KONSISTENSI PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA
DALAM
PERJALANAN SEJARAH BANGSA INDONESIA
Oleh Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
Dosen pada Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unhalu
ABSTRAK
Bahasa Indonesia yang mengakar dari Bahasa Melayu telah
memainkan peran penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia menuju
terbentuknya suatu kesatuan budaya dan politik yang sekarang kita kenal dengan
nama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika dikaji lebih dalam makna
persatuan bangsa Indonesia, maka akan dapat ditemukan benang merah yang
menempatkan bahasa Indnesia sebagai salah satu mata rantai utama yang
menghubungkan proses komunikasi verbal dan non-verbal antar suku bangsa yang
berbeda latar belakang bahasa daerah, budaya/kepercayaannya. Berkat jasa Bahasa
Indonesia, maka perbedaan antar suku itu, dapat dikesampingkan dengan lebih
menonjolkan persamaan alat komunikasi yaitu sama-sama konsisten menggunkan
Bahasa Indonesia dalam berbagai aspek kehidupannya. Perkembangan Bahasa
Indonesia dimulai ketika berdirinya Kerajaan Hindu/Budha di sekitar Selat
Malaka yang diikuti dengan perkembangan pelayaran niaga, dilanjutkan pada masa
kerajaan-kerajaan Islam yang memanfaatkan Bahasa Indonesia sebagai media
da’wah. Pada masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan bahasa
Indonesia dijadikan alat perjuangan dan alat propaganda. Akhirnya Bahasa
Indonesia yang semua hanya merupakan bahasa etnis Melayu, berkembang menjadi
bahasa perdagangan, kemudian bahasa politik, dan budaya, kemudian menjadi
bahasa resmi dan bahasa persatuan di Negera Republik Indonesia.
A. Pendahuluan
Indonesia adalah kepulauan terbesar di dunia yang
terdiri atas 13.667 pulau. Penduduknya memiliki bahasa dan dialek lisan dan
tertulis sekitar 250 jenis (Asmito, 1988: 48; Poesponegoro, 1984: 283;
Alisjahbana, 1988: 203). Sebelum Indonesia merdeka Bahasa Indonesia perperan
sebagai bahasa pemersatu antar etnis di Nusantara, dan secara historis Bahasa
Indonesia merupakan bagian dari Bahasa Austronesia. Menurut Pater Wilhelm
Schmidt bahwa di Asia Tenggara terdapat satu induk bahasa yang besar yakni
Austro-Asia dan keluarga Bahasa Austronesia, terdiri atas: (1) Bahasa
Indonesia, (2) Bahasa Melanesia, (3) Bahasa Polinesia, dan (4) Bahasa
Mikronesia. Bahasa Indonesia dipakai di segenap Wilayah Nusantara, termasuk
daerah-daerah di luarnya seperti Philipina, Campa, Kamboja, Madagasakar, dan
Fiji (Asmito, 1988: 48).
Terdapat suatu mata rantai aktivitas masyarakat
Nusantara yang mengantarkannya untuk mengadopsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar di dunia bisnis, pendidikan, politik, dan agama. Perkembangan Bahasa
Melayu menjadi Bahasa Indonesia diawali dengan bahasa perdagangan di
daerah-daerah pelabuhan Nusantara, kemudian dipergunakan pula dalam penyebaran
agama Islam. Pertentangan-pertentangan setempat yang timbul sehubungan dengan
kedatangan kaum kolonialis Eropa dan berakhir dengan perjanjian dagang maupun
politik juga menggunakan Bahasa Melayu di samping Bahasa Belanda (Poesponegoro,
1984: 279).
Di bidang pendidikan, setelah didirikannya
sekolah bumiputra oleh Pemerintah Hindi Belanda pada mulanya menggunakan Bahasa
Melayu sebagai bahasa pengantar, tetapi sejak abad XX Untuk kepentingan daerah
jajahan yang memerlukan tenaga rendahan yang mengerti Bahasa Belanda, akhirnya
menggeser Bahasa Melayu. Meskipun terjadi persaingan dalam merebut pengaruh,
tetapi karena sesuai dengan jiwa dan semangat nasionalisme dan patriotisme,
justru Bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat perjuangan, artinya pemanfaatan
Bahasa Indonesia menunjukkan suatu perjuangan untuk melawan kaum penjajah yang
memaksakan kehendaknya melalui penyebaran Bahasa Belanda. Dalam persaingan
tersebut, Bahasa Indonesia berhasil menarik simpati masyarakat Indonesia, dan
menempatkannya sebagai alat pemersatu untuk berjuang secara politik, ideologi,
dan budaya.
B. Proses Persebaran Bahasa Indonesia
Dinamika individu dan kelompok-kelompok tertentu suku
bangsa yang melakukan pelayaran niaga antar pulau bagaikan membangun jembatan
terapung antar pulau dan suku bangsa yang ada. Mereka membawa inovasi budaya
yang dikomunikasikan melalui Bahasa Indonesia. Peran pelayar niaga antar pulau
ini mulai tumbuh di Asia Tenggara sejak abad pertama masehi. Pada masa itu
telah dikenal dua jalur perdagangan, yaitu: (1) jalur sutera atau jalur darat
yang sudah ada sejak abad V SM, menghubungkan Asia Timur, Asia Barat Daya, Asia
Selatan dan Eropa, (2) jalur rempah-rempah atau jalur laut yang mulai
berkembang sejak abad I M, menghubungkan antara Asia Tenggara, Asia Timur, Asia
Selatan, Asia Barat Daya, Afrika, dan Eropa (Moehadi, 1986: 195).
Menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan
perkembangan Bahasa Indonesia adalah perdagangan melalui laut yang banyak
dimainkan oleh para pedagang nusantara sejak abad VII M, ditandai dengan
tumbuhnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, kemudian semakin berkembang pada abad
XIII sampai dengan abad XVII periode perkembangan agama dan kerajaan-kerajaan
Islam hingga menjelang datangnya bangsa-bangsa Imperialis Eropa di Nusantara.
Kurung waktu yang panjang itu pusat perdagangan di Asia Tenggara berada di
sekitar Selat Malaka (asal Bahasa Melayu). Kekuasaan Sriwijaya atas Selat
Malaka baik di Kepulauan Maupun di Semenanjung Melayu antara abad VII-XII,
bahkan sampai di Tanah Genting Kra
(Thailan), Tongkin dan Srilangka, menempatkan Bahasa Melayu (Indonesia)
sebagai bahasa pengantar dalam perdagangan, politik, dan budaya. Peran tersebut
dilanjutkan oleh Kerajaan Melayu di
Jambi kemudian pindah di Minangkabau, dan selanjutnya Kerajaan Johor.
Pada abad XIV muncul kerajaan Malaka sebagai pemegang kunci perdagangan dan
penyebaran agama Islam di Asia Tenggara, sekali lagi Bahasa Melayu memegang
peranan penting dalam setiap aktivitas masyarakat dinamis yang melakukan
aktivitas di kawasan Nusantara dan Semenanjung Melayu. Pada periode tersebut
para pedagangan Nusantara terlibat dalam perdagangan internasional seperti
Cina, India, Philipina, Australia, dan bahkan sampai di Madagaskan Afrika
Selatan (Moehadi, 1986: 196).
Aktivitas perdagangan tersebut menguntungkan
perkembangan Bahasa Indonesia yang mengakar pada Bahasa Melayu dan merupakan
milik masyarakat yang ada di pesisir pantai dan pulau-pulau di sekitar Selat
Malaka. Para pelayar niaga yang melakukan kegiatan perdagangan di daerah ini
dituntut untuk memahami Bahasa Melayu sebagai pengantar dalam transaksi dagang,
maka tumbuh dan berkembanglah Bahasa Melayu sebagai bahasa bisnis, selanjutnya
para pedagang tersebut dalam perjalanan dan trasaksi di daerah lain Nusantara
termasuk di daerah-daerah pesisir Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau
di Kawasan Timur Nusantara, sampai di Philipina Selatan, tetap menggunakan
Bahasa Indonesia.
Di setiap pelabuhan ditempatkan perwakilan (Syahbandar), pemangku jabatan ini harus
makhir berbahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat sebagai alat diplomasi.
Peran pedagang Bugis, Buton, Makassar, dan Mandar (BBMM) dalam
mentrasformasikan pemakaian Bahasa Indonesia di wilayah-wilayah kerajaan
pesisir pantai Nusantara dan Asia Tenggara. Sejak abad XVII pelabuhan Makassar
menjadi tempat transit barang dagangan dari Kawasan Timur Nusantara untuk
selanjutnya ke Barat atau sebaliknya (Anwar, 2000: 699; Zuhdi, 1997: 5). Para pedagang
BBMM sudah akrab dengan pedagang Melayu, mungkin pula peran Orang Bajo seperti
ditulis dalam Lontarak Asal-usul Suku Bajo, yang memiliki banyak persamaan
budaya khususnya bahasa dengan suku Laut di Selat Malaka, juga mengakui
leluhurnya dari Johor, yang kemudian tersebar di segenap pesisir pantai dan
pulau-pulau terpencil di Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, bahkan sampai
di Philipina Selatan, Siam, dan Kamboja. Suku Bajo tetap konsisten
mempertahankan Bahasa Indonesia, selain Bahasa Bajo (Anwar, 2003: 214).
Aktivitas perdagangan suku BBMM dan Bajo dapat
dikatakan dominan sejak abad XIV dan secara faktual ditemukan beberapa kerajaan
pantai didirikan oleh pelayar/perantau Bugis/Makassar, seperti yang terjadi di
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, di Semenanjung Melayu, di Kesultanan
Yogyakarta dikenal pasukan Bugis, di Cirebon bagian dari kesatuan pertahanan
Kesultanan Cirebon, juga dikenal Pasukan Bugis yang dapat menyamar di wilayah
musuh. Dengan demikian para perantau Bugis/Makassar telah ikut memainkan peran
penting dalam penyebaran Bahasa Indonesia atau berfungsi sebagai change agent yang berhasil
mentrasformasikan keterampilan berbahasa Indonesia ke berbagai wilayah yang
dikunjunginya di Nusantara dan Asia Tenggara.
Di bidang pendidikan dan pengembangan ilmu
pengetahuan para pengajar di sekolah bumiputra menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar. Pada masa awal penyebaran Islam di Indonesia
penggunaan Bahasa Indonesia sebagai media utama dalam komunikasi edukatif baik
secara lisan maupun tulisan. Ditemukannya naskah-naskah kuno di beberapa
kerajaan Nusantara, khususnya yang bercorak Islam menggunakan aksara Arab
Melayu atau Bahasa Indonesia (Melayu).
Dalam bidang pendidikan keagamaan, Bahasa
Indonesia bersaing dengan Bahasa Arab, sehingga di beberapa daerah istilah
Melayu sama artinya dengan Islam (Alisjahbana, 1988: 209). Misalnya, Orang
Dayak yang beralih dari kepercayaan kaharingan
(animisme) menjadi pemeluk agama Islam, selanjutnya menamakan dirinya Suku Melayu, sedangkan yang
beragama Kristen atau aliran kepercayaan tetap disebut Dayak.
Dalam aspek politik, bahasa Indonesia telah
memainkan peran yang cukup besar baik prakemerdekaan maupun pascakemerdekaan.
Para raja khususnya di daerah-daerah pesisir, memahami dan mengaplikasikan
bahasa Indonesia dalam sistem komunikasi perpolitikan negara, di beberapa
kerajaan terdapat jabatan Juru Bicara
Pemerintah, pemangku jabatan ini harus memahami beberapa bahasa terutama
Bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia pada saat itu dipahami sebagian besar
para pedagang yang berkunjung ke kerajaan tersebut. Peran ini cukup signifan
dalam perkembangan pemakaian bahasa Indonesia lebih lanjut kepada masyarakat
luas pada masa prakemerdekaan. Ekspansi kerajaan-kerajaan Besar seperti
Sriwijaya yang menguasan sebagian Besar wilayah Nusantara bagian Barat dan
Semenanjung Melayu, disusul Kerajaan Melayu, Kerjaan Johor, Kerajaan Malaka,
Kerjaan Makassar, secara tidak langsung juga menyebarkan pemakaian Bahasa
Indonesia di wilayah-wilayah taklukannya atau wilayah mitra bisnisnya.
Pada masa pergerakan nasional organisasi
pergerakan nasional seperti, Budi Utomo, Saerakat islam, dan Indische Partij,
ikut berjasa dalam menyebarkan Bahasa Indonesia. Budi Utomo dan Indische Partij
dalam kongres dan publikasinya mempergunakan Bahasa Jawa, Melayu, dan Belanda,
Sarekat Islam menggunakan Bahasa Melayu dan Jawa.
Pada awal pendudukan Jepang, dalam usahanya untuk
secepatnya menggerakkan seluruh bangsa Indonesia untuk membantu dalam Perang
Asia Timur Raya, maka mereka membawa Bahasa Indonesia sampai ke desa-desa
(Alisjahbana, 1988: 206). Demikian pula perubahan nama dan istilah-istilah dari
Bahasa Belanda kepada nama dan istilah dalam Bahasa Indonesia. Kondisi tersebut
menguntungkan dalam perkembangan Bahasa Indonesia, baik penyebarannya maupun
pemanfaatannya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
C. Peranan Bahasa Indonesia dalam Pencerdasan
Bangsa
Bahasa Indonesia dalam rangkaian perjalanan
sejarah Bangsa Indonesia telah memainkan peran penting dalam rangka pencerdasan
bangsa. Istilah pencerdasan dalam tulisan ini tidak hanya terbatas pada domain
kognitif, tetapi juga pada domain afektif dan psikomotorik. Dalam domain
afektif dijumpai dari kasus perubahan nama suku Dayak yang bergama Islam
menjadi Suku Melayu, ini menunjukkan bahwa mereka telah lentur dengan budaya
Melayu termasuk di dalamnya Bahasa Melayu dan agama Islam sebagai agama orang
Melayu. Domain psikomotorik, dapat dijumpai dari kemampuan menggunakan dan
mengembangkan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia yang diperkaya dengan
bahasa-bahasa etnis yang ada di Nusantara. Dengan demikian, berkembanglah
Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia yang merupakan salah satu identitas
bangsa yang mendiami wilayan Nusantara dari Sabang sampai Merauke.
Perserikatan Pelajar Indonesia dalam kongresnya
tahun 1918 di Negeri Belanda mengusulkan penggunaan Bahasa Melayu sebagai
bahasa pengantar di sekolah-sekolah di Indonesia (Poesponegoro, 1984: 280). Di
Indonesia sendiri, baik sebagai upaya pencerdasan bangsa maupun sebagai alat
politik/perjuangan, pers berbahasa Melayu sangat besar peranannya, karena dapat
menjangkau penduduk bumiputra dalam jumlah yang besar, di samping orang Belnada
dan Cina. Medan Prijaji, meingguan kemudian menjadi harian, adalah yang terpenting
dari rangkaian perkembangan awal pers Indonesia. Bukan saja karena pemilik
modal dan pengelolanya orang Indonesia, tetapi isinya juga menunjukkan
kesadaran penggunaan Bahasa Melayu sebagai media untuk membentuk pendapat umum
mengenai berbagai aspek kedidupan masyarakat pada saat itu. Melihat
perkembangan Bahasa Melayu yang begitu cepat, akhirnya pemerintah Hindia
Belanda bereaksi khususnya terhadap pers yang berbahasa Indonesia, misalnya
larangan penerbitannya.
Melalui pendidikan persekolahan, NIS Kayu Tanam
dan Taman Siswa konsisten dalam mengajarkan Bahasa Melayu, selain Bahasa Daerah
dan Bahasa Belanda. Suatu Kongres Bahasa di Surakarta tahun 1938 antara lain
memutuskan untuk mendirikan sebuah lembaga dan sebuah fakultas untuk
mempelajari Bahasa Indonesia, Bahasa Indonesia hendaklah dipakai sebagai bahasa
hukum, dan sebagai alat dalam tukar-pikiran di dewan perwakilan. M. Husni
Thamrin dalam pidatonya di Dewan Rakyat Hindia Belanda menggunakan Bahasa
Indonesia, ini mendapat rekasi dari pemerintah Hindia Belanda.
D.
Penutup
Bahasa Indonesi yang semula
terbatas pada Etnis Melayu, kemudian berkembang menjadi bahasa golongan
masyarakat yang silih berganti muncul dan berkembang sepanjang sejarah
Indonesia. Dari bahasa pergaulan kemudian menjadi bahasa perdagangan, bahasa
untuk menyebarkan agama, bahasa perjanjian dagang dan politik, bahasa pers,
sastra dan politik. Selanjutnya atas dorongan pemuda dan elit Indonesia baru
menjadi bahasa pembinaan nasional Indonesia.
Bagi Bangsa Indonesia yang sampai
sekarang tetap konsisten menggunakan Bahasa Indonesia dalam berbagai dimensi
kehidupannya, patut bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dikarunia
bahasa sebagai alat pemersatu. Jika tidak ada Bahasa Indonesia, maka perjalanan
sejarah suku-suku bangsa yang ada di Nusantara akan lain, dan secara faktual
Bahasa Indonesia telah membawa rahmat bagi bangsa Indonesia berupa kedamaian
karena perannya sehingga mereka dapat saling mengakui kesamaan dan saling
memahami perbedaan.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana,
S.T. 1988. Dari Perjuangan dan
Pertumbuhan Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Anonim.
Lontarak Asal-Usul Suku Bajo.
Anwar.
2000. Pelayaran Niaga Orang Buton pada Abad XX. Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No.27. Th. V. Jakarta:
Balibang Depdiknas. (hal. 694-710).
Anwar.
2003. “Pengembangan Model Pengelolaan Pembelajaran Keterampilan Berbasis Sosial
Budaya bagi Perempuan Keluarga Nelayan Suku Bajo”. Disertasi Doktor pada PPs UPI. Bandung, tidak diterbitkan.
Asmito.
1988. Sejarah Kebudayaan Indonesia.
Jakarta: P2LPTK Depdikbud.
Kendari Kespres, 22 September
2004.
Moehadi.
1986. Sejarah Indonesia Modul 1-3.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Poesponegoro,
M.D. dan Notosusanto, N. 1984. Sejarah
Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Zuhdi,
S. 1997. “Sulawesi Tenggara dalam jalur Pelayaran dan Perdagangan Internasional
Abad XVII-XVIII”. Makalah disajikan dalam
seminar Nasional Sejarah dan Masyarakat Maritim di Kawasan Timur Indonesia.
Kendari, 8-9 September 1997.
KONSISTENSI PENGGUNAAN BAHASA
INDONESIA
DALAM
PERJALANAN SEJARAH BANGSA INDONESIA
Makalah
Disajikan dalam
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia
“Peningkatan
Konsistensi Berbahasa Menuju Pendekiaan Bahasa Indonesia
sebagai Bahasa
Perhubungan Luas”, Kendari 11-13 Oktober 2010
Oleh
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
Dosen pada
Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unhalu
PANITIA SEMINAR
NASIONAL
BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
KENDARI
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar