KONFLIK
SARA DI WILAYAH PERTAMBANGAN
(Kasus
Sulawesi Tenggara)
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.
Sejak munculnya tren bahan
tambang nikel di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini, maka wilayah
Sulawesi Tenggara mendapat perhatian dari pemodal yang memiliki minat di sektor
ini. Berbagai bangsa mengunjungi wilayah ini, seperti: Cina, India, Korea
Selatan, mereka seakan berebut pengaruh dengan
berusaha mendekati pemerintah daerah dan masyarakat dengan menggandeng
masyarakat lokal, invenstor lokal, dan nasional. Pemerintah Daerah menyambut
baik niat invenstor untuk menggali dan memasarkan tanah air dan tanah leluhur
dalam keadaan mentah untuk dikapalkan keluar negeri. Tanah kuning yang
menyimpan rahasia beruma mineral nikel yang begitu dibutuhkan oleh banyak
bangsa untuk berbagai keperluan indcustri strategis, menggiring banyak orang
untuk menanamkan modal dalam upaya eksplorasi, maka Pemda Kabupaten yang
memiliki kewenangan, merasa tidak dapat menahan diri untuk tidak memberi izin
kepada investor, meskipun mereka menyadari bahwa kemampuan mereka melakukan
pemetaan wilayah, dalam bentuk: wilayah hutan lindung, wilayah penguasaan
rakyat, wilayah adat, dan wilayah penguasaan negara yang menjadi kewenangan
pemda. Kondisi ini, menyebabkan Pemda mengeluarkan izin tanpa pedoman yang
jelas, akhirnya terjadi tumpang tindih dan konflik.
Konflik bernuansa sara yang
terjadi antar lain: (1) konflik antara perusahaan pemegang IUP dengan
masyarakat adat karena dianggap merebut wilayah adat/leluhur, (2) konflik antar
perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat pemilik lahan karena dianggap merebut
lahar perkebunan dan peternakan mereka, (3) konflik antar perusahaan pemegang IUP
dengan masyarakat pemukim di sekitar wilayah tambang, karena dianggap mencemari
sumber air, sungai, dan perairan tempat mereka mencari/memelihara ikan, (4)
konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan pemerintah daerah dan masyarakat
pemukim di sekitar wilayah tambang, karena dianggap melakukan eksplorasi di
luar wilayah izin penguasaan dengan merambah hutan lindung. Konflik lain yang
bernuansa ekonomi: (1) konflik antara satu perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan
(IUP) dengan perusahaan lain karena tumpang tindih lahan, dan (2) konflik
antara pemegang saham dalam suatu perusahaan pemegang IUP.
Bagi masyarakat Sultra, khususnya
Suku Tolaki memiliki instrumen adat berupa Kalosara
yang selama ini dapat dijadikan solusi konflik. demikian pula sikap keterbukaan
dan toleransi etnis Tolaki dan Moronene dalam menerima pendatang dari luar,
termasuk proses kawin-mawin dengan pendatang. Kedua hal ini menjadi instrumen
solusi konflik, sehingga selama ini tidak terjadi konflik terbuka di Sulawesi
Tenggara.
Kata
kunci: Konflik sara, masyarakat adat, etnis pendatang, instrumen budaya
A.
Pendahuluan
Kehadiran investor untuk melakukan
eksploitasi tambang sejatinya akan membuka peluang kerja bagi masyarakat
sekitar tambang, namun kenyataannya mereka kurang dilibatkan karena penduduk
sekitar tambang memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan. kondisi ini
merupakan suatu ironi, karena konsep partisipasi masyarakat begitu
penting saat ini, terutama setelah era Orde Baru, selain karena merupakan
bagian dari hak konstitusional warga negara dalam pembangunan, juga karena
fakta empiriknya menunjukkan bahwa minimnya partisipasi masyarakat dalam
pembangunan menjadi faktor pemicu munculnya konflik antara masyarakat terkena
dampak dengan pemerintah dan penerima izin usaha dari pemerintah. Dalam sektor
pertambangan minerba, sebagai contoh, sepanjang tahun 2011 dan 2012 telah
terjadi konflik pertambangan sebanyak 203 kasus di seluruh wilayah Indonesia (Anonim, 2013).
Buruknya
mekanisme partisipasi masyarakat dalam sektor tambang, dipicu oleh lemahnya
pengaturan secara hukum mengenai partisipasi masyarakat dalam penetapan Wilayah
Pertambangan yang menjadi acuan dasar penerbitan izin-izin pertambangan. Posisi
masyarakat di tempat sebagai objek
yang hanya perlu diperhatikan saja dalam proses penetapan wilayah pertambangan.
Padahal resikonya, masyarakat akan kehilangan tanahnya dan atau rusaknya ruang
hidup mereka. Seharusnya negara wajib
melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah
maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan
masyarakat yang akan terkena dampak”.
Siapa saja yang tinggal pada kawasan tambang
di Wilayah Sultra dewasa ini sudah terbiasa dengan adanya konflik, dan mungkin juga menyimpan ingatan akan penderitaan,
atau sebaliknya akan kegembiraannya sewaktu suatu
konflik dapat diatasi.
Sejalan dengan itu muncul Rencana Pemerintah Daerah Sulawesi
Tenggara menetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Rencana ini dipandang
berpotensi kuat melahirkan konflik atas tanah dan sumber daya alam. Dimana
penetapan KEK Pertambangan Nasional akan memaksa petani dan masyarakat adat
serta warga yang berdomisili di wilayah yang ditunjuk sebagai KEK, akan
berhadap-hadapan secara vertikal dengan gabungan kepentingan pemilik modal dan
aparatur negara. Warga yang menolak juga akan berpotensi konflik horizontal
dengan warga yang menerima wilayahnya jadi KEK Pertambangan Nasional.
Upaya menjadikan Sultra sebagai
kawasan pertambangan nasional juga akan mengancam secara ekologis Kawasan
Ekologi Genting (KEG) yang menjadi sumber-sumber kehidupan rakyat. Pertambangan
akan selalu identik dengan tindakan brutal merusak alam, khususnya hutan dan
pesisir-laut, mencemari lingkungan, menyuburkan konflik vertikal dan horizontal
di tengah rakyat, menyuburkan korupsi aparat negara, menciptakan kemiskinan
ekonomi-sosial-budaya struktural, serta melestarikan pembiaran pencurian sumber
daya alam oleh pemodal asing maupun nasional.
Pemerintah Sulawesi Tenggara
mestinya belajar dari cerita praktek pertambangan di sejumlah wilayah Nusantara.
Karena kenyataannya di wilayah-wilayah tambang tersebut, negara jelas
mendapatkan kerugian ekonomi, sosial maupun ekologis dari industri ekstraktif
pertambangan. Hadirnya perusahaan tambang, bukan saja tak dapat mensejahterakan
negeri, untuk mensejahterakan masyarakat lingkar tambang beserta alamnyapun
sulit. Hasil tambang habis dikuras untuk kepentingan ekspor (pemilik modal),
dan meninggalkan lubang-lubang tambang beracun, serta derita kemiskinan dan
kehancuran lingkungan hidup. Kasus di Konawe Utara, misalnya: Data tahun 2012
menunjukkan bahwa ada sebanyak 100 buah Perusahaan yang telah memperoleh Izin
Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas masing-masing bervariasi mulai dari 100Ha
sampai dengan 164.293Ha, dengan luas keseluruhan 392.901 Ha. Belum termasuk 7
kabupaten lain yang ada di Sultra sebagai wilayah opersional pertambangan
nikel, aspal, dan emas.
Fenomena tersebut menimbulkan
kecemburuan sosial masyarakat di sekitar tambang yang selama ini merasa
dirugikan, karena tidak banyak terlibat dalam pengelolaan tambang, akhirnya
tidak memperoleh manfaat dari tambang. Sementara para investor bersama stafnya
yang umumnya dari etnis luar Sultra hidup dalam kemewahan, bahkan sering
berprilaku tidak sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Akhirnya, lahirlah
konflik yang dipermukaan nampak bersifat ekonomi, tetapi dibalik itu ada
konflik bernuansa sara, karena adanya perbedaan sosial budaya dan agama.
Konflik bernuansa sara yang
terjadi antar lain: (1) konflik antara perusahaan pemegang IUP dengan
masyarakat adat karena dianggap merebut wilayah adat/leluhur, (2) konflik antar
perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat pemilik lahan karena dianggap merebut
lahar perkebunan dan peternakan mereka, (3) konflik antar perusahaan pemegang IUP
dengan masyarakat pemukim di sekitar wilayah tambang, karena dianggap mencemari
sumber air, sungai, dan perairan tempat mereka mencari/memelihara ikan, (4)
konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan pemerintah daerah dan masyarakat
pemukim di sekitar wilayah tambang, karena dianggap melakukan eksplorasi di
luar wilayah izin penguasaan dengan merambah hutan lindung. Terdapat pula
konflik bernuansa ekonomi semata, seperti: kasus-tumpang-tindih lahan, dan
konflik antar pemilik saham dalam suatu perusahaan.
Kenyataannya menurut Fisher, dkk
(2001) bahwa ketika berhadapan dengan konflik sosial dan politik, buday asering
muncul sebagai faktor yang harus diakui dan diatasi karena pengaruhnya terhadap
konflik. Untuk itu upaya menangani konflik harus memiliki pengertian konteks
budaya pihak-pihak yang terlibat, khususnya fihak-fihak yang berkonflik berasal
dari budaya yang berbeda.
B. Jenis-Jenis
Konflik
1. Konflik
antara Perusahaan Pemegang IUP dengan Masyarakat Adat karena Merebut Wilayah Adat/Leluhur
Kesempatan
dan persaingan kerja, umumnya konflik ini dipicu oleh kesempatan kerja antara
masyarakat pendatang di perusahaan dengan putra daerah. Mengingat, industri
tambang sangat spesifik, high risk, high
capacity dan high technology sehingga pekerja datang dengan kemampuan
tinggi dan renumerasi yang sesuai. Kemudian masyarakat sekitar umumnya adalah
mereka dengan kemampuan skill terbatas bahkan tingkat pendidikan juga tidak
tinggi sehingga kesempatan berusaha mereka lebih kecil dari para pendatang. Gap
yang terjadi inilah memicu timbulnya konflik akibat persaingan kerja dengan
putra daerah.
Masalah
hak ulayat dan hak individu, konflik ini berakar dari ketidakterimaan
masyarakat terhadap perusahaan akibat terambilnya tanah warisan dan ulayat
masyarakat setempat. Tanah ulayat diklaim sebagai kewenangan, yang menurut hukum
adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini
memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam,
termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat
dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah
turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan
wilayah yang bersangkutan. Jadi mengambil tanah dan hak ulayat akan memutuskan
hubungan mekanis antara masyarakat denga leluhurnya.
Pemanfaatan
lahan bekas pemukiman yang sudah ditinggalkan, selama ini tidak pernah menjadi
persoalan namun dengan adanya kandungan emas di lahan tersebut, mendadak
persoalan hak ulayat dimunculkan. Contoh,
kasus Kabupaten Bombana: Momentum penutupan tambang oleh pemerintah
Kabupaten Bombana dimanfaatkan oleh sejumlah tokoh masyarakat dan keluarganya
untuk mengklaim lokasi tersebut sebagai wilayah hak ulayat mereka. Konsekuensinya, sejumlah tokoh suku Moronene
mulai memberlakukan pungutan terhadap penambang, bila para penambang
tersebut menggali lubang untuk menambang di lahan tersebut. Mereka menganggap
para penambang itu beraktivitas di wilayah tanah ulayat mereka. Itulah sebabnya
mereka mengajukan protes kepada DPRD dan Bupati atas beroperasinya PT Panca Logam
Makmur (PLM) yang telah mengantongi IUP dari Bupati di wilayah yang mereka
klaim sebagai wilayah mereka. Puluhan warga yang menamakan diri Forum Masyarakat Rumpun Pewaris Tanah Adat Rarowatu
mendesak Bupati Bombana untuk mencabut semua
rekomendasi IUP yang sudah dikeluarkan karena dinilai telah merugikan masyarakat
pewaris tanah adat khususnya di wilayah Rarowatu.
Tidak diketahui berapa nilai kompensasi dari pemanfaatan tanah ulayat
tersebut, akan tetapi sejak ramainya pendulangan di lahan lokasi penambangan, pungutan
mengatasnamakan masyarakat setempat mulai marak. Para penambang bahkan dikenai
pungutan lebih sekali dalam sehari (Zulkarnain, 2010).
Banyak penduduk datang dari luar Tanah Sultra dan mulai mencari dasar hidupnya di Sultra. Proses demikian berjalan begitu pesat (dan didorong
oleh pemerintah pusat), membuat banyak orang protes karena mulai takut kehilangan peluang hidupnya atau karena merasa bahwa
perlahan-lahan mereka (warga asli) tidak diakui lagi sebagai ‘tuan rumah’.
Apalagi muncul perbedaan ungkapan budaya, gaya hidup, gaya religiositas, daya
penyesuaian, perbedaan kedudukan, dan kekuasaan.
Banyak warga masyarakat tradisional mengalami bahwa apa
yang mereka hargai dan
lestarikan selama sekian lama tiba-tiba dinilai “tidak laku” lagi, karena tidak modern atau
malahan dinilai primitif. Kenyataan semacam itu sangat sulit diterima bahkan cenderung
menimbulkan ketegangan dan perasaan marah pada mereka yang dinilai ketinggalan zaman;
atau menimbulkan perasaan minder pada pihak yang dinilai tradisional, sedangkan pihak dari
luar (yang menilai) merasa diri mantap betul: lebih baik, paling benar, berbobot dan yang lain
‘tingka laku’. Sikap diskriminatif semacam ini sering muncul dan membuat banyak warga terluka begitu dalam. Tidak mengherankan bahwa warga yang merasa dicap ‘bodoh dan miskin’ tidak begitu berminat untuk mengambil suatu peran aktif dalam kehidupan kemasyarakatan, atau kehidupan sosial keagamaan, karena mereka merasa diri tidak diakui sebagai manusia sejati dan semartabat dengan siapa saja dari luar. Ternyata kemajemukan kependudukan membawa serta segala macam gejala dimana perbedaan menjadi unsur yang lebih ditonjolkan daripada unsur kesamaan. Kenyataan demikian merupakan tanah subur bagi lahirnya konflik.
lestarikan selama sekian lama tiba-tiba dinilai “tidak laku” lagi, karena tidak modern atau
malahan dinilai primitif. Kenyataan semacam itu sangat sulit diterima bahkan cenderung
menimbulkan ketegangan dan perasaan marah pada mereka yang dinilai ketinggalan zaman;
atau menimbulkan perasaan minder pada pihak yang dinilai tradisional, sedangkan pihak dari
luar (yang menilai) merasa diri mantap betul: lebih baik, paling benar, berbobot dan yang lain
‘tingka laku’. Sikap diskriminatif semacam ini sering muncul dan membuat banyak warga terluka begitu dalam. Tidak mengherankan bahwa warga yang merasa dicap ‘bodoh dan miskin’ tidak begitu berminat untuk mengambil suatu peran aktif dalam kehidupan kemasyarakatan, atau kehidupan sosial keagamaan, karena mereka merasa diri tidak diakui sebagai manusia sejati dan semartabat dengan siapa saja dari luar. Ternyata kemajemukan kependudukan membawa serta segala macam gejala dimana perbedaan menjadi unsur yang lebih ditonjolkan daripada unsur kesamaan. Kenyataan demikian merupakan tanah subur bagi lahirnya konflik.
2. Konflik antar
Perusahaan Pemegang IUP dengan Masyarakat Pemilik Lahan karena Merebut Lahar Perkebunan
dan Peternakan
Adanya pemicu
berganda seperti penggunaan lahan milik masyarakat oleh perusahaan tanpa diwujudkannya
legalitas yang menguntungkan kedua pihak. Akibanya terputus hubungan mekanistik
antara masyarakat dengan habitat asal dan lingkungan sosialnya serta mengubah
ritme kehidupan mereka. Sebagai pemilik awal, ini juga kerap memicu adanya
sikap menuntut ini dan itu terhadap perusahaan.
Lalu
bagaimana dengan konsep pemberdayaan (empowerment)
masyarakat sekitar tambang yang saat ini digadang-gadangkan sebagai konsep
membangun tambang yang berkelanjutan? Meski diakui bahwa konsep ini yang
diselaraskan dengan Corporate Social
Responsibility (CSR) baru berada pada milestone awal dan terkadang di
perusahaan bukan menjadi prioritas. CSR dianggap sebagai terobosan baru di
dunia perusahaan terlebih untuk perusahaan ekstraktif, karena menggabungkan
prinsip people and planet dalam
aktivitas pencarian profit
perusahaan.
Diakui
atau tidak, CSR di Indonesia khususnya di industri ekstraktif seperti
pertambangan merangkak menuju pendewasaan pola pikir dan kemampuan membangun
diri masyarakat. Perusahaan sebagai stake holder utama harus mampu menganggap
hubungan masyarakat dengan perusahaan adalah mitra yang sejajar. Jangan
menganggap program Comdev sebagai charity semata atau hanya memberi kail tetapi
tidak mampu mengajarkan bagaimana cara memancing yang tepat.
Secara
garis besar bahwa konflik pertambangan dapat terjadi karena belum tersusunnya
kebijakan pemanfaatan SDA secara optimal oleh pemerintah pusat dan daerah
sebagai suatu kepentingan nasional. Juga belum didukungnya optimasi national resources sustainability antara
pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup yang seharusnya dibentuk dalam
management yang integral.
Lima tahun lalu penduduk asli pada
wilayah-wilayah tambang di Sulawesi Tenggara (Moronene di Bombana, Tolaki di Konawe,
Konawe Selatan, Konawe Utara) merupakan penduduk mayoritas dari seluruh warga di wilayah
tersebut. Akan
tetapi sejalan berkembangnya industri tambang, yang banyak diperankan oleh
etnis pendatang dari luar Sultra, maka ke depan kondisi sosial budaya akan
mengalami pergeseran, dan bukan tidak mustahil penduduk asli akan menjadi
termaginalkan dan kemudian menjadi minoritas di negeri sendiri.
Kasus protes Akbar Dimba dari
Aliansi Masyarakat Wawonii Peduli Lingkungan (AMWPL) mendesak pemerintah daerah
mencabut izin usaha pertambangan nikel dan emas di Kecamatan Wawonii Tengah,
dan Wawonii Barat, Kabupaten Konawe, sebab kawasan tambang tersebut merupakan
kawasan pertanian, perkebunan, dan perikanan di wilayah itu.
3. Konflik antar Perusahaan Pemegang IUP dengan Masyarakat Pemukim Sekitar Wilayah Tambang, karena Mencemari Lingkungan
Masalah pertambangan yang
menimbulkan kegentingan dipicu kegiatan tambang yang tak memberi kesejahteraan
kepada masyarakat lingkar tambang. ”Berbagai
konflik dan tindakan kriminal terkait kegiatan pertambangan disebabkan oleh
berkembangnya paradigma baru di masyarakat bahwa tambang adalah milik daerah
dan masyarakatnya, yang dengan mudah ditunggangi kepentingan: politik, ekonomi,
pemekaran wilayah, pilkada, dan kesejahteraan ekonomi dan sosial yang kemudian
menjelma menjadi tuntutan anti-pertambangan.
Direktur
Walhi Sulawesi Tenggara Hartono di Kendari mengatakan, kehadiran pertambangan
di Sultra lebih banyak merugikan masyarakat dari pada menguntungkan. Pemerintah diminta melakukan moratorium
pertambangan. Banyak aktivitas pertambangan, menimbulkan kerusakan lingkungan,
konflik dengan masyarakat, serta menghilangkan mata pencaharian warga. Kasus
terbaru adalah meluapnya dam pengendali air perusahaan tambang nikel di Pulau
Kabaena, Kabupaten Bombana, yang membanjiri tiga desa di Kabaena, 15 Februari
2012. Pada bulan Februari 2011, ratusan nelayan di
Kecamatan Pomalaa, sempat menyegel dua kapal tongkang milik perusahaan karena
perusahaan belum membayar ganti rugi lahan milik masyarakat, dan kerugian nelayan akibat penambangan yang
mencemari perairan wilayah penangkapan dan wilayah budi daya ikan.
Petani tambak di Konawe Utara mengadu ke
DPRD setempat karena PT. Bumi Konawe Abadi dalam melakukan eksploitasi tanah
merah (tambang Nikel) mencemari areal tambang warga, sehingga salah seorang
petani menuntut ganti rugi sebanyak Rp.100.000/M, karena areal tambaknya panen
3 kali setahun, dan setiap panen menghasilkan Rp. 270.000.000, namun pihak PT. Bumi
Konawe Abadi belum merealisasikan tuntutan warga (Kendari Pos, 5 September
2013).
Praktek
pertambangan menyebabkan pemutusan rantai ekonomi, kriminalisasi, kekerasan
terhadap masyarakat. Selain masalah dibidang kehutanan dan Izin Usaha Pertambangan
(IUP), pertambangan juga menimbulkan kerusakan lingkungan di daerah pesisir.
Karena dalam melakukan operasi pertambangan, pemilik perusahaan banyak
mengincar daerah-daerah pesisir sebagai zona aktivitas terpadat. Contoh: pencemaran limbah tambang galian di
Desa Huko-huko, Tambea dan Hakakutobu, Kabupaten Kolaka. Perusahaan yang
beroperasi di daerah tersebut adalah PT. Dharma Rosady Internasional (DRI).
Kasus
yang lebih miris lagi terjadi di Kabaena, dimana masyarakat Desa Kokoe,
Kecamatan Kabaena Timur tidak dapat lagi menggunakan Sungai sebagai sumber air
minum masyarakat setempat. Di Desa Langkowa, Bomba-bomba dan Telutu Jaya
Kecamatan Tinaggea, Konawe Selatan, PT Ifish Deco mengambil air irigasi petani
ditiga desa itu dalam melakukan aktivitas produksi.
4. Konflik antar Perusahaan Pemegang IUP
dengan Pemerintah Daerah dan Masyarakat Pemukim di Wilayah Tambang, karena Melakukan
Eksplorasi di Luar Wilayah Izin Penguasaan dengan Merambah Hutan Lindung.
Kerusakan
lingkungan adalah ancaman serius mengingat aktivitas tambang pada dasarnya
bersifat destruktif karena mengubah bentang alam, sifat fisik dan kimia tanah,
bahkan perubahan ekosistem lingkungan secara total. Selain aktivitas tambang,
aktivitas turunan juga turut menyisakan kerusakan lingkungan seperti terjadinya
air asam tambang (acid mine drainage) akibat teroksidasinya mineral yang
mengandung sulfida. Dampak ini memprihatinkan karena kerusakannya tidak dapat
ditanggulangi dalam waktu cepat.
Muncul
fenomena bari di wilayah pertambangan dalam bentuk Penambang Tanpa Izin(PETI). Kehadirannya melahirkan salah
satu konflik multi kompleks yang terjadi di pertambangan. Dikatakan multi
kompleks karena memperlihatkan banyak stakeholder
makro maupun mikro. Banyak yang berkepentingan atas hadirnya PETI di
wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan.
PETI
sendiri bermakna usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan,
sekelompok orang, atau perusahaan yayasan berbadan hukum yang dalam operasinya
tidak memiliki Izin dan instansi pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku. PETI umumnya diawali oleh keberadaan para penambang tradisional,
yang kemudian berkembang karena adanya faktor kemiskinan, keterbatasan lapangan
kerja dan kesempatan usaha, keterlibatan pihak lain yang bertindak sebagai
cukong dan backing, ketidakharmonisan hubungan antara perusahaan dengan
masyarakat setempat, serta krisis ekonomi berkepanjangan yang diikuti oleh
penafsiran keliru tentang reformasi. Di sisi lain, kelemahan dalam penegakan
hukum dan peraturan perundang-undangan yang menomorsekiankan pertambangan
(oleh) rakyat, juga ikut mendorong maraknya PETI.
Kegiatan
PETI yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pertambangan yang benar, telah
mengakibatkan kerusakan lingkungan, pemborosan sumber daya mineral, dan
kecelakaan tambang. Disamping itu, PETI bukan saja menyebabkan potensi
penerimaan negara berkurang, tetapi juga Negara/Pemerintah harus mengeluarkan
dana yang sangat besar untuk memperbaiki kerusakan lingkungan. Hal lain yang
perlu dicermati adalah PETI umumnya identik dengan budaya kekerasan dan
premanisme, prostitusi, perjudian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
pengingkaran terhadap norma-norma agama. Budaya pencurian' termasuk menjarah,
semakin berkembang, sehingga memberikan pengaruh buruk bagi mereka yang ingin
berusaha sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Salah
satu faktor terbesar adalah persoalan ekonomi dimana terjadi kekurangpahaman
hukum di tataran masyarakat lokal. Masyarakat tidak ikut serta dalam
pemanfaatan SDA minerl oleh perusahaan sehingga kesejahteraan mereka sendiri
tidak terangkat. Padahal sebagai agen of development, kehadiran perusahaan
seharusnya mampu membawa perubahan positif dan menjadi penggerak di berbagai
bidang ekonomi lanjutan (multiplier
effect).
Cerita banyak mengenai hilangnya sumber nafkah bagi
masyarakat kampung, karena
kekayaan alam sekitarnya sudah diambil oleh mereka yang “dapat izin dari Jakarta” untuk
mengurasnya secara komersial. Di kota-kota sudah banyak keluhan mengenai kekurangan
air minum karena hutan yang menjadi jaminan untuk kelancaran persediaan air sudah habis
ditebang, demikian pula banjir yang melanda Sulawesi Tenggara pada tanggal 16 Juli 2013, nyaris merendam 2/3 wilayah Sultra dan 80% wilayah Kota Kendari sebagai Ibu Kota Sulawesi Tenggara tenggelam, akibat banjir kiriman dari wilayah-wilayah pertambangan (Konawe, Konawe Utara, dan Konawe Selatan) yang telah rusak ekosistemnya. Menurut penjelasan Gubernur Sultra banjir tersebut merusah 2/3 areal produktif seperti sawah, kebun, jalan, jembatan, rumah, pasar, dan peraktoran (Kendari Pos, 19 Juli 2013).
kekayaan alam sekitarnya sudah diambil oleh mereka yang “dapat izin dari Jakarta” untuk
mengurasnya secara komersial. Di kota-kota sudah banyak keluhan mengenai kekurangan
air minum karena hutan yang menjadi jaminan untuk kelancaran persediaan air sudah habis
ditebang, demikian pula banjir yang melanda Sulawesi Tenggara pada tanggal 16 Juli 2013, nyaris merendam 2/3 wilayah Sultra dan 80% wilayah Kota Kendari sebagai Ibu Kota Sulawesi Tenggara tenggelam, akibat banjir kiriman dari wilayah-wilayah pertambangan (Konawe, Konawe Utara, dan Konawe Selatan) yang telah rusak ekosistemnya. Menurut penjelasan Gubernur Sultra banjir tersebut merusah 2/3 areal produktif seperti sawah, kebun, jalan, jembatan, rumah, pasar, dan peraktoran (Kendari Pos, 19 Juli 2013).
Akhir-akhir ini
ternyata makin
kurang yang menjaga kelestarian lingkungan hidup,
sehingga lingkungan hidup
makin kurang aman karena prinsip keuntungan ekonomi diutamakan dari
pada nilai lainnya.
Tidak mengherankan
bila banyak warga mulai pesimis atau makin tergoda untuk mengikuti trend-trend
saja dan bergabung dalam suatu perebutan keuntungan dari kekayaan alam yang
merugikan kehidupan rakyat banyak.
Contoh kasus: Komplek pertambangan di Kecamatan Pomalaa,
Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra) milik PT Dharma Rosadi
International, diamuk massa akhir pekan lalu. Beberapa truk yang terparkir
dirusak dengan memecah kaca. Satu unit alat berat juga dirusak. Massa juga membakar
gudang penampung bahan bakar di sekitar pelabuhan milik perusahaan. Lalu kantor
dan pos pengamanan pun tak luput dari amukan.
Perusahaan
tambang ini memang kerap mendapat protes dari berbagai kalangan. Tahun lalu,
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra, melaporkan perusahaan ini ke
polisi dengan tuduhan mengeksploitasi nikel di hutan produksi. Padahal, izin
pinjam pakai dari Kementerian Kehutanan (kemenhut), belum terbit. Dari
investigasi Walhi, ditemukan sekitar 90 persen konsesi milik perusahaan itu
masuk hutan produksi. Sisanya, sekitar 10 persen merupakan Area Penggunaan Lain
(APL). Sayangnya, tak ada tindaklanjut dari kepolisian.
5. Konflik Bernuansa Ekonomi
Konflik yang bernuansa ekonomi murni
antara kedua perusahaan pemegang IUP, terjadi antara PT. Starget Pasific
Resourcer (SPR) dengan PT. Cipta Djaya Surya (CDS) yang beroperasi di
Desa Molore, Kecamatan Langgikima, Konawe Utara. Kedua perusaahan
tersebut berseteru dan saling menuding. PT. SPR melaporkan PT. CDS ke Polda
Sultra, terkait kasus penyerobotan lahan, begitu juga sebaliknya. Untuk
membuktikan dua pelaporan perusahaan tersebut, pihak kepolisian langsung
melakukan penyelidikan di area perusaahan. Dirut CDS, Chandra pun dijadikan
tersangka. Hal ini membuktikan bahwa pihak CDS lah melakukan penyerobotan di
area pertambangan SPR seluas 21 hektar.
Konflik antar
pemegang sahan dalam suatu perusahaan terjadi pada PT. Panca Logam Makmur yang
beroperasi di Bombana. ada dua kubu yang saling bersaing yaitu: “Kelompok
Jakarta” yang disebut kelompok pemegang saham minoritas, dan “Kelompok Surabaya”,
sebagai pemegang saham mayoritas, pada tanggal 23 Julu Kelompok Surabaya
berusaha memasuki areal pertambangan yang sedang dikuasai Kelompok Jakarta,
namun dihalang-halangi oleh petugas keamaan perusahaan yang dibantu pihak
kepolisian, kejadian ini nyaris terjadi bentrok antara dua kubu. Menurut data WALHI Sultra,
banyak oknum TNI dan Kepolisian yang terlibat dalam aktivitas pertambangan di
Sultra. Kasus yang nampak misalnya, kasus perebuatan lahan antara oknum TNI
dengan Polisi di wilayah produksi PT. Panca Logam Makmur (PLM) di Kabupaten
Bombana (Kendari Pos, 5 September 2013).
C.
Mengatasi Konflik
Berbagai
tradisi, struktur dan proses yang terdapat dalam setiap budaya bisa sangat
membantu dalam menyelesaikan konflik dan mengembangkan perdamaian (Fisher,
2001). Di beberapa tempat ada metode yang sudah diterapkan selama berabad-abad
untuk menangani konflik antar pribadi dan antar kelompok. Fenomena tersebut terdapat dalam budaya Suku
Tolaki yang disebut Kalosara sebagai
instrumen untuk menyelesaikan konflik (Tarimana, 1993). Dengan demikian, maka mengatasi konflik diperlukan
sutau strategi atau suatu seni,
karena menanganinya tidak mudah, sehingga dituntut suatu seni tersendiri, suatu budaya tersendiri sehingga suatu konflik dapat diatasi. Dalam kebudayaan feodal segala konflik diatasi dengan memakai kekuasaan yang dimiliki oleh segelintir orang yang menentukan segalanya dan keistimewaan mereka tidak boleh diganggu-gugat, misaknya peran pabitara (tokoh adat juru bicara) dalam Masyarakat Tolaki, yang memanfaatkan Kalosara. Dalam suatu dunia yang penuh perubahan termasuk mengatasi konflik, menuntut suatu keterbukaan dari semua pihak yang berkepentingan untuk mencari jalan keluar dengan memanfaatkan instrumen budaya dan menyesuaikannya dengan perkembangan zaman.
karena menanganinya tidak mudah, sehingga dituntut suatu seni tersendiri, suatu budaya tersendiri sehingga suatu konflik dapat diatasi. Dalam kebudayaan feodal segala konflik diatasi dengan memakai kekuasaan yang dimiliki oleh segelintir orang yang menentukan segalanya dan keistimewaan mereka tidak boleh diganggu-gugat, misaknya peran pabitara (tokoh adat juru bicara) dalam Masyarakat Tolaki, yang memanfaatkan Kalosara. Dalam suatu dunia yang penuh perubahan termasuk mengatasi konflik, menuntut suatu keterbukaan dari semua pihak yang berkepentingan untuk mencari jalan keluar dengan memanfaatkan instrumen budaya dan menyesuaikannya dengan perkembangan zaman.
Popularisasi konsep HAM sebagai “Adat Baru”,
termasuk sikap damai, toleran, penghargaan hukum serta pengakuan
hak setiap orang. Pelatihan “Adat Baru” di tingkat masyarakat akar rumput,
perlu dilakukan dalam bentuk: Penyuluhan mengenai pelestarian alam dan lingkungan yang sehat, pemantauan pengoperasian perusahaan-perusahaan besar dari
segi dampaknya atas lingkungan, menggali tradisi pelestarian lingkungan/alam dan mengakui
peraturan tradisional secara hukum. Kesemuanya
itu dapat dilakukan dengan memperbaiki pendidikan, sehingga dapat menunjang
pengembangan kepribadian para warga secara merata.
Penemuan
tambang nikel dan emas di beberapa wilayah Sulawesi Tenggara, menyebabkan
masuknya berbagai perusahaan yang berusaha memiliki Izin Usaha
Penambangan. Berbagai cara untuk memperoleh tanah sebagai wilayah penambangan
diantaranya membeli tanah masyarakat setempat dengan harga yang murah, setelah
itu secepatnya melakukan penambangan dengan jalan menggali tanah tanpa
memperhatikan AMDAL, sehingga dalam waktu singkat para anggota masyarakat
merasakan dampaknya. Misalnya: (1) nelayan tidak lagi dapat memperoleh ikan
dalam radius tertentu dari pantai karena tercemar air pembuangan tambang yang
langsung mengalir ke laut tampa adanya proses penyaringan, (2) akan terjadi
kecemburuan sosial dalam jangka menengah dan pajang, melalui rekrutmen tenaga
kerja umumnya dari luar, karena masyarakat sekitar kurang terampil dan
pendidikan rendah, (3) belum ada pemikiran untuk memberdayakan masyarakat
melalui pendidikan kepada generasi muda sekitar tambang dengan memanfaatkan
dana CSR.
Pascapenemuan tambang nikel dan tambang
emas, sejumlah permasalahan yang mengarah konflik sara meledak ke permukaan. Beragam konflik yang terjadi pada prinspinya selalu
mengedepankan, wacana pertahanan diri atau egoisme antar-kelompok yang
melakukan konflik. Bentuk-bentuk sengketa pertanahan yang banyak
melibatkan rakyat atau para petani biasanya beragam bentuk. Scott (1985)
menyebutnya sebagai everyday forms of resistence, perlawanan terselubung
(Siahaan, 1996), dan perbanditan sosial (Suhartono, 1995). Bentuk lain
perlawanan petani dimotivasi oleh sikap-sikap keagamaan. Kartodirdjo (1984)
mencatat bahwa perlawanan para tani dapat diidentifikasi sebagai gerakan juru
selamat (messianisme), gerakan ratu adil (millenearisme), gerakan
pribumi (nativisme), gerakan kenabian (prophetisme), dan
penghidupan kembali (revivalisme).
Konflik pertanahan di daerah ini
bermula ketika pemerintah menempatkan warga transmigrasi di beberapa wilayah di
daerah ini. Menurut Karsadi (2002) sejak penyelanggaraan program transmigrasi di Kabupaten Kendari dengan
menempatkan transmigran dengan jumlah yang relatif besar telah berdampak
terhadap menyempitnya lahan pertanian secara tradisional. Keberadaan
lahan-lahan pertanian tradisional seperti homa, anahoma atau anasepu, o’epe, arano, lokua, dan walaka semakin
tergusur karena lahan tersebut sebagian besar digunakan untuk proyek
transmigrasi.
Selain itu, permasalahan lain
yang mempertajam munculnya konflik dilatari oleh semakin melebarnya kesenjangan
antara penduduk pendatang dengan penduduk asli atau suku Tolaki. Secara sosial ekonomi, para
pendatang memiliki kecakapan dan keahlian. Sementara hal ini berbanding terbalik
dengan penduduk asli khusuusnya di kalangan petani yang hidupnya masih
memprihatinkan. Dengan proyek transmigrasi dan pemberian IUP, penduduk asli semakin kehilangan lahan pertanian untuk menyambung
hidupnya.
Kondisi sosial tersebut memerlukan solusi dalam bentuk
kalosara untuk melakukan
rekonsisliasi antara pihak-pihak yang berkonflik. Peran tokoh adat Tolaki
sangat strategis untuk tampil menjadi bagian dari solusi konflik dengan
menampilkan kalosara sebagai instrumen utama adat Tolaki dapat
diterima oleh kelompok lain.
Peran Pabitara: juru bicara adat yang memfungsikan kalosara
dalam berbagai kesempatan. Pabitara
masih tetap eksis karena dipelihara, bahkan setiap desa memiliki minimal
seorang Pabitara, ini seiring dengan kepentingan masyarakat
Tolaki dalam menyelesaikan setiap masalah.
Kondisi ini merupakan suatu titik rawan di Sulawesi
Tenggara, karena telah terbukti dirasakan dampaknya di berbagai wilayah di
Nusantara. Untuk itu, bagi masyarakat Tolaki perlu memelihara peran pabitara (juru bicara adat) yang selalu
hadir menjadi mediasi dalam berbagai permasalahan masyarakat dengan
memanfaatkan istrumen kalosara.
Bagi masyarakat Sultra
khususnya Suku Tolaki yang wilayahnya paling banyak terbit IUP, memiliki bentuk
instrumen adat yang dapat dijadikan sebagai solusi konflik yang disebut kalosara.
Prospek pemanfataan instrumen kalosara dalam kehidupan sosial. Kasus sengketa
tanah di Kecamatan Unaaha Kabupaten Kendari tahun 1994 antara Warga Desa Puosu
(Komunitas Tolaki) dengan Warga Transmigrasi berhasil dieselesaikan berkat
adanya kalosara, yang difasilitasi
oleh Bupati Kendari Drs. H. Razak Porosi. Secara operasional Bupati meminta
tokoh masyarakat dari kedua belah pihak, untuk melakukan pertemuan, selanjutnya
dibentuk tim mediasi dari 2 orang tokoh masyarakat Tolaki, satu orang melakukan
komunikasi secara intensif dengan tokoh dan kelompok masyarakat trasmigran dan
satu orang melakukan komunikasi dengan masyarakat Tolaki. Kedua tokoh berupaya
mengidentifikasi aspirasi kedua belah pihak.
Kasus kawin lari dimana keluarga perempuan melakukan
tuntutan kepada keluarga pihak laki-laki dalam bentuk dendam yang mengarah
kepada pembunuhan. Akan tetapi bagi masyarakat Tolaki, ketegangan pihak
perempuan dapat diredam dengan membawakan kalosara.
Jika kalosara dihadirkan dihadapan
pihak keluarga perempuan, maka yang bersangkutan tidak bisa melakukan reaksi,
jika dia tetap bereaksi maka akan diberikan sangsi adat dan akan dihukum secara
fisik oleh segenap masyarakat setempat. Sebaliknya, jika ia menerima kehadiran kalosara, maka keluarga pihak perempuan diberi
kesempatan untuk mengajukan tuntutan sebagai solusi adat, berupa: 1 pis kain
kaci dan 1 ekor kerbau sebagai peahala (denda)
yang harus dibayar pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan.
Kasus penyelesaian pembunuhan dapat
diselesaikan dengan hukum Adat Tolaki yaitu adanya konsensus antara keluarga
korban dengan pihak pelaku yang disaksikan oleh toono motuo, kapala kambo/kapala desa, pabitara untuk berdamai. Pelaku harus memenuhi permintaan keluarga
korban dengan menghadirkan kalosara.
Secara empiris bahwa sesuai ketentuan
adat bahwa pelaku harus menanggung denda berupa: (1) satu pis kain kaci sebagai
perngganti pembungkus mayat, (2) ongkos pesta kematian, dan (3) satu ekor
kerbau sebagai tanda berkabung. Diadakan perdamaian dengan jalan upacara mosehe yaitu upacara perdamaian antara keluarga korban dan keluarga
pelaku dengan menghadirkan kalosara di
hadapan kedua belah pihak.
D. Penutup
Munculnya tambang dari bumi Sulawesi Tenggara, selain
merupakan rahmat, juga membawa masalah baru termasuk konflik ekonomi yang
bernuansa sara. Suku Tolaki yang mendiami sebagian besar wilayah pertambangan dalam
dinamikanya memiliki instrumen adat yang mengatur segenap tata tingkah laku
masyarakat yang disebut kalosara. Kalosara sebagai instrumen utama tata
kehidupan masyarakat sampai di era sekarang ini masih eksis dipertahankan oleh
segenap lapisan masyarakat, terutama dalam kehidupan sosial budaya. Dengan
demikian seiring dengan perkembangan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin
kompleks dan melahirkan berbagai permasalahan termasuk konflik bernuansa sara
di wilayah pertambangan, maka kehadiran kalosara
sebagai instrumen solusi perlu dipertahankan dan dikembangkan.
Berbagai masalah telah terbukti berhasil diatasi
melalui pemanfaatan kalosara. Masalah
sengketa tanah, masalah perkawinan, dan masalah kriminalitas di wilayah
pertambangan, terbukti kehadiran kalosara
sebagai solusinya. Pemanfaatan kalosara
sebagai media solusi, dapat menjadi model bagi masyarakat lain, karena pilihan
ini dapat berjalan dengan mudah dan biaya yang murah. Peran pabitara selaku tokoh masyarakat Tolaki pemegang
otoritas kalosara, perlu dikembangkan
untuk menjadi mediasi dalam penyelesaian berbagai masalah yang dihadapai
masyarakat dengan memanfaatkan kalosara sebagai instrumen utama.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Tips: Mengatasi Konflik. http://www.sabda.org/ c3i/c3i_tips_mengatasi_konflik, Akses, 25-3-2009.
Anonim.
2009. Membangun
Budaya Damai & Rekonsiliasi. http://search.yahoo.com/search?p=langkah+mengatasi+konflik+, Akses, 25-3-2009
Anonim. 2013. Minim Part Isipasi Masyarakat, Sektor
Tambang Penuh Konflik. http://www.walhi.or.id/v3/index.php?option=com_
content&view=article&id=3125. Akses, 31
Agustus 2013.
Anonim.
2013. Konflik di Kawasan Pertambangan. http://radyanprasetyo.blogspot.com/2012/07/konflik-di-kawasan-pertambangan.html. Akses,
31 Agustus 2013.
Fisher,
Simon, dkk. 2001. Working with Counflict:
Skills and Strategies for Action. London: Zed Books, Ltd.
Mazi,
Ali. 2004. Peranan Nilai-nilai Budaya
Lokal dalam Pelaksnaan Pembinaan Teritorial di Sulawesi Tenggara. Kendari.
Harsono, Boedi, 2007. Hukum Agraria Indonesia, sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
Idaman. 2012. Kalosara
sebagai Medium Resolusi Konflik Pertanahan pada Masyarakat Tolaki di
Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. http://idamanalwi. multiply.com/journal. Akses, 5 Oktober 2012
Karsadi, 2002. Sengketa Tanah dan Kekerasan di Daerah Transmigrasi: Studi Kasus di
Lokasi Pemukiman Transmigrasi di Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara.
Desertasi Doktor Sosiologi, PPS UGM Yogyakarta.
Kartodirdjo, Sartono, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi,
Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya. Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial
di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kendari
Pos, 24 Juli 2013.
Kendari
Pos, 5 September 2013.
Lederach, John Paul. 2005. “Konflik dan Perubahan”, Transformasi Konflik
(terjemahan). Jogyakarta:
Duta Wacana Press.
Scott, James
C., 1985. Weapon of the Weak: Everyday of Peasant Resistance. New Haven
and London: Yale University Press.
Siahaan,
Hotman M., 1996. Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program TRI
sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi. Surabaya:
Disertasi Doktor Universitas Airlangga.
Soemarjan,
Selo. 1964. Pengantar Sosiologi.
Jakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Suhartono, 1995. Bandit-Bandit Pedesaaan di Jawa. Studi Historis
1850-1942. Yogyakarta: Aditya Media.
Su’ud, Muslimin, 1986. Asas-Asas Hukum Adat Pertanahan Orang Tolaki. Kendari: Balai Penelitian Universitas Haluoleo.
Su’ud, Muslimin, 2012. Kompilasi
Hukum Adat Perkawinan di Sulawesi Tenggara. Kendari: HISPISI
Cabang Sultra.
Tarimana, Abdurrauf, 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.
Tondrang, Azis, 2000. Peranan Kalosara dalam Pembentukan Karakter
Masyarakat Tolaki. Unaaha: Makalah dalam Rangka Musyawarah Adat I Suku
Bangsa Tolaki.
Ubbe, Ahmad, et al., 1990. Monografi Hukum Adat Daerah
Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman R.I.
Undang-undang
No.4 Tahun 2009. tentang Pertambangan
Minerba. Jakarta: Sekreatriat Negara RI.
Yozami, M. Agus. 2012. Banyak Kepala Daerah Keluarkan IUP Palsu
Izin dikeluarkan oleh Bupati atau Walikota Baru Tanpa Melihat Izin-izin yang
Pernah Dikeluarkan oleh Pejabat Sebelumnya.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/
lt4f3d02d9787d6/ banyak-kepala-daerah-keluarkan-iup-palsu. Akses,
31 Agustus 2013.
Zulkarnain, Iskandar. 2010. Strategi Pengembangan Wilayah Pertambangan
Rakyat di Bombana Sulawesi Tenggara. Jakarta:
LIPI.
KONFLIK
SARA DI WILAYAH PERTAMBANGAN
(Kasus
Sulawesi Tenggara)
Makalah
Disajikan
dalam Kongres Kebudayaan Indonesia di Yogyakarta,
Tanggal 8-11 Oktober 2013
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid
Dosen FKIP/PPs
Universitas Haluoleo
BADAN PEKERJA
KONGRES KEBUDAYAAN INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL
KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar