Kamis, 04 Juni 2020

TIGA ZAMAN SUKU BAJO MENGUASAI PERAIRAN NUSANTARA



TIGA ZAMAN SUKU BAJO MENGUASAI PERAIRAN NUSANTARA
(Sejak Kerajaan Sriwijaya, Majaphit, sampai Republik Indonesia dan Dari Selat Malaka sampai Mindanao)
Oleh: Prof. Dr. H. Anwar, M. Pd.
FKIP Universitas Halu Oleo Kendari

Keberhasilan Sriwijaya sejak abad ke-7 menguasai Lautan Nusantara di wilayah seluruh Sumatra sampai Malayasia karena kebijakaannya dalam memberi kepercayaan kepada Suku Bajo yang piawai dalam teknologi pembuatan kapal, terampil menangkap hasil laut, dan memiliki strategi perang di laut, saehingga menjadi sebagai salah satu kekuatan Angkatan Laut dan Armada Dagang Sriwijaya. Suku Bajo mendiami daerah muara sunga dan perairan pesisir pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, dan pantai barat Semenanjung Malaya. Sriwijaya berhasil menjadi kekuatan perdana dalam sejarah Nusantara yang menguasai wilayah sekitar perairan timur Pulau Sumatera, yang merupakan jalur kunci perdagangan dan pelayaran internasional. Bersama dengan Suku Bajo armada laut Sriwijaya bergerak ke perairan Laut Jawa untuk menguasai jalur pelayaran rempah-rempah dan bahan pangan hasil pertanian. Puncak kejayaan bahari tercapai pada abad ke-14 ketika Majapahit menguasai seluruh Nusantara di bawah Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Penyatuan Nusantara oleh Majapahit melalui ekspedisi bahari tidak terlepas dari peran Suku Bajo yang menjadi kurir militer di laut dan nakhoda yang ulung dalam mengarungi lautan, sehingga semakin memperluas wilayah penjelajahannya yang meliputi segenap wilayah Nusantara, dan sejak abad ke-7 Suku Bajo telah menjadi kekuatan militer dan ekonomi kelautan. Dari segi militer Suku Bajo menjadi kekuatan inti angkatan laut kerajaan-kerajaan Nusantara dan dari segi ekonomi menjadi pensumplai utama protein hasil laut untuk masyarakat Nusantara, kemudian hasil laut tangkapan mereka menjadi salah satu komoditas unggulan untu ekspor sejak zaman Sriwijaya sampai saat ini.  Para pemukim Suku Bajo di Nusantara mengakui leluhurnya dari Johor, yang kemudian tersebar di segenap pesisir pantai dan pulau-pulau terpencil di Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, Philipina Selatan, Siam, dan Kamboja. Suku Bajo pada abad XIV sebagian besar bermukim di wilayah Timur Indonesia (terutama di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Maluku). Peran yang dimainkan Suku Bajo pada masa silam terus berlanjut hingga kedatangan orang Eropa di Nusantara. Suku Bajo bersama dengan suku bahari lainnya, seperti: Suku Bugis, Buton, Mandar, Madura, dan Melayu yang membentuk jaringan hubungan masyarakat bahari di Tanah Air. Dalan era Negara Republik Indonesia sekarang ini, peran Suku Bajo semakin strategis, dalam upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, seperti upaya pemerintahan membangun Tol Laut, merupakan kelanjutan dari usaha yang telah dirintis oleh Suku Bajo sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Zaman Kolonial, hingga era Negara Kesatuan Republik Indonesia sekarang ini.

Kata Kunci: Suku Bajo, Perairan Nusantara, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Negara Kesatuan Republik Indonesia.



A.  Pendahuluan

Suku Bajo memiliki nama yang bermacam-macam diantara Suku Laut, Orang Laut, Sama, Bajau, Orang Selat, Orang Lanun, Suku Sampan. Sedangkan dalam berbagai karya etnografi mengenai masyarakat yang hidup di laut dan berpidah di kawasan Asia Tenggara, kita temukan beberapa macam sebutan, seperti ‘sea nomads’, ‘sea folk’, ‘sea hunters and gatherers’ (Sopher, 1977; Chou, 2003:2), dan dalam bahasa Thai disebut Cho Lai atau Chaw Talay. Meskipun demikian, oleh orang Melayu Riau kepulauan mereka lebih dikenal sebagai ‘Orang Laut’ (Chou, 2003:2).
Suku ini  memegang peranan penting dalam mendukung kejayaan kerajaan-kerajaan di Selat Malaka.  Secara historis, Orang Laut dulunya berperan penting dalam Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor. Mereka menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, memandu para pedagang ke pelabuhan Kerajaan-kerajaan tersebut, dan mempertahankan hegemoni mereka di laut.
Bahasa Orang Laut memiliki kemiripan dengan Bahasa Melayu dan digolongkan sebagai Bahasa Melayu. Saat ini mereka umumnya bekerja sebagai nelayan. Suku Bajo dijuluki sebagai "kelana laut", karena mereka hidup berpindah-pindah di atas perahu. Pada zaman Sriwijaya mereka berperan sebagai pendukung imperium tersebut. Dengan klaim sebagai keturunan raja-raja Sriwijaya Sultan Malaka berhasil mendapatkan dukungan dan kesetiaan Orang Laut. Sewaktu Malaka jatuh mereka meneruskan kesetiaan mereka kepada keturunan Sultan Malaka yang kemudian mendirikan Kesultanan Johor.
Dick-Read (2008) membuka mata dunia atas kehebatan pelaut-pelaut Nusantara yang telah menguasai perairan dan tampil sebagai penjelajah samudera sejak 1.500 tahun lampau. Ini jauh sebelum Cheng Ho dan Colombus membuat sejarah pelayaran fenomenal. Para penjelajah laut nusantara sudah melintasi sepertiga bola dunia, bahkan sebelum kedatangan orang-orang Eropa ke tanah air pada paruh pertama abad XVI.
Sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia telah berlayar mengarungi lautan ke barat Samudera Hindia hingga Madagaskar dan ke timur hingga Pulau Paskah. Ini menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia memiliki peradaban dan budaya maritim yang maju sejak dulu kala. Seiring semakin ramainya aktivitas melalui laut, lahirlah kerajaan-kerajaan bercorak maritim dan memiliki armada laut besar. Perkembangan budaya maritim pun membentuk peradaban bangsa yang maju di zamannya.
Pada era Kerajaan Sriwijaya, Majapahit hingga Demak, nusantara tampil sebagai kekuatan besar yang disegani negara di kawasan Asia dan dunia. Sebagai kerajaan maritim yang kuat di Asia Tenggara, Sriwijaya (683-1030 M) telah mendasarkan politik kerajaannya pada penguasaan alur pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan laut. Angkatan laut Kerajaan Sriwijaya ditempatkan di berbagai pangkalan strategis dan mendapat tugas mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang yang berlabuh, memungut biaya cukai, serta mencegah terjadinya pelanggaran laut di wilayah kedaulatan dan kekuasaannya.
Kilasan sejarah itu memberi gambaran, betapa kerajaan-kerajaan di Nusantara dulu mampu menyatukan wilayah Nusantara dan disegani bangsa lain karena kehebatan armada niaga, kehandalan manajemen transportasi laut, dan armada militer yang mumpuni. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas, bahwa Sriwijaya dan Majapahit pernah menjadi center of excellence di bidang maritim, kebudayaan, dan agama di seluruh wilayah Asia Tenggara. Kejayaan para pendahulu negeri ini terbangun karena kemampuan mereka membaca potensi yang dimiliki hingga membentuk budaya negara maju. Ketajaman visi dan kesadaran terhadap posisi strategis nusantara telah membawa bangsa ini besar dan disegani negara lain.
Dalam perjalanan budaya bangsa Indonesia, para pakar sejarah maritim menduga perahu telah lama memainkan peranan penting di wilayah nusantara, jauh sebelum bukti tertulis menyebutkannya (prasasti dan naskah-naskah kuno).Dugaan ini didasarkan atas sebaran artefak perunggu, seperti nekara, kapak, dan bejana perunggu di berbagai tempat di Sumatera, Sulawesi Utara, Papua hingga Rote. Berdasarkan bukti-bukti tersebut, pada masa akhir prasejarah telah dikenal adanya jaringan perdagangan antara Nusantara dan Asia daratan.
Pada sekitar awal abad pertama Masehi diduga telah ada jaringan peradaban antara nusantara dan India.Bukti-bukti tersebut berupa barang-barang tembikar dari India (Arikamedu, Karaikadu dan Anuradha-pura) yang ditemukan di Jawa Barat dan Bali. Keberadaan barang-barang tersebut diangkut menggunakan perahu atau kapal yang mampu mengarungi samudera.
Bercermin dari kearifan lokal masyarakat pesisir, bangsa bahari memiliki budaya demokrasi yang teramat tinggi di mana kebijakan yang dikeluarkan adalah keputusan dari masyarakat bawah yang dipoles kearifan seorang pemimpin.Sudah saatnya masyarakat pesisir sebagai wajah dari bangsa bahari diberdayakan melalui program-program pemerintah yang disusun melalui pendekatan sosial budaya kebaharian, yaitu pendekatan hubungan manusia dengan lingkungan dan sumberdaya laut.
Kenyataan tersebut dapat dilihat, dari aspek kehidupan sosial dan budaya, sejarah menunjukkan bangsa Indonesia pada masa lalu memiliki pengaruh besar di wilayah Asia Tenggara.Terutama melalui kekuatan maritim di bawah Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.Tak heran, wilayah laut Indonesia dengan luas dua pertiga Nusantara diwarnai banyak pergumulan kehidupan di perairan.
Jauh sebelum era kerajaan, banyak bukti prasejarah beradaban maritim Indonesia, antara lain di Pulau Muna, Seram dan Arguni, terdapat situs yang diperkirakan budaya manusia sekitar 10.000 tahun sebelum masehi. Bukti sejarah tersebut berupa gua yang dipenuhi lukisan perahu layar. Ada pula peninggalan sejarah sebelum masehi berupa bekas kerajaan Marina yang didirikan perantau dari Nusantara di wilayah Madagaskar. Pengaruh dan kekuasaan tersebut diperoleh bangsa Indonesia karena kemampuannya membangun kapal dan armada yang berlayar lebih dari 4.000 mil.
Dalam strategi besar Majapahit mempersatukan wilayah Indonesia melalui Sumpah Palapa dari Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan Majapahit telah banyak mengilhami pengembangan dan perkembangan nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa Indonesia sebagai manifestasi sebuah bangsa bahari yang besar. Sayang, setelah mencapai kejayaan, Indonesia terus mengalami kemunduran, terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan kolonial Belanda ke Indonesia. Perjanjian Giyanti pada 1755 antara Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut harus menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya kepada Belanda.
Sejak itu, terjadi penurunan semangat jiwa bahari bangsa Indonesia, dan pergeseran nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan, akan tetapi, budaya bahari Indonesia tidak boleh hilang karena alamiah Indonesia sebagai negara kepulauan terus menginduksi, dan membentuk budaya maritim bangsa Indonesia.
Catatan penting sejarah maritim ini menunjukkan bahwa dibandingkan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki keunggulan budaya bahari secara alamiah. Berkurangnya budaya bahari lebih disebabkan kurang perhatian pemerintah terhadap pembangunan maritim. Padahal, kebudayaan maritim merupakan kunci dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

B.  Peran Suku Bajo pada Zaman Kerajaan
1.    Masa Kerajaan Sriwijaya
Suku Bajo berperan untuk menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, memandu para pedagang ke pelabuhan Kerajaan Sriwijaya dan mempertahankan hegemoni mereka di daerah tersebut.
Keberadaan Suku Bajo dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan pengaruh ajaran Islam yang menyebar lewat lautan dan perdagangan. Sistem kepercayaan yang dianut oleh Suku Bajo sendiri masih keprecayaan Animisme dan Totemisme meskipun sebagian yang lain memeluk agama Islam dan itu pun masih bercampur dengan kepercayaan nenek moyang.
Orang-orang Suku Bajo menganggap bahwa diri mereka adalah Melayu asli, mereka pun menjaga betul garis keturunannya
dan memelihara Bahasa Melayu dan tradisi Melayu yang berpantun dipertahankan. Mereka hidup di lautan, lahir, kawin, dan mati di laut.
Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Suku Bajo adalah nelayan. Bahkan kebiasaan warga Suku Bajo pada malam hari adalah memancing. Warga Suku Bajo mempercayai bahwa memancing pada tengah malam akan mendapatkan ikan lebih mudah, mereka memancing hanya menggunakan perahu sederhana (getek) dan tombak. Jika mereka tidak mendapatkan ikan mereka tidak boleh pulang dan terpaksa harus tidur dalam getek tanpa selimut.  Walau bagaimana pun juga, Suku Bajo menjadi satu dari keberagaman suku di Indonesia. Dengan segala keunikan yang dimilikinya, Suku Bajo memberikan pembelajaran tersendiri bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.
Menurut Dick-Read (2008) bukti mutakhir bahwa para pelaut Nusantara telah menaklukkan samudra jauh sebelum bangsa Eropa, Arab, Cina, dan India memulai zaman penjelajahan bahari masih bisa ditelusuri. Karena sejak abad ke-5 masehi, para pelaut Nusantara sudah mampu menyeberangi Samudra Hindia hingga mencapai benua Afrika dan masih meninggalkan jejak nyata hingga sekarang.
Pada abad VII masehi kerajaan Sriwijaya adalah kelompok pertama pelaut Nusantara yang berhasil menyebarkan armadanya hingga daratan Afrika. Pada zaman keemasan Sriwijaya, saat itu penguasa kerajaan membutuhkan emas dalam jumlah besar dan mereka mendatangkan pasokan emas itu dari pertambangan emas kuno yang ada di Zimbabwe. Ditambah bukti adanya banyak penduduk Madagaskar pada masa lalu yang melakukan hubungan dengan Sumatra Selatan semakin menguatkan asumsi bahwa angkatan laut Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menduduki tanah yang ditemukannya itu.
Para petualang Nusantara ini tidak sekedar hanya singgah di dataran Afrika, melainkan juga menetap dan meninggalkan banyak kebudayaan di seluruh dataran yang berhasil disinggahinya. Banyaknya jejak pelaut Nusantara tersebut meninggalkan kebudayaan diantaranya dengan ditemukannya teknologi, tanaman baru, musik, dan seni yang pengaruhnya masih bisa dijumpai dalam kehidupan masyarakat Afrika sekarang.
Bahkan, tanaman ubi jalar, pisang raja, dan beragam jenis pisang yang hidup di daratan Afrika Timur juga merupakan tanaman yang dibawa oleh penjelajah Indonesia yang melakukan perjalanan ke Madagaskar, dan pada waktu yang sama tanaman itu menyebar sampai Afrika Barat karena dibawa melalui perjalanan darat melalui Somalia, Ethiopia Selatan, dan Sudan. Tanaman lain yang disebarkan pelaut Indonesia khususnya Suku Bajo adalah sagu. Benarlah lirik lagu lagu yang populer di kalangan masyarakat bahari “Nenek moyangku seorang pelaut”.
Bagaimana Sriwijaya bisa menguasai lautan Nusantara di wilayah seluruh Sumatra sampai Malaya sekarang adalah karena kebijaksanaannya dalam merangkul Suku Bajo yang piawai dalam teknologi pembuatan kapal dan strategi perang laut. Suku Orang Laut mendiami daerah muara sunga-sungai dan hutan bakau di pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, dan pantai barat Semenanjung Malaya. Waktu itu, Sriwijaya telah berhasil menjadi kekuatan perdana dalam sejarah Nusantara yang mendominasi wilayah sekitar perairan timur Pulau Sumatera, yang merupakan jalur kunci perdagangan dan pelayaran internasional (sampai saat ini). Ia bergerak ke perairan Laut Jawa untuk menguasai jalur pelayaran rempah-rempah dan bahan pangan hasil pertanian. Sriwijaya memanfaatkan Suku Bajo dengan sejumlah perahu mereka di sepanjang pesisir Kepualau Riau di pintu masuk Selat Malaka untuk menyerang target-target mereka di kawasan itu. Suku Bajo yang  sejak dahulu dikenal sebagai pengembara laut merupakan suatu kekuatan handal angkatan laur Sriwijaya (Dick-Read, 2005; Hamid, 2015).
Tampaknya sudah sejak lama Suku Bajo menjalani kehidupan sebagai salah satu pelaut handal yang tersebar dari ujung ke ujung kepulauan Indonesia. Mulai dari Kepulauan Mentawai di lepas pantai Barat Pulau Sumatra hingga Papua di sebelah Timur. Pengembaraan mereka mencari teripang dan berbagai hasil laut bahkan sampai di Pantai Utara Australia (Illous dan Grange, 2013). Eksistensi mereka ditandai dengan perjalanan mengarungi lautan dan erat kaitannya dengan  suku bangsa pelaut lain, seperti: Suku Bugis, Mandar, dan Buton, Keberadaan mereka pada masa sekarang mencerminkan kehidupan pada masa lalu, sehingga dapat dipastikan bahwa mereka telah memiliki prasyarat untuk menjadi angkatan laut Kerajaan Sriwijaya (Dick-Read, 2008).  Lebih lanjut dikatakan bahwa nenek moyang Suku Bugis dan Bajo merupakan tulang punggung angkatan laut Sriwijaya, demikian juga keterkaitan Bahasa Bugis/Bajo dengan Madagaskan (Armada Dagang dari Makassar pen...) dan lebih luas lagi sampai dengan Pantai Timur Afrika.
Kekuatan dan wilayah Sriwijaya begitu luas, maka pada abad X untuk mengelilingi wilayah kekuasaannya memerlukan waktu dua tahuan dengan menggunakan perahu layar yang cepat (Hamid, 2015). Kemampuan untuk menguasai laut itu menurut Lapian (2009) hanya dimungkinkan bila didukung oleh angkatan laut yang kuat, tenaga, armada, dan perlengkapan yang diperoleh dari Suku Bajo yang loyal kepada Sriwijaya. Peranan Suku Bajo sebagai kekuatan pertahanan Sriwijaya sangat ditakuti oleh kapal asing, mereka bukan bajak laut, karena berada di bawah Koordinasi Pimpinan Kerajaan Sriwijaya.
Kerjaan Sriwijaya tidak mampu menjaga keseimbangan antara kekuatannya sebagai negara maritim dan kemampuan mengembangkan daerah belakang dalam arti optimalisasi potensi agraris, sehingga ia tak bertahan lama. pengalaman sejarah menunjukkan bahwa kota pelabuhan harus ditopang oleh hasil pertanian yang menjadi komoditas unggulan dari wilayah pedalaman. Ketangguhan agraria dan maritim adalah pilar-pilar utama untuk kejayaan Nusantara.

2.    Masa Kerajaan Singasari dan Majapahit
Ketangguhan agraris dan maritim pertama kali ditunjukkan oleh Singhasari di bawah pemerintahan Kertanegara pada abad ke-13.  Dalam Kakawin (babad, cerita, kitab) Negarakertagama Kertanegara telah mendengungkan perluasan cakrawala mandala ke luar Pulau Jawa, yang meliputi daerah seluruh dwipantara. Dengan kekuatan armada laut yang kuat, pada tahun 1275 Kertanegara mengirimkan ekspedisi bahari ke Kerajaan Melayu dan Campa untuk menjalin persahabatan agar bersama-sama dapat menghambat gerak maju Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara. Tahun 1284, ia menaklukkan Bali dalam ekspedisi laut ke timur. Dua pilar utama kekuatan agraris dan maritim telah membawa Kertanegara menaklukkan: Pahang, Melayu, Gurun (Indonesia Timur), Bakulapura (Kalimantan), Sunda, Madura, dan seluruh Jawa. Sekalipun lautan menjadi perhatian utamanya, Kertanegara tidak pernah lupa daratan, ia memperkuat sektor agrarianya.
Meskipun tidak banyak sumber tertulis tentang keterlibatan Suku Bajo pada Zaman Singasari, tetapi ekspansi lautnya pada akhir abad ke-13 ke Indonesia Timur bertepatan dengan persebaran Suku Bajo ke wilayah ini, sehingga dapat diduga bahwa kurir militer dan nakhoda yang mengangkut armada militer diambil dari Suku Bajo.
Puncak kejayaan bahari tercapai pada abad ke-14 ketika Majapahit menguasai seluruh Nusantara bahkan pengaruhnya meluas sampai ke negara-negara tetangganya. Kerajaan Majapahit di bawah Hayam Wuruk, dan Gajah Mada telah berkembang pesat menjadi kerajaan besar yang mampu memberikan jaminan bagi keamanan perdagangan di wilayah Nusantara. Penyatuan Nusantara oleh Majapahit melalui ekspedisi bahari dimulai tak lama setelah Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpah Palapa yang terkenal itu pada tahun 1334.
 
3.    Masa Kerajaan Malaka/Johor
Suku (Orang) Laut adalah suku yang berada di pesisir sepanjang kepulauan Riau. Beberapa sejarah mencatat bahwa Suku Bajo ini terbentuk dari lima periode kekuasaan. yakni (1) masa Batin (kepala klan), (2) Kesultanan Melaka-Johor dan Riau-Lingga, (3) Belanda (1911-1942), (4) Jepang (19421945), dan (5) Republik Indonesia (1949 sampai sekarang) (Chou, 2003:25). Adapula yang menyatakan bahwa Suku Bajo ini asalnya adalah para perompak yang memiliki pengaruh kuat pada masa kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor.  
Orang Bajo sebenarnya tidak suka disebut “Bajo” sebab sebutan itu dulu digunakan oleh orang luar Bajo untuk mengejek. Mereka lebih senang di sebut “Orang Sama” sedangkan mereka menyebut orang darat (luar Bajo) sebagai “Orang Bagai”. Hal lain yang tidak banyak diketahui orang adalah tentang awal keislaman mereka. Masyarakat Bajo menerima Islam dari Malikulsaleh. Sultan Aceh Abad ke-13 itu menolong moyang Orang Bajo saat terusir dari negerinya (Johor & Malaka). Mereka juga sangat berjasa pada pernyiaran Islam di Sulawesi (Bone, Gowa, Buton, Bima, dan maluku). Orang-orang Bajo dipercaya oleh Malikulsaleh untuk menjadi prajurit armada laut, mengantar para penyiar Agama Islam ke pulau-pulau belahan timur dan menjadi awak perahu dan nahkoda para pedagang Islam. Pertemuan mereka dengan Sultan Malukulsaleh, penyiar Islam dan pedagang Islam itu yang menjadikan orang Bajo menerima Islam sebagai kepercayaan bersanding dengan kepercayaan asali mereka.
Pada 1699 Sultan Mahmud Syah, keturunan terakhir wangsa Malaka-Johor terbunuh. Orang Laut menolak mengakui wangsa Bendahara yang naik tahta sebagai sultan Johor yang baru, karena keluarga Bendahara dicurigai terlibat dalam pembunuhan tersebut. Ketika pada 1718 Raja Kecil, seorang petualang Minangkabau mengklaim hak atas tahta Johor, Orang Laut memberi dukungannya. Namun dengan dukungan prajurit-prajurit Bugis kepada Sultan Sulaiman Syah dari wangsa Bendahara berhasil merebut kembali tahta Johor. Dengan bantuan orang-orang Laut (orang suku Bentan dan orang Suku Bulang) membantu Raja Kecil mendirikan Kesultanan Siak, setelah terusir dari Johor. 
Saat Belanda bermaksud menyerang Johor yang mulai bangkit menyaingi Malaka yang pada abad ke-17 direbut Belanda, maka Sultan Johor mengancam untuk memerintahkan Orang Laut untuk menghentikan perlindungan mereka pada kapal-kapal Belanda. Pada abad ke-18 peranan Orang Laut sebagai penjaga Selat Malaka pelan-pelan digantikan oleh suku Bugis.

C.  Peran Suku Bajo pada Zaman Penjajahan Belanda
Pada abad ke-16 dan 17, zaman keemasan bajak laut (pirate) yaitu para perampok di laut yang bertindak di luar segala hukum. Kata pirate berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘yang menyerang’, ‘yang merampok’. Dalam Bahasa Indonesia dan Melayu sebutan lain untuk bajak laut, lanun, berasal dari nama lain salah satu suku maritim di Indonesia dan Malaysia. Tujuan mereka tidak bersifat politik, mereka mencari keuntungan sendiri dan tidak melayani siapapun kecuali di bawah bendera Jolly Roger (bendera bajak laut). Bisa dikatakan bahwa sejarah pembajakan terjadi secara bersamaan dengan sejarah navigasi. Di mana terdapat kapal-kapal yang mengangkut dagangan, muncul bajak laut yang siap memilikinya secara paksa.
Pembajakan ternyata juga banyak terjadi di perairan Nusantara pada masa dahulu. Tepatnya pada tahun 1666 terjadi perompakan yang menimpa sebuah perahu VOC yang sedang berlabuh di Bandar Surabaya. Oleh para pembajak setelah perahu dirusak kemudian dibakar. Akibat kejadian itu maka VOC mengumumkan akan memberi hadiah uang kepada siapa pun yang dapat menangkap perompak yang ternyata bernama Intjeh Cohdja. Barang siapa yang menangkap dalam keadaan hidup akan mendapatkan imbalan sebesar 100 ringgit, sedang untuk menangkap dalam keadaan mati diberi hadiah 50 ringgit. Sementara itu, jika dapat menangkap anak buah dari Intjeh Cohdja dalam keadaan hidup dihadiahi 10 ringgit, sedang dalam keadaan mati sebesar 5 ringgit. Bagi siapa saja yang dapat merampas perahu dari Intjeh Chodja, diperbolehkan memiliki perahu itu beserta muatannya (Tjiptoatmodjo dan Frasiscu Assisi Sutjipto, 1983).
Sumber VOC tahun 1685 juga menyebutkan bahwa di Surabaya dan di daerah-daerah lainnya di ujung Timur pulau Jawa (Oosthoek) tersiar nama seorang bajak laut yang terkenal bernama Wassingrana. Singkat cerita bajak laut itu beserta anak buahnya dari Makasar bernama “Winantacca” berhasil ditangkap dan dihukum mati oleh bupati pantai kawasan tersebut. Setelah tewasnya pembajak-pembajak itu, para bupati mengharapkan keadaan pantai dan pelayaran menjadi aman kembali, karena selama itu para bajak laut banyak mengganggu pelayaran dan kerapkali merampok dan membunuh rakyat kecil. Akan tetapi, walaupun terus diburu dan ditangkap, kasus pembajakan tidak pernah berhenti. Hal itu yang membuat perahu dagang harus dikawal oleh perahu perang terutama apabila akan melewati tempat-tempat yang diduga menjadi sarang bajak laut. Contohnya, Pulau Bawean yang pada masa dahulu kerap kali digunakan sebagai tempat bersembunyi bajak laut dari berbagai suku bangsa, seperti orang Bugis, Madura, Melayu, Bajo dan lainnya. Pada abad ke-18 pantai Blambangan juga masih sering digunakan untuk tempat persembunyian bajak laut Orang Bugis.
Pada tahun 1758 perahu Inggris tiba di pantai selatan Lumajang, dalam rangka perjalanan dari Bengkulu menyusuri pantai selatan pulau Jawa untuk seterusnya mengitari ujung Jawa Timur, dan kemudian akan menuju ke barat ke arah Batavia, tiba-tiba perahunya dibajak dan dibakar (Tjiptoatmodjo dan Frasiscu Assisi Sutjipto, 1983). Suku Samal yang diidentikkan dengan Suku Bajo yang bermukim diantara Sulawesi dengan Mindanao, mereka ini gemar perperang, memiliki perahu besar sejenis kora-kora. Pada tahun 1847 kapal uap Inggris Nemesis bertemu dengan armada yang terdiri dari 40 hingga 60 kapal perompak berjenis tersebut (Dick-Read, 2008).
Menurut Grange dalam  Illous dan Grange (2013) pada bulan Juni 1824 tujuh puluh kapal yang berisi orang-orang dari Papua dan Seram muncul di sekitar Banyuwangi dan pada waktu bersamaan Kepulauan Kangean juga dihinggapi kekhawatiran akan armada yang sama, akan tetapi angkatan laut Belanda mengejarnya, sehingga mereka segerah meningglkan tempat itu. Serangan-serangan berulang kali dilakukan oleh oknum Muslimin yang hidup dari perompakan, mendorong pemerintah Kolonial bertindak untuk membersihkan laut Jawa dan pulau-pulau di sebelah timur dari perompak yang mencemaskan.
Berdasarkan Lontarak Assalenna Bajo (Lontarak Asal-Usul Suku Bajo) menyatakan bahwa sesaat setelah Arung Palakkan (Raja Bone) bergelar Petta to RisompaE mengalahkan Gowa pada tahun 1667. Pada saat bersamaan masuknya di Bone Petta to RisompaE, saat itu pulalah awal ikutnya sebagian Orang Bajo termasuk para Bangsawan Bajo ikut mengantar baginda Aru Palakka masuk di Bone.
Pada saat diserang Gowa, semua orang Bajo berada di pulau yang ditengah berkumpul, di situlah mereka mendengar berita Petta to RisompaE bersiap berangkat masuk ke Bone, Orang Bajo bertukar-pikiran dan kesepakatannya berlayar masuk ke Gowa untuk menjemput Petta to RisompaE, sebab setelah tunduknya Kerajaan Gowa dari baginda Petta to RisompaE, maka Bone lagi yang besar (Anwar, 2000).
Setelah beberapa bulan beberapa tahun menetapnya di Bone Petta to RisompaE, datang lagi Kompeni Belanda sepakat dengan Inggris bermaksud mengambil simbol kebesaran Kerajaan Bone yang disebut “SudengngE”, namun ditentang oleh Petta MatinroE Rirompegading, dan memarahi utusan Belanda dan dilempari juga juru bicara derngan tempat ludah, sehingga  merah semua bajunya, setalah utusan sampai di Ujung Pandang (Makassar) berkatalah Pembesar Ujung Pandang bahwa tidak pernah ada sebelum ini Kompeni dipermalukan oleh orang kulit hitam.
Untuk menghadapai Belanda dan Inggris, maka Petta PonggawaE (Panglima Perang Kerajaan Bone) berusaha untuk memobilisir masyarakat nelayan dan sudah datang pula Lolo Bajo, mereka berkumpul di rumah Syahbandar, disampaikanlah oleh Petta PonggawaE perlakukan orang Inggris, berkata Petta PonggawaE kepada Lolo Bajo bahwa sudah taqdir kita dari Tuhan Lolo sehingga kita bisa bertemu di sini akibat perbuatan orang Inggris,
Diharapkan juga Lolo memerintahkan untuk mempersiapkan tanda pengabdian masyarakat nelayan untuk membuat benteng sekarang juga, dengan menebang pohon kelepa, jangan ada yang tersisa siapapun yang pemiliknya tebang semua. Berkata Petta PonggawaE inilah yang saya sampaikan kepada semua masyarakat nelayan, atau engkau Lolo Bajo, atau engkau Ponggawa Bajo jangan sampai  ada yang cedera.
Berkata lagi Daeng Matteruu datang dari Bone diperintahkan menyampaikan kepada Ilolo bahwa diharapkan Lolo untuk mempersiapkan perahu empat buah dilengkapi persenjataan dan Lolo diharap juga memerintahkan mereka ke Sinjai melihat kapal orang Inggris (Anwar, 2000).
Dalam Perkembangan selanjutnya Kerajaan Bone terlibat Perang Melawan Belanda selama 3 kali, dan pusat pertahanan Kerjaan Bone di Bajoe yang terletak pesisir pantai Timur dan merupakan pusat pemukiman Suku Bajo, sehingga pemerintah Kerjaan Bone selalu menempatkan Suku Bajo sebagai pasukan terdepan melawan Belanda.
Besar dugaan diantara bajak laut yang dipimpin oleh Orang Bugis-Makassar itu terdapat pula Suku Bajo, karena mereka kerap hidup berdampingan dengan Suku Bugis-Makassar, seperti di Perairan dan pulau-pulau sekitar Makassar, di Bajoe (Bone), dan di Pulau Bawean. Menurut Sacot (2008) Orang Bugis dan Orang Bajo bersaudara, Orang Bugis menjadi kakak laki-laki dan Orang Bajo menjadi adik perempuan. Sumber lain menyatakan bahwa anak Raja Bajo menikah dengan anak Raja Bugis, sehingga kedua suku ini tidak boleh berperang. Apalagi Orang Bajo Gowa adalah tangan kanan Raja Bone.

Pada abad ke-18 peranan Orang Laut sebagai penjaga Selat Malaka untuk Kesultanan Johor-Riau pelan-pelan digantikan oleh Suku Bugis (Jamil, 2010).
Pemerintah Kolonial Belanda mencatat beberapa aksi serangan perompak (bajak laut) di Kepulauan Kangean pada paruh pertama abad XIX. Meskipun Nuraini menolak anggapan Suku Bajo sebagai bagian dari bajak laut, tetapi jika merujuk pada kekerabatannya dengan Suku Bugis, yang disisi lain seriang menjadi sasaran perompakan, tetapi pada kesempatan lain terdapat Suku Bugis yang terlibat dalam aksi perompakan di laut.
Suatu hal yang menirik dari pernyataan Grange tersebut tentang kata serangan onum Muslimin, sehingga bisa dipandang sebagai suatu bentuk perjuangan menyebarkan agama islam dan perjuangan melawan Kolonial Belanda. Jika hipotesis ini benar bahwa diantara suku yang sering terlibat dalam perompakan adalah umumnya bergama Islam, sehingga mereka berjuang mengusir penjajah Belanda karena melanggar kedaulatan mereka dan menghambat penyiaran Islam.
Salah satu bentuk perlawanan Suku Bajo terhadap Belanda, mereka tidak mau membayar pajak, dan untuk pertama kalinya mereka mebayar pajak yang disebut kasudia pada tahun 1916. Pajak ini dikumpulkan Kapita salah satu jabatan dalam struktur sosial Suku Bajo, kemudian Kapita menyerahkan kepada Raja Bone dan semua Suku Bajo yang ada di Sulawesi berbuat demikian (Zacot, 2008). Kenyataan ini membuktikan kedekatan Suku Bajo dengan Suku Bugis khususnya Kerajaan Bone.
Orang Bajo sangat antipati terhadap Orang Tobelo (dari Maluku) dan menyamakannya Orang Mindanao dari Philipina Selatan sebagai bajak laut yang sering mengganggu pemukiman mereka (Zacot, 2008). Beberapa sumber menyatakan bahwa Orang Tobelo yang dimpimpin oleh Labolontio merupakan bajak laut yang sering beroperasi di beberapa pulau dan sepanjang pesisir pantai timu Pulau Sulawesi di mulai dari Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara sampai Sulawesi Selatan, akan tetapi pemimpin mereka bernama La Bolontio sekitar tahun 1537 berhasil dibunuh oleh Lakilaponto, beberapa orang pasukan La Bolontio juga ikut tewas, dan sebagian lainnya melarikan diri. Tewasnya La Bolontio sebagai pemimpin Bajak Laut yang selalu mengganggu perairan Sultra terjadi pada saat pertempuran sengit di Boneatiro pantai Barat Pulau Buton (Anwar, 2009).
Tewasnya La Bolontio, sebagai pemimpin bajak laut, untuk beberapa waktu memberi ketentraman kehidupan wilayah perairan Nusantara bagian Timur, termasuk suasana kehidupan sosial ekonomi Suku Bajo, sehingga mereka dapat dengan bebas kembali mengarungi Perairan Nusantara termasuk aktivitas pelayaran dan perdagangan antara Sulawesi dengan Sumatra dan wilayah Perairan Selat Malaka pada umumnya. Pelayaran mereka dari Sulawesi dilakukan bersama-sama dan atau beriringan dengan suku bangsa pelaut lainnya, seperti: Bugis-Makassar, Buton, dan Mandar.
Kebebasan para pelayar Nusantara sebelum datangnya Imperialisme, merasa terganggu setelah datangnya Portugis, Spanyol dan Belanda. Gangguan utama muncul ketika VOC memaksanakan kehendak untuk melakukan monopoli dagang di sertiap kerajaan yang ada di Nusantara yang sebelumnya telah menjadi mitra dagangan Suku Bajo bersama Suku Bugis-Makassar, Buton, dan Mandar. Kondisi ini membuat sebagian pelayar ini termasuk Suku Bajo, sering melakukan perlawanan terhadap aktivitas pelayaran VOC terutama di wilayah perairan, sehingga dianggap sebagai perompak/bajak laut. Bagi pelayar Bajo, reaksi ini merupakan suatu bentuk perjuangan mempertahankan eksistensi mereka di wilayah ini, karena secara historis-kultutal wilayah perairan Nusantara menjadi wilayah penguasaannya karena telah menjadi tanh dan air yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.  

D.  Peran Suku Bajo pada Masa Republik Indonesia
Berbagai kajian dan publikasi tentang upaya pemberdayaan Suku Bajo diantaranya dilakukan oleh Kemenko PMK yang melaksanakan seminar on Bajo SEA NOMAD in Asia - Pacific yang bertajuk "Maritime Culture and Best Practices in the Management of Fisheries Resources"  tahun 2015. Dalam kesempatan itu Menko PMK menyatakan  hari ini kita hadir untuk berdiskusi dan saling berbagi ilmu serta pengalaman untuk menunjukkan tekad kita yang mau bergotong royong menghadirkan negara dalam upaya membangun kembali kearifan lokal milik Suku Bajo demi menyejahterakan masyarakatnya. Kita tentu berharap agar pembangunan berkelanjutan juga dapat dinikmati oleh Suku Bajo terutama kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat, agar mereka tidak jadi orang yang tertinggal di negaranya sendiri (Anonim, 2015a).
Suku Bajo memiliki pemahaman mendalam terhadap pengelolaan sumber daya alam baik di darat maupun di laut dalam lingkungan mereka tinggal. Suku Bajo memiliki pula pengetahuan dan kearifan lokal mengenai pengelolaan kekayaan sumber daya alam terutama potensi kelautan dan perikanan. Namun, di sisi lain, Suku Bajo justru menjadi kelompok yang paling rentan terutama dalam soal mata pencaharian dan ketersediaan sumber makanan. Kearifan lokal yang dimiliki Suku Bajo dalam menjaga kelestarian ekosistem laut sudah sepatutnya diimbangi dengan tepat dalam upaya pemberdayaan masyarakatnya.
Budaya maritim yang baik milik Suku Bajo diharapkan pula dapat ditularkan oleh suku-suku lain di Indonesia terutama mereka yang mendiami wilayah pesisir laut dan pulau-pulau terpencil serta terluar di wilayah NKRI. Suku Bajo tengah diupayakan menjadi proyek percontohan bagaimana menciptakan masyarakat yang sejahtera sekaligus memelihara kehidupan laut yang terpelihara dengan baik dalam memiliki nilai jual kepariwisataan.
Suku Bajo mahir menangkap ikan, tetapi ketangkasan mereka dalam menggunakan alat-alat penangkapan ikan, dapat tersaingi dengan kehadiran kapal-kapal penangkap ikan dari luar yang memiliki modal besar, sementara Suku Bajo sulit mengembangkan usahanya karena tidak memiliki akases permodalan khususnya kredit perbankan yang harus memiliki jaminan. Kondisi ini yang membuat Suku Bajo di Era Republik Indonesia ini sulit berkembang, dan akses pemberdayaan berupa ketersediaan sarana pendidikan lambat dipikirkan dan dilaksanakan oleh pemerintah disebabkan karena pemukiman mereka di atas air dan cenderung berpindah-pindah. Kecuali di era reformasi ini mulai banyak program yang dapat menjangkau kebutuhan pendidikan mereka berupa Program Paket A, Paket B, Paket C, SD Kecil, SMP Satu Atap.
Meskipun tingkat pendidikan sekolah mereka rendah, tetapi secara kultutal telah mengembangkan sistem pengetahuan yang tumbuh secara indigenous dalam berbagai aspek kehidupan. Kemampuan baca tulis cukup tinggi demikian pula penguasaan bahasa Indonesia, dan filsafat hidup yang dituangkan dalam ungkapan pantun dengan bait yang begitu rapi, kesemuanya itu mencerminkan budaya belajar mereka cukup tinggi. Kesenian (pantun, nyanyian yang mengandung nasehat dan pendidikan, termasuk seni tari modero), potensi kesenian dapat dimanfaatkan sebagai media dan sumber pembelajaran bagi anak Suku Bajo.
Masyarakat Bajo dalam kehidupan sehari-hari menggunakan Bahasa Bajo, meskipun mereka umumnya menguasai bahasa Indonesia, bahkan jika dicermati lebih jauh bahwa dalam proses persebarannya, Orang Bajo memegang peranan penting dalam 4 hal, yaitu: (1) Penyebaran Bahasa Melayu/Indonesia terhadap segenap suku bangsa di Nusantara. (2) penyebaran Agama Islam, seperti disebut di atas bahwa Suku Bajo menjalin hubungan baik dengan Sultal Malikul Saleh, sehingga ia mejadi pemeluk Islam dan selanjutnya dalam proses pengembaraannya juga menyebarkan Islam, sebagai suatu fakta bahwa pada awal abad XX ketika terbentuknya Kota Kendari, maka Imamnya dipilih dari Suku Bajo, (3) Orang Bajo juga berjasa dalam penyebaran tanaman sagu yang terbukti hanya dijumpai di wilayah-wilayah pesisir sekitar pemukiman masyarakat Bajo di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik, dimana sebagian Orang Bajo menjadikan sagu sebagai makanan pokoknya, dan (4) Pensuplai protein hasil laut di berbagai wilayah Nusantara, dan menjadi bahan komoditi ekspor unggulan Indonesia berupa berbagai jenis ikan, teripang, rumput laut dan mutiara.
Selain potensi positif tersebut di atas, juga terdapat beberapa potensi yang dapat berpengaruh negatif, yaitu: (1) sikap konsumtif, (2) tingkat pendidikan (sekolah) rata-rata rendah, (3) manajemen keuangan keluarga lemah, dan (4) ketergantungan aktivitas perempuan terhadap hasil kegiatan suami melaut. 
Dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi beberapa perubahan dalam kehidupan sosial Suku Bajo, yaitu: (1) ketersediaan sarana pendidikan disekitar pemukiman mereka, sehingga tingkat partisipasi mereka dalam pendidikan formal semakin meningkat, (2) kecenderungan bermukim dipantai mulai meningkat, sehingga mereka dengan mudah memperoleh akses informasi inovasi dalam berbagai dimenasi kehidupan dengan cepat dan maksimal, (3) terbentuknya organisasi sosial Kerukunan Keluarga Masyarakat Bajo (Kekar Bajo) muali dari tingkat Kabupaten/Kota sampai tingkat nasional dan Internasional. Wadah ini membuat Suku Bajo memiliki daya tawar politik yang kuat, sehingga mereka dapat mendudukkan perwakilannya di DPRD dan birokrasi pemerintahan di tingkat lokal, khususnya di kawasan Timur Indonesia.


E.  Penutup
Sejarah membuktikan bahwa tiga zaman Suku Bajo menguasai perairan Nusantara. Diawali ketika Suku Bajo menjadi bagian inti dari Angakatan laut Kerajaan Sriwijaya, disusul mendukung perluasan kekuasaan Kerajaan Majapahit ke wilayah Timur Nusantara, sekaligus menandari persebaran Suku Bajo di wilayah ini. Pada zaman Kolonial Belanda, merasa terusik atas peran pelayar Belanda yang dianggap mengganggu eksistensi kehidupan Suku Bajo bersama dengan suku bahari lainnya dari Kawasan Timur Nusantara, seperti: Bugis, Buton, dan Mandar. Berbagai kesempatan Suku Bajo bersama dengan Suku Bugis terlibat perjuangan melawan Belanda di wilayah perairan Nusantara, sehingga bagi Kolonian Belanda rekasi ini disebut perompakan, namun dari pihak pelayar Nusantara merupakan bentuk perjuangan dalam mepertahankan dominasi perdagangan dan upaya penyebaran Islam di wilayah Nusantara mulai dari perairan Selat Malakan, Pesisir Pantai Pulau Jawa, Perairan Sulawesi, Maluku sampai Mindanao.
Masa keemasan Suku Bajo itu tinggal sejarah, negeri ini tidak belajar dari apa yang dilakukan para leluhur. Kejayaan bangsa tertutup potret kemiskinan yang melanda rakyat negeri ini, khususnya Suku Bajo. Kecintaan kepada laut juga semakin dangkal, rasa keberpihakan negara terhadap dunia maritim pun lemah, padahal, budaya maritim adalah roh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan jutaan penduduk tersebar di ribuan pulau.
Meski kini sudah hadir Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), namun orientasi pembangunan negara masih terfokus di sektor darat. Bahkan, sejumlah kalangan masih menganggap sektor kelautan merupakan sebuah beban dibandingkan aset berharga. Demikian, semoga kejayaan bahari masa lalu membuat kita menghargai lautan dan sekitar 17.580 pulau-pulau yang menyusun Nusantara.




DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015a. Suku (Orang) Laut, Kepulauan Riau. http://mazmuzie.blogspot. co.id/2015/04/suku-orang-laut-kepulauan-riau.html. Akses, 9 Oktober 2017.

Anonim. 2017. Suku Laut. https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Laut.  Akses, 15 Oktober 2017.

Anwar. 2000. Lontarak Assalenna Bajo (Lontarak Asal-usul Suku Bajo). Jakarta: Program Penggalakan Kajian Sumber-sumber Tertulis Nusantara Ditjen Dikti Depdiknas.
Anwar. 2003. Pelayaran Niaga Orang Buton Pada Abad Xx. Dalam Jurn l Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balitban Dikbud.
Anwar. 2009. Haluoleo dalam Berbagai Persepsi. Kendari: Unhalu Press.
Chijs, J.A. van der, 1886. Nederlandsch-Indisch Plakaatboek. Batavia’s Gravenhage.
Dick-Read, Robert. 2008. Penjelajahan Bahari (Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika). Bandun: PT Mizan Pustaka.

Fahmialinh. 2016. Islam Bajo, Agama Orang Laut. July 22, 2016. https://fahmialinh.wordpress.com/category/budaya-islam-nusantara/. Akses, 9 Oktober 2017.

Hamid, Abd. Rahman. 2015. Sejarah Maritim Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Illous, Charles dan Grange, Philippe. 2013. Kepulauan Kangean: Penelitian Terapan untuk Pembangunan.  Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO) Universite de La Rochelle.
Jamil, O.K. Nizami. 2010.  Sejarah Kerajaan Siak. Siak Sri Indrapura: Lembaga Warisan Budaya Melayu Riau.
Kee Long, So (September 1998). "Dissolving Hegemony or Changing Trade Pattern? Images of Srivijaya in the Chinese Sources of the Twelfth and Thirteenth Centuries". Journal of Southeastasian Studies. Diakses tanggal 16 Oktober 20173.
Lapian, Adrian B. 2008. Pelayaran dan Perniagaan usantara. Jakarta: Komunitas Bambu.
Lapian, Adrian B. 2009. Orang Laut-bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasa Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta: Komunitas Bambu.
Rangkuti,Syahnan. 2015. MengenalTanjungButon. Kompas.com - 16/11/2015. Akses, 9 Oktober 2017.
Satyana,  AwangHarun. 2017. BudayaBahari Nusantara. https://tektonesiana.org/awangs-memoirs/031-budaya-bahari-nusantara/. Akses, 9 Oktober 2017. 

Satyana, Awang Harun. 2017. Budaya Bahari Nusantara. https://tektonesiana.org/awangs-memoirs/031-budaya-bahari-nusantara/. Akses, 9 Oktober 2017. 

Tjiptoatmodjo, Frasiscu Assisi Sutjipto, 1983. Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura (Abad XVII sampai Medio Abad XIX), Yogyakarta: Disertasi Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada.
Vanleur, J.C. 2015. Perdagangan dan Masyarakat Indonesia: Esai-esai tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia. Yogyakarta: Ombak.
Virginia Matheson Hooker (2003). "A Short History of Malaysia: Linking East and West". Allen & Unwin. – via Questia (perlu langganan)
Zacot, Francois-Robert.  2008. Orang Bajo: Suku Pengembara Laut. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia-Forum Jakarta-Paris.






TIGA ZAMAN SUKU BAJO MENGUASAI PERAIRAN NUSANTARA
(Sejak Kerajaan Sriwijaya, Majaphit, sampai Republik Indonesia dan Dari Selat Malaka sampai Mindanao)










Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.
FKIP Universitas Halu Oleo Kendari










Makalah
Disajikan pada Seminar Nasional Sejarah III yang diselenggarakan
FKIP Universitas Sriwijaya pada tanggal 28 Oktober 2017
di Palembang














PANITIA SEMINAR NASIONAL SEJARAH III
PALEMBANG
2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar