SEJARAH PERJUANGAN KAUM PEREMPUAN DI SULAWESI TENGGARA
Makalah
Disajikan
dalam Bimbingan Pelestarian Nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan
Kesetiakawanan Sosial (K2KS) Dinas Sosial Propinsi Sulawesi Tenggara,
tanggal 23 Agustus 2014
Oleh:
Prof.
Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
Guru Besar pada FKIP Universitas Halu Oleo
DINAS SOSIAL PROPINSI
SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2014
SEJARAH PERJUANGAN KAUM PEREMPUAN DI SULAWESI
TENGGARA
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
FKIP
Universitas Haluoleo
A. PENDAHULUAN
Mempelajari
rangkaian sejarah perjuangan bangsa Indonesia merupakan suatu kaharusan bagi
generasi sekarang untuk memilih dan menganalisis peristiwa-peristiwa sekarang
dalam upaya menentukan arah yang akan dituju pada masa yang akan datang.
Sejalan dengan itu Toynbee menyatakan bahwa mempelajari sejarah adalah untuk
membuat sejarah (to study history is to
build history).
Berdasaran
pemikiran tersebut, maka mempelajari sejarah perjuangan bangsa sendiri sangat
besar manfaatnya bagi kita semua untuk kehidupan kita dalam menata bangsa
sekarang dan merencanakan pengembangan bangsa masa depan. Untuk mengantar kita dalam pemahaman
komprehensif tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia, maka akan diperikan
periodisasi perjuangan tersebut.
Kedatangan
Bangsa Portugis dan Spanyol, berdasarkan peninggalan yang ada di berbagai
tempat di Buton dan sekitamya seperti jangkar besar yang terbuat dari besi,
meriam dari berbagai jenis dan ukuran serta sumber-sumber lainnya, maka
kedatangan bangsa Spanyol dan Portugis dipulau ini, adalah sekitar awal abad
ke-16. Kedatangan bangsa tersebut di
Buton, selain untuk menjajah, juga untuk berdagang rempah-rempah. Produksi rempah-rempah di Buton seperti cengkih
dan pala pada abad tersebut, merupakan saingan berat bagi produksi rempah-rempah
di Maluku. Rempah-rempah tersebut, tumbuh khususnya di Kepulauan Tukang
Besi. Menurut sumber lisan di Buton,
bahwa bibit rempah-rempah yang ditanam itu adalah dibawa oleh pelaut-pelaut
Buton dari Sansibar. Armada dagang Portugis dengan beberapa buah kapalnya,
telah pula singgah di pulau ini. Maksud
kunjungannya di Buton, adalah untuk mengadakan hubungan dagang dengan
Pemerintah Kerajaan Wolio. Tempat
pertemuan itu dilaksanakan di Limbo Gama dalam Kota Wolio (Benteng Keraton
Buton). Itulah sebabnya nama Vasco de
Gama (perintis ekspedisi Portugis ke Asia/Afrika) diabadikan sebagai nama Limbo
tempat pertemuan itu yaitu Limbo Gama. Sejak kedatangan bangsa
Portugis dan Spanyol, Buton berperan sebagai daerah persinggahan dari jalur
pelayaran Betawi, Makassar, Buton, Temate dan Ambon. Adanya peninggalan-peninggalan pada berbagai
tempat di pulau ini seperti jangkar besar yang terbuat dari besi terletak di
Kraton Buton, di pantai Desa Kumbewaha di Kecamatan Lasalimu dan tempat-tempat
lainnya. Daya tarik itu antara lain karena letaknya yang sangat strategis di
jalur perdagangan, memiliki pelabuhan alam yang indah dan aman, juga sebagai
penghasil rempah-rempah dan hasil laut yang cukup berarti.
Kedatangan
Bangsa Belanda di Buton pada awal abad ke-17, sejalan dengan kedatangan Belanda
di Nusantara sejak tahun 1596. Munurut tradisi lisan di Buton bahwa kedatangan
bangsa Belanda diawali dengan suatu insiden, karena sikap Belanda yang sombong
dan merendahkan martabat orang Buton, sehingga ketika berlabuh dua buah kapal
di Tampuna Koro (Buton Utara) diserbu oleh lasykar Buton. Sebuah kapal ditenggelamkan dan yang sebuah
lagi seluruh persenjataan dan perbekalannya dirampas, kemudian disuruh
berangkat. Sementara itu Sultan Buton bersama lasykamya berada di Kolensusu
(Buton Utara), 3 buah kapal Belanda mengadakan penyerbuan di Gunu Capio wilayah Kota Bau-Bau
sekarang. Sikap sombong Belanda itu
berlangsung terus hingga masa VOC dan Hindia Belanda. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Sultan Buton
untuk keselamatan dan kelangsungan hidup masyarakat dan Kesultanan Buton, baik
secara diplomasi maupun dengan kekuatan fisik.
B. PERIODISASI PERJUANGAN RAKYAT/SULAWESI
TENGGARA
1. Masa Kejayaan Nasional
Perjuangan
kaum perempuan di Sulawesi Tenggara dimulai sejak berdirinya kerajaan lokal seperti
Konawe, Wolio, Wuna, dan Mekongga. Kondisi ini tidak terlepas dari situasi
nasional seperti: Kerajaan Holing yang dipimpin oleh Ratu Sima yang terkenal
dengan kejujuran dan ketegasannya.
Kehadiran
tokoh perintis dalam sistem ketatanegaraan seperti itu juga dapat dijumpai di
Kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Tenggara. Bagi masyarakat di daerah
Mekongga (Kolaka), Konawe (Kendari), Wuna (Muna), Wolio (Buton), dan Moronen
percaya bahwa asal-usul raja pertama di wilayahnya adalah dari To Manurung,
meskipun dalam ungkapan bahasa dan gelar yang berbeda-beda. To Manurung
dianggap orang yang turun dari kayangan (langit), dan senantiasa disimbolkan
dengan bambu atau gading, atau emas dan warna kuning lainnya (Hafid, 2003).
Beberapa sumber yang berasal dari tradisi lisan
mengungkapkan bahwa pada masa kehancuran tatanan pemerintahan dan sosial di
daratan Sulawesi Tenggara tiba-tiba datanglah Tenriabeng atau We Tenriabeng
dari Luwu (saudara kembar Sawerigading) yang oleh orang Tolaki diberi nama Wekoila
dari kata We=ciri nama awal seorang perempuan
Bugis, Koila=hilang-hilang
atau sakti.
Wekoila kemudian dipersunting oleh Ramandalangi (putra raja Totongano Wonuwa) (Anonim,
1976; Mekuo, 1986).
Menjelang kedatangan Wekoila terjadi masa suram di berbagai
sektor kehidupan masyarakat Tolaki, setiap negeri memiliki pemerintahan
sendiri-sendiri yang menyebabkan terjadi kondisi sianre
bale ni taue (timbul kekejaman
di mana manusia saling membunuh seperti ikan). Kemunculan Wekoila membawa persatuan
di Jazirah Sulawesi Tenggara (Kerjaan Konawe) (Bhurhanuddin, 1981).
Jika dihubungkan dengan bahasa Bugis, maka istilah konaweeha
dapat dikaitkan dengan peroses pelayaran keluarga bangsawan dari Luwu bernama We Tenrirawe
yang dikawal oleh para dayan-dayan (inang pengasuh), ketika memasuki sungai besar ini dan
mendapati perkampungan penduduk, maka sang putri (Wekoila)
berkata konawe=
di sinilah (bahasa Bugis) artinya
di sinilah kita singgah atau di sini saja kita
berlabuh. Sehingga sungai ini
kemudian dinamai Sungai Konaweeha, dan kerajaan yang dibangun oleh masyarakat Tolaki di bawah
kepemimpinan Wekoila kelak dinamai juga Kerajaan Konawe. Wekoila kelak kawin
dengan La Tenripeppang anak bangsawan Tolaki yang kelak melahirkan keturunan Mokole
(raja-raja) di Kerajaan Konawe. Istilah Mokole juga digunakan di daerah Luwu
untuk gelar raja-raja kecil, demikian pula di daerah Bungku Sulawesi Tengah
juga dipakai istilah yang sama untuk bangsawan yang berkuasa (Anwar, 2003).
Di daerah Wuna (Muna) terbentuknya Kerajaan Muna diawali
dengan kedatangan orang asing bernama Beteno ne
Tombula=orang yang keluar
dari bambu, ia mengaku bernama La Eli, nama lainnya Baizul
Zaman (Batoa, 1991). Disusul kemudian kedatangan perempuan asing bernama Sangke Palangga=diangkat dari dulang. Putri tersebut dalam keadaan hamil, dan dia mengaku
bernama Tandiabe anak Raja Luwu. Segera putri itu diantar ke istana Mieno Wamelai
dan dipertemukan dengan Beteno ne Tombula dan terjadi dialog antara keduanya.
Beteno ne
Tombula : kamulah yang jadi istriku
Sangke
Palangga : saya jadi begini (hamil)
karena perbuatanmu
Beteno ne
Tombula : Komu, tadombaura-urano=mari kita ramai-ramai berkembang
biak
Tandombalembo-lembomu=marilah kita
berkampung-kampung
Tandombatala-talamo= marilah hidup
beraturan
Pedemo ndoke = dengan jiwa
gotong-royong (Anonim, 1982)
Dari dialog antara keduanya, kemudian diketahui bahwa
diantara mereka telah saling mengenal. Sangke
Palangga dan Beteno ne Tombula, akhirnya dipersatukan sebagai suami-istri yang disaksikan oleh segenap
rakyat Wamelai (Wuna). Karena kelebihannya, maka masyarakat Muna sepakat untuk
mengangkat Beteno ne Tombula sebagai Raja Pertama di Kerajaan Wuna.
Hasil perkawinan mereka lahirlah dua orang putra dan satu
orang putri, yaitu: Kanghua Bangkona Fotu dengan gelar Sugi
Patola (Bahasa Bugis: sugi=kaya; patola=pengganti, orang kaya
pengetahuan/pengalaman yang menggantikan ayahnya menjadi raja) yang kelak menjadi Raja Muna II dan Runtu Wulou
yang digantikannya kemudian kembali ke Luwu, dan putri Kilambibite yang kawin dengan anak Mieno Wamelai
bernama La Singkaghabu yang menjadi Kamokula (Kepala Pemerintahan wilayah) di
Tongkuno. Raja Muna III ialah Sugi Ambona
putra Raja Muna II. Dari keturunan Beteno ne Tombula inilah yang kelak melahirkan raja-raja
Muna sekaligus melahirkan tokoh legendaris yang diakui oleh semua kerajaan
tradisional di Sulawesi Tenggara. Tokoh tersebut di Muna dikenal Lakilaponto
anak Raja Muna VI (Sugi Manuru) yang kelak menjadi Raja Muna VII Lakilaponto dialah
yang pertama menciptakan persatuan politik di Sulawesi Tenggara pada awal abad
XVI, diakui eksistensinya di Konawe dan Moronene, serta menjadi menjadi Raja
Wolio VI, selanjutnya memproklamirkan Kerajaan Wolio menjadi negara Islam
dengan nama Kesultanan Buton (dialah sebagai Sultan Buton I). Nama Buton, diambil
dari tradisi masyarakat Wolio yang menempatkan wilayahnya sebagai pusat bumi,
maka nama Buton dari kata bahasa Arab Batnun=perut, mereka menempatkan Buton sebagai pusat
bumi ini.
Di
Wolio (Buton) sebelum terbentuknya Kerajaan Wolio, muncullah seorang perempuan
cantik yang kemudian dikenal dengan nama Wakaaka. Ia disimbolkan sebagai
seorang putri yang ditemukan di Bukit Lelemangura yang muncul dari ruas bambu
gading oleh Sangia Langkuru. Karena
keistimewaannya, sehingga para Bonto
(kepala kampung) mengangkat Wakaaka sebagai Raja Wolio Pertama, dia dilantik di
atas batu popaua, yang kelak menjadi tradisi tempat
pelakntikan Raja Wolio/Buton.
Salah satu versi menyebutkan bahwa Wakaaka bersama rombongannya mula-mula masuk
di kali Umalaoge di Pantai Timur Lasalimu, kemudian meneruskan perjalanan ke
selatan dan sampai di Lelemangura (Wolio). Tradisi lisan tersebut didukung oleh
silsilah raja-raja Wolio/Buton yang melukiskan Wakaaka sebagai putri Raja Luwu
yang lubang tangannya (masombuna limana) dengan permaisurinya yang putih wajahnya (maputina roona) (Mekuo, 1986).
Nama
Wakaka dalam tradisi Luwu adalah dari kata Tomokaka,
tomo=penguasa/raja, kaka=diantara beberapa kelompok masyarakat. Pendapat ini didukung oleh sumber sejarah Wolio yang
mengungkapkan bahwa sebelum terbentuknya Kerajaan Wolio, telah berdiri beberapa
kerajaan kecil di Pulau Buton diataranya Kerajaan Amboau. Wakaaka sebagai raja
pertama Wolio, kemudian kawin dengan Sibatara, oleh sebagian orang disimbolkan sebagai bangsawan Majapahit,
namun jika dihubungkan dengan Sejarah Luwu, nama Batara ditemukan pada
bangsawan bernama Batara Guru dan Batara Lattu.
Dari perkawinan mereka lahirlah tujuh orang anak, salah seorang bernama
Bulawambona yang kelak diangkat menjadi Ratu Wolio Kedua. Wakaaka kemudian
meninggalkan Wolio menuju tempat yang tidak diketahui oleh masyarakat Wolio. Bulawambona
pun tidak lama memerintah, karena kemudian pucuk pimpinan pemerintahan
diserahkan kepada suaminya bernama La Baluwu (Mekuo, 1986). Sebagai raja Wolio
III diangkatlah Bancapatola sebagai pewaris tahka kedua orang tuanya, ia
kemudian diberi gelar Bataraguru (Djarudju, 1995;
Anonim, 1982).
Kedua
nama itu, memperlihatkan adanya hubungan kekerabatan dengan Luwu/Bugis, nama Patola=pewaris
tahta, karena dialah yang mewarisi tahta
kerajaan dari orang tuanya, dan nama Bataraguru, sama
dengan nama Raja Luwu Pertama yang merupakan nenek Sawerigading (Kern,
1993).
Kerajaan-kerajaan
tradisional di Sulawesi Tenggara mengakui adanya hubungan historis dengan
Sawerigading dari Luwu yang dihubungkan dengan kedatangan To Manurung (orang asing). Persepsi yang sama juga ditemukan pada
tradisi di kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, seperti: Gowa dan Bone. Pada
sisi lain suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar dan suku Massenrempuluk
mengakui pula bahwa asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Ussuk, diperkuat
dengan tradisi raja-raja Bugis, Makassar, dan Mandar menghormati Raja Luwu
sebagai primus interparis (Abidin, 1995: 7). Dalam lontarak Bajo (ditulis orang Bajo
di Kendari) juga mengakui asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Ussuk.
Di Mekongga ditandai dengan kedatangan La
Rumbalangi yang berhasil
membunuh burung kongga, kelak menjadi raja pertama di Kerajaan Mekongga. Di Konawe
Tomanurung ditandai dengan kedatangan Wekoila yang merupaka raja pertama di Kerajaan
Konawe sekitar abad X. To Manurung di Wuna disebut Beteno
ne Tombula orang yang keluar
dari ruas bambu yang kelak menjadi Raja Wuna Pertama juga kawin dengan
perempuan To Manurung bernama Sangke Palangga. Wakaaka merupakan To Manurung di Wolio
kelak juga menjadi Raja Wolio Pertama (Anonim, 1982: 184).
Di
masyarakat Moronene khususnya yang bermukim di Pulau Kabaena percaya bahwa
ketika terjadi kemelut politik maka muncullah Tebeto
Tulanggadi=lelaki tampan yang muncul dari bambu gading.
Pada saat yang sama muncul pula seorang perempuan asing bernama Wulele
Waru, seorang putri yang
terpencar dari sekuntum bunga kayu waru (Subur, 1990: 61).
2. Penindasan Kolonial
Kolonialisme
adalah rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menaklukkan bangsa lain di bidang
politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan dengan jalan: (1) dominasi politik, (2)
eksploitasi ekonomi, dan (3) penetrasi kebudayaan. Sedangkan usaha
mempersatukan koloni-koloni menjadi suatu sistem penguasaan/pemerintahan
disebut imperialisme.
Selama
ini tidak banyak terungkap perjuangan rakyat di Sulawesi Tenggara, disebabkan
karena dua faktor:
1. Kaum penjajah Belanda tidak lama menanamkan
pengaruhnya di Sulawesi Tenggara kecuali di Buton.
2. Belum banyak ditulis para sejarawan khususnya
dalam bentuk buku untuk pembelajaran di sekolah.
Meskipun
demikian jika kita kembali mengkaji jejak sejarah masyarakat di daerah ini
tidak sedikit fakta akan perjuangan mereka seperti yang dilakukan oleh Wa
Ode Wakelu: Permaisuri Raja Muna XII La Ode Ngkadiri yang menggantikan
suaminya ketika ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Temate. Pada saat yang
sama terjadi kemelut antara Muna dengan Belanda, dimana Muna tidak pemah mau
mengakui kekausaan Belanda atas wilayahnya dan selalu ingkar membayar pajak
upeti kepada Balanda melalui Buton, akhimya Belanda berusaha menyerang Muna dan
rakyat Muna bangkit menghadapi tantangan Belanda, Wa Ode Wakelu sebagai Ratu
juga tampil sebagai panglima yang terjung langsung di medan perang. Muna dalam
hal ini bersekutu dengan Tiworo ketegangan terjadi antara tahun 1667-1668 yang
berakhir setelah pasukan Muna di bawah pimpinan Wa Ode Wakelu dapat dikalahkan. Tetapi bagaimanapun
kehadiran Srikandi ini dipanggung politik dan pertempuran makin menambah
catatan sejarah keperkasaan atas emansipasi perempuan Sulawesi Tenggara dan
Indonesia umumnya.
Wa
Ode Wakelu, yang memimpin perlawanan terhadap Belanda antara tahun 1667-1668,
akhimya Muna dan Tiworo dapat dikalahkan. Maka kekuasaan Wa Ode Wakelu dianulir
Belanda dengan mengirim utusan dari Buton bemama La Ode Muh. Idris untuk
mengisi kekosongan pemerintahan di Kerajaan Muna.
Aliyina,
putri Lapadi, seorang Tamalaki
(Panglima) dari Konawe yang berjuang menentang Belanda (1908-1912) di
daerah Windo Pamandati wilayah Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe Selatan
sekarang ini. Dalam perjuangan mereka membuat benteng pertanahan dengan
menjejer batu sepanjang 15 meter. Dalam ekspedisi Belanda pada tahun 1908,
Lapadi bersama pengikutnya menghadang ekspedisi Belanda yang menyebabkan
beberapa pasukan Belanda tewas, serangan Belanda diikuti dengan kegiatan
mata-mata yang dilakukan oleh salah seorang juru bahasa Belanda bemama La Ende,
menyebabkan Lapadi tertipu dan dikepung musuh pada bulan Desember 1910 berhasil
tertangkap oleh pasukan Belanda dan ditawan di Kendari, berkat semangat
juangnya yang gigih akhimya ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan
melanjutkan perjuangan, pada tahun 1911 pertanahan Lapadi kembali berhasil
diterobos pasukan Belanda, segenap pengikutnya tewas termasuk putrinya Srikandi
Aliyina.
3. Pergerakan Nasional
Istilah pergerakan mengadung arti yang khas, berlainan dengan
pengertian perjuangan. Pergerakan merupakan bagian dari perjuangan, yaitu
perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dengan menggunakan organisasi yang
teratur. Istilah nasional adalah pergerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan
bangsa.
Perlawanan srikandi Weribundu dari Konawe
menentang eksepedisi Belanda bersama dengan tokoh-tokoh lainnya seperti Watukila (Ponggawa
Tongauna), Samuela (Sulewata Wawotobi),
Wulumohito (Puutobu Tuoi), Lapotende menghadang ekspedisi Kapten Helleks
di Palarahi-Wawotobi.
Tielete seorang srikandi dari Wawowonua
(Baito) bersama dengan Polonui pada tahun 1914 melakukan perlawanan terhadap
Belanda (Anonim. 1982: 132).
4. Pergerakan Nasional pada Masa Pendudukan
Jepang
Era
pendudukan Jepang di Sulawesi Tenggara tidak Nampak perjuangan tokoh perempuan,
namun era ini merupakan zaman penderitaan kaum perempuan karena eksploitasi
oleh prajurit Jepang dalam bentuk organisasi Seinendan dan Keibodan, namun
kenyataannya banyak yang dijadikan sebagai perempuan penghibur yang dilakukan
secara paksa. Fenomena seperti ini
merata di hapir seluruh Nusantara.
Zaman
ini juga, tidak sepi dengan perlawanan diantaranya tercatat: perlawanan di
Wanci tahun 1943 dipimpin oleh La Ode Maniru dan Laode Abdulu yang
menyerang Gunco (Kepala Distrik) Wanci yang dikawal dua orang polisi
Jepang yang menemui ajalnya dan Gunco mengalami luka-luka. Sedangkan La Ode
Maniru dan La Ode Abdulu dihukum mati di depan mata pengikutnya di Wanci.
Demikian pula perjuangan Tojabi di Kolaka Utara berlanjut, namun karena usia
lanjut sehingga dapat ditangkap dan diasingkan ke Palopo.
5. Perjuangan Pascakemerdekaan
Segera
setelah kemerdekaan kekhawatiran para pemuda akan kedatangan sekutu bersama
Belanda menjadi kenyataan. Proklamasi yang telah diikrarkan mendapat ronrongan
dari Sekutu/Belanda (NICA), mereka memcap proklamasi Indonesia buatan Jepang,
hal ini tentu saja tidak dapat diterima oleh segenap lapisan masyarakat
Indonesia. Tampillah para pahlawan pejuang dengan bermodalkan semangat yang
dilengkapi senjata sedanya terutama bambu runcing berhadapan dengan senjata
moderan milik Sekutu dan Belanda.
Sekutu
menyerahkan kekusaannya kepada Belanda dan bukan kepada Indonesia, terjadilan
perlawanan baik kepada Sekutu seperti yang terjadi di Surabaya yang dikenal
peristiwa 10 November 1945 oleh Arek-Arek Suroboyo, dan di beberapa belahan
daerah lainnya termasuk di Sulawesi Tenggara yang dikenal dengan peristiwa 10
November 1945 di Kolaka.
Perjuangan
rakyat Sulawesi Tenggara tidak berakhir setelah proklamasi, karena pada masa
revolusi fisik perlawanan semakin gencar dilakukan oleh para pemuda baik secara
pribadi maupun melalui organisasi kelaskaran. Berita proklamasi segera diterima
oleh rakyat di daerah ini, dimulai dengan kedatangan pelayar Wakatobi yang
memperoleh berika proklamasi di Pulau Jawa dan Makassar. Disusul dengan
pengibaran bendera merah putih pertama kali di Kolaka dipimpin oleh Kepala
Pemerintahan Kolaka Andi Kasim 17 September 1945, di Lasusua 5 Oktober 1945, di
Wawotobi Akhir Oktober 1945 dipelopori oleh pemuda yang mendapat dukuang Raja
II Laiwoi La Sandara, di Kota Kendari dilakukan penempelan pamplet berita
proklamai yang dlakukan oleh para pemuda, diantaranya Mahaseng, di Bupinang
pengibaran merah putih dilakukan akhir November 1945, di Muna para pemuda
militan dipimpin oleh Idrus Efendi melakukan penguabaran bendera merah putih di
luar Kota Raha.
Para
pemuda pejuang melakukan takntik perang gerilya untuk menghadapi Belanda NICA.
Puncak perlawanan terhadap NICA di Sultra terjadi pada tanggal 19 November 1945
ketika para pemuda pejuang di Kolaka yang mendapat dukungan penuh dari pemimpim
pemerintahan Andi Kasim melakukan penyerangan terhadap ekspedisi NICA di luar
Kota Kolaka
Istri dan anak Andi Kasim ikut dibuang ke Ruteng Flores,
setelah tertangkap pada tanggal 19 Juli 1946 dalam usahanya menyerang kedudukan NICA di
Kolaka, dan pada bulan Pebruari 1947 diadili oleh Pengadilan Hadat Tinggi
Sulselra yang diketuai oleh Mayor Andi Pabbenteng (Raja Bone) dan dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun.
.
D. PENUTUP
Rangkaian
perjuangan kaum perempuan merintis pemerintahan, merebut dan mempertahankan
kemedekaan kemerdekaan telah menelan banyak korban baik harta maupun jiwa. Para
pejuang perempuan berani mengorbankan harta dan jiwanya demi mencapai cita-cita
kemederkaan abadi, bukan semata-mata untuk kepentingannya, tetapi untuk
kepentingan bangsa secara keseluruhan untuk waktu yang tidak terhingga. Mereka rela berkorban karena ada jiwa,
semangat, nilai kejuangan dan pengabdian untuk kejayaan bangsa dan negara di
masa depan. Tugas generasi sekarang adalah mewarisi, melanjutkan, dan
mengebangkan perjuangannya dengan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa,
serta mengembangkan nilai-nilai moral bangsa yang penuh kejujuran dan semangat
ingin maju dalam rangka memajukan bangsa dan negara tercita.
KEPUSTAKAAN
Abidin,
A. Z. 1995. “Perbandingan Buku Sastra I La Galigo dengan Cerita Rakyat di
Sulawesi Tenggara tentang Hubungan Raja-raja di Sulawesi Selatan dan Raja-raja
di Sulawesi Tenggara”. Makalah Seminar Eksistensi dan Peranan
Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Di Kendari
tanggal 7-8 Agustus 1995.
Anonim. 1982. Dokumentasi DPRD -Tk.I Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekreariat DPRD
Tk. I.
Batoa, L.K. 1991. Sejarah Kerajaan Daerah Muna. Raha: Astri.
Bhurhanuddin, B., dkk. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta:
Depdikbud.
Bhurhanuddin, B., dkk. 1979. Sejarah Masa Revolusi Fisik Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta:
Depdikbud.
Brotosoehendro, S., dkk. 1988. Pedoman Umum Pelestarian Jiwa, Semangat, dan Nilai-nilai 45.
Jakarta: Dewan Harian Nasional Angkatan-45.
Djarudju,
L.D.S. 1995. “Peranan Haluoleo dalam Kerajaan dan Kesultanan Buton”. Makalah Seminar Eksistensi dan Peranan
Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Di Kendari
tanggal 7-8 Agustus 1995.
Hafid, Anwar. 2003. “Nilai-nilai Edukatif dari Perjalanan
Sawerigading ke Dunia Timur”. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional
Sawerigading. Masamba, 10-14 Desember 2003.
Kansil, C.S.T dan Julianto. 1986. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan
Indoensia. Jakarta: Erlangga.
Kern,
R.A. 1993. I La Galigo. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Mahmud, Amir. 1985. Surat Perintah 11 Maret 1966 Tonggak Sejarah Perjuangan Orde Baru.
Jakarta: MPR.
Mekuo, J.
1986. Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara.
Kendari: FKIP Unhalu.
Pringgodigdo, A.K. 1984. Sejarah Pergerakan Rakyat Indoensia. Jakarta: Dian Rakyat.
Sagimun, M.D. dkk. 1986. Perlawanan dan Pengasingan Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta:
Inti Idayu Press.
Sukamo. 1983. Indonesia
Menggugat. Jakarta: Inti Idayu Press.
Subur, M.
1990. Peranan Sapati Manjawari terhadap
Perkembangan Sejarah dan Budaya Kerajaan Kotua di Pulau Kabaena. Kendari: Skripsi FKIP
Unhalu.
Tamburakan, R., dkk. 1999. Sejarah Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekretarait Daerah Propinsi
Sultra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar