NILA-NILAI KARAKTER DALAM SEJARAH BUDAYA ETNOMEDISIN
Oleh:
Anwar Hafid
(Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah
FKIP Universitas Halu Oleo)
A. Pendahuluan
Biodiversitas adalah kekayaan bangsa
dengan nilai yang tidak terhitung besarnya, karena ancaman terhadap kepunahan
biodiversitas akan mengancam kelestarian dan eksistensi suatu bangsa. Indonesia
tidak saja dikenal memiliki kekayaan biodiversitas tumbuhan dan hewan yang
tinggi, namun juga memiliki kekayaan atas keragaman budaya yang terekspresi
dari beragamnya suku bangsa. Kekayaan keaneka ragaman hayati dan budaya
tersebut menjadi ocal nasional yang harus dimanfaatkan dan dikembangkan untuk
meningkatkan ketahanan dan kedaulatan bangsa. Demikian juga terhadap kekayaan
tumbuhan obat dan pengetahuan tradisional terkait pemanfaatan tumbuhan obat
untuk pengobatan. Kekayaan sumberdaya tumbuhan obat memiliki potensi untuk
dikembangkan sekaligus potensi ancaman di masa mendatang.
Pengelolaan yang tepat akan berdampak
pada kesejahteraan bangsa dan di sisi lain juga mengancam kedaulatan akibat
praktek biopirasi dan kepunahan spesies karena rusaknya ekologi. Dengan demikian sangat pentingnya
tersusun suatu data basis terkait kekayaan biodiversitas tumbuhan obat dan
pengetahuan tradisional masyarakat dalam penggunaan tumbuhan sebagai obat. Data
basis ini merupakan upaya perlindungan ocal nasional dari berbagai ancaman baik
yang ocal secara internal maupun eksternal. Data basis tumbuhan obat, ramuan
obat tradisional, dan kearifan ocal dalam pengelolaan pemanfaatan tumbuhan
obat, akan dikembangkan berdasarkan kegiatan penelitian terstruktur dan
berkelanjutan yang disebut Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA). Riset ini
akan memetakan dan menginventarisasi pengetahuan tradisional setiap etnis dalam
memanfaatkan tumbuhan untuk pengobatan dan kesehatan dari sumber informasi
pengobat tradisional, melakukan koleksi langsung tumbuhan obatnya, dan mendata
kearifan ocal dalam pengelolaan serta pemanfaatan tumbuhan obat. Data basis ini
menjadi ocal Nasional dalam upaya perlindungan sekaligus upaya pengembangan
kekayaan nasional demi sebesar besarnya kesejahteraan bangsa, sekaligus untuk
ketahanan dan kedaulatan Indonesia (Purwadi, 2015).
Riset Eksplorasi Pengetahuan Lokal
Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas
di Indonesia, yang selanjutnya disebut RISTOJA, merupakan riset pemetaan
pengetahuan tradisional dalam pemanfaatan tumbuhan
obat berbasis suku yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Kesehatan. Riset ini dilaksanakan untuk menjawab
kebutuhan informasi terkait data tumbuhan obat dan ramuan tradisional yang digunakan
oleh setiap suku di Indonesia. Maraknya biopiracy yang dilakukan oleh pihak luar
terhadap kekayaan plasma nutfah tumbuhan obat Indonesia harus segera diantisipasi dengan penyediaan
basis data atas kepemilikan dan autentitas
jenis tersebut sebagai kekayaan biodiversitas Indonesia.
Indonesia merupakan negara dengan
biodiversitas tumbuhan terbesar kedua di dunia. Di dalam biodiversitas yang tinggi tersebut, tersimpan
pula potensi tumbuhan berkhasiat obat
yang belum tergali dengan maksimal. Potensi tersebut sangat besar untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat apabila dimanfaatkan dengan baik. Disamping kekayaan keanekaragaman tumbuhan tersebut,
Indonesia juga kaya dengan keanekaragaman
suku dan budaya. Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Indonesia memiliki 1.068 suku bangsa yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing suku memiliki khasanah yang berbeda-beda. Pada setiap
suku, terdapat beraneka ragam
kekayaan kearifan lokal masyarakat, termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan tumbuhan untuk pengobatan
tradisional.
Eksplorasi dan inventarisasi tumbuhan
obat beserta pemanfaatannya di masyarakat yang
berbasis kearifan lokal perlu dilakukan. Riset untuk mendapatkan data-data fitogeografi, agroklimat, pemanfaatan
berbasis kearifan lokal, fitokimia dan social ekonomi dari tumbuhan obat akan sangat penting dalam
membangun sebuah basis data yang
dapat digunakan sebagai informasi penting dalam proses domestikasi tumbuhan obat untuk peningkatan produktivitas
baik dari segi kualitas maupun kuantitas, serta rintisan untuk kemandirian obat berbasis tumbuhan.
RISTOJA
2017 dilaksanakan di 11 provinsi. Data yang dikumpulkan meliputi data demografi penyehat tradisional, jenis
ramuan yang digunakan, jenis gejala/penyakit yang diobati oleh penyehat tradisional dan data tumbuhan
obat (TO). Pengumpulan data dilakukan
secara serentak pada bulan Mei 2017 oleh tim pengumpul data yang terdiri dari antropolog/sosiolog,
biolog/botani, dan tenaga kesehatan dengan kriteria tertentu. Pengumpulan data di lapangan
dilaksanakan dengan cara wawancara, observasi, dan okumentasi.
Data yang telah dikumpulkan oleh tim pengumpul data perlu disusun dalam bentuk laporan agar dapat
dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang membutuhkan.
Pengobatan
secara tradisional dilakukan
menggunakan satu atau beberapa
jenis tumbuhan serta berbagai
bagian organ tumbuhan yang diperkirakan
bermanfaat dengan cara bagian
tanaman tersebut direbus, ditumbuk,
diminum, dibobokkan atau dibalurkan,
dan dioleskan pada bagian yang
sakit. Selain menggunakan tumbuhan,
pengobatan tradisional masyarakat
Tengger yang utama dilakukan
dengan media suwuk berupa pembacaan
mantera serta pilis dengan tanah
(Batoro et al., 2010).
Masyarakat
Tengger yang berada di Kabupaten
Lumajang dan Malang dipandang
paling banyak terpengaruh oleh
budaya luar, sehingga pengetahuan
lokalnya mengenai tumbuhan
yang digunakan dalam pengobatan
perlu digali lebih jauh agar dapat
dilestarikan. Berdasarkan harga UVs
dan ICF yang tinggi, terdapat beberapa
tumbuhan yang digunakan oleh
masyarakat Tengger di kedua kabupaten
tersebut yang berpotensi untuk
dilakukan penelitian lebih lanjut, yaitu
adas (F. vulgare), sempretan (B. pilosa), pulosari (A. reinwardtii),
tepung otot (B. laevis),
jambu wer (E. longifolius), dan dringu (A. calamus) (Ningsih, 2016).
Meningkat
karena digunakan sebagi pilihan terapeutik yang
aman dan pada banyak institusi medis telah dibuktikan
secara klinik. Kepercayaan terhadap obat tradisional
oleh masyarakat juga didukung oleh kepercayaan
bahwa obat tradisional lebih sedikit memiliki
efek samping dibanding obat konvensional serta
keyakinan bahwa produk alam itu lebih aman dan lebih baik dibanding produk sintetik sehingga istilah back to nature menjadi semakin populer dikalangan masyarakat karena memberikan jaminan
yang lebih baik tersebut.
Walaupun demikian penggunaan obat tradisional
yang dianggap aman oleh masyarakat perlu menjadi
perhatian karena setiap bahan atau zat memiliki potensi bersifat toksik tergantung takarannya dalam tubuh (Ihsan, dkk, 2016).
Dalam
dunia Melayu ditemukan penelitian pengobatan tradisional yang menggunakan
naskah sebagai sumbernya, yakni yang dilakukan oleh A Samad Said (2005).
Penelitian tersebut berjudul Warisan Perubatan Melayu yang menyajikan
suntingan teks pengobatan tradisional dari naskahnaskah melayu. Selain edisi
teks, penelitinya juga membuat klasifikasi jenis penyakit dan obat yang digunakan.
Kajian
model pengobatan ini di Indonesia
masih sangat langka. Kajian
ini pernah menjadi bagian dari
kajian folkor yang termasuk dalam
konteks pembicaraan mengenai
hewan sebagai makanaan manusia
(bukan obat) (Danandjaya, 1996).
Oleh karena langkanya kajian
tentang animalmedicine ini,
maka perlu kirannya hal
tersebut segera diteliti sehingga
informasi tentang animalmedicine
yang terdapat dalam naskah tidak
hilang begitu saja.
B.
Beberapa Konsep terkait dengan Etnomedisin
Etnomedisin
merupakan kepercayaan
dan pelaksanaan medis para warga masyarakat tradisional. Secara teoritis: kepercayaan-kepercayaan medis dan
pelaksanaanya merupakan unsur utama dalam tiap kebudayaan. Secara praktis: pengetahuan mengenai kepercayaan medis pribumi dan
pelaksanaanya penting untuk perencanaan progran kesehatan dan dalam pengadaan
pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat tradisional.
1. Etnomedisin, yakni cabang antropologi kesehatan yang membahas tentang asal mula penyakit, sebab-sebab, dan cara pengobatan menurut kelompok masyarakat tertentu. Aspek etnomedisin merupakan aspek yang muncul seiring perkembangan kebudayaan manusia. Di bidang antropologi kesehatan, etnomedisin memunculkan termonologi yang beragam. Cabang ini sering disebut pengobatan tradisional, pengobatan primitif, tetapi etnomedisin terasa lebih netral (Foster dan Anderson, 1986: 62).
2. Etnis atau suku adalah kelompok masyarakat
yang dibedakan atas dasar bahasa, budaya
dan lokasi asal.
3. Etnobotani adalah ilmu botani mengenai
pemanfaatan tumbuh-tumbuhan dalam keperluan
kehidupan sehari-hari dan adat suku bangsa.
4. Etnofarmakologi
adalah ilmu yang
mempelajari tentang kegunaan tumbuhan yang memiliki
efek farmakologi dalam hubungannya dengan pengobatan dan pemeliharaan kesehatan oleh suatu
suku bangsa.
5. Fitogeografi
adalah ilmu tentang
masalah penyebaran tumbuhan.
6. Kearifan
lokal merupakan
pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya
yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos
yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama. Kearifan lokal atau kearifan tradisional yaitu semua bentuk
keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia
dalam kehidupan di dalam komunitas
ekologis. Kearifan lokal/tradisional merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk
menjawab pertanyaan moral apa yang harus
dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya di bidang pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.
7. Biopirasi adalah pencurian sumber daya hayati
atau pengetahuan tradisional untuk kepentingan
komersial oleh pihak tertentu dan merugikan pihak lainnya. Komunitas masyarakat adat adalah kelompok yang
paling rentan dengan biopirasi ini, karena memiliki
banyak pengetahuan yang bisa diambil begitu saja tanpa mendapatkan kompensasi yang layak dari
pengetahuan mereka tersebut.
8. Bioprospeksi
adalah upaya untuk
mencari kandungan kimiawi baru pada makhluk hidup (baik mikroorganisme, hewan, dan tumbuhan) yang
mempunyai potensi sebagai
obat-obatan atau untuk tujuan komersil lainnya.
9. Biodiversitas
(keanekaragaman hayati) adalah
keanekaragaman organisme yang menunjukkan
keseluruhan variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah.
10. Koleksi
spesimen TO adalah
seluruh bagian tumbuhan obat yang memungkinkan untuk diambil dan dikeringkan sebagai herbarium.
11. Komunitas
lokal adalah suatu
kelompok orang (masyarakat) yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu
12. Konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan
sumber daya alam secara teratur untuk
mencegah kerusakan dan kemusnahan melalui pemanfaatan secara bijaksana dan menjamin kesinambungan
ketersediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keragamannya.
13. Pendekatan
etik dan emik merupakan
kajian kebudayaan melalui makna bahasa yang
digunakan oleh suatu masyarakat budaya. Etik
merupakan kajian makna yang diperoleh
dari pandangan orang di luar komunitas budaya tersebut. Sebaliknya, emik merupakan nilai-nilai makna yang
diperoleh melalui pandangan orang yang berada dalam komunitas budaya tersebut
14. Ramuan adalah beberapa bahan/tumbuhan yang
digabung menjadi satu kesatuan digunakan
dalam pengobatan tradisional.
C. Nilai-nilai Karakter dalam Budaya Etnomedisin
1. Nilai Religius
Salah
satu ramuan tradisional yang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai ramuan obat berkhasiat adalah Lansau yang ada pada Suku Muna. Lansau telah digunakan selama ratusan tahun oleh
Suku Muna yang terdiri dari 44
macam campuran bahan tumbuhan yang diambil
berdasarkan kepercayaan dan nilai filosofis yang dianut oleh masyarakat Suku Muna. Penggunaan Lansau masih diminati oleh masyarakat suku
Muna. Hal ini didasari oleh
kepercayaan masyarakat bahwa obat herbal aman
dikonsumsi karena tidak menimbulkan efek samping.
Lansau oleh masyarakat Suku Muna dipercaya dapat
mengobati segala jenis penyakit terutama penyakit dalam. Selain itu pengobatan dengan herbal oleh masyarakat dianggap lebih ekonomis
dibanding pengobatan dari
dokter. Bahan obat lansau selain terdiri dari
daun-daunan dan rumput juga terdiri dari kulit kayu atau batang. Kandungan filosofis yang
terdapat dalam pengobatan yang
menggunakan Lansau serta sugesti, saran
dan doa dari tabib menjadikan masyarakat memperlakukan
Lansau sebagai obat bagi seluruh masalah
yang dihadapi terutama terkait penyakit.
Lansau
terdiri dari 44 macam jenis tumbuhan yang secara
khusus diambil dari pemaknaan terhadap asal kejadian manusia. Nilai filosofis yang terkandung dari Lansau terkait erat dengan nilai
spiritual yang dianut oleh
masyarakat suku Muna sebagai penganut agama Islam yang bercorak tasawuf dan membentuk sebagian besar budaya dalam masyarakat Muna.
Hal ini terjadi karena
Islam yang masuk di Nusantara oleh para saudagar
Arab-Persia maupun yang berasal dari Campa di
Vietnam adalah bercorak tasawuf dan Syiah yang juga kental tradisi tasawufnya.
Menurut
penjelasan tabib Lansau, angka 44 merujuk pada
proses kejadian pasangan manusia pertama yang diciptakan oleh Tuhan Allah SWT yaitu Adam dan Hawa. Adam diyakini diciptakan dengan
12 pasang tulang yang
kemudian sepasang di berikan ke Hawa yaitu
tulang rusuk sehingga tersisa 11 pasang ruas tulang. Penggunaan angka 12 tidak dijelaskan lebih lanjut oleh tabib Lansau, namun
tulang punggung manusia
benar terdiri dari 12 ruas. Penggunaan angka 12 dan 4 banyak terdapat dalam Al Qur’an seperti dalam surat At Taubah (9) ayat 36: “Sungguh
bilangan bulan pada
sisi Allah ialah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan
bumi, diantaranya 4 bulan
haram”. [4]. Angka 4
tersebar dalam Al Qur’an seperti
dalam QS.An Nisa (4) ayat 3, QS Fatir (35) ayat 1. Dalam hadist, angka 4 secara implisit disebutkan ketika Nabi Muhammad saw menyebut
penghormatan kepada Ibu 3 kali dan ditambah Ayah 1
kali (HR Muttafaq “Alaih).
Jumlah 4 juga banyak terdapat dalam alam
semesta seperti jumlah basa nukleotida penyusun rantai DNA yaitu adenine (A), sitosin (G), guanin (G) dan timin (T). Molekul dasar
pembentuk sel juga terdiri dari
4 unsur oksigen (O), karbondioksida (C), hydrogen (H) dan nitrogen (N). Dalam sistem bilangan juga dikenal 4 sistem bilangan yaitu
sistem biner, system oktal,
sistem desimal dan sistem heksadesimal. Dalam sistem pengobatan Cina juga dikenal 4 unsur pembentuk manusia dan alam semesta yaitu unsur
air, api, tanah dan angin.
Angka
12 adalah jumlah kalimat Ar rahman Ar Rahim pada kalimat pembuka Al Qur’an Bismillahi Rahmani Rahim. Dalam salah satu surat dalam
Al Qur’an yang bermakan kasih
sayang yaitu surat Ar Rahman terdapat ucapan
yang sama yaitu kalimat “fabi ayya ala irabbikuma tukadzziban” di ulang sebanyak 31 kali dengan pembagian 12 kali merujuk
peristiwa sebelum kiamat
sampai terjadinya kiamat dan 19 kali merujuk pada peristiwa setelah kiamat. Hal ini dapat dilihat bahwa ayat 37 mengatakan tentang
kiamat yang dikomentari dengan
ayat 38 yang merupakan pengulangan
yang ke 12 kali. Oleh karena itu dunia diwakili
oleh angka 12. Oleh karenanya
penggunaan angka 12 dan 4 dalam sistem
pengobatan Suku Muna yang menggunakan Lansau
memiliki kaitan dengan pemaknaan terhadap konsep
pada kitab suci Al Qur’an dan pemahaman pada pola alam semesta. Pemaknaan terhadap penciptaan Adam-Hawa ini juga di ambil dari
penafsiran atas Al-Qur’an
Surat An Nisa ayat 1 bahwa Allah menciptakan Hawa dari jenis yang sama seperti Adam “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan
kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya;
dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturahmi.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (Ihsan, dkk, 2016).
Sebagian
besar Hattra pada 5 etnis di Sulawesi Selatan ini adalah perempuan (64%). Hal ini kemungkinan karena kebanyakan
hattra merupakan merupakan dukun bayi. Pengaruh Islam yang kuat juga dapat menyebabkan berkembangnya
jumlah hattra perempuan, karena
ada larangan dalam agama bagi
laki-laki menyentuh wanita yang bukan
muhrimnya.
Umumnya kepercayaan tentang kegunaan atau kekhasiatan
suatu jenis tumbuhan obat tidak hanya diperoleh dari pengalaman, tetapi
seringkali dikaitkan dengan nilai-nilai religius. Persepsi masyarakat Wawonii
tentang sakit tergantung dari sudut pandang masing-masing orang. Secara umum
dapat dikatakan bahwa sakit adalah keadaan yang tidak seimbang, sehingga dapat
mempengaruhi kegiatan sehari-harinya. Penyebab penyakit bermacammacam, ada yang
datang dari Sangia (Sang Pencipta) dan ada yang berasal dari makhluk
halus/jahat. Oleh karena itu para sando selalu mengadalkan pengobatannya dengan
senantiasa memohon pertolongan kepada Sang Pencipta (Rahayu, dkk, 2006).
2. Nilai Disiplin
Keanekaragaman jenis tumbuhan obat Fasilitas kesehatan
modern terdapat di lokasi penelitian, namun sando masih berperan dalam
pengobatan penyakit dan perawatan pra dan paska persalinan (Rahayu, 2006). Waktu panen yang baik menurut Tabib
Lansau adalah pagi hari
dan bagian tanaman yang dipanen adalah
daun yang dekat dengan pucuknya karena pagi hari adalah waktu ketika embun masih ada dan matahari baru saja akan menyinari yang dalam
nilai filosofisnya iklim
masih dalam keadaan suci dan murni. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan metabolit sekunder pada tanaman di waktu pagi belum
hilang karena belum terjadi
fotosintesis oleh matahari. Kandungan metabolit tiap tanaman dapat berbeda-beda dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat tumbuh
tanaman tersebut menyebabkan
kandungan kimia dapat berbeda sehingga khasiat
juga akan berbeda meskipun pada jenis
tanaman yang sama (Sari
dkk, 2017).
Kegiatan dukun menolong seorang ibu yang akan melahirkan,
biasanya sangat terikat dengan waktu. Artinya dukun tidak bisa menunda-nunda
untuk berlama-lama baru pergi menolong persalinan seseorang, terutama saat
menjelang melahirkan. Demikian pula pertolongan kepada seseorang yang menderita
penyakit, seperti: sakit perut, munta bera, dll.
3. Nilai Rasa Ingin Tahu
Penelitian
mengenai Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis
Komunitas di Indonesia perlu dilakukan untuk menggali pengetahuan lokal
etnomedisin sebagai bagian kearifan lokal masing-masing etnis dan
keanekaragaman TO yang menjadi dasar bagi pengembangan riset berkelanjutan
dalam bidang etnomedisin dan tumbuhan obat. Penelitian Eksplorasi Pengetahuan
Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia ini juga
dikenal dengan istilah Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA). RISTOJA 2012
telah dilaksanakan di 26 provinsi seluruh wilayah Indonesia kecuali provinsi di
pulau Jawa dan Bali, bekerja sama dengan 25 Perguruan Tinggi terkemuka di
masing-masing wilayah. Etnis yang diteliti meliputi 209 etnis dengan jumlah
titik pengamatan 254. Terdapat 15.773 informasi ramuan, sebagian besar
berkaitan dengan perilaku hidup sehat, seperti demam, sakit kepala, sakit kulit
serta sakit perut, terdapat juga gejala/penyakit yang berkaitan dengan
metabolisme atau penyakit degenerative seperti kanker/tumor dan darah tinggi.
Selain itu terdapat ramuan untuk malaria sebanyak 486 ramuan, TBC 75 ramuan dan
HIV/AIDS 13 ramuan. Tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan berjumlah 19.738
informasi, 13.576 berhasil diidentifikasi hingga tingkat spesies yang terdiri
1.740 spesies/jenis dari 211 familia (Purwadi, 2015).
Pengetahuan
tradisional masyarakat terhadap tumbuhan obat cukup baik dan telah diturunkan dari generasi ke generasi, namun saat ini mulai terancam punah akibat perubahan sosio-budaya yang secara umum mempengaruhi nilai-nilai sosial, dimana generasi mudanya mencari alternatif pengobatan yang lebih praktis. Pengetahuan obat tradisional mereka hanya terbatas
oleh generasi tua.
Generasi muda cenderung lebih
memilih berobat kepada mantri, Puskesmas,
Polindes, dan bidan. Peran dukun
bayi pun hanya terbatas pada pembacaan
suwuk (doa) dan perawatan
setelah melahirkan (Ningsih, 2016).
Riset Khusus Eksplorasi Pengetahuan
Lokal Etnomedisin dan
Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di
Indonesia yang dilaksanakan di Etnis Osing Provinsi Jawa Timur diperoleh hasil
sebagai berikut:
a.
Pengamatan
ristoja di Etnis Osing Provinsi Jawa Timur dilakukan di wilayah Osing Ndeles
yaitu Desa Kemiren Kecamatan Glagah, Desa Penataban Kecamatan Giri, Desa Licin
Kecamatan Licin, Desa Pesucen Kecamatan Kalipuro dan Desa Temu Asri Kecamatan
Sempu dengan 5 pengobat tradisional H. Djohadi Timbul, H. Slamet Utomo, H.
Hanik Jaelani, Abdul Hadi, Anang Mahmud.
b.
Ramuan
yang berhasil didata dari 5 orang Hattra
berjumlah 165 ramuan yang digunakan untuk pengobatan 211 penyakit, dengan
gejala/penyakit dari penyakit yang diderita oleh bayi, anak-anak dan orang
dewasa. Teknik yang digunakan oleh Hattra dalam mengobati pasien, memadukan beberapa teknik
yaitu pijat, ramuan jamu, spiritual dan supranatural.
c.
Dari
Hattra diperoleh 254
informasi TO yang digunakan dalam beberapa ramuan, sehingga sebenarnya hanya
terdapat 148 nama lokal TO teridentifikasi 146 spesies dari 62 familia. Dari
148 TO tersebut yang berhasil dikoleksi 109 specis yang digunakan untuk 526
herbarium dan 397 DNA. Bagian tanaman yang banyak digunakan Antara lain : daun
(29,7%), rimpang (19,5%) dan buah (13,2%).
d.
TO
yang sulit diperoleh berjumlah 20 TO , 15% diupayakan menanam sendiri, dan 85%
diperoleh dengan membeli ataupun mencari di tempat lain. Dari 148 spisies
yang teridentifikasi terdapat 6 jenis tanaman langka di Indonesia yaitu Pasak
Bumi, Purwaceng, Keningar, Pule, Masoyi,
Kemenyan (Purwadi, 2015). Usaha konservasi TO yang sulit telah dilakukan baik oleh
masyarakat secara mandiri dan swakelola juga dilakukan oleh pemerintah daerah
dan instansi terkait melalui program TOGA (Tanaman Obat Keluarga), baik di
tingkat keluarga maupun masyarakat. Pembinaan dan arahan pembuatan jamu secara
higienis dan sesuai standar, serta gerakan minum jamu menjadi program resmi
daerah.
4. Nlai Peduli Lingkungan
Bentuk konservasi dimana tumbuhan obat
yang tadinya diperoleh di hutan atau gunung, diambil dan ditanam di pekarangan rumah, sehingga mudah
diperoleh saat dibutuhkan dalam pembuatan ramuan. Data menunjukkan bahwa sebagian besar
bahan baku ramuan diperoleh dari alam, hanya 42,03% yang telah dibudidayakan.
Pengambilan bahan ramuan secara langsung di alam yang terus menerus dilakukan
tanpa upaya pelestarian dapat menyebabkan kelangkaan tumbuhan obat di kemudian hari.
Budidaya tumbuhan obat bermanfaat bagi Penyehat Tradisional (HATTRA), pasien maupun ekosistem, karena
dengan membudidayakan tumbuhan obat yang merupakan bahan baku ramuan, maka Hattra dapat memperoleh tumbuhan obat
setiap saat ketika diperlukan. Selain itu, tumbuhan obat hasil budidaya juga
terjaga kualitasnya dan ekosistem liar tetap terjaga dari kelangkaan. Hattra
membutuhkan penyuluhan dalam upaya pelestarian tumbuhan obat melalui budidaya.
Kearifan Pengelolaan Tumbuhan Obat tertuang dalam UU No.32 Tahun 2009.
Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat antara lain yaitu melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara
lestari. Kearifan lokal juga dapat didefinisikan sebagai segala bentuk
kebijaksanaan yang didasari oleh nilai-nilai kebaikan yang dipercaya,
diterapkan dan senantiasa dijaga keberlangsungannya dalam kurun waktu yang
cukup lama (secara turun-temurun) oleh sekelompok orang dalam lingkungan atau
wilayah tertentu yang menjadi tempat tinggal mereka. Dalam RISTOJA 2017,
kearifan lokal yang akan dibahas adalah kearifanlokaldalam pengelolaan tumbuhan
obat (Sari dkk, 2017).
Jumlah
total tumbuhan obat yang sulit diperoleh sebanyak 127jenis. Sebanyak 57 jenis tumbuhan
obat telah dilakukan upaya pelestarian oleh Hattra. Upaya pelestarian yang dilakukan Hattra antara lain dengan cara menanam
tumbuhan obat (45 jenis) yang
digunakan dalam ramuan di kebun atau pekarangan rumah sendiridan mengambil
tumbuhan obat secara selektif
(8 jenis), dalam artian
mengambil seperlunya dengan memperhatikan kondisi tumbuhan obat. Budidaya merupakan salah satu
bentuk konservasi SDA sebagai mana tercantum dalam UU No.32 tahun 2009 yang
berperan penting dalam menjamin
kesinambungan ketersediaan bahan baku ramuan
obat tradisional dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta
keanekaragamannya. Oleh karena itu, perlu digalakkan upaya budidaya tumbuhan
obat baik oleh Hattra
maupun masyarakat pada umumnya (Sari dkk, 2017).
Eksplorasi
Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia
yang dilaksanakan di pada 16 etnis di
Provinsi Sulawesi Tengah, diperoleh
hasil sebagai berikut:1.Pengamatan RISTOJA pada16 etnisdi Provinsi Sulawesi
Tengah, meliputi 80penyehat
tradisional.Ramuan yang berhasil didata berjumlah 919 ramuan. Sakit pinggang merupakan penyakit
terbanyak yang diobati oleh Hattra,
sementara batuk dan mencret masih menjadi jenis gejala/penyakit dominan terkait perilaku hidup bersih dan sehat, disusul dengan
gejala/penyakit yang berkaitan dengan gangguan metabolisme seperti kencing
manis dan darah tinggi.2.Tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan berjumlah 1.729 informasi, 1.437 diantaranya
telah diidentifikasi (terdiri dari 325 spesies/jenis). Bagian TO yang paling
banyak digunakan adalah daun. Koleksi tumbuhan obat dalam bentuk herbarium
sebanyak 728.3. Hattra
yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan TO sebanyak 53 orang. Tumbuhan obat
yang setahun terakhir sulit didapatkan sebanyak 86 dengan penyebab terbesar
adalah jumlahnya yang semakin berkurang. Sejumlah 57 TO telah diupayakan
pelestariannya oleh Hattra (Sari
dkk, 2017).
5. Nilai Peduli Sosial
Jumlah
ramuan yang
dimiliki Informan sesuai kemampuan untuk mengobati berbagai
macam penyakit dengan jumlah
ramuan sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah ramuan yang digunakan
dalam pengobatan oleh informan di
Etnis Osing Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa
Timur, RISTOJA 2015
No
|
Nama Dukun
|
Jumlah Ramuan
|
Keterangan
|
1
|
H.
Djohadi Timbul
|
32
|
|
2
|
H.
Slamet Utomo
|
28
|
|
3
|
H. Hanik
Jaelani
|
42
|
|
4
|
Abdul
Hadi
|
27
|
|
5
|
Anang
Mahmud
|
36
|
|
|
Jumlah
|
165
|
|
Jumlah
rata-rata ramuan yang dimiliki adalah 30 ramuan/informan, dimana pada informan nomer 3 yaitu Bapak H. Hanik
Jaelani memiliki jumlah ramuan yang sangat banyak
(42), beliau merupakan Hattra
yang dalam mengobati memadukan teknik pijat
refleksi dengan minum ramuan/jamu, ramuan yang dimiliki sangat bervariasi Sedangkan Bapak Abdul Hadi memiliki
27 ramuan, meskipun demikian jumlah pasiennya
jauh lebih banyak dari informan yang lain (600 pasien/bulan). Bapak Abdul Hadi oleh masyarakat sekitar
dikenal sebagai dukun pijat dan suwuk yaitu metode pengobatan dengan
supranatural, teknik pengobatan Pak Abdul Hadi memadukan teknik pijat, minum ramuan/jamu, dan suwuk,
penggunaan 3 teknik tersebut
disesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan pasien. Pasien dari bayi hingga orang dewasa.
Rata-rata informan ditanya tentang
murid yang dimiliki, mereka menjawab tidak memiliki
murid. Namun demikian, diantara mereka anak mereka mulai berprofesi seperti ayahnya, artinya ada yang
mewarisi keterampilan dan ilmu mengobati bahkan
ada yang sudah praktek seperti ayahnya. Data mengenai murid informan sebagai berikut.
Tabel 4. Jumlah Murid Informan yang telah Mandiri di Etnis Osing
di Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur, RISTOJA
2015
No
|
Nama Dukun
|
Jumlah Murid Mandiri
|
Keterangan
|
1
|
H.
Djohadi Timbul
|
1
|
|
2
|
H.
Slamet Utomo
|
6
|
|
3
|
H. Hanik
Jaelani
|
0
|
|
4
|
Abdul
Hadi
|
0
|
|
5
|
Anang
Mahmud
|
0
|
|
|
Jumlah
|
7
|
|
6. Nilai Bersahabat/Komunikatif
Pengetahuan
tumbuhan obat sebagai salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat merupakan
pengetahuan yang didapat dari proses interaksi manusia dengan lingkungan, baik
melalui pengalaman pencobaan atau juga karena mencontoh makhluk hidup yang
lain. Pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan obat didapat oleh masyarakat
desa DDJ dari generasi sebelumnya. Hal ini ditunjukkan ketika wawancara mereka
selalu menyarankan agar bertanya pada orang yang lebih tua, karena orang tua
lebih banyak pengalaman dan juga banyak mengetahui informasi mengenai tumbuhan
yang bisa digunakan sebagai obat. Menurut Alcorn 2) pengetahuan tentang
pemanfaatan tumbuhan sebagai obat diwariskan dari generasi ke generasi. 2)
Interaksi penduduk dengan suku lain Pengetahuan tentang tumbuhan obat pada
masyarakat di desa DDJ juga berasal dari interaksi mereka dengan suku-suku lain
yang ada di sekitarnya. Pola perdagangan sumberdaya alam antar pulau berdampak
tidak saja pada peningkatan ekonomi tetapi juga adanya pertukaran pengetahuan.
Ketika masyarakat DDJ menjual hasil perkebunannya ke kota Kendari mereka
bertemu dengan berbagai suku lain yang ada di kota tersebut, saat itulah
terjadi pertukaran ekonomi, informasi, dan juga pengetahuan. Pola interaksi
dengan suku atau Pengetahuan Lokal Tumbuhan Obat (Indrawati, 2014).
Sebanyak
96 persen persen tempat tinggal hattra adalah di daerah pedesaan. Lima etnis dalam penelitian ini tidak termasuk
dalam etnis besar yang mendiami kota-kota di Sulawesi Selatan. Sebaliknya, kebanyakan mereka mendiami
daerah yang terpencil, seperti
etnis Bonerate dan Kalaotoa di Kepulauan yang jarak tempuh dari daratan utama mencapai belasan jam dengan moda
transportasi yang terbatas. Lokasi pedesaan juga menyediakan sumber daya alam yang lebih banyak untuk
dimanfaatkan sebagai pengobatan.
Lokasi yang terpencil memaksa masyarakat untuk menggunakan pengobatan tradisional karena akses
pelayanan kesehatan formal yang terbatas.
Pengetahuan
pengobatan tradisional hattra tidak hanya diperoleh dari satu sumber, namun lebih dari 80 persen berasal
dari keluarga Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan
empiris pengobatan tradisional, tidak diwariskan kepada sembarang orang dan hanya pada anggota keluarga
terpilih yang diyakini mampu untuk meneruskan ilmu pengobatan tersebut.
Pendidikan
dalam keluarga termasuk pendidikan informal. Menurut Sugiharto et al. (2016), pendidikan informal mempunyai peran yang sangat vital
dalam proses pewarisan kearifan
lokal kepada generasi berikutnya, hal ini dilandasi bahwa pewarisan kearifan lokal hanya dapat terakomodasi oleh
pendidikan informal.
Gambar
3. Sukora
Keterangan:
1.
Tanda + Posisi Matahari
2.
Tanda –
Posisi Bulan
3.
Tanda Petunjuk Arah Perhitungan.
Seorang
penderita yang mulai jatuh sakit pada terbit bulan di langit:
1.
1,
10, 19, 28 Pasarannya adalah Akoi (Ino’akoi) artinya cara pengobatannya adalah
dengan upacara sesajen pada roh halus, jin dan setan yang diduga mengganggunya
sehingga yang bersangkutan jatuh sakit.
2.
2,
11, 20, 29 Pasarannya adalah Pepeowai artinya cara pengobatannya
harus kepada Dukun.
3.
3,
12, 21, 30 Pasarannya adalah Elengua artinya penyakit
sipenderita akan semakin bertambah parah kemungkinan tidak tertolong.
4.
4,
13, 22 Pasarannya adalah Kedadoha artinya
sipenderita akan semakin parah akibat ada tambahan penyakit lain.
5.
5,
14, 23 Pasarannya adalah Waraka artinya
sipenderita akan segera sembuh dari penyakit.
6.
6,
15, 24 Pasarannya adalah Gaugaura artinya sihir
orang .
7.
7,
16, 25 Pasarannya adalah Mondudali artinya
kesetanan.
8.
8,
17, 26 Pasarannya adalah Rarambate artinya
penyakit tidak terlalu parah hanya saja sipenderita terlalu manja.
9.
9,
18, 27 Pasarannya adalah Bara’asala artinya menginjak sihir secara tidak sengaja yang
disimpan seseorang untuk orang lain
(Al-Ashur, 2000).
Pengetahuan
masyarakat diwariskan melalui kebudayaan yang ada dan berkembang di masyarakat. Menurut Sugiharto et al. (2016),
pengobatan tradisional merupakan kearifan lokal yang berfokus pada upaya kesehatan, dan
hal ini telah diturunkan dalam konsep kekeluargaan. Adanya proses pewarisan kearifan
lokal diperkuat oleh Settaboonsang (2006) dalam Mungmachon (2012) yang menjelaskan bahwa pengetahuan
masyarakat ditularkan melalui
tradisi.
7. Nilai Tanggung Jawab
Di
Pulau Sulawesi, hattra dikenal dengan sebutan sando, berasal dari Bahasa Tolaki
yang bermakna dukun
(Suryaningsi 2015). Demikian pula halnya dengan Provinsi Sulawesi Selatan, menurut informasi masyarakat
setempat, penyehat ini disebut sebagai sando. Sebagian Hattra berpendapat bahwa pengobat bukanlah
pekerjaan, namun suatu kegiatan
sosial untuk menolong orang lain. Selain itu Hattra biasanya memahami bahwa pasien yang datang berkunjung berasal
dari masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga
tidak menuntut mereka untuk membayar pengobatannya.
Menurut
penelitian Suryaningsi (2015), salah satu alasan masyarakat berobat ke hattra adalah karena ia tidak meminta
bayaran akan tetapi menurut keikhlasan dan dapat diberikan lain waktu jika sudah ada rejeki. Dari hasil
RISTOJA 2017 di Sulawesi Selatan, beberapa
pertolongan Hattra tidak dibalas dengan uang, tapi dengan barang lain seperti ayam, ikan dan hasil kebun pasien.
Bahkan pemberian tersebut dapat ditunda sampai panen, atau sampai pasien mendapatkan rejekinya.
Sebagian
besar hattra di Sulawesi Selatan pada penelitian ini tidak sekolah atau tidak tamat SD (60%). Hal ini berkaitan
dengan usia. Di
Pulau Sulawesi, hattra dikenal dengan sebutan sando, berasal dari Bahasa Tolaki
yang bermakna dukun
(Suryaningsi 2015). Demikian pula halnya dengan Provinsi Sulawesi Selatan, menurut informasi masyarakat
setempat, penyehat ini disebut sebagai sando. Sebagian Hattra berpendapat bahwa pengobat bukanlah
pekerjaan, namun suatu kegiatan
sosial untuk menolong orang lain. Selain itu Hattra biasanya memahami bahwa pasien yang datang berkunjung berasal
dari masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga
tidak menuntut mereka untuk membayar pengobatannya. Hal ini berkaitan dengan usia hattra
yang sebagian besar lebih dari 61 tahun,
sehingga kemungkinan pada masa tersebut akses pendidikan sulit karena factor jarak dan biaya. Hingga saat ini pun
sebagian lokasi Hattra berada pada daerah terpencil. Selain itu ada kemungkinan bila mereka
bersekolah tinggi dan keluar daerah asalnya, maka yang bersangkutan tidak tertarik lagi
untuk menjadi hattra.
Sukora adalah ilmu ramalan dukun dalam
memberi diagnosis
terhadap penderita penyakit untuk mengetahui berbagai hal tentang sipenderita
meliputi:
apa penyakitnya, apa penyebab sakitnya,
bagaimana kondisi pasiennya,
bagaimana cara pengobatannya, dan siapa yang akan mengobatinya. Sukora sangat
terkait erat dengan Anadalahaebu
dalam hal penentuan pasarannya sesuai perputaran bulan di langit saat sipenderita mulai jatuh sakit (lihat gambar).
D. Penutup
Terdapat berbagai jenis TO yang dimanfaatkan sebagai obat
tradisional oleh masyarakat Bagian
(organ) tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional meliputi daun, batang,
kulit batang, buah, rimpang,
umbi, dan getah.Pemanfaatan tumbuhan obat dilakukandengan
beragam cara diantaranya dengan
cara direbus, ditumbuk, diperas, direndam, dibakar, digoreng, digosok, dilumerkan, diremas dan tanpa
pengolahan yang ke mudian
digunakan baik secara tunggal maupun campuran Khasiat tumbuhan obat tradisional untuk mengobati
penyakit panas (demam), sakit mata, sakit telinga, sakit gigi, sakit uluhati, sakit kuning,
luka baru, sakit kulit, keseleo, patah tulang, sakit kepala, diare, darah
tinggi, batuk, diabetes, muntah darah, perawatan pasca melahirkan, kencing
batu, sembelit (susah buang air besar), maag, penyakit dalam, penghilang rasa capek.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ashur, Arsamid. 2003. Suatu Analitik tentang Arti Lambang Bilangari, Sukora dan Andalahaeba
dalam Wujud Aksaran Tolaki. Unaaha. Dokumen Peribadi.
Ningsih, Indah
Yulia. 2016. “Tudi
Etnofarmasi Penggunaan Tumbuhan Obat Oleh Suku Tengger di Kabupaten Lumajang dan Malang, Jawa Timur”. Pharmacy, Vol. 13 No. 01 Juli 2016.
Almos, Rona dan Pramono. 2015. Leksikon Etnomedisin dalam Pengobatan Tradisional Minangkabau. Jurnal
Arbitrer Universitas Andalas. Vol. 2, April 2015 (hal. 44-53).
Purwadi; Kriswiyanti; Eniek; Aliffiati; Wahyuni, I Gusti Ayu Sugi; Puspita Ningsih, Dewi. 2015. Riset
Khusus Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia Etnis Osing Provinsi Jawa
Timur.
Jakarta: Kementerian
Kesehatan Ribadan Penelitian dan Pengembangan Kesehatanbalai Besar
Penelitian dan
Pengembangantanaman Obat dan
Obat Tradisional.
Sari, Aniska Novita; Rahmawati, Nuning; Erlan, Ahmad; dan Ningsi. 2017. Eksplorasi
Pengetahuan Lokal Etnomedisindan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitasdi Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah.
Jakarta: Kementerian
Kesehatan Badan Penelitian
dan Pengembangan
Kesehatan Balai
Besar Penelitian dan
Pengembangan Tanaman
Obat dan Obat Tradisional.
Ihsan, Sunandar; Kasmawati, Henny; dan Suryani. 2016. “Studi
Etnomedisin Obat Tradisional Lansau Khas Suku Muna Provinsi Sulawesi Tenggara”. Pharmauho, Majalah
Farmasi, Sains, dan Kesehatan. Volume 2,
No. 1, Hal. 27-32.
Foster, George dan Anderson, Barbara 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press.
Danandjaja, James. 1996. Folklor
Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.
Pramono. 2009. “Teks Mantra dalam Naskah-naskah
Minangkabau”. Persidangan antar
Bangsa Manuskrip Melayu
Jabatan Sejarah Fakulti
Sastra dan Sain Sosial Jabatan Kesusastraan Melayu, Akademi Kajian Melayu, University
Malaya. Pada 23-15 November 2009.
Andri, Wirma. 2012. “Pengobatan Tradisional dalam Naskah
Kuno Koleksi Surau Tarekat
Syattariyah di Pariangan: Transliterasi dan Analisis Etnomedisin”. (skripsi). Padang
: Fakultas Ilmu Budaya Universitas AndalaS.
Sugiharto, F.B., Luar, P. & Negeri, S.P., 2016. “Transfer of Knowledge Keterampilan Pengobatan Tradisional Pijat Sangkal
Putung”. Jurnal
Pendidikan: Teori, Penelitian,
dan Pengembangan, Volume 1 Nomor 9, (Hal.1864–1868).
Suryaningsi, T., 2015. Peranan Sando dalam Pengobatan Tradisional pada Masyarakat Onembute. Walasuji, Volume 6 Nomor 2, (Hal. 479–493).
Mungmachon, M.R., 2012. Knowledge and Local Wisdom :
Community Treasure. International
Journal of Humanities and Social Science, 2(13), pp.174–181. Available at: http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_2_No_13_July_2012/18.pdf.
Mustofa, Fanie Indrian Dan Mujahid, Rohmat. 2017. Eksplorasi
Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan
Obat Berbasis Komunitas di Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Rahayu, Mulyati;
Sunarti, Siti; Sulistiarini, Diah; dan Prawiroatmodjo, Suhardjono. 2006. “Pemanfaatan Tumbuhan Obat secara Tradisional
oleh Masyarakat Lokal di Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara”. Dalam Biodiversitas. Volume 7, Nomor 3 (Hal.
245-250).
Indrawati; Sabilu, Yusuf; dan Ompo, Alda. 2014. Pengetahuandan Pemanfaatan Tumbuhan
Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara. Biowallacea
Vol. 1 (1), April
2014,: (Hal. 39-48).
PROSIDING SEMINAR
NASIONAL
BANTUAN PEMERINTAH
FASILITASI KOMUNITAS
KESEJARAHAN TAHUN 2019
Event
Kesejarahan
PENGEMBANGAN KAJIAN ETNOMEDISIN DALAM MEMPERKUAT KARAKTER GENERASI
MUDA
AULA KANTOR PT. DACHTRACO
RAYA, JL. H. SUFU YUSUF NO 1 KOTA
KENDARI
Kendari, 29
September 2019
HIMPUNAN
SARJANA PENDIDIKAN ILMU-ILMU SOSIAL INDONESIA (HISPISI-SULAWESI TENGGARA)
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
Bantuan Pemerintah
Fasilitasi Komunitas Kesejarahan Tahun 2019
Event Kesejarahan
Pengembangan
Kajian Etnomedisin
dalam Memperkuat
Karakter Generasi Muda
Panitia Pelaksana
Sukadi
Linta, S.Pd, M.Pd.
Ketua
Sudarso, S.Pd, M.Pd Sekertaris
Andriani
Taufik, S.Pd, M. Pd. Bendahara
Steering Commite:
Dr. Misran Safar, M. Si
Drs.
Ali Hadara, M. Hum
Dr.
La Ode Ali Basri, S.Pd, M.Si
Pendais
Haq, S.Ag, M.
Pd
Reviewer:
Prof.
Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd
Editor:
Ahmad,
S.Pd, M.Pd
Sudarso,
S. Pd, M. Pd.
ISBN: 978-602-60719-7-2
Penerbit:
Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia
(HISPISI-Sulawesi
Tenggara)
KISAH CERITA AYAH SAYA SEMBUH BERKAT BANTUAN ABAH HJ MALIK IBRAHIM
BalasHapusAssalamualaikum saya atas nama Rany anak dari bapak Bambang saya ingin berbagi cerita masalah penyakit yang di derita ayah saya, ayah saya sudah 5 tahun menderita penyakit aneh yang tidak masuk akal, bahkan ayah saya tidak aktif kerja selama 5 tahun gara gara penyakit yang di deritanya, singkat cerita suatu hari waktu itu saya bermain di rmh temen saya dan kebetulan saya ada waktu itu di saat proses pengobatan ibu temen saya lewat HP , percaya nda percaya subahana lah di hari itu juga mama temen saya langsung berjalan yang dulu'nya cuma duduk di kursi rodah selama 3 tahun,singkat cerita semua orang yang waktu itu menyaksikan pengobatan bapak kyai hj Malik lewat ponsel, betul betul kaget karena mama temen saya langsung berjalan setelah di sampaikan kepada hj Malik untuk berjalan,subahanallah, dan saya juga memberanikan diri meminta no hp bapak kyai hj malik, dan sesampainya saya di rmh saya juga memberanikan diri untuk menghubungi kyai hj Malik dan menyampaikan penyakit yang di derita ayah saya, dan setelah saya melakukan apa yang di perintahkan sama BPK kyai hj Malik, 1 jam kemudian Alhamdulillah bapak saya juga langsung sembuh dari penyakitnya lewat doa bapak kyai hj Malik kepada Allah subahanallah wataala ,Alhamdulillah berkat bantuan bpk ustad kyai hj Malik sekarang ayah saya sudah sembuh dari penyakit yang di deritanya selama 5 tahun, bagi saudara/i yang mau di bantu penyembuhan masalah penyakit gaib non gaib anda bisa konsultasi langsung kepada bapak kyai hj Malik no hp WA beliau 0823-5240-6469 semoga lewat bantuan beliau anda bisa terbebas dari penyakit anda. Terima kasih
Borgata Hotel Casino & Spa - MapyRO
BalasHapusFind parking 천안 출장샵 costs, opening hours and a parking map 대구광역 출장안마 of Borgata 전라남도 출장샵 Hotel Casino 창원 출장안마 & Spa (Things to Know) 2411 W Flamingo Road, Las 진주 출장마사지 Vegas.