Rabu, 03 Juni 2020

BERITA PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA DI SULAWESI



PERJUANGAN MENYEBARKAN BERITA PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA DI SULAWESI





Makalah
Disajikan dalam Bimbingan Pelestarian Nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial (K2KS) Dinas Sosial Propinsi Sulawesi Tenggara,
 tanggal 19 Oktober 2015


 

Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
Guru Besar pada FKIP Universitas Halu Oleo


 


DINAS SOSIAL PROPINSI
SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2015











BERITA PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA DI SULAWESI DAN RESPONNYA
Oleh : Anwar Hafid
A.    PENDAHULUAN
Ketika Bung Karno membacakan naskah proklamasi di teras rumahnya, Jl. Pengangsaan Timur No. 56 Jakarta, tanggal 17 Agustus 1945. Empat orang putra terbaik Sulawesi turut hadir pada peristiwa bersejarah itu. Mereka adalah Dr. G.S.S.J. Ratulangie, Andi Pangerang Daeng Parani, Andi Sultan Daeng Raja dan Mr. Andi Zaenal Abidin. Sehari sebelumnya mereka juga menghadiri pertemuan penting dirumah Laksamana Tadachi Maeda dan terlibat dalam kehangatan pertemuan itu. Kedatangan delegasi Sulawesi ke Jakarta adalah dalam rangka mengikuti sidang-sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Dr. G.S.S.J. Ratulangie dan Andi Pangerang Daeng Parani adalah anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mewakili Sulawesi sedang Andi Sultan Daeng Raja sekalipun bukan anggota PPKI, tetapi ia diutus oleh para pemimpin pejuang Sulawesi untuk mengikuti sidang-sidang PPKI di Jakarta, dalam kapasitasnya sebagai tokoh masyarakat Sulawesi (Selatan) yang sangat berpengaruh dan juga atas perannya sebagai anggota SUDARA (Sumber Darah Rakyat), sebuah organisasi perjuangan kemerdekaan Indonesia di Makassar yang sebelumnya dikenal dengan nama Ken Koku Doshikai. Sementara itu Mr. Andi Zaenal Abidin bertugas selaku sekretaris dari perutusan Sulawesi di PPKI. [1]
Selama berada di Jakarta, keempat utusan Sulawesi itu sangat aktif mengikuti berbagai kegiatan politik dan menghadiri acara-acara penting menjelang proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Mereka juga datang pada rapat dan pertemuan politik di hari-hari awal pasca kemerdekaan. Pada tanggal 18 Agustus 1945 mereka berempat mengikuti sidang hari pertama PPKI sehari setelah kemerdekaan Indonesia dan menjadi menjadi saksi hangatnya perdebatan pada sidang PPKI yang menentukan bagi perjalanan sejarah Indonesia kemudian. Pada sidang itulah disepakati untuk mengesahkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pemilihan Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada sidang itu juga dibicarakan tugas-tugas yang dibebankan kepada KNI (Komite Nasional Indonesia) dalam mekanisme pemerintahan Republik Indonesia.
Utusan Sulawesi tersebut juga mengikuti sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 dengan agenda khusus; Pembentukan perangkat pemerintahan, pengukuhan anggota-anggota kabinet, pembagian wilayah Republik Indonesia ke dalam delapan propinsi serta pengangkatan gubernur-gubernur disetiap propinsi. Satu diantaranya adalah pengangkatan Dr. G.S.S.J. Ratulangie menjadi Gubernur Sulawesi. [2]
Pada hari yang sama tanggal 19 Agustus 1945 sore hari segera setelah sidang PPKI Dr. G.S.S.J. Ratulangie dkk, segera bergegas kembali ke Sulawesi  dan mendarat dengan selamat disebuah lapangan terbang kecil di Bulukumba ± 160 KM selatan Kota Makassar. Sementara itu berita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang sampai ke Sulawesi hanya diketahui oleh segelintir orang saja yang secara terbatas memiliki radio. Berita kemerdekaan Indonesia barulah tersebar secara luas di Sulawesi pada tanggal 20 Agustus 1945 bertepatan dengan kedatangan kembali Dr. G.S.S.J. Ratulangie di Makassar.
Bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia khususnya anggota SUDARA kemerdekaan Indonesia adalah sebuah karunia Tuhan yang diberikan sebagai buah perjuangandan pengorbanan mereka, tetapi bagi Dr. G.S.S.J. Ratulangie yang telah berstatus sebagai gubernur Sulawesi mengisi kemerdekaan adalah sebuah perjuangan yang tak kalah beratnya.  Atas pengangkatannya sebagai Gubernur Sulawesi ia diberi mandat dan kekuasaan penuh tidak hanya sekedar mempermaklumkan diri secara formal sebagai Gubernur Sulawesi, tetapi juga kepadanya dituntut untuk segera membentuk KNI–D (Komite Nasional Indonesia Daerah) yang akan membantunya sebagai media pelaksana dalam menjalankan roda pemerintahan di Sulawesi. Dr. G.S.S.J. Ratulangie ditugaskan juga segera mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan dan menyiapkan kantor gubernur yang akan menjadi pusat kegiatan aparatur negara di Propinsi Sulawesi. Uraian tugas-tugasnya selaku gubernur Sulawesi, telah tertuang dalam amanah sidang PPKI 19 Agustus 1945.
Karena itulah maka pembentukan KNI-D di Sulawesi sangat mendesak karena dengan terbentuknya KNI-D, maka secara langsung dapat dikatakan peran, tugas dan tanggung jawab seorang gubernur telah berfungsi dan berjalan dengan baik. Dengan demikian maka secara de facto Republik Indonesia telah berdiri dan berkuasa di Sulawesi. Namun apa yang terjadi, rakyat Sulawesi kecewa karena merasa bahwa Dr. G.S.S.J. Ratulangie tidak dapat berbuat banyak dalam menjalankan perannya selaku gubernur. Keragu-raguan dan kehati-hatian sang gubernur dalam penataan administrasi pemerintahan berawal dari keragu-raguannya dalam hal pengambil alihan pemerintahan di Sulawesi dari tangan penguasa Jepang yang ketika itu sudah berstatus kalah perang dan tidak berdaya.
Sikap Dr. G.S.S.J. Ratulangie yang sangat hati-hati itu didasari oleh pertimbangan yang sangat dalam, terutama masalah keamanan Sulawesi, karena bagi Dr. G.S.S.J. Ratulangie, sebuah kekuasaan haruslah dilindungi oleh kekuatan bersenjata. Faktor utama itulah yang tidak dimiliki oleh Propinsi Sulawesi, karena bagi Dr. G.S.S.J. Ratulangie, dukungan yang besar dari berbagai organisasi pemuda dan badan-badan perjuangan di Sulawesi belum cukup dan belum dapat diandalkan sebagai perisai yang melindungi kekuasaan Republik Indonesia di Sulawesi. Baginya para pemuda bukan tentara yang terlatih dan mereka juga tidak memiliki persenjataan modern yang tangguh. Karena itu jika terjadi pertempuran bisa dibayangkan akibatnya.
Untuk itulah, maka Dr. G.S.S.J. Ratulangie telah mengutus dua orang tokoh pemuda pejuang Sulawesi ke Jawa, Moh. Saleh Lahade dan Manai Sophian untuk menemui Bung Karno agar pemerintah pusat dapat mengirim bantuan pasukan, senjata serta peralatan perang lainnya ke Sulawesi. Atas sikapnya yang hati-hati itu Dr. G.S.S.J. Ratulangie seakan tidak dapat menangkap kegelisahan para pemuda pejuang Sulawesi, yang ketika itu sudah berada dalam suasana revolusi yang hampir tidak dapat dibendung lagi. (Maulwi Saelan, 2008) Namun demikian tampaknya perbedaan pandangan antara para pemuda dengan gubernur Sulawesi tidak menyebabkan para pemuda dapat bertindak seenaknya tanpa sepengetahuan sang Gubernur, karena bagaimanapun juga Dr. G.S.S.J Ratulangie adalah seorang gubernur yang diangkat langsung dari pusat.
Sembilan bulan lamanya Dr. G.S.S.J. Ratulangie berjalan pada prinsipnya yang sangat hati-hati, penuh pertimbangan bahkan mungkin mendekati keragu-raguan, termasuk satu setengah bulan lamanya Sulawesi dalam keadaan vakum dari tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan 24 September 1945, atau sejak pernyataan kekalahan Jepang pada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945 hingga kedatangan Tentara Sekutu yang membawa serta NICA (Nederlandsch Indie Civil Administratie) di Makassar. [3]
Kedatangan Sekutu yang membawa NICA turut serta bersamanya ke Indonesia adalah sebuah babakan baru bagi sejarah Kolonial Belanda di Indonesia, karena ketika itu NICA menemukan realitas yang tidak diduga sebelumnya, ialah bahwa Nederlands Indie yang dulu sebagai negeri jajahannya, kini telah memproklamasikan diri sebagai negara merdeka dengan nama Republik Indonesia. Walaupun teritorialnya secara de facto hanya terbatas di Indonesia Bagian Barat terutama di Jawa dan Sumatera. Sementara di Indonesia Bagian Timur khususnya di Sulawesi kekuasaan Negara Republik Indonesia belum sepenuhnya berdiri, tetapi keadaan ini tidak berarti bahwa NICA dapat dengan mudah menguasai Indonesia bagian timur khususnya Sulawesi.
Hal ini terjadi karena di Sulawesi telah terbentuk organisasi-organisasi perjuangan kemerdekaan Indonesia yang sangat tangguh, karena itu untuk menguasai Sulawesi, memerlukan perjuangan yang berat. Atas dasar itulah NICA melakukan penekanan dan pendekatan kepada Dr. G.S.S.J. Ratulangie agar mau berdamai dengan NICA. Keadaan ini membuat Dr. G.S.S.J. Ratulangie menjadi sangat terpojok. Ia memang pernah mengutus Moh. Saleh Lahade dan Manai Sophian untuk meminta bantuan pasukan, senjata, dan peralatan militer agar segera dikirim ke Sulawesi untuk menjaga kedaulatan Republik Indonesia. Tetapi pasukan, senjata, dan peralatan militer yang ditunggu-tunggu tidak kunjung tiba. Karena itu ia memilih untuk berunding demi menjaga ketentraman Sulawesi sambil menunggu datangnya bantuan pemerintah pusat yang dimintanya. Walau akhirnya bantuan dalam jumlah yang sangat besar tiba di Sulawesi untuk mendukung idealisme Dr. G.S.S.J. Ratulangie, tetapi ketika bantuan itu tiba sang gubernur sudah ditangkap oleh KNIL dan dibuang ke Serui tanggal 5 April 1946.[4]

B.     Medium (alat penyebaran berita: surat kabar, radio, orang/tokoh langsung,  Kantor Berita Domei, tokoh PPKI, Pengiriman Delegasi)
1.      Penyebaran Melalui Tokoh PPKI dan Pengiriman Delegasi
Setiba Dr. G.S.S.J. Ratulangie di Makassar, langsung menginap di Hotel Empress bersama Mr. Andi Zainal Abidin selama seminggu di sini mengorganisir strategi perjuangan yang dimulai dengan penyebaran berita proklamasi, dan upaya membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kemerdekaan dan upaya mempertahankannya.
Selaku Gubernur Sulawesi,  menyadari bahwa Dr. G.S.S.J. Ratulangie posisinya amat sulit. Para pemuda menganggap tindakan gubernur terlalu berhati-hati. Oleh karena itu, para pemuda mulai merencanakan untuk merebut gedung-gedung vital, seperti stasiun radio dan tangsi polisi. Kelompok pemuda tersebut terdiri atas kelompok Barisan Berani Mati, bekas Kaigun Heiho dan pelajar SMP.
Segera setelah Dr. G.S.S.J. Ratulangie kembali ke Makassar, ia menyebarkan berita proklamasi dan menata pemerintahan sekaligus mengorganisir perjuangan rakyat mempertahankan kemerdekaan dalam wadah organisasi Pusat Keselematan Rakyat (PKR) yang dipimpin oleh Dr. G.S.S.J. Ratulangie, dengan menghimpun segenap tokoh-tokoh lintas etnis yang ada di Makassar, seperti:
1.      Lanto Daeng Pasewang dari Sulawesi Selatan
2.      Saleh Daeng Tompo dari Sulawesi Selatan
3.      Latumahina dari Maluku
4.      Soewarno dari Jawa
5.      Mr. Andi Zainal Abidin dari Sulawesi Selatan
6.      I.P.L. Tobing dari Sumatera
7.      W.S.T. Pondang dari Sulawesi Utara.[5]
Rakyat Sulawesi menyambut hangat berita proklamasi dan memberikan dukungan penuh kepada Dr. G.S.S.J. Ratulangie untuk melakukan konsolidasi pemerintah RI di wilayah Sulawesi, rakyat mendesak untuk mengambil alih kekuasaan dari Jepang, maka Dr. G.S.S.J. Ratulangie mengadakan diplomasi dengan pimpinan Tentara Jepang di Makassar, namun pihak Jepang tidak bersedia memberikan kekuasaan kepada Bangsa Indonesia karena takut kepada Sekutu yang akan segerah datang. Dr. G.S.S.J. Ratulangie menasehati para pemuda untuk tidak melakukan tindakan revolusioner melawan Jepang, demi mencegah pertumpahan darah dan meyakini bahwa Jepang akan segera meninggalkan Nusantara untuk selamanya. 
Penyebaran berita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia itu disebarkan secara formal, melalui Tim Dr. G.S.S.J. Ratulangie menuju ke Utara sedangkan Tim Lanto Daeng Pasewang ke Selatan. Dimaksudkan untuk menyusun kekuasaan dan menggalang persatuan dengan makin santernya berita pendaratan tentara Sekutu di Sulawesi Selatan. Dr. G.S.S.J. Ratulangie tetap mempertahankan pendiriannya untuk tetap menghindari perlawanan bersenjata dan menggantikannya dengan jalan diplomasi, berdasarkan suatu perhitungan yang matang.
Sebelum Gubernur Sulawesi Dr. G.S.S.J. Ratulangie menyampaikan secara resmi berita proklamasi, maka beberapa pemuka masyarakat yang dekat dengan prajurit Jepang telah mengetahui kabar penting itu. Ada yang mendengar langsung dari radio miliknya, ada pula lewat pemberitahuan tidak resmi dari orang Jepang. Hal ini hampir terjadi disemua kota-kota kecil di Sulawei Selatan, seperti: Pare-pare, Soppeng, dan Palopo. Selain itu, perlahan-lahan muncul semacam pusat-pusat kegiatan pemuda pendukung kemerdekaan masing-masing:
1.      Kota Makassar dan sekitanya;
2.      Kota Pare-pare dan sekitanya; dan
3.      Kota Palopo dan sekitarnya.
4.      Kota Watampone
5.      Kota Watangsoppeng, dan
6.      Kota Sengkang.
Di antara daerah-daerah tersebut, Bonelah yang menonjol, dikaitkan figur Andi Mappayukki selaku Raja Bone yang sejak awal tergabung dalam perjuangan mempersiapkan kemerdekaan dan Andi Pangeran Daeng Parani selaku putra Raja Bone (tokoh PPKI yang hadir dalam proklamasi kemerdekaan di Jakarta). Kedudukan Bone pada awal proklamasi, dapat disamakan dengan Bulukumba, dimana Andi Sultan Daeng Raja berada (tokoh yang hadir dalam proklamasi kemerdekaan di Jakarta).[6]   
Semangat bertambah kokoh, berhubung beberapa tokoh kemerdekaan dari Makassar ke Bantaeng, mereka tiba pada awal Septembar 1945 yang terdiri dari Lanto Daeng Pasewang, Manai Sophian, A.N. Hajarati, A. Majid, dan Achmad Massiara. Andi Mannapiang sebagai Raja Bantaeng yang ditemui tokoh  politik itu, segera menyatakan bahwa Bantaeng sebagai wilayah RI. Melihat gejala para pemuda akan bertindak, maka pasukan Jepang meninggalkan Bantaeng, mereka melarikan diri ke gunung-gunung dan semua persenjataan milik Jepang dibawa serta sebelum dirampas oleh pemuda.
Di daerah kediaman Andi Sultan Daeng Raja Bulukumba, gerakan kemerdekaan cukup menonjol. Andi Sultan yang juga menjadi Raja Gattarang, suatu kerajaan kecil di Bulukumba sejak masa pemerintahan Jepang sudah sering kali menyelipkan ide kemerdekaan dalam setiap pidatonya. Ia membuka pintu berkembangnya pertahanan kemerdekaan seperti: Muhammadiyah, PNI, dan organisasi SUDARA dibentuknya. Melalui organisasi itu, dukungan terhadap kemerdekaan dibina. Ketika berita kemerdekaan dibawa oleh Andi Sultan dari Jakarta, 19 Agustus 1945, tokoh pergerakan dan organisasi pemuda menyambut dengan amat gembira.
Para pemuda di Daerah Sinjai pada awal kemerdekaan tampil dan konsekuen atas pernyataan dukungan mereka terhadap proklamasi pemerintahan RI Daerah Sinjai terbentuk. Kepala pemerintahan RI yang pertama ialah Andi Mappotaba, dibantu oleh Andi Indar, dan Andi Jayalangkara. Dengan demikian kevakuman kekuasaan setelah pemerintah militer Jepang menyerah kepada Sekutu diisi oleh pemerintah RI yang berlangsung sampai munculnya NICA pada pertengahan bulan Oktober 1945.
Di Selayar pulau kecil di sebelah selatan agak dekat dengan Bulukumba, dukungan rakyat dibuktikan pada tanggal 10 Oktober 1945, mereka menurunkan bendera Belanda dan menaikkan bendera merah putih. Pelopor kemerdekaan yang disegani rakyat Selayar ialah Aruppala. Wadah organisasi yang mempersatukan pendukung kemerdekaan, PKR (Perkumpulan Kedaulatan Rakyat ) yang dibentuk diketuai oleh Aruppala, maka sejak hari itu bendera merah putih berkibar di ibu  kota Selayar. [7]

2.      Pemberitaan Melalui Media Radio
Selain itu berita radio dan informasi dari prajurit-prajurit Jepang yang bersimpati terhadap perjuangan Bangsa Indonesia. Di Soppeng, berita kemerdekaan mulai dibicarakan secara berbisik sejak tanggal 22 Agustus1945. Kemudian, setelah organisasi PNI (Pemuda Nasional Indonesia) terbentuk atas inisiatip Andi Mahmud, berita kemerdekaan tersebar luas. Andi Mahmud yang memiliki pesawat radio sempat mendengar adaya proklamsi itu. Ketik itu, ia menjabat sebagai Kepala Distrik Liliriaja Onderafdeling Sopeng. Di Kota Pare-pare, Andi Abdullah Bau Masspe dapat mendengar berita proklamasi Kemedekaan melalui radio miliknya, sehingga dengan cepat dapat menyebarkan ke segenap kerabat dan rakyat, dan selanjutnya Andi Abdullah Bau Masspe menjadi salah seorang pelopor pendukung kemerdekaan diantara para raja dan bangsawan yang ada di Sulawesi Selatan.
Berita Proklamasi 17 Agustus 1945 di Kolaka diterima dari orang Jepang yang mendengar melalui radio, yaitu oleh Kabasima Komandan Tentara Jepang yang bertugas di daerah pertambangan Nikel Pomalaa-Kolaka. Patut dicatat bahwa Kabasima Taico yang kemudian berganti nama menjadi Mansur bersama temannya yang dikenal dengan nama Sukri tidak mau dipulangkan ke Jepang bersama tawanan peran dan ikut berjuang bersama pemuda Kolaka menentang pendudukan Belanda di Kolaka Utara (Lasusua) mereka mendirikan gerakan Kipas Hitam untuk menentang NICA. [8]
Kolaka sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Luwu para pemudanya telah melakukan langkah maju, karena sejak tanggal 18 Agustus1945, membentuk organisasi pemuda militan, bernama GKR (Gerakan Kebangunan Rakyat). Wadah itu dibentuk atas izin Kabasima (AL). Jepang yang bertugas di wilayah pertambangan Nikel Pomalaa. Pimpian GKR ialah M. Jufri Tambora, dibantu oleh Andi Punna, Ali Kamri bersama 11 orang. Dari pihak Jepang duduk sebagai penasehat: Kapten Kabasima dan Kapten Fujiyama. Dari pihak Jepang, telah diperoleh informasi perubahan situsai, termasuk kekalahan Jepang kepada Sekutu dan berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Demikian pula, jalur lalulintas laut di Teluk Bone antara Luwu dan Kolaka (Mincarangapa) tidak pernah berhenti. Dengan demikian, pada tanggal 20 Agustus 1945, berita proklamasi kemerdekaan dari Palopo sudah sampai pada para pemuda GKR dan masyarakat luas di Kolaka karena dibawa pula oleh para perantau yang baru datang dari Palopo. Atas dasar itu, M Jufri Tambora yang masih memiliki hubungan keluarga dengan bangsawan Luwu, berangkat menuju Palopo. Tujuannya, ialah untuk mendapat berita resmi seikap Raja Luwu terhadap proklamasi kemerdekaan bangsa Insonesia. Jufri Tambora kembali ke Kolaka pada pertengahan September 1945 membawa kepastian sikap Raja Luwu terhadap kemerdekaan itu. [9]
Turut sertanya beberapa orang Jepang dalam perjuangan menentang Belanda/NICA menggambarkan betapa jauhnya oknum tentara Jepang membantu mendirikan kekuasaan RI di  Sulawesi Tenggara. Di Kendari berita Proklamasi mulai diketahui dari kalangan Kaigun dan Heiho yang disampaikan juga oleh Tentara Jepang yang bertugas memimpin Heiho tersebut yaitu Idie Heiso dan Sadamitsu Heiso.

3.      Peran ParaTokoh
Walaupun kemerdekaan Indonesia sudah diplokamirkan 17 Agustus 1945 tetapi tokoh-tokoh perjuangan di Bolaang Mongondow belum melihat naskah proklamasi itu. Untunglah ada seorang penduduk Desa Molinow yang menjadi guru di SD Molibagu (Bolsel) bernama Siata Paputungan yang memperoleh salinan naskah proklamasi yang berasal dari Gorontalo, maka dengan berjalan kaki ia datang ke Desa Molinow memperlihatkan naskah proklamasi kepada tokoh PSII.  Maka tokoh-tokoh PSII didukung bekas pemuda Heiho dan beberapa anggota tentara Jepang yang tidak mau dipulangkan ke tanah leluhurnya pada tanggal 19 Desember 1945 datang mengibarkan bendera Merah Putih di lapangan Desa Molinow. Pengibaran Merah Putih didukung Lettu Hirayama yang pagi itu bermarkas di rumah JFK Damopolii yang akhirnya markas Lettu Hirayama dikepung Polisi Belanda yang bermarkas di Kotamobagu pimpinan Lettu Kambey, dan Kambey terkena tembakan di paha, sehingga polisi Belanda mundur kembali ke markasnya di Kotamobagu.
Di Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara, berita proklamasi dibawa oleh para pelayar yang baru datang dari Jawa dan Sumatra seperti yang dilakukan oleh La Ola yang pada bulan September 1945 di bawah Komando BKR Laut pimpinan Mayor S. Daeng Mangatta berlayar ke Singapura dan bertemua dengan Sumitro Djojohadikusumo, mereka sepakat memuat senjata dari Singapura ke Jawa, dalam perjalanan pulang dari Singapura pada bulan September 1945, mereka singgah di  Tanjung Pinang, dan kemudian mendapat tugas tambahan menyelamtkan Soepardjo Rustam  dari Rumah Tahanan di Tanjung Pinang menuju ke Cirebon selanjutnya ke Ambarawa Jawa Tengah. La Ola juga terlibat dalam perjuangan melawan Sekutu/NICA pada bulan November 1945 di Surabaya.[10]
Di Toli-Toli pada masa awal proklamasi kemerdekaan rakyat tak mengetahuinya. Karena seringnya mendapat pemboman Sekutu, maka rakyat berpencar menyingkir ke Desa-desa di luar Toli-Toli. Sekitar pertengahan bulan Oktober 1945 Mohammad Mahmud dan Ahmad Mahmud datang dari Gorontalo diutus oleh Nani Wartabone membawa bendera Merah Putih ke Daerah Buol. Bendera tersebut dikibarkan di Leok selama 3 minggu.
Berita proklamasi kemerdekaan di Daerah Sulawesi Tengah mula-mula terdengar dan diketahui oleh tokoh-tokoh pejuang di Poso dari pemberitaan orang Jepang sendiri. Pada tanggal 15 Agustus 1945 di atas Daerah Poso pesawat-pesawat Sekutu menyebarkan pamflet berwarna kuning berisikan pemberitahuan bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat. Oleh kepala Kampung Malei (bagian kerajaan Tojo) bernama Abu Maloco, secara rahasia selembar dari pamflet itu dikirimkan kepada Abdul Latief  Mangitung di tempat persembunyiannya di atas kampung Malei karena ia menjadi buronan polisi Jepang sejak peristiwa Gerakan Merah Putih tahun 1942 di Ampana-Tojo. Setelah membaca isi pamflet tersebut Abdul Latief Mangitung berangkat ke Poso pada tanggal 16 Agustus 1945 untuk mengetahui dari dekat situasi yang sebenarnya dan bermalam di rumah Lanokang.  Pada tanggal 17 Agustus 1945 kira-kira jam 15.00 sore Abdul Latief Mangitung dikunjungi di tempat penginapannya oleh seorang perwira Jepang yang dikawal oleh dua orang anggota Heiho asal Sulawesi Selatan bernama Saleh Topetau dan Djafar.  Perwira Jepang itu mengatakan bahwa “bangsa Indonesia sudah merdeka“. Mula-mula berita ini dianggap hanya pancingan Jepang terhadapnya, sehingga ia tidak berani menanggapinya.  Baru setelah dua orang Heiho membenarkan berita itu dengan menyatakan bahwa mereka  berduapun langsung mendengar berita proklamasi dari radio milik Jepang sewaktu mereka sedang bertugas, barulah berita itu diyakini kebenarannya.
Sementara itu dari keterangan I Latanco Talamoa diperoleh penjelasan bahwa berita proklamasi diketahuinya dari seorang tentara Jepang kenalan baiknya bernama Nakamura dari Angkatan Darat. Setelah mendengar dari radio tentang proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Nakamura dengan segerah ke rumah I Latanco Talamoa dan berkata; “Jepang sudah kalah, tapi Indonesia sudah merdeka menghadapi Belanda. Belanda, Amerika ganti Jepang.” Ketika I Latanco Talamoa bertanya : “Mengapa begitu?” Dijawab oleh tentara Jepang tersebut: “Ada berita dari Batavia, Indonesia ada proklamasi kemerdekaan melalui radio oleh Sukarno-Hatta”.[11]
Menurut catatan harian dari R.G. Ratupamusu, tidak lama sesudah berita proklamasi didengar di Poso, maka pada tanggal 25 Agustus 1945 tibalah di Poso utusan Gubernur Sulawesi Dr. G.S. S.J. Ratulangi dari Makassar melalui jalan darat dari Palopo ke Poso. Utusan tersebut adalah A.N. Hajarati dan Hamzah Ilahude untuk membentuk Pemerintahan Nasional di Poso serta memberi penerangan tentang telah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.[12]

4.      Penyebaran Berita Proklamasi Melalui Media Majalah/Koran
Pernyataan kemerdekaan yang disampaikan oleh Gubernur Dr. G.S.S.J. Ratulangie, juga dimuat harian Pewarta Selebes pada tanggal 29 Agustus 1945. Melalui pemberitaan Koran ini, sehingga para kaum terpelajar semakin meningkatkan semangat nasionalisme dan patriotismenya, mereka rela berkorban untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan.
Sebelum Oktober  1945, Tondano menjadi ibu kota pemerintahan sipil Jepang untuk Sulawesi Utara dan Tengah. Markas tentara Jepang yang terakhir ialah di Tonsea-Lama. Panglima Terakhir Laksamana Hamanak berada dalam tahanan tentara Sekutu di Manado untuk diadili. Di kota ini NICA tidak menempatkan pos militer, hanya ada sebuah Detasemen Polisi. Markas pemuda terdapat di Kampung-Jawa dengan pemimpin-pemimpin pemuda Wim Pangalila dan Rahmat Pulukadang.  Untuk melebarkan barisan pemuda dan front perjuangan, telah ditugaskan pemuda-pemuda Andaria Tatehe ke Sangir-Talaud, Pon Mokodongan dan Hasan Usman ke Gorontola. Dikirim pula tenaga-tenaga penghubung ke Donggala dan Poso.
Bagi pemuda Minahasa dalam mendukung proklamasi RI, maka pada tanggal 8 Oktober 1945 mendirikan organisasi Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BPNI). Suatu media penerangan dan propaganda dilancarkan oleh BPNI dengan penerbitan majalah yang bernama “CATAPULT” dan “Suara Indonesia Moeda”, di bawah asuhan Chris Pontoh dan John Rahasia. Catapult berbahasa Belanda karena masyarakat terpelajar umumnya berbahasa Belanda. [13]Melalui media penyiaran ini, maka rakyat dapat mengikuti keadaan perjuangan di Jawa dan pembangkitan semangat untuk berpartisipasi. Sumber-sumber berita diperoleh dari Dokter Senduk dan Dr. W.J Ratulangi yang menangkapnya dari pesawat-pesawat radio yang ditingkalkan oleh dinas PHB-Jepang.

5.      Penyebaran Berita Proklamasi Melalui Kantor Berita Domei
Sesungguhnya  sudah sejak bulan Agustus para pemuda Minahasa bangkit menyambut Proklamasi Kemerdekaan yang di kumandangkan di Jakarta pada tanggal 17 agustus 1945. Berita Proklamasi pertama kali diketahui pada tanggal 18 Agustus 1945. A. S. Rombot dan A. Siga yang ketika itu bertugas di Markas Angkatan Laut Jepang di Tondano sebagai markonis, mendengar berita itu yang disiarkan oleh Kantor Berita Jepang (Domei) di Tokyo. Berita yang sangat penting itu hanya diselipkan di antara berita-berita lain mengenai bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, kapitulasi Jepang (10 Agustus), perintah gencatan senjata yang dikeluarkan oleh Kaisar Jepang, dan sebagainya. Kedua pemuda itu lalu menyampaikan berita itu antara lain kepada Wangko F. Sumantri yang ketika itu menjabat sebagai Komandan Benteng Pertahanan Tanah Air di Tondano. Sebab itu tidaklah mengherankan kalau para pemuda di Tondanolah yang memulai gerakan pembelaan Proklamasi itu.
Kegiatan para pemuda di Tondano pertama-tama tampak di Sekolah Kepolisian (Nippon no Tokibetsu) yang didirikan pada masa pendudukan Jepang di sebuah gedung gereja Advent di Rerewoken (Tondano). Jumlah siswanya adalah sekitar 70 orang yang rata-rata berusia 17 dan direkrut dari seluruh penjuru  Minhasa, anatar lain Alex Lelengboto, Frans Karepouan, John Somba, Adolf Wungow dan Karinda. Diantara para gurunya terdapat juga orang Indonesia seperti Samsuri, Rusman, dan Massu. Segera setelah menerima berita baru dari Sigar-Rombot, pada tanggal 19 Agustus 1945 para pelajar di sekolah Kepolosian di Tondano itu mengadakan apel dan menaikan Merah-Putih serta menyanyikan Indonesia Raya.
Badan pemerintah Sementara (Komite Tenaga Rakyat) dibawah pimpinan E.H.W Pelengkahu kemudian memutuskan agar pada tanggal 23 Agustus 1945 Merah Putih dikibarkan serentak di beberapa tempat di Minahasa, seperi Tondano, Kawangkoan, Kombi, dan Sonder.[14]

6.      Perjuangan Putra Sulawesi di Jawa
Menjelang proklamasi kemerdekaan, para pemuda yang berasal dari Sulawesi terlibat dalam kegiatan persiapan kemerdekaan, termasuk dalam wadah BPUPKI seperti Mr. A.A. Maramis sebagai anggota BPUPKI, ia duduk dalam Panitia Sembilan, yang diketuai oleh Ir. Sukarno dan wakilnya Drs. Mohammad Hatta, mereka bekerja merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Beliau turut menandatangani rumusan ini pada tanggal 22 Juni 1945. Rumusan Pembukaan UUD 1945 ini kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta.
            Mencermati kegiatan putra asal Sulawesi di Jawa pada masa perjuangan kemerdekaan yang pada akhirnya mereka bersatu dalam brigade XVI, di dalam perkembangannya dapatlah dibagi menurut dan laskar kegiatan mereka, yaitu:
1.      Di Jawa Tengah pimpinan Kahar Muzakar
2.      Di Jawa Timur (Malang) Angkatan Darat pimpinan Warouw
3.      Di Jawa Timur (Lawang) Angkatan Laut pimpinan Aris dan Hamzah Tuppu
4.      Di Jawa Timur (Porong) Angkatan Kepolisian pimpinan M. Jasim.[15]
Kahar Muzakar bertambah menarik perhatian ketika berhasil mendapat izin untuk membebaskan narapidana Suku Bugis Makassar yang telah menjalani hukuman dua zaman di penjara-penjara Nusa Kambangan, Cipinang Jakarta, Sukamiskin Bandung, Ambarawa dan Sragen. Para narapidana dua zaman ialah mereka yang dihukum pada zaman Hindia Belanda dan masih menjalani hukumannya pada masa pendudukan Jepang. Mereka ini terdiri dari orang-orang yang dihukum karena membunuh. Di Asrama Pingit lebih dahulu sudah ada perantau-perantau/pelajar-pelajar Bugis-Makassar yang dilatih untuk menjadi prajurit, antara lain Ukas Arifin, Muhamadong, Hasyim Komba, Arsyad, Ale Abdullah, Moh. Said dan lain-lain.
Kemudian para tahanan yang baru dibebaskan jumlahnya lebih dari 1000 orang secara bergelombang dididik jiwanya dan dilatih untuk menjadi prajurit tanah air di asrama ini, sebelum mereka diterjunkan ke dalam pertempuran. Sedang para anggota senior dimasukkan untuk pendidikan opsir antara lain: KS. Gani, Puddu Mas’ud, H. Moh. Idrus G.P, Daeng Mangatta dan lain-lain. Mereka ini bersama pelarian dan perantau yang kemudian datang di Jawa dari Sulawesi Selatan, merupakan pasukan Kahar Muzakar.
Kegigihan Kahar Muzakkar memperjuangkan para tahanan menjadi kader-kader pejuang republic, tidak berhenti dalam periode ini, karena pada tahun 1951 kembali Kahar Muzakkar menyatakan bahwa seluruh pemuda pejuang/gerilyawan harus diangkat menjadi prajurit TNI, namun pada bulan Maret 1951, berdasarkan kesepakatan sementara, para gerilyawan dilebur menjadi Corps Tjadangan Nasional (CTN) yang terdiri atas 5 batalyon, sambil menunggu hasil seleksi mereka, yang layak diterima dalam kesatuan tentara dan yang tidak lulus seleksi, kembali ke tengah masyarakat. Kondisi inilah yang ditentang Kahar Muzakkar, sehingga sejak 17 Agustus 1951 ketika diadakan upacara penggabungan pasukan, Kahar Muzakkar sudah tidak hadir, dan selanjunya mereka kembali ke hutan. Sejak tahun 1952 Kahar Muzakkar menerima tawaran Pimpinan Darul Islam (DI) Kartosuwirjo untuk bergabung melawan pemerintah Jakarta dan menerima Jabatan Komandan Divisi IV Hasanuddin Tentara Islam Indonesia (TII).[16]
Aksi tersebut, kelak dikenal sebagai Pemberontakan DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tenggara yang berlangsung sampai tahun  tahun 1962, ketika Kahar Muzakar tertembak mati pada awal Februari 1962 di tepi Sungai Lasolo oleh Koptu Sadeli dari anggota Komando Operasi Kilat yang dipimpin oleh Kolonel Solichin G.P.[17]
Pada bulan Januari 1946 tibalah di Yogyakarta dua orang tokoh pemuda Sulawesi Selatan, yaitu Andi Mattalatta  dan Saleh Lahade. Kedua tokoh ini bertemu dengan Presiden Republik Indonesia untuk melaporkan keadaan di Sulawesi dan melaporkan usulan Gubernur Ratulangie, mereka diutus untuk: (1) meminta bantuan pasukan dan persenjataan kepada Pemerintah Pusat di Yogyakarta, (2) menyampaikan resolusi raja-raja yang menolak kerjasama dengan NICA.
Pada tanggal 25 Januari 1946, presiden mengeluarkan dekrit menggantikan nama TKR menjadi Tentara Republik Indonesia. Kemudian disusul dengan suatu perombakan besar-besaran organisasi ketentaraan. Pada tanggal 21 Juni 1946 menghadaplah ke MBT Yogyakarta 4 orang tokoh-tokoh pejuang Sulawesi Selatan ialah Kahar Muzakar, Andi Mattalatta, Mas’ud, dan Muhamadong dengan diantar oleh Kol. Martono Subroto, keempat tokoh ini mengusulkan TRIPS (Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi). Usul diterima dan tak lama kemudian keluarlah penetapan dari Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk pembentukan TRIPS dengan tugas menyelenggarakan ekspedisi ke daerah-daerah seberang yang telah diduduki oleh Belanda. Untuk kepentingan ini, maka bintara-bintara atau opsir-opsir berasal dari Sulawesi Selatan yang berada diberbagai kesatuan dipanggil untuk menggabungkan diri ke dalam  TRIPS. Antara lain yang datang dari Jawa Barat (Siliwangi), Overste Sarifin, Letnan A. Latief, Mayor Mas’ud, Sersan Syamsul Bahri dan Kopral PT. (Polisi Tentara) Bahar Mattaliu.
            Sebagai komandan TRIPS diangkat Kahar Muzakkar dengan pangkat Letkol, Andi Mattalatta sebagai kepala stafnya dengan pangkat Kapten. Sementara itu Saleh Lahade diangkat menjadi Komisaris TRIPS Indonesia Timur. Persiapan untuk mengirim ekspedisi ke seberang segera dimulai. Perlengkapan dan peralatan sudah didapat dari MBT. Berton-ton gula disediakan untuk pembiayaan Letnan M. Jusuf dan Letnan Syamsuddin Rakka yang ditugaskan ke Singapura membawa gula untuk dibarter dengan pakaian dan senjata.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus1945, putera-putera Indonesia di Jakarta yang berasal dari Sulawesi, membentuk berbagai wadah/organisasi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Organisasi pertama yang dibentuk adalah GEPIS, kemudian APIS. Setelah itu pada tanggal 10 Oktober 1945 dibentuk “Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dengan susunan pengurus sebagai berikut:
Ketua                       : Bart Ratulangi
Wakil Ketua             : Baharuddin
Sekretaris I               : Kahar Muzakkar
Sekretaris II             : Boetje Woworoentoe
Bendahara I             : Haji Moh. Indrus G.P.
Bendahara II            : G. Pakasi
Komisaris-Komisaris : 1. Moh. Indrus
                            2. J.D. Pontoan
                            3. Machmud
Bagian Penerangan : F. Palenewen
Bagian Pertahanan   : 1. J. Rapa
                                   2. Kahar Muzakkar
Koordinator              : Daan Mogot. [18]
Dalam waktu singkat organisasi perjuangan ini telah dapat mendirikan cabang-cabangnya hampir diseluruh kota-kota penting yang berada dipulau Jawa. Pada akhir tahun 1945 anggota KRIS di Jakarta Haji Lamban dan Haji Kaddase. Diberangkatkan ke Sulawesi Selatan melalui Tegal dengan menumpang perahu layar dan berhasil mendarat di pantai Polewali. Sedangkan anggota KRIS di Jawa Tengah Hasan Bin Tahir dan Daeng Parani. Diberangkatkan ke pantai Barat Teluk Bone. Keberangkatan Kedua rombongan KRIS ini belum merupakan expedisi bersenjata, tetapi hanya sekedar rombongan penerangan terutama untuk meyakinkan para raja-raja di Sulawesi Selatan untuk turut berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan, dan jangan sampai dapat bekerja sama atau diperalat oleh NICA. Expedisi ini berhasil mendarat di tempat tujuan masing-masing sesuai rencana semula, dan berhasil pula mengadakan pendekatan dengan raja-raja sesuai mandat dari KRIS di Jawa. Tetapi sayang tidak lama sesudah itu mereka satu-persatu anggota KRIS ini ditangkap oleh NICA dan dibunuh secara kejam. Mereka gugur sebagai bunga bangsa.

B. Pembawa Berita Proklamasi
Sementara Dr. G.S.S.J. Ratulangie menunggu-nunggu kedatangan para pemuda pendukung kemerdekaan ditempat ia menginap di Hotel Empress, muncul Sanusi Daeng Mattata dari Palopo. Sanusi diutus oleh Pemerintah Kerajaan Luwu di Palopo atas desakan organisasi Sukarno Muda, agar segera menemui Dr. G.S.S.J. Ratulangie. Pertemuan antara Sanusi dengan Dr.Ratulanggi pada tanggal 26 Agustus1945 mendorong segera diumumkannya berita proklamasi secara resmi. Sehari sebelum tanggal 25 Agustus1945, Panglima Pangkalan Istimewa XXIII Jepang, Laksamana Muda Sugi Mori Kadzu mengundang beberapa orang tokoh Heiho unsur Kaigun. Sekitar 20 orang dari mereka hadir dalam pertemuan, antara lain Abd. Syukur, Dahlan Tahir, Alex, dan Z.A. Sugianto. Sugimori berharap, agar meraka berusaha menjamin keamanan pada waktu Sekutu mendarat. Dengan maksud Sugimori, para menuda bekas Heiho ingin mempertahankan diri kembali, meskipun hanya senjata  ringan. Abd Syukur akan menemui perwira Jepang tersebut guna merundingkan pelaksanaan tugas-tugas keamanan dan soal senjata. Sugimori bersemangat memberikan senjata secukupnya, asal melalui persetujuan dengan kepemimpinan politik Bangsa Indonesia prokemerdekaan diMakassar ketika itu.[19]
Bersama Abdul Syukur, Letnan Kawamura menemui salah seorang pemuda pendukung kemerdekaan. Ternyata, Manai Sophian kurang tertarik dengan rencana bekas Kaigun Heiho. Dalam pertemuan tanggal 27 Agustus 1945 itu, Manai Sophian menganjurkan pembentukan organisasi dengan pendukung kemerdekaan tanpa persenjataan militer. Rupanya Manai Sophian dalam sikapnya itu, berdasarkan jalan pikiran Dr. G.S.S.J. Ratulangie yang dalam kepalanya penuh pertimbangan matang bahwa dalam waktu singkat Sekutu akan mendarat dengan persenjataan  lengkap. Tentu saja, Manai Sophian disalahkan dalam penolakan itu, dan sangat mengecewakan para pemuda militan.
Sesungguhnya berita proklamsi sudah masuk ke Wajo ketika utusan dari Palopo menuju Makassar pada tanggal 24 Agustus1945.  M. Sanusi Daeng Mattata bersama M. Yusuf Arief yang menjadi utusan Luwu, M. Sanusi Daeng  Mattata singgah di Wajo dan Bone menemui Andi Panggaru dan Guru Anwar di Sengkang, sedangkan di Bone menemui pemuda dan raja Bone. M. Sanuasi Dg. Mattata mnyampaikan kepada mereka tujuan perjalanannya dari Luwu ke Makassar, yakni untuk menemui Dr. G.S.S.J. Ratulangie, dan menanyakan kepastian adanya proklamasi kemerdekaan. [20] Namun demikian Andi Panggaru dan Anwar hanya menyebarkan berita penting itu dikalangan sahabatnya dalam Muhammadiyah.[21]
Setelah pihak keluarga Andi Ninong, bangsawan tinggi dan pemangku salah satu jabatan utama dalam Kerajaan Wajo, menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan, dan menyebarluaskan berita proklamasi, penduduk Wajo baru yakin kebenaran berita itu. Andi Ninong adalah Ranreng Tua Kerajaaan Wajo, bertempat tinggal dalam istananya di Tempe, pinggiran Kota Sengkang.
Dalam masa revolusi fisik ini, Andi Djemma begitu besar perannya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan sampai rela meninggalkan istananya di Palopo sejak tanggal 24 Januari 1946, demi memimpin perlawanan terhadap Belanda dalam rangka tegaknya Republik Indonesia dan memilih hutan belantara dan benteng alam batu Putih sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia di Luwu.[22]
Di Wilayah Sulawesi Tengah, tempat yang pertama mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus1945 di wilayah Sulawesi Tengah adalah Poso karena pada tanggal 17 Agustus1945 sore  Abdul Latief Mangitung dan I Latanco Talamoa serta Yusuf 7Manoarfa mendengarnya dari seorang Tentara Jepang.
Berita Proklamasi Kemerdekaan juga dikumandangkan oleh Kurir-kurir yang diutus oleh  Gubernur Dr. G.S.S.J. Ratulangie, misalnya sekitar bulan September 1945, telah mengirimkan utusan ke beberapa daerah termasuk ke Sulawesi Tengah untuk menyampaikan instruksi dan pedoman perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Melalui Palopo dikirim utusan ke Poso terdiri atas Landau, kemudian menyusul Sulaeman Umar. Dari Manado datang kurir Ali Lemato dan dari Gorontalo A. Tumu. Selanjutnya berita proklamasi ke Daerah Sulawesi Tengah juga disampaikan oleh A.N. Hadjarati dan Hamzah Ilahude dari Makassar yang membawa amanat dari Gubernur dan mereka berhasil mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh terkemuka di Poso. Amanat Gubernur Sulawesi dan penjelasan mengenai Proklamasi 17 Agustus1945 yang dikemukakan dihadapan para undangan, berhasil membentuk "Dewan Nasional" dengan Kepala Pemerintahannya Wangkalembah Talasa dan undangan lainnya sebagai pembantu. Disamping itu dibentuk juga Dewan Pertahanan Nasional, kesatuan pertahanan dengan intinya dari pemuda-pemuda bekas Heiho yang dipersenjatai tombak, keris dan senjata hasil rampasan dari Jepang.
Wilayah Donggala, pembentukan badan perjuangan  gerakan merah putih terjadi pada bulan September 1945 setelah datangnya Aleksander Monoarfa dari Makassar  membawa beberapa petunjuk pelaksanaan perjuangan, akan tetapi belum sempat bergerak Aleksande Monoafa telah tertangakap. Pada tangan 11 November 1945 malam beberapa orang pemuda anggota gerakan merah putih antara lain A. T. Nurdin, Abdul Wahid Maluku, dan Andi Garu Pettalolo menyelinap masuk ke Pelabuha Donggala  untuk menaikkan bendera merah putih yang berasal dari bendera merah putih biru yang dirobek birunya.[23]

C.    Peralihan Kekuasaan dan Gerakan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Sulawesi
Setelah tiba kembali di Makassar, maka pada tanggal 20 Agustus 1945 Dr. G.S.S.J. Ratulangie segera mempersiapkan pemerintahan peralihan dari pemerintahan Jepang dan menyusun struktur aparat pemerintahannya:
1.      Gubernur : Dr. G.S.S.J. Ratulangie
2.      Sekretariat : Mr. A. Zainal Abidin
3.      Wakil Sekretaris : F. Tobing
4.      Biro Umum : Lanto Daeng Pasewang
5.      Biro Ekonomi : Najamuddin Daeng Malewa dan Mr. Tajuddin Noor
6.      Biro Pemuda : Siaranamual dan Saelan
7.      Biro Penerangan : Manai Sophian
8.      Pembantu-Pembantu : A. N. Hajarati, GR. Pantouw, Syam, Supardi, Pondaag Dr. Syafrie dan Mu. Saleh Lahade.[24]
Selanjutnya di Kerajaan Bone setelah kedatangan Andi Pangeran Daeng Parani dari Jakarta tanggal 19 Agustus 1945, maka ia bersama ayahnya Raja Bone Andi Mappanyukki segera menata pemerintahannya dan menyatakan Kerajaan Bone bersama rakyatnya mendukung Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pendiiriannya makin teguh setelah menerima utusan datu Luwu Andi Jemma yang menyampaikan bahwa Pemerintah dan rakyat Kerajaan Luwu menyambut baik kemerdekaan Indonesia.  
Upaya untuk mendukung proklamasi, maka pada tanggal 8 Oktober 1945 para tokoh pergerakan nasional di Makassar, seperti: Gubernur Sulawesi Dr. G.S.S.J. Ratulangie, Lanto Daeng Pasewang, Mr. Zainal Abidin, Suwarno dan Malajong Daeng Liwang mendirikan sebuah Perguruan Nasional, yang bertujuan memupuk semangat kebangsaan dan menghasilkan kader bangsa bagi pemuda-pemuda yang ada di Makassar. Ide-ide nasional Republiken dipompakan kepada anak didik melalui pelajaran sejarah dan bahasa Indonesia. Dari sekolah inilah muncul pemuda militan seperti: Wolter Mongisidi, Rivai Paerai dan sejumlah tokoh pejuang yang menentang kekuasaan NICA.[25]
Pertengahan bulan Oktober 1945, Raja-raja di Sulawesi Selatan mengadakan Koperensi di Watampone diprakarsai oleh Andi Djemma (Datu Luwu ) bersama Raja Bone Andi Mappanjukki, untuk mempersatukan pendirian para raja-raja di Sulawesi agar tetap  di belakang  Proklamasi  RI. Melalui telpon, maka Andi Abdullah Bau Massepe dari Pare-pare menyatakan mendukung konperensi, yang tidak dapat dihadiri karena kesibukan dalam perjuangan. Komperensi ini sebagai conter-Move atas move conica di Makassar yang mengundang  Raja-raja  Sulawesi Selatan untuk mengadakan Koperensi Kopromi yang disampaikan Komondan Brigadier General Iwan Dougherty di Makassar peristiwa ini disaksikan oleh komondan NICA Mayor Wegner.[26]
Dalam suatu kesempatan Gubernur Dr. G.S.S.J. Ratulangie membuat petisi yang ditandatangani oleh pemuka masyarakat Sulawesi. Dalam petisi itu dinyatakan bahwa seluruh Rakyat Sulawesi tidak dapat dipisahkan dari Republik Indonesia. Oleh karena petisi itu, pada tanggal 5 April 1946, Dr. G.S.S.J. Ratulangie, Lanto Daeng Pasewang, Saleh Daeng Tompo, J. Latumahina, W.S.T Pondaag, I.P.L Tobing, dan Suwarno ditangkap dan ditahan di Penjara Hogepad di Makassar.
Beberapa hari setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu, di Sulawesi Tenggara disebarkan panflet dari udara yang memberitakan kekalahan Jepang tersebut. Dengan demikian berita itu diketahui secara meluas oleh rakyat Sulawesi Tenggara. Tindakan Jepang yang pertama dalam menyambut berita tersebut adalah membuang sebagian peralatan di Teluk Kendari dan Pomalaa dan melumpuhkan peralatan perang yang potensial.
Kolaka diproklamirkan oleh Andi Kasim sebagai Kepala Pemerintahan  setempat sekaligus sebagai wakil Kerajaan Luwu di Kolaka yang disebut Mincara Ngapa, menjadi bagian dari Wilayah Republik Indonesia, dan segera mengambil alih pemerintahan setelah Jepang menyerah. Proklamasi ini dicetuskan atas desakan Pemuda Kolaka yang tergabung dalam organisasi API (Angkatan Pemuda Indonesia). Organisasi ini dibentuk pada tanggal 9 September 1945, merupakan penjelmaan dari organisasi bawah tanah PETA (Pembela Tanah Air) yang dibentuk setelah berita proklamasi diterima. Sebagai organisasi bawah tanah, maka penerimaan anggota harus melalui pengucapan ikrar untuk mempertahankan kemerdekaan dan setia kepada RI. Pimpinan PETA ialah: Andi Punna, Abu Baeda, dan Syamsuddin Opa.[27]
Setelah PETA menjelama menjadi API pada tanggal 10 September 1945, sifatnya yang bergerak di bawah tanah berubah menjadi terbuka dan berusaha menggalang persatuan dan potensi rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan. Pada tanggal 12 September 1945 para pimpinan dan anggota API mendatangi rumah-rumah penduduk Kolaka yang daragukan pendiriannya terhadap proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Atas tindakan para pemuda yang tergabung dalam API, maka Andi Kasim selaku Kepala Pemerintahan Kolaka mengadakan pertemuan dengan para Pimpinan API. Dalam pertemuan para Pimpinan API dapat meyakinkan Pemerintah Kolaka akan kesiapan pemuda dan rakyat untuk mendukung dan mempertahankan kemerdekaan. Selanjutnya atas usul API, maka Kolaka diprolamirkan menjadi wilayah RI pada tanggal 17 September 1945 dalam suatu upacara bendera di depan rapat umum dimana Bendera Merah Putih dikibarkan dengan iringan lagu Indonesia Raya.  Berikut susunan Pengurus API:
1. Ketua                                              : Andi Punna
2. Kepala Penerjang                            : Tahrir
3. Wakil Kepala Penerjang                  :  Abd. Wahid
4. Kepala Penyelidik                           : Bangsa Salampessy
5. Wakil Kepala Penyelidik                : Abu Baeda
6. Anggota-Anggota                           : Barohima
  Cokeng
  Ali Arifin, dan lain-lain.[28]
Sebulan kemudian yaitu pada tanggal 17 Oktober 1945 API menjelma menjadi PRI (Pemuda Republik Indonesia). Namun demikian semua Kepala Pemerintahan setempat tampak ragu-ragu dan bersikap menunggu perkembangan dalam menerima berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, kecuali Andi Kasim di Kolaka. Melihat potensi dan atas dorongan Para Pemuda Kolaka Andi Kasim dalam upacara bendera memproklamirkan Kolaka sebagai bagian dari RI.  Upacara pengibaran bendera merah putih di Kolaka dilaksanakan pada tanggal 17 September 1954 diiringi lagu Indonesia Raya, dipimpin oleh Andi Kasim Petor (Kepala Pemerintahan) Kolaka, didampingi oleh anggota Swapraja, yaitu: Sulewatang Indumo, Bokeo Puwatu, Guru Kapitan, Sapati Baso Umar Daeng Marakka, selanjutnya mengumumkan bahwa Kolaka dan sekitarnya adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia. Pengibaran bendera Merah Putih oleh Kepala Pemerintahan di Kolaka (Andi Kasim) dihadiri dan disaksikan Pula oleh Kabasima Taico Komandan Tentara Jepang di Pomalaa.
Pengibaran Merah Putih di Lasusua pada tanggal 5 Oktober 4945 yang dihadiri oleh Kepala Distrik Patampanua dan beberapa pimpinan Pemuda Republik Indonesia dari Luwu. Di Wawotobi kota kedua terbesar dalam wilayah Kerajaan Laiwoi  dan tempat kediaman Raja II Laiwoi  bendera Merah Putih dikibarkan pada Akhir Oktober 1945 oleh para pemuda setempat atas dorongan utusan Pemuda Kolaka dan Pemuda Luwu yang saat itu berkunjung ke sana. Pengibaran bendera merah putih dilakukan pula di Bupinang pada akhir November 1945 atas dorongan Pemuda Kolaka/Luwu dihadiri oleh Kepala Distrik (Gunco) setempat.
Salah satu bentuk semangat juang rakyat Kolaka, maka pada tanggal 29 Agustus 1945 pemuda Kolaka terdiri atas 19 orang melakukan sumpah setia terhadap proklamasi kemerdeakaan dengan keris terhunus dan dengan menggoreskan tanda tangan darah pada bendera merah putih bertempat di rumah Andi Kamaruddin (di tepi sungai Kampung Sakuli). Mereka membaca Al-Qur’an Surat Al-Fatihah dan masing-masning berikrar/berjanji: sekali merdeka tetap merdeka; merdeka tau mati; merah putih tidak diturunkan sebelum melangkahi mayatku; segalanya kukorbankan untuk kemerdekaan bangsaku; maju mati mundur mati, lebih baik maju mati; tidak ada kemerdekaan tanpa pengorbanan; saya sedia gugur untuk bangsaku.
Dari Kolaka sinar perjuangan kemerdekaan memancar ke sekitamya sampai ke Kendari dan Bupinang yang masuk dalam kesultanan Buton. Utusan Pemuda Kolaka bersama Pemuda Luwu merangsang semangat terpendam dari Pemuda Wawotobi untuk membela kemerdekaan. Pemuda kota Kendari dan sekitamya cukup berusaha dan berambisi, tetapi gagal dalam mewujudkan suatu organisasi perjuangan sehingga kegiatannya terselubung, walaupun terbentuk semacam organisasi pemuda dengan pimpinan Makmun Dg. Mattiro. Hal ini disebabkan karena Makmun Dg Mattiro sebagai seorang Pamongpraja terlalu berhati hati dan ragu-ragu menghadapi keadaan pada saat itu. Sesudah datangnya NICA, Makmun Dg. Mattiro bekerja pada Belanda.
Di Wawotobi setelah pengibaran bendera Merah Putih berhasil pula dibentuk Sinar Pemuda Konawe dengan pimpman sebagai berikut:
1) Saido Johan Syah
2) M. Jamil Muchsin
3) Assadiq Mekoa
4) Hamzah.  [29]
            Nuhung Silondae, Mokole (Kepala Distrik) Andoolo (Kendari Selatan) bersatu dengan para pemuda yang tergabung dalam Pemuda Rakyat Kendari dan mendapat dukungan dari rakyat Andoolo dengan tegas menyatakan Andoolo sebagai wilayah RI. Pada waktu tentara Australia/NICA mendarat di Kendari dan diterima oleh Raja Laiwoi (Tekaka), maka Nuhung Silondae mengirim utusan ke Kolaka di bawah pimpinan M.Ali Silondae dan menyatakan bahwa Andoolo ikut Kolaka sebagai wilayah Rl. Oleh Pemerintah RI di Kolaka pernyataan Andoolo itu diterima dengan baik. Setelah utusan tiba kembali, maka secara resmi diumumkan di depan umum bahwa Andoolo adalah bagian dari RI dan bergabung dengan Kolaka. Rapat umum itu diakhiri dengan penaikan bendera Merah Putih akhir Nopember 1945. Pemimpin-pemimpin perjuangan kemerdekaan di Andoolo adalah: (1) Nuhung Silondae, (2) Ali Silondae, (3) Abdullah Silondae, (4) Jacob Silondae, (5) Aburaera Silondae, (6) A. Parenrengi, (7) Saiman, dan (8) Saradia (V. Bolo).
            Pada    awal bulan Desember 1945 delegasi rakyat Distrik Buapinang (Bunken Buton) yang terletak di sebelah selatan wilayah Kolaka mengirim pula utusean ke Kolaka dan menyatakan Bupinangi sebagai wilayah RI. Pimpin an delegasi adalah:
      1) Mappeare Daeng Mananrang
      2) Abd. Fattah
      3) Daeng Makkita
      4) Pabottinggi Daeng Maroa.[30]
Di Muna para pemuda yang dipimpin oleh M. Idrus Efendi tidak dapat meyakinkan Raja Muna La Ode Ipa untuk segera secara resmi menyatakan Muna sebagai bagian dari wilayah RI dan mengibarkan bendera merah putih, sehingga pengibaran merah putih di wilayah Kerajaan Muna dilaksanakan di Labalano diluar ibu kota yang dimpin oleh M. Idrus Efendi. Pelayar-pelayar Buton yang berasal dari Wakatobi yang baru pulang dari Jawa dan Sumatra membawa berita proklamasi dan berhasil mengibarkan bendera marah putih untuk pertama kalinya pada tanggal 15 Desember 1945.
Tidak berapa lama setelah tersiarnya berita Proklamasi Kemerdekaan pimpinan pemuda Wawo dan sekitamya (Kolaka Utara) M. Ali Kamry menugnjungi Kabasims Taico di Pomalaa untuk meminta senjata dengan diantar oleh Sigimitsu. Tapi Kabasima tidak dapat memberikan senjata, karena senjata di Pomalaa telah didaftar oleh Australia. Kabasima hanya menjanjikan 1000 pucuk yang akan diambil dari Kendari. Kemudian M. Ali Kamry datang menagih janji Kabasima, tetapi tidak dipenuhi karena senjata di Kendari telah dibuang ke Teluk Kendari. Kali ini M. Ali Kamry hanya mendapatkan beberapa samurai, sejumlah pistol, dan sejumlah granat tangan. PETA yang bergerak di bawah tanah setelah Proklamasi Kemerdekaan, maka pada awal September 1945 berhasil mendapat 2 pucuk senjata dari Jepang. Semenjak terbentuknya API pemuda Kolaka di bawah pimpinan Tahrir dan M. Ali Kamry berhasil mendapatkan 49 pucuk karabijn, yaitu senjata yang dibuang Jepang di pelabuhan Pomalaa. Penyelaman senjata ini tidak mendapat rintangan dari Jepang.
Turut sertanya beberapa orang Jepang dalam perjuangan menentang Belanda/NICA menggambarkan betapa jauhnya oknum tentara Jepang membantu mendirikan kekuasaan RI di  Sulawesi Tenggara, walaupun kemungkinan di dalamnya terselip alasan pribadi masing masing. Di antara mereka malah ada yang berpangkat perwira (Taico=Kapten).
Pada tanggal 5 September 1945, Andi Punna selaku Kepala Penyelidik Barisan API,  mengutus Salampessy untuk melaporkan bahwa nama barisan PETA di ganti menjadi barisan API (Angkatan Pemuda Indonesia).  Kapten Kabasima meneriama baik perubahan nama PETA menjadi API.  Kapten Kabasima menyampaikan telah bertemu Tokoh Islam K. H.  Mahading dan memberi senjata api sebanyak 51 pucuk, 1 rusak pelatuknya (tidak dapat dipakai).  Pemberian senjata api dari Kapten Kabasima, secara rahasia melalui seorang Goco (sersan) dibuang (ditenggelamkan) ke dasar laut, pemuda Suku Bajo berusaha mengambil dengan menyelem yang diawasi pemuda API.  Senjata api dari Kapten Kabasima,  terdiri Karabeyn Bekas Tentara KNIL 9, 5 dan Karabeyn Tentara Jepang Sanpatzu.  Pada tanggal  7 September 1945,  Pemuda PETA dan API mempermahir menggunakan senjata api, yang memberi latihan kemeliteran 3 anggota bekas HEIHO, (Lappase, Nasir dan Abu Bone), 2 orang pemuda yaitu: Pakalu dan Tiro pembantu Tokke Tai yang sementara tugas di Tanjung Oko-oko (Batu Kilat) membawa 2 buah senjata Karabeyn 9,5.  Andi Becce (M. Aryad) juru tulis II Indumo Daeng Makkalu Kepala Distrik Kolaka bergabung Pemuda API memegang 1 pucuk senjata api Karabeyn 9,5 milik Indumo Daeng Makkalu.
Pada tanggal 18 September 1945 Kapten Kabasima memberi bantuan Pemerintah RI dan Barisan Pejuang bersenjata berupa: 1 Kapal Motor Boat untuk angkutan laut,  6 Mobil Truk “Toyota” untuk angkutan darat, dan beberapa perlengkapan kemiliteran.
Satu ekspedisi tentara Sekutu berangkat dari Kendari ke Kolaka pada tanggal 19 Nopember 1945 dengan maksud menjemput bekas tentara KNIL yang ditawan oleh Jepang dan dipekerjakan di Tambang Nikel Pomalaa. Pada pagi hari itu, pukul 07. 00 Andi Kasim Tuan Petor Kepala pemerintah RI Kolaka didampingi M. Yunus Ketua API, menunggu kedatangan tentara Belanda/Sekutu dari jurusan Kendari di tempat itu dipasang penghambat jalan mobil menuju ke Pomalaa. Susunan formasi pertahanan:
Kepala Penerjang                                         : H. Abdul Wahid didampingi 
                                                                        Abd. Kadir Towokia
Kepala Penyelidik                                        : Andi Punna didampingi Salam Pessy
Regu Penyelidik dan Penghubung               : Abu Baeda dibantu Syamsudin Opa
Penembak Tanda Komando Pertempuran   : Raccade didampingi Ali Arifin.
Regu I Sayap Kanan                                    : Lappase dibantu Abu Bone (bekas Heiho)
Regu II Sayap Kiri                                       : Muhiddin S.  dibantu Mallise (bekas Manarai Jumpo)
Regu III Pegawai I Komando                    : Talibbe dibantu H.  Arafah (bekas Kaijo Sen Tai).[31]
Senjata Laras panjang digunakan 30 pucuk. Pengatur Rakyat Repulik bersenjata tajam,  Indumo Daeng Makkalu Kepala Distrik Kolaka dibantu M. Nur Kepala Kampung Kolaka.  Pada pukul 11. 00 kedengaran deru mobil dari arah Kendari.  Tentara Belanda/Sekutu dengan 3 pengawalnya lengkap senjata api turun di tempat penghalang jalan.  Komandan Tentara Belanda/Sekutu bertolak pinggang, berkata: ”Kurang ajar siapa yangpasang kayu penghalang di sini?”.  Ada 4 orang Tentara Jepang tanpa senjata dan topi baja, dua orang sopir mobil  truk Toyota persiapan mengangkut bekas KNIL yang tinggal di Kampung Huko-Huko.  Komandan Tentara Belanda/Sekutu memerintahkan keempat Tentara Jepang hendak mengangkat dan menyingkirkan kayu penghalang jalan.  Sementara keempat Tentara Jepang hendak mengangkat kayu penghalang,  tiba-tiba Andi Kasim yang didampingi M. Yunus muncul langsung berhadap-hadapan dengan tentara Belanda/Sekutu, akhirnya terjadi dialog antara Andi Kasim dengan Komandan Tentara Belanda/Sekutu. 
(AK) Selamat siang Tuan,  Saya Andi  Kasim Petor Kepala Pemerintah RI Kolaka Daerah Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta.
(TB) Saya Letnan John Van Boon Tentara Sekutu,  atas perintah Komandan Tentara Sekutu di Makassar saya mau ke Pomalaa  untuk memeriksa keadaan dan peninggalan Tentara Jepang,  dan mengambil bekas KNIL yang pernah di tawan Tentara Jepang di Pomalaa.
(AK) Dimana surat perintah Komandan Tentara Sekutu?
(TB)  Letnan John  Van Boom diam pura-pura meraba saku bajunya, tidak dapat memperlihatkan Surat   Perintah Komandan Tentara Sekutu
(AK) Tuan melanggar memasuki Daerah RI tanpa izin Pemerintah RI Kolaka, Tuan tidak boleh melanjut melanjutkan perjalanan ke Pomalaa, senjata tuan-tuan dititip di Markas Barisan PETA/API/PI Kolaka.  Bila Tuan-tuan kembali dari Pomalaa senjatanya boleh diambil.  “Keamanan Tuan-tuan selama berada dalam Daerah RI Kolaka tanggungan kami.  Kalau Tuan-tuan tidak menghiraukan permintaan kami, keselamatan Tuan-tuan diluar pengetahuan kami[32].
Letnan John Van Boon dengan congkak tanpa kata-kata melanjutkan perjalanan ke Pomalaa melewati pos-pos barisan PETA/API/PI.  Letnan John Van Boon dan pasukannya jelas adalah Tentara NICA, yang tidak mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945 dan menghina serta memandang enteng Pemerintah dan Pejuang bersenjata Pembela Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sore hari pada pukul 15. 30 tanggal 19 November 1945 rombongan kembali dari Pomalaa, pada saat akan melewati Pos penjagaan Sabilambo, maka para pemuda menghadang mereka. Tembakan pertama di mulai disusul tembakan beruntun dari pemuda pejuang.  Tentara NICA membalas tembakan beruntun,  seorang pemuda Republik kena tembakan (luka ringan siku kiri).
Tentara Jepang lompat berlindung di selokan tidak melepaskan tembakan,  kemudian berteriak “Indonesiaaa.  Tembak, di sini Nippon Tuan, Nippon Indoneia Banzai.  Seluruh tembakan Pejuang bersenjata di arahkan pada mobil Tentara NICA.  Pemuda pejuang serempak menembak sambil berteriak, kalau mau hidup menyerah  Tentara NICA diserbu Barisan Tombak, Letnan John Van Boon menghilang (lari meninggalkan pasukannya sambil bertempur).  Satu orang Tentara NICA (berkebangsaan Indonesia) mati tertombak oleh pemuda Lantema dengan menggunakan Tombak Karada. Ada 2 orang Tentara NICA (Bangsa Indonesia) menyerah dengan senjatanya Yunggle Gun (Jenggel), 2 orang Tentara Jepang luka ringan bagian paha, setelah mendapat pertolongan Palang Merah Indonesia mereka bergabung dengan pemuda pejuang.  Pada pukul 17. 00 para pejuan bersenjata mengadakan apel konsolidasi dan pemekaran organisasi perjuangan di Markas Pemuda Pundoho.  Selesai santap siang dan istirahat,  Opu Topatampanangi anggota BPR (Badan Pertimbangan Revolusi) mengumumkan Terbentuknya PKR (Pembela Kedaulatan Rakyat).  Pimpinan Utama PKR:
Kepala Penerjang     :   H. Abdul Wahid

Kepala Penyelidik   :   Andi Punna

Kepala Pelatih         :   M. Yoseph.
Satu pelaton anggota penyelidik yang dipimpin Andi Punna memburu Letnan John Van Boon dan memberitakan pos-pos penjagaan API sektor Distrik Rate-rate.  Pada tanggal 22 November 1945,  barisan API  yang ada di Distrik Rate-rate (Abdul Hamid dkk), Pos Kampung Poli-Polia Ladongi,  menyergap Letnan John Van Boon bersama senjatanya.  Letnan John Van Boon menampakkan dirinya, ia menyangka sudah masuk Daerah Kendari. Letnan John Van Boon kemudian dibawa ke Kolaka dan dimasukkan dalam Penjara Kolaka. Dalam pemeriksaan dan penjagaan PI (Polisi Istimewa) bekerja sama Bagian Penyelidik PKR Kolaka. Para Tentara NICA yang ditawan pejuang bersenjata diperlakukan sesuai HAM (Hak Asasi Manusia).
Di Tondano sejak tanggal 14 Februari 1945 malam, pos-pos pemuda telah mengadakan penjagaan di persimpangan jalan dan gedung-gedung penting. Ketika kode berhasil tembus di Tondano dengan letusan senjata beberapa kali, maka pejabat-pejabat pemerintah setempat yaitu H.M. Besar Bram Wenas dan komandan polisi, Inspekrur Brender A. Brandish dihubungi oleh pemimpin-pemimin pemuda, bahwa keamanan di Tondano akan dipegang oleh pemuda.
Kemudian dari Tomohon diterima berita, bahwa di sana masih terdapat suatu kesulitan pokok. Komandan NICA Coomans D Ruiter dan Troepen Commandant Overste de Vries berdiam di Kota ini. Kompi 142 masih tetap dikuasai oleh Belanda, sehingga penyelesaian kompi ini harus dilakukan dari Manado dan pucuk piminan NICA masih harus direbut. Frans Bisman ditugaskan oleh Taulu untuk menangkap kedua pembesar Belanda sesudah menguasai dan menertibkan kompi tersebut.[33]
Bermodalkan dua buah peleton tempur, Bisman berangkat menuju ke Tomohon,  bendera  merah-putih berkibar di mobil depan, suatu tanda untuk menyerbu. Tiba di kota ini Bisman menyiapkan steling untuk menyerang pertahanan KNIL tembakan pertama datang dari seorang Sersan Mayor Belanda yang mengenai tepat pada kepala sopir mobil depan itu. Ia gugur sebagai pahlawan 14 Februari 1945, tembakan ini dibalas oleh pasukan Bisman dan beberapa  peluru bersarang dalam tubuh Tenara Belanda itu. Waktu  ia diangkut ke rumah sakit ternyata bahwa luka-luka itu tidak membahayakan nyawanya melihat keadaan jadi demikian, maka komandan KNIL, melalui Kepala Polisi Tomohon, Inspektur Samsoeri, menyatakan menyerahkan diri bersama segenap Kompi 142 Corps NICA yang ada di Tomohon, maka Corps-NICA bersama seluruh stafnya dibawa ke Manado.  Sebuah patroli tentara yang dipimpin oleh Freddy Lumanaw memasuki Kota Tondano dan mengadakan upacara penaikan bendera merah  putih di depan markas kepolisian, setelah dimabil tindakan-tidakan penertiban seperlunya.
Pada tanggal 16 Februari 1946 bertempat di Gedung Minahasa Raad Manado diadakan suatu rapat penting  yang dihadiri oleh pempinan militer, polisi dan sipil bersama pimpinan pemuda BPNI/PIN. Dalam rapat itu diumumkan keputusan bahwa KNIL dihapus  dan selanjutnya menjadi Tentara Republik Indonesia Sulawesi Utara (TRISU). Pasukan ini akan berada di bawah komando Letkol Ch.Ch Taulu dengan stafnya Mayor S.D. Wuisan, Kapten H.V. Nelwan dan Kapten F. Bisman. Sedangkan Kaseger (yang tidak menyetujui perebutan kekuasaan KNIL ini) dimasukan juga dalam Staf Komando dengan diberi Pangkat Mayor.
Tindakan Heroik di Sulawesi Utara tanggal 14 Februari 1946, para pemuda Indonesia anggota KNIL tergabung dalam Pasuka Pemuda Indonesia (PPI) mengadakan gerakan Tangsi Putih dan Tangsi Hitam di Teling Manado. Mereka membebaskan tawanan yang mendukung Republik Indonesia antara lain Taulu, Wuisan, Sumanti, G.A Maengkom, Kusno Dhanupojo, G.E. Duhan, juga menahan Komandan Garnisun Menado dan semua pasukan Belanda di Teling dan Penjara Manado. Diawali peristiwa tersebut para pemuda menguasai markas Belanda di Tomohon dan Tordano. Berita dan perebutan kekuasaan tersebut dikirim ke Pemerintah Pusat yang saat itu di Yogyakarta dan mengeluarkan maklumat no 1 yang ditandatangi oleh Ch.Ch.Taulu. Pemerintah sipil dibentuk tanggal 16 Februari 1946 sebagai rasiden dipilih B.W. Lapian.
Peristiwa Merah Putih terjadi tanggal 14 Februari 1946 di Manado. Para pemuda tergabung dalam pasukan KNIL Kompeni VII bersama lasykar rakyat dari barisan pejuang melakukan perebutan kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon, dan Minahasa. Sekitar 600 orang pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditahan. Pada tanggal 16 Februari 1946 mereka mengeluarkan surat selebaran yang menyatakan bahwa kekuasaan di seluruh Manado telah berada di tangan bangsa Indonesia. Untuk memperkuat kedudukan Republik Indonesia, para pemimpin dan pemuda menyusun pasukan keamanan dengan nama Pasukan Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh Mayor Waisan. Bendera Merah putih dikibarkan di seluruh pelosok Minahasa hampir selama satu bulan, yaitu sejak tanggal 14 Februari 1946.  Pada malam hari tanggal 22 Pebruari 1946 bertempat di halaman rumah bekas Hukum-Besar Supit diadakan resepsi dan Pesta Rakyat untuk para pembesar yang baru tiba di Tondano dari Manado.
Di Gorontalo,  setelah Jepang menyerah, mereka masih tetap menghormati Nani Wartabone sebagai pemimpin Rakyat Gorontalo. Terbukti dengan penyerahan pemerintahan dari Jepang kepada Nani Wartabone pada tanggal 16 Agustus 1945. Sejak hari itu Sang Saka Merah Putih kembali berkibar di Gorontalo setelah diturunkan Jepang sejak 6 Juni 1942, karena pada tanggal 23 Januari 1942, Rakyat Gorontalo telah mengumumkan Kemerdekaan dan mengibarkan bendera Merah Putih. Anehnya, setelah penyerahan kekuasaan dari Jepang, Nani Wartabone dan Rakyat Gorontalo belum mengetahui telah terjadi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta 17 Agustus 1945 keesokan harinya, mereka baru mengetahuinya pada tanggal 28 Agustus 1945.
Setelah menerima berita proklamasi dari Jakarta, maka pada tanggal 1 September 1945 Nani Wartabone membentuk Dewan Nasional di Gorontalo sebagai badan legislatif untuk mendampingi kepala pemerintahan. Dewan yang beranggotakan 17 orang ini terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat dan ketua parpol. G. Maengkomdan Muhammad Ali adalah dua dari 17 orang anggota dewan tersebut. Upaya mempertahankan Pemerintahan Republik Indonesia, maka para pemuda berhasil merebut senjata dari markas-markas Jepang pada 13 Sepember 1945. Pada tanggal 30 November 1945 Nani Wartabone pun ditangkap ketika melakukan perundingan dan dipenjarakan di Jakarta.
Dalam perjuangan rakyat Sulawesi (terutama di Kolaka) nampak keikutsertaan kaum perempuan cukup meyakinkan dalam mempertahankan kemerdekaan. Sehingga perjuangan rakyat dalam mempertahakan RI merupakan perjuangan seluruh rakyat dengan tidak membedakan jenis kelamin, kepercayaan, suku, dan asal-usul. Dalam wadah PRI misalnya, nampak persatuan antara golongan Islam dan Kristen dalam perjuangannya membela kemerdekaan. Begitupun suku Mekongga, Bugis, Manado, Ambon, Timor, dan lain lain bahu membahu dalam perjuangan. Kader-kader PSII, Muhammadiyah/Hisbul Wathan, PNI, bekas KNIL, bekas Heiho/Seinendan/Romusya bersatu dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan.

DAFTAR PUSTAKA

Anak Agung Gde Agung. Dari Negara Indonesia Timur ke Negara Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. 1985.
Ali-Hadara. Profil Pejuang Sulawesi Tenggara. Kendari: Laporan Penelitian Kerjasama Barida dan Unhalu. 2007.
Anonim.  Sejarah Daerah Sulawesi Tengah. Jakarta: Depdikbud. 1979.
Anonim. Lahirnya Tri. Devisi Hasanuddin di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Ujung Pandang: Tim Penelitian Sejarah Perjuangan Rakyat Sulselra Kerja Sama Kodam XIV Hasanuddin, Unhas dan IKIP Ujung Pandang. 1983.
Anwar Hafid, dkk. Sejarah Daerah Kolaka. Bandung: Humaniora Utama Press. 2009.
Anwar Hafid dan Safruddin. Sejarah Daerah Konawe Utara. Bandung: Alfabeta. 2014.
Audrey R Kahin (ed.). Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan. Jakarta: Grafiti Perss. 1990.
A. Rahman Rahim. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang: Lembaga Penerbit UNHAS. 1985. 
B.Bhurhanuddin. Sejarah Masa Revolusi Fisik Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud. 1980.
Christian Pelras. Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Forum Jakarta Paris-Ecole Francaise d’Extreme-Orient. 2006.
Harun Kadir, dkk. Sejarah Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan. Jakarta: Depdibud. 1982.
Harun Kadir, dkk. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Kerjasama Bappeda TK I Sul-Sel dengan UNHAS, 1984.
Kementerian Penerangan RI. Propinsi Sulawesi. Makassar: Djawatan Penerangan RI Propinsi Sulawesi. 1953.
Lahadjdji Patang. Sulawesi dan Pahlwan-Pahlawanya. Makassar: Yayasan Kesejahteraan Generasi Muda Indonesia. 1975.
Manai Sophian. Apa yang Masih Teringat. Jakarta: Yayasan Mencerdaskan Bangsa Sulawesi Selatan. 1991.
Maulwi Saelan. Dari Revolui ’45 sampai Kudeta ’66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa. Jakarta: Visimedia Pustaka. 2008.
Moh. Ali Fadillah dan Iwan Sumantri. Kedatuan Luwu. Makassar: Lembaga Penerbit Universitas Hasanuddin. 2000.
M. Sanusi Dg. Mattata. Luwu dalam Revolusi. Makassar:  Yayasan Pembangunan Asrama Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu. 1967.
Mukhlis PaEni dan Kathryn Robinson (ed.). Politik Kekuasaan dan Kepemimpinan di Desa. Ujung Pandang: Lembaga Penerbit: UNHAS. 1985.
Mukhlis PaEni, dkk. Sejarah Sosial Daerah: Mobilitas Sosial Kota Makassar 1900-1950. Jakarta: Disjarahnitra Depdikbud. 1995.
Nugroho Notosusanto,  dkk.  30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949. Jakarta: Sekretariat Negara RI. 1985.
Nurhayati Nainggolan, dkk. Sejarah Revolusi Kemedekaan Daerah Sulawesi Tengah. Jakarta: Depdikbud. 1982.
R.Z. Leirissa. Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar harapan dan Yayasan Malesung Rondor. 1997.
Sagimun MD, dkk. Perlawanan dan Pengasingan Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press. 1986.
Sanusi Daeng Mattata. Luwu Dalam Revolusi. Makassar:  Yayasan Pembangunan Asrama Ikatan Palajar Mahasiswa Indonesia Luwu. 1967.
Sarita Pawiloy, dkk.  Sejaran Perjuangan Angkatan 45 di Sulawesi Selatan 17 Agustus 1945-17 Agustus 1950. Ujung Pandang: Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Propinsi Sulawesi Selatan. 1987.
Teuku H. Ibrahim Alfian. Perjuangan Datu Kerajaan Luwu Andi Djemma dalam Menancapkan Pilar Begara Kesatuan Republik Indonesia dan Pengusulannya sebagai Pahlawan Nasional.  Dalam Andi Djemma Pahlawan Nasional dari Bumi Sawerigading. Editor. A. Mattingaragau T, dkk. Makassar: Unanda Press. 2003.
Willem Ijzereef.  De Zuid-Celebes Affaire, Dieren. 1984.








[1] Maulwi Saelan. Dari Revolui ’45 sampai Kudeta ’66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa. Jakarta: Visimedia Pustaka.  2008, hal.  41

[2]  Nugroho Notosusanto, dkk. 1985.  30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949. Jakarta: Sekretariat Negara RI, hal. 30.

[3] Maulwi Saelan, op cit, hal. 6.
[4] Maulwi Saelan, op cit, hal. 45.
[5] Lahadjdji Patang. Sulawesi dan Pahlwan-Pahlawanya. Makassar: Yayasan Kesejahteraan Generasi Muda Indonesia. 1975, hal. 59.
[6] Sarita Pawiloy, dkk.  Sejaran Perjuangan Angkatan 45 di Sulawesi Selatan 17 Agustus 1945-17 Agustus 1950. Ujung Pandang: Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Propinsi Sulawesi Selatan. 1987, hal. 124.

[7] Ibid, hal. 146.
[8] Anwar Hafid, dkk. Sejarah Daerah Kolaka. Bandung: Humaniora Utama Press. 2009, hal. 138.
[9] Sarita Pawiloy, 1987, op cit, hal. 131
[10]Ali-Hadara. Profil Pejuang Sulawesi Tenggara. Kendari: Laporan Penelitian Kerjasama Barisda dan Unhalu. 2007, hal. 58.
[11]Sarita Pawiloy, 1987, op cit, hal. 66.
[12] M. Sanusi Dg. Mattata. Luwu dalam Revolusi. Makassar:  Yayasan Pembangunan Asrama Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu. 1967, hal. 215.

[13] R.Z. Leirissa. Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar harapan dan Yayasan Malesung Rondor. 1997, hal. 118.
[14] Ibid, hal. 117.
[15] Lahadjdji Patang, 1975, op cit, hal. 285.
[16]Christian Pelras. Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Forum Jakarta Paris-Ecole Francaise d’Extreme-Orient. 2006, hal. 335.
[17] Anwar Hafid dan Safruddin. Sejarah Daerah Konawe Utara. Bandung: Alfabeta. 2014, Hal. 144.
[18] Ibid, hal. 281.
[19] Sarita Pawiloy, 1987, op cit, hal. 125.
[20] M. Sanusi Dg. Mattata, 1967, op cit, hal. 217.
[21] Sarita Pawiloy, 1987, op cit, hal. 133
[22] Teuku H. Ibrahim Alfian. Perjuangan Datu Kerajaan Luwu Andi Djemma dalam Menancapkan Pilar Begara Kesatuan Republik Indonesia dan Pengusulannya sebagai Pahlawan Nasional.  Dalam Andi Djemma Pahlawan Nasional dari Bumi Sawerigading. Editor. A. Mattingaragau T, dkk. Makassar: Unanda Press. 2003, hal. 53.

[23] Nurhayati Nainggolan, 1982, op cit. 100.
[24][24] Sarita Pawiloy, 1987, op cit, hal. 126.
[25]  Mukhlis PaEni, dkk. Sejarah Sosial Daerah: Mobilitas Sosial Kota Makassar 1900-1950. Jakarta: Disjarahnitra Depdikbud. 1995, hal. 34.
[26]  Lahadjdji Patang, 1975, op cit, hal. 196.
[27] B. Bhurhanuddin, 1980, hal.24.
[28] Ibid, hal. 25.
[29] Anwar Hafid,  2009. op cit, hal. 146.
[30] Ibid, hal. 146.
[31] Ibid, hal. 160.
[32] Ibid, hal. 161
[33]  Lahadjdji Patang, 1975, op cit, hal. 249.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar