Rabu, 03 Juni 2020

SEJARAH PERJUANGAN KAUM PEREMPUAN DI SULAWESI TENGGARA



SEJARAH PERJUANGAN KAUM PEREMPUAN DI SULAWESI TENGGARA







Makalah
Disajikan dalam Bimbingan Pelestarian Nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial (K2KS) Dinas Sosial Propinsi Sulawesi Tenggara,
 tanggal 23 Agustus 2014





 Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
Guru Besar pada FKIP Universitas Halu Oleo



 

DINAS SOSIAL PROPINSI
SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2014









SEJARAH PERJUANGAN KAUM PEREMPUAN DI SULAWESI TENGGARA
Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
FKIP Universitas Haluoleo

A. PENDAHULUAN
Mempelajari rangkaian sejarah perjuangan bangsa Indonesia merupakan suatu kaharusan bagi generasi sekarang untuk memilih dan menganalisis peristiwa-peristiwa sekarang dalam upaya menentukan arah yang akan dituju pada masa yang akan datang. Sejalan dengan itu Toynbee menyatakan bahwa mempelajari sejarah adalah untuk membuat sejarah (to study history is to build history).
Berdasaran pemikiran tersebut, maka mempelajari sejarah perjuangan bangsa sendiri sangat besar manfaatnya bagi kita semua untuk kehidupan kita dalam menata bangsa sekarang dan merencanakan pengembangan bangsa masa depan.  Untuk mengantar kita dalam pemahaman komprehensif tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia, maka akan diperikan periodisasi perjuangan tersebut.
Kedatangan Bangsa Portugis dan Spanyol,  berdasarkan peninggalan yang ada di berbagai tempat di Buton dan sekitamya seperti jangkar besar yang terbuat dari besi, meriam dari berbagai jenis dan ukuran serta sumber-sumber lainnya, maka kedatangan bangsa Spanyol dan Portugis dipulau ini, adalah sekitar awal abad ke-16.  Kedatangan bangsa tersebut di Buton, selain untuk menjajah, juga untuk berdagang rempah-rempah.  Produksi rempah-rempah di Buton seperti cengkih dan pala pada abad tersebut, merupakan saingan berat bagi produksi rempah-rempah di Maluku. Rempah-rempah tersebut, tumbuh khususnya di Kepulauan Tukang Besi.  Menurut sumber lisan di Buton, bahwa bibit rempah-rempah yang ditanam itu adalah dibawa oleh pelaut-pelaut Buton dari Sansibar. Armada dagang Portugis dengan beberapa buah kapalnya, telah pula singgah di pulau ini.  Maksud kunjungannya di Buton, adalah untuk mengadakan hubungan dagang dengan Pemerintah Kerajaan Wolio.  Tempat pertemuan itu dilaksanakan di Limbo Gama dalam Kota Wolio (Benteng Keraton Buton).  Itulah sebabnya nama Vasco de Gama (perintis ekspedisi Portugis ke Asia/Afrika) diabadikan sebagai nama Limbo tempat pertemuan itu yaitu Limbo Gama. Sejak kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol, Buton berperan sebagai daerah persinggahan dari jalur pelayaran Betawi, Makassar, Buton, Temate dan Ambon.  Adanya peninggalan-peninggalan pada berbagai tempat di pulau ini seperti jangkar besar yang terbuat dari besi terletak di Kraton Buton, di pantai Desa Kumbewaha di Kecamatan Lasalimu dan tempat-tempat lainnya. Daya tarik itu antara lain karena letaknya yang sangat strategis di jalur perdagangan, memiliki pelabuhan alam yang indah dan aman, juga sebagai penghasil rempah-rempah dan hasil laut yang cukup berarti. 
Kedatangan Bangsa Belanda di Buton pada awal abad ke-17, sejalan dengan kedatangan Belanda di Nusantara sejak tahun 1596. Munurut tradisi lisan di Buton bahwa kedatangan bangsa Belanda diawali dengan suatu insiden, karena sikap Belanda yang sombong dan merendahkan martabat orang Buton, sehingga ketika berlabuh dua buah kapal di Tampuna Koro (Buton Utara) diserbu oleh lasykar Buton.  Sebuah kapal ditenggelamkan dan yang sebuah lagi seluruh persenjataan dan perbekalannya dirampas, kemudian disuruh berangkat. Sementara itu Sultan Buton bersama lasykamya berada di Kolensusu (Buton Utara), 3 buah kapal Belanda mengadakan penyerbuan di Gunu Capio wilayah Kota Bau-Bau sekarang.  Sikap sombong Belanda itu berlangsung terus hingga masa VOC dan Hindia Belanda.  Upaya-upaya yang dilakukan oleh Sultan Buton untuk keselamatan dan kelangsungan hidup masyarakat dan Kesultanan Buton, baik secara diplomasi maupun dengan kekuatan fisik.

B. PERIODISASI PERJUANGAN RAKYAT/SULAWESI TENGGARA
1. Masa Kejayaan Nasional
Perjuangan kaum perempuan di Sulawesi Tenggara dimulai sejak berdirinya kerajaan lokal seperti Konawe, Wolio, Wuna, dan Mekongga. Kondisi ini tidak terlepas dari situasi nasional seperti: Kerajaan Holing yang dipimpin oleh Ratu Sima yang terkenal dengan kejujuran dan ketegasannya.
Kehadiran tokoh perintis dalam sistem ketatanegaraan seperti itu juga dapat dijumpai di Kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Tenggara. Bagi masyarakat di daerah Mekongga (Kolaka), Konawe (Kendari), Wuna (Muna), Wolio (Buton), dan Moronen percaya bahwa asal-usul raja pertama di wilayahnya adalah dari To Manurung, meskipun dalam ungkapan bahasa dan gelar yang berbeda-beda. To Manurung dianggap orang yang turun dari kayangan (langit), dan senantiasa disimbolkan dengan bambu atau gading, atau emas dan warna kuning lainnya (Hafid, 2003).
Beberapa sumber yang berasal dari tradisi lisan mengungkapkan bahwa pada masa kehancuran tatanan pemerintahan dan sosial di daratan Sulawesi Tenggara tiba-tiba datanglah Tenriabeng atau We Tenriabeng dari Luwu (saudara kembar Sawerigading) yang oleh orang Tolaki diberi nama Wekoila dari kata We=ciri nama awal seorang perempuan Bugis, Koila=hilang-hilang atau sakti. Wekoila kemudian dipersunting oleh Ramandalangi (putra raja Totongano Wonuwa) (Anonim, 1976; Mekuo, 1986).
Menjelang kedatangan Wekoila terjadi masa suram di berbagai sektor kehidupan masyarakat Tolaki, setiap negeri memiliki pemerintahan sendiri-sendiri yang menyebabkan terjadi kondisi sianre bale ni taue (timbul kekejaman di mana manusia saling membunuh seperti ikan). Kemunculan Wekoila membawa persatuan di Jazirah Sulawesi Tenggara (Kerjaan Konawe) (Bhurhanuddin, 1981).
Jika dihubungkan dengan bahasa Bugis, maka istilah konaweeha dapat dikaitkan dengan peroses pelayaran keluarga bangsawan dari Luwu bernama We Tenrirawe yang dikawal oleh para dayan-dayan (inang pengasuh), ketika memasuki sungai besar ini dan mendapati perkampungan penduduk, maka sang putri (Wekoila) berkata konawe= di sinilah (bahasa Bugis) artinya di sinilah kita singgah atau di sini saja kita berlabuh. Sehingga sungai ini kemudian dinamai Sungai Konaweeha, dan kerajaan yang dibangun oleh masyarakat Tolaki di bawah kepemimpinan Wekoila kelak dinamai juga Kerajaan Konawe. Wekoila kelak kawin dengan La Tenripeppang anak bangsawan Tolaki yang kelak melahirkan keturunan Mokole (raja-raja) di Kerajaan Konawe. Istilah Mokole juga digunakan di daerah Luwu untuk gelar raja-raja kecil, demikian pula di daerah Bungku Sulawesi Tengah juga dipakai istilah yang sama untuk bangsawan yang berkuasa (Anwar, 2003).
Di daerah Wuna (Muna) terbentuknya Kerajaan Muna diawali dengan kedatangan orang asing bernama Beteno ne Tombula=orang yang keluar dari bambu, ia mengaku bernama La Eli,  nama lainnya Baizul Zaman (Batoa, 1991). Disusul kemudian kedatangan perempuan asing bernama Sangke Palangga=diangkat dari dulang. Putri tersebut dalam keadaan hamil, dan dia mengaku bernama Tandiabe anak Raja Luwu. Segera putri itu diantar ke istana Mieno Wamelai dan dipertemukan dengan Beteno ne Tombula dan terjadi dialog antara keduanya.
Beteno ne Tombula  : kamulah yang jadi istriku
Sangke Palangga     : saya jadi begini (hamil) karena perbuatanmu
Beteno ne Tombula : Komu, tadombaura-urano=mari kita ramai-ramai berkembang
          biak
                    Tandombalembo-lembomu=marilah kita berkampung-kampung
                    Tandombatala-talamo= marilah hidup beraturan
                    Pedemo ndoke           = dengan jiwa gotong-royong (Anonim, 1982)
Dari dialog antara keduanya, kemudian diketahui bahwa diantara mereka telah saling mengenal. Sangke Palangga dan Beteno ne Tombula, akhirnya dipersatukan sebagai suami-istri yang disaksikan oleh segenap rakyat Wamelai (Wuna). Karena kelebihannya, maka masyarakat Muna sepakat untuk mengangkat Beteno ne Tombula sebagai Raja Pertama di Kerajaan Wuna.
Hasil perkawinan mereka lahirlah dua orang putra dan satu orang putri, yaitu: Kanghua Bangkona Fotu dengan gelar Sugi Patola (Bahasa Bugis: sugi=kaya; patola=pengganti, orang kaya pengetahuan/pengalaman yang menggantikan ayahnya menjadi raja) yang kelak menjadi Raja Muna II dan Runtu Wulou yang digantikannya kemudian kembali ke Luwu, dan putri Kilambibite yang kawin dengan anak Mieno Wamelai bernama La Singkaghabu yang menjadi Kamokula (Kepala Pemerintahan wilayah) di Tongkuno. Raja Muna III ialah Sugi Ambona putra Raja Muna II. Dari keturunan Beteno ne Tombula inilah yang kelak melahirkan raja-raja Muna sekaligus melahirkan tokoh legendaris yang diakui oleh semua kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara. Tokoh tersebut di Muna dikenal Lakilaponto anak Raja Muna VI (Sugi Manuru) yang kelak menjadi Raja Muna VII Lakilaponto dialah yang pertama menciptakan persatuan politik di Sulawesi Tenggara pada awal abad XVI, diakui eksistensinya di Konawe dan Moronene, serta menjadi menjadi Raja Wolio VI, selanjutnya memproklamirkan Kerajaan Wolio menjadi negara Islam dengan nama Kesultanan Buton (dialah sebagai Sultan Buton I). Nama Buton, diambil dari tradisi masyarakat Wolio yang menempatkan wilayahnya sebagai pusat bumi, maka nama Buton dari kata bahasa Arab Batnun=perut, mereka menempatkan Buton sebagai pusat bumi ini. 
Di Wolio (Buton) sebelum terbentuknya Kerajaan Wolio, muncullah seorang perempuan cantik yang kemudian dikenal dengan nama Wakaaka. Ia disimbolkan sebagai seorang putri yang ditemukan di Bukit Lelemangura yang muncul dari ruas bambu gading oleh Sangia Langkuru. Karena keistimewaannya, sehingga para Bonto (kepala kampung) mengangkat Wakaaka sebagai Raja Wolio Pertama, dia dilantik di atas batu popaua, yang kelak menjadi tradisi tempat pelakntikan Raja Wolio/Buton. Salah satu versi menyebutkan bahwa Wakaaka bersama rombongannya mula-mula masuk di kali Umalaoge di Pantai Timur Lasalimu, kemudian meneruskan perjalanan ke selatan dan sampai di Lelemangura (Wolio). Tradisi lisan tersebut didukung oleh silsilah raja-raja Wolio/Buton yang melukiskan Wakaaka sebagai putri Raja Luwu yang lubang tangannya (masombuna limana) dengan permaisurinya yang putih wajahnya (maputina roona) (Mekuo, 1986).
Nama Wakaka dalam tradisi Luwu adalah dari kata Tomokaka, tomo=penguasa/raja, kaka=diantara beberapa kelompok masyarakat. Pendapat ini didukung oleh sumber sejarah Wolio yang mengungkapkan bahwa sebelum terbentuknya Kerajaan Wolio, telah berdiri beberapa kerajaan kecil di Pulau Buton diataranya Kerajaan Amboau. Wakaaka sebagai raja pertama Wolio, kemudian kawin dengan Sibatara, oleh sebagian orang disimbolkan sebagai bangsawan Majapahit, namun jika dihubungkan dengan Sejarah Luwu, nama Batara ditemukan pada bangsawan bernama Batara Guru dan Batara Lattu. Dari perkawinan mereka lahirlah tujuh orang anak, salah seorang bernama Bulawambona yang kelak diangkat menjadi Ratu Wolio Kedua. Wakaaka kemudian meninggalkan Wolio menuju tempat yang tidak diketahui oleh masyarakat Wolio. Bulawambona pun tidak lama memerintah, karena kemudian pucuk pimpinan pemerintahan diserahkan kepada suaminya bernama La Baluwu (Mekuo, 1986). Sebagai raja Wolio III diangkatlah Bancapatola sebagai pewaris tahka kedua orang tuanya, ia kemudian diberi gelar Bataraguru (Djarudju, 1995; Anonim, 1982).
Kedua nama itu, memperlihatkan adanya hubungan kekerabatan dengan Luwu/Bugis, nama Patola=pewaris tahta, karena dialah yang mewarisi tahta kerajaan dari orang tuanya, dan nama Bataraguru, sama dengan nama Raja Luwu Pertama yang merupakan nenek Sawerigading (Kern, 1993). 
Kerajaan-kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara mengakui adanya hubungan historis dengan Sawerigading dari Luwu yang dihubungkan dengan kedatangan  To Manurung (orang asing). Persepsi yang sama juga ditemukan pada tradisi di kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, seperti: Gowa dan Bone. Pada sisi lain suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar dan suku Massenrempuluk mengakui pula bahwa asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Ussuk, diperkuat dengan tradisi raja-raja Bugis, Makassar, dan Mandar menghormati Raja Luwu sebagai primus interparis (Abidin, 1995: 7). Dalam lontarak Bajo (ditulis orang Bajo di Kendari) juga mengakui asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Ussuk.
Di Mekongga ditandai dengan kedatangan La Rumbalangi yang berhasil membunuh burung kongga, kelak menjadi raja pertama di Kerajaan Mekongga. Di Konawe Tomanurung ditandai dengan kedatangan Wekoila yang merupaka raja pertama di Kerajaan Konawe sekitar abad X. To Manurung di Wuna disebut Beteno ne Tombula orang yang keluar dari ruas bambu yang kelak menjadi Raja Wuna Pertama juga kawin dengan perempuan To Manurung bernama Sangke Palangga. Wakaaka merupakan To Manurung di Wolio kelak juga menjadi Raja Wolio Pertama (Anonim, 1982: 184).
Di masyarakat Moronene khususnya yang bermukim di Pulau Kabaena percaya bahwa ketika terjadi kemelut politik maka muncullah Tebeto Tulanggadi=lelaki tampan yang muncul dari bambu gading. Pada saat yang sama muncul pula seorang perempuan asing bernama Wulele Waru,  seorang putri yang terpencar dari sekuntum bunga kayu waru (Subur, 1990: 61).

2. Penindasan Kolonial
Kolonialisme adalah rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menaklukkan bangsa lain di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan dengan jalan: (1) dominasi politik, (2) eksploitasi ekonomi, dan (3) penetrasi kebudayaan. Sedangkan usaha mempersatukan koloni-koloni menjadi suatu sistem penguasaan/pemerintahan disebut imperialisme.
Selama ini tidak banyak terungkap perjuangan rakyat di Sulawesi Tenggara, disebabkan karena dua faktor:
1.      Kaum penjajah Belanda tidak lama menanamkan pengaruhnya di Sulawesi Tenggara kecuali di Buton.
2.      Belum banyak ditulis para sejarawan khususnya dalam bentuk buku untuk pembelajaran di sekolah.
Meskipun demikian jika kita kembali mengkaji jejak sejarah masyarakat di daerah ini tidak sedikit fakta akan perjuangan mereka seperti yang dilakukan oleh Wa Ode Wakelu: Permaisuri Raja Muna XII La Ode Ngkadiri yang menggantikan suaminya ketika ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Temate. Pada saat yang sama terjadi kemelut antara Muna dengan Belanda, dimana Muna tidak pemah mau mengakui kekausaan Belanda atas wilayahnya dan selalu ingkar membayar pajak upeti kepada Balanda melalui Buton, akhimya Belanda berusaha menyerang Muna dan rakyat Muna bangkit menghadapi tantangan Belanda, Wa Ode Wakelu sebagai Ratu juga tampil sebagai panglima yang terjung langsung di medan perang. Muna dalam hal ini bersekutu dengan Tiworo ketegangan terjadi antara tahun 1667-1668 yang berakhir setelah pasukan Muna di bawah pimpinan Wa Ode Wakelu  dapat dikalahkan. Tetapi bagaimanapun kehadiran Srikandi ini dipanggung politik dan pertempuran makin menambah catatan sejarah keperkasaan atas emansipasi perempuan Sulawesi Tenggara dan Indonesia umumnya.
Wa Ode Wakelu, yang memimpin perlawanan terhadap Belanda antara tahun 1667-1668, akhimya Muna dan Tiworo dapat dikalahkan. Maka kekuasaan Wa Ode Wakelu dianulir Belanda dengan mengirim utusan dari Buton bemama La Ode Muh. Idris untuk mengisi kekosongan pemerintahan di Kerajaan Muna.
Aliyina, putri Lapadi, seorang Tamalaki (Panglima) dari Konawe yang berjuang menentang Belanda (1908-1912) di daerah Windo Pamandati wilayah Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe Selatan sekarang ini. Dalam perjuangan mereka membuat benteng pertanahan dengan menjejer batu sepanjang 15 meter. Dalam ekspedisi Belanda pada tahun 1908, Lapadi bersama pengikutnya menghadang ekspedisi Belanda yang menyebabkan beberapa pasukan Belanda tewas, serangan Belanda diikuti dengan kegiatan mata-mata yang dilakukan oleh salah seorang juru bahasa Belanda bemama La Ende, menyebabkan Lapadi tertipu dan dikepung musuh pada bulan Desember 1910 berhasil tertangkap oleh pasukan Belanda dan ditawan di Kendari, berkat semangat juangnya yang gigih akhimya ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan melanjutkan perjuangan, pada tahun 1911 pertanahan Lapadi kembali berhasil diterobos pasukan Belanda, segenap pengikutnya tewas termasuk putrinya Srikandi Aliyina.



3. Pergerakan Nasional
Istilah pergerakan mengadung arti yang khas, berlainan dengan pengertian perjuangan. Pergerakan merupakan bagian dari perjuangan, yaitu perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dengan menggunakan organisasi yang teratur. Istilah nasional adalah pergerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan bangsa.
Perlawanan srikandi Weribundu dari Konawe menentang eksepedisi Belanda bersama dengan tokoh-tokoh lainnya seperti Watukila (Ponggawa Tongauna), Samuela (Sulewata Wawotobi),  Wulumohito (Puutobu Tuoi), Lapotende menghadang ekspedisi Kapten Helleks di Palarahi-Wawotobi.
Tielete seorang srikandi dari Wawowonua (Baito) bersama dengan Polonui pada tahun 1914 melakukan perlawanan terhadap Belanda (Anonim. 1982: 132).

4. Pergerakan Nasional pada Masa Pendudukan Jepang
Era pendudukan Jepang di Sulawesi Tenggara tidak Nampak perjuangan tokoh perempuan, namun era ini merupakan zaman penderitaan kaum perempuan karena eksploitasi oleh prajurit Jepang dalam bentuk organisasi Seinendan dan Keibodan, namun kenyataannya banyak yang dijadikan sebagai perempuan penghibur yang dilakukan secara paksa.  Fenomena seperti ini merata di hapir seluruh Nusantara.
Zaman ini juga, tidak sepi dengan perlawanan diantaranya tercatat: perlawanan di Wanci tahun 1943 dipimpin oleh La Ode Maniru dan Laode Abdulu yang menyerang Gunco (Kepala Distrik) Wanci yang dikawal dua orang polisi Jepang yang menemui ajalnya dan Gunco mengalami luka-luka. Sedangkan La Ode Maniru dan La Ode Abdulu dihukum mati di depan mata pengikutnya di Wanci. Demikian pula perjuangan Tojabi di Kolaka Utara berlanjut, namun karena usia lanjut sehingga dapat ditangkap dan diasingkan ke Palopo.

5. Perjuangan Pascakemerdekaan
Segera setelah kemerdekaan kekhawatiran para pemuda akan kedatangan sekutu bersama Belanda menjadi kenyataan. Proklamasi yang telah diikrarkan mendapat ronrongan dari Sekutu/Belanda (NICA), mereka memcap proklamasi Indonesia buatan Jepang, hal ini tentu saja tidak dapat diterima oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia. Tampillah para pahlawan pejuang dengan bermodalkan semangat yang dilengkapi senjata sedanya terutama bambu runcing berhadapan dengan senjata moderan milik Sekutu dan Belanda.
Sekutu menyerahkan kekusaannya kepada Belanda dan bukan kepada Indonesia, terjadilan perlawanan baik kepada Sekutu seperti yang terjadi di Surabaya yang dikenal peristiwa 10 November 1945 oleh Arek-Arek Suroboyo, dan di beberapa belahan daerah lainnya termasuk di Sulawesi Tenggara yang dikenal dengan peristiwa 10 November 1945 di Kolaka.
Perjuangan rakyat Sulawesi Tenggara tidak berakhir setelah proklamasi, karena pada masa revolusi fisik perlawanan semakin gencar dilakukan oleh para pemuda baik secara pribadi maupun melalui organisasi kelaskaran. Berita proklamasi segera diterima oleh rakyat di daerah ini, dimulai dengan kedatangan pelayar Wakatobi yang memperoleh berika proklamasi di Pulau Jawa dan Makassar. Disusul dengan pengibaran bendera merah putih pertama kali di Kolaka dipimpin oleh Kepala Pemerintahan Kolaka Andi Kasim 17 September 1945, di Lasusua 5 Oktober 1945, di Wawotobi Akhir Oktober 1945 dipelopori oleh pemuda yang mendapat dukuang Raja II Laiwoi La Sandara, di Kota Kendari dilakukan penempelan pamplet berita proklamai yang dlakukan oleh para pemuda, diantaranya Mahaseng, di Bupinang pengibaran merah putih dilakukan akhir November 1945, di Muna para pemuda militan dipimpin oleh Idrus Efendi melakukan penguabaran bendera merah putih di luar Kota Raha.
Para pemuda pejuang melakukan takntik perang gerilya untuk menghadapi Belanda NICA. Puncak perlawanan terhadap NICA di Sultra terjadi pada tanggal 19 November 1945 ketika para pemuda pejuang di Kolaka yang mendapat dukungan penuh dari pemimpim pemerintahan Andi Kasim melakukan penyerangan terhadap ekspedisi NICA di luar Kota Kolaka
Istri dan anak Andi Kasim ikut dibuang ke Ruteng Flores, setelah tertangkap pada tanggal 19 Juli 1946 dalam usahanya menyerang kedudukan NICA di Kolaka, dan pada bulan Pebruari 1947 diadili oleh Pengadilan Hadat Tinggi Sulselra yang diketuai oleh Mayor Andi Pabbenteng (Raja Bone) dan dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun.
.
D. PENUTUP
Rangkaian perjuangan kaum perempuan merintis pemerintahan, merebut dan mempertahankan kemedekaan kemerdekaan telah menelan banyak korban baik harta maupun jiwa. Para pejuang perempuan berani mengorbankan harta dan jiwanya demi mencapai cita-cita kemederkaan abadi, bukan semata-mata untuk kepentingannya, tetapi untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan untuk waktu yang tidak terhingga.  Mereka rela berkorban karena ada jiwa, semangat, nilai kejuangan dan pengabdian untuk kejayaan bangsa dan negara di masa depan. Tugas generasi sekarang adalah mewarisi, melanjutkan, dan mengebangkan perjuangannya dengan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengembangkan nilai-nilai moral bangsa yang penuh kejujuran dan semangat ingin maju dalam rangka memajukan bangsa dan negara tercita.

KEPUSTAKAAN
Abidin, A. Z. 1995. “Perbandingan Buku Sastra I La Galigo dengan Cerita Rakyat di Sulawesi Tenggara tentang Hubungan Raja-raja di Sulawesi Selatan dan Raja-raja di Sulawesi Tenggara”.  Makalah Seminar Eksistensi dan Peranan Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Di Kendari tanggal 7-8 Agustus 1995.
Anonim. 1982. Dokumentasi DPRD -Tk.I Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekreariat DPRD Tk. I.
Batoa, L.K. 1991. Sejarah Kerajaan Daerah Muna. Raha: Astri.   
Bhurhanuddin, B., dkk. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Bhurhanuddin, B., dkk. 1979. Sejarah Masa Revolusi Fisik Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Brotosoehendro, S., dkk. 1988. Pedoman Umum Pelestarian Jiwa, Semangat, dan Nilai-nilai 45. Jakarta: Dewan Harian Nasional Angkatan-45.
Djarudju, L.D.S. 1995. “Peranan Haluoleo dalam Kerajaan dan Kesultanan Buton”. Makalah Seminar Eksistensi dan Peranan Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Di Kendari tanggal 7-8 Agustus 1995.
Hafid, Anwar. 2003. “Nilai-nilai Edukatif dari Perjalanan Sawerigading ke Dunia Timur”. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional Sawerigading. Masamba, 10-14 Desember 2003.
Kansil, C.S.T dan Julianto. 1986. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indoensia. Jakarta: Erlangga.
Kern, R.A. 1993. I La Galigo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mahmud, Amir. 1985. Surat Perintah 11 Maret 1966 Tonggak Sejarah Perjuangan Orde Baru. Jakarta: MPR.
Mekuo, J. 1986. Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Kendari: FKIP Unhalu.
Pringgodigdo, A.K. 1984. Sejarah Pergerakan Rakyat Indoensia. Jakarta: Dian Rakyat.
Sagimun, M.D. dkk. 1986. Perlawanan dan Pengasingan Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press.
Sukamo. 1983. Indonesia Menggugat. Jakarta: Inti Idayu Press.
Subur, M. 1990. Peranan Sapati Manjawari terhadap Perkembangan Sejarah dan Budaya Kerajaan Kotua di Pulau Kabaena. Kendari: Skripsi FKIP Unhalu.
Tamburakan, R., dkk. 1999. Sejarah Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekretarait Daerah Propinsi Sultra.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar