NILA-NILAI KARAKTER DALAM
BUDAYA ETNOMEDISIN
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.
A. Pendahuluan
Indonesia
memiliki kekayaan biodiversitas
(kerahaman hayati) yang tinggi, namun juga memiliki kekayaan atas keragaman
budaya yang terekspresi dari beragamnya suku bangsa. Kekayaan keaneka ragaman
hayati dan budaya tersebut menjadi ocal nasional yang harus dimanfaatkan dan
dikembangkan untuk meningkatkan ketahanan dan kedaulatan bangsa. Demikian juga
terhadap kekayaan tumbuhan obat dan pengetahuan tradisional terkait pemanfaatan
tumbuhan obat untuk pengobatan. Kekayaan sumberdaya tumbuhan obat memiliki
potensi untuk dikembangkan sekaligus potensi ancaman di masa mendatang.
Pengelolaan
yang tepat akan berdampak pada kesejahteraan bangsa dan di sisi lain juga
mengancam kedaulatan akibat praktek biopirasi dan kepunahan spesies karena rusaknya ekologi. Dengan demikian sangat
pentingnya tersusun suatu data basis terkait kekayaan biodiversitas tumbuhan
obat dan pengetahuan tradisional masyarakat dalam penggunaan tumbuhan sebagai
obat. Data basis ini merupakan upaya perlindungan ocal nasional dari berbagai
ancaman baik yang ocal secara internal maupun eksternal. Data basis tumbuhan
obat, ramuan obat tradisional, dan kearifan ocal dalam pengelolaan pemanfaatan
tumbuhan obat, akan dikembangkan berdasarkan kegiatan penelitian terstruktur
dan berkelanjutan yang disebut Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA). Riset ini
memetakan dan menginventarisasi pengetahuan tradisional setiap etnis dalam
memanfaatkan tumbuhan untuk pengobatan dan kesehatan dari sumber informasi
pengobat tradisional, melakukan koleksi langsung tumbuhan obatnya, dan mendata
kearifan ocal dalam pengelolaan serta pemanfaatan tumbuhan obat. Data basis ini
menjadi ocal Nasional dalam upaya perlindungan sekaligus upaya pengembangan
kekayaan nasional demi sebesar besarnya kesejahteraan bangsa, sekaligus untuk
ketahanan dan kedaulatan Indonesia (Purwadi, 2015).
Indonesia
merupakan negara dengan biodiversitas tumbuhan terbesar kedua di dunia. Di dalam biodiversitas yang tinggi
tersebut, tersimpan pula potensi tumbuhan berkhasiat obat yang belum tergali dengan maksimal. Disamping
kekayaan keanekaragaman tumbuhan tersebut, Indonesia juga kaya dengan keanekaragaman suku dan budaya. Biro Pusat
Statistik (BPS) menyebutkan Indonesia memiliki
1.068 suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing suku
memiliki khasanah yang berbeda-beda. Pada setiap suku, terdapat beraneka ragam kekayaan kearifan lokal
masyarakat, termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan
tumbuhan untuk pengobatan tradisional.
Pengobatan secara tradisional dilakukan menggunakan satu atau beberapa jenis tumbuhan serta berbagai bagian organ tumbuhan yang diperkirakan bermanfaat dengan cara bagian tanaman tersebut direbus, ditumbuk, diminum, dibobokkan atau dibalurkan, dan dioleskan pada bagian yang sakit. Selain menggunakan tumbuhan, pengobatan tradisional bagi masyarakat Tengger yang utama dilakukan dengan media suwuk berupa pembacaan mantera (Batoro et al.,
2010).
Kepercayaan terhadap obat tradisional oleh masyarakat, karena lebih sedikit memiliki efek samping dibanding obat
konvensional serta keyakinan bahwa
produk alam itu lebih aman dan lebih
baik dibanding produk sintetik sehingga istilah back to nature menjadi semakin populer dikalangan masyarakat. Walaupun demikian penggunaan
obat tradisional yang dianggap aman
oleh masyarakat perlu menjadi
perhatian karena setiap bahan atau zat memiliki potensi bersifat toksik tergantung takarannya dalam tubuh (Ihsan, dkk, 2016).
Dalam dunia Melayu ditemukan penelitian pengobatan tradisional yang menggunakan naskah sebagai sumbernya, yakni yang dilakukan oleh A Samad Said (2005). Penelitian tersebut menyajikan suntingan
teks pengobatan tradisional dari Naskah
Melayu. Selain edisi teks, juga
ada kelasifikasi jenis penyakit dan
obat yang digunakan (Danandjaya, 1996).
Salah satu ramuan tradisional yang dipercaya oleh masyarakat Sulawesi Tenggara adalah Lansau yang ada pada Suku Muna. Lansau telah digunakan selama ratusan tahun yang terdiri dari 44 macam campuran bahan
tumbuhan yang diambil berdasarkan
kepercayaan dan nilai filosofis yang dianut
oleh Masyarakat Muna.
Penggunaan Lansau masih diminati oleh
masyarakat suku Muna. Hal ini didasari
oleh kepercayaan masyarakat bahwa obat herbal aman dikonsumsi karena tidak menimbulkan efek samping. Lansau dipercaya dapat mengobati segala jenis penyakit
terutama penyakit dalam. Selain itu
pengobatan dengan herbal oleh masyarakat
dianggap lebih ekonomis dibanding pengobatan
dari dokter. Bahan obat lansau selain terdiri dari daun-daunan dan rumput, juga terdiri dari kulit kayu atau
batang. Kandungan filosofis yang terdapat dalam pengobatan yang menggunakan Lansau serta sugesti, saran dan doa dari tabib menjadikan
masyarakat memperlakukan Lansau
sebagai obat bagi seluruh masalah
yang dihadapi terutama terkait penyakit.
B.
Beberapa Konsep
terkait dengan Etnomedisin
Etnomedisin merupakan kepercayaan
dan pelaksanaan medis para warga masyarakat tradisional. Secara teoritis: kepercayaan-kepercayaan medis
dan pelaksanaanya merupakan unsur utama dalam tiap kebudayaan. Secara praktis: pengetahuan mengenai kepercayaan medis
pribumi dan pelaksanaanya penting untuk perencanaan progran kesehatan dan dalam
pengadaan pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat tradisional.
1.
Etnomedisin,
yakni cabang antropologi kesehatan yang membahas tentang asal mula penyakit, sebab-sebab, dan cara pengobatan menurut kelompok masyarakat tertentu. Aspek etnomedisin merupakan aspek yang muncul seiring perkembangan kebudayaan manusia. Di bidang antropologi kesehatan, etnomedisin memunculkan termonologi yang beragam. Cabang ini sering disebut pengobatan tradisional, pengobatan primitif, tetapi etnomedisin terasa lebih netral (Foster dan Anderson, 1986: 62).
2.
Kearifan lokal merupakan
pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya yang
diekspresikan di dalam tradisi dan mitos
yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama. Kearifan lokal atau kearifan tradisional yaitu semua bentuk keyakinan,
pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan
atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan
lokal/tradisional merupakan bagian dari etika dan moralitas
yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak
khususnya di bidang pengelolaan lingkungan
dan sumber daya alam.
3.
Etnobotani adalah
ilmu tumbuhan mengenai pemanfaatan tumbuh-tumbuhan dalam keperluan kehidupan sehari-hari dan adat
suku bangsa.
4.
Etnofarmakologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang kegunaan tumbuhan yang memiliki efek farmakologi dalam hubungannya
dengan pengobatan dan pemeliharaan
kesehatan oleh suatu suku bangsa.
5.
Biodiversitas
(keanekaragaman hayati) adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan variasi gen, jenis,
dan ekosistem pada suatu daerah.
6.
Biopirasi adalah
pencurian sumber daya hayati atau pengetahuan tradisional untuk kepentingan komersial oleh pihak tertentu
dan merugikan pihak lainnya. Komunitas masyarakat
adat adalah kelompok yang paling rentan dengan biopirasi ini, karena memiliki banyak pengetahuan yang bisa
diambil begitu saja tanpa mendapatkan kompensasi
yang layak dari pengetahuan mereka tersebut.
7.
Konservasi adalah
pemeliharaan dan perlindungan sumber daya alam secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan
melalui pemanfaatan secara bijaksana dan
menjamin kesinambungan ketersediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keragamannya.
8.
Pendekatan etik
dan emik merupakan kajian kebudayaan melalui makna bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat
budaya. Etik merupakan kajian
makna yang diperoleh dari pandangan orang di
luar komunitas budaya tersebut. Sebaliknya, emik merupakan nilai-nilai makna yang diperoleh melalui pandangan orang
yang berada dalam komunitas budaya tersebut
9.
Ramuan adalah
beberapa bahan/tumbuhan yang digabung menjadi satu kesatuan digunakan dalam pengobatan tradisional.
10. Sukora
adalah ilmu ramalan dukun dalam memberi diagnosis terhadap penderita penyakit untuk mengetahui berbagai hal tentang
sipenderita meliputi: apa
penyakitnya, apa penyebab sakitnya,
bagaimana kondisi pasiennya,
bagaimana cara pengobatannya, dan siapa yang akan mengobatinya. Sukora sangat
terkait erat dengan Anadalahaebu
dalam hal penentuan sinbolnya sesuai perputaran bulan di langit saat sipenderita mulai jatuh sakit (lihat gambar).
Gambar 3. Sukora
Keterangan:
1.
Tanda + Posisi Matahari
2.
Tanda – Posisi Bulan
3.
Tanda Petunjuk Arah Perhitungan.
Seorang penderita yang mulai jatuh sakit pada terbit bulan
di langit:
1.
1, 10, 19, 28 Simbolnya adalah Akoi
(Ino’akoi) artinya cara
pengobatannya adalah dengan upacara sesajen pada roh halus, jin dan setan yang diduga mengganggunya
sehingga yang bersangkutan jatuh sakit.
2.
2, 11, 20, 29 Simbolnya adalah Pepeowai
artinya cara pengobatannya harus kepada Dukun.
3.
3, 12, 21, 30 Simbolnya adalah Elengua
artinya penyakit sipenderita akan semakin bertambah parah kemungkinan tidak
tertolong.
4.
4, 13, 22 Simbolnya adalah Kedadoha
artinya sipenderita akan semakin parah akibat ada tambahan penyakit lain.
5.
5, 14, 23 Simbolnya adalah Waraka
artinya sipenderita akan segera sembuh dari penyakit.
6.
6, 15, 24 Simbolnya adalah Gaugaura
artinya sihir orang .
7.
7, 16, 25 Simbolnya adalah Mondudali
artinya kesetanan.
8.
8, 17, 26 Simbolnya adalah Rarambate
artinya penyakit tidak terlalu parah hanya saja sipenderita terlalu manja.
9.
9, 18, 27 Simbolnya adalah Bara’asala
artinya menginjak sihir secara tidak sengaja yang disimpan seseorang untuk orang lain (Al-Ashur, 2000).
C.
Nilai-nilai Karakter dalam Budaya
Etnomedisin
1.
Nilai Religius
Lansau terdiri dari 44 macam jenis tumbuhan
yang secara khusus diambil dari pemaknaan
terhadap asal kejadian manusia. Nilai filosofis
yang terkandung dari Lansau
terkait erat dengan nilai spiritual yang dianut oleh
Masyarakat Muna sebagai penganut agama Islam
yang bercorak tasawuf.
Menurut penjelasan tabib Lansau, angka 44
merujuk pada proses kejadian pasangan
manusia pertama yang diciptakan
oleh Allah SWT yaitu Adam dan Hawa.
Adam diyakini diciptakan dengan 12 pasang tulang
yang kemudian sepasang diberikan ke Hawa yaitu
tulang rusuk sehingga tersisa 11 pasang ruas tulang.
Penggunaan angka 12 tidak dijelaskan lebih lanjut
oleh tabib Lansau, namun tulang punggung manusia
benar terdiri dari 12 ruas. Penggunaan angka 12 dan
4 banyak terdapat dalam Al-Qur’an
seperti dalam surat At Taubah (9) ayat 36: “Sungguh
bilangan bulan pada
sisi Allah ialah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi,
diantaranya 4 bulan
haram”. [4]. Angka 4 tersebar dalam Al Qur’an seperti dalam QS.An Nisa (4) ayat 3, QS
Fatir (35) ayat 1. Dalam hadist, angka 4 secara
implisit disebutkan ketika
Nabi Muhammad saw menyebut penghormatan kepada Ibu 3 kali dan ditambah Ayah 1 kali
(HR Muttafaq “Alaih).
Angka 12 adalah jumlah kalimat Ar rahman Ar Rahim pada kalimat pembuka Al Qur’an Bismillahi
Rahmani Rahim. Dalam salah satu surat
dalam Al Qur’an yang bermakan kasih
sayang yaitu surat Ar Rahman terdapat ucapan
yang sama yaitu kalimat “fabi ayya ala irabbikuma tukadzziban” di ulang sebanyak 31 kali dengan pembagian 12 kali merujuk peristiwa
sebelum kiamat sampai terjadinya
kiamat dan 19 kali merujuk pada
peristiwa setelah kiamat. Hal ini dapat dilihat bahwa ayat 37 mengatakan tentang kiamat yang dikomentari dengan ayat 38 yang merupakan pengulangan yang ke 12 kali. Oleh karena itu dunia diwakili oleh angka 12. Oleh karenanya penggunaan angka 12 dan 4
dalam sistem pengobatan Suku Muna
yang menggunakan Lansau memiliki
kaitan dengan pemaknaan terhadap konsep
pada kitab suci Al Qur’an dan pemahaman pada pola alam semesta (Ihsan, dkk, 2016).
Sebagian besar Hattra pada 5 etnis di
Sulawesi Selatan adalah perempuan (64%). Hal ini
kemungkinan karena kebanyakan hattra merupakan dukun bayi. Pengaruh Islam yang kuat juga dapat menyebabkan
berkembangnya jumlah hattra perempuan, karena
ada larangan dalam agama bagi laki-laki
menyentuh wanita yang bukan
muhrimnya.
Umumnya kepercayaan
tentang kegunaan atau kekhasiatan suatu jenis tumbuhan obat tidak hanya
diperoleh dari pengalaman, tetapi seringkali dikaitkan dengan nilai-nilai
religius. Persepsi masyarakat Wawonii tentang sakit tergantung dari sudut
pandang masing-masing orang. Secara umum dapat dikatakan bahwa sakit adalah keadaan yang tidak seimbang, sehingga dapat mempengaruhi
kegiatan sehari-harinya. Penyebab penyakit bermacam-macam, ada yang datang dari
Sangia (Sang Pencipta) dan ada yang berasal dari makhluk halus/jahat. Oleh
karena itu para sando selalu mengadalkan pengobatannya dengan senantiasa
memohon pertolongan kepada Sang Pencipta (Rahayu, dkk, 2006).
2.
Nilai Disiplin
Keanekaragaman jenis
tumbuhan obat Fasilitas kesehatan modern terdapat di berbagai daerah, namun
sando masih berperan dalam pengobatan penyakit dan perawatan pra dan pasca persalinan (Rahayu, 2006). Dalam hal ni terkait dengan
waktu yang harus dipatuhi oleh dukun dan pasien yang menuntut kedisplinan, agar
pasien dapat cepat sembuh.
Waktu panen yang baik menurut Tabib Lansau adalah pagi hari dan bagian tanaman yang
dipanen adalah daun yang dekat dengan
pucuknya karena pagi hari
adalah waktu ketika embun masih ada dan matahari baru
saja akan menyinari yang dalam nilai filosofisnya iklim
masih dalam keadaan suci dan murni. Hal ini menunjukkan
bahwa kandungan metabolit sekunder pada
tanaman di waktu pagi belum hilang karena belum terjadi
fotosintesis oleh matahari. Kandungan metabolit tiap
tanaman dapat berbeda-beda dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan tempat tumbuh tanaman tersebut menyebabkan
kandungan kimia dapat berbeda sehingga khasiat
juga akan berbeda meskipun pada jenis
tanaman yang sama (Sari
dkk, 2017).
Kegiatan
dukun menolong seorang ibu yang akan melahirkan, biasanya sangat terikat dengan
waktu. Artinya dukun tidak bisa menunda-nunda untuk berlama-lama baru pergi
menolong persalinan seseorang, terutama saat menjelang melahirkan. Demikian
pula pertolongan kepada seseorang yang menderita penyakit, seperti: sakit
perut, munta bera, dll.
3.
Nilai
Rasa Ingin Tahu
Pengkajian tentang Pengetahuan Lokal
Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia perlu dilakukan
untuk menggali pengetahuan lokal etnomedisin sebagai bagian kearifan lokal
masing-masing etnis. Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA) yang telah dilaksanakan di hampir seluruh wilayah Indonesia, bekerja
sama dengan Perguruan Tinggi terkemuka di masing-masing wilayah. Etnis yang
diteliti meliputi 209 etnis dengan jumlah titik pengamatan 254. Terdapat 15.773
informasi ramuan, sebagian besar berkaitan dengan perilaku hidup sehat, seperti
demam, sakit kepala, sakit kulit serta sakit perut. Tumbuhan yang digunakan
dalam pengobatan berjumlah 19.738 informasi, 13.576 berhasil diidentifikasi
hingga tingkat spesies yang terdiri 1.740 spesies/jenis dari 211 familia (Purwadi, 2015).
Pengetahuan tradisional masyarakat terhadap tumbuhan obat cukup baik dan telah diturunkan dari generasi ke generasi, namun saat ini mulai terancam punah akibat perubahan sosio-budaya yang secara umum mempengaruhi nilai-nilai sosial, dimana generasi mudanya mencari alternatif pengobatan yang lebih praktis. Generasi muda cenderung lebih memilih berobat kepada mantri, Puskesmas, Polindes, dan bidan. Peran dukun bayi pun hanya terbatas pada pembacaan suwuk (doa) dan perawatan setelah melahirkan (Ningsih, 2016).
4.
Nlai
Peduli Lingkungan
Bentuk konservasi tumbuhan obat
yang tadinya diperoleh di hutan atau gunung, diambil dan ditanam di pekarangan rumah. Upaya budidaya ini
memudahkan Hattra saat membutuhkan dalam pembuatan ramuan untuk pengobatan. Data menunjukkan bahwa sebagian
besar bahan baku ramuan diperoleh dari alam, hanya 42,03% yang telah
dibudidayakan. Pengambilan bahan ramuan secara langsung di alam yang terus
menerus dilakukan tanpa upaya pelestarian dapat menyebabkan kelangkaan tumbuhan
obat di kemudian hari. Budidaya tumbuhan obat bermanfaat bagi HATTRA, pasien
maupun ekosistem, karena dengan membudidayakan tumbuhan obat yang merupakan
bahan baku ramuan, maka Hattra dapat memperoleh tumbuhan
obat setiap saat ketika diperlukan. Selain itu, tumbuhan obat hasil budidaya
juga terjaga kualitasnya dan ekosistem liar tetap terjaga dari kelangkaan.
Hattra dan masyarakat membutuhkan penyuluhan dalam upaya pelestarian tumbuhan
obat melalui budidaya.
Kearifan Pengelolaan
Tumbuhan Obat tertuang dalam UU No. 32
Tahun 2009. Hasil Ristoja menunjukkan Jumlah tumbuhan obat yang sulit diperoleh
sebanyak 127 jenis. Sebanyak 57 jenis tumbuhan
obat telah dilakukan upaya pelestarian oleh Hattra. Upaya pelestarian yang
dilakukan Hattra antara lain
dengan cara menanam 45 jenis di kebun atau pekarangan rumah dan
mengambil tumbuhan obat secara selektif
8 jenis. Budidaya merupakan salah satu bentuk konservasi SDA sebagai mana
tercantum dalam UU No.32 tahun 2009 yang berperan penting dalam menjamin kesinambungan ketersediaan bahan
baku ramuan obat tradisional dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Oleh
karena itu, perlu digalakkan upaya budidaya tumbuhan obat baik oleh Hattra maupun masyarakat pada
umumnya (Sari dkk, 2017).
5.
Nilai
Peduli Sosial
Banyaknya jumlah
ramuan yang dimiliki Hattra sesuai kemampuan untuk mengobati berbagai macam
penyakit dengan harapan utama membantu orang lain yang
sakit. Banyaknya jumlah ramuan tidak semata dimaksudkan untuk mengobati banyak pasien agar
memperoleh uang yang banyak, karena banyak diantara pasien tidak membayar
tunai, ada yang mengutang sapai selesai panen atau ada yang dibebaskan
samasekali karena tidak mampu. Kondisi sosial ekonomi masyarakat desa,
menyadarkan para Hattra untuk
memberikan layanan sosial dengan gratispun jika menerima pasien yang
benar-benar tidak mampu.
Tabel 1. Jumlah Ramuan
digunakan dalam Pengobatan Hattra Etnis Osing
Kabupaten
Banyuwangi RISTOJA 2015
No
|
Nama Dukun
|
Jumlah Ramuan
|
Keterangan
|
1
|
H.
Djohadi Timbul
|
32
|
|
2
|
H.
Slamet Utomo
|
28
|
|
3
|
H.
Hanik Jaelani
|
42
|
|
4
|
Abdul
Hadi
|
27
|
|
5
|
Anang
Mahmud
|
36
|
|
|
Jumlah
|
165
|
|
Jumlah rata-rata ramuan yang dimiliki
adalah 30 ramuan/informan, dimana pada informan
nomor 3 yaitu Bapak H. Hanik Jaelani memiliki jumlah ramuan yang paling banyak (42), beliau merupakan Hattra yang dalam mengobati memadukan teknik pijat refleksi dengan minum ramuan/jamu. Sedangkan Bapak Abdul Hadi memiliki 27
ramuan, meskipun demikian jumlah pasiennya
jauh lebih banyak dari informan yang lain (600 pasien/bulan). Bapak Abdul Hadi oleh masyarakat sekitar dikenal
sebagai dukun pijat dan suwuk yaitu metode
pengobatan dengan supranatural, teknik pengobatan Pak Abdul Hadi memadukan teknik pijat, minum ramuan/jamu,
dan suwuk, penggunaan 3 teknik tersebut
disesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan pasien. Pasien dari bayi hingga orang dewasa.
Rata-rata
Hattra mewariskan
ilmu dan keterampilan kepada anaknya. dengan
demikian, diantara anak mereka mulai ada berprofesi seperti ayahnya, artinya ada yang mewarisi
keterampilan mengobati. Sebagian besar Hattra
di Sulawesi Selatan tidak sekolah atau tidak tamat
SD (60%). Di Pulau Sulawesi, Hattra
dikenal dengan sebutan sando (Bahasa Tolaki) sanro (Bahasa Bugis), yang bermakna
dukun (Suryaningsi 2015). Sebagian Hattra berpendapat bahwa pengobatan bukanlah
pekerjaan, namun suatu kegiatan
sosial untuk menolong orang lain. Selain itu Hattra biasanya memahami bahwa pasien yang datang berkunjung berasal dari
masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga
tidak menuntut mereka untuk membayar pengobatannya.
Pengobatan dilakukan dengan bayaran yang
variatif dan umumnya tidak ditentukan tarif setiap pasien, kecuali kerelaan dan
kebiasaan dari pasien sebelumnya. Kondisi ini memperlihatkan adanya kepedulian
sosial dari Hattra untuk membantu sesamanya.
6.
Nilai Bersahabat/Komunikatif
Pengetahuan
tumbuhan obat sebagai salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat merupakan
pengetahuan yang didapat dari proses interaksi manusia dengan lingkungan, baik
melalui pengalaman pencobaan atau karena mencontoh makhluk hidup yang lain.
Pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan obat didapat oleh masyarakat dari
generasi sebelumnya. Hal ini ditunjukkan ketika wawancara mereka selalu
menyarankan agar bertanya pada orang yang lebih tua, karena orang tua lebih
banyak pengalaman dan juga banyak mengetahui informasi mengenai tumbuhan yang
bisa digunakan sebagai obat. Pengetahuan
tentang pemanfaatan tumbuhan sebagai obat: (1) diwariskan dari generasi ke generasi, (2) Interaksi penduduk dengan suku lain. Pola perdagangan sumberdaya alam
antar daerah berdampak tidak
saja pada peningkatan ekonomi,
tetapi juga adanya pertukaran pengetahuan. Ketika masyarakat menjual hasil
perkebunannya ke kota, mereka bertemu dengan berbagai suku lain yang ada di
kota tersebut, saat itulah terjadi pertukaran ekonomi, informasi dan
pengetahuan (Indrawati, 2014).
Pengetahuan pengobatan tradisional Hattra tidak hanya diperoleh dari satu
sumber, namun lebih dari 80 persen berasal
dari keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan
empiris pengobatan tradisional, tidak diwariskan kepada sembarang orang, tetapi
pada anggota keluarga terpilih yang diyakini mampu untuk meneruskan ilmu pengobatan tersebut. Pola pewarisan Hattra dilakukan melalui jalur sistem
pendidikan informal. Menurut Sugiharto et al. (2016), pendidikan
informal mempunyai peran yang sangat vital dalam proses pewarisan kearifan lokal kepada generasi berikutnya.
Menurut Sugiharto et al. (2016), pengobatan
tradisional merupakan kearifan lokal yang berfokus
pada upaya kesehatan, dan hal ini telah diturunkan dalam konsep kekeluargaan. Adanya proses pewarisan kearifan lokal
diperkuat oleh Mungmachon (2012) yang menjelaskan bahwa pengetahuan
masyarakat ditularkan melalui
tradisi. Model pembelajaran seprti ini biasanya dilakukan melalui system
indigenous learning system atau system belajar asli, yang terjadi dalam jalur
pendidikan informal.
7.
Nilai Tanggung Jawab
Sebagian Hattra berpendapat bahwa pengobat
bukanlah pekerjaan utama, namun suatu kegiatan
sosial untuk menolong orang lain. Selain itu, Hattra umunya memahami bahwa pasien yang datang berkunjung berasal dari
masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga
tidak menuntut mereka untuk membayar pengobatannya dengan standar tertentu.
Menurut penelitian Suryaningsi (2015),
salah satu alasan masyarakat berobat ke Hattra karena
ia tidak meminta bayaran,
akan tetapi menurut keikhlasan dan dapat diberikan/dibayarkan
pada waktu lain, jika pasien sudah mendapatkan rezeki/uang. Dari hasil RISTOJA
2017 di Sulawesi Selatan, beberapa
pertolongan Hattra tidak dibalas dengan uang, tapi dengan barang lain seperti ayam, ikan dan hasil kebun pasien. Bahkan
pemberian tersebut dapat ditunda sampai panen
atau sampai pasien mendapatkan rezeki/uang.
D.
Penutup
Terdapat berbagai jenis TO yang dimanfaatkan sebagai obat
tradisional oleh masyarakat Bagian
(organ) tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional meliputi daun, batang,
kulit batang, buah, rimpang, umbi,
dan getah. Pemanfaatan tumbuhan obat dilakukan
dengan beragam cara diantaranya dengan
cara direbus, ditumbuk, diperas, direndam, dibakar, digoreng, digosok, dilumerkan, diremas dan tanpa pengolahan
yang kemudian digunakan baik secara tunggal maupun campuran Khasiat tumbuhan obat tradisional untuk
mengobati berbagai jenis penyakit.
Terdapat 7
nilai karakter yang dikembangkan dalam budaya etnomedisin. Nilai diamsud,
yaitu: religious, disiplin, rasaingin tahu, peduli lingkungan, peduli social,
bersahabat, dan tanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Ningsih, Indah Yulia. 2016. “Tudi
Etnofarmasi Penggunaan Tumbuhan Obat Oleh
Suku Tengger di Kabupaten
Lumajang dan
Malang, Jawa Timur”. Pharmacy, Vol. 13 No. 01 Juli 2016.
Almos, Rona dan
Pramono. 2015. Leksikon Etnomedisin dalam Pengobatan Tradisional Minangkabau. Jurnal Arbitrer
Universitas Andalas. Vol. 2, April
2015 (hal. 44-53).
Purwadi;
Kriswiyanti; Eniek; Aliffiati; Wahyuni, I Gusti Ayu Sugi; Puspita Ningsih, Dewi. 2015. Riset
Khusus Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat
Berbasis Komunitas di Indonesia Etnis Osing Provinsi Jawa
Timur. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Ribadan Penelitian dan Pengembangan Kesehatanbalai Besar
Penelitian dan
Pengembangantanaman Obat dan
Obat Tradisional.
Sari, Aniska Novita; Rahmawati, Nuning; Erlan, Ahmad; dan Ningsi. 2017. Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisindan Tumbuhan Obat Berbasis
Komunitasdi Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah. Jakarta: Kementerian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional.
Ihsan, Sunandar; Kasmawati, Henny; dan Suryani. 2016. “Studi Etnomedisin Obat Tradisional Lansau Khas Suku Muna Provinsi Sulawesi Tenggara”. Pharmauho, Majalah
Farmasi, Sains, dan Kesehatan. Volume 2, No. 1, Hal. 27-32.
Foster, George dan
Anderson, Barbara 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press.
Danandjaja, James. 1996. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip,
Dongeng, dan Lain-lain.
Jakarta: Grafiti Press.
Pramono. 2009. “Teks Mantra dalam
Naskah-naskah Minangkabau”. Persidangan
antar Bangsa Manuskrip Melayu Jabatan Sejarah Fakulti Sastra dan Sain Sosial Jabatan
Kesusastraan Melayu, Akademi
Kajian Melayu, University Malaya. Pada 23-15 November 2009.
Andri, Wirma. 2012. “Pengobatan Tradisional
dalam Naskah Kuno Koleksi Surau
Tarekat Syattariyah di Pariangan: Transliterasi dan Analisis Etnomedisin”. (skripsi). Padang :
Fakultas Ilmu Budaya Universitas AndalaS.
Sugiharto,
F.B., Luar, P. & Negeri, S.P., 2016. “Transfer
of Knowledge Keterampilan Pengobatan
Tradisional Pijat Sangkal Putung”. Jurnal
Pendidikan: Teori, Penelitian,
dan Pengembangan, Volume 1 Nomor 9, (Hal.1864–1868).
Suryaningsi,
T., 2015. Peranan Sando dalam
Pengobatan Tradisional pada
Masyarakat Onembute. Walasuji, Volume 6 Nomor 2, (Hal. 479–493).
Mungmachon,
M.R., 2012. Knowledge and Local Wisdom : Community Treasure. International Journal of Humanities and
Social Science, 2(13), pp.174–181. Available at: http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_2_No_13_July_2012/18.pdf.
Mustofa, Fanie Indrian Dan Mujahid, Rohmat. 2017. Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Rahayu, Mulyati; Sunarti, Siti; Sulistiarini, Diah; dan
Prawiroatmodjo, Suhardjono. 2006.
“Pemanfaatan Tumbuhan Obat secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal di
Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara”. Dalam Biodiversitas.
Volume 7, Nomor 3 (Hal. 245-250).
Indrawati; Sabilu, Yusuf; dan Ompo, Alda. 2014. Pengetahuandan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene
di Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara. Biowallacea Vol. 1 (1), April 2014, (Hal.
39-48).
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009. Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia.
NILA-NILAI
KARAKTER DALAM BUDAYA ETNOMEDISIN
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.
Makalah
Disampaikan dalam
seminar:
PENGEMBANGAN KAJIAN
ETNOMEDISIN DALAM
MEMPERKUAT KARAKTER
GENERASI MUDA DI SULAWESI TENGGARA, Diselenggarakan oleh
Yayasan Amanah
Kesejahteraan Masyarakat Pedesaan (YAKMADES)
di Aula
Dachtraco Raya Tanggal 29 September 2019
PENITIA PELAKSANA
YAYASAN AMANAH KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
PEDESAAN
(YAKMADES)
KENDARI
2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar