Rabu, 03 Juni 2020

PERAN CERITA RAKYAT IKO-IKO BERBASIS SASTRA MELAYU DALAM PENGUATAN KOMUNITAS ETNIS BAJO


PERAN CERITA RAKYAT IKO-IKO BERBASIS SASTRA MELAYU DALAM PENGUATAN KOMUNITAS ETNIS BAJO
(THE ROLE OF IKO-IKO FOLKTALE IN MALAY LITERATURE IN BAJONESE COMMUNITY PRESERVATION)









Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.
Universitas Haluoleo Kendari
emal: anwarhapid@ymail.com




Makalah
Disajikan pada Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara di Tanjung Pinang
Tanggal 23-27 Mei 2012


















PANITIA SEMINAR INTERNSIONAL
TANJUNG PINANG
2012









PERAN CERITA RAKYAT IKO-IKO BERBASIS SASTRA MELAYU DALAM PENGUATAN KOMUNITAS ETNIS BAJO
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.
Universitas Haluoleo Kendari

emal: anwarhapid@ymail.com
HP. 085241529993

ABSTRAK
Etnia Bajo merupakan suatu komunitas berbudaya Melayu hidup secara berkelompok di berbagai wilayah pesisir pantai dan pulau terpencil di Nusantara dan Asia Tenggara. Di Kawasan Barat Indonesia dan Malaysia Barat disebut Orang Laut, atau Suku Laut. Di Malaysia Timur, Brunai Darussalam, dan Philipina disebut Orang Bajau. Meskipun memiliki nama yang berbeda-beda berdasarkan geografis tempat tinggalnya, tetapi dari segi budaya memiliki persamaan khususnya proses pewarisan pengetahuan, nilai, dan keterampilan dalam bentuk penguatan komunitas melalui tradisi lisan Iko-iko, kadandio, sagala, dan dero diiringi pantun. Beberapa kajian menunjukkan bahwa Etnis Bajo ini berasal dari Selat Malaka, selanjutnya mereka tersebar di kawasan Kepulauan Melayu (Malaysia, Indonesia, Brunai Darussalam, dan Philipina) akibat kedatangan imperialisme Portugis yang merebut Malaka pada tahun 1511, Orang Bajo sebagai salah satu inti rakyat Kerajaan Malaka bangkit melawan Imperialisme Portugis, setelah kerajaannya takluk mereka tetap melanjutkan perlawanan di laut dengan tersebar di di berbagai kawasan tersebut. Pola pemukiman yang semi-nomaden sebagai nelayan tradisional, mengakibatkan mereka mengembangkan sistem pembelajaran asli (learning comunitas system). Salah satu media pembelajaran yang banyak digunakan adalah iko-iko (cerita kepahlawanan), jenis tradisi lisan ini terancam punah karena kurang diminati generasi muda, umumnya mereka yang bisa mengisahkannya berusia sekitar 50 tahun ke atas. Tradisi sastra iko-iko berperan menyampaikan pesan moral dan semangat juang yang dituturkan secara lisan dari generasi ke generasi, berkisah tentang kepahlawanan dan dibawakan selama beberapa jam yang dinyanyikan menjelang tidur dan atau saat dalam pelayaran. Ciri khas iko-iko adalah lirik dan baitnya secara teratur yang mencerminkan sastra Melayu, sehingga persebaran Etnis Bajo dengan sastra iko-iko ikut menyebarkan Budaya Melayu ke Asia Tenggara, yang kelak menjadi perekat persatuan Nusantara dan Asia Tenggara. Generasi muda Bajo sekarang kurang tertarik mewarisi iko-iko yang memiliki banyak versi dan judul kisah, maka untuk menjaga kelestariannya, perlu pendokumentasian dan transliterasi untuk selanjutnya diterbitkan menjadi buku dan artikel ilmiah.

Kata Kunci: cerita rakyat, iko-iko, sastra Melayu, etnis Bajo

THE ROLE OF IKO-IKO FOLKROLE IN MALAY LITERATURE IN BAJONESE COMMUNITY PRESERVATION
PERAN CERITA RAKYAT IKO-IKO BERBASIS SASTRA MELAYU DALAM PENGUATAN KOMUNITAS ETNIS BAJO
ABSTRACT
Bajonese is a malay culture based community which lives in group and spread on many costal and rural areas in Indonesia and Southeast Asia. They are known as sea people or Sea ethnic in West Malaysia and Bajaunese in East Malaysia, Brunei Darussalam and Philippine. Despite the naming difference; depending on where they live geographically, they have a common culture particularly concerning knowledge inheritance process, values, and skill to preserve the community  through perpetuating oral tradition iko-iko , kadandio, sagala, and dero which accompanied by rhyme. Some studies found that the bajonese is originally from  Melaka strait and then scattered in various Malay archipelago (Malaysia, Indonesia, Brunai Darussalam and Philippine)  as a result of the arrival of the Portuguese imperialism in the year of the seizing of Malacca 1511. As one the core communities in Melaka Kingdom, the Bajonese fought against the Portuguese Imperialism. Even after the kingdom were surrounded, they    carried on fighting around the coastal areas. Settlement patterns that are semi nomadic as traditional fishermen, resulting in a development of  original learning system. One of the teaching media used is iko-iko (heroism story). It is an endangered tradition as only elderly who are over 50 years old who can tell the stories. Iko-iko literature tradition plays  an important role to convey messages of moral and spirit of fighting which is narrated orally for generations. The story is about heroism which is sung during voyage and as lullaby. The characteristic of iko iko is its systematic lyrics which reflects Malay literature. Therefore along with the spreading of bajonese in South East Asia, the Malay culture is also spread and become the unifier between Indonesia and Southeast Asia. The young generation is lack of interest in inheriting iko-iko with its various versions and stories. Thus, in order to preserve it, it is necessary to documented and transliterated it in the form of books and scientific articles.
Kata Kunci: Folkrole, iko-iko, Melay literature, Bajo ethnic

A.  Pendahuluan
Menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan perkembangan Bahasa dan sastra Melayu adalah perdagangan melalui laut yang banyak dimainkan oleh para pedagang Nusantara sejak abad VII M, ditandai dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, kemudian semakin berkembang pada abad XIII sampai dengan abad XVII periode perkembangan agama dan kerajaan-kerajaan Islam hingga menjelang datangnya bangsa-bangsa Imperialis Eropa di Nusantara. Kurung waktu yang panjang itu pusat perdagangan di Asia Tenggara berada di sekitar Selat Malaka (asal Bahasa/Sastra Melayu). Kekuasaan Sriwijaya atas Selat Malaka baik di Kepulauan Maupun di Semenanjung Melayu antara abad VII-XII, menempatkan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dalam perdagangan, politik, dan budaya. Peran tersebut dilanjutkan oleh Kerajaan Melayu di  Jambi kemudian pindah di Minangkabau, dan selanjutnya Kerajaan Johor. Pada abad XIV muncul Kerajaan Malaka sebagai pemegang kunci perdagangan dan penyebaran agama Islam di Asia Tenggara, sekali lagi Bahasa dan Sastra Melayu memegang peranan penting dalam setiap aktivitas masyarakat dinamis yang melakukan aktivitas di kawasan Nusantara dan Semenanjung Melayu. Pada periode tersebut para pedagang Nusantara terlibat dalam perdagangan internasional seperti Cina, India, Philipina, Australia, dan bahkan sampai di Madagaskan Afrika Selatan (Moehadi, 1986).
Aktivitas perdagangan tersebut menguntungkan perkembangan Bahasa dan Sastra Melayu yang merupakan milik masyarakat yang ada di pesisir pantai dan pulau-pulau di sekitar Selat Malaka. Para pelayar niaga yang melakukan kegiatan perdagangan di daerah ini dituntut untuk memahami Bahasa Melayu sebagai pengantar dalam transaksi dagang, maka tumbuh dan berkembanglah Bahasa dan Sastra Melayu sebagai bahasa bisnis, budaya, selanjutnya para pedagang tersebut dalam perjalanan dan trasaksi di daerah lain Nusantara termasuk di daerah-daerah pesisir Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau di Kawasan Timur Nusantara, sampai di Philipina Selatan, tetap menggunakan Bahasa Melayu. Mereka mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan nilai melalui tradisi lisan diantaranya iko-iko.
Di setiap pelabuhan ditempatkan perwakilan (Syahbandar), pemangku jabatan ini harus makhir berbahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat sebagai alat diplomasi. Peran pedagang Bugis, Buton, Makassar, dan Mandar (BBMM) dalam mentrasformasikan pemakaian Bahasa dan Sastra Melayu di wilayah-wilayah kerajaan pesisir pantai Nusantara dan Asia Tenggara. Sejak abad XVII pelabuhan Makassar menjadi tempat transit barang dagangan dari Kawasan Timur Nusantara untuk selanjutnya ke Barat atau sebaliknya (Hafid, 2005; Zuhdi, 1997). Para pedagang BBMM sudah akrab dengan pedagang Melayu, mungkin pula peran Orang Bajo seperti ditulis dalam Lontarak Asal-usul Suku Bajo, yang memiliki banyak persamaan budaya khususnya bahasa dengan suku Laut di Selat Malaka, juga mengakui leluhurnya dari Johor, yang kemudian tersebar di segenap pesisir pantai dan pulau-pulau terpencil di Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, bahkan sampai di Philipina Selatan, Siam, dan Kamboja. Suku Bajo tetap konsisten mempertahankan Bahasa dan Sastra Melayu, selain Bahasa Bajo (Hafid, 2003).
Masyarakat Bajo memiliki kebanggaan dan kesetiaan pada bahasa dan budayanya. Namun, bahasa dan budaya Bajo tidak diajarkan di sekolah sehingga ada kekhawatiran punah di kemudian hari. Para penutur tradisi lisan yang merupakan satu-satunya alat pelestarian budaya mereka semakin berkurang. Misalnya pelantun Iko–iko M. Syukur yang biasa di panggil Wa Candra atau di panggil Puto Syukur, Si Pelantun Iko–Iko (sastra Bajo), telah meniggal dunia (Anonim, 2009). Puto Syukur meninggal terkenal dengan nyanyian Iko–iko nya yang merupakan cerita-cerita tentang budaya bajo, termasuk masalah sosial yang baru saja terjadi tak lepas dari untaian kata dari iko-iko yang ia bawakan.
Perkembangan iko-iko dari tahun ke tahun mengalami kemunduran (stagnan) bahkan terancam punah. Penutur iko-iko yang masih ada saat ini, termasuk di Sulawesi Tenggara sangat terbatas dan bahkan sangat langka. Dengan demikian jika kondisi ini dibiarkan, maka iko-iko yang merupakan kebanggaan Masyarakat Etnis Bajo akan punah.

B.  Konsep Iko-Iko sebagai Tradisi Lisan
Berbagai media yang digunakan untuk mendokumentasikan sejarah tentang suatu peradaban manusia atau hal-hal lainnya baik melalui media cetak maupun media elektronik, baik lisan maupun tulisan. Bagi Etnis Bajo telah mengenal iko-iko yang dijadikan media dalam penuturan sejarah dan peradabannya sejak dahulu. Iko-iko adalah suatu proses mendokumentasian sejarah Etnis Bajo secara lisan dalam bentuk cerita dengan menggunakan bahasa rakyat yang berbasis pada Bahasa/Sastra Melayu.  
Tradisi lisan iko-iko erat kaitannya dengan antropologi karena berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan Etnis Bajo di berbagai daerah. Iko-iko merupakan sastra lisan, karena disebarkan dari satu orang ke orang lain secara lisan kemudian prosesnya dilihat, didengar, kemudian dilisankan kembali. Jadi, yang dilihat dalam tradisi lisan adalah proses dan hasil melisankan.
Iko-iko merupakan merupakan tradisi lisan, dan juga sastra lisan karena disebarkan dari satu orang ke orang lain secara lisan dan proses pembuatan atau proses kreatifnya didengar dan dilihat oleh penontonnya. Jenis tradisi lisan seperti iko-iko ini dapat menjadi kekuatan kultural dan salah satu sumber penting dalam pembentukan identitas dan peradaban komunitas Bajo. Tradisi lisan iko-iko telah berkembang di kalangan Etnis Bajo sebelum mereka mengenal aksara.
Iko-iko atau senandung yang dilantunkan adalah gambaran kekayaan budaya Etnis Bajo. Pada syair iko-iko terkandung kekayaan bahasa melayu kuno dan baong same (Bahasa Bajo) (Anonim. 2007). Tradisi lisan iko-iko memiliki nuansa pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun-temurun disampaikan secara lisan yang mencakup sejarah, hukum adat, dan pengobatan. Hal-hal yang terkandung dalam suatu tradisi lisan iko-iko adalah fenomena kontemporer dan tradisi dalam masyarakat Bajo yang merupakan warisan nenek moyang. Tradisi dalam bentuk sastra lisan termasuk iko-iko dikatakan/diungkapkan suara yang merdu (oleh penutur) dan didengar (oleh penonton/orang lain).
Untuk menggairahkan kembali keberadaan iko-iko di tengah-tengah Masyarakat Bajo dan mendorong upaya pelestarian budaya ini pada masa mendatang, maka perlu ada upaya pelestarian dalam berbagai bentuk, seperti: penulisan, festival, yang melibatkan para penutur yang masih ada dalam Masyarakat Bajo.
Sasaran yang dapat dicapai  adalah: (1) membangun kecintaan generasi muda Bajo terhadap budaya iko-iko, (2) mendokumentasikan iko-iko sebagai salah satu aset budaya Bajo agar dapat dinikmati oleh generasi mendatang, (3) menumbuhkan gairah masyarakat Bajo untuk mengembangkan iko-iko dan jenis budaya lainnya dimasa mendatang.

C.  Jenis-jenis Iko-Iko
Sebagai suatu cerita rakyat yang di dalamnya mengandung unsur kehidupan sehari-hari,  mata pencaharian, sosial budaya, termasuk kehidupan remaja pun di ceritakan.

1.    Kehidupan Sehari-hari
Contoh: E… naiye sini na mangeten bulinene emma’ si Mimunah.
Naiye sini gilehneare badanne kodoh
Ie emma’ si Maimunah ka bua-lawah tatinda ka papan nai
Tangge tasapu tangan ka cocoroh palelentene nai,
Emma’ Si Mimunah na mamemeanan baringah tangge roma
Artinya:
Hai… kemudian ibu si Maimunah beranjak dari tempat duduknya
Kemudian berputarlah badannya kasihan
Ibu si Maimunah ke pintu dan kaki menginjak ke papan tangga
dan tangan mengusap ke pegangan, kaki menyusuri
Ibu Si Maimunah mengikuti anak tangga rumah.

Cerita tersebut menggambarkan aktivitas sehari-hari kagi kaum perempuan Etnis Bajo yang mulai menetap di rumah panggung, dan selalu menyusuri tangga, dan jembatan kayu karena rumah mereka di atas laut, sehingga mereka harus berjalan hati-hati dalam setiap melangkahkan kaki.

2.    Mata Pencaharian
Contoh:      Uwana anakoda Lamannang matumuna timpusu turingakna;
                      Bona nyonyongbalah, mandiru buai ngiri sangai banga,
Buau lepana patinde iga mandiru,
Tullumbangi iya madiponua ngge tatummu,
Anakkoda Lamannang masih duakka,
Dampale bona malei uwana.
Artinya: Bapaknya Nakhoda Lamannang menemukan karang tempat ikan cakalang,
   Memancing tonda datang angin kencang,
   Tenggelamlah perahunya bersama orangnya.
   Tiga hari lamanya dicari tidak ditemukan.
   Anaknya Nakhoda Lamannang pada saat itu masih kecil,
   Ditinggal mati oleh bapaknya.

Cerita tersebut menggambarkan suka-duka mencari nafkah di laut sebagai mata pencaharian utama Masyarakat Bajo. Mereka meninggalkan sanak keluargannya melaut, namun tidak sedikit pula mereka mengikut sertakan segenap bahkan seluruh anggota anggota keluarganya.Begitu gembira jika menemukan tempat ikan, namun di sisi lain tidak sekit mereka menemukan tantangan berupa angin dan ombak besar disertai hujan deras. Kondisi ini menyebabkan mereka terbiasa menghadapi tantangan hidup, bahkan sering membawa ajalnya. Pengalaman inilah yang sering dilantunkan para orang tua ketika menina bobokkan anak dan atau dalam suasana perjalanan melaut, sehingga memberikan pengalaman berharga bagi generasi mereka dalam bentuk informasi tentang tantangan hidup masa depannya kelak.

3.    Kiasan/Muda-Mudi
Contoh: Bulu tikolo (…) kabura’bura’ sarah belle.
  Mangite iye nyo’ne kabura’bura’ pepetetan Surabaye
  Laloko su dapo mondo dpo (Tal 9)
  Darua karebu ngalenggah tando’ne diaraman si Mallin 
Artinya: Rambut (…) seperti seorang burung elang laut.
Lihat dia, katanya, (dia) seperti boneka Surabaya.
Lelaki setengah anjing, setengah monyet.
Ibarat kerbau yang mengayunkan tanduknya

Contoh 2: Pakasang toho dikoso bunta
Sadiboa ka tana Sunda
Pasang atoanu soho ditunda
Lamong ko ada soho dipanda

Artinya:    Cincang kering dicuci busuk
Minta dibantu ke Tanah Sunda
Pesan orang tuamu diberitahu
Bila mau saya kawini

Mencermati setiap bait pada cerita tersebut menggambarkan sastra Melayu yang diakhiri dengan pasangan kata/huruf yang sama. Keluhuran bahasa mereka, meskipun menggunakan Bahasa Bajo, tetapi ciri sastra Melayu masih nampak dengan jelas baik dari segi bait, maupun dari beberapa suku kata yang menggunakan Kata dari Bahasa Melayu.

4.    Kepahlawanan
Contoh:  Babawang masih dalam bitta atowana
               Bonna diala uwa’na ele Tobelo
               Tikolona pugai button tatawa ma Tobelo
Artinya:  Babawang masih dalam perut ibunya
               Bapaknya diambil oleh Orang Tobelo
               Digantung di pohon kelapa kepalanya oleh Orang Tobelo

Cerita tersebut menggambarkan kekejaman Orang Tobelo terhadap masyakat pesisir di Sulawesi bagian Timur termasuk terhadap Etnis Bajo yang ada di kawasan Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Mereka medapat perlakuan yang kurang manusiawi, khususnya di bawah pimpinan Pangila Tobelo Labolontio yang berhasil dibunuh oleh Haluoleo di Buton.

5.    Sosial Budaya
Contoh: Udaya manangis dumalang ka jambata pelabuhan kapal
            Tumuna kappala Balanda sitummu kapten kapal
            Nanyabia ka Kota Balanda
            Tullumbangia barangka nia uwwana tikka ma Pulau Jawa
            Patilawanna ana’na Manna mandana, iyo na Manna anakku Sidenrilau
            Iyo, ndana Sidenrilau.
            Tullumbangi mabarangka ka Tana Balanda
            Langsung yaduwai ka Budona ngoya ana’na dinda Settiabunga
            Iyo, na uwa tabea aku
            Nggea nakatonanta Sidenringlau
            barangka tullungau kana kodona mbopoauai, mondiru boa mbopanai
Iyona parangiri sangai
            Tullumbangi bittana tullu sisiampuna
            Manderu karapinani kappala Balanda langsung dutai kappala.
            Patilowanna kapten kappala
Iyana mangga kapten kappala
            Baong Sidenringlau iyana aku Kapten Kappala
            Baong anana Setiabunga
            Iyana uwa, iyanaru Sidenringlau
Sananduwaika bido.
            Bona boang iyana ana Denringlau
            Matikka sangang, botek sangang
            matikalloh, botteh kalloh
Artinya: Sesudah menangis berjalan ke jembatan pelabuhan kapal
              Ia bertemu Kapten kapal,
Ia meminta menumpang ke Kapten kapal kemudian berangkat kapal selama 3 hari    
datang bapaknya di Pulau Jawa
Dia tanyakan mana anaknya Sidenringlau
Sidenringlau sudah 3 hari pergi naik kapal Belanda
Maka bapaknya langsung dia turun ke perahunya
Berteriak anaknya Settiabunga namanya
Bapak, saya harus ikut karena kita tidak tahu Sidenringlau
Berangkatlah bertiga dengan nakhoda bernama Mbopanai
Dia  berkata: 3 hari lamanya kita berlayar sudah 3 kali juga  mendapat puting beliung
Kemudian ditemuilah kapal Belanda
Dia naik ke kapal tanyakan Kapten Kapal
Mana Kapten kapal?
Berkata Sidenringlau: sayalah Kapten Kapal
Berkata Settiabunga, sudah dialah Sidenringlau
Ia berkata: Turunlah ke perahu wahai anakku Denringlau
Jika sampai malam, maka engkau kawin malam
Jika sampai siang, maka engkau kawin siang.

     Iko-iko di atas menceritakan tentang kehidupan sosial budaya masyarakat Bajo yang berlayar dan membangun hubungan dengan bangsa Belanda, dalam cerita tersebut terungkap akan pentingnya kasih sayang orang tua kepada anaknya, sehingga keinginan anak akan senantiasa dipertimbangkan oleh orang tua, sepanjang berjalan sesuai dengan adat-istiadat masyarakat Bajo, seperti pernikahan dengan pilihan anak akan dapat direstuai oleh orang  tua.  

D.  Fungsi Iko-iko dalam Penguatan Komunitas Bajo
Iko-iko yang terdapat dalam komunitas Bajo memiliki fungsi sebagaimana dikatakan Danandjaja (1991), sebagai: (a) sistem proyeksi, yakni sebagai pencerminan angan-angan suatu kolektif, (b) alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (c) alat pendidikan anak, (d) alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya.
Menurut hasil penelitian Udu (2010) tentang fungsi tradisi lisan kabanti dalam masyarakat Wakatobi yang mirip dengan iko-iko, yaitu: a) berfungsi sebagai hiburan, b) alat untuk menyampaikan nasihat keagamaan, c) sebagai ingatan kolektif masyarakat tentang suatu peristiwa, d) sebagai sarana pendidikan bagi anak-anak dengan bahasa-bahasa yang bernilai tinggi, e) sebagai penghalus budi, penghalus rasa, f) sebagai sarana transfer budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya, g) sebagai pembangkit semangat, h) sebagai alat untuk memelihara sejarah setempat, i) sebagai alat protes sosial, yaitu memprotes ketidakadilan di dalam masyarakat. Selanjutnya, peran kabanti dalam masyarakat Wakatobi sebagai berikut, yaitu (1) sebagai pengantar tidur, (2) sarana pengungkapan perasaan muda-mudi, (3) bagian acara adat, (4) penenang orang sakit, dan (5) nyanyian kerja.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka iko-iko yang sudah berkembang dalam masyarakat Bajo sejak masa lampau, sesungguhnya masih layak dipertahankan (dilestarikan) dalam kehidupan masa kini, disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Terlepas dari unsur-unsur mistis yang ada di dalamnya, iko-iko memiliki nilai dan norma yang sangat relevan untuk mendukung kehidupan masyarakat secara kolektif, dan menjadi filter terhadap pengaruh-pengaruh negatif akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Nilai dan norma itu menjadi ciri khas dari komunitas Bajo, mengatur tentang perilaku dan hubungan antar individu dalam komunitas Bajo. Nilai-nilai dan norma-norma tersebut kemudian dikembangkan menjadi adat-istiadat dari kelompok masyarakat Bajo seperti sistem mata pencaharian di laut. Adat kebiasaan tidak selamnya mecerminkan kekolotan atau keterbelakangan suatu kelompok masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini, adat-istiadat tersebut justeru dapat menjadi modal dasar dalam kehidupan kolektif. Nilai-nilai kearifan lokal Etnis Bajo yang dikisahkan dalam iko-iko dapat memberikan keseimbangan dan ketertiban (keharmonisan) hidup, melestarikan alam dan lingkungan hidup. Pewarisannya pada generasi penerus, juga sangat bermanfaat dalam rangka memperkecil adanya kesenjangan budaya pada generasi muda. Pewarisan yang efektif dapat dilakukan melalui modifikasi sebagai media pendidikan.  Sebab, kenyataannya, di sebagian masyarakat yang lain, cerita rakyat diyakini memiliki nilai pendidikan, pesan moral, atau norma bermasyarakat yang harus dipatuhi bersama.
Penutur iko-iko sebagai sastra lisan memiliki efek bagi masyarakat yaitu manusia yang tersentuh sastra akan melihat persoalan yang lebih urut dalam hidup karena apa yang dipahaminya dari isi iko-iko merupakan potret kehidupan masyarakat Bajo. Perbedaan-perbedaan akan dipahami karena berangkat dari persepsi berbeda terhadap suatu masalah. Akibatnya, toleransi akan lahir. Sastra lisan iko-iko membantu terciptanya cara berpikir yang demokrat. Sejalan dengan pandangan di atas, maka karya sastra tidak hanya menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya, tetapi juga bisa memberikan pandangan yang berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik, maupun berbagai macam problema yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini.
Banyak peristiwa dan permasalahan serta penyelesaian yang terdapat dalam karya sastra. Karya sastra juga dapat dimanfaatkan oleh pembaca dalam kehidupannya, baik dari segi moral, sosial, agama, ataupun masalah pendidikan. Hal ini merupakan tanggung jawab pengarang kepada pembaca, seperti tujuan pengarang menciptakan karyanya adalah memberikan manfaat dan kenikmatan sekaligus menyatakan hal-hal yang enak didengar dan berfaidah dalam kehidupan. Berikut diperikan beberapa fungsi iko-iko dalam pengembangan Komunitas Etnis Bajo:

1.    Fungsi Pendidikan
Terdapat sejumlah pengetahuan, nilai dan sikap yang disampikan oleh penutur kepada pendengar melalui iko-iko. Fungsi pendidikan mencakup pembentukan karakter, moral dan keterampilan (Suastika, 2011). Dalam konteks ini terdapat konsep kejujuran, kediplinan, benar salah, baik buruk, anjuran untuk rajin bekerja, berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi diri dan orang lain.
Contoh: tidurrako ana barakta taupe dallekta boku paluaka dilau mamiadalleku sanang.
            Barakmia jepama balania anakku sanang
            Bodidahaka mamaseh belesanang
Artinya: Tidurlah anak supaya dapat bermimpi melihat rezeki kita, agar nanti saya melaut mencari rezeki kita kasihan, supaya belanja kita kasihan mencukupi, sehingga tidak dipandang rendah kita kasihan.

Salah satu program pemberdayaan masyarakat yang memanfaatkan tradisi lisan iko-iko adalah program pendidikan keaksaraan dengan fokus pada perempuan yang ada di komunitas Bajo dengan menggunakan cerita rakyat iko-iko sebagai sumber, media, dan bahan pembelajaran. Pelestarian dan pengembangan iko-iko sebagai bagian kebudayaan nasional, menjadikan kegiatan pembelajaran sebagai suasana rekreasi peserta didik sekaligus meningkatkan keberaksaraan.
Indikator pencapaian hasil belajar, dapat dilihat dari empat aspek, dengan capaian: (1) tingkat kehadiran peserta didik setiap Kelompok Belajar rata-rata minimal 85%, (2) Tingkat ketuntasan belajar peserta didik minimal 65% baik teori maupun praktek, (3) Tingkat kehadiran pendidik (tutor/fasilitator) rata-rata 95%, dan (4) Bahan belajar yang diperoleh peserta didik sebanyak 60% dari mereka dapat mengembangkan keterampilan produktif pascaprogram ini dan atau dapat mengembangkan budaya (Hafid, 2011).
 
2.    Fungsi Religius
Konsep religius mencakup pesan-pesan seputar ajaran Islam, misalnya: shalat lima waktu, puasa, zakat, haji, dan membantu orang lain.
Contoh1 : Para ellow antara ellow
Nggai samulia jumaha ellow
Parala nabi antara nabi
Nggai samulia Muhammad Nabi
Para bulan antara bulan
Nggai samulia bulan puasa
Para tuan antara tuan
Nggai darua Tuhan Yang Esa
Hai Papuku sugi singsara
Pabillianna ridda mudana
Nggai tareke para pamakarissana
Liwa parana dibunanna ma’na

Artinya:   Banyak hari antara hari
Tidak semulia hari Jum’at
Banyak nabi antara nabi
Tidak semulia Nabi Muhammad
Banyak bulan antara bulan
Tidak semulia bulan puasa
Banyak tuan antara tuan
Tidak ada Tuhan Selain Tuhan Yang Esa.
Ya Tuhanku (Tuhannya) kaya dan miskin
Menjual pula sangat murahnya
Tidak terhitung banyak nikmatnya
Limpah karunia bagi hambanya.
Untaian bait dan narasi cerita tersebut menggambarkan aspek religius dan kehalusan bahasa/sastra yang digunakan sekali lagi mencerminkan Sastra Melayu. Liris cerita tersebut, merupakan suatu sarana dakwa Islamiyah kepada segenap pendengarnya. Mencermati rangkaian kalimat tersebut terdapat dua pesan yang disampaikan sekaligus, yaitu: bahasa dan Sastra Melayu, dan dakwah terhadap ajaran Islam.

3.    Fungsi Sosial
Pengungkapan seorang tokoh dalam memerankan sesuatu yang menjalin hubungan dengan warganya dan atau menjalin hubungan dengan anggota komunitas lainnya. Hubungan sosial mencakup keterkaitan dengan komunikasi sosial secara damai atau komunikasi melalui konflik. Di sisi lain, penuturan iko-iko melibatkan minimal dua orang yaitu penutur dan pendengar. Dalam situasi ini terjadi hubungan sosial, dan sering kali dalam proses penuturan melibatkan banyak orang karena sering dituturkan pada suasana rangkain acara perkawinan, dan rangkaian upacara kematian, selain dilakukan saat melaut dan atau pengantar tidur.
Contoh:   Dayah tabe dayah maalo
Dayah menandi maboroh samo
Tabe lalo mabundaan nta
Kami itu nauya sama.
Artinya:   Ikan tabe di dalam nambo
Ikan menandi lokasi lama
Minta maaf di hadapan bapak
Kami ini mau menyanyi bajo.

Secara filosofis, jika kembali melihat ungkapan bahasa dari syair lagu mereka yang tertata dengan rapi dalam bentuk bait sehingga memiliki makna tertentu, maka masyarakat Bajo memiliki budaya yang tinggi. Budaya seperti itu, mengingatkan kita bahwa mereka memiliki pertalian budaya dengan kelompok masyarakat yang ada di Kepulauan Riu sebagai sumber budaya Melayu, dimana tradisi sejenis berkembang dengan pesat.

4.    Fungsi Pengembangan Patriotisme
Terdapat cerita ketokohan seseorang dalam peperangan melawan kaum Imperialis:
NAHKODA ASANG:
Nahkoda Asang Bele
Bele llaw masi ya didikki Boan pore sanang pore lama’ ma rantau
Kalaha’ sehe ma mia dirina dirantau sanang ooo
Nahkoda Asang
dia masih kecil sudah di tinggalkan pergi berlayar merantau
ke kampung orang lain mencari jati dirinya
Kallalao ele kabittaang na nggai bele lagi sanang ya tattanda ele mma na
 Ma tikka ne ya ma kampoh sanang masi ya teteo bona ngala gandah na, ngala po’ saramana sanang bele
Merantau, karena lamanya, dia sudah tidak di tandai oleh Mamanya.
Setelah dia sampai ke Kampung, masih jauh dia sudah mengambil Gendang kemudian memukulnya
Duaine manusia kampoh, pupo’ ka toroh jambatah
Bona ngoya’ sanang yo’ na ooo Juragang daha kita gege(r)
barah dandangang datu bele             
datang lah orang-orang di kampung, berkumpul di ujung jembatang,
kemudian dia berteriak ., juragan jangan ribut, siapa tahu ada anak Datu/Raja
Bona palua sanang bona ningge ma poong tikala’ Bona ngoya’ ka kampoh
Ayo’na datu barah kaang ne kamu tikkang kampoh kami bele
Allau patundo sanang ne iyya ka torh jambatah bona duai matilawang mmana
kemudian dia keluar (dari kapal), dia berdiri di tiang layar, kemudian berteriak ke kampung. Katanya  kami datang ke kampung kami. setelah sandar ke ujung jembatan, dia (Nahkoda Asang) menanyakan Mamanya.
Yyo’na oooo mma bele sanang
Ngga ko sanang ndiku, Sitti Rugayya
Andah , yyo’na sanang ndi nnte Sitti Rugaiyya udane sanang di boa ele Balanda bele sanang ka tana balanda 
Katanya , hai Mama , Di mana Adikku, Sitti Rugayya.
Ibunya menjawab Sitti Rugaiyya sudah di bawa oleh Belanda ke negeri Belanda
Allau yyo’na mma ooo bele sanang
Cilaka ai ko itu ma aku nggai wwa ku karapiku, nggai ndi kudu karapiku bele
Undah iyya ma nanges bona manguju dirina sanang
(di hari itu katanya, celaka apakah ini yang terjadi pada diriku tidak ada bapakku saya dapatkan, bukan juga adikku. Setelah dia menangis dia mempersiapkan dirinya (akan berangkat)
Bona duai ka bido’ dui ya ka bido’ pakunjah sanang Mbo Panai
Yyo’na ana’ Nahkoda Asang, boanu aku katonang ku nte piddi’ atainu na pore bono ka tana Balanda
Ndah bona barangka’ sanang ka tana Balanda                
(Kemudian dia (Nahkoda Asang)  turun ke Perahunya, melompatlah Mbo Panai, Katanya Anakku Nahkoda Asang. bawa saya, saya tahu kau sakit hati, sehingga mau pergi berperang ke negeri Belanda)
Masi ya teteo kita ne kappal Balanda
pa ampa’ ma bundaang na
Bona ngala mariang na sanang
Bona nyerang kappal Balanda nggai bibitta bona patindeng
(Masih jauh, dia sudah melihat Kapal Belanda, menghadang di depannya. Kemudia mereka mengambil Meriam dan menyerang kapal Belanda, tidak lama Kapal itu tenggelam)
 Cerita tersebut menggambarkan sikap patriotisme Orang Bajo melawan kaum Imperialis Belanda, maka tidak mengherankan jika Gelar Perompak yang melekat pada mereka pada Zaman Imperialisme Belanda, karena Orang Bajo benar-benar berjuang melawan Belanda, seperti yang terjadi di Kerajaan Bone (BajoE). Kelompok Etnis Bajo merupakan ujung tombak pertahanan laut Kerajaan Bone melawan Belanda terutama pada tahun 1905 ketika perang Bone yang keempat melawan Belanda (Hafid, 2008).

5.    Fungsi Estetika
Penuturan iko-iko mulai cara menuturkan dengan suara dan lagu yang menarik, disusul alur cerita yang lucu, sehingga mengundang tawa para pendengarnya. Namun tidak sedikit mengundang renungan yang mendalam dari pendengar untuk selanjutnya menertawakan makna di balik lirik cerita.
            Berdasarkan beberapa rangkaian cerita iko-iko tersebut memperkuat hipotesis bahwa Etnis Bajo telah berjasa di Nusantara ini dalam 4 aspek: (1) Penyebaran Bahasa dan Sastra Melayu, (2) Penyebaran agama Islam, dan (3) penyebaran tanaman sagu (di mana saja pemukiman Etnis Bajo ditemukan taman sagu), (4) perlawanan terhadap Imperilaisme Eropa (Portugis dan Belanda).

F. Penutup
Sistem pemukiman yang semi-nomaden sebagai nelayan tradisional bagi Etnis Bajo, mengakibatkan mereka mengembangkan sistem pembelajaran asli (learning comunitas system). Salah satu media pembelajaran yang banyak digunakan adalah iko-iko (tradisi lisan dalam bentuk sastra Melayu), jenis tradisi lisan ini terancam punah karena kurang diminati generasi muda, umumnya mereka yang bisa mengisahkannya berusia lanjut. Tradisi lisan sastra iko-iko mengisahkan tentang kehidupan sehari-hari, kepahlawanan, sistem mata pencaharian Etnis Bajo, dan kiasan/muda-mudi. Selain itu terdapat fungsi edukatif, fungsi religius, fungsi sosial, fungsi estetika. Melalui iko-iko dapat disampaikan pesan-pesan moral dan semangat juang yang dituturkan secara lisan dari generasi ke generasi, berkisah tentang kepahlawanan dan dibawakan selama beberapa jam yang dinyanyikan menjelang tidur, saat ada upacara daur hidup dan atau saat dalam pelayaran.
Ciri khas iko-iko adalah lirik dan baitnya secara teratur yang mencerminkan sastra Melayu, sehingga persebaran Etnis Bajo dengan sastra iko-iko ikut menyebarkan Bahasa/Sastra Melayu ke berbagai wilayah pesisir Nusantara dan Asia Tenggara. Bagi Etnis Bajo di manapun bermukim, tetap memelihara tradisilisan iko-iko, sehingga menjadi instrumen penguatan komunitas ini.
Ada banyak cerita rakyat di masyarakat yang berisi kearifan lokal termasuk iko-iko. Selain berisi ajaran hubungan manusia dengan manusia, banyak juga berisi ajaran hubungan manusia dengan alam atau manusia dengan Tuhan. Muatan kearifan lokal dalam tradisi lisan inilah merupakan pelajaran tersembunyi yang selama ini masih belum banyak dipahami masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA


Anderson, Benedict . 2001. Komunitas-Komunitas Terbayang (terj), Yogyakarta: INSIST.
Anonim. 2007. Seanomic (Manusia Perahu) dan Suku Bajo. http://syaifulhalim.blogspot.com/2007/06/misteri-manusia-perahu.html. Akses, 22 April 2012).
Anonim. 2009. Bajo Bangkit, Kamis, 03 September 2009. http://bajobangkit-sultra.blogspot.com/. Akses, 22 April 2012
Asmito. 1988. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: P2LPTK Depdikbud.
Danandjaja, James  1983. “Folklor sebagai Bahan Penelitian Antropologi Psikologi”, dalam Analisa Kebudayaan Th. IV No. 3 1983/1984. Jakarta: Depdikbud. Halaman 61-71.
Danandjaja, James. 1991. “Kegunaan Folklor Sebagai Sumber Sejarah Lokal Desa-desa Indonesia”, dalam Bahasa-Sastra-Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Danandjaja, James. 2002.  Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain, Jakarta: Grafiti.
Hafid, Anwar, dkk. 2011. Pemberatasan Buta Asara Berbasis Cerita Rakyat. Kendari: YAKAMDES kerja sama  Direktorat Pendidikan Masyarakat Kemendiknas.
Hafid, Anwar. 2003. Manajemen Pemberdayaan Perempuan: Studi pada Keluarga Nelayan Suku Bajo. Bandung: Alfabeta.
Hafid, Anwar. 2005. “Konsistensi Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjalanan Sejarah Bangsa Indonesia”. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Peningkatan Konsistensi Berbahasa Menuju Pemanfaatan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Perhubungan Luas”, Kendari 11-13 Oktober 2005.
Hafid, Anwar. 2008. Asal-Ususl Persebaran Suku Bajo. Kendari: Unhalu Press.
Moehadi. 1986. Sejarah Indonesia Modul 1-3. Jakarta: Universitas Terbuka.
Peursen, C.A. van. 1976. Strtaegi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Pudentia. 1998.  Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suastika, I Made. 2011. Tradisi Sastra Lisan (Satua) di Bali: Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna. Denpasar: Pustaka Larasati.
Udu, Sumi. 2010. Tradisi Kabanti: Fungsi dan Perannya dalam Masyarakat Wakatobi. http://sumiman.blogspot.com/2010/10/tradisi-lisan-kabanti-fungsi-dan.html?zx=57922a 4eb8ae7345. Akses, 27 April 2012.
Zuhdi, S. 1997. “Sulawesi Tenggara dalam jalur Pelayaran dan Perdagangan Internasional Abad XVII-XVIII”. Makalah disajikan dalam seminar Nasional Sejarah dan Masyarakat Maritim di Kawasan Timur Indonesia. Kendari, 8-9 September 1997.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar