. Komondan Lasykar Tanjumbulu
3.      A. L. Panggamanan                     : Kepala Staf
4.      I Lataco Talamoa                         : Kepala Staf 1/Penyelidik
5.      L. Bungkato                                : Wakil Kepala Staf  1/Pantai Barat Donggala
6.      Abu Saleh Tanjumbulu                : Kepala staf  II /Bagian Operasi
7.      R.  Manggolo                               : Kepala Staf III/Personalia
8.      Abu Maloco                                 : Kepala Staf  IV/Bagian Keuangan
9.      Darius Raupa                               : Kepala Staf V/Penerangan
10.     Ipassa                                           : Penghubung
11.     M. Nani                                       : Urusan Perlengkapan Senjata Seberang/Tawao
12.     Saleh Topetau                              : Komandan Batalyon I Poso-Tojo
13.     Abdulah Hamid                           : Komandan Batalyon II Poso Moutong
14.     Lae Pendolo                                : Komandan Batalyon III Pendolo Tentara
15.     Laucu Lanasir                              : Komondan Batalyon IV Luwuk-Kolonodale
16.     Mumahamad Amin Dahlan         : Komanadan Batalyon V Ampana Togeang
17.     R.G. Datu Pamusu                      : Komandan Batalyon VI Palu-Donggala
18.     P. Marhum                                   : Komandan Kompi Otonom Buol Toli-Toli
19.     R.M.  Kusnod Hanupoyo                        : Penasehat
20.     Y.k. Yanis                                   : Penasehat.[50]
            Para pejuang tersebut menjadi pimpinan Lasykar Tanjumbulu Sulawesi Tengah dan bermarkas Induk di Kampung Malei, dan segala kegiatan dipertanggung jawabkan pada masing-masing pimpinan di daerah yang telah ditentukan dan senantiasa kompak dengan pimpinan Komando Markas di Malei.
Sejak tanggal 12 Oktober 1945 pasuka Sekutu (Australia) ditempatkan di Kota Tomohon sekaligus menjadi markas  NICA. Tomohon dikenal sebagai kota pendidikan, juga tempat pusat-pusat pimpinan Agama Kristen dan Khatolik sejak puluhan tahun.[51] Di Manado, baik pemuda maupun militer sepakat bahwa aksi perebutan kekuasaan harus dimulai oleh kalangan tentara bersenjata, yaitu dari Teling Manado, dimana berpusat potensi militer Belanda. Seorang tokoh pejuang yang telah turut dalam barisan Tentara Sekutu yang memimpin Tangsi-Hitam di Teling adalah Letnan Lembong. Bulan Januari 1946 ia meninggalkan Kota Manado untuk seterusnya bergabung dengan tentara revolusi di Jawa.
            Niat untuk menumbangkan kekuasaan militer Belanda di daerah ini diambil alih Ch.Ch. Taulu, seorang bekas KNIL yang mengepalai gudang-gudang supply bahan makanan dan pakaian tentara di Teling. Berdekatan dengan gudang-gudang ini terdapat Arsenal, gudang senjata, yang ketika itu berada di bawah pimpinan Sersan S.D. Mais (Wuisan). Selanjutnya Sersan Wim Wanei memegang Supply dari Kompi 148, fourir sigar Monde supply kompi 144, sedang kompi VII yang baru tiba dari tugas sebagai Tentara Sekutu, dipimpin oleh Frans Bisman.
            Melalui kampanye, maka dikalangan militer KNIL ditaburkan rasa kecewa terhadap pelayanan yang diskriminatif  terhadap anak buah bangsa Indonesia.             Dalam segi politik, dilancarkan desas-desus, bahwa janji Ratu Belanda pada tanggal 7 Desember 1942 untuk memberikan persamaan hak dan pemerintahan sendiri kepada bangsa indonesia, ternyata dikesampingkan oleh NICA. Jadi, satu-satunya jalan ke arah persamaan, keadilan dan kebahagiaan bagi bangsa Indonesia  termasuk tentara KNIL, adalah menggulingkan pemerintahan NICA.
            Pembagian tugas yang ditetapkan oleh Ch. Ch. Taulu beserta kawan-kawannya adalah sebagai berikut:
1.      Kompi VII dijadikan combattroop, dipimpin oleh Frans Bisman dan Mambi Runtukahu. Lain-lain pelopor adalah Jus Kotambunan, Mas Sitam, Lengkong Item, Gerson Andris dan Nico Anes. Mereka ini akan menguasai dan mengamankan perwira-perwira Belanda KNIL dan NICA.
2.      Yang pertama-tama harus dikuasai adalah bahan makanan, senjata, mesiu, pakayan.
3.      Kompi 148 dibawah pimpinan Wim Waney, dibantu oleh Wim Tamburian, Wangko Sumanti, Frans Lantu, Jan Sambuaga, Bert Sigarlaki, Samel Kumaunang, Osacar Rumambi setelah dapat menguasai tempat-tempat supply tersebut, harus menjalankan aksi-aksi penangkapan terhadap anggota tentara Belanda dan pejabat-pejabat NICA di rumah-rumah mereka.
4.      Mais Wuisan menguasai kompi 143 dan akan mengawasi kamp tawanan Jepang di Girian-Bitung;
Sigar Mende dan Polet Molanda menguasai kompi 144 di Manado dan Suparmin kompi 142 di Tomohon.
5.      Pengamanan terhadap komunikasi ditugaskan kepada redio-telegrafist Rombot yang selanjutnya akan menguasai semua dinas radio. No Tooy mengawasi semua dinas telepon dan Maurits Rotinsulu dinas pengangkutan.
6.      Kurir-kurir istimewa untuk menghubungi pemuda-pemuda di Manado, Tondano dan pedalaman Minahasa adalah No Korompis (Kompi VII), Gustaf Sumarauw (Kompi VII), Jan Sambuaga (Kompi 148) dan Wim Tamburian (Kompi 148).[52]
Pada tanggal 7 Februari 1946 seluruh rencana telah rampung sampai ia pada tindakan-tindakan darurat dan pengamanan bilamana terjadi sesuatu kemacetan. Rencana ini telah diberitahukan kepada B.W. Lapian dalam suatu rapat rahasia yang diadakan pada hari itu di Singkil. Juga turut dalam perundingan ialah P.M. Tangkilisan, Ticoalu dan Dr. Tumbelaka. Pimpinan KNIL sudah dapat menduga bahwa suasana di kalangan tentara bangsa Indonesia bisa meletuskan suatu pemberontakan. Biang keladinya sedang dicurigai, sehingga rumah S.D. Wuisan diintai. Pada tanggal 9 Pebruari 1945 jam 17.00 petang suasana di Teling makin tegang dan akhirnya Ch. Ch. Taulu dan S.D. Wuisan ditangkap dan dijebloskan dalam tahanan. Di samping itu diambil tindakan pengamanan terhadap Kompi VII dengan menarik semua peluru yang ada pada pasukan. Dengan demikian pimpinan KNIL sudah merasa agak legah dan tidk perlu khawatir akan terjadi sesuatu keonaran pada hari-hari berikut. Tetapi juga tindakan-tindakan Belanda ini telah diperhitungkan, maka sesuai rencana permulaan aksi dipercepat satu jam, jelasnya menjadi jam 01.00 tengah malam menjelang 14 Februari 1946.
Komandan Garnisun Manado Kapitein Blom yang berdiam di Sario dibangunkan oleh ajudannya dengan kata-kata: Kapten diminta datang ke Teling karena keadaan agak berbahaya. Letnan Ver Waayen mendesak supaya segera datang.  Juga ditegaskan oleh ajudannya bahwa pengawal-pengawalnya sudah siap menunggu di luar dengan sebuah Jeep bahwa perjalanan aman dan penjagaan cukup kuat. Di sepanjang jalan dari Sario menuju ke Teling (melalui jalan yang dinamakan sekarang ”jalan 14 Februari”). Kapten Blom dapat menyaksikan sendiri bahwa pos-pos melakukan kewajiban mereka dengan baik. Tiba di  Markas Teling, penjaga pos memberik hormat, Piket datang menjmput dengan sikap-hormat, kemudian minta kepada Perwira Belanda itu supaya senjatanya diserahkan. Pengawal-pengawalnya mengawasi pelaksanaan permintaan piket itu. Barulah Kapten itu sadar bahwa ia sudah terjebak, tetapi mengikuti printah untuk masuk di tempat tahanan, dimana Letnan Ver Waayen, wakilnya sudah ada lebih dahulu setelah ia ditangkap oleh pengawalnya sendiri.
Sewaktu aksi penangkapan sedang berjalan, maka pada jam 04:00 bertempat di Markas Tentara Bukit Teling, Wangko Sumanti mengambil bendera belanda yang disimpan di Pos Penjagaan, merobek warna birunya dan bersama teman-temannya menaikkan bendera yang menjadi dwi-warna di tiang bendera Tangsi Teling, para pemuda lainnya juga mengikuti tindakan itu, sehingga di sana sini tampak merah putih berkibar[53]
Menjelang subuh Wim Kereh memimpin pasukan untuk membebaskan kaum nasionalis yang selama ini ditahanan di Penjara Manado. Para tawanan politik yang terlibat dalam rencana pemboikotan perayaan 10 Januari pagi itu dapat pulang ke rumah masing-masing, seperti: John Rahasia, G.A. Maenkom, Kusno, Dhanu Pojo, G.E. Dauhan, O.H. Pantouw, A. Manoppo, Max Tumbel, dr. Sabu, F.W. Kumontoy, dan Mat Canon.
Di Tondano sejak tanggal 14 Februari 1945 malam, pos-pos pemuda telah mengadakan penjagaan di persimpangan jalan dan gedung-gedung penting. Ketika kode berhasil tembus di Tondano dengan letusan senjata beberapa kali, maka pejabat-pejabat pemerintah setempat yaitu H.M. Besar Bram Wenas dan komandan polisi, Inspekrur Brender A. Brandish dihubungi oleh pemimpin-pemimin pemuda, bahwa keamanan di Tondano akan dipegang oleh pemuda.
Kemudian dari Tomohon diterima berita, bahwa di sana masih terdapat suatu kesulitan pokok. Komandan NICA Coomans D Ruiter dan Troepen Commandant Overste de Vries berdiam di Kota ini. Kompi 142 masih tetap dikuasai oleh Belanda, sehingga penyelesaian kompi ini harus dilakukan dari Manado dan pucuk piminan NICA masih harus direbut. Frans Bisman ditugaskan oleh Taulu untuk menangkap kedua pembesar Belanda sesudah menguasai dan menertibkan kompi tersebut.[54]
Bermodalkan dua buah peleton tempur, Bisman berangkat menuju ke Tomohon,  bendera  merah-putih berkibar di mobil depan, suatu tanda untuk menyerbu. Tiba di kota ini Bisman menyiapkan steling untuk menyerang pertahanan KNIL tembakan pertama datang dari seorang Sersan Mayor Belanda yang mengenai tepat pada kepala sopir mobil depan itu. Ia gugur sebagai pahlawan 14 Februari 1945, tembakan ini dibalas oleh pasukan Bisman dan beberapa  peluru bersarang dalam tubuh Tenara Belanda itu. Waktu  ia diangkut ke rumah sakit ternyata bahwa luka-luka itu tidak membahayakan nyawanya melihat keadaan jadi demikian, maka komandan KNIL, melalui Kepala Polisi Tomohon, Inspektur Samsoeri, menyatakan menyerahkan diri bersama segenap Kompi 142 Corps NICA yang ada di Tomohon, maka Corps-NICA bersama seluruh stafnya dibawa ke Manado.  Sebuah patroli tentara yang dipimpin oleh Freddy Lumanaw memasuki Kota Tondano dan mengadakan upacara penaikan bendera merah  putih di depan markas kepolisian, setelah dimabil tindakan-tidakan penertiban seperlunya.
Suatu pasukan di bawah pimpinan F. (wangko) Sumanti yang ditugaskan ke Girian mula-mula menemui kesulitan, karena komandan tawanan Jepang Letnan Van Emden tidak megakui penyerahan diri pimpinan KNIL, ia bertanggungjawab kepada pimpinan Sekutu. Tetapi dalam suatu percakapan bujukan, maka ia secara tiba-tiba disergap  dari belakang, sehingga ia terpaksa menyerah dan mengalihkan tugas pengawasan kamp tersebut kepada tentara nasional Indonesia. Dengan demikian Kompi 143 di Girian dapat ditertibkan, termasuk kamp tawanan yang menampung 8000 Serdadu Jepang. Hanya seorang pegawai perkebunan Belanda bernama Van Loon dapat meloloskan diri dengan menggunakan sebuah perahu kecil ke Ternate.
Pada tanggal 15 Februari 1946 jam 8.00 pagi diadakan perundingan kilat antara pimpinan KNIL/NICA dan pimpinan Pejuang RI masing-masing dibawah pimpinan Letkol de Vries dan Ch.Ch. Taulu. Pertemuan dilangsungkan di Markas Teling Manado.
Usaha de Vries untuk mempengaruhi Taulu dan kawan-kawannya supaya kekuasaan militer dikembalikan saja, dengan pelbagai janji, adalah tidak berhasil. Overste Dr. Tumbelaka dan Kapten Keseger dapat memahami kesulitan-kesulitan dan beratnya konsekuensi yang akan dihadapi Taulu. Jika ia bertahan dan mendukung ususl-usul de Vries. Tetapi tentara pemberontak tetap pada pendirian, bahwa kekuasaan sejak tanggal 14 Pebruari 1946 berada de facto di tangan pemerintah Indonesia. Dengan demikian suatu komando pemerintahan nasional ditetapkan untuk daerah Sulawesi Utara dan Tengah, yaitu wilayah Keresidenan Manado, dibawah pimpinan B.W. Lapian, yang menggantiakan NICA sebagai pimpinan pemerintahan sipil, dan Ch, Ch. Taulu, dibantu oleh S.D. Wuisan, F.H. Nelwan, dan Fr. Bisman sebagai pimpinan militer.[55]
Secara analogi pangkat Residen diberikan kepada B.W. Lapian dan Letkol kepada Ch.Ch. Taulu, sedang S.D. Wuisan dijadikan Mayor dan berturut-turut F.H. Nelwan dan F. Bisman, Kapten. Dengan pengambilan alihan pimpinan KNIL dan NICA secara sepihak ini, maka semua warga Belanda menjadi status tawanan dan mereka diasingkan dalam suatu kompleks perumahan di Sario Manado. Para keluarga dapat menggabungkan diri dengan mereka, sedang harta milik mereka tidak diganggu, kecuali kendaraan-kendaraan mereka yang semuanya dinyatakan dalam rekwirasi. Yang tidak memilih status tawanan adalah rohaniwan-rohaniwan Katolik, seperti: Pastor, Frater, Bruder, dan Suster yang tetap menjalankan tugas-tugas mereka dalam bidang paroki, sekolah dan perawatan.
Berkenan dengan peralihan kekuasaan ini, maka media yang maha penting, yaitu dinas penerangan yang sebelumnya dibina oleh NICA, berupa R.V.D., percetakan pemerintah dan siaran radio, dikuasai oleh pemerintah Nasional dan pimpinannya diserahkan kepada Wolter Saerang, dibantu oleh Jo Jocom, keduanya wartawan nasionalis.
Tujuan utama dari pada peristiwa perebutan kekuasaan ini ialah turut dalam revolusi kemerdekaan Indonesia yang sedang berkobar di seluruh tanah air dan berpusat di Yogyakarta. Kaum perintis nasional yang tidak banyak itu harus menyerahkan obor perjuangan kepada barisan pemuda yang akan dijuluki kemudian Angkatakn 45. Itulah sebabnya pembinaan jiwa pemuda yang bersifat menyeluruh di daerah ini harus dijalankan segera melalui media penerangan dan propaganda. Surat kabar dan selebara-selebaran menggunakan kesempatan untuk menananamkan dan menjelaskan tentang  maksud perebutan kekuasaan ini. Bahwa darah dan rakyat disini adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia dengan pusat pemerintaha di Yogyakarta. Siaran-siaran kepada dunia luar, khususnya kepada pemerintah RI tentang coup d’etat di Manado sebagai pernyataan partisipasi dalam revolusi kemerdekaan di Jawa telah dilakuakan secara broadcasting oleh Dinas Telegraf  Tentara. Berita telah diterima kemudian dari Markonis Kapal Patroli Australia S.S. Luna, bahwa radio-radio Sanfransisco dan Meulbourne telah mengetahui tentang peristiwa merah-putih di Sulawesi Utara itu dan telah menyiarkan ke seluruh dunia. Jelaslah bahwa berita ini telah menggemparkan pihak Sekutu, terutama pimpinannya di Makassar, yang dipegang oleh Brigjend Thornton kemudian menurut radio, telegrafis tentara di Teling, bahwa Soekarno melalui Radio Yogyakarta telah mengakui perjuangan rakyat di Sulawesi Utara dan merasa bangga atas saham dan bakti rakyat ini dalam memenangkan revolusi kemerdekaan Indonesia.
Pada tanggal 16 Februari 1946 bertempat di Gedung Minahasa Raad Manado diadakan suatu rapat penting  yang dihadiri oleh pempinan militer, polisi dan sipil bersama pimpinan pemuda BPNI/PIN. Dalam rapat itu diumumkan keputusan bahwa KNIL dihapus  dan selanjutnya menjadi Tentara Republik Indonesia Sulawesi Utara (TRISU). Pasukan ini akan berada di bawah komando Letkol Ch.Ch Taulu dengan stafnya Mayor S.D. Wuisan, Kapten H.V. Nelwan dan Kapten F. Bisman. Sedangkan Kaseger (yang tidak menyetujui perebutan kekuasaan KNIL ini) dimasukan juga dalam Staf Komando dengan diberi Pangkat Mayor.
Selanjutnya dalam rapat ini telah dibentuk Pemerintahan Sipil yang dipimpin oleh Residen B.W. Lapian. Sedang Staf Pemerintahan terdiri dari D.A. Th. Gerungan (Keperintahan), Alex I.A. Ratulangi (Keuangan), Dr. W.J Ratulangi (Perekonomian), dr.ch Singal (Kesehatan), S.D. Wuisan (Kepolisian), E. Katoppo (P.P. & K), Hidayat (Kehakiman), Wolter Saerang (Penerangan) dan Max Tumbel (Pelabuhan & Pelayaran). Terhadap pejabat-pejabat lama yang nasionalis pada masa NICA memimpin Dinas dan Jawatan, seperti: R.C. Lasut, P.M. Tangkilisan, No Ticoalu, Fr. Walandouw, tetap dipertahankan. Di kalanagan kepolisian  diadakan reorganisasi di bawah pimpinan inspektur-inspektur Polisi Sorongan, Warikki dan lain-lain, dengan menempatkan anggota-anggota polisi yang nasionalis pada pos-pos penting di Sulawesi Utara. Akhirnya dalam rapat ini dapat disetujui, bahwa kekuasaan untuk memelihara keamanan dan ketertiban, disamping polisi dan pamongpraja, diberikan kepada Pasukan Pemuda Indonesia (PPI) yang berpusat di Tondano (Patang, 1975). Surat keputusan ini dikeluarkan dan ditanda-tangani oleh komandan TRISU, Letkol Ch.Ch Taulu tertanggal 16 Februari 1946.  Kepada PPI komandan TRISU menjanjikan pemberian senjata, setelah pemuda-pemuda mendapat latihan militer secukupnya dari pada instrukturnya. Markas besar PPI yang ditetapkan di Tondano itu, disusun pula dalam bentuk komando dan pimpinan oleh seorang Hulubalang-besar, yakni E.D. Johannes, Penasehat BPNI/PIM. Kepala stafnya ialah Wim Pangalila.
Kotapraja Manado dalam kedudukannya sebagai gernisun diberikan juga status markas-besar dengan suatu wewenang yang otonom-taktis. Hulubalang ialah John Rahasia dan Wakilnya Mat Canon. Selnjutnya di tiap-tiap sektor di daerah Minahasa dibentuk Komando P.P.I yang lengkap dibawah pimpinan hulubalang, wakil Hulubalang dan kepala staf, dan seterusnya. Untuk sektor Tomohon diangkat Eddy Mondong dan Freddy Wongkar, untuk Tondano Jo L.M. Supit dan Usman Pulukadang. Untuk Tonsea J.P Karamoy, Victor Mnadey dan Bang Wenas. Untuk Kawangkoan H. M Taulu dan G. Mendur. Untuk Ratahan P. Salassa dan J Methulusa dan untuk Amurang J. Sarijowan dan J. Mamesah. Hulubalang muda diangkat pula untuk memimpin PPI sub sektor (kecamatan).
Markas besar PPI di Tondano dibagi menurut asistensi atau urusan yang masing-masing dipimpin oleh seorang pengurus dengan personalia sebagai berikut: Umum: R. (Mat) Pulukadang, Keuangan: Wuli Supit, perhubungan: B. Wowor, Penerangan” Ch. D. Pontoh, Pendidikan/pengajaran: E.A. Parengkuan, perekonomian J. Kumaunang, Perbekalan: Andi Masengi, Latihan B. Matulandi, Agama/Kebudayaan F. Dendeng dan kesehatan: A. Tampi. Komandan Markas: J Lumungkewas. Oleh karena keadaan pada waktu itu bersifat darurat, maka segala kegiatan dalam bidang pemerintahan, perekonomian/perbekalan, komunikasi, keamanan/pertahanan, dijalankan oleh pihak tentra dibantu oleh PPI.
            Pimpinan pemeritahan sipil membahas segi-segi politik, mengurus administrasi dan organisasi pemerintah serta mengeluarkan keputusan-keputusan yang bertalian dengan itu. Dalam bidang keuangan, ekonomi dan sosial diusahakan supaya membayar gaji dan pensiun berjalan lancar, sekalipun ternyata NICA tidak meningggalkan persediaan uang yang cukup dalam kas Negara. Hal ini terlihat dalam serah-terima keuangan dari pemegangkas NICA Letn. Murk C. De Jong kepada A.I.A. Ratulangi, yang hanya berkisar 6 juta gulden. Ini berarti, bahwa kekuatan keuangan hanya mampu sampai tiga bulan, jika diingat bahwa pensiunan KNIL sudah berjumlah 20.000 orang.
            Demikian pula mengenai perbekalan, khususnya beras yang bagi pasukan-pasukan tentara hanya cukup untuk beberapa minggu saja. Masalah ini adalah penting dan menentukan, sehingga pemimpin pemerintahan harus mencari jalan keluar, perlunya bentuan dari daerah-daerah lain. Namun demikian PPI melihat perampasan kekuasaan dari NICA itu dari segi lain, yaitu segi perjuangan dan revolusi  kemerdekaan, yang terang membawa konsekwensi semacam ini.
Program PPI ialah supaya kepada 15.000 anggotanya diberikan latihan militer/tempur dan dipersenjatai. Persediaan cukup banyak dari persenjataan yang diserahkan oleh tentara Jepang kepada Sekutu. Tuntutan PPI ini mutlak, karena NICA dan Sekutu tidak akan membiarkan tanggungjawab dan tugas pengawasan mereka atas Sulawesi Utara ini dicopot begitu saja oleh anggota KNIL yang memberontak, oleh karena itu sedang menyiapkan diri untuk merebut kembali kekuasaan ini.
Latihan-latihan militer diberikan oleh para Instruktur dari Teling kepada PPI di Manado dan Tondano dengan mulai menggunakan senjata, sedang pemuda-pemuda PPI di tempat-tempat lainnya dilatih dengan kayu dan bambu oleh pelatih-pelatih setempat. Pada umumnya pemuda-pemuda sudah tahu memakai senjata karena sebagian mereka adalah bekas Tentara Heiho, Tokubets-Tai dan sebagainya. Pemuda-pemuda pelajar dari SMRK Kebangsaan di Tondano, dimobilisir menjadi pasukan pertahanan, sehingga mata pelajaran diganti dengan latihan baris-berbaris, memanggul senjata, dan lain-lain.
Seminggu sesudah perebutan kekuasaan dari NICA di Manado, maka pemerintah nasional di bawah pimpinan Residen Lapian mengumumkan secara resmi, bahwa daerah Sulawesi Utara dan Tengah, bekas wilayah Keresidenan Manado berada di bawah kekuasaan pemerintah RI. Peristiwa ini dirayakan dalam suatu upacara resmi pada tanggal 22 Februari 1946 di Lapangan Tikala, dihadiri oleh Komandan TRISU Letkol Taulu, Mayor Wuisan, Kapten Nelwan, Kapten Bisman, sedang staf sipil nampak hadir anatara lain: Dr. W.J. Ratulangi, Dr. Kisman, A. Dauhan, Oei Pek Yong, O. Dajoh, A.B.H. Waworuntu, dan No Ticoalu. Pada kesempatan ini Residen Lapian menyampaikan pidatonya. Di Tondano pada pagi hari itu diadakan parade pemuda yang terdiri dari 3000 pemuda PPI yang telah datang dari seluruh Sektor Tolour (Tondano, Eris, Kakas dan Remboken). Komandan upacara ialah Jo Supit, sedang sebagai inspektur upacara bertindak E. D. Johannes, Hulubalang-besar PPI. Mewakili Pemerintahan Naisonal ialah Bram Wenas.[56]
Pada 16 Februari 1946 berlangsung sidang darurat Dewan Minahasa di Manado menetapkan sesuai rencana semula Kepala Distrik Manado, BW Lapian sebagai Kepala Pemerintah Merah-Putih Merdeka dengan kabinetnya, yakni: W. Saerang (sekretariat), DA. Th. Gerungan (pemerintahan), Alex Ratulangi (keuangan), drh. Wim Ratulangi (perekonomian), R. Hidayat (kehakiman), Mayor SD. Wuisan (merangkap kepolisian), dr. Ch. Singal (kesehatan), E. Katoppo (pengajaran), Max Tumbel (perhubungan/pelabuhan).
Selanjutnya barisan pemuda PPI dipercayakan memelihara keamanan di seluruh wilayah di bawah hulubalang besar ED. Johannes dan para hulubalang dengan kota serta kecamatan, yakni untuk kota besar Manado John Rahasia. Selanjutnya untuk berbagai wilayah kecamatan para komandan Mat Canon, Eddy Mondong, Jo Supit, John Malonda, Max Roringkon, Ton Lumenta dan lain-lain. Untuk markas besar PPI di Tondano terdapat nama-nama Wim Pangalila, Chris Ponto, Ben Wowor, Engel Parengkuan, Andi Masengi, Mat dan Usman Pulukadang, Nona Wuli Supit dan lain-lain.
Tindakan Heroik di Sulawesi Utara tanggal 14 Februari 1946, para pemuda Indonesia anggota KNIL tergabung dalam Pasuka Pemuda Indonesia (PPI) mengadakan gerakan Tangsi Putih dan Tangsi Hitam di Teling Manado. Mereka membebaskan tawanan yang mendukung Republik Indonesia antara lain Taulu, Wuisan, Sumanti, G.A Maengkom, Kusno Dhanupojo, G.E. Duhan, juga menahan Komandan Garnisun Menado dan semua pasukan Belanda di Teling dan Penjara Manado. Diawali peristiwa tersebut para pemuda menguasai markas Belanda di Tomohon dan Tordano. Berita dan perebutan kekuasaan tersebut dikirim ke Pemerintah Pusat yang saat itu di Yogyakarta dan mengeluarkan maklumat no 1 yang ditandatangi oleh Ch.Ch.Taulu. Pemerintah sipil dibentuk tanggal 16 Februari 1946 sebagai rasiden dipilih B.W. Lapian.
Peristiwa Merah Putih terjadi tanggal 14 Februari 1946 di Manado. Para pemuda tergabung dalam pasukan KNIL Kompeni VII bersama lasykar rakyat dari barisan pejuang melakukan perebutan kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon, dan Minahasa. Sekitar 600 orang pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditahan. Pada tanggal 16 Februari 1946 mereka mengeluarkan surat selebaran yang menyatakan bahwa kekuasaan di seluruh Manado telah berada di tangan bangsa Indonesia. Untuk memperkuat kedudukan Republik Indonesia, para pemimpin dan pemuda menyusun pasukan keamanan dengan nama Pasukan Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh Mayor Waisan. Bendera Merah putih dikibarkan di seluruh pelosok Minahasa hampir selama satu bulan, yaitu sejak tanggal 14 Februari 1946.  Pada malam hari tanggal 22 Pebruari 1946 bertempat di halaman rumah bekas Hukum-Besar Supit diadakan resepsi dan Pesta Rakyat untuk para pembesar yang baru tiba di Tondano dari Manado.
Di Gorontalo,  setelah Jepang menyerah, mereka masih tetap menghormati Nani Wartabone sebagai pemimpin Rakyat Gorontalo. Terbukti dengan penyerahan pemerintahan dari Jepang kepada Nani Wartabone pada tanggal 16 Agustus 1945. Sejak hari itu Sang Saka Merah Putih kembali berkibar di Gorontalo setelah diturunkan Jepang sejak 6 Juni 1942, karena pada tanggal 23 Januari 1942, Rakyat Gorontalo telah mengumumkan Kemerdekaan dan mengibarkan bendera Merah Putih. Anehnya, setelah penyerahan kekuasaan dari Jepang, Nani Wartabone dan Rakyat Gorontalo belum mengetahui telah terjadi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta 17 Agustus 1945 keesokan harinya, mereka baru mengetahuinya pada tanggal 28 Agustus 1945.
Untuk memperkuat pemerintahan nasional di Gorontalo yang baru saja diambil alih dari tangan Jepang, maka Nani Wartabone merekrut 500 pemuda untuk dijadikan pasukan keamanan dan pertahanan. Mereka dibekali dengan senjata hasil rampasan dari Jepang dan Belanda. Pasukan ini dilatih sendiri oleh Nani Wartabone, sedangkan lokasi latihannya dipusatkan di Tabuliti, dan Suwawa. Wilayah ini sangat strategis, berada di atas sebuah bukit yang dikelilingi beberapa bukit kecil, dan bisa memantau seluruh Kota Gorontalo. Di tempat ini pula, raja-raja Gorontalo zaman dahulu membangun benteng-benteng pertahanan mereka.
Setelah menerima berita proklamasi dari Jakarta, maka pada tanggal 1 September 1945 Nani Wartabone membentuk Dewan Nasional di Gorontalo sebagai badan legislatif untuk mendampingi kepala pemerintahan. Dewan yang beranggotakan 17 orang ini terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat dan ketua parpol. G. Maengkomdan Muhammad Ali adalah dua dari 17 orang anggota dewan tersebut. Upaya mempertahankan Pemerintahan Republik Indonesia, maka para pemuda berhasil merebut senjata dari markas-markas Jepang pada 13 Sepember 1945. Pada tanggal 30 November 1945 Nani Wartabone pun ditangkap ketika melakukan perundingan dan dipenjarakan di Jakarta.
Dalam perjuangan rakyat Sulawesi (terutama di Kolaka) nampak keikutsertaan kaum perempuan cukup meyakinkan dalam mempertahankan kemerdekaan. Sehingga perjuangan rakyat dalam mempertahakan RI merupakan perjuangan seluruh rakyat dengan tidak membedakan jenis kelamin, kepercayaan, suku, dan asal-usul. Dalam wadah PRI misalnya, nampak persatuan antara golongan Islam dan Kristen dalam perjuangannya membela kemerdekaan. Begitupun suku Mekongga, Bugis, Manado, Ambon, Timor, dan lain lain bahu membahu dalam perjuangan. Kader-kader PSII, Muhammadiyah/Hisbul Wathan, PNI, bekas KNIL, bekas Heiho/Seinendan/Romusya bersatu dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan.

D. Konflik  Antar Tokoh di Daerah
Sebelum Dr. G.S.S.J. Ratulangie dan yang lainnya datang ke Makassar, Nadjamuddin Daeng Malewa sudah merupakan tokoh pergerakan nasional terkemuka di Sulawesi Selatan yang telah mengakar dikalangan rakyat dalam beberapa catatan tokoh ini jarang tertandingi oleh tokoh pergerakan lokal pada zamannya. Sejak kedatangan Dr. G.S.S.J. Ratulangie di Makassar, kelihatan ada suatu persaingan yang kemudian akan menjadi kendala besar bagi jalannya sejarah kemerdekaan di Makassar.[57]
Nadjamuddin Daeng Malewa beserta pemimpin lokal lainnya merasa tersingkirkan, apalagi Dr. G.S.S.J. Ratulangie semakin menonjol, baik di kalangan tokoh pergerakan lokal maupun di kalangan Bangsawan yang banyak berpengaruh pada kelanjutan karier politiknya di Sulawesi Selatan. Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Dr. G.S.S.J. Ratulangie berusaha menggalang semua unsur kekuatan di Sulawesi Selatan. Sebagai langkah awal maka, Dr. G.S.S.J. Ratulangie mendekati pihak bangsawan yang sangat berpengaruh di daerah ini. Pada awal pendudukan Jepang diprakarsailah berdirinya SUDARA (Sumber Darah Rakyat) oleh Dr. G.S.S.J. Ratulangie atas bantuan pemerintah pendudukan Jepang dan menempatkan Andi Mappanyukki sebagai Ketua dalam oraganisasi ini. Ratulangi sendiri bertindak sebagai wakil ketua sekaligus menjadi organisator yang efektif dalam SUDARA ini. Tokoh-tokoh lainnya, diantaranya; Lanto Daeng Pasewang sebagai kepala bagian umum, Mr. Tadjuddin Noor sebagai kepala bagian ekonomi, Sijaranamual dan Saelan ditunjuk sebagai biro pemuda. Hubungan Ratulangi dengan Raja Bone Andi Mappanyukki dalam SUDARA amat penting untuk memudahkan kerjasama antara kaum nasionalis Makassar yang kosmopolitan dan kaum bangsawan tradisional di kerajaan-kerajaan setempat untuk mendukung Republik dan untuk menentang kembalinya Belanda.[58]
 Dalam perjalanannya, organisasi yang dimaksudkan oleh Jepang sebagai propaganda anti Barat (Belanda) ini, ternyata diarahkan oleh tokoh-tokoh pergerakan Sulawesi Selatan ke arah penumbuhan nasionalisme dikalangan rakyat dalam mempersiapkan kemerdekaan. Terdapat tiga tokoh pergerakan lokal persatuan progressif SUDARA ini yang sangat aktif menanamkan propaganda dan menggalang perjuangan rakyat baik di pelosok daerah, maupun dalam Kota Makassar sendiri, yakni: Dr. G.S.S.J. Ratulangie, Mr. Tadjuddin Noor dan Nadjamuddin Daeng Malewa.[59]
Organisasi tersebut meluas ke seluruh daerah dalam bentuk komite-komite perjuangan. Nadjamuddin Daeng Malewa seorang nasionalis yang mempunyai pengaruh luas sempat bekerjasama dengan Ratulangie dan termasuk pengurus didalamnya. Tapi kerjasama itu tidaklah begitu baik. Ratulangie dan Tadjuddin Noor berada dalam persaingan, sedang kesetiaan Nadjamuddin diragukan. Terdapat kemungkinan, Nadjamuddin yang merasa dirinya mempunyai kemampuan dan banyak berjasa terhadap Pergerakan Nasional di Sulawesi Selatan, ternyata ditempatkan pada posisi tak berarti dalam SUDARA yang baru dibentuk oleh Ratulangi tersebut.[60]
Nadjamuddin Daeng Malewa dan Mr. Tadjuddin Noor semakin merasa disingkirkan oleh Dr. G.S.S.J. Ratulangie setelah munculnya undangan dari pihak penguasa Angkatan laut Jepang untuk menghadiri rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Jakarta. Dari nama-nama yang diberangkatkan rupanya kedua tokoh itu tidak ada, melainkan yang diberangkatkan ke Jakarta adalah: Dr. G.S.S.J. Ratulangie, disertai oleh Andi Pangerang Petta Rani (Anak Arumpone Andi Mappanyukki), Sultan Daeng Raja dan Mr. Zainal Abidin.[61]
Tidak diikutsertakannya Nadjamuddin Daeng Malewa dalam delegasi Ratulangie semakin menimbulkan kekecewaan baginya yang sangat mempengaruhi sikap politiknya dikemudian hari. Mengingat Nadjamuddin Daeng Malewa adalah putera Sulawesi Selatan sekaligus Walikota Makassar yang pernah menjadi anggota Partai Politik Parindra dan sangat besar pengaruhnya di dalam serikat-serikat buruh angkutan perahu. Dilihat dari sudut ini memang dapat dianggap Nadjamuddin Daeng Malewa adalah seorang tokoh politik yang terkemuka di daerah Sulawesi Selatan. Pengangkatan Ratulangi sebagai Gubernur Sulawesi mengundang berbagai “pertanyaan”, bukan saja Nadjamuddin, melainkan juga di kalangan raja-raja dan bangsawan Sulawesi Selatan, tetapi berkat dukungan aktif Andi Mappanyukki, maka sebagian besar bangsawan Sulawesi Selatan kemudian turut mendukungnya melalui “Deklarasi Djongaya” 15 Oktober 1945.[62]
Refleksi persaingan itu semakin jelas terlihat dari pembentukan organisasi oleh ketiga tokoh pergerakan masing-masing. Dr. G.S.S.J. Ratulangie yang lebih awal mendirikan Pusat Keselamatan Rakyat Sulawesi (PKR) tidak memberikan kedudukan “stategis” bagi Mr. Tadjuddin Noor yang sejak awal setia mendampinginya. Sedangkan Nadjamuddin Daeng Malewa sama sekali tidak masuk dalam kepengurusan itu. PKR ini kemudian dianggap sebagai badan resmi dari pemerintah Gubernur Sulawesi. Dalam waktu yang bersamaan dibentuklah Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh Mr. Tadjuddin Noor sekaligus menjadi ketua partai itu. Sedangkan Nadjamuddin sendiri tetap berada di Partai Sarekat Selebes dan mempertahankan cirinya sebagai organisasi nasional yang memperjuangkan kepentingan lokal.
Perjalanan keliling Ratulangie ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan, para raja-raja mendukung Proklamasi RI, tetapi belakangan hanya sedikit yang menolak menandatangani perjanjian kerja sama dengan NICA, diantara yang meniolak, seperti: Raja Bone Andi Mappanyukki dan Datu Tempe Andi Ninong.[63]
Konflik antara elit bangsawan dengan elit terdidik yang diwakili oleh kaum pergerakan ini, kemudian dimanfaatkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Nadjamuddin Daeng Malewa yang kecewa terhadap sikap Dr. G.S.S.J. Ratulangie menyatakan diri bekerjasama dengan Belanda, dan pada tanggal 11 Nopember 1945 Belanda memberikan kedudukan Handels Consulent, suatu jabatan tinggi untuk orang Indonesia pada masa itu. Konflik tersebut akhirnya banyak berpengaruh terhadap kelanjutan revolusi di Sulawesi Selatan, atau sepanjang berdirinya Negara Indonesia Timur hingga menyatakan diri bergabung dengan RI dalan negara kesatuan.[64]
Di wilayah Kerajaan Bone, setelah NICA memasuki daerah ini, maka Raja Bone Andi Mappanyukki melepaskan jabatannya karena tidak mau bekerja sama dengan Belanda, maka dia digantikan oleh Andi Pabbenteng. Sikap yang sama juga dilakukan oleh Andi Ninnong Datu Tempe yang rela meninggalkan kedudukan sebagai Ranreng Towa karena tidak rela bekerjasama dengan Belanda, sekalipun Matowa Wajo akhirnya bekerja sama dengan NICA, tetapi para pemuda Wajo yang tergabung dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) tetap berjuang di bawah pimpinan Andi Magga Amirullah Sulewatangpugi dan Andi Muh. Noor.
Di Wilayah Bulukumba Andi Sultan Daeng Raja menggalang para bangsawan dan rakyat untuk mengusir tentara NICA di awal Desember 1945 hingga tertangkap dan dibuang ke Manado selama lima tahun. Penangkapan Andi Sultan Daeng Raja terjadi karena dikhianati oleh sahabatnya sendiri yaitu Andi Abdul Gani yang kemudian diangkat sebagai penjabat Karaeng Gantarang secara sepihak oleh NICA. Selanjutnya berkonspirasi dengan NICA pimpinan Raymond Westerling menghalau dan menindas  gerakan prorepublik, dalam pembunuhan massal di Bantaeng dan beberapa wilayah Sulawesi yang terkenal sebagai peristiwa pembantaian korban 40.000 jiwa 1946–1947.
Di Wilayah Sulawesi Tenggara, pada tnggal 13 September 1945,  mata-mata Tentara NICA melancarkan isu-isu pemecah belah dalam perjuangan, antara lain: Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hanya untuk di Pulau Jawa (tidak masuk di luar Pulau Jawa).  Barisan PETA/API bergerak pada malam Jumat pukul 01.00 menyadarkan atau menahan orang-orang yang dicurigai anti Repubik Indonesia.  Pada  tanggal 14 September 1945,  barisan PETA/API membentuk Barisan PI (Polisi Istimewa) dipimpin Abdul Kadir dibantu Usman Efendi (Keduanya Bekas Anggota Kempe Tai atau Polisi Meliter Angkatan Darat Tentara Jepang).[65]
Kedatangan pasukan Sekutu  (Australia) dan membawa NICA pada awal Nopember 1945, yang disambut baik oleh Raja Tua Poso bernama W.L. Talasa, sehingga Raja Tua tidak mengizinkan pemuda-pemuda melakukan perlawanan di Poso, maka para pemuda PNI pimpinan Sidik Utina dan Yakob Lamadjuda menyerahkan senjatanya sebelum bertempur.[66]
Di Donggala sebelum tentara NICA mendarat terbentuklah PIM (Pemuda Indonesia Merdeka). Pemimpin PIM antara lain:  M.A. Pettalolo, Ladising, Usman Monoarfa, dan M. Amu. Tokoh utamanya adalah Alwi Mohammad, akan tetapi dengan tidak disangaka pada mulanya disaat mereka sedang menyusun kekuatan untuk mengadakan pertahanan sebelum NICA mendarat, tiba-tiba muncul beberapa tokoh yang belum menginginkan kemerdekaan dan bekerja sama dengan bekas KNIL.
Pemuda PIM dan pemuda Prorepublik Indonesia ditangkap serta rumah penduduk yang dicurigai digeledah untuk mencari dokumen. Tindakan liar ini dilakukan pemuda bekas KNIL yang tidak menginginkan kemerdekaan. PIM yang bekerja sama dengan Pemuda yang datang dari Mandar dipimpinan Andi Gani dan Jusuf, menyerbu Asrama Polisi di Donggala, menurunkan bendera belanda dan menggantikannya dengan Merah Putih. Sementara dari Poso instruksi Gubernur Dr. G.S.S.J. Ratulangie berupa: (1) Teks Prokiamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, (2) Surat anjuran mempertahankan kemerdekan bangsa dan tanah air yang telah diproklamirkan, dan (3) Surat keputusan Konpereni raja-raja se Sulawesi Selatan yang menyatakan tidak ingin dijajah lagi.
Berita tersebut juga disebarluaskan ke Luwuk Banggai dengan mengutus Abdul Muis, M. Nasir  pada awal November 1945. Waktu itu Raja Banggai S.A. Amir baru saja menerima kekuasaan pemerintanan NICA yang dipercayakan kepadanya. Ketika diperlihatkan ketiga surat dari Gubernur Sulawesi kepadanya, raja SA. Amir, merasa bingung dan bimbang. Permintaan untuk mengadakan pertemuan dengan pemuda Gerakan Merah putih yang pernah berjuang bersamanya di tahun 1942, dihindarinya dengan meninggalkan Luwuk menuju Kampung Kintom dan mengajukan adiknya Sulaeman Amir sebagai wakil.
Pertemuan di rumah Sulaeman Amir pada tanggal 5 November 1945 dihadiri oleh: (1) Suleman Amir, mewakili Raja Banggai (Pemeriniah), (2) Lamuis Lanasir (bekas Heiho) sebagai kurir dari Poso, (3) T.S. Bullah, Pimpinan GIM (Gerakan Indonesia Merdeka) dari Pagimana, dan (4) A.R. Lanasir, Pembantu Komandan/Koordinator keamanan Keris Muda Luwuk.
Pembicaraan tentang sikap peimerintah kerajaan terhadap isi surat tersebut. Akan tetapi tanggapan pihak pemerintah kerajaan mengecewakan dengan mengemukakan alasan-alasan: (1) Raja Banggai diangkat dan diambil sumpahnya secara tradisionil oleh 4 orang kepala kampung atau disebut Basalo Sangkap, sedangkan merek belum pernah dihubungi, (2) Telah beberapa kali terjadi perubahan pemerintahan, sehingga menyulitkan administrasi kerajaan Banggai, dan yang memikul tanggungjawab adalah Swapraja.
Mendengar itu maka, A.R. Lanasir kemudian menjawab: bahwa kalau memang begitu seharusnya prosedur yang ditempuh, mengapa menerima NICA tanpa lebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Basalo Sangkap? Karena sikap pemerintah kerajaan demikian, maka Lamuis Lanasir, A.R. Lanasir dan TS. Bullah meninggalkan pertemuan dan menuju ke Pagimana dan Bunta seterusnya Lamuis Lanasir kembali ke Poso.[67]
Sejak 11 Januari 1946 seluruh wilayah Keresidenan Manado telah diduduki NICA. Administrasi dan personalia dikembalikan pada status yang lama sebelum perang dunia II. Rehabilitasi dan prioritas diberikan kepada pegawai-pegawai yang setia kepada Belanda. Rakyat yang sebagian besar telah mengetahui bahwa kemerdekaan telah diploklamirkan 17 Agustus 1945 di Jakarta,  spontan mendukung RI dengan bimbingan dari tokoh-tokoh pergerakan setempat.
Setelah berlalu peristiwa 10 Januari 1946, maka NICA mengambil sikap lunak dan simpatik terhadap usul COMITE VAN INITIATIEF (Badan Penyalur Kehendak Rakyat) supaya jiwa pemuda Indonesia dipahami, maka daerah Minahasa dan Manado dibentuk suatu oraganisasi penggabungan kaum muda, yang terdiri dari pelbagai golongan: Pemuda Kristen, Pemuda Katolik, Pemuda Islam dan Pemuda Nasionalis, masing-masing dalam tingkatan-tingkatan ranting, cabang dan pusat. Untuk menyukseskan konsepsi ini, maka dengan sendirinya pemuda-pemuda BPNI yang ditahan itu harus dilepaskan untuk disalurkan melalui organisasi yang dikehendaki NICA.
Dalam rapat pembentukan PIM ini telah dibacakan surat pesanan dari Dr. G.S.S.J. Ratulangie, yang menyerukan agar pemimpin-pemimpin rakyat menjauhkan dari pikiran dan tindakan provinsialistis. Beliau menyebutkan diri “Orang Indonesia dan Bukan Orang Minahasa”. Dalam Kongres pemuda di Kinilow, delegasi pemuda menyiapkan rencana untuk mengadakan massa aksi untuk mengacaukan jalannya rapat. Tetapi maksud utama pembentukan PIM ialah untuk memelihara kesiapan pemuda dalam rangka menggulingkan kekuasaan NICA itu di daerah ini.
Kongres pemuda di Kinilow pada tanggal 9 Februari 1946 berlangsung dalam suasana tegang. Ds Wim Rumambi ditetapkan untuk memimpin kongres, NICA amati jalannya rapat, gedung pertemuan penuh sesak dengan utusan tiap cabang, massa BPNI/PIM bercampuur dengan pelbagai utusan. Pada saat struktur organisasi dibacakan, maka suasana berubah mendadak dan lahirlah dua pihak yang bertentangan.
Chris Pontoh berbicara atas nama BPNI/PIM, menolak bentukan organisasi yang dipimpin oleh suatu badan yang bersifat penggabungan. Pada saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan bersama. Separuh hadirin mendengungkan “Indonees-Indonees mulia-mulia” sedang yang lainnya meneriakkan: Indonesia Raya, merdeka-merdeka”. Kongres terpaksa ditutup tanpa mencapai hasil yang diharapkan NICA. Bagi BPNI/PIM dua hasil yang diperoleh melalui Kongres Kinilow, yaitu:
1.   Meyakinkan organisasi pemuda bahwa perjuangan kemerdekaan tidak mungkin berhasil melalui kompromi dengan Belanda dan perjuangan harus bersifat radikal.
2.   Turut sertanya PIM dalam Kongres telah memperdaya NICA, bahwa pemuda secara diam-diam mempersiapkan suatu coup kedua yang akan diwujudkan oleh kekuatan bersenjata dengan ancer-ancer waktu tanggal 14 Pebruari 1946. [68]
Untu membuktikan, bahwa pemerintahan di Sulawesi Utara berjalan seperti biasa, maka pemerintah Lapian-Taulu mengirim Radiogaram melalui kapal peronda Australia S.S LUNA, yang mengundang Pimpinan Sekutu di Makassar untuk datang berunding di Manado. Pada tanggal 23 Februari 1946 kapal S.S. El Libertador (4000 ton) tiba di pelabuhan Manado dengan membawa sebuah delegasi pimpinan sekutu dan NICA yang dikepalai oleh Lekol. Colson (Ingg).
Perundingan ditetapkan tanggal 24 Februari 1946, mulai jam 9 pagi di atas kapal. Sebelumnya Mayor Wilson (Sekutu) turun ke darat untuk menjemput utusan Indonesia dan utusan Belanda. Delegasi NICA  menghendaki supaya pihak Indonesia harus hadir pimpinan militer, yaitu: Taulu Wuisan, Nelwan dan Bisman serta pejabat sipil, yaitu: B.W. Lapian, D.A. Gerungan, Dr. Singal dan E. Katoppo, ditambah lagi dengan wakil golongan Tionghoa, Kapitein der Chinezen, Oei Pek Yong. Personalia ini diubah oleh pemerintah Indonesia yang mengajukan delegsinya terdiri dari: Lapian, Taulu, Gerungan, Katoppo, ditambah dengan Hidayat, Chris Pontoh dan A.B.H. Waworuntu, susunan personalia ini diterima Sekutu. Delegasi Sekutu dipimpin oleh Lt. Col Colson, selanjutnya Chief Co-NICA Kol. De Rooy dan komanadan KNIL Kol. Gilberth serta Mayor Wilson. Pihak Indonesia dipimpin oleh Residen B.W. Lapian dan pihak NICA oleh Co-NICA Coomans de Ruyter, sebagai penerjemah bertindak A.B.H. Waworuntu.
Setelah rapat dibuka oleh Colson, maka Sekutu mengajukan tuntutannya, supaya kekuasaan dikembalikan kepada NICA, mengenai syarat yang diajukan Indonesia akan diambil perhatian. Cara peralihan kekuasaan akan berlaku secara berangsur-angsur, dimulai dengan pelarangan pengibaran bendera Merah-Putih. Jawaban Chris Pontoh, bahwa jika merah putih hendak diturunkan, maka pasti akan terjadi pertumpahan darah.
Tuntutan kedua Sekutu, supaya semua senjata yang ada pada anggota tentara yang direbut dari KNIL harus dikembalikan kepada Sekutu. Dijawab oleh delegasi Indonesia, bahwa senjata adalah syarat mutlak untuk memelihara keamanan dan yang bertanggung jawab adalah Tentara Nasional Indonesia, termasuk jaminan keamanan terhadap kamp tawanan Jepang sebanyak 8000 orang.
Tuntutan ketiga, supaya delegasi dari darat turut serta dalam kapal menuju Makassar untuk melanjutkan perundingan, tetapi ditolak oleh Lapian. Untuk keluar dari jalan buntu, maka delegasi Indonesia diberi kesempatan mengadakan referendum melalui Kongres Rakyat dalam waktu 24 ajam. Kongres berlangsung 25 Februari 1946 dihadiri oleh semua tokoh yang mewakili organisasi, golongan dan lapisan masyarakat.
Timbullah perbedaan pendapat satu sisi ada suara kompromi, tetapi Mat Canon wakil PPI secara lantang menegaskan bahwa “Bendera Merah-Putih harus tetap dikibarkan: lebih baik daerah ini tenggelam didasar samudera, dari pada sang Dwi-Warna dilarang berkibar”. Nada ini menguasai rapat, Chris Pontoh merumuskan dua alternatif:
1.   Bendera merah-putih dikibarkan bersama-sama dengan bendera Sekutu, seperti berlaku di Jakarta, sembil menunggu penyelesaian lebih lanjut pada tingkat pusat.
2.   Menolak bentuk perundingan apapun dengan Belanda dan menerima segala konsekuensinya.[69]
Kongres rakyat memutuskan perundingan dengan Belanda dihentikan agar revolusi kemerdekaan berjalan terus. Akibat dari sikap pemuda dan NICA yang berbeda, sehingga gerakan perlawanan terhadap Belanda yang dilakukan secara terang-terangan melalui organisasi politik maupun gerilya berlangsung terus hingga terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT). NIT dilahirkan melalui Konferensi Denpasar tanggal 8 Desember 1946 sebagai kelanjutan dari Konferensi Malino tanggal 15-25 Juli 1946. Selanjutnya pada tanggal 24 Desember 1946 adalah tanggal berdirinya Negara Indonesia Timur dengan ibu kotanya Makassar dan Presidennya diangkat Tjokorde Gede Rake Sukawati.






DAFTAR PUSTAKA

Anak Agung Gde Agung. Dari Negara Indonesia Timur ke Negara Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. 1985.
Ali-Hadara. Profil Pejuang Sulawesi Tenggara. Kendari: Laporan Penelitian Kerjasama Barida dan Unhalu. 2007.
Anonim.  Sejarah Daerah Sulawesi Tengah. Jakarta: Depdikbud. 1979.
Anonim. Lahirnya Tri. Devisi Hasanuddin di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Ujung Pandang: Tim Penelitian Sejarah Perjuangan Rakyat Sulselra Kerja Sama Kodam XIV Hasanuddin, Unhas dan IKIP Ujung Pandang. 1983.
Anwar Hafid, dkk. Sejarah Daerah Kolaka. Bandung: Humaniora Utama Press. 2009.
Anwar Hafid dan Safruddin. Sejarah Daerah Konawe Utara. Bandung: Alfabeta. 2014.
Audrey R Kahin (ed.). Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan. Jakarta: Grafiti Perss. 1990.
A. Rahman Rahim. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang: Lembaga Penerbit UNHAS. 1985. 
B.Bhurhanuddin. Sejarah Masa Revolusi Fisik Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud. 1980.
Christian Pelras. Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Forum Jakarta Paris-Ecole Francaise d’Extreme-Orient. 2006.
Harun Kadir, dkk. Sejarah Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan. Jakarta: Depdibud. 1982.
Harun Kadir, dkk. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Kerjasama Bappeda TK I Sul-Sel dengan UNHAS, 1984.
Kementerian Penerangan RI. Propinsi Sulawesi. Makassar: Djawatan Penerangan RI Propinsi Sulawesi. 1953.
Lahadjdji Patang. Sulawesi dan Pahlwan-Pahlawanya. Makassar: Yayasan Kesejahteraan Generasi Muda Indonesia. 1975.
Manai Sophian. Apa yang Masih Teringat. Jakarta: Yayasan Mencerdaskan Bangsa Sulawesi Selatan. 1991.
Maulwi Saelan. Dari Revolui ’45 sampai Kudeta ’66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa. Jakarta: Visimedia Pustaka. 2008.
Moh. Ali Fadillah dan Iwan Sumantri. Kedatuan Luwu. Makassar: Lembaga Penerbit Universitas Hasanuddin. 2000.
M. Sanusi Dg. Mattata. Luwu dalam Revolusi. Makassar:  Yayasan Pembangunan Asrama Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu. 1967.
Mukhlis PaEni dan Kathryn Robinson (ed.). Politik Kekuasaan dan Kepemimpinan di Desa. Ujung Pandang: Lembaga Penerbit: UNHAS. 1985.
Mukhlis PaEni, dkk. Sejarah Sosial Daerah: Mobilitas Sosial Kota Makassar 1900-1950. Jakarta: Disjarahnitra Depdikbud. 1995.
Nugroho Notosusanto,  dkk.  30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949. Jakarta: Sekretariat Negara RI. 1985.
Nurhayati Nainggolan, dkk. Sejarah Revolusi Kemedekaan Daerah Sulawesi Tengah. Jakarta: Depdikbud. 1982.
R.Z. Leirissa. Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar harapan dan Yayasan Malesung Rondor. 1997.
Sagimun MD, dkk. Perlawanan dan Pengasingan Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press. 1986.
Sanusi Daeng Mattata. Luwu Dalam Revolusi. Makassar:  Yayasan Pembangunan Asrama Ikatan Palajar Mahasiswa Indonesia Luwu. 1967.
Sarita Pawiloy, dkk.  Sejaran Perjuangan Angkatan 45 di Sulawesi Selatan 17 Agustus 1945-17 Agustus 1950. Ujung Pandang: Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Propinsi Sulawesi Selatan. 1987.
Teuku H. Ibrahim Alfian. Perjuangan Datu Kerajaan Luwu Andi Djemma dalam Menancapkan Pilar Begara Kesatuan Republik Indonesia dan Pengusulannya sebagai Pahlawan Nasional.  Dalam Andi Djemma Pahlawan Nasional dari Bumi Sawerigading. Editor. A. Mattingaragau T, dkk. Makassar: Unanda Press. 2003.
Willem Ijzereef.  De Zuid-Celebes Affaire, Dieren. 1984.



NASKAH BUKU
PENYEBARAN BERITA PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA KE WILAYAH NUSANTARA




Sub-Tema:
BERITA PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA DI SULAWESI DAN RESPONNYA
Oleh:
Anwar Hafid





Editor:
Prof. Dr. Taufiq Abdullah
Prof. Dr. H. Asyumardi Azra
Prof. Dr. Susanto Zuhdi
Dr. Mukhlis PaEni
Dr. H. Anhar Gonggong










DIREKTORAT SEJARAH
DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
2015



[1] Maulwi Saelan. Dari Revolui ’45 sampai Kudeta ’66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa. Jakarta: Visimedia Pustaka.  2008, hal.  41

[2]  Nugroho Notosusanto, dkk. 1985.  30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949. Jakarta: Sekretariat Negara RI, hal. 30.

[3] Maulwi Saelan, op cit, hal. 6.
[4] Ibid  hal. 45.
[5] Lahadjdji Patang. Sulawesi dan Pahlwan-Pahlawanya. Makassar: Yayasan Kesejahteraan Generasi Muda Indonesia. 1975, hal. 59.

[6] Sarita Pawiloy, dkk.  Sejaran Perjuangan Angkatan 45 di Sulawesi Selatan 17 Agustus 1945-17 Agustus 1950. Ujung Pandang: Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Propinsi Sulawesi Selatan. 1987, hal. 124.

[7] Ibid, hal. 139.
[8] Ibid, hal. 140.
[9] Ibid, hal. 142.
[10] Ibid, hal. 146.
[11] Anwar Hafid, dkk. Sejarah Daerah Kolaka. Bandung: Humaniora Utama Press. 2009, hal. 138.
[12] Sarita Pawiloy, 1987, op cit, hal. 131
[13]Ali-Hadara. Profil Pejuang Sulawesi Tenggara. Kendari: Laporan Penelitian Kerjasama Barisda dan Unhalu. 2007, hal. 58.
[14]Sarita Pawiloy, 1987, op cit, hal. 66.
[15] M. Sanusi Dg. Mattata. Luwu dalam Revolusi. Makassar:  Yayasan Pembangunan Asrama Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu. 1967, hal. 215.

[16] Sarita Pawiloy, 1987, op cit, hal. 68
[17] R.Z. Leirissa. Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar harapan dan Yayasan Malesung Rondor. 1997, hal. 118.
[18] Ibid, hal. 117.
[19] Lahadjdji Patang, 1975, op cit, hal. 285.
[20]Christian Pelras. Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Forum Jakarta Paris-Ecole Francaise d’Extreme-Orient. 2006, hal. 335.
[21] Anwar Hafid dan Safruddin. Sejarah Daerah Konawe Utara. Bandung: Alfabeta. 2014, Hal. 144.
[22] Ibid, hal. 281.
[23] Sarita Pawiloy, 1987, op cit, hal. 125.
[24] Anonim. Lahirnya Tri. Devisi Hasanuddin di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Ujung Pandang: Tim Penelitian Sejarah Perjuangan Rakyat Sulselra Kerja Sama Kodam XIV Hasanuddin, Unhas dan IKIP Ujung Pandang. 1983, hal. 34.

[25] Sarita Pawiloy, 1987, op cit, hal. 126
[26] Ibid, hal. 130.
[27] M. Sanusi Dg. Mattata, 1967, op cit, hal. 217.
[28] Sarita Pawiloy, 1987, op cit, hal. 133
[29] Ibid, hal. 144.
[30] Ibid, hal. 151.
[31] Ibid, hal. 156.
[32] Teuku H. Ibrahim Alfian. Perjuangan Datu Kerajaan Luwu Andi Djemma dalam Menancapkan Pilar Begara Kesatuan Republik Indonesia dan Pengusulannya sebagai Pahlawan Nasional.  Dalam Andi Djemma Pahlawan Nasional dari Bumi Sawerigading. Editor. A. Mattingaragau T, dkk. Makassar: Unanda Press. 2003, hal. 53.

[33] Nurhayati Nainggolan,  1982, op cit, hal. 73.
[34] Ibid, hal. 74.
[35] Ibid, hal. 75.
[36] Anonim.  Sejarah Daerah Sulawesi Tengah. Jakarta: Depdikbud. 1979, hal. 165.
[37] Nurhayati Nainggolan, 1982, op cit. 100.
[38] Ibid, hal. 101.
[39][39] Sarita Pawiloy, 1987, op cit, hal. 126.
[40]  Mukhlis PaEni, dkk. Sejarah Sosial Daerah: Mobilitas Sosial Kota Makassar 1900-1950. Jakarta: Disjarahnitra Depdikbud. 1995, hal. 34.
[41]  Lahadjdji Patang, 1975, op cit, hal. 196.
[42] Sarita Pawiloy, 1975, op cit, hal. 157.
[43] B. Bhurhanuddin, 1980, hal.24.
[44] Ibid, hal. 25.
[45] Anwar Hafid,  2009. op cit, hal. 146.
[46] Ibid, hal. 146.
[47] Ibid, hal. 160.

[48] Ibid, hal. 161
[49]  Nurhayari Nainggolan, 1982, op cit, hal. 67.
[50] Ibid, hal. 95.
[51] Lahadjdji Patang, 1975, op cit, hal. 235.
[52]  Ibid, hal. 246.
[53] R.Z. Leirissa. Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar harapan dan Yayasan Malesung Rondor. 1997, hal. 133.
[54]  Lahadjdji Patang, 1975, op cit, hal. 249.
[55]  Ibid, hal. 250.
[56]  Ibid, hal. 255.
[57] Manai Sophian. Apa yang Masih Teringat. Jakarta: Yayasan Mencerdaskan Bangsa Sulawesi Selatan. 1991, hal. 23.
[58] Audrey R. Kahin (ed.). Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan. Jakarta: Grafiti Perss. 1990, hal. 72.
[59] Kementerian Penerangan RI. 1953. Propinsi Sulawesi. Makassar: Djawatan Penerangan RI Propinsi Sulawesi hal. 39.
[60] Willem Ijzereef.  De Zuid-Celebes Affaire, Dieren. 1984, hal. 52.
[61] Anak Agung Gde Agung. Dari Negara Indonesia Timur ke Negara Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. 1985, hal. 57.
[62] Ibid, hal. 58.
[63]Christian Pelras, 2006, op cit, hal. 332.
[64] Lahadjdji Patang, 1975, op cit, hal. 109.
[65] Anwar Hafid,  2009. op cit, hal. 156.
[66] Nurhayati Nainggolan, 1982, op cit, hal. 80.
[67] Ibid, hal. 84.
[68] Lahadjdji Patang,  1975, op cit, hal. 241.
[69] Ibid, 258.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar