Minggu, 28 Juni 2020

NILA-NILAI KARAKTER DALAM BUDAYA ETNOMEDISIN


NILA-NILAI KARAKTER DALAM BUDAYA ETNOMEDISIN
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.

A.  Pendahuluan
Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas (kerahaman hayati) yang tinggi, namun juga memiliki kekayaan atas keragaman budaya yang terekspresi dari beragamnya suku bangsa. Kekayaan keaneka ragaman hayati dan budaya tersebut menjadi ocal nasional yang harus dimanfaatkan dan dikembangkan untuk meningkatkan ketahanan dan kedaulatan bangsa. Demikian juga terhadap kekayaan tumbuhan obat dan pengetahuan tradisional terkait pemanfaatan tumbuhan obat untuk pengobatan. Kekayaan sumberdaya tumbuhan obat memiliki potensi untuk dikembangkan sekaligus potensi ancaman di masa mendatang.
Pengelolaan yang tepat akan berdampak pada kesejahteraan bangsa dan di sisi lain juga mengancam kedaulatan akibat praktek biopirasi dan kepunahan spesies karena rusaknya ekologi. Dengan demikian sangat pentingnya tersusun suatu data basis terkait kekayaan biodiversitas tumbuhan obat dan pengetahuan tradisional masyarakat dalam penggunaan tumbuhan sebagai obat. Data basis ini merupakan upaya perlindungan ocal nasional dari berbagai ancaman baik yang ocal secara internal maupun eksternal. Data basis tumbuhan obat, ramuan obat tradisional, dan kearifan ocal dalam pengelolaan pemanfaatan tumbuhan obat, akan dikembangkan berdasarkan kegiatan penelitian terstruktur dan berkelanjutan yang disebut Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA). Riset ini memetakan dan menginventarisasi pengetahuan tradisional setiap etnis dalam memanfaatkan tumbuhan untuk pengobatan dan kesehatan dari sumber informasi pengobat tradisional, melakukan koleksi langsung tumbuhan obatnya, dan mendata kearifan ocal dalam pengelolaan serta pemanfaatan tumbuhan obat. Data basis ini menjadi ocal Nasional dalam upaya perlindungan sekaligus upaya pengembangan kekayaan nasional demi sebesar besarnya kesejahteraan bangsa, sekaligus untuk ketahanan dan kedaulatan Indonesia (Purwadi, 2015).
Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas tumbuhan terbesar kedua di dunia. Di dalam biodiversitas yang tinggi tersebut, tersimpan pula potensi tumbuhan berkhasiat obat yang belum tergali dengan maksimal. Disamping kekayaan keanekaragaman tumbuhan tersebut, Indonesia juga kaya dengan keanekaragaman suku dan budaya. Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Indonesia memiliki 1.068 suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing suku memiliki khasanah yang berbeda-beda. Pada setiap suku, terdapat beraneka ragam kekayaan kearifan lokal masyarakat, termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan tumbuhan untuk pengobatan tradisional.
Pengobatan secara tradisional dilakukan menggunakan satu atau beberapa jenis tumbuhan serta berbagai bagian organ tumbuhan yang diperkirakan bermanfaat dengan cara bagian tanaman tersebut direbus, ditumbuk, diminum, dibobokkan atau dibalurkan, dan dioleskan pada bagian yang sakit. Selain menggunakan tumbuhan, pengobatan tradisional bagi masyarakat Tengger yang utama dilakukan dengan media suwuk berupa pembacaan mantera (Batoro et al., 2010).
Kepercayaan terhadap obat tradisional oleh masyarakat, karena lebih sedikit memiliki efek samping dibanding obat konvensional serta keyakinan bahwa produk alam itu lebih aman dan lebih baik dibanding produk sintetik sehingga istilah back to nature menjadi semakin populer dikalangan masyarakat. Walaupun demikian penggunaan obat tradisional yang dianggap aman oleh masyarakat perlu menjadi perhatian karena setiap bahan atau zat memiliki potensi bersifat toksik tergantung takarannya dalam tubuh (Ihsan, dkk, 2016).
Dalam dunia Melayu ditemukan penelitian pengobatan tradisional yang menggunakan naskah sebagai sumbernya, yakni yang dilakukan oleh A Samad Said (2005). Penelitian tersebut menyajikan suntingan teks pengobatan tradisional dari Naskah Melayu. Selain edisi teks, juga ada kelasifikasi jenis penyakit dan obat yang digunakan (Danandjaya, 1996).
Salah satu ramuan tradisional yang dipercaya oleh masyarakat Sulawesi Tenggara adalah Lansau yang ada pada Suku Muna. Lansau telah digunakan selama ratusan tahun yang terdiri dari 44 macam campuran bahan tumbuhan yang diambil berdasarkan kepercayaan dan nilai filosofis yang dianut oleh Masyarakat Muna. Penggunaan Lansau masih diminati oleh masyarakat suku Muna. Hal ini didasari oleh kepercayaan masyarakat bahwa obat herbal aman dikonsumsi karena tidak menimbulkan efek samping. Lansau dipercaya dapat mengobati segala jenis penyakit terutama penyakit dalam. Selain itu pengobatan dengan herbal oleh masyarakat dianggap lebih ekonomis dibanding pengobatan dari dokter. Bahan obat lansau selain terdiri dari daun-daunan dan rumput, juga terdiri dari kulit kayu atau batang. Kandungan filosofis yang terdapat dalam pengobatan yang menggunakan Lansau serta sugesti, saran dan doa dari tabib menjadikan masyarakat memperlakukan Lansau sebagai obat bagi seluruh masalah yang dihadapi terutama terkait penyakit.

B.  Beberapa Konsep terkait dengan Etnomedisin
Etnomedisin merupakan kepercayaan dan pelaksanaan medis para warga masyarakat tradisional. Secara teoritis: kepercayaan-kepercayaan medis dan pelaksanaanya merupakan unsur utama dalam tiap kebudayaan. Secara praktis: pengetahuan mengenai kepercayaan medis pribumi dan pelaksanaanya penting untuk perencanaan progran kesehatan dan dalam pengadaan pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat tradisional.
1.        Etnomedisin, yakni cabang antropologi kesehatan yang membahas tentang asal mula penyakit, sebab-sebab, dan cara pengobatan menurut kelompok masyarakat tertentu. Aspek etnomedisin merupakan aspek yang muncul seiring perkembangan kebudayaan manusia. Di bidang antropologi kesehatan, etnomedisin memunculkan termonologi yang beragam. Cabang ini sering disebut pengobatan tradisional, pengobatan primitif, tetapi etnomedisin terasa lebih netral (Foster dan Anderson, 1986: 62).
2.        Kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama. Kearifan lokal atau kearifan tradisional yaitu semua bentuk keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan lokal/tradisional merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya di bidang pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.
3.        Etnobotani adalah ilmu tumbuhan mengenai pemanfaatan tumbuh-tumbuhan dalam keperluan kehidupan sehari-hari dan adat suku bangsa.
4.        Etnofarmakologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kegunaan tumbuhan yang memiliki efek farmakologi dalam hubungannya dengan pengobatan dan pemeliharaan kesehatan oleh suatu suku bangsa.
5.        Biodiversitas (keanekaragaman hayati) adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah.
6.        Biopirasi adalah pencurian sumber daya hayati atau pengetahuan tradisional untuk kepentingan komersial oleh pihak tertentu dan merugikan pihak lainnya. Komunitas masyarakat adat adalah kelompok yang paling rentan dengan biopirasi ini, karena memiliki banyak pengetahuan yang bisa diambil begitu saja tanpa mendapatkan kompensasi yang layak dari pengetahuan mereka tersebut.
7.        Konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan sumber daya alam secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan melalui pemanfaatan secara bijaksana dan menjamin kesinambungan ketersediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keragamannya.
8.        Pendekatan etik dan emik merupakan kajian kebudayaan melalui makna bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat budaya. Etik merupakan kajian makna yang diperoleh dari pandangan orang di luar komunitas budaya tersebut. Sebaliknya, emik merupakan nilai-nilai makna yang diperoleh melalui pandangan orang yang berada dalam komunitas budaya tersebut
9.        Ramuan adalah beberapa bahan/tumbuhan yang digabung menjadi satu kesatuan digunakan dalam pengobatan tradisional.
10.    Sukora adalah ilmu ramalan dukun dalam memberi diagnosis terhadap penderita penyakit untuk mengetahui berbagai hal tentang sipenderita meliputi: apa penyakitnya, apa penyebab sakitnya, bagaimana kondisi pasiennya, bagaimana cara pengobatannya, dan siapa yang akan mengobatinya. Sukora sangat terkait erat dengan Anadalahaebu dalam hal penentuan sinbolnya sesuai perputaran bulan di langit saat sipenderita mulai jatuh sakit (lihat gambar).


 















Gambar 3. Sukora
Keterangan:
1.      Tanda     +       Posisi Matahari
2.      Tanda           Posisi Bulan
3.      Tanda              Petunjuk Arah Perhitungan.
Seorang penderita yang mulai jatuh sakit pada terbit bulan di langit:
1.      1, 10, 19, 28    Simbolnya adalah Akoi (Ino’akoi) artinya cara pengobatannya adalah dengan upacara sesajen pada roh halus, jin dan setan yang diduga mengganggunya sehingga yang bersangkutan jatuh sakit.
2.      2, 11, 20, 29    Simbolnya adalah Pepeowai artinya cara pengobatannya harus kepada Dukun.
3.      3, 12, 21, 30    Simbolnya adalah Elengua artinya penyakit sipenderita akan semakin bertambah parah kemungkinan tidak tertolong.
4.      4, 13, 22          Simbolnya adalah Kedadoha artinya sipenderita akan semakin parah akibat ada tambahan penyakit lain.
5.      5, 14, 23          Simbolnya adalah Waraka artinya sipenderita akan segera sembuh dari penyakit.
6.      6, 15, 24          Simbolnya adalah Gaugaura artinya sihir orang        .
7.      7, 16, 25          Simbolnya adalah Mondudali artinya kesetanan.
8.      8, 17, 26          Simbolnya adalah Rarambate artinya penyakit tidak terlalu parah hanya saja sipenderita terlalu manja.
9.      9, 18, 27          Simbolnya adalah Bara’asala artinya menginjak sihir secara tidak sengaja yang disimpan seseorang untuk orang lain (Al-Ashur, 2000).

C.  Nilai-nilai Karakter dalam Budaya Etnomedisin
1.    Nilai Religius
Lansau terdiri dari 44 macam jenis tumbuhan yang secara khusus diambil dari pemaknaan terhadap asal kejadian manusia. Nilai filosofis yang terkandung dari Lansau terkait erat dengan nilai spiritual yang dianut oleh Masyarakat Muna sebagai penganut agama Islam yang bercorak tasawuf.
Menurut penjelasan tabib Lansau, angka 44 merujuk pada proses kejadian pasangan manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT yaitu Adam dan Hawa. Adam diyakini diciptakan dengan 12 pasang tulang yang kemudian sepasang diberikan ke Hawa yaitu tulang rusuk sehingga tersisa 11 pasang ruas tulang. Penggunaan angka 12 tidak dijelaskan lebih lanjut oleh tabib Lansau, namun tulang punggung manusia benar terdiri dari 12 ruas. Penggunaan angka 12 dan 4 banyak terdapat dalam Al-Qur’an seperti dalam surat At Taubah (9) ayat 36: “Sungguh bilangan bulan pada sisi Allah ialah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya 4 bulan haram”. [4]. Angka 4 tersebar dalam Al Qur’an seperti dalam QS.An Nisa (4) ayat 3, QS Fatir (35) ayat 1. Dalam hadist, angka 4 secara implisit disebutkan ketika Nabi Muhammad saw menyebut penghormatan kepada Ibu 3 kali dan ditambah Ayah 1 kali (HR Muttafaq “Alaih).
Angka 12 adalah jumlah kalimat Ar rahman Ar Rahim pada kalimat pembuka Al Qur’an Bismillahi Rahmani Rahim. Dalam salah satu surat dalam Al Qur’an yang bermakan kasih sayang yaitu surat Ar Rahman terdapat ucapan yang sama yaitu kalimat “fabi ayya ala irabbikuma tukadzziban” di ulang sebanyak 31 kali dengan pembagian 12 kali merujuk peristiwa sebelum kiamat sampai terjadinya kiamat dan 19 kali merujuk pada peristiwa setelah kiamat. Hal ini dapat dilihat bahwa ayat 37 mengatakan tentang kiamat yang dikomentari dengan ayat 38 yang merupakan pengulangan yang ke 12 kali. Oleh karena itu dunia diwakili oleh angka 12. Oleh karenanya penggunaan angka 12 dan 4 dalam sistem pengobatan Suku Muna yang menggunakan Lansau memiliki kaitan dengan pemaknaan terhadap konsep pada kitab suci Al Qur’an dan pemahaman pada pola alam semesta (Ihsan, dkk, 2016).
Sebagian besar Hattra pada 5 etnis di Sulawesi Selatan adalah perempuan (64%). Hal ini kemungkinan karena kebanyakan hattra merupakan dukun bayi. Pengaruh Islam yang kuat juga dapat menyebabkan berkembangnya jumlah hattra perempuan, karena ada larangan dalam agama bagi laki-laki menyentuh wanita yang bukan muhrimnya.
Umumnya kepercayaan tentang kegunaan atau kekhasiatan suatu jenis tumbuhan obat tidak hanya diperoleh dari pengalaman, tetapi seringkali dikaitkan dengan nilai-nilai religius. Persepsi masyarakat Wawonii tentang sakit tergantung dari sudut pandang masing-masing orang. Secara umum dapat dikatakan bahwa sakit adalah keadaan yang tidak seimbang, sehingga dapat mempengaruhi kegiatan sehari-harinya. Penyebab penyakit bermacam-macam, ada yang datang dari Sangia (Sang Pencipta) dan ada yang berasal dari makhluk halus/jahat. Oleh karena itu para sando selalu mengadalkan pengobatannya dengan senantiasa memohon pertolongan kepada Sang Pencipta (Rahayu, dkk, 2006).

2.    Nilai Disiplin
Keanekaragaman jenis tumbuhan obat Fasilitas kesehatan modern terdapat di berbagai daerah, namun sando masih berperan dalam pengobatan penyakit dan perawatan pra dan pasca persalinan (Rahayu, 2006). Dalam hal ni terkait dengan waktu yang harus dipatuhi oleh dukun dan pasien yang menuntut kedisplinan, agar pasien dapat cepat sembuh.
Waktu panen yang baik menurut Tabib Lansau adalah pagi hari dan bagian tanaman yang dipanen adalah daun yang dekat dengan pucuknya karena pagi hari adalah waktu ketika embun masih ada dan matahari baru saja akan menyinari yang dalam nilai filosofisnya iklim masih dalam keadaan suci dan murni. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan metabolit sekunder pada tanaman di waktu pagi belum hilang karena belum terjadi fotosintesis oleh matahari. Kandungan metabolit tiap tanaman dapat berbeda-beda dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat tumbuh tanaman tersebut menyebabkan kandungan kimia dapat berbeda sehingga khasiat juga akan berbeda meskipun pada jenis tanaman yang sama (Sari dkk, 2017).
Kegiatan dukun menolong seorang ibu yang akan melahirkan, biasanya sangat terikat dengan waktu. Artinya dukun tidak bisa menunda-nunda untuk berlama-lama baru pergi menolong persalinan seseorang, terutama saat menjelang melahirkan. Demikian pula pertolongan kepada seseorang yang menderita penyakit, seperti: sakit perut, munta bera, dll.
 
3.    Nilai Rasa Ingin Tahu
Pengkajian tentang Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia perlu dilakukan untuk menggali pengetahuan lokal etnomedisin sebagai bagian kearifan lokal masing-masing etnis. Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA) yang telah dilaksanakan di hampir seluruh wilayah Indonesia, bekerja sama dengan Perguruan Tinggi terkemuka di masing-masing wilayah. Etnis yang diteliti meliputi 209 etnis dengan jumlah titik pengamatan 254. Terdapat 15.773 informasi ramuan, sebagian besar berkaitan dengan perilaku hidup sehat, seperti demam, sakit kepala, sakit kulit serta sakit perut. Tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan berjumlah 19.738 informasi, 13.576 berhasil diidentifikasi hingga tingkat spesies yang terdiri 1.740 spesies/jenis dari 211 familia (Purwadi, 2015).
Pengetahuan tradisional masyarakat terhadap tumbuhan obat cukup baik dan telah diturunkan dari generasi ke generasi, namun saat ini mulai terancam punah akibat perubahan sosio-budaya yang secara umum mempengaruhi nilai-nilai sosial, dimana generasi mudanya mencari alternatif pengobatan yang lebih praktis. Generasi muda cenderung lebih memilih berobat kepada mantri, Puskesmas, Polindes, dan bidan. Peran dukun bayi pun hanya terbatas pada pembacaan suwuk (doa) dan perawatan setelah melahirkan (Ningsih, 2016).

4.    Nlai Peduli Lingkungan
Bentuk konservasi tumbuhan obat yang tadinya diperoleh di hutan atau gunung, diambil dan ditanam di pekarangan rumah. Upaya budidaya ini memudahkan Hattra saat membutuhkan dalam pembuatan ramuan untuk pengobatan. Data menunjukkan bahwa sebagian besar bahan baku ramuan diperoleh dari alam, hanya 42,03% yang telah dibudidayakan. Pengambilan bahan ramuan secara langsung di alam yang terus menerus dilakukan tanpa upaya pelestarian dapat menyebabkan kelangkaan tumbuhan obat di kemudian hari. Budidaya tumbuhan obat bermanfaat bagi HATTRA, pasien maupun ekosistem, karena dengan membudidayakan tumbuhan obat yang merupakan bahan baku ramuan, maka Hattra dapat memperoleh tumbuhan obat setiap saat ketika diperlukan. Selain itu, tumbuhan obat hasil budidaya juga terjaga kualitasnya dan ekosistem liar tetap terjaga dari kelangkaan. Hattra dan masyarakat membutuhkan penyuluhan dalam upaya pelestarian tumbuhan obat melalui budidaya.
Kearifan Pengelolaan Tumbuhan Obat tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2009. Hasil Ristoja menunjukkan Jumlah tumbuhan obat yang sulit diperoleh sebanyak 127 jenis. Sebanyak 57 jenis tumbuhan obat telah dilakukan upaya pelestarian oleh Hattra. Upaya pelestarian yang dilakukan Hattra antara lain dengan cara menanam  45 jenis di kebun atau pekarangan rumah dan mengambil tumbuhan obat secara selektif 8 jenis. Budidaya merupakan salah satu bentuk konservasi SDA sebagai mana tercantum dalam UU No.32 tahun 2009 yang berperan penting dalam menjamin kesinambungan ketersediaan bahan baku ramuan obat tradisional dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Oleh karena itu, perlu digalakkan upaya budidaya tumbuhan obat baik oleh Hattra maupun masyarakat pada umumnya (Sari dkk, 2017).

5.    Nilai Peduli Sosial
Banyaknya jumlah ramuan yang dimiliki Hattra sesuai kemampuan untuk mengobati berbagai macam penyakit dengan harapan utama membantu orang lain yang sakit. Banyaknya jumlah ramuan tidak semata dimaksudkan untuk mengobati banyak pasien agar memperoleh uang yang banyak, karena banyak diantara pasien tidak membayar tunai, ada yang mengutang sapai selesai panen atau ada yang dibebaskan samasekali karena tidak mampu. Kondisi sosial ekonomi masyarakat desa, menyadarkan para Hattra untuk memberikan layanan sosial dengan gratispun jika menerima pasien yang benar-benar tidak mampu.
Tabel 1. Jumlah Ramuan digunakan dalam Pengobatan Hattra Etnis Osing
                                              Kabupaten Banyuwangi RISTOJA 2015
No
Nama Dukun
Jumlah Ramuan
Keterangan
1
H. Djohadi Timbul
32

2
H. Slamet Utomo
28

3
H. Hanik Jaelani
42

4
Abdul Hadi
27

5
Anang Mahmud
36


Jumlah
165

Jumlah rata-rata ramuan yang dimiliki adalah 30 ramuan/informan, dimana pada informan nomor 3 yaitu Bapak H. Hanik Jaelani memiliki jumlah ramuan yang paling banyak (42), beliau merupakan Hattra yang dalam mengobati memadukan teknik pijat refleksi dengan minum ramuan/jamu. Sedangkan Bapak Abdul Hadi memiliki 27 ramuan, meskipun demikian jumlah pasiennya jauh lebih banyak dari informan yang lain (600 pasien/bulan). Bapak Abdul Hadi oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai dukun pijat dan suwuk yaitu metode pengobatan dengan supranatural, teknik pengobatan Pak Abdul Hadi memadukan teknik pijat, minum ramuan/jamu, dan suwuk, penggunaan 3 teknik tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan pasien. Pasien dari bayi hingga orang dewasa.
Rata-rata Hattra  mewariskan ilmu dan keterampilan kepada anaknya. dengan demikian, diantara anak mereka mulai ada berprofesi seperti ayahnya, artinya ada yang mewarisi keterampilan mengobati. Sebagian besar Hattra di Sulawesi Selatan tidak sekolah atau tidak tamat SD (60%). Di Pulau Sulawesi, Hattra dikenal dengan sebutan sando (Bahasa Tolaki) sanro (Bahasa Bugis), yang bermakna dukun (Suryaningsi 2015). Sebagian Hattra berpendapat bahwa pengobatan bukanlah pekerjaan, namun suatu kegiatan sosial untuk menolong orang lain. Selain itu Hattra biasanya memahami bahwa pasien yang datang berkunjung berasal dari masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga tidak menuntut mereka untuk membayar pengobatannya.
Pengobatan dilakukan dengan bayaran yang variatif dan umumnya tidak ditentukan tarif setiap pasien, kecuali kerelaan dan kebiasaan dari pasien sebelumnya. Kondisi ini memperlihatkan adanya kepedulian sosial dari Hattra untuk membantu sesamanya.

6.    Nilai Bersahabat/Komunikatif
  Pengetahuan tumbuhan obat sebagai salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat merupakan pengetahuan yang didapat dari proses interaksi manusia dengan lingkungan, baik melalui pengalaman pencobaan atau karena mencontoh makhluk hidup yang lain. Pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan obat didapat oleh masyarakat dari generasi sebelumnya. Hal ini ditunjukkan ketika wawancara mereka selalu menyarankan agar bertanya pada orang yang lebih tua, karena orang tua lebih banyak pengalaman dan juga banyak mengetahui informasi mengenai tumbuhan yang bisa digunakan sebagai obat. Pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan sebagai obat: (1) diwariskan dari generasi ke generasi, (2) Interaksi penduduk dengan suku lain. Pola perdagangan sumberdaya alam antar daerah berdampak tidak saja pada peningkatan ekonomi, tetapi juga adanya pertukaran pengetahuan. Ketika masyarakat menjual hasil perkebunannya ke kota, mereka bertemu dengan berbagai suku lain yang ada di kota tersebut, saat itulah terjadi pertukaran ekonomi, informasi dan pengetahuan (Indrawati, 2014).
Pengetahuan pengobatan tradisional Hattra tidak hanya diperoleh dari satu sumber, namun lebih dari 80 persen berasal dari keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan empiris pengobatan tradisional, tidak diwariskan kepada sembarang orang, tetapi pada anggota keluarga terpilih yang diyakini mampu untuk meneruskan ilmu pengobatan tersebut. Pola pewarisan Hattra dilakukan melalui jalur sistem pendidikan informal. Menurut Sugiharto et al. (2016), pendidikan informal mempunyai peran yang sangat vital dalam proses pewarisan kearifan lokal kepada generasi berikutnya.
Menurut Sugiharto et al. (2016), pengobatan tradisional merupakan kearifan lokal yang berfokus pada upaya kesehatan, dan hal ini telah diturunkan dalam konsep kekeluargaan. Adanya proses pewarisan kearifan lokal diperkuat oleh Mungmachon (2012) yang menjelaskan bahwa pengetahuan masyarakat ditularkan melalui tradisi. Model pembelajaran seprti ini biasanya dilakukan melalui system indigenous learning system atau system belajar asli, yang terjadi dalam jalur pendidikan informal.


7.    Nilai Tanggung Jawab
Sebagian Hattra berpendapat bahwa pengobat bukanlah pekerjaan utama, namun suatu kegiatan sosial untuk menolong orang lain. Selain itu, Hattra umunya memahami bahwa pasien yang datang berkunjung berasal dari masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga tidak menuntut mereka untuk membayar pengobatannya dengan standar tertentu.
Menurut penelitian Suryaningsi (2015), salah satu alasan masyarakat berobat ke Hattra karena ia tidak meminta bayaran, akan tetapi menurut keikhlasan dan dapat diberikan/dibayarkan pada waktu lain, jika pasien sudah mendapatkan rezeki/uang. Dari hasil RISTOJA 2017 di Sulawesi Selatan, beberapa pertolongan Hattra tidak dibalas dengan uang, tapi dengan barang lain seperti ayam, ikan dan hasil kebun pasien. Bahkan pemberian tersebut dapat ditunda sampai panen atau sampai pasien mendapatkan rezeki/uang.

D.  Penutup
Terdapat berbagai jenis TO yang dimanfaatkan sebagai  obat tradisional oleh masyarakat Bagian (organ) tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional meliputi daun, batang, kulit batang, buah, rimpang, umbi, dan getah. Pemanfaatan tumbuhan obat dilakukan dengan beragam cara diantaranya dengan cara direbus, ditumbuk, diperas, direndam, dibakar, digoreng,  digosok, dilumerkan, diremas dan tanpa pengolahan yang kemudian digunakan baik secara tunggal maupun campuran Khasiat tumbuhan obat tradisional untuk mengobati berbagai jenis penyakit.
Terdapat 7 nilai karakter yang dikembangkan dalam budaya etnomedisin. Nilai diamsud, yaitu: religious, disiplin, rasaingin tahu, peduli lingkungan, peduli social, bersahabat, dan tanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA



Ningsih, Indah Yulia. 2016.  Tudi Etnofarmasi Penggunaan Tumbuhan Obat Oleh Suku Tengger  di Kabupaten Lumajang dan Malang, Jawa Timur”. Pharmacy, Vol. 13 No. 01 Juli 2016.
Almos, Rona dan Pramono. 2015. Leksikon Etnomedisin dalam Pengobatan Tradisional Minangkabau. Jurnal Arbitrer Universitas Andalas. Vol. 2, April 2015 (hal. 44-53).
Purwadi; Kriswiyanti; Eniek; Aliffiati; Wahyuni, I Gusti Ayu Sugi;  Puspita Ningsih, Dewi. 2015. Riset Khusus Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia Etnis Osing Provinsi Jawa Timur. Jakarta: Kementerian Kesehatan Ribadan Penelitian dan Pengembangan Kesehatanbalai Besar Penelitian dan Pengembangantanaman Obat dan Obat Tradisional.
Sari, Aniska Novita;  Rahmawati, Nuning; Erlan, Ahmad; dan Ningsi. 2017. Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisindan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitasdi Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah. Jakarta: Kementerian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional.
Ihsan, Sunandar; Kasmawati, Henny; dan Suryani. 2016. “Studi Etnomedisin Obat Tradisional Lansau Khas Suku Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Pharmauho, Majalah Farmasi, Sains, dan Kesehatan. Volume 2, No. 1, Hal. 27-32.

Foster, George dan Anderson, Barbara 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press.
Danandjaja, James. 1996. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.
Pramono. 2009. “Teks Mantra dalam Naskah-naskah Minangkabau”. Persidangan antar Bangsa Manuskrip Melayu Jabatan Sejarah Fakulti Sastra dan Sain Sosial Jabatan Kesusastraan Melayu, Akademi Kajian Melayu, University Malaya. Pada 23-15 November 2009.
Andri, Wirma. 2012. “Pengobatan Tradisional dalam Naskah Kuno Koleksi Surau Tarekat Syattariyah di Pariangan: Transliterasi dan Analisis Etnomedisin”. (skripsi). Padang : Fakultas Ilmu Budaya Universitas AndalaS.
Sugiharto, F.B., Luar, P. & Negeri, S.P., 2016. Transfer of Knowledge Keterampilan Pengobatan Tradisional Pijat Sangkal Putung. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan, Volume 1 Nomor 9, (Hal.1864–1868).
Suryaningsi, T., 2015. Peranan Sando dalam Pengobatan Tradisional pada Masyarakat Onembute. Walasuji, Volume 6 Nomor 2, (Hal. 479–493).
Mungmachon, M.R., 2012. Knowledge and Local Wisdom : Community Treasure. International Journal of Humanities and Social Science, 2(13), pp.174–181. Available at: http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_2_No_13_July_2012/18.pdf.
Mustofa, Fanie Indrian Dan Mujahid, Rohmat. 2017. Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Rahayu, Mulyati; Sunarti, Siti; Sulistiarini, Diah; dan Prawiroatmodjo, Suhardjono. 2006.  “Pemanfaatan Tumbuhan Obat secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal di Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara”. Dalam Biodiversitas. Volume 7, Nomor 3 (Hal. 245-250).
Indrawati; Sabilu, Yusuf; dan Ompo, Alda. 2014. Pengetahuandan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene di Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara. Biowallacea Vol. 1 (1), April 2014, (Hal. 39-48).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.



NILA-NILAI KARAKTER DALAM BUDAYA ETNOMEDISIN










Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.

Makalah
Disampaikan dalam seminar:
PENGEMBANGAN KAJIAN ETNOMEDISIN DALAM MEMPERKUAT KARAKTER GENERASI MUDA DI SULAWESI TENGGARA, Diselenggarakan oleh
Yayasan Amanah Kesejahteraan Masyarakat Pedesaan (YAKMADES)
di Aula  Dachtraco Raya Tanggal 29 September 2019











PENITIA PELAKSANA
YAYASAN AMANAH KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PEDESAAN
(YAKMADES)
KENDARI
2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar