PERJUANGAN MENYEBARKAN BERITA
PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA DI SULAWESI
Makalah
Disajikan
dalam Bimbingan Pelestarian Nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan
Sosial (K2KS) Dinas Sosial Propinsi Sulawesi Tenggara,
tanggal 19 Oktober 2015
Oleh:
Prof.
Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
Guru Besar pada FKIP Universitas Halu Oleo
DINAS SOSIAL PROPINSI
SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2015
BERITA
PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA DI SULAWESI DAN RESPONNYA
Oleh : Anwar
Hafid
A. PENDAHULUAN
Ketika Bung Karno membacakan
naskah proklamasi di teras rumahnya, Jl. Pengangsaan Timur No. 56
Jakarta, tanggal 17 Agustus 1945. Empat orang putra terbaik Sulawesi turut
hadir pada peristiwa bersejarah itu. Mereka adalah Dr. G.S.S.J. Ratulangie,
Andi Pangerang Daeng Parani, Andi Sultan Daeng
Raja dan Mr. Andi Zaenal Abidin. Sehari sebelumnya
mereka juga menghadiri pertemuan penting dirumah Laksamana Tadachi Maeda dan
terlibat dalam kehangatan pertemuan itu. Kedatangan delegasi Sulawesi ke
Jakarta adalah dalam rangka mengikuti sidang-sidang PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia).
Dr. G.S.S.J. Ratulangie dan Andi
Pangerang Daeng Parani adalah anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) mewakili Sulawesi sedang Andi Sultan
Daeng Raja sekalipun bukan anggota PPKI, tetapi ia diutus oleh para pemimpin
pejuang Sulawesi untuk mengikuti sidang-sidang PPKI di Jakarta, dalam
kapasitasnya sebagai tokoh masyarakat Sulawesi (Selatan) yang sangat
berpengaruh dan juga atas perannya sebagai anggota SUDARA (Sumber Darah
Rakyat), sebuah organisasi perjuangan kemerdekaan Indonesia di Makassar
yang sebelumnya dikenal dengan nama Ken
Koku Doshikai. Sementara itu Mr. Andi Zaenal Abidin bertugas selaku
sekretaris dari perutusan Sulawesi di PPKI. [1]
Selama berada di Jakarta, keempat
utusan Sulawesi itu sangat aktif mengikuti berbagai kegiatan politik dan
menghadiri acara-acara penting menjelang proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945. Mereka juga datang pada rapat dan pertemuan politik di hari-hari awal
pasca kemerdekaan. Pada tanggal 18 Agustus 1945 mereka berempat mengikuti
sidang hari pertama PPKI sehari setelah kemerdekaan Indonesia dan menjadi
menjadi saksi hangatnya perdebatan pada sidang PPKI yang menentukan bagi
perjalanan sejarah Indonesia kemudian. Pada sidang itulah disepakati untuk
mengesahkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pemilihan Ir.
Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada
sidang itu juga dibicarakan tugas-tugas yang dibebankan kepada KNI (Komite
Nasional Indonesia) dalam mekanisme pemerintahan Republik Indonesia.
Utusan
Sulawesi tersebut juga mengikuti sidang PPKI pada
tanggal 19 Agustus 1945 dengan agenda khusus; Pembentukan perangkat
pemerintahan, pengukuhan anggota-anggota kabinet, pembagian wilayah Republik
Indonesia ke dalam delapan propinsi serta pengangkatan gubernur-gubernur
disetiap propinsi. Satu diantaranya adalah pengangkatan Dr. G.S.S.J. Ratulangie menjadi Gubernur
Sulawesi. [2]
Pada hari yang sama tanggal 19
Agustus 1945 sore hari segera setelah sidang PPKI Dr. G.S.S.J. Ratulangie dkk,
segera bergegas kembali ke Sulawesi dan
mendarat dengan selamat disebuah lapangan terbang kecil di Bulukumba ± 160 KM
selatan Kota Makassar. Sementara itu berita
proklamasi kemerdekaan Indonesia yang sampai ke Sulawesi hanya diketahui oleh
segelintir orang saja yang secara terbatas memiliki radio. Berita kemerdekaan
Indonesia barulah tersebar secara luas di Sulawesi pada tanggal 20 Agustus 1945
bertepatan dengan kedatangan kembali Dr. G.S.S.J. Ratulangie di Makassar.
Bagi para pejuang kemerdekaan
Indonesia khususnya anggota SUDARA kemerdekaan Indonesia adalah sebuah karunia
Tuhan yang diberikan sebagai buah perjuangandan pengorbanan mereka, tetapi bagi
Dr. G.S.S.J. Ratulangie yang telah
berstatus sebagai gubernur Sulawesi mengisi kemerdekaan adalah sebuah
perjuangan yang tak kalah beratnya. Atas
pengangkatannya sebagai Gubernur Sulawesi ia diberi mandat dan
kekuasaan penuh tidak hanya sekedar mempermaklumkan diri secara formal sebagai Gubernur
Sulawesi, tetapi juga kepadanya dituntut untuk
segera membentuk KNI–D (Komite Nasional Indonesia Daerah) yang akan membantunya
sebagai media pelaksana dalam menjalankan roda pemerintahan di Sulawesi. Dr.
G.S.S.J. Ratulangie ditugaskan juga
segera mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan dan menyiapkan kantor gubernur
yang akan menjadi pusat kegiatan aparatur negara di Propinsi Sulawesi. Uraian
tugas-tugasnya selaku gubernur Sulawesi, telah tertuang dalam amanah sidang
PPKI 19 Agustus 1945.
Karena itulah maka pembentukan
KNI-D di Sulawesi sangat mendesak karena dengan terbentuknya KNI-D,
maka secara langsung dapat dikatakan peran, tugas dan tanggung jawab seorang
gubernur telah berfungsi dan berjalan dengan baik. Dengan demikian maka secara
de facto Republik Indonesia telah berdiri dan berkuasa di Sulawesi. Namun apa
yang terjadi, rakyat Sulawesi kecewa karena merasa
bahwa Dr. G.S.S.J. Ratulangie tidak
dapat berbuat banyak dalam menjalankan perannya selaku gubernur. Keragu-raguan
dan kehati-hatian sang gubernur dalam penataan administrasi pemerintahan
berawal dari keragu-raguannya dalam hal pengambil alihan pemerintahan di
Sulawesi dari tangan penguasa Jepang yang ketika itu sudah berstatus kalah
perang dan tidak berdaya.
Sikap Dr. G.S.S.J. Ratulangie yang sangat hati-hati itu didasari oleh
pertimbangan yang sangat dalam, terutama masalah keamanan
Sulawesi, karena bagi Dr. G.S.S.J. Ratulangie, sebuah kekuasaan haruslah
dilindungi oleh kekuatan bersenjata. Faktor utama itulah yang tidak dimiliki
oleh Propinsi Sulawesi, karena bagi Dr. G.S.S.J. Ratulangie,
dukungan yang besar dari berbagai
organisasi pemuda dan badan-badan perjuangan di Sulawesi belum cukup dan belum
dapat diandalkan sebagai perisai yang melindungi kekuasaan Republik Indonesia
di Sulawesi. Baginya para pemuda bukan tentara yang terlatih dan mereka juga
tidak memiliki persenjataan modern yang tangguh. Karena itu jika terjadi
pertempuran bisa dibayangkan akibatnya.
Untuk itulah,
maka Dr. G.S.S.J. Ratulangie telah mengutus
dua orang tokoh pemuda pejuang Sulawesi ke Jawa, Moh. Saleh Lahade dan Manai
Sophian untuk menemui Bung Karno agar pemerintah pusat dapat mengirim bantuan
pasukan, senjata serta peralatan perang lainnya ke Sulawesi. Atas sikapnya yang
hati-hati itu Dr. G.S.S.J. Ratulangie seakan
tidak dapat menangkap kegelisahan para pemuda pejuang Sulawesi, yang ketika itu
sudah berada dalam suasana revolusi yang hampir tidak dapat dibendung lagi.
(Maulwi Saelan, 2008) Namun demikian tampaknya perbedaan pandangan antara para
pemuda dengan gubernur Sulawesi tidak menyebabkan para pemuda dapat bertindak
seenaknya tanpa sepengetahuan sang Gubernur, karena bagaimanapun juga Dr.
G.S.S.J Ratulangie adalah seorang gubernur yang diangkat langsung dari pusat.
Sembilan bulan lamanya Dr.
G.S.S.J. Ratulangie berjalan pada
prinsipnya yang sangat hati-hati, penuh pertimbangan bahkan mungkin mendekati
keragu-raguan, termasuk satu setengah bulan lamanya Sulawesi dalam keadaan
vakum dari tanggal 17
Agustus 1945 sampai dengan 24 September 1945,
atau sejak pernyataan kekalahan Jepang pada Sekutu
tanggal 15 Agustus 1945 hingga kedatangan Tentara Sekutu
yang membawa serta NICA (Nederlandsch
Indie Civil Administratie) di Makassar. [3]
Kedatangan Sekutu
yang membawa NICA turut serta bersamanya ke Indonesia adalah sebuah babakan baru
bagi sejarah Kolonial Belanda di Indonesia, karena ketika itu NICA menemukan
realitas yang tidak diduga sebelumnya, ialah bahwa Nederlands Indie yang dulu
sebagai negeri jajahannya, kini telah memproklamasikan diri sebagai negara
merdeka dengan nama Republik Indonesia. Walaupun teritorialnya secara de facto
hanya terbatas di Indonesia Bagian Barat
terutama di Jawa dan Sumatera. Sementara di Indonesia Bagian
Timur khususnya di Sulawesi kekuasaan
Negara Republik Indonesia belum sepenuhnya berdiri, tetapi keadaan ini tidak
berarti bahwa NICA dapat dengan mudah menguasai Indonesia bagian timur
khususnya Sulawesi.
Hal ini terjadi karena di
Sulawesi telah terbentuk organisasi-organisasi perjuangan kemerdekaan Indonesia
yang sangat tangguh, karena itu untuk menguasai Sulawesi, memerlukan perjuangan
yang berat. Atas dasar itulah NICA melakukan penekanan dan pendekatan kepada
Dr. G.S.S.J. Ratulangie agar mau berdamai dengan NICA. Keadaan ini membuat Dr.
G.S.S.J. Ratulangie menjadi sangat terpojok. Ia memang pernah mengutus Moh.
Saleh Lahade dan Manai Sophian untuk meminta bantuan pasukan, senjata, dan
peralatan militer agar segera dikirim ke Sulawesi untuk menjaga kedaulatan
Republik Indonesia. Tetapi pasukan, senjata, dan peralatan militer yang
ditunggu-tunggu tidak kunjung tiba. Karena itu ia memilih untuk berunding demi
menjaga ketentraman Sulawesi sambil menunggu datangnya bantuan pemerintah pusat
yang dimintanya. Walau akhirnya bantuan dalam jumlah yang sangat besar tiba di
Sulawesi untuk mendukung idealisme Dr. G.S.S.J. Ratulangie, tetapi
ketika bantuan itu tiba sang gubernur sudah ditangkap oleh KNIL dan dibuang ke
Serui tanggal 5 April 1946.[4]
B.
Medium
(alat penyebaran berita: surat kabar, radio, orang/tokoh langsung, Kantor Berita Domei, tokoh PPKI, Pengiriman
Delegasi)
1.
Penyebaran Melalui Tokoh PPKI dan Pengiriman Delegasi
Setiba Dr. G.S.S.J. Ratulangie di
Makassar, langsung menginap di Hotel Empress bersama Mr. Andi Zainal Abidin
selama seminggu di sini mengorganisir strategi perjuangan yang dimulai dengan
penyebaran berita proklamasi, dan upaya membangkitkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya kemerdekaan dan upaya mempertahankannya.
Selaku Gubernur Sulawesi, menyadari bahwa Dr. G.S.S.J. Ratulangie posisinya amat sulit. Para pemuda
menganggap tindakan gubernur terlalu berhati-hati. Oleh karena itu, para pemuda
mulai merencanakan untuk merebut gedung-gedung vital, seperti stasiun radio dan
tangsi polisi. Kelompok pemuda tersebut terdiri atas kelompok Barisan Berani
Mati, bekas Kaigun Heiho dan pelajar SMP.
Segera
setelah Dr.
G.S.S.J. Ratulangie kembali ke Makassar, ia menyebarkan
berita proklamasi dan menata pemerintahan sekaligus mengorganisir perjuangan
rakyat mempertahankan kemerdekaan dalam wadah organisasi Pusat Keselematan
Rakyat (PKR) yang dipimpin oleh Dr. G.S.S.J. Ratulangie, dengan menghimpun
segenap tokoh-tokoh lintas etnis yang ada di Makassar, seperti:
1.
Lanto Daeng
Pasewang dari Sulawesi Selatan
2.
Saleh Daeng Tompo
dari Sulawesi Selatan
3.
Latumahina dari
Maluku
4.
Soewarno dari Jawa
5.
Mr. Andi Zainal
Abidin dari Sulawesi Selatan
6.
I.P.L. Tobing dari
Sumatera
Rakyat Sulawesi menyambut hangat berita proklamasi dan memberikan
dukungan penuh kepada Dr. G.S.S.J. Ratulangie untuk melakukan konsolidasi
pemerintah RI di wilayah Sulawesi, rakyat mendesak untuk mengambil alih
kekuasaan dari Jepang, maka Dr. G.S.S.J. Ratulangie mengadakan diplomasi dengan
pimpinan Tentara Jepang di Makassar, namun pihak Jepang tidak bersedia
memberikan kekuasaan kepada Bangsa Indonesia karena takut kepada Sekutu yang
akan segerah datang. Dr. G.S.S.J. Ratulangie menasehati para pemuda untuk
tidak melakukan tindakan revolusioner melawan Jepang, demi mencegah pertumpahan
darah dan meyakini bahwa Jepang akan segera meninggalkan Nusantara untuk
selamanya.
Penyebaran
berita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia itu disebarkan secara formal, melalui
Tim Dr. G.S.S.J. Ratulangie menuju ke Utara sedangkan Tim Lanto Daeng Pasewang
ke Selatan. Dimaksudkan untuk menyusun kekuasaan dan menggalang persatuan
dengan makin santernya berita pendaratan tentara Sekutu di Sulawesi Selatan.
Dr. G.S.S.J. Ratulangie tetap mempertahankan pendiriannya untuk tetap
menghindari perlawanan bersenjata dan menggantikannya dengan jalan diplomasi,
berdasarkan suatu perhitungan yang matang.
Sebelum Gubernur Sulawesi Dr. G.S.S.J. Ratulangie
menyampaikan secara resmi berita proklamasi, maka beberapa pemuka masyarakat
yang dekat dengan prajurit Jepang telah mengetahui kabar penting itu. Ada yang
mendengar langsung dari radio miliknya, ada pula lewat pemberitahuan tidak
resmi dari orang Jepang. Hal ini hampir terjadi disemua kota-kota kecil di
Sulawei Selatan, seperti: Pare-pare, Soppeng, dan Palopo. Selain itu,
perlahan-lahan muncul semacam pusat-pusat kegiatan pemuda pendukung kemerdekaan
masing-masing:
1. Kota
Makassar dan sekitanya;
2. Kota
Pare-pare dan sekitanya; dan
3. Kota
Palopo dan sekitarnya.
4. Kota Watampone
5. Kota Watangsoppeng, dan
6. Kota Sengkang.
Di
antara daerah-daerah tersebut, Bonelah yang menonjol, dikaitkan figur Andi
Mappayukki selaku Raja Bone yang sejak awal tergabung dalam
perjuangan mempersiapkan kemerdekaan dan Andi Pangeran Daeng Parani selaku putra Raja Bone (tokoh PPKI yang hadir dalam proklamasi
kemerdekaan di Jakarta). Kedudukan Bone pada awal proklamasi,
dapat disamakan dengan Bulukumba, dimana Andi Sultan Daeng Raja berada (tokoh yang hadir dalam proklamasi kemerdekaan di Jakarta).[6]
Semangat bertambah kokoh,
berhubung beberapa tokoh kemerdekaan dari Makassar ke Bantaeng, mereka tiba
pada awal Septembar 1945 yang terdiri dari Lanto Daeng Pasewang, Manai Sophian,
A.N. Hajarati, A. Majid, dan Achmad Massiara. Andi Mannapiang sebagai Raja
Bantaeng yang ditemui tokoh politik itu,
segera menyatakan bahwa Bantaeng sebagai wilayah
RI. Melihat gejala para pemuda akan bertindak, maka pasukan
Jepang meninggalkan Bantaeng, mereka melarikan
diri ke gunung-gunung dan semua persenjataan milik Jepang dibawa serta sebelum
dirampas oleh pemuda.
Di daerah kediaman Andi Sultan
Daeng Raja Bulukumba, gerakan kemerdekaan cukup menonjol. Andi Sultan yang juga
menjadi Raja Gattarang, suatu kerajaan kecil di Bulukumba sejak masa
pemerintahan Jepang sudah sering kali menyelipkan ide kemerdekaan dalam setiap
pidatonya. Ia membuka pintu berkembangnya pertahanan kemerdekaan seperti:
Muhammadiyah, PNI, dan organisasi SUDARA dibentuknya. Melalui organisasi itu,
dukungan terhadap kemerdekaan dibina. Ketika
berita kemerdekaan dibawa oleh Andi Sultan dari Jakarta, 19 Agustus 1945, tokoh
pergerakan dan organisasi pemuda menyambut dengan amat gembira.
Para pemuda
di Daerah
Sinjai pada awal kemerdekaan tampil dan konsekuen
atas pernyataan dukungan mereka terhadap proklamasi pemerintahan RI Daerah
Sinjai terbentuk. Kepala pemerintahan RI yang pertama ialah Andi Mappotaba,
dibantu oleh Andi Indar, dan Andi Jayalangkara. Dengan demikian kevakuman
kekuasaan setelah pemerintah militer Jepang menyerah kepada Sekutu diisi oleh
pemerintah RI yang berlangsung sampai munculnya NICA pada pertengahan bulan
Oktober 1945.
Di Selayar pulau kecil di sebelah
selatan agak dekat dengan Bulukumba, dukungan rakyat dibuktikan pada tanggal 10
Oktober 1945, mereka menurunkan bendera Belanda dan menaikkan bendera merah
putih. Pelopor kemerdekaan yang disegani rakyat Selayar ialah Aruppala. Wadah
organisasi yang mempersatukan pendukung kemerdekaan, PKR (Perkumpulan
Kedaulatan Rakyat ) yang dibentuk diketuai oleh Aruppala, maka sejak hari itu
bendera merah putih berkibar di ibu kota
Selayar. [7]
2.
Pemberitaan Melalui Media Radio
Selain itu berita radio dan
informasi dari prajurit-prajurit Jepang yang bersimpati terhadap perjuangan
Bangsa Indonesia. Di Soppeng, berita kemerdekaan mulai dibicarakan secara
berbisik sejak tanggal 22 Agustus1945. Kemudian, setelah organisasi PNI (Pemuda
Nasional Indonesia) terbentuk atas inisiatip Andi Mahmud, berita kemerdekaan
tersebar luas. Andi Mahmud yang memiliki pesawat radio sempat mendengar adaya
proklamsi itu. Ketik itu, ia menjabat sebagai Kepala Distrik Liliriaja
Onderafdeling Sopeng. Di Kota Pare-pare, Andi Abdullah Bau Masspe dapat
mendengar berita proklamasi Kemedekaan melalui radio miliknya, sehingga dengan
cepat dapat menyebarkan ke segenap kerabat dan rakyat, dan selanjutnya Andi
Abdullah Bau Masspe menjadi salah seorang pelopor pendukung kemerdekaan
diantara para raja dan bangsawan yang ada di Sulawesi Selatan.
Berita
Proklamasi 17 Agustus 1945 di Kolaka diterima dari orang Jepang yang mendengar
melalui radio, yaitu oleh Kabasima Komandan Tentara Jepang yang bertugas di
daerah pertambangan Nikel Pomalaa-Kolaka. Patut dicatat bahwa Kabasima Taico
yang kemudian berganti nama menjadi Mansur bersama temannya yang dikenal
dengan nama Sukri tidak mau dipulangkan ke Jepang bersama tawanan peran dan
ikut berjuang bersama pemuda Kolaka menentang pendudukan Belanda di Kolaka
Utara (Lasusua) mereka mendirikan gerakan Kipas Hitam untuk
menentang NICA. [8]
Kolaka sebagai bagian dari
wilayah Kerajaan Luwu para pemudanya telah melakukan langkah maju, karena sejak
tanggal 18 Agustus1945, membentuk organisasi pemuda militan, bernama GKR
(Gerakan Kebangunan Rakyat). Wadah itu dibentuk atas izin Kabasima (AL).
Jepang yang bertugas di wilayah pertambangan
Nikel Pomalaa. Pimpian GKR ialah M. Jufri Tambora, dibantu
oleh Andi Punna, Ali Kamri bersama 11 orang. Dari pihak Jepang duduk sebagai
penasehat: Kapten Kabasima dan Kapten Fujiyama. Dari pihak Jepang, telah
diperoleh informasi perubahan situsai, termasuk kekalahan Jepang kepada Sekutu
dan berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Demikian pula, jalur
lalulintas laut di Teluk Bone antara Luwu dan Kolaka (Mincarangapa) tidak
pernah berhenti. Dengan demikian, pada tanggal 20 Agustus 1945, berita
proklamasi kemerdekaan dari Palopo sudah sampai pada para pemuda GKR
dan masyarakat luas di Kolaka karena dibawa pula oleh para perantau yang baru
datang dari Palopo. Atas dasar itu, M Jufri Tambora yang masih memiliki
hubungan keluarga dengan bangsawan Luwu, berangkat menuju Palopo. Tujuannya,
ialah untuk mendapat berita resmi seikap Raja Luwu terhadap proklamasi
kemerdekaan bangsa Insonesia. Jufri Tambora kembali ke
Kolaka pada pertengahan September 1945 membawa kepastian sikap Raja Luwu
terhadap kemerdekaan itu. [9]
Turut
sertanya beberapa orang Jepang dalam perjuangan menentang Belanda/NICA
menggambarkan betapa jauhnya oknum tentara Jepang membantu mendirikan kekuasaan
RI di Sulawesi Tenggara. Di Kendari
berita Proklamasi mulai diketahui dari kalangan Kaigun dan Heiho yang
disampaikan juga oleh Tentara Jepang yang bertugas memimpin Heiho tersebut
yaitu Idie Heiso dan Sadamitsu Heiso.
3.
Peran ParaTokoh
Walaupun kemerdekaan Indonesia sudah diplokamirkan 17 Agustus 1945 tetapi tokoh-tokoh
perjuangan di Bolaang Mongondow belum melihat naskah proklamasi itu. Untunglah
ada seorang penduduk Desa Molinow yang menjadi guru di SD Molibagu (Bolsel)
bernama Siata Paputungan yang memperoleh salinan naskah proklamasi yang berasal
dari Gorontalo, maka dengan berjalan kaki ia datang ke Desa Molinow
memperlihatkan naskah proklamasi kepada tokoh PSII. Maka tokoh-tokoh PSII didukung bekas pemuda
Heiho dan beberapa anggota tentara Jepang yang tidak mau dipulangkan ke tanah
leluhurnya pada tanggal 19 Desember 1945 datang mengibarkan bendera Merah Putih
di lapangan Desa Molinow. Pengibaran Merah Putih didukung Lettu Hirayama yang
pagi itu bermarkas di rumah JFK Damopolii yang akhirnya markas Lettu Hirayama
dikepung Polisi Belanda yang bermarkas di Kotamobagu pimpinan Lettu Kambey, dan
Kambey terkena tembakan di paha, sehingga polisi Belanda mundur kembali ke markasnya di Kotamobagu.
Di Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara, berita proklamasi dibawa oleh
para pelayar yang baru datang dari Jawa dan Sumatra seperti yang dilakukan oleh
La Ola yang pada bulan September 1945 di bawah Komando BKR Laut pimpinan Mayor
S. Daeng Mangatta berlayar ke Singapura dan bertemua dengan Sumitro Djojohadikusumo,
mereka sepakat memuat senjata dari Singapura ke Jawa, dalam perjalanan pulang
dari Singapura pada bulan September 1945, mereka singgah di Tanjung Pinang, dan kemudian mendapat tugas
tambahan menyelamtkan Soepardjo Rustam
dari Rumah Tahanan di Tanjung Pinang menuju ke Cirebon selanjutnya ke
Ambarawa Jawa Tengah. La Ola juga terlibat dalam perjuangan melawan Sekutu/NICA pada bulan November 1945 di Surabaya.[10]
Di Toli-Toli pada masa awal
proklamasi kemerdekaan rakyat tak mengetahuinya. Karena seringnya mendapat
pemboman Sekutu, maka rakyat berpencar menyingkir ke Desa-desa di luar
Toli-Toli. Sekitar pertengahan bulan Oktober 1945 Mohammad Mahmud dan Ahmad
Mahmud datang dari Gorontalo diutus oleh Nani Wartabone membawa bendera Merah
Putih ke Daerah Buol. Bendera tersebut dikibarkan di Leok selama 3 minggu.
Berita proklamasi kemerdekaan di
Daerah Sulawesi Tengah mula-mula terdengar dan diketahui oleh tokoh-tokoh
pejuang di Poso dari pemberitaan orang Jepang sendiri. Pada tanggal 15 Agustus
1945 di atas Daerah Poso pesawat-pesawat Sekutu menyebarkan pamflet berwarna
kuning berisikan pemberitahuan bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat. Oleh
kepala Kampung Malei (bagian kerajaan Tojo) bernama Abu Maloco, secara rahasia
selembar dari pamflet itu dikirimkan kepada Abdul Latief Mangitung di tempat persembunyiannya di atas
kampung Malei karena ia menjadi buronan polisi Jepang sejak peristiwa Gerakan
Merah Putih tahun 1942 di Ampana-Tojo. Setelah
membaca isi pamflet tersebut Abdul Latief Mangitung berangkat ke Poso pada
tanggal 16 Agustus 1945 untuk mengetahui dari dekat situasi yang sebenarnya dan
bermalam di rumah Lanokang. Pada tanggal
17 Agustus 1945 kira-kira jam 15.00 sore Abdul Latief Mangitung dikunjungi di
tempat penginapannya oleh seorang perwira Jepang yang dikawal oleh dua orang
anggota Heiho asal Sulawesi Selatan
bernama Saleh Topetau dan Djafar.
Perwira Jepang itu mengatakan bahwa “bangsa
Indonesia sudah merdeka“. Mula-mula berita ini dianggap hanya pancingan
Jepang terhadapnya, sehingga ia tidak berani menanggapinya. Baru setelah dua orang Heiho membenarkan
berita itu dengan menyatakan bahwa mereka
berduapun langsung mendengar berita proklamasi dari radio milik Jepang
sewaktu mereka sedang bertugas, barulah berita itu diyakini kebenarannya.
Sementara itu dari keterangan I
Latanco Talamoa diperoleh penjelasan bahwa berita proklamasi diketahuinya dari
seorang tentara Jepang kenalan baiknya bernama Nakamura dari Angkatan Darat. Setelah mendengar dari radio tentang
proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Nakamura dengan segerah ke rumah I Latanco
Talamoa dan berkata; “Jepang sudah kalah,
tapi Indonesia sudah merdeka menghadapi Belanda. Belanda, Amerika ganti
Jepang.” Ketika I Latanco Talamoa bertanya : “Mengapa begitu?” Dijawab oleh tentara Jepang tersebut: “Ada berita dari Batavia, Indonesia ada
proklamasi kemerdekaan melalui radio oleh Sukarno-Hatta”.[11]
Menurut catatan harian
dari R.G. Ratupamusu, tidak lama sesudah berita proklamasi didengar di Poso,
maka pada tanggal 25 Agustus 1945 tibalah di Poso utusan Gubernur Sulawesi Dr.
G.S. S.J. Ratulangi dari Makassar melalui jalan darat dari Palopo ke Poso.
Utusan tersebut adalah A.N. Hajarati dan Hamzah Ilahude untuk membentuk
Pemerintahan Nasional di Poso serta memberi penerangan tentang telah diproklamirkannya
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.[12]
4.
Penyebaran
Berita Proklamasi Melalui Media Majalah/Koran
Pernyataan kemerdekaan yang
disampaikan oleh Gubernur Dr. G.S.S.J. Ratulangie, juga
dimuat harian Pewarta Selebes pada tanggal 29 Agustus 1945. Melalui pemberitaan
Koran ini, sehingga para kaum terpelajar semakin meningkatkan semangat
nasionalisme dan patriotismenya, mereka rela berkorban untuk membela dan
mempertahankan kemerdekaan.
Sebelum Oktober 1945, Tondano menjadi ibu kota pemerintahan
sipil Jepang untuk Sulawesi Utara dan Tengah. Markas tentara Jepang yang
terakhir ialah di Tonsea-Lama. Panglima Terakhir Laksamana Hamanak berada dalam
tahanan tentara Sekutu di Manado untuk diadili. Di kota ini NICA tidak
menempatkan pos militer, hanya ada sebuah Detasemen Polisi. Markas pemuda
terdapat di Kampung-Jawa dengan pemimpin-pemimpin pemuda Wim Pangalila dan
Rahmat Pulukadang. Untuk melebarkan
barisan pemuda dan front perjuangan, telah ditugaskan pemuda-pemuda Andaria
Tatehe ke Sangir-Talaud, Pon Mokodongan dan Hasan Usman ke Gorontola. Dikirim
pula tenaga-tenaga penghubung ke Donggala dan Poso.
Bagi pemuda
Minahasa dalam mendukung proklamasi RI, maka pada tanggal 8 Oktober 1945
mendirikan organisasi Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BPNI). Suatu
media penerangan dan propaganda dilancarkan oleh BPNI dengan penerbitan majalah
yang bernama “CATAPULT” dan “Suara Indonesia Moeda”, di bawah asuhan Chris
Pontoh dan John Rahasia. Catapult berbahasa Belanda karena masyarakat
terpelajar umumnya berbahasa Belanda. [13]Melalui
media penyiaran ini, maka rakyat dapat mengikuti keadaan perjuangan di Jawa dan
pembangkitan semangat untuk berpartisipasi. Sumber-sumber berita diperoleh dari
Dokter Senduk dan Dr. W.J Ratulangi yang menangkapnya dari pesawat-pesawat
radio yang ditingkalkan oleh dinas PHB-Jepang.
5.
Penyebaran
Berita Proklamasi Melalui Kantor Berita Domei
Sesungguhnya
sudah sejak bulan Agustus para pemuda Minahasa bangkit menyambut
Proklamasi Kemerdekaan yang di kumandangkan di Jakarta pada tanggal 17 agustus
1945. Berita Proklamasi pertama kali diketahui pada tanggal 18 Agustus 1945. A.
S. Rombot dan A. Siga yang ketika itu bertugas di Markas Angkatan Laut Jepang
di Tondano sebagai markonis, mendengar berita itu yang disiarkan oleh Kantor Berita
Jepang (Domei) di Tokyo. Berita yang sangat penting itu hanya diselipkan di
antara berita-berita lain mengenai bom atom di Hiroshima dan Nagasaki,
kapitulasi Jepang (10 Agustus), perintah gencatan senjata yang dikeluarkan oleh
Kaisar Jepang, dan sebagainya. Kedua pemuda itu lalu menyampaikan berita itu
antara lain kepada Wangko F. Sumantri yang ketika itu menjabat sebagai Komandan
Benteng Pertahanan Tanah Air di Tondano. Sebab itu tidaklah mengherankan kalau
para pemuda di Tondanolah yang memulai gerakan pembelaan Proklamasi itu.
Kegiatan para pemuda di Tondano pertama-tama
tampak di Sekolah Kepolisian (Nippon no
Tokibetsu) yang didirikan pada masa pendudukan Jepang di sebuah gedung
gereja Advent di Rerewoken (Tondano). Jumlah siswanya adalah sekitar 70 orang
yang rata-rata berusia 17 dan direkrut dari seluruh penjuru Minhasa, anatar lain Alex Lelengboto, Frans
Karepouan, John Somba, Adolf Wungow dan Karinda. Diantara para gurunya terdapat
juga orang Indonesia seperti Samsuri, Rusman, dan Massu. Segera setelah
menerima berita baru dari Sigar-Rombot, pada tanggal 19 Agustus 1945 para
pelajar di sekolah Kepolosian di Tondano itu mengadakan apel dan menaikan
Merah-Putih serta menyanyikan Indonesia Raya.
Badan pemerintah Sementara (Komite
Tenaga Rakyat) dibawah pimpinan E.H.W Pelengkahu kemudian
memutuskan agar pada tanggal 23 Agustus 1945 Merah Putih dikibarkan serentak di
beberapa tempat di Minahasa, seperi Tondano, Kawangkoan, Kombi, dan Sonder.[14]
6.
Perjuangan
Putra Sulawesi di Jawa
Menjelang
proklamasi kemerdekaan, para pemuda yang berasal dari Sulawesi terlibat dalam
kegiatan persiapan kemerdekaan, termasuk dalam wadah BPUPKI seperti Mr. A.A.
Maramis sebagai anggota BPUPKI, ia duduk dalam Panitia Sembilan, yang diketuai
oleh Ir. Sukarno dan wakilnya Drs. Mohammad Hatta, mereka
bekerja merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Beliau turut
menandatangani rumusan ini pada tanggal 22 Juni 1945. Rumusan Pembukaan UUD
1945 ini kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta.
Mencermati
kegiatan putra asal Sulawesi di Jawa pada masa perjuangan kemerdekaan yang pada akhirnya mereka bersatu dalam brigade XVI, di dalam
perkembangannya dapatlah dibagi menurut dan
laskar kegiatan mereka, yaitu:
1. Di Jawa
Tengah pimpinan Kahar Muzakar
2. Di Jawa
Timur (Malang) Angkatan Darat pimpinan Warouw
3. Di Jawa
Timur (Lawang) Angkatan Laut pimpinan Aris dan Hamzah Tuppu
Kahar Muzakar bertambah menarik
perhatian ketika berhasil mendapat izin untuk membebaskan narapidana Suku Bugis
Makassar yang telah menjalani hukuman dua zaman di penjara-penjara Nusa
Kambangan, Cipinang Jakarta, Sukamiskin Bandung, Ambarawa dan Sragen. Para narapidana dua zaman ialah mereka yang dihukum pada zaman
Hindia Belanda dan masih menjalani hukumannya pada masa pendudukan Jepang.
Mereka ini terdiri dari orang-orang yang dihukum karena membunuh. Di Asrama
Pingit lebih dahulu sudah ada perantau-perantau/pelajar-pelajar Bugis-Makassar
yang dilatih untuk menjadi prajurit, antara lain Ukas Arifin, Muhamadong,
Hasyim Komba, Arsyad, Ale Abdullah, Moh. Said dan lain-lain.
Kemudian para tahanan yang baru dibebaskan jumlahnya lebih dari 1000 orang
secara bergelombang dididik jiwanya dan dilatih untuk menjadi prajurit tanah
air di asrama ini, sebelum mereka diterjunkan ke dalam pertempuran. Sedang para
anggota senior dimasukkan untuk pendidikan opsir antara lain: KS. Gani, Puddu
Mas’ud, H. Moh. Idrus G.P, Daeng Mangatta dan lain-lain. Mereka ini bersama
pelarian dan perantau yang kemudian datang di Jawa dari Sulawesi Selatan,
merupakan pasukan Kahar Muzakar.
Kegigihan Kahar
Muzakkar memperjuangkan para tahanan menjadi kader-kader pejuang republic,
tidak berhenti dalam periode ini, karena pada tahun 1951 kembali Kahar Muzakkar
menyatakan bahwa seluruh pemuda pejuang/gerilyawan harus diangkat menjadi
prajurit TNI, namun pada bulan Maret 1951, berdasarkan kesepakatan sementara,
para gerilyawan dilebur menjadi Corps Tjadangan Nasional (CTN) yang terdiri
atas 5 batalyon, sambil menunggu hasil seleksi mereka, yang layak diterima
dalam kesatuan tentara dan yang tidak lulus seleksi, kembali ke tengah
masyarakat. Kondisi inilah yang ditentang Kahar Muzakkar, sehingga sejak 17
Agustus 1951 ketika diadakan upacara penggabungan pasukan, Kahar Muzakkar sudah
tidak hadir, dan selanjunya mereka kembali ke hutan. Sejak tahun 1952 Kahar
Muzakkar menerima tawaran Pimpinan Darul
Islam (DI) Kartosuwirjo untuk bergabung melawan pemerintah Jakarta dan
menerima Jabatan Komandan Divisi IV Hasanuddin Tentara Islam Indonesia (TII).[16]
Aksi tersebut,
kelak dikenal sebagai Pemberontakan DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan
dan Tenggara yang berlangsung sampai tahun
tahun 1962, ketika Kahar Muzakar tertembak mati pada awal Februari 1962 di tepi
Sungai Lasolo oleh Koptu Sadeli dari anggota Komando Operasi Kilat yang
dipimpin oleh Kolonel Solichin G.P.[17]
Pada bulan Januari 1946 tibalah
di Yogyakarta dua orang tokoh pemuda Sulawesi Selatan, yaitu
Andi Mattalatta dan Saleh Lahade. Kedua
tokoh ini bertemu dengan Presiden Republik Indonesia untuk melaporkan keadaan
di Sulawesi dan melaporkan usulan Gubernur Ratulangie, mereka
diutus untuk: (1) meminta bantuan pasukan dan persenjataan kepada Pemerintah
Pusat di Yogyakarta, (2) menyampaikan resolusi raja-raja yang
menolak kerjasama dengan NICA.
Pada tanggal 25 Januari 1946,
presiden mengeluarkan dekrit menggantikan nama TKR menjadi Tentara Republik
Indonesia. Kemudian disusul dengan suatu perombakan besar-besaran organisasi
ketentaraan. Pada tanggal 21 Juni 1946 menghadaplah ke MBT Yogyakarta 4 orang
tokoh-tokoh pejuang Sulawesi Selatan ialah Kahar Muzakar, Andi Mattalatta,
Mas’ud, dan Muhamadong dengan diantar oleh Kol. Martono Subroto, keempat tokoh
ini mengusulkan TRIPS (Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi). Usul
diterima dan tak lama kemudian keluarlah penetapan dari Panglima Besar Jenderal
Sudirman untuk pembentukan TRIPS dengan tugas menyelenggarakan ekspedisi ke
daerah-daerah seberang yang telah diduduki oleh Belanda. Untuk kepentingan ini,
maka bintara-bintara atau opsir-opsir berasal dari Sulawesi Selatan yang berada
diberbagai kesatuan dipanggil untuk menggabungkan diri ke dalam TRIPS. Antara lain yang datang dari Jawa
Barat (Siliwangi), Overste Sarifin, Letnan A. Latief, Mayor Mas’ud, Sersan
Syamsul Bahri dan Kopral PT. (Polisi Tentara) Bahar Mattaliu.
Sebagai
komandan TRIPS diangkat Kahar Muzakkar dengan pangkat Letkol, Andi Mattalatta
sebagai kepala stafnya dengan pangkat Kapten. Sementara itu Saleh Lahade
diangkat menjadi Komisaris TRIPS Indonesia Timur. Persiapan untuk mengirim
ekspedisi ke seberang segera dimulai. Perlengkapan dan peralatan sudah didapat
dari MBT. Berton-ton gula disediakan untuk pembiayaan Letnan M. Jusuf dan
Letnan Syamsuddin Rakka yang ditugaskan ke Singapura membawa gula untuk
dibarter dengan pakaian dan senjata.
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus1945, putera-putera
Indonesia di Jakarta yang berasal dari Sulawesi, membentuk berbagai
wadah/organisasi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Organisasi
pertama yang dibentuk adalah GEPIS, kemudian APIS. Setelah itu pada tanggal 10
Oktober 1945 dibentuk “Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dengan
susunan pengurus sebagai berikut:
Ketua : Bart Ratulangi
Wakil Ketua : Baharuddin
Sekretaris I : Kahar Muzakkar
Sekretaris II : Boetje Woworoentoe
Bendahara I : Haji Moh. Indrus G.P.
Bendahara II : G. Pakasi
Komisaris-Komisaris
: 1. Moh. Indrus
2. J.D. Pontoan
3. Machmud
Bagian
Penerangan : F. Palenewen
Bagian
Pertahanan : 1. J. Rapa
2. Kahar Muzakkar
Dalam
waktu singkat organisasi perjuangan ini telah dapat mendirikan cabang-cabangnya
hampir diseluruh kota-kota penting yang berada dipulau Jawa. Pada akhir tahun
1945 anggota KRIS di Jakarta Haji Lamban dan Haji Kaddase. Diberangkatkan ke
Sulawesi Selatan melalui Tegal dengan menumpang perahu layar dan berhasil
mendarat di pantai Polewali. Sedangkan anggota KRIS di Jawa Tengah Hasan Bin
Tahir dan Daeng Parani. Diberangkatkan ke pantai Barat Teluk Bone.
Keberangkatan Kedua rombongan KRIS ini belum merupakan expedisi bersenjata,
tetapi hanya sekedar rombongan penerangan terutama untuk meyakinkan para raja-raja
di Sulawesi Selatan untuk turut berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan,
dan jangan sampai dapat bekerja sama atau diperalat oleh NICA. Expedisi ini
berhasil mendarat di tempat tujuan masing-masing sesuai rencana semula, dan
berhasil pula mengadakan pendekatan dengan raja-raja sesuai mandat dari KRIS di
Jawa. Tetapi sayang tidak lama sesudah itu mereka satu-persatu anggota KRIS ini
ditangkap oleh NICA dan dibunuh secara kejam. Mereka gugur sebagai bunga
bangsa.
B. Pembawa Berita Proklamasi
Sementara Dr.
G.S.S.J. Ratulangie menunggu-nunggu kedatangan para pemuda pendukung
kemerdekaan ditempat ia menginap di Hotel Empress, muncul Sanusi Daeng Mattata
dari Palopo. Sanusi diutus oleh Pemerintah Kerajaan Luwu di Palopo atas desakan
organisasi Sukarno Muda, agar segera menemui Dr. G.S.S.J. Ratulangie. Pertemuan
antara Sanusi dengan Dr.Ratulanggi pada tanggal 26 Agustus1945 mendorong segera
diumumkannya berita proklamasi secara resmi. Sehari sebelum tanggal 25 Agustus1945, Panglima
Pangkalan Istimewa XXIII Jepang, Laksamana Muda Sugi Mori Kadzu mengundang
beberapa orang tokoh Heiho unsur Kaigun. Sekitar 20 orang dari mereka hadir
dalam pertemuan, antara lain Abd. Syukur, Dahlan Tahir, Alex, dan Z.A.
Sugianto. Sugimori berharap, agar meraka berusaha menjamin keamanan pada waktu
Sekutu mendarat. Dengan maksud Sugimori, para menuda bekas Heiho ingin
mempertahankan diri kembali, meskipun hanya senjata ringan. Abd Syukur akan menemui perwira
Jepang tersebut guna merundingkan pelaksanaan tugas-tugas keamanan dan soal
senjata. Sugimori bersemangat memberikan senjata secukupnya, asal melalui
persetujuan dengan kepemimpinan politik Bangsa Indonesia prokemerdekaan
diMakassar ketika itu.[19]
Bersama Abdul
Syukur, Letnan Kawamura menemui salah seorang pemuda pendukung kemerdekaan.
Ternyata, Manai Sophian kurang tertarik dengan rencana bekas Kaigun Heiho.
Dalam pertemuan tanggal 27 Agustus 1945 itu, Manai Sophian menganjurkan
pembentukan organisasi dengan pendukung kemerdekaan tanpa persenjataan militer.
Rupanya Manai Sophian dalam sikapnya itu, berdasarkan jalan pikiran Dr.
G.S.S.J. Ratulangie yang dalam kepalanya penuh pertimbangan matang bahwa dalam
waktu singkat Sekutu akan mendarat dengan persenjataan lengkap. Tentu saja, Manai Sophian disalahkan
dalam penolakan itu, dan sangat mengecewakan para pemuda militan.
Sesungguhnya
berita proklamsi sudah masuk ke Wajo ketika utusan dari Palopo menuju Makassar pada tanggal 24 Agustus1945. M. Sanusi
Daeng Mattata bersama M. Yusuf Arief yang menjadi utusan Luwu, M. Sanusi
Daeng Mattata singgah di Wajo dan Bone menemui
Andi Panggaru dan Guru Anwar di
Sengkang, sedangkan di Bone menemui pemuda dan raja Bone. M. Sanuasi Dg. Mattata mnyampaikan kepada mereka
tujuan perjalanannya dari Luwu ke Makassar, yakni untuk menemui
Dr. G.S.S.J. Ratulangie, dan menanyakan kepastian adanya proklamasi kemerdekaan. [20] Namun
demikian Andi Panggaru dan Anwar hanya
menyebarkan berita penting itu dikalangan sahabatnya dalam Muhammadiyah.[21]
Setelah pihak
keluarga Andi Ninong, bangsawan tinggi dan pemangku salah satu jabatan utama
dalam Kerajaan Wajo, menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan, dan
menyebarluaskan berita proklamasi, penduduk Wajo baru yakin kebenaran berita
itu. Andi Ninong adalah Ranreng Tua Kerajaaan Wajo, bertempat tinggal dalam
istananya di Tempe, pinggiran Kota Sengkang.
Dalam masa revolusi fisik ini, Andi Djemma begitu besar perannya dalam
perjuangan mempertahankan kemerdekaan sampai rela meninggalkan istananya di
Palopo sejak tanggal 24 Januari 1946, demi memimpin perlawanan terhadap Belanda
dalam rangka tegaknya Republik Indonesia dan memilih hutan belantara dan
benteng alam batu Putih sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia di Luwu.[22]
Di
Wilayah Sulawesi Tengah, tempat yang pertama mendengar berita Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus1945 di wilayah Sulawesi Tengah adalah Poso karena pada
tanggal 17 Agustus1945 sore Abdul Latief
Mangitung dan I Latanco Talamoa serta Yusuf 7Manoarfa
mendengarnya dari seorang Tentara Jepang.
Berita Proklamasi Kemerdekaan juga dikumandangkan oleh
Kurir-kurir yang diutus oleh Gubernur Dr.
G.S.S.J. Ratulangie, misalnya sekitar bulan September 1945, telah mengirimkan
utusan ke beberapa daerah termasuk ke Sulawesi Tengah untuk menyampaikan
instruksi dan pedoman perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Melalui Palopo
dikirim utusan ke Poso terdiri atas Landau, kemudian menyusul Sulaeman Umar.
Dari Manado datang kurir Ali Lemato dan dari Gorontalo A. Tumu. Selanjutnya
berita proklamasi ke Daerah
Sulawesi Tengah juga disampaikan oleh A.N. Hadjarati dan Hamzah Ilahude dari
Makassar yang membawa amanat dari Gubernur dan mereka berhasil mengadakan
pertemuan dengan tokoh-tokoh terkemuka di Poso. Amanat Gubernur Sulawesi dan
penjelasan mengenai Proklamasi 17 Agustus1945 yang dikemukakan dihadapan para
undangan, berhasil membentuk "Dewan Nasional" dengan Kepala
Pemerintahannya Wangkalembah Talasa dan undangan lainnya sebagai pembantu. Disamping itu dibentuk juga Dewan Pertahanan
Nasional, kesatuan pertahanan dengan intinya dari pemuda-pemuda bekas Heiho
yang dipersenjatai tombak, keris dan senjata hasil rampasan dari Jepang.
Wilayah
Donggala, pembentukan badan perjuangan
gerakan merah putih terjadi pada bulan September 1945 setelah datangnya
Aleksander Monoarfa dari Makassar
membawa beberapa petunjuk pelaksanaan perjuangan, akan tetapi belum
sempat bergerak Aleksande Monoafa telah tertangakap. Pada tangan 11 November
1945 malam beberapa orang pemuda anggota gerakan merah putih antara lain A. T.
Nurdin, Abdul Wahid Maluku, dan Andi Garu Pettalolo menyelinap masuk ke
Pelabuha Donggala untuk menaikkan
bendera merah putih yang berasal dari bendera merah putih biru yang dirobek
birunya.[23]
C.
Peralihan Kekuasaan dan
Gerakan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Sulawesi
Setelah tiba kembali di Makassar, maka
pada tanggal 20 Agustus 1945 Dr. G.S.S.J.
Ratulangie segera mempersiapkan pemerintahan peralihan dari pemerintahan Jepang
dan menyusun
struktur aparat pemerintahannya:
1. Gubernur : Dr. G.S.S.J. Ratulangie
2. Sekretariat : Mr. A. Zainal Abidin
3. Wakil Sekretaris : F. Tobing
4. Biro Umum : Lanto Daeng Pasewang
5. Biro Ekonomi : Najamuddin Daeng
Malewa dan Mr. Tajuddin Noor
6. Biro Pemuda : Siaranamual dan Saelan
7. Biro Penerangan : Manai Sophian
8. Pembantu-Pembantu : A. N. Hajarati,
GR. Pantouw, Syam, Supardi, Pondaag Dr. Syafrie dan Mu. Saleh Lahade.[24]
Selanjutnya di Kerajaan Bone
setelah kedatangan Andi Pangeran Daeng Parani dari Jakarta tanggal 19 Agustus
1945, maka ia bersama ayahnya Raja Bone
Andi Mappanyukki segera menata pemerintahannya dan menyatakan Kerajaan Bone
bersama rakyatnya mendukung Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Pendiiriannya makin teguh setelah menerima utusan datu Luwu Andi Jemma yang menyampaikan
bahwa Pemerintah dan rakyat Kerajaan Luwu menyambut baik kemerdekaan
Indonesia.
Upaya untuk mendukung proklamasi,
maka pada tanggal 8 Oktober 1945 para tokoh pergerakan nasional di Makassar,
seperti: Gubernur Sulawesi Dr. G.S.S.J. Ratulangie, Lanto Daeng Pasewang, Mr.
Zainal Abidin, Suwarno dan Malajong Daeng Liwang mendirikan sebuah Perguruan
Nasional, yang bertujuan memupuk semangat kebangsaan dan menghasilkan kader
bangsa bagi pemuda-pemuda yang ada di Makassar. Ide-ide nasional Republiken
dipompakan kepada anak didik melalui pelajaran sejarah dan bahasa Indonesia.
Dari sekolah inilah muncul pemuda militan seperti: Wolter
Mongisidi, Rivai Paerai dan sejumlah tokoh pejuang yang menentang kekuasaan
NICA.[25]
Pertengahan bulan Oktober 1945,
Raja-raja di Sulawesi Selatan mengadakan Koperensi di Watampone diprakarsai
oleh Andi Djemma (Datu Luwu ) bersama Raja Bone Andi Mappanjukki, untuk
mempersatukan pendirian para raja-raja di Sulawesi agar
tetap di belakang Proklamasi
RI. Melalui telpon, maka Andi Abdullah Bau Massepe dari Pare-pare
menyatakan mendukung konperensi, yang tidak dapat dihadiri karena kesibukan
dalam perjuangan. Komperensi ini sebagai conter-Move atas move conica di
Makassar yang mengundang Raja-raja Sulawesi Selatan untuk mengadakan Koperensi
Kopromi yang disampaikan Komondan Brigadier General Iwan Dougherty
di Makassar peristiwa ini disaksikan oleh komondan NICA Mayor Wegner.[26]
Dalam
suatu kesempatan Gubernur Dr. G.S.S.J. Ratulangie membuat petisi yang
ditandatangani oleh pemuka masyarakat Sulawesi. Dalam petisi itu dinyatakan
bahwa seluruh Rakyat Sulawesi tidak dapat
dipisahkan dari Republik Indonesia. Oleh karena petisi itu, pada tanggal 5
April 1946, Dr. G.S.S.J. Ratulangie, Lanto Daeng Pasewang, Saleh Daeng Tompo,
J. Latumahina, W.S.T Pondaag, I.P.L Tobing, dan Suwarno ditangkap dan ditahan
di Penjara Hogepad di Makassar.
Beberapa
hari setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu, di Sulawesi Tenggara
disebarkan panflet dari udara yang memberitakan kekalahan Jepang tersebut.
Dengan demikian berita itu diketahui secara meluas oleh rakyat Sulawesi
Tenggara. Tindakan Jepang yang pertama dalam menyambut berita tersebut adalah
membuang sebagian peralatan di Teluk Kendari dan Pomalaa dan melumpuhkan
peralatan perang yang potensial.
Kolaka
diproklamirkan oleh Andi Kasim sebagai Kepala Pemerintahan setempat sekaligus sebagai wakil Kerajaan
Luwu di Kolaka yang disebut Mincara Ngapa, menjadi bagian dari Wilayah
Republik Indonesia, dan segera mengambil alih pemerintahan setelah Jepang
menyerah. Proklamasi ini dicetuskan atas desakan Pemuda Kolaka yang tergabung
dalam organisasi API (Angkatan Pemuda Indonesia). Organisasi ini dibentuk pada
tanggal 9 September 1945, merupakan penjelmaan dari organisasi bawah tanah PETA
(Pembela Tanah Air) yang dibentuk setelah berita proklamasi diterima. Sebagai
organisasi bawah tanah, maka penerimaan anggota harus melalui pengucapan ikrar
untuk mempertahankan kemerdekaan dan setia kepada RI. Pimpinan PETA ialah: Andi
Punna, Abu Baeda, dan Syamsuddin Opa.[27]
Setelah PETA
menjelama menjadi API pada tanggal 10 September 1945, sifatnya yang bergerak di
bawah tanah berubah menjadi terbuka dan berusaha menggalang persatuan dan
potensi rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan. Pada tanggal 12 September 1945
para pimpinan dan anggota API mendatangi rumah-rumah penduduk Kolaka yang
daragukan pendiriannya terhadap proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Atas
tindakan para pemuda yang tergabung dalam API, maka Andi Kasim selaku Kepala
Pemerintahan Kolaka mengadakan pertemuan dengan para Pimpinan API. Dalam
pertemuan para Pimpinan API dapat meyakinkan Pemerintah Kolaka akan kesiapan
pemuda dan rakyat untuk mendukung dan mempertahankan kemerdekaan. Selanjutnya
atas usul API, maka Kolaka diprolamirkan menjadi wilayah RI pada tanggal 17
September 1945 dalam suatu upacara bendera di depan rapat umum dimana Bendera
Merah Putih dikibarkan dengan iringan lagu Indonesia Raya. Berikut susunan
Pengurus API:
1. Ketua : Andi Punna
2. Kepala Penerjang : Tahrir
3. Wakil Kepala Penerjang : Abd. Wahid
4. Kepala Penyelidik : Bangsa Salampessy
5. Wakil Kepala Penyelidik : Abu Baeda
6. Anggota-Anggota : Barohima
Cokeng
Ali Arifin, dan
lain-lain.[28]
Sebulan
kemudian yaitu pada tanggal 17 Oktober 1945 API menjelma menjadi PRI (Pemuda
Republik Indonesia). Namun demikian semua Kepala
Pemerintahan setempat tampak ragu-ragu dan bersikap menunggu perkembangan dalam
menerima berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, kecuali Andi Kasim di Kolaka.
Melihat potensi dan atas dorongan Para Pemuda Kolaka Andi Kasim dalam upacara
bendera memproklamirkan Kolaka sebagai bagian dari RI. Upacara pengibaran
bendera merah putih di Kolaka dilaksanakan pada tanggal 17 September 1954
diiringi lagu Indonesia Raya, dipimpin oleh Andi Kasim Petor (Kepala
Pemerintahan) Kolaka, didampingi oleh anggota Swapraja, yaitu: Sulewatang
Indumo, Bokeo Puwatu, Guru Kapitan, Sapati Baso Umar Daeng Marakka, selanjutnya
mengumumkan bahwa Kolaka dan sekitarnya adalah bagian dari wilayah Republik
Indonesia. Pengibaran bendera Merah Putih oleh Kepala Pemerintahan di Kolaka
(Andi Kasim) dihadiri dan disaksikan Pula oleh Kabasima Taico Komandan
Tentara Jepang di Pomalaa.
Pengibaran Merah Putih di Lasusua
pada tanggal 5 Oktober 4945 yang dihadiri oleh Kepala Distrik Patampanua dan
beberapa pimpinan Pemuda Republik Indonesia dari Luwu. Di Wawotobi kota kedua terbesar dalam wilayah Kerajaan Laiwoi dan tempat kediaman Raja II Laiwoi bendera Merah Putih dikibarkan pada Akhir
Oktober 1945 oleh para pemuda setempat atas dorongan utusan Pemuda Kolaka dan
Pemuda Luwu yang saat itu berkunjung ke sana. Pengibaran bendera merah putih
dilakukan pula di Bupinang pada akhir November 1945 atas dorongan Pemuda Kolaka/Luwu
dihadiri oleh Kepala Distrik (Gunco) setempat.
Salah satu
bentuk semangat juang rakyat Kolaka, maka pada tanggal 29 Agustus 1945 pemuda
Kolaka terdiri atas 19 orang melakukan sumpah setia terhadap proklamasi
kemerdeakaan dengan keris terhunus dan dengan menggoreskan tanda tangan darah
pada bendera merah putih bertempat di rumah Andi Kamaruddin (di tepi sungai
Kampung Sakuli). Mereka membaca Al-Qur’an Surat Al-Fatihah dan masing-masning
berikrar/berjanji: sekali merdeka tetap merdeka; merdeka tau mati; merah putih
tidak diturunkan sebelum melangkahi mayatku; segalanya kukorbankan untuk
kemerdekaan bangsaku; maju mati mundur mati, lebih baik maju mati; tidak ada
kemerdekaan tanpa pengorbanan; saya sedia gugur untuk bangsaku.
Dari Kolaka
sinar perjuangan kemerdekaan memancar ke sekitamya sampai ke Kendari dan
Bupinang yang masuk dalam kesultanan Buton. Utusan Pemuda Kolaka bersama Pemuda
Luwu merangsang semangat terpendam dari Pemuda Wawotobi untuk membela
kemerdekaan. Pemuda kota Kendari dan sekitamya cukup berusaha dan berambisi,
tetapi gagal dalam mewujudkan suatu organisasi perjuangan sehingga kegiatannya
terselubung, walaupun terbentuk semacam organisasi pemuda dengan pimpinan
Makmun Dg. Mattiro. Hal ini disebabkan karena Makmun Dg Mattiro sebagai seorang
Pamongpraja terlalu berhati hati dan ragu-ragu menghadapi keadaan pada saat
itu. Sesudah datangnya NICA, Makmun Dg. Mattiro bekerja pada Belanda.
Di Wawotobi
setelah pengibaran bendera Merah Putih berhasil pula dibentuk Sinar Pemuda
Konawe dengan pimpman sebagai berikut:
1) Saido Johan Syah
2) M. Jamil Muchsin
3) Assadiq Mekoa
4) Hamzah. [29]
Nuhung Silondae, Mokole (Kepala Distrik) Andoolo (Kendari
Selatan) bersatu dengan para pemuda yang tergabung dalam Pemuda Rakyat Kendari
dan mendapat dukungan dari rakyat Andoolo dengan tegas menyatakan Andoolo
sebagai wilayah RI. Pada waktu tentara Australia/NICA mendarat di Kendari dan
diterima oleh Raja Laiwoi (Tekaka), maka Nuhung Silondae mengirim utusan ke
Kolaka di bawah pimpinan M.Ali Silondae dan menyatakan bahwa Andoolo ikut
Kolaka sebagai wilayah Rl. Oleh Pemerintah RI di Kolaka pernyataan Andoolo itu
diterima dengan baik. Setelah utusan tiba kembali, maka secara resmi diumumkan
di depan umum bahwa Andoolo adalah bagian dari RI dan bergabung dengan Kolaka.
Rapat umum itu diakhiri dengan penaikan bendera Merah Putih akhir Nopember
1945. Pemimpin-pemimpin perjuangan kemerdekaan di Andoolo adalah: (1) Nuhung
Silondae, (2) Ali Silondae, (3) Abdullah Silondae, (4) Jacob Silondae, (5)
Aburaera Silondae, (6) A. Parenrengi, (7) Saiman, dan (8) Saradia (V. Bolo).
Pada awal bulan
Desember 1945 delegasi rakyat Distrik Buapinang (Bunken Buton) yang terletak di
sebelah selatan wilayah Kolaka mengirim pula utusean ke Kolaka dan menyatakan
Bupinangi sebagai wilayah RI. Pimpin an delegasi adalah:
1) Mappeare Daeng Mananrang
2) Abd. Fattah
3) Daeng Makkita
4) Pabottinggi Daeng Maroa.[30]
Di Muna para
pemuda yang dipimpin oleh M. Idrus Efendi tidak dapat meyakinkan Raja Muna La
Ode Ipa untuk segera secara resmi menyatakan Muna sebagai bagian dari wilayah
RI dan mengibarkan bendera merah putih, sehingga pengibaran merah putih di
wilayah Kerajaan Muna dilaksanakan di Labalano diluar ibu kota yang dimpin oleh
M. Idrus Efendi. Pelayar-pelayar Buton yang berasal dari Wakatobi yang baru
pulang dari Jawa dan Sumatra membawa berita proklamasi dan berhasil mengibarkan
bendera marah putih untuk pertama kalinya pada tanggal 15 Desember 1945.
Tidak berapa
lama setelah tersiarnya berita Proklamasi Kemerdekaan pimpinan pemuda Wawo dan
sekitamya (Kolaka Utara) M. Ali Kamry menugnjungi Kabasims Taico di Pomalaa
untuk meminta senjata dengan diantar oleh Sigimitsu. Tapi Kabasima tidak dapat
memberikan senjata, karena senjata di Pomalaa telah didaftar oleh Australia.
Kabasima hanya menjanjikan 1000 pucuk yang akan diambil dari Kendari. Kemudian
M. Ali Kamry datang menagih janji Kabasima, tetapi tidak dipenuhi karena
senjata di Kendari telah dibuang ke Teluk Kendari. Kali ini M. Ali Kamry hanya
mendapatkan beberapa samurai, sejumlah pistol, dan sejumlah granat tangan. PETA
yang bergerak di bawah tanah setelah Proklamasi Kemerdekaan, maka pada awal
September 1945 berhasil mendapat 2 pucuk senjata dari Jepang. Semenjak
terbentuknya API pemuda Kolaka di bawah pimpinan Tahrir dan M. Ali Kamry berhasil
mendapatkan 49 pucuk karabijn, yaitu senjata yang dibuang Jepang di pelabuhan
Pomalaa. Penyelaman senjata ini tidak mendapat rintangan dari Jepang.
Turut
sertanya beberapa orang Jepang dalam perjuangan menentang Belanda/NICA
menggambarkan betapa jauhnya oknum tentara Jepang membantu mendirikan kekuasaan
RI di Sulawesi Tenggara, walaupun
kemungkinan di dalamnya terselip alasan pribadi masing masing. Di antara mereka
malah ada yang berpangkat perwira (Taico=Kapten).
Pada tanggal
5 September 1945, Andi Punna selaku Kepala Penyelidik Barisan API, mengutus Salampessy untuk melaporkan bahwa
nama barisan PETA di ganti menjadi barisan API (Angkatan Pemuda
Indonesia). Kapten Kabasima meneriama
baik perubahan nama PETA menjadi API.
Kapten Kabasima menyampaikan telah bertemu Tokoh Islam K. H. Mahading dan memberi senjata api sebanyak 51
pucuk, 1 rusak pelatuknya (tidak dapat dipakai). Pemberian senjata api dari Kapten Kabasima,
secara rahasia melalui seorang Goco (sersan) dibuang (ditenggelamkan) ke dasar
laut, pemuda Suku Bajo berusaha mengambil dengan menyelem yang diawasi pemuda
API. Senjata api dari Kapten
Kabasima, terdiri Karabeyn Bekas Tentara
KNIL 9, 5 dan Karabeyn Tentara Jepang Sanpatzu.
Pada tanggal 7 September
1945, Pemuda PETA dan API mempermahir
menggunakan senjata api, yang memberi latihan kemeliteran 3 anggota bekas
HEIHO, (Lappase, Nasir dan Abu Bone), 2 orang pemuda yaitu: Pakalu dan Tiro
pembantu Tokke Tai yang sementara tugas di Tanjung Oko-oko (Batu Kilat) membawa
2 buah senjata Karabeyn 9,5. Andi Becce
(M. Aryad) juru tulis II Indumo Daeng Makkalu Kepala Distrik Kolaka bergabung
Pemuda API memegang 1 pucuk senjata api Karabeyn 9,5 milik Indumo Daeng
Makkalu.
Pada tanggal
18 September 1945 Kapten Kabasima memberi bantuan Pemerintah RI dan Barisan
Pejuang bersenjata berupa: 1 Kapal Motor Boat untuk angkutan laut, 6 Mobil Truk “Toyota” untuk angkutan darat,
dan beberapa perlengkapan kemiliteran.
Satu
ekspedisi tentara Sekutu berangkat dari Kendari ke Kolaka pada tanggal 19
Nopember 1945 dengan maksud menjemput bekas tentara KNIL yang ditawan oleh
Jepang dan dipekerjakan di Tambang Nikel Pomalaa. Pada pagi hari itu, pukul 07. 00 Andi Kasim Tuan Petor Kepala pemerintah RI
Kolaka didampingi M. Yunus Ketua API, menunggu kedatangan tentara Belanda/Sekutu
dari jurusan Kendari di tempat itu dipasang penghambat jalan mobil menuju ke
Pomalaa. Susunan formasi pertahanan:
Kepala Penerjang : H. Abdul Wahid didampingi
Abd.
Kadir Towokia
Kepala
Penyelidik : Andi Punna
didampingi Salam Pessy
Regu Penyelidik
dan Penghubung : Abu Baeda
dibantu Syamsudin Opa
Penembak Tanda Komando Pertempuran : Raccade didampingi Ali Arifin.
Regu I Sayap
Kanan : Lappase dibantu Abu Bone (bekas
Heiho)
Regu II
Sayap Kiri
: Muhiddin S. dibantu Mallise (bekas Manarai Jumpo)
Senjata Laras panjang digunakan 30 pucuk. Pengatur Rakyat Repulik
bersenjata tajam, Indumo Daeng Makkalu
Kepala Distrik Kolaka dibantu M. Nur Kepala Kampung Kolaka. Pada pukul 11. 00
kedengaran deru mobil dari arah Kendari.
Tentara Belanda/Sekutu dengan 3 pengawalnya lengkap senjata api turun di
tempat penghalang jalan. Komandan
Tentara Belanda/Sekutu bertolak pinggang, berkata: ”Kurang ajar siapa
yangpasang kayu penghalang di sini?”.
Ada 4 orang Tentara Jepang tanpa senjata dan topi baja, dua orang sopir
mobil truk Toyota persiapan mengangkut
bekas KNIL yang tinggal di Kampung Huko-Huko.
Komandan Tentara Belanda/Sekutu memerintahkan keempat Tentara Jepang
hendak mengangkat dan menyingkirkan kayu penghalang jalan. Sementara keempat Tentara Jepang hendak
mengangkat kayu penghalang, tiba-tiba
Andi Kasim yang didampingi M. Yunus muncul langsung berhadap-hadapan dengan
tentara Belanda/Sekutu, akhirnya terjadi dialog antara Andi Kasim dengan
Komandan Tentara Belanda/Sekutu.
(AK) Selamat siang Tuan,
Saya Andi Kasim Petor Kepala
Pemerintah RI Kolaka Daerah Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta.
(TB) Saya Letnan John Van Boon Tentara Sekutu, atas perintah Komandan Tentara Sekutu di
Makassar saya mau ke Pomalaa untuk
memeriksa keadaan dan peninggalan Tentara Jepang, dan mengambil bekas KNIL yang pernah di tawan
Tentara Jepang di Pomalaa.
(AK) Dimana surat perintah Komandan Tentara Sekutu?
(TB) Letnan
John Van Boom diam pura-pura meraba saku
bajunya, tidak dapat memperlihatkan Surat
Perintah Komandan Tentara Sekutu
(AK) Tuan melanggar memasuki Daerah RI tanpa izin
Pemerintah RI Kolaka, Tuan tidak boleh melanjut melanjutkan perjalanan ke
Pomalaa, senjata tuan-tuan dititip di Markas Barisan PETA/API/PI Kolaka. Bila Tuan-tuan kembali dari Pomalaa senjatanya
boleh diambil. “Keamanan Tuan-tuan
selama berada dalam Daerah RI Kolaka tanggungan kami. Kalau Tuan-tuan
tidak menghiraukan permintaan kami, keselamatan Tuan-tuan diluar pengetahuan
kami[32].
Letnan John
Van Boon dengan congkak tanpa kata-kata melanjutkan perjalanan ke Pomalaa
melewati pos-pos barisan PETA/API/PI.
Letnan John Van Boon dan pasukannya jelas adalah Tentara NICA, yang
tidak mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945 dan menghina serta memandang enteng
Pemerintah dan Pejuang bersenjata Pembela Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sore hari
pada pukul 15. 30 tanggal 19 November 1945 rombongan kembali dari Pomalaa, pada
saat akan melewati Pos penjagaan Sabilambo, maka para pemuda menghadang mereka.
Tembakan pertama di mulai disusul tembakan beruntun dari pemuda pejuang. Tentara NICA membalas tembakan beruntun, seorang pemuda Republik kena tembakan (luka
ringan siku kiri).
Tentara
Jepang lompat berlindung di selokan tidak melepaskan tembakan, kemudian berteriak “Indonesiaaa. Tembak, di sini Nippon Tuan, Nippon Indoneia
Banzai. Seluruh tembakan Pejuang
bersenjata di arahkan pada mobil Tentara NICA.
Pemuda pejuang serempak menembak sambil berteriak, kalau mau hidup
menyerah Tentara NICA diserbu Barisan
Tombak, Letnan John Van Boon menghilang (lari meninggalkan pasukannya sambil
bertempur). Satu orang Tentara NICA
(berkebangsaan Indonesia) mati tertombak oleh pemuda Lantema dengan menggunakan
Tombak Karada. Ada 2 orang Tentara NICA (Bangsa Indonesia) menyerah dengan
senjatanya Yunggle Gun (Jenggel), 2 orang Tentara Jepang luka ringan bagian
paha, setelah mendapat pertolongan Palang Merah Indonesia mereka bergabung
dengan pemuda pejuang. Pada pukul 17. 00
para pejuan bersenjata mengadakan apel konsolidasi dan pemekaran organisasi
perjuangan di Markas Pemuda Pundoho.
Selesai santap siang dan istirahat,
Opu Topatampanangi anggota BPR (Badan Pertimbangan Revolusi) mengumumkan
Terbentuknya PKR (Pembela Kedaulatan Rakyat).
Pimpinan Utama PKR:
Kepala Penerjang :
H. Abdul Wahid
Kepala Penyelidik : Andi Punna
Kepala Pelatih :
M. Yoseph.
Satu pelaton
anggota penyelidik yang dipimpin Andi Punna memburu Letnan John Van Boon dan
memberitakan pos-pos penjagaan API sektor Distrik Rate-rate. Pada tanggal 22 November 1945, barisan API
yang ada di Distrik Rate-rate (Abdul Hamid dkk), Pos Kampung Poli-Polia
Ladongi, menyergap Letnan John Van Boon
bersama senjatanya. Letnan John Van Boon
menampakkan dirinya, ia menyangka sudah masuk Daerah Kendari. Letnan John Van Boon kemudian dibawa ke Kolaka dan
dimasukkan dalam Penjara Kolaka. Dalam pemeriksaan
dan penjagaan PI (Polisi Istimewa) bekerja sama Bagian Penyelidik PKR Kolaka.
Para Tentara NICA yang ditawan pejuang bersenjata diperlakukan sesuai HAM (Hak
Asasi Manusia).
Di Tondano sejak tanggal 14 Februari
1945 malam, pos-pos pemuda telah mengadakan penjagaan di persimpangan jalan dan
gedung-gedung penting. Ketika kode berhasil
tembus di Tondano dengan letusan senjata beberapa kali, maka pejabat-pejabat
pemerintah setempat yaitu H.M. Besar Bram Wenas dan komandan polisi, Inspekrur
Brender A. Brandish dihubungi oleh pemimpin-pemimin pemuda, bahwa keamanan di
Tondano akan dipegang oleh pemuda.
Kemudian dari Tomohon diterima
berita, bahwa di sana masih terdapat suatu kesulitan pokok. Komandan NICA
Coomans D Ruiter dan Troepen Commandant Overste de Vries berdiam di Kota ini.
Kompi 142 masih tetap dikuasai oleh Belanda, sehingga penyelesaian kompi ini
harus dilakukan dari Manado dan pucuk piminan NICA masih harus direbut. Frans
Bisman ditugaskan oleh Taulu untuk menangkap kedua pembesar Belanda sesudah
menguasai dan menertibkan kompi tersebut.[33]
Bermodalkan dua buah
peleton tempur, Bisman berangkat menuju ke Tomohon, bendera merah-putih berkibar di mobil depan, suatu
tanda untuk menyerbu. Tiba di kota ini Bisman menyiapkan steling untuk
menyerang pertahanan KNIL tembakan pertama datang dari seorang Sersan Mayor
Belanda yang mengenai tepat pada kepala sopir mobil depan itu. Ia gugur sebagai
pahlawan 14 Februari 1945, tembakan ini dibalas oleh pasukan Bisman dan
beberapa peluru bersarang dalam tubuh
Tenara Belanda itu. Waktu ia diangkut ke
rumah sakit ternyata bahwa luka-luka itu tidak membahayakan nyawanya melihat
keadaan jadi demikian, maka komandan KNIL, melalui Kepala Polisi Tomohon,
Inspektur Samsoeri, menyatakan menyerahkan diri bersama segenap Kompi 142 Corps
NICA yang ada di Tomohon, maka Corps-NICA bersama seluruh stafnya dibawa ke
Manado. Sebuah patroli tentara yang
dipimpin oleh Freddy Lumanaw memasuki Kota Tondano dan mengadakan upacara
penaikan bendera merah putih di depan
markas kepolisian, setelah dimabil tindakan-tidakan penertiban seperlunya.
Pada tanggal 16 Februari
1946 bertempat di Gedung Minahasa Raad Manado diadakan suatu rapat penting yang dihadiri oleh pempinan militer, polisi
dan sipil bersama pimpinan pemuda BPNI/PIN. Dalam rapat itu diumumkan keputusan
bahwa KNIL dihapus dan selanjutnya
menjadi Tentara Republik Indonesia Sulawesi Utara (TRISU). Pasukan ini akan
berada di bawah komando Letkol Ch.Ch Taulu dengan stafnya Mayor S.D. Wuisan,
Kapten H.V. Nelwan dan Kapten F. Bisman. Sedangkan Kaseger (yang tidak
menyetujui perebutan kekuasaan KNIL ini) dimasukan juga dalam Staf Komando
dengan diberi Pangkat Mayor.
Tindakan Heroik di Sulawesi Utara tanggal 14
Februari 1946, para pemuda Indonesia anggota KNIL tergabung dalam Pasuka Pemuda
Indonesia (PPI) mengadakan gerakan Tangsi Putih dan Tangsi Hitam di Teling
Manado. Mereka membebaskan tawanan yang mendukung Republik Indonesia antara
lain Taulu, Wuisan, Sumanti, G.A Maengkom, Kusno Dhanupojo, G.E. Duhan, juga
menahan Komandan Garnisun Menado dan semua pasukan Belanda di Teling dan
Penjara Manado. Diawali peristiwa tersebut para pemuda menguasai markas Belanda
di Tomohon dan Tordano. Berita dan perebutan kekuasaan tersebut dikirim ke
Pemerintah Pusat yang saat itu di Yogyakarta dan mengeluarkan maklumat no 1
yang ditandatangi oleh Ch.Ch.Taulu. Pemerintah sipil dibentuk tanggal 16
Februari 1946 sebagai rasiden dipilih B.W. Lapian.
Peristiwa
Merah Putih terjadi tanggal 14 Februari 1946 di Manado. Para pemuda tergabung
dalam pasukan KNIL Kompeni VII bersama lasykar rakyat dari barisan pejuang
melakukan perebutan kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon, dan Minahasa.
Sekitar 600 orang pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditahan. Pada tanggal 16
Februari 1946 mereka mengeluarkan surat selebaran yang menyatakan bahwa
kekuasaan di seluruh Manado telah berada di tangan bangsa Indonesia. Untuk
memperkuat kedudukan Republik Indonesia, para pemimpin dan pemuda menyusun
pasukan keamanan dengan nama Pasukan Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh Mayor
Waisan. Bendera Merah putih dikibarkan di seluruh pelosok Minahasa hampir
selama satu bulan, yaitu sejak tanggal 14 Februari 1946. Pada malam hari tanggal 22 Pebruari 1946
bertempat di halaman rumah bekas Hukum-Besar Supit diadakan resepsi dan Pesta
Rakyat untuk para pembesar yang baru tiba di Tondano dari Manado.
Di
Gorontalo, setelah Jepang menyerah,
mereka masih tetap menghormati Nani Wartabone sebagai
pemimpin Rakyat Gorontalo. Terbukti dengan
penyerahan pemerintahan dari Jepang kepada Nani Wartabone pada tanggal 16 Agustus 1945.
Sejak hari itu Sang Saka Merah Putih kembali berkibar di Gorontalo setelah
diturunkan Jepang sejak 6 Juni 1942, karena pada tanggal 23 Januari 1942, Rakyat Gorontalo telah mengumumkan Kemerdekaan dan
mengibarkan bendera Merah Putih. Anehnya, setelah penyerahan kekuasaan
dari Jepang, Nani Wartabone dan Rakyat Gorontalo belum mengetahui telah terjadi
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta 17 Agustus 1945 keesokan harinya, mereka
baru mengetahuinya pada tanggal 28 Agustus 1945.
Setelah menerima berita proklamasi dari Jakarta, maka pada tanggal 1
September 1945 Nani Wartabone membentuk Dewan Nasional di Gorontalo sebagai
badan legislatif untuk mendampingi kepala pemerintahan. Dewan yang
beranggotakan 17 orang ini terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat dan ketua
parpol. G. Maengkomdan
Muhammad Ali adalah dua dari 17 orang anggota dewan tersebut. Upaya
mempertahankan Pemerintahan Republik Indonesia, maka para pemuda berhasil
merebut senjata dari markas-markas Jepang pada 13 Sepember 1945. Pada tanggal
30 November 1945 Nani Wartabone pun ditangkap ketika melakukan perundingan dan
dipenjarakan di Jakarta.
Dalam
perjuangan rakyat Sulawesi (terutama di Kolaka) nampak keikutsertaan kaum
perempuan cukup meyakinkan dalam mempertahankan kemerdekaan. Sehingga
perjuangan rakyat dalam mempertahakan RI merupakan perjuangan seluruh rakyat
dengan tidak membedakan jenis kelamin, kepercayaan, suku, dan asal-usul. Dalam
wadah PRI misalnya, nampak persatuan antara golongan Islam dan Kristen dalam
perjuangannya membela kemerdekaan. Begitupun suku
Mekongga, Bugis, Manado, Ambon, Timor, dan lain lain bahu membahu dalam perjuangan.
Kader-kader PSII, Muhammadiyah/Hisbul Wathan, PNI, bekas
KNIL, bekas Heiho/Seinendan/Romusya bersatu dalam perjuangan untuk
mempertahankan kemerdekaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anak
Agung Gde Agung. Dari Negara Indonesia Timur ke Negara Indonesia Serikat. Yogyakarta:
Gadjah Mada Press. 1985.
Ali-Hadara. Profil
Pejuang Sulawesi Tenggara. Kendari: Laporan Penelitian Kerjasama Barida dan
Unhalu. 2007.
Anonim. Sejarah Daerah Sulawesi Tengah. Jakarta:
Depdikbud. 1979.
Anonim. Lahirnya
Tri. Devisi Hasanuddin di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Ujung Pandang: Tim
Penelitian Sejarah Perjuangan Rakyat Sulselra Kerja Sama Kodam XIV Hasanuddin,
Unhas dan IKIP Ujung Pandang. 1983.
Anwar
Hafid, dkk. Sejarah
Daerah Kolaka. Bandung: Humaniora Utama Press. 2009.
Anwar Hafid dan Safruddin. Sejarah Daerah Konawe Utara. Bandung: Alfabeta. 2014.
Audrey
R Kahin (ed.). Pergolakan Daerah pada
Awal Kemerdekaan. Jakarta: Grafiti Perss. 1990.
A.
Rahman Rahim. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang: Lembaga Penerbit
UNHAS. 1985.
B.Bhurhanuddin. Sejarah
Masa Revolusi Fisik Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud. 1980.
Christian Pelras. Manusia
Bugis Makassar. Jakarta: Forum Jakarta Paris-Ecole Francaise
d’Extreme-Orient. 2006.
Harun
Kadir, dkk. Sejarah Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan. Jakarta:
Depdibud. 1982.
Harun
Kadir, dkk. Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang:
Kerjasama Bappeda TK I Sul-Sel dengan UNHAS, 1984.
Kementerian
Penerangan RI. Propinsi Sulawesi.
Makassar: Djawatan Penerangan RI Propinsi Sulawesi. 1953.
Lahadjdji Patang. Sulawesi dan Pahlwan-Pahlawanya. Makassar: Yayasan Kesejahteraan Generasi Muda Indonesia. 1975.
Manai Sophian. Apa yang Masih Teringat. Jakarta: Yayasan Mencerdaskan Bangsa
Sulawesi Selatan. 1991.
Maulwi
Saelan. Dari Revolui ’45 sampai Kudeta ’66: Kesaksian Wakil Komandan
Tjakrabirawa. Jakarta: Visimedia Pustaka. 2008.
Moh. Ali Fadillah dan Iwan Sumantri. Kedatuan Luwu. Makassar: Lembaga Penerbit Universitas Hasanuddin. 2000.
M. Sanusi Dg. Mattata. Luwu dalam Revolusi. Makassar:
Yayasan Pembangunan Asrama Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu.
1967.
Mukhlis
PaEni dan Kathryn Robinson (ed.). Politik
Kekuasaan dan Kepemimpinan di Desa. Ujung Pandang: Lembaga Penerbit: UNHAS. 1985.
Mukhlis
PaEni, dkk. Sejarah
Sosial Daerah: Mobilitas Sosial Kota Makassar 1900-1950. Jakarta:
Disjarahnitra Depdikbud. 1995.
Nugroho Notosusanto,
dkk. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949. Jakarta: Sekretariat Negara
RI. 1985.
Nurhayati Nainggolan, dkk. Sejarah Revolusi Kemedekaan Daerah Sulawesi
Tengah. Jakarta: Depdikbud. 1982.
R.Z. Leirissa. Minahasa
di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar harapan dan
Yayasan Malesung Rondor. 1997.
Sagimun MD, dkk. Perlawanan
dan Pengasingan Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press.
1986.
Sanusi Daeng Mattata. Luwu Dalam Revolusi.
Makassar: Yayasan Pembangunan Asrama
Ikatan Palajar Mahasiswa Indonesia Luwu. 1967.
Sarita Pawiloy, dkk.
Sejaran Perjuangan Angkatan 45 di
Sulawesi Selatan 17 Agustus 1945-17 Agustus 1950. Ujung Pandang: Dewan
Harian Daerah Angkatan 45 Propinsi Sulawesi Selatan. 1987.
Teuku H. Ibrahim Alfian. Perjuangan Datu Kerajaan Luwu Andi Djemma dalam Menancapkan Pilar
Begara Kesatuan Republik Indonesia dan Pengusulannya sebagai Pahlawan Nasional.
Dalam Andi Djemma Pahlawan Nasional
dari Bumi Sawerigading. Editor. A. Mattingaragau T, dkk. Makassar: Unanda
Press. 2003.
Willem
Ijzereef. De Zuid-Celebes Affaire, Dieren. 1984.
[1] Maulwi
Saelan. Dari Revolui
’45 sampai Kudeta ’66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa. Jakarta:
Visimedia Pustaka. 2008, hal. 41
[2] Nugroho Notosusanto, dkk. 1985. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949.
Jakarta: Sekretariat Negara RI, hal. 30.
[5] Lahadjdji Patang. Sulawesi dan Pahlwan-Pahlawanya. Makassar: Yayasan Kesejahteraan Generasi Muda Indonesia. 1975, hal. 59.
[6] Sarita Pawiloy, dkk.
Sejaran Perjuangan Angkatan 45 di
Sulawesi Selatan 17 Agustus 1945-17 Agustus 1950. Ujung Pandang: Dewan
Harian Daerah Angkatan 45 Propinsi Sulawesi Selatan. 1987, hal. 124.
[10]Ali-Hadara. Profil
Pejuang Sulawesi Tenggara. Kendari: Laporan Penelitian Kerjasama Barisda
dan Unhalu. 2007, hal. 58.
[11]Sarita
Pawiloy, 1987, op cit, hal. 66.
[12] M. Sanusi Dg. Mattata. Luwu dalam
Revolusi. Makassar: Yayasan
Pembangunan Asrama Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu. 1967, hal. 215.
[13] R.Z.
Leirissa. Minahasa di Awal Perang
Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar harapan dan Yayasan Malesung
Rondor. 1997, hal. 118.
[16]Christian Pelras. Manusia Bugis
Makassar. Jakarta: Forum Jakarta Paris-Ecole Francaise d’Extreme-Orient.
2006, hal. 335.
[22] Teuku H. Ibrahim Alfian. Perjuangan
Datu Kerajaan Luwu Andi Djemma dalam Menancapkan Pilar Begara Kesatuan Republik
Indonesia dan Pengusulannya sebagai Pahlawan Nasional. Dalam Andi Djemma Pahlawan Nasional dari Bumi
Sawerigading. Editor. A. Mattingaragau T, dkk. Makassar: Unanda Press. 2003,
hal. 53.
[25] Mukhlis PaEni, dkk.
Sejarah Sosial Daerah: Mobilitas Sosial
Kota Makassar 1900-1950. Jakarta: Disjarahnitra Depdikbud. 1995, hal. 34.
[31] Ibid, hal. 160.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar