Minggu, 28 Juni 2020

KONSISTENSI PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM PERJALANAN SEJARAH BANGSA INDONESIA


KONSISTENSI PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA
DALAM PERJALANAN SEJARAH BANGSA INDONESIA

Oleh Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd. 

Dosen pada Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unhalu

ABSTRAK

Bahasa Indonesia yang mengakar dari Bahasa Melayu telah memainkan peran penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia menuju terbentuknya suatu kesatuan budaya dan politik yang sekarang kita kenal dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika dikaji lebih dalam makna persatuan bangsa Indonesia, maka akan dapat ditemukan benang merah yang menempatkan bahasa Indnesia sebagai salah satu mata rantai utama yang menghubungkan proses komunikasi verbal dan non-verbal antar suku bangsa yang berbeda latar belakang bahasa daerah, budaya/kepercayaannya. Berkat jasa Bahasa Indonesia, maka perbedaan antar suku itu, dapat dikesampingkan dengan lebih menonjolkan persamaan alat komunikasi yaitu sama-sama konsisten menggunkan Bahasa Indonesia dalam berbagai aspek kehidupannya. Perkembangan Bahasa Indonesia dimulai ketika berdirinya Kerajaan Hindu/Budha di sekitar Selat Malaka yang diikuti dengan perkembangan pelayaran niaga, dilanjutkan pada masa kerajaan-kerajaan Islam yang memanfaatkan Bahasa Indonesia sebagai media da’wah. Pada masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan bahasa Indonesia dijadikan alat perjuangan dan alat propaganda. Akhirnya Bahasa Indonesia yang semua hanya merupakan bahasa etnis Melayu, berkembang menjadi bahasa perdagangan, kemudian bahasa politik, dan budaya, kemudian menjadi bahasa resmi dan bahasa persatuan di Negera Republik Indonesia.

A.    Pendahuluan
Indonesia adalah kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 13.667 pulau. Penduduknya memiliki bahasa dan dialek lisan dan tertulis sekitar 250 jenis (Asmito, 1988: 48; Poesponegoro, 1984: 283; Alisjahbana, 1988: 203). Sebelum Indonesia merdeka Bahasa Indonesia perperan sebagai bahasa pemersatu antar etnis di Nusantara, dan secara historis Bahasa Indonesia merupakan bagian dari Bahasa Austronesia. Menurut Pater Wilhelm Schmidt bahwa di Asia Tenggara terdapat satu induk bahasa yang besar yakni Austro-Asia dan keluarga Bahasa Austronesia, terdiri atas: (1) Bahasa Indonesia, (2) Bahasa Melanesia, (3) Bahasa Polinesia, dan (4) Bahasa Mikronesia. Bahasa Indonesia dipakai di segenap Wilayah Nusantara, termasuk daerah-daerah di luarnya seperti Philipina, Campa, Kamboja, Madagasakar, dan Fiji (Asmito, 1988: 48).
Terdapat suatu mata rantai aktivitas masyarakat Nusantara yang mengantarkannya untuk mengadopsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di dunia bisnis, pendidikan, politik, dan agama. Perkembangan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia diawali dengan bahasa perdagangan di daerah-daerah pelabuhan Nusantara, kemudian dipergunakan pula dalam penyebaran agama Islam. Pertentangan-pertentangan setempat yang timbul sehubungan dengan kedatangan kaum kolonialis Eropa dan berakhir dengan perjanjian dagang maupun politik juga menggunakan Bahasa Melayu di samping Bahasa Belanda (Poesponegoro, 1984: 279).
Di bidang pendidikan, setelah didirikannya sekolah bumiputra oleh Pemerintah Hindi Belanda pada mulanya menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, tetapi sejak abad XX Untuk kepentingan daerah jajahan yang memerlukan tenaga rendahan yang mengerti Bahasa Belanda, akhirnya menggeser Bahasa Melayu. Meskipun terjadi persaingan dalam merebut pengaruh, tetapi karena sesuai dengan jiwa dan semangat nasionalisme dan patriotisme, justru Bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat perjuangan, artinya pemanfaatan Bahasa Indonesia menunjukkan suatu perjuangan untuk melawan kaum penjajah yang memaksakan kehendaknya melalui penyebaran Bahasa Belanda. Dalam persaingan tersebut, Bahasa Indonesia berhasil menarik simpati masyarakat Indonesia, dan menempatkannya sebagai alat pemersatu untuk berjuang secara politik, ideologi, dan budaya.

B.     Proses Persebaran Bahasa Indonesia

Dinamika individu dan kelompok-kelompok tertentu suku bangsa yang melakukan pelayaran niaga antar pulau bagaikan membangun jembatan terapung antar pulau dan suku bangsa yang ada. Mereka membawa inovasi budaya yang dikomunikasikan melalui Bahasa Indonesia. Peran pelayar niaga antar pulau ini mulai tumbuh di Asia Tenggara sejak abad pertama masehi. Pada masa itu telah dikenal dua jalur perdagangan, yaitu: (1) jalur sutera atau jalur darat yang sudah ada sejak abad V SM, menghubungkan Asia Timur, Asia Barat Daya, Asia Selatan dan Eropa, (2) jalur rempah-rempah atau jalur laut yang mulai berkembang sejak abad I M, menghubungkan antara Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Selatan, Asia Barat Daya, Afrika, dan Eropa (Moehadi, 1986: 195).
Menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan perkembangan Bahasa Indonesia adalah perdagangan melalui laut yang banyak dimainkan oleh para pedagang nusantara sejak abad VII M, ditandai dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, kemudian semakin berkembang pada abad XIII sampai dengan abad XVII periode perkembangan agama dan kerajaan-kerajaan Islam hingga menjelang datangnya bangsa-bangsa Imperialis Eropa di Nusantara. Kurung waktu yang panjang itu pusat perdagangan di Asia Tenggara berada di sekitar Selat Malaka (asal Bahasa Melayu). Kekuasaan Sriwijaya atas Selat Malaka baik di Kepulauan Maupun di Semenanjung Melayu antara abad VII-XII, bahkan sampai di Tanah Genting Kra  (Thailan), Tongkin dan Srilangka, menempatkan Bahasa Melayu (Indonesia) sebagai bahasa pengantar dalam perdagangan, politik, dan budaya. Peran tersebut dilanjutkan oleh Kerajaan Melayu di  Jambi kemudian pindah di Minangkabau, dan selanjutnya Kerajaan Johor. Pada abad XIV muncul kerajaan Malaka sebagai pemegang kunci perdagangan dan penyebaran agama Islam di Asia Tenggara, sekali lagi Bahasa Melayu memegang peranan penting dalam setiap aktivitas masyarakat dinamis yang melakukan aktivitas di kawasan Nusantara dan Semenanjung Melayu. Pada periode tersebut para pedagangan Nusantara terlibat dalam perdagangan internasional seperti Cina, India, Philipina, Australia, dan bahkan sampai di Madagaskan Afrika Selatan (Moehadi, 1986: 196).
Aktivitas perdagangan tersebut menguntungkan perkembangan Bahasa Indonesia yang mengakar pada Bahasa Melayu dan merupakan milik masyarakat yang ada di pesisir pantai dan pulau-pulau di sekitar Selat Malaka. Para pelayar niaga yang melakukan kegiatan perdagangan di daerah ini dituntut untuk memahami Bahasa Melayu sebagai pengantar dalam transaksi dagang, maka tumbuh dan berkembanglah Bahasa Melayu sebagai bahasa bisnis, selanjutnya para pedagang tersebut dalam perjalanan dan trasaksi di daerah lain Nusantara termasuk di daerah-daerah pesisir Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau di Kawasan Timur Nusantara, sampai di Philipina Selatan, tetap menggunakan Bahasa Indonesia.
Di setiap pelabuhan ditempatkan perwakilan (Syahbandar), pemangku jabatan ini harus makhir berbahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat sebagai alat diplomasi. Peran pedagang Bugis, Buton, Makassar, dan Mandar (BBMM) dalam mentrasformasikan pemakaian Bahasa Indonesia di wilayah-wilayah kerajaan pesisir pantai Nusantara dan Asia Tenggara. Sejak abad XVII pelabuhan Makassar menjadi tempat transit barang dagangan dari Kawasan Timur Nusantara untuk selanjutnya ke Barat atau sebaliknya (Anwar, 2000: 699; Zuhdi, 1997: 5). Para pedagang BBMM sudah akrab dengan pedagang Melayu, mungkin pula peran Orang Bajo seperti ditulis dalam Lontarak Asal-usul Suku Bajo, yang memiliki banyak persamaan budaya khususnya bahasa dengan suku Laut di Selat Malaka, juga mengakui leluhurnya dari Johor, yang kemudian tersebar di segenap pesisir pantai dan pulau-pulau terpencil di Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, bahkan sampai di Philipina Selatan, Siam, dan Kamboja. Suku Bajo tetap konsisten mempertahankan Bahasa Indonesia, selain Bahasa Bajo (Anwar, 2003: 214).
Aktivitas perdagangan suku BBMM dan Bajo dapat dikatakan dominan sejak abad XIV dan secara faktual ditemukan beberapa kerajaan pantai didirikan oleh pelayar/perantau Bugis/Makassar, seperti yang terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, di Semenanjung Melayu, di Kesultanan Yogyakarta dikenal pasukan Bugis, di Cirebon bagian dari kesatuan pertahanan Kesultanan Cirebon, juga dikenal Pasukan Bugis yang dapat menyamar di wilayah musuh. Dengan demikian para perantau Bugis/Makassar telah ikut memainkan peran penting dalam penyebaran Bahasa Indonesia atau berfungsi sebagai change agent yang berhasil mentrasformasikan keterampilan berbahasa Indonesia ke berbagai wilayah yang dikunjunginya di Nusantara dan Asia Tenggara.
Di bidang pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan para pengajar di sekolah bumiputra menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Pada masa awal penyebaran Islam di Indonesia penggunaan Bahasa Indonesia sebagai media utama dalam komunikasi edukatif baik secara lisan maupun tulisan. Ditemukannya naskah-naskah kuno di beberapa kerajaan Nusantara, khususnya yang bercorak Islam menggunakan aksara Arab Melayu atau Bahasa Indonesia (Melayu).
Dalam bidang pendidikan keagamaan, Bahasa Indonesia bersaing dengan Bahasa Arab, sehingga di beberapa daerah istilah Melayu sama artinya dengan Islam (Alisjahbana, 1988: 209). Misalnya, Orang Dayak yang beralih dari kepercayaan kaharingan (animisme) menjadi pemeluk agama Islam, selanjutnya  menamakan dirinya Suku Melayu, sedangkan yang beragama Kristen atau aliran kepercayaan tetap disebut Dayak.
Dalam aspek politik, bahasa Indonesia telah memainkan peran yang cukup besar baik prakemerdekaan maupun pascakemerdekaan. Para raja khususnya di daerah-daerah pesisir, memahami dan mengaplikasikan bahasa Indonesia dalam sistem komunikasi perpolitikan negara, di beberapa kerajaan terdapat jabatan Juru Bicara Pemerintah, pemangku jabatan ini harus memahami beberapa bahasa terutama Bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia pada saat itu dipahami sebagian besar para pedagang yang berkunjung ke kerajaan tersebut. Peran ini cukup signifan dalam perkembangan pemakaian bahasa Indonesia lebih lanjut kepada masyarakat luas pada masa prakemerdekaan. Ekspansi kerajaan-kerajaan Besar seperti Sriwijaya yang menguasan sebagian Besar wilayah Nusantara bagian Barat dan Semenanjung Melayu, disusul Kerajaan Melayu, Kerjaan Johor, Kerajaan Malaka, Kerjaan Makassar, secara tidak langsung juga menyebarkan pemakaian Bahasa Indonesia di wilayah-wilayah taklukannya atau wilayah mitra bisnisnya.
Pada masa pergerakan nasional organisasi pergerakan nasional seperti, Budi Utomo, Saerakat islam, dan Indische Partij, ikut berjasa dalam menyebarkan Bahasa Indonesia. Budi Utomo dan Indische Partij dalam kongres dan publikasinya mempergunakan Bahasa Jawa, Melayu, dan Belanda, Sarekat Islam menggunakan Bahasa Melayu dan Jawa.
Pada awal pendudukan Jepang, dalam usahanya untuk secepatnya menggerakkan seluruh bangsa Indonesia untuk membantu dalam Perang Asia Timur Raya, maka mereka membawa Bahasa Indonesia sampai ke desa-desa (Alisjahbana, 1988: 206). Demikian pula perubahan nama dan istilah-istilah dari Bahasa Belanda kepada nama dan istilah dalam Bahasa Indonesia. Kondisi tersebut menguntungkan dalam perkembangan Bahasa Indonesia, baik penyebarannya maupun pemanfaatannya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia.        

C.    Peranan Bahasa Indonesia dalam Pencerdasan Bangsa
Bahasa Indonesia dalam rangkaian perjalanan sejarah Bangsa Indonesia telah memainkan peran penting dalam rangka pencerdasan bangsa. Istilah pencerdasan dalam tulisan ini tidak hanya terbatas pada domain kognitif, tetapi juga pada domain afektif dan psikomotorik. Dalam domain afektif dijumpai dari kasus perubahan nama suku Dayak yang bergama Islam menjadi Suku Melayu, ini menunjukkan bahwa mereka telah lentur dengan budaya Melayu termasuk di dalamnya Bahasa Melayu dan agama Islam sebagai agama orang Melayu. Domain psikomotorik, dapat dijumpai dari kemampuan menggunakan dan mengembangkan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia yang diperkaya dengan bahasa-bahasa etnis yang ada di Nusantara. Dengan demikian, berkembanglah Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia yang merupakan salah satu identitas bangsa yang mendiami wilayan Nusantara dari Sabang sampai Merauke.
Perserikatan Pelajar Indonesia dalam kongresnya tahun 1918 di Negeri Belanda mengusulkan penggunaan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah di Indonesia (Poesponegoro, 1984: 280). Di Indonesia sendiri, baik sebagai upaya pencerdasan bangsa maupun sebagai alat politik/perjuangan, pers berbahasa Melayu sangat besar peranannya, karena dapat menjangkau penduduk bumiputra dalam jumlah yang besar, di samping orang Belnada dan Cina. Medan Prijaji, meingguan kemudian menjadi harian, adalah yang terpenting dari rangkaian perkembangan awal pers Indonesia. Bukan saja karena pemilik modal dan pengelolanya orang Indonesia, tetapi isinya juga menunjukkan kesadaran penggunaan Bahasa Melayu sebagai media untuk membentuk pendapat umum mengenai berbagai aspek kedidupan masyarakat pada saat itu. Melihat perkembangan Bahasa Melayu yang begitu cepat, akhirnya pemerintah Hindia Belanda bereaksi khususnya terhadap pers yang berbahasa Indonesia, misalnya larangan penerbitannya.
Melalui pendidikan persekolahan, NIS Kayu Tanam dan Taman Siswa konsisten dalam mengajarkan Bahasa Melayu, selain Bahasa Daerah dan Bahasa Belanda. Suatu Kongres Bahasa di Surakarta tahun 1938 antara lain memutuskan untuk mendirikan sebuah lembaga dan sebuah fakultas untuk mempelajari Bahasa Indonesia, Bahasa Indonesia hendaklah dipakai sebagai bahasa hukum, dan sebagai alat dalam tukar-pikiran di dewan perwakilan. M. Husni Thamrin dalam pidatonya di Dewan Rakyat Hindia Belanda menggunakan Bahasa Indonesia, ini mendapat rekasi dari pemerintah Hindia Belanda.

D.    Penutup
Bahasa Indonesi yang semula terbatas pada Etnis Melayu, kemudian berkembang menjadi bahasa golongan masyarakat yang silih berganti muncul dan berkembang sepanjang sejarah Indonesia. Dari bahasa pergaulan kemudian menjadi bahasa perdagangan, bahasa untuk menyebarkan agama, bahasa perjanjian dagang dan politik, bahasa pers, sastra dan politik. Selanjutnya atas dorongan pemuda dan elit Indonesia baru menjadi bahasa pembinaan nasional Indonesia.
Bagi Bangsa Indonesia yang sampai sekarang tetap konsisten menggunakan Bahasa Indonesia dalam berbagai dimensi kehidupannya, patut bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dikarunia bahasa sebagai alat pemersatu. Jika tidak ada Bahasa Indonesia, maka perjalanan sejarah suku-suku bangsa yang ada di Nusantara akan lain, dan secara faktual Bahasa Indonesia telah membawa rahmat bagi bangsa Indonesia berupa kedamaian karena perannya sehingga mereka dapat saling mengakui kesamaan dan saling memahami perbedaan.

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, S.T. 1988. Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Anonim. Lontarak Asal-Usul Suku Bajo.
Anwar. 2000. Pelayaran Niaga Orang Buton pada Abad XX. Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No.27. Th. V. Jakarta: Balibang Depdiknas. (hal. 694-710).
Anwar. 2003. “Pengembangan Model Pengelolaan Pembelajaran Keterampilan Berbasis Sosial Budaya bagi Perempuan Keluarga Nelayan Suku Bajo”. Disertasi Doktor pada PPs UPI. Bandung, tidak diterbitkan.
Asmito. 1988. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: P2LPTK Depdikbud.
Kendari Kespres, 22 September 2004.
Moehadi. 1986. Sejarah Indonesia Modul 1-3. Jakarta: Universitas Terbuka.
Poesponegoro, M.D. dan Notosusanto, N. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Zuhdi, S. 1997. “Sulawesi Tenggara dalam jalur Pelayaran dan Perdagangan Internasional Abad XVII-XVIII”. Makalah disajikan dalam seminar Nasional Sejarah dan Masyarakat Maritim di Kawasan Timur Indonesia. Kendari, 8-9 September 1997.

KONSISTENSI PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA
DALAM PERJALANAN SEJARAH BANGSA INDONESIA









Makalah
Disajikan dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia
“Peningkatan Konsistensi Berbahasa Menuju Pendekiaan Bahasa Indonesia
sebagai Bahasa Perhubungan Luas”, Kendari 11-13 Oktober 2010

 

 

 

 

 

 

Oleh

Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
Dosen pada Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unhalu
















PANITIA SEMINAR NASIONAL
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
KENDARI
2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar