Minggu, 28 Juni 2020

NILA-NILAI KARAKTER DALAM SEJARAH BUDAYA ETNOMEDISIN


NILA-NILAI KARAKTER DALAM SEJARAH BUDAYA ETNOMEDISIN
Oleh: Anwar Hafid
(Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Halu Oleo)

A. Pendahuluan
Biodiversitas adalah kekayaan bangsa dengan nilai yang tidak terhitung besarnya, karena ancaman terhadap kepunahan biodiversitas akan mengancam kelestarian dan eksistensi suatu bangsa. Indonesia tidak saja dikenal memiliki kekayaan biodiversitas tumbuhan dan hewan yang tinggi, namun juga memiliki kekayaan atas keragaman budaya yang terekspresi dari beragamnya suku bangsa. Kekayaan keaneka ragaman hayati dan budaya tersebut menjadi ocal nasional yang harus dimanfaatkan dan dikembangkan untuk meningkatkan ketahanan dan kedaulatan bangsa. Demikian juga terhadap kekayaan tumbuhan obat dan pengetahuan tradisional terkait pemanfaatan tumbuhan obat untuk pengobatan. Kekayaan sumberdaya tumbuhan obat memiliki potensi untuk dikembangkan sekaligus potensi ancaman di masa mendatang.
Pengelolaan yang tepat akan berdampak pada kesejahteraan bangsa dan di sisi lain juga mengancam kedaulatan akibat praktek biopirasi dan kepunahan spesies karena rusaknya ekologi. Dengan demikian sangat pentingnya tersusun suatu data basis terkait kekayaan biodiversitas tumbuhan obat dan pengetahuan tradisional masyarakat dalam penggunaan tumbuhan sebagai obat. Data basis ini merupakan upaya perlindungan ocal nasional dari berbagai ancaman baik yang ocal secara internal maupun eksternal. Data basis tumbuhan obat, ramuan obat tradisional, dan kearifan ocal dalam pengelolaan pemanfaatan tumbuhan obat, akan dikembangkan berdasarkan kegiatan penelitian terstruktur dan berkelanjutan yang disebut Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA). Riset ini akan memetakan dan menginventarisasi pengetahuan tradisional setiap etnis dalam memanfaatkan tumbuhan untuk pengobatan dan kesehatan dari sumber informasi pengobat tradisional, melakukan koleksi langsung tumbuhan obatnya, dan mendata kearifan ocal dalam pengelolaan serta pemanfaatan tumbuhan obat. Data basis ini menjadi ocal Nasional dalam upaya perlindungan sekaligus upaya pengembangan kekayaan nasional demi sebesar besarnya kesejahteraan bangsa, sekaligus untuk ketahanan dan kedaulatan Indonesia (Purwadi, 2015).
Riset Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia, yang selanjutnya disebut RISTOJA, merupakan riset pemetaan pengetahuan tradisional dalam pemanfaatan tumbuhan obat berbasis suku yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Kesehatan. Riset ini dilaksanakan untuk menjawab kebutuhan informasi terkait data tumbuhan obat dan ramuan tradisional yang digunakan oleh setiap suku di Indonesia. Maraknya biopiracy yang dilakukan oleh pihak luar terhadap kekayaan plasma nutfah tumbuhan obat Indonesia harus segera diantisipasi dengan penyediaan basis data atas kepemilikan dan autentitas jenis tersebut sebagai kekayaan biodiversitas Indonesia.
Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas tumbuhan terbesar kedua di dunia. Di dalam biodiversitas yang tinggi tersebut, tersimpan pula potensi tumbuhan berkhasiat obat yang belum tergali dengan maksimal. Potensi tersebut sangat besar untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat apabila dimanfaatkan dengan baik. Disamping kekayaan keanekaragaman tumbuhan tersebut, Indonesia juga kaya dengan keanekaragaman suku dan budaya. Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Indonesia memiliki 1.068 suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing suku memiliki khasanah yang berbeda-beda. Pada setiap suku, terdapat beraneka ragam kekayaan kearifan lokal masyarakat, termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan tumbuhan untuk pengobatan tradisional.
Eksplorasi dan inventarisasi tumbuhan obat beserta pemanfaatannya di masyarakat yang berbasis kearifan lokal perlu dilakukan. Riset untuk mendapatkan data-data fitogeografi, agroklimat, pemanfaatan berbasis kearifan lokal, fitokimia dan social ekonomi dari tumbuhan obat akan sangat penting dalam membangun sebuah basis data yang dapat digunakan sebagai informasi penting dalam proses domestikasi tumbuhan obat untuk peningkatan produktivitas baik dari segi kualitas maupun kuantitas, serta rintisan untuk kemandirian obat berbasis tumbuhan.
RISTOJA 2017 dilaksanakan di 11 provinsi. Data yang dikumpulkan meliputi data demografi penyehat tradisional, jenis ramuan yang digunakan, jenis gejala/penyakit yang diobati oleh penyehat tradisional dan data tumbuhan obat (TO). Pengumpulan data dilakukan secara serentak pada bulan Mei 2017 oleh tim pengumpul data yang terdiri dari antropolog/sosiolog, biolog/botani, dan tenaga kesehatan dengan kriteria tertentu. Pengumpulan data di lapangan dilaksanakan dengan cara wawancara, observasi, dan  okumentasi. Data yang telah dikumpulkan oleh tim pengumpul data perlu disusun dalam bentuk laporan agar dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang membutuhkan.
Pengobatan secara tradisional dilakukan menggunakan satu atau beberapa jenis tumbuhan serta berbagai bagian organ tumbuhan yang diperkirakan bermanfaat dengan cara bagian tanaman tersebut direbus, ditumbuk, diminum, dibobokkan atau dibalurkan, dan dioleskan pada bagian yang sakit. Selain menggunakan tumbuhan, pengobatan tradisional masyarakat Tengger yang utama dilakukan dengan media suwuk berupa pembacaan mantera serta pilis dengan tanah (Batoro et al., 2010).
Masyarakat Tengger yang berada di Kabupaten Lumajang dan Malang dipandang paling banyak terpengaruh oleh budaya luar, sehingga pengetahuan lokalnya mengenai tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan perlu digali lebih jauh agar dapat dilestarikan. Berdasarkan harga UVs dan ICF yang tinggi, terdapat beberapa tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat Tengger di kedua kabupaten tersebut yang berpotensi untuk dilakukan penelitian lebih lanjut, yaitu adas (F. vulgare), sempretan (B. pilosa), pulosari (A. reinwardtii), tepung otot (B. laevis), jambu wer (E. longifolius), dan dringu (A. calamus) (Ningsih, 2016).
Meningkat karena digunakan sebagi pilihan terapeutik yang aman dan pada banyak institusi medis telah dibuktikan secara klinik. Kepercayaan terhadap obat tradisional oleh masyarakat juga didukung oleh kepercayaan bahwa obat tradisional lebih sedikit memiliki efek samping dibanding obat konvensional serta keyakinan bahwa produk alam itu lebih aman dan lebih baik dibanding produk sintetik sehingga istilah back to nature menjadi semakin populer dikalangan masyarakat karena memberikan jaminan yang lebih baik tersebut. Walaupun demikian penggunaan obat tradisional yang dianggap aman oleh masyarakat perlu menjadi perhatian karena setiap bahan atau zat memiliki potensi bersifat toksik tergantung takarannya dalam tubuh (Ihsan, dkk, 2016).
Dalam dunia Melayu ditemukan penelitian pengobatan tradisional yang menggunakan naskah sebagai sumbernya, yakni yang dilakukan oleh A Samad Said (2005). Penelitian tersebut berjudul Warisan Perubatan Melayu yang menyajikan suntingan teks pengobatan tradisional dari naskahnaskah melayu. Selain edisi teks, penelitinya juga membuat klasifikasi jenis penyakit dan obat yang digunakan.
Kajian model pengobatan ini di Indonesia masih sangat langka. Kajian ini pernah menjadi bagian dari kajian folkor yang termasuk dalam konteks pembicaraan mengenai hewan sebagai makanaan manusia (bukan obat) (Danandjaya, 1996). Oleh karena langkanya kajian tentang animalmedicine ini, maka perlu kirannya hal tersebut segera diteliti sehingga informasi tentang animalmedicine yang terdapat dalam naskah tidak hilang begitu saja.

B. Beberapa Konsep terkait dengan Etnomedisin
Etnomedisin merupakan kepercayaan dan pelaksanaan medis para warga masyarakat tradisional. Secara teoritis: kepercayaan-kepercayaan medis dan pelaksanaanya merupakan unsur utama dalam tiap kebudayaan. Secara praktis: pengetahuan mengenai kepercayaan medis pribumi dan pelaksanaanya penting untuk perencanaan progran kesehatan dan dalam pengadaan pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat tradisional.
1.     Etnomedisin, yakni cabang antropologi kesehatan yang membahas tentang asal mula penyakit, sebab-sebab, dan cara pengobatan menurut kelompok masyarakat tertentu. Aspek etnomedisin merupakan aspek yang muncul seiring perkembangan kebudayaan manusia. Di bidang antropologi kesehatan, etnomedisin memunculkan termonologi yang beragam. Cabang ini sering disebut pengobatan tradisional, pengobatan primitif, tetapi etnomedisin terasa lebih netral (Foster dan Anderson, 1986: 62).
2.     Etnis atau suku adalah kelompok masyarakat yang dibedakan atas dasar bahasa, budaya dan lokasi asal.
3.     Etnobotani adalah ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuh-tumbuhan dalam keperluan kehidupan sehari-hari dan adat suku bangsa.
4.     Etnofarmakologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kegunaan tumbuhan yang memiliki efek farmakologi dalam hubungannya dengan pengobatan dan pemeliharaan kesehatan oleh suatu suku bangsa.
5.     Fitogeografi adalah ilmu tentang masalah penyebaran tumbuhan.
6.     Kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama. Kearifan lokal atau kearifan tradisional yaitu semua bentuk keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan lokal/tradisional merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya di bidang pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.
7.     Biopirasi adalah pencurian sumber daya hayati atau pengetahuan tradisional untuk kepentingan komersial oleh pihak tertentu dan merugikan pihak lainnya. Komunitas masyarakat adat adalah kelompok yang paling rentan dengan biopirasi ini, karena memiliki banyak pengetahuan yang bisa diambil begitu saja tanpa mendapatkan kompensasi yang layak dari pengetahuan mereka tersebut.
8.     Bioprospeksi adalah upaya untuk mencari kandungan kimiawi baru pada makhluk hidup (baik mikroorganisme, hewan, dan tumbuhan) yang mempunyai potensi sebagai obat-obatan atau untuk tujuan komersil lainnya.
9.     Biodiversitas (keanekaragaman hayati) adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah.
10.  Koleksi spesimen TO adalah seluruh bagian tumbuhan obat yang memungkinkan untuk diambil dan dikeringkan sebagai herbarium.
11.  Komunitas lokal adalah suatu kelompok orang (masyarakat) yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu
12.  Konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan sumber daya alam secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan melalui pemanfaatan secara bijaksana dan menjamin kesinambungan ketersediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keragamannya.
13.  Pendekatan etik dan emik merupakan kajian kebudayaan melalui makna bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat budaya. Etik merupakan kajian makna yang diperoleh dari pandangan orang di luar komunitas budaya tersebut. Sebaliknya, emik merupakan nilai-nilai makna yang diperoleh melalui pandangan orang yang berada dalam komunitas budaya tersebut
14.  Ramuan adalah beberapa bahan/tumbuhan yang digabung menjadi satu kesatuan digunakan dalam pengobatan tradisional.
C. Nilai-nilai Karakter dalam Budaya Etnomedisin
1.  Nilai Religius
Salah satu ramuan tradisional yang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai ramuan obat berkhasiat adalah Lansau yang ada pada Suku Muna. Lansau telah digunakan selama ratusan tahun oleh Suku Muna yang terdiri dari 44 macam campuran bahan tumbuhan yang diambil berdasarkan kepercayaan dan nilai filosofis yang dianut oleh masyarakat Suku Muna. Penggunaan Lansau masih diminati oleh masyarakat suku Muna. Hal ini didasari oleh kepercayaan masyarakat bahwa obat herbal aman dikonsumsi karena tidak menimbulkan efek samping. Lansau oleh masyarakat Suku Muna dipercaya dapat mengobati segala jenis penyakit terutama penyakit dalam. Selain itu pengobatan dengan herbal oleh masyarakat dianggap lebih ekonomis dibanding pengobatan dari dokter. Bahan obat lansau selain terdiri dari daun-daunan dan rumput juga terdiri dari kulit kayu atau batang. Kandungan filosofis yang terdapat dalam pengobatan yang menggunakan Lansau serta sugesti, saran dan doa dari tabib menjadikan masyarakat memperlakukan Lansau sebagai obat bagi seluruh masalah yang dihadapi terutama terkait penyakit.
Lansau terdiri dari 44 macam jenis tumbuhan yang secara khusus diambil dari pemaknaan terhadap asal kejadian manusia. Nilai filosofis yang terkandung dari Lansau terkait erat dengan nilai spiritual yang dianut oleh masyarakat suku Muna sebagai penganut agama Islam yang bercorak tasawuf dan membentuk sebagian besar budaya dalam masyarakat Muna. Hal ini terjadi karena Islam yang masuk di Nusantara oleh para saudagar Arab-Persia maupun yang berasal dari Campa di Vietnam adalah bercorak tasawuf dan Syiah yang juga kental tradisi tasawufnya.
Menurut penjelasan tabib Lansau, angka 44 merujuk pada proses kejadian pasangan manusia pertama yang diciptakan oleh Tuhan Allah SWT yaitu Adam dan Hawa. Adam diyakini diciptakan dengan 12 pasang tulang yang kemudian sepasang di berikan ke Hawa yaitu tulang rusuk sehingga tersisa 11 pasang ruas tulang. Penggunaan angka 12 tidak dijelaskan lebih lanjut oleh tabib Lansau, namun tulang punggung manusia benar terdiri dari 12 ruas. Penggunaan angka 12 dan 4 banyak terdapat dalam Al Qur’an seperti dalam surat At Taubah (9) ayat 36: “Sungguh bilangan bulan pada sisi Allah ialah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya 4 bulan haram”. [4]. Angka 4 tersebar dalam Al Qur’an seperti dalam QS.An Nisa (4) ayat 3, QS Fatir (35) ayat 1. Dalam hadist, angka 4 secara implisit disebutkan ketika Nabi Muhammad saw menyebut penghormatan kepada Ibu 3 kali dan ditambah Ayah 1 kali (HR Muttafaq “Alaih). Jumlah 4 juga banyak terdapat dalam alam semesta seperti jumlah basa nukleotida penyusun rantai DNA yaitu adenine (A), sitosin (G), guanin (G) dan timin (T). Molekul dasar pembentuk sel juga terdiri dari 4 unsur oksigen (O), karbondioksida (C), hydrogen (H) dan nitrogen (N). Dalam sistem bilangan juga dikenal 4 sistem bilangan yaitu sistem biner, system oktal, sistem desimal dan sistem heksadesimal. Dalam sistem pengobatan Cina juga dikenal 4 unsur pembentuk manusia dan alam semesta yaitu unsur air, api, tanah dan angin.
Angka 12 adalah jumlah kalimat Ar rahman Ar Rahim pada kalimat pembuka Al Qur’an Bismillahi Rahmani Rahim. Dalam salah satu surat dalam Al Qur’an yang bermakan kasih sayang yaitu surat Ar Rahman terdapat ucapan yang sama yaitu kalimat “fabi ayya ala irabbikuma tukadzziban” di ulang sebanyak 31 kali dengan pembagian 12 kali merujuk peristiwa sebelum kiamat sampai terjadinya kiamat dan 19 kali merujuk pada peristiwa setelah kiamat. Hal ini dapat dilihat bahwa ayat 37 mengatakan tentang kiamat yang dikomentari dengan ayat 38 yang merupakan pengulangan yang ke 12 kali. Oleh karena itu dunia diwakili oleh angka 12. Oleh karenanya penggunaan angka 12 dan 4 dalam sistem pengobatan Suku Muna yang menggunakan Lansau memiliki kaitan dengan pemaknaan terhadap konsep pada kitab suci Al Qur’an dan pemahaman pada pola alam semesta. Pemaknaan terhadap penciptaan Adam-Hawa ini juga di ambil dari penafsiran atas Al-Qur’an Surat An Nisa ayat 1 bahwa Allah menciptakan Hawa dari jenis yang sama seperti Adam “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (Ihsan, dkk, 2016).
Sebagian besar Hattra pada 5 etnis di Sulawesi Selatan ini adalah perempuan (64%). Hal ini kemungkinan karena kebanyakan hattra merupakan merupakan dukun bayi. Pengaruh Islam yang kuat juga dapat menyebabkan berkembangnya jumlah hattra perempuan, karena ada larangan dalam agama bagi laki-laki menyentuh wanita yang bukan muhrimnya.
Umumnya kepercayaan tentang kegunaan atau kekhasiatan suatu jenis tumbuhan obat tidak hanya diperoleh dari pengalaman, tetapi seringkali dikaitkan dengan nilai-nilai religius. Persepsi masyarakat Wawonii tentang sakit tergantung dari sudut pandang masing-masing orang. Secara umum dapat dikatakan bahwa sakit adalah keadaan yang tidak seimbang, sehingga dapat mempengaruhi kegiatan sehari-harinya. Penyebab penyakit bermacammacam, ada yang datang dari Sangia (Sang Pencipta) dan ada yang berasal dari makhluk halus/jahat. Oleh karena itu para sando selalu mengadalkan pengobatannya dengan senantiasa memohon pertolongan kepada Sang Pencipta (Rahayu, dkk, 2006).

2.  Nilai Disiplin
Keanekaragaman jenis tumbuhan obat Fasilitas kesehatan modern terdapat di lokasi penelitian, namun sando masih berperan dalam pengobatan penyakit dan perawatan pra dan paska persalinan (Rahayu, 2006). Waktu panen yang baik menurut Tabib Lansau adalah pagi hari dan bagian tanaman yang dipanen adalah daun yang dekat dengan pucuknya karena pagi hari adalah waktu ketika embun masih ada dan matahari baru saja akan menyinari yang dalam nilai filosofisnya iklim masih dalam keadaan suci dan murni. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan metabolit sekunder pada tanaman di waktu pagi belum hilang karena belum terjadi fotosintesis oleh matahari. Kandungan metabolit tiap tanaman dapat berbeda-beda dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat tumbuh tanaman tersebut menyebabkan kandungan kimia dapat berbeda sehingga khasiat juga akan berbeda meskipun pada jenis tanaman yang sama (Sari dkk, 2017).
Kegiatan dukun menolong seorang ibu yang akan melahirkan, biasanya sangat terikat dengan waktu. Artinya dukun tidak bisa menunda-nunda untuk berlama-lama baru pergi menolong persalinan seseorang, terutama saat menjelang melahirkan. Demikian pula pertolongan kepada seseorang yang menderita penyakit, seperti: sakit perut, munta bera, dll.
 
3.  Nilai Rasa Ingin Tahu
Penelitian mengenai Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia perlu dilakukan untuk menggali pengetahuan lokal etnomedisin sebagai bagian kearifan lokal masing-masing etnis dan keanekaragaman TO yang menjadi dasar bagi pengembangan riset berkelanjutan dalam bidang etnomedisin dan tumbuhan obat. Penelitian Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia ini juga dikenal dengan istilah Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA). RISTOJA 2012 telah dilaksanakan di 26 provinsi seluruh wilayah Indonesia kecuali provinsi di pulau Jawa dan Bali, bekerja sama dengan 25 Perguruan Tinggi terkemuka di masing-masing wilayah. Etnis yang diteliti meliputi 209 etnis dengan jumlah titik pengamatan 254. Terdapat 15.773 informasi ramuan, sebagian besar berkaitan dengan perilaku hidup sehat, seperti demam, sakit kepala, sakit kulit serta sakit perut, terdapat juga gejala/penyakit yang berkaitan dengan metabolisme atau penyakit degenerative seperti kanker/tumor dan darah tinggi. Selain itu terdapat ramuan untuk malaria sebanyak 486 ramuan, TBC 75 ramuan dan HIV/AIDS 13 ramuan. Tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan berjumlah 19.738 informasi, 13.576 berhasil diidentifikasi hingga tingkat spesies yang terdiri 1.740 spesies/jenis dari 211 familia (Purwadi, 2015).
Pengetahuan tradisional masyarakat terhadap tumbuhan obat cukup baik dan telah diturunkan dari generasi ke generasi, namun saat ini mulai terancam punah akibat perubahan sosio-budaya yang secara umum mempengaruhi nilai-nilai sosial, dimana generasi mudanya mencari alternatif pengobatan yang lebih praktis. Pengetahuan obat tradisional mereka hanya terbatas oleh generasi tua. Generasi muda cenderung lebih memilih berobat kepada mantri, Puskesmas, Polindes, dan bidan. Peran dukun bayi pun hanya terbatas pada pembacaan suwuk (doa) dan perawatan setelah melahirkan (Ningsih, 2016).
Riset Khusus Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia yang dilaksanakan di Etnis Osing Provinsi Jawa Timur diperoleh hasil sebagai berikut:
a.  Pengamatan ristoja di Etnis Osing Provinsi Jawa Timur dilakukan di wilayah Osing Ndeles yaitu Desa Kemiren Kecamatan Glagah, Desa Penataban Kecamatan Giri, Desa Licin Kecamatan Licin, Desa Pesucen Kecamatan Kalipuro dan Desa Temu Asri Kecamatan Sempu dengan 5 pengobat tradisional H. Djohadi Timbul, H. Slamet Utomo, H. Hanik Jaelani, Abdul Hadi, Anang Mahmud.
b.  Ramuan yang berhasil didata dari 5 orang Hattra berjumlah 165 ramuan yang digunakan untuk pengobatan 211 penyakit, dengan gejala/penyakit dari penyakit yang diderita oleh bayi, anak-anak dan orang dewasa. Teknik yang digunakan oleh Hattra dalam mengobati pasien, memadukan beberapa teknik yaitu pijat, ramuan jamu, spiritual dan supranatural.
c.   Dari Hattra diperoleh 254 informasi TO yang digunakan dalam beberapa ramuan, sehingga sebenarnya hanya terdapat 148 nama lokal TO teridentifikasi 146 spesies dari 62 familia. Dari 148 TO tersebut yang berhasil dikoleksi 109 specis yang digunakan untuk 526 herbarium dan 397 DNA. Bagian tanaman yang banyak digunakan Antara lain : daun (29,7%), rimpang (19,5%) dan buah (13,2%).
d.  TO yang sulit diperoleh berjumlah 20 TO , 15% diupayakan menanam sendiri, dan 85% diperoleh dengan membeli ataupun mencari di tempat lain. Dari 148 spisies yang teridentifikasi terdapat 6 jenis tanaman langka di Indonesia yaitu Pasak Bumi, Purwaceng, Keningar, Pule, Masoyi, Kemenyan (Purwadi, 2015). Usaha konservasi TO yang sulit telah dilakukan baik oleh masyarakat secara mandiri dan swakelola juga dilakukan oleh pemerintah daerah dan instansi terkait melalui program TOGA (Tanaman Obat Keluarga), baik di tingkat keluarga maupun masyarakat. Pembinaan dan arahan pembuatan jamu secara higienis dan sesuai standar, serta gerakan minum jamu menjadi program resmi daerah.

4.  Nlai Peduli Lingkungan
Bentuk konservasi dimana tumbuhan obat yang tadinya diperoleh di hutan atau gunung, diambil dan ditanam di pekarangan rumah, sehingga  mudah diperoleh saat dibutuhkan dalam pembuatan ramuan. Data menunjukkan bahwa sebagian besar bahan baku ramuan diperoleh dari alam, hanya 42,03% yang telah dibudidayakan. Pengambilan bahan ramuan secara langsung di alam yang terus menerus dilakukan tanpa upaya pelestarian dapat menyebabkan kelangkaan tumbuhan obat di kemudian hari. Budidaya tumbuhan obat bermanfaat bagi Penyehat Tradisional (HATTRA), pasien maupun ekosistem, karena dengan membudidayakan tumbuhan obat yang merupakan bahan baku ramuan, maka Hattra dapat memperoleh tumbuhan obat setiap saat ketika diperlukan. Selain itu, tumbuhan obat hasil budidaya juga terjaga kualitasnya dan ekosistem liar tetap terjaga dari kelangkaan. Hattra membutuhkan penyuluhan dalam upaya pelestarian tumbuhan obat melalui budidaya.
Kearifan Pengelolaan Tumbuhan Obat tertuang dalam UU No.32 Tahun 2009. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat antara lain yaitu melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Kearifan lokal juga dapat didefinisikan sebagai segala bentuk kebijaksanaan yang didasari oleh nilai-nilai kebaikan yang dipercaya, diterapkan dan senantiasa dijaga keberlangsungannya dalam kurun waktu yang cukup lama (secara turun-temurun) oleh sekelompok orang dalam lingkungan atau wilayah tertentu yang menjadi tempat tinggal mereka. Dalam RISTOJA 2017, kearifan lokal yang akan dibahas adalah kearifanlokaldalam pengelolaan tumbuhan obat (Sari dkk, 2017).
Jumlah total tumbuhan obat yang sulit diperoleh sebanyak 127jenis. Sebanyak 57 jenis tumbuhan obat telah dilakukan upaya pelestarian oleh Hattra. Upaya pelestarian yang dilakukan Hattra antara lain dengan cara menanam tumbuhan obat (45 jenis) yang digunakan dalam ramuan di kebun atau pekarangan rumah sendiridan mengambil tumbuhan obat secara selektif (8 jenis), dalam artian mengambil seperlunya dengan memperhatikan kondisi tumbuhan obat. Budidaya merupakan salah satu bentuk konservasi SDA sebagai mana tercantum dalam UU No.32 tahun 2009 yang berperan penting dalam menjamin kesinambungan ketersediaan bahan baku ramuan obat tradisional dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Oleh karena itu, perlu digalakkan upaya budidaya tumbuhan obat baik oleh Hattra maupun masyarakat pada umumnya (Sari dkk, 2017).
Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia yang dilaksanakan di pada 16 etnis di Provinsi Sulawesi Tengah, diperoleh hasil sebagai berikut:1.Pengamatan RISTOJA pada16 etnisdi Provinsi Sulawesi Tengah, meliputi 80penyehat tradisional.Ramuan yang berhasil didata berjumlah 919 ramuan. Sakit pinggang merupakan penyakit terbanyak yang diobati oleh Hattra, sementara batuk dan mencret masih menjadi jenis gejala/penyakit dominan terkait perilaku hidup bersih dan sehat, disusul dengan gejala/penyakit yang berkaitan dengan gangguan metabolisme seperti kencing manis dan darah tinggi.2.Tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan berjumlah 1.729 informasi, 1.437 diantaranya telah diidentifikasi (terdiri dari 325 spesies/jenis). Bagian TO yang paling banyak digunakan adalah daun. Koleksi tumbuhan obat dalam bentuk herbarium sebanyak 728.3. Hattra yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan TO sebanyak 53 orang. Tumbuhan obat yang setahun terakhir sulit didapatkan sebanyak 86 dengan penyebab terbesar adalah jumlahnya yang semakin berkurang. Sejumlah 57 TO telah diupayakan pelestariannya oleh Hattra (Sari dkk, 2017).

5.  Nilai Peduli Sosial
Jumlah ramuan yang dimiliki Informan sesuai kemampuan untuk mengobati berbagai macam penyakit dengan jumlah ramuan sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah ramuan yang digunakan dalam pengobatan oleh informan di
Etnis Osing Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur, RISTOJA 2015
No
Nama Dukun
Jumlah Ramuan
Keterangan
1
H. Djohadi Timbul
32

2
H. Slamet Utomo
28

3
H. Hanik Jaelani
42

4
Abdul Hadi
27

5
Anang Mahmud
36


Jumlah
165

Jumlah rata-rata ramuan yang dimiliki adalah 30 ramuan/informan, dimana pada informan nomer 3 yaitu Bapak H. Hanik Jaelani memiliki jumlah ramuan yang sangat banyak (42), beliau merupakan Hattra yang dalam mengobati memadukan teknik pijat refleksi dengan minum ramuan/jamu, ramuan yang dimiliki sangat bervariasi Sedangkan Bapak Abdul Hadi memiliki 27 ramuan, meskipun demikian jumlah pasiennya jauh lebih banyak dari informan yang lain (600 pasien/bulan). Bapak Abdul Hadi oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai dukun pijat dan suwuk yaitu metode pengobatan dengan supranatural, teknik pengobatan Pak Abdul Hadi memadukan teknik pijat, minum ramuan/jamu, dan suwuk, penggunaan 3 teknik tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan pasien. Pasien dari bayi hingga orang dewasa.
Rata-rata informan ditanya tentang murid yang dimiliki, mereka menjawab tidak memiliki murid. Namun demikian, diantara mereka anak mereka mulai berprofesi seperti ayahnya, artinya ada yang mewarisi keterampilan dan ilmu mengobati bahkan ada yang sudah praktek seperti ayahnya. Data mengenai murid informan sebagai berikut.

Tabel 4. Jumlah Murid Informan yang telah Mandiri di Etnis Osing
di Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur, RISTOJA 2015
No
Nama Dukun
Jumlah Murid Mandiri
Keterangan
1
H. Djohadi Timbul
1

2
H. Slamet Utomo
6

3
H. Hanik Jaelani
0

4
Abdul Hadi
0

5
Anang Mahmud
0


Jumlah
7


6.  Nilai Bersahabat/Komunikatif
Pengetahuan tumbuhan obat sebagai salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat merupakan pengetahuan yang didapat dari proses interaksi manusia dengan lingkungan, baik melalui pengalaman pencobaan atau juga karena mencontoh makhluk hidup yang lain. Pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan obat didapat oleh masyarakat desa DDJ dari generasi sebelumnya. Hal ini ditunjukkan ketika wawancara mereka selalu menyarankan agar bertanya pada orang yang lebih tua, karena orang tua lebih banyak pengalaman dan juga banyak mengetahui informasi mengenai tumbuhan yang bisa digunakan sebagai obat. Menurut Alcorn 2) pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan sebagai obat diwariskan dari generasi ke generasi. 2) Interaksi penduduk dengan suku lain Pengetahuan tentang tumbuhan obat pada masyarakat di desa DDJ juga berasal dari interaksi mereka dengan suku-suku lain yang ada di sekitarnya. Pola perdagangan sumberdaya alam antar pulau berdampak tidak saja pada peningkatan ekonomi tetapi juga adanya pertukaran pengetahuan. Ketika masyarakat DDJ menjual hasil perkebunannya ke kota Kendari mereka bertemu dengan berbagai suku lain yang ada di kota tersebut, saat itulah terjadi pertukaran ekonomi, informasi, dan juga pengetahuan. Pola interaksi dengan suku atau Pengetahuan Lokal Tumbuhan Obat (Indrawati, 2014).
Sebanyak 96 persen persen tempat tinggal hattra adalah di daerah pedesaan. Lima etnis dalam penelitian ini tidak termasuk dalam etnis besar yang mendiami kota-kota di Sulawesi Selatan. Sebaliknya, kebanyakan mereka mendiami daerah yang terpencil, seperti etnis Bonerate dan Kalaotoa di Kepulauan yang jarak tempuh dari daratan utama mencapai belasan jam dengan moda transportasi yang terbatas. Lokasi pedesaan juga menyediakan sumber daya alam yang lebih banyak untuk dimanfaatkan sebagai pengobatan. Lokasi yang terpencil memaksa masyarakat untuk menggunakan pengobatan tradisional karena akses pelayanan kesehatan formal yang terbatas.
Pengetahuan pengobatan tradisional hattra tidak hanya diperoleh dari satu sumber, namun lebih dari 80 persen berasal dari keluarga Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan empiris pengobatan tradisional, tidak diwariskan kepada sembarang orang dan hanya pada anggota keluarga terpilih yang diyakini mampu untuk meneruskan ilmu pengobatan tersebut.
Pendidikan dalam keluarga termasuk pendidikan informal. Menurut Sugiharto et al. (2016), pendidikan informal mempunyai peran yang sangat vital dalam proses pewarisan kearifan lokal kepada generasi berikutnya, hal ini dilandasi bahwa pewarisan kearifan lokal hanya dapat terakomodasi oleh pendidikan informal.









 










Gambar 3. Sukora


 Keterangan:
1.    Tanda     +   Posisi Matahari
2.    Tanda        Posisi Bulan
3.    Tanda           Petunjuk Arah Perhitungan.
Seorang penderita yang mulai jatuh sakit pada terbit bulan di langit:
1.    1, 10, 19, 28 Pasarannya adalah Akoi (Ino’akoi) artinya cara pengobatannya adalah dengan upacara sesajen pada roh halus, jin dan setan yang diduga mengganggunya sehingga yang bersangkutan jatuh sakit.
2.    2, 11, 20, 29 Pasarannya adalah Pepeowai artinya cara pengobatannya harus kepada Dukun.
3.    3, 12, 21, 30 Pasarannya adalah Elengua artinya penyakit sipenderita akan semakin bertambah parah kemungkinan tidak tertolong.
4.    4, 13, 22      Pasarannya adalah Kedadoha artinya sipenderita akan semakin parah akibat ada tambahan penyakit lain.
5.    5, 14, 23      Pasarannya adalah Waraka artinya sipenderita akan segera sembuh dari penyakit.
6.    6, 15, 24      Pasarannya adalah Gaugaura artinya sihir orang       .
7.    7, 16, 25      Pasarannya adalah Mondudali artinya kesetanan.
8.    8, 17, 26      Pasarannya adalah Rarambate artinya penyakit tidak terlalu parah hanya saja sipenderita terlalu manja.
9.    9, 18, 27      Pasarannya adalah Bara’asala artinya menginjak sihir secara tidak sengaja yang disimpan seseorang untuk orang lain (Al-Ashur, 2000).
Pengetahuan masyarakat diwariskan melalui kebudayaan yang ada dan berkembang di masyarakat. Menurut Sugiharto et al. (2016), pengobatan tradisional merupakan kearifan lokal yang berfokus pada upaya kesehatan, dan hal ini telah diturunkan dalam konsep kekeluargaan. Adanya proses pewarisan kearifan lokal diperkuat oleh Settaboonsang (2006) dalam Mungmachon (2012) yang menjelaskan bahwa pengetahuan masyarakat ditularkan melalui tradisi.

7.  Nilai Tanggung Jawab
Di Pulau Sulawesi, hattra dikenal dengan sebutan sando, berasal dari Bahasa Tolaki yang bermakna dukun (Suryaningsi 2015). Demikian pula halnya dengan Provinsi Sulawesi Selatan, menurut informasi masyarakat setempat, penyehat ini disebut sebagai sando. Sebagian Hattra berpendapat bahwa pengobat bukanlah pekerjaan, namun suatu kegiatan sosial untuk menolong orang lain. Selain itu Hattra biasanya memahami bahwa pasien yang datang berkunjung berasal dari masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga tidak menuntut mereka untuk membayar pengobatannya.
Menurut penelitian Suryaningsi (2015), salah satu alasan masyarakat berobat ke hattra adalah karena ia tidak meminta bayaran akan tetapi menurut keikhlasan dan dapat diberikan lain waktu jika sudah ada rejeki. Dari hasil RISTOJA 2017 di Sulawesi Selatan, beberapa pertolongan Hattra tidak dibalas dengan uang, tapi dengan barang lain seperti ayam, ikan dan hasil kebun pasien. Bahkan pemberian tersebut dapat ditunda sampai panen, atau sampai pasien mendapatkan rejekinya.
Sebagian besar hattra di Sulawesi Selatan pada penelitian ini tidak sekolah atau tidak tamat SD (60%). Hal ini berkaitan dengan usia. Di Pulau Sulawesi, hattra dikenal dengan sebutan sando, berasal dari Bahasa Tolaki yang bermakna dukun (Suryaningsi 2015). Demikian pula halnya dengan Provinsi Sulawesi Selatan, menurut informasi masyarakat setempat, penyehat ini disebut sebagai sando. Sebagian Hattra berpendapat bahwa pengobat bukanlah pekerjaan, namun suatu kegiatan sosial untuk menolong orang lain. Selain itu Hattra biasanya memahami bahwa pasien yang datang berkunjung berasal dari masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga tidak menuntut mereka untuk membayar pengobatannya. Hal ini berkaitan dengan usia hattra yang sebagian besar lebih dari 61 tahun, sehingga kemungkinan pada masa tersebut akses pendidikan sulit karena factor jarak dan biaya. Hingga saat ini pun sebagian lokasi Hattra berada pada daerah terpencil. Selain itu ada kemungkinan bila mereka bersekolah tinggi dan keluar daerah asalnya, maka yang bersangkutan tidak tertarik lagi untuk menjadi hattra.
Sukora adalah ilmu ramalan dukun dalam memberi diagnosis terhadap penderita penyakit untuk mengetahui berbagai hal tentang sipenderita meliputi: apa penyakitnya, apa penyebab sakitnya, bagaimana kondisi pasiennya, bagaimana cara pengobatannya, dan siapa yang akan mengobatinya. Sukora sangat terkait erat dengan Anadalahaebu dalam hal penentuan pasarannya sesuai perputaran bulan di langit saat sipenderita mulai jatuh sakit (lihat gambar).

D.   Penutup
Terdapat berbagai jenis TO yang dimanfaatkan sebagai  obat tradisional oleh masyarakat Bagian (organ) tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional meliputi daun, batang, kulit batang, buah, rimpang, umbi, dan getah.Pemanfaatan tumbuhan obat dilakukandengan beragam cara diantaranya dengan cara direbus, ditumbuk, diperas, direndam, dibakar, digoreng,  digosok, dilumerkan, diremas dan tanpa pengolahan yang ke mudian digunakan baik secara tunggal maupun campuran Khasiat tumbuhan obat tradisional untuk mengobati penyakit panas (demam), sakit mata, sakit telinga, sakit gigi, sakit uluhati, sakit kuning, luka baru, sakit kulit, keseleo, patah tulang, sakit kepala, diare, darah tinggi, batuk, diabetes, muntah darah, perawatan pasca melahirkan, kencing batu, sembelit (susah buang air besar), maag, penyakit dalam, penghilang rasa capek.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Ashur, Arsamid. 2003. Suatu Analitik tentang Arti Lambang Bilangari, Sukora dan Andalahaeba dalam Wujud Aksaran Tolaki. Unaaha. Dokumen Peribadi.
Ningsih, Indah Yulia. 2016.  Tudi Etnofarmasi Penggunaan Tumbuhan Obat Oleh Suku Tengger  di Kabupaten Lumajang dan Malang, Jawa Timur”. Pharmacy, Vol. 13 No. 01 Juli 2016.
Almos, Rona dan Pramono. 2015. Leksikon Etnomedisin dalam Pengobatan Tradisional Minangkabau. Jurnal Arbitrer Universitas Andalas. Vol. 2, April 2015 (hal. 44-53).
Purwadi; Kriswiyanti; Eniek; Aliffiati; Wahyuni, I Gusti Ayu Sugi;  Puspita Ningsih, Dewi. 2015. Riset Khusus Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia Etnis Osing Provinsi Jawa Timur. Jakarta: Kementerian Kesehatan Ribadan Penelitian dan Pengembangan Kesehatanbalai Besar Penelitian dan Pengembangantanaman Obat dan Obat Tradisional.
Sari, Aniska Novita;  Rahmawati, Nuning; Erlan, Ahmad; dan Ningsi. 2017. Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisindan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitasdi Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah. Jakarta: Kementerian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional.
Ihsan, Sunandar; Kasmawati, Henny; dan Suryani. 2016. “Studi Etnomedisin Obat Tradisional Lansau Khas Suku Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Pharmauho, Majalah Farmasi, Sains, dan Kesehatan. Volume 2, No. 1, Hal. 27-32.
Foster, George dan Anderson, Barbara 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press.
Danandjaja, James. 1996. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.
Pramono. 2009. “Teks Mantra dalam Naskah-naskah Minangkabau”. Persidangan antar Bangsa Manuskrip Melayu Jabatan Sejarah Fakulti Sastra dan Sain Sosial Jabatan Kesusastraan Melayu, Akademi Kajian Melayu, University Malaya. Pada 23-15 November 2009.
Andri, Wirma. 2012. “Pengobatan Tradisional dalam Naskah Kuno Koleksi Surau Tarekat Syattariyah di Pariangan: Transliterasi dan Analisis Etnomedisin”. (skripsi). Padang : Fakultas Ilmu Budaya Universitas AndalaS.
Sugiharto, F.B., Luar, P. & Negeri, S.P., 2016. Transfer of Knowledge Keterampilan Pengobatan Tradisional Pijat Sangkal Putung. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan, Volume 1 Nomor 9, (Hal.1864–1868).
Suryaningsi, T., 2015. Peranan Sando dalam Pengobatan Tradisional pada Masyarakat Onembute. Walasuji, Volume 6 Nomor 2, (Hal. 479–493).
Mungmachon, M.R., 2012. Knowledge and Local Wisdom : Community Treasure. International Journal of Humanities and Social Science, 2(13), pp.174–181. Available at: http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_2_No_13_July_2012/18.pdf.
Mustofa, Fanie Indrian Dan Mujahid, Rohmat. 2017. Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Rahayu, Mulyati; Sunarti, Siti; Sulistiarini, Diah; dan Prawiroatmodjo, Suhardjono. 2006.  “Pemanfaatan Tumbuhan Obat secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal di Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara”. Dalam Biodiversitas. Volume 7, Nomor 3 (Hal. 245-250).
Indrawati; Sabilu, Yusuf; dan Ompo, Alda. 2014. Pengetahuandan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara. Biowallacea Vol. 1 (1), April 2014,: (Hal. 39-48).




PROSIDING SEMINAR NASIONAL

BANTUAN PEMERINTAH
FASILITASI KOMUNITAS KESEJARAHAN TAHUN 2019
Event Kesejarahan


PENGEMBANGAN KAJIAN ETNOMEDISIN DALAM MEMPERKUAT KARAKTER GENERASI MUDA

AULA KANTOR PT. DACHTRACO RAYA, JL. H. SUFU YUSUF NO 1 KOTA KENDARI
Kendari, 29 September 2019
 
HIMPUNAN SARJANA PENDIDIKAN ILMU-ILMU SOSIAL INDONESIA (HISPISI-SULAWESI TENGGARA)




PROSIDING SEMINAR NASIONAL
Bantuan Pemerintah
Fasilitasi Komunitas Kesejarahan Tahun 2019
Event Kesejarahan

Pengembangan Kajian Etnomedisin
dalam Memperkuat Karakter Generasi Muda

Panitia Pelaksana
Sukadi Linta, S.Pd, M.Pd.            Ketua
Sudarso, S.Pd, M.Pd                   Sekertaris
Andriani Taufik, S.Pd, M. Pd.       Bendahara   

Steering Commite:
Dr. Misran Safar, M. Si
Drs. Ali Hadara, M. Hum
Dr. La Ode Ali Basri, S.Pd, M.Si
Pendais Haq, S.Ag, M. Pd

Reviewer:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd

Editor:
Ahmad, S.Pd, M.Pd
Sudarso, S. Pd, M. Pd.

ISBN: 978-602-60719-7-2

Penerbit:
Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia
(HISPISI-Sulawesi Tenggara)



 



2 komentar:

  1. KISAH CERITA AYAH SAYA SEMBUH BERKAT BANTUAN ABAH HJ MALIK IBRAHIM

    Assalamualaikum saya atas nama Rany anak dari bapak Bambang saya ingin berbagi cerita masalah penyakit yang di derita ayah saya, ayah saya sudah 5 tahun menderita penyakit aneh yang tidak masuk akal, bahkan ayah saya tidak aktif kerja selama 5 tahun gara gara penyakit yang di deritanya, singkat cerita suatu hari waktu itu saya bermain di rmh temen saya dan kebetulan saya ada waktu itu di saat proses pengobatan ibu temen saya lewat HP , percaya nda percaya subahana lah di hari itu juga mama temen saya langsung berjalan yang dulu'nya cuma duduk di kursi rodah selama 3 tahun,singkat cerita semua orang yang waktu itu menyaksikan pengobatan bapak kyai hj Malik lewat ponsel, betul betul kaget karena mama temen saya langsung berjalan setelah di sampaikan kepada hj Malik untuk berjalan,subahanallah, dan saya juga memberanikan diri meminta no hp bapak kyai hj malik, dan sesampainya saya di rmh saya juga memberanikan diri untuk menghubungi kyai hj Malik dan menyampaikan penyakit yang di derita ayah saya, dan setelah saya melakukan apa yang di perintahkan sama BPK kyai hj Malik, 1 jam kemudian Alhamdulillah bapak saya juga langsung sembuh dari penyakitnya lewat doa bapak kyai hj Malik kepada Allah subahanallah wataala ,Alhamdulillah berkat bantuan bpk ustad kyai hj Malik sekarang ayah saya sudah sembuh dari penyakit yang di deritanya selama 5 tahun, bagi saudara/i yang mau di bantu penyembuhan masalah penyakit gaib non gaib anda bisa konsultasi langsung kepada bapak kyai hj Malik no hp WA beliau 0823-5240-6469 semoga lewat bantuan beliau anda bisa terbebas dari penyakit anda. Terima kasih

    BalasHapus
  2. Borgata Hotel Casino & Spa - MapyRO
    Find parking 천안 출장샵 costs, opening hours and a parking map 대구광역 출장안마 of Borgata 전라남도 출장샵 Hotel Casino 창원 출장안마 & Spa (Things to Know) 2411 W Flamingo Road, Las 진주 출장마사지 Vegas.

    BalasHapus