TIGA ZAMAN SUKU
BAJO MENGUASAI PERAIRAN NUSANTARA
(Sejak Kerajaan
Sriwijaya, Majaphit, sampai Republik Indonesia dan Dari Selat Malaka sampai
Mindanao)
Oleh: Prof. Dr.
H. Anwar, M. Pd.
FKIP Universitas Halu Oleo Kendari
Keberhasilan Sriwijaya sejak abad ke-7 menguasai Lautan
Nusantara di wilayah seluruh Sumatra sampai Malayasia karena kebijakaannya
dalam memberi kepercayaan kepada Suku Bajo yang piawai dalam teknologi
pembuatan kapal, terampil menangkap hasil laut, dan memiliki strategi perang di
laut, saehingga menjadi sebagai salah satu kekuatan Angkatan Laut dan Armada
Dagang Sriwijaya. Suku Bajo mendiami daerah muara sunga dan perairan pesisir
pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, dan pantai barat Semenanjung Malaya. Sriwijaya
berhasil menjadi kekuatan perdana dalam sejarah Nusantara yang menguasai
wilayah sekitar perairan timur Pulau Sumatera, yang merupakan jalur kunci
perdagangan dan pelayaran internasional. Bersama dengan Suku Bajo armada laut
Sriwijaya bergerak ke perairan Laut Jawa untuk menguasai jalur pelayaran
rempah-rempah dan bahan pangan hasil pertanian. Puncak kejayaan bahari tercapai
pada abad ke-14 ketika Majapahit menguasai seluruh Nusantara di bawah Hayam
Wuruk dan Gajah Mada. Penyatuan Nusantara oleh Majapahit melalui ekspedisi
bahari tidak terlepas dari peran Suku Bajo yang menjadi kurir militer di laut
dan nakhoda yang ulung dalam mengarungi lautan, sehingga semakin memperluas
wilayah penjelajahannya yang meliputi segenap wilayah Nusantara, dan sejak abad
ke-7 Suku Bajo telah menjadi kekuatan militer dan ekonomi kelautan. Dari segi
militer Suku Bajo menjadi kekuatan inti angkatan laut kerajaan-kerajaan
Nusantara dan dari segi ekonomi menjadi pensumplai utama protein hasil laut
untuk masyarakat Nusantara, kemudian hasil laut tangkapan mereka menjadi salah
satu komoditas unggulan untu ekspor sejak zaman Sriwijaya sampai saat ini. Para pemukim Suku Bajo di Nusantara mengakui
leluhurnya dari Johor, yang kemudian tersebar di segenap pesisir pantai dan
pulau-pulau terpencil di Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, Philipina
Selatan, Siam, dan Kamboja. Suku Bajo pada abad XIV sebagian besar bermukim
di wilayah Timur Indonesia (terutama di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah,
Gorontalo, dan Maluku). Peran yang dimainkan Suku Bajo pada masa silam terus
berlanjut hingga kedatangan orang Eropa di Nusantara. Suku Bajo bersama dengan suku bahari lainnya, seperti: Suku
Bugis, Buton, Mandar, Madura, dan Melayu yang membentuk jaringan hubungan
masyarakat bahari di Tanah Air. Dalan era Negara Republik Indonesia sekarang ini, peran Suku Bajo semakin strategis, dalam
upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, seperti upaya pemerintahan membangun Tol Laut, merupakan
kelanjutan dari usaha yang
telah dirintis oleh Suku Bajo sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Zaman Kolonial, hingga era Negara Kesatuan Republik Indonesia sekarang
ini.
Kata Kunci: Suku Bajo, Perairan Nusantara, Kerajaan
Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
A. Pendahuluan
Suku Bajo memiliki nama yang bermacam-macam diantara Suku Laut, Orang Laut, Sama, Bajau, Orang Selat, Orang Lanun, Suku
Sampan. Sedangkan dalam berbagai karya etnografi mengenai masyarakat yang hidup
di laut dan berpidah di kawasan Asia Tenggara, kita temukan beberapa macam
sebutan, seperti ‘sea nomads’, ‘sea folk’, ‘sea hunters and gatherers’ (Sopher,
1977; Chou, 2003:2), dan
dalam bahasa Thai disebut Cho Lai atau Chaw Talay. Meskipun demikian, oleh
orang Melayu Riau kepulauan mereka lebih dikenal sebagai ‘Orang Laut’ (Chou,
2003:2).
Suku ini memegang peranan penting dalam mendukung kejayaan kerajaan-kerajaan
di Selat Malaka. Secara historis, Orang Laut dulunya berperan
penting dalam Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor. Mereka menjaga selat-selat, mengusir bajak
laut, memandu para pedagang ke pelabuhan Kerajaan-kerajaan tersebut, dan
mempertahankan hegemoni mereka di laut.
Bahasa
Orang Laut memiliki kemiripan dengan Bahasa Melayu dan digolongkan sebagai Bahasa Melayu. Saat
ini mereka umumnya bekerja sebagai nelayan. Suku Bajo dijuluki sebagai "kelana laut",
karena mereka hidup berpindah-pindah di atas perahu. Pada zaman Sriwijaya mereka berperan sebagai pendukung imperium
tersebut. Dengan klaim sebagai keturunan raja-raja Sriwijaya Sultan Malaka berhasil mendapatkan dukungan dan
kesetiaan Orang Laut. Sewaktu
Malaka jatuh mereka meneruskan kesetiaan mereka kepada keturunan Sultan Malaka yang kemudian mendirikan
Kesultanan Johor.
Dick-Read (2008) membuka mata dunia atas kehebatan pelaut-pelaut Nusantara
yang telah menguasai perairan dan tampil sebagai penjelajah samudera sejak
1.500 tahun lampau. Ini jauh sebelum Cheng Ho dan Colombus membuat sejarah
pelayaran fenomenal. Para penjelajah laut nusantara sudah melintasi sepertiga
bola dunia, bahkan sebelum kedatangan orang-orang Eropa ke tanah air pada paruh
pertama abad XVI.
Sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia telah berlayar mengarungi lautan
ke barat Samudera Hindia hingga Madagaskar dan ke timur hingga Pulau Paskah. Ini
menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia memiliki peradaban dan budaya maritim
yang maju sejak dulu kala. Seiring semakin ramainya aktivitas
melalui laut, lahirlah kerajaan-kerajaan bercorak maritim dan memiliki armada
laut besar. Perkembangan
budaya maritim pun membentuk peradaban bangsa yang maju di zamannya.
Pada era Kerajaan
Sriwijaya, Majapahit hingga Demak, nusantara tampil sebagai kekuatan besar yang
disegani negara di kawasan Asia dan dunia. Sebagai kerajaan maritim yang kuat di Asia Tenggara,
Sriwijaya (683-1030 M) telah mendasarkan politik kerajaannya pada penguasaan
alur pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis
yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan laut. Angkatan laut Kerajaan
Sriwijaya ditempatkan di berbagai pangkalan strategis dan mendapat tugas
mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang yang berlabuh, memungut biaya cukai,
serta mencegah terjadinya pelanggaran laut di wilayah kedaulatan dan
kekuasaannya.
Kilasan sejarah
itu memberi gambaran, betapa kerajaan-kerajaan di Nusantara dulu mampu menyatukan wilayah Nusantara dan disegani bangsa lain karena kehebatan armada niaga, kehandalan
manajemen transportasi laut, dan armada militer yang mumpuni. Sejarah telah
mencatat dengan tinta emas, bahwa Sriwijaya dan Majapahit pernah menjadi center of excellence di
bidang maritim, kebudayaan, dan agama di seluruh wilayah Asia Tenggara. Kejayaan para pendahulu negeri ini terbangun karena kemampuan
mereka membaca potensi yang dimiliki hingga membentuk budaya negara maju. Ketajaman visi dan kesadaran
terhadap posisi strategis nusantara telah membawa bangsa ini besar dan disegani
negara lain.
Dalam perjalanan budaya bangsa Indonesia, para pakar sejarah maritim
menduga perahu telah lama memainkan peranan penting di wilayah nusantara, jauh
sebelum bukti tertulis menyebutkannya (prasasti dan naskah-naskah kuno).Dugaan
ini didasarkan atas sebaran artefak perunggu, seperti nekara, kapak, dan bejana
perunggu di berbagai tempat di Sumatera, Sulawesi Utara, Papua hingga Rote. Berdasarkan
bukti-bukti tersebut, pada masa akhir prasejarah telah dikenal adanya jaringan
perdagangan antara Nusantara dan Asia daratan.
Pada sekitar awal abad pertama Masehi diduga telah ada jaringan peradaban
antara nusantara dan India.Bukti-bukti tersebut berupa barang-barang tembikar
dari India (Arikamedu, Karaikadu dan Anuradha-pura) yang ditemukan di Jawa
Barat dan Bali. Keberadaan barang-barang tersebut diangkut menggunakan perahu
atau kapal yang mampu mengarungi samudera.
Bercermin dari kearifan lokal masyarakat pesisir, bangsa bahari memiliki
budaya demokrasi yang teramat tinggi di mana kebijakan yang dikeluarkan adalah
keputusan dari masyarakat bawah yang dipoles kearifan seorang pemimpin.Sudah
saatnya masyarakat pesisir sebagai wajah dari bangsa bahari diberdayakan
melalui program-program pemerintah yang disusun melalui pendekatan sosial
budaya kebaharian, yaitu pendekatan hubungan manusia dengan lingkungan dan
sumberdaya laut.
Kenyataan tersebut dapat dilihat, dari aspek kehidupan sosial dan budaya,
sejarah menunjukkan bangsa Indonesia pada masa lalu memiliki pengaruh besar di
wilayah Asia Tenggara.Terutama melalui kekuatan maritim di bawah Kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit.Tak heran, wilayah laut Indonesia dengan luas dua
pertiga Nusantara diwarnai banyak pergumulan kehidupan di perairan.
Jauh sebelum
era kerajaan, banyak bukti prasejarah beradaban maritim Indonesia, antara lain
di Pulau Muna, Seram dan Arguni, terdapat situs yang diperkirakan budaya manusia sekitar 10.000
tahun sebelum masehi. Bukti sejarah tersebut berupa gua yang dipenuhi lukisan
perahu layar. Ada pula peninggalan sejarah
sebelum masehi berupa bekas kerajaan Marina yang didirikan perantau dari Nusantara
di wilayah Madagaskar. Pengaruh dan kekuasaan tersebut diperoleh bangsa
Indonesia karena kemampuannya membangun kapal dan armada yang berlayar lebih dari
4.000 mil.
Dalam strategi besar Majapahit mempersatukan wilayah Indonesia melalui
Sumpah Palapa dari Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan Majapahit telah banyak
mengilhami pengembangan dan perkembangan nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa
Indonesia sebagai manifestasi sebuah bangsa bahari yang besar. Sayang, setelah
mencapai kejayaan, Indonesia terus mengalami kemunduran, terutama setelah
masuknya VOC dan kekuasaan kolonial Belanda ke Indonesia. Perjanjian
Giyanti pada 1755 antara Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta
mengakibatkan kedua raja tersebut harus menyerahkan perdagangan hasil
wilayahnya kepada Belanda.
Sejak itu, terjadi penurunan semangat jiwa bahari bangsa Indonesia, dan
pergeseran nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan, akan tetapi,
budaya bahari Indonesia tidak boleh hilang karena alamiah Indonesia sebagai
negara kepulauan terus menginduksi, dan membentuk budaya maritim bangsa
Indonesia.
Catatan penting sejarah maritim ini menunjukkan bahwa dibandingkan
negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki keunggulan
budaya bahari secara alamiah. Berkurangnya budaya bahari lebih disebabkan
kurang perhatian pemerintah terhadap pembangunan maritim. Padahal, kebudayaan
maritim merupakan kunci dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
B.
Peran Suku Bajo pada Zaman
Kerajaan
1.
Masa Kerajaan Sriwijaya
Suku Bajo berperan untuk menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, memandu
para pedagang ke pelabuhan Kerajaan Sriwijaya dan mempertahankan hegemoni
mereka di daerah tersebut.
Keberadaan Suku
Bajo dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan pengaruh ajaran Islam yang menyebar
lewat lautan dan perdagangan. Sistem kepercayaan yang dianut oleh Suku Bajo
sendiri masih keprecayaan Animisme dan Totemisme meskipun sebagian yang lain memeluk agama Islam dan itu pun masih
bercampur dengan kepercayaan nenek moyang.
Orang-orang Suku Bajo menganggap bahwa diri mereka adalah Melayu asli, mereka pun menjaga betul garis keturunannya dan memelihara Bahasa Melayu dan tradisi Melayu yang berpantun dipertahankan. Mereka hidup di lautan, lahir, kawin, dan mati di laut.
Orang-orang Suku Bajo menganggap bahwa diri mereka adalah Melayu asli, mereka pun menjaga betul garis keturunannya dan memelihara Bahasa Melayu dan tradisi Melayu yang berpantun dipertahankan. Mereka hidup di lautan, lahir, kawin, dan mati di laut.
Sebagian besar
mata pencaharian masyarakat Suku Bajo adalah nelayan. Bahkan kebiasaan warga Suku
Bajo pada malam hari adalah memancing. Warga Suku Bajo mempercayai bahwa memancing pada tengah malam akan
mendapatkan ikan lebih mudah, mereka memancing hanya menggunakan perahu
sederhana (getek) dan
tombak. Jika mereka tidak mendapatkan ikan mereka tidak boleh pulang dan
terpaksa harus tidur dalam getek tanpa selimut. Walau
bagaimana pun juga, Suku Bajo menjadi satu dari keberagaman suku di Indonesia.
Dengan segala keunikan yang dimilikinya, Suku Bajo memberikan pembelajaran
tersendiri bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.
Menurut Dick-Read (2008) bukti mutakhir bahwa para pelaut
Nusantara telah menaklukkan samudra jauh sebelum bangsa Eropa, Arab, Cina, dan
India memulai zaman penjelajahan bahari masih bisa ditelusuri. Karena
sejak abad ke-5 masehi, para pelaut Nusantara sudah mampu menyeberangi Samudra
Hindia hingga mencapai benua Afrika dan masih meninggalkan jejak nyata hingga
sekarang.
Pada abad VII masehi kerajaan Sriwijaya adalah kelompok
pertama pelaut Nusantara yang berhasil menyebarkan armadanya hingga daratan
Afrika. Pada zaman keemasan Sriwijaya, saat itu penguasa kerajaan membutuhkan
emas dalam jumlah besar dan mereka mendatangkan pasokan emas itu dari
pertambangan emas kuno yang ada di Zimbabwe. Ditambah bukti adanya banyak
penduduk Madagaskar pada masa lalu yang melakukan hubungan dengan Sumatra
Selatan semakin menguatkan asumsi bahwa angkatan laut Kerajaan Sriwijaya telah
berhasil menduduki tanah yang ditemukannya itu.
Para
petualang Nusantara ini tidak sekedar hanya singgah di dataran Afrika,
melainkan juga menetap dan meninggalkan banyak kebudayaan di seluruh dataran
yang berhasil disinggahinya. Banyaknya jejak pelaut Nusantara tersebut
meninggalkan kebudayaan diantaranya dengan ditemukannya teknologi, tanaman
baru, musik, dan seni yang pengaruhnya masih bisa dijumpai dalam kehidupan
masyarakat Afrika sekarang.
Bahkan,
tanaman ubi jalar, pisang raja, dan beragam jenis pisang yang hidup di daratan
Afrika Timur juga merupakan tanaman yang dibawa oleh penjelajah Indonesia yang
melakukan perjalanan ke Madagaskar, dan pada
waktu yang sama tanaman itu menyebar sampai Afrika Barat karena dibawa melalui
perjalanan darat melalui Somalia, Ethiopia Selatan, dan Sudan. Tanaman lain yang
disebarkan pelaut Indonesia khususnya Suku Bajo adalah sagu. Benarlah lirik
lagu lagu yang populer di kalangan masyarakat bahari “Nenek moyangku
seorang pelaut”.
Bagaimana Sriwijaya bisa menguasai lautan Nusantara di
wilayah seluruh Sumatra sampai Malaya sekarang adalah karena kebijaksanaannya
dalam merangkul Suku Bajo yang piawai dalam teknologi pembuatan kapal dan
strategi perang laut. Suku Orang Laut mendiami daerah muara
sunga-sungai dan hutan bakau di pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, dan
pantai barat Semenanjung Malaya. Waktu itu, Sriwijaya telah berhasil menjadi
kekuatan perdana dalam sejarah Nusantara yang mendominasi wilayah sekitar
perairan timur Pulau Sumatera, yang merupakan jalur kunci perdagangan dan
pelayaran internasional (sampai saat ini). Ia bergerak ke perairan Laut Jawa
untuk menguasai jalur pelayaran rempah-rempah dan bahan pangan hasil pertanian. Sriwijaya memanfaatkan Suku Bajo dengan sejumlah perahu
mereka di sepanjang pesisir Kepualau Riau di pintu masuk Selat Malaka untuk
menyerang target-target mereka di kawasan itu. Suku Bajo yang sejak dahulu dikenal sebagai pengembara laut
merupakan suatu kekuatan handal angkatan laur Sriwijaya (Dick-Read, 2005;
Hamid, 2015).
Tampaknya sudah sejak lama Suku Bajo menjalani kehidupan sebagai salah satu
pelaut handal yang tersebar dari ujung ke ujung kepulauan Indonesia. Mulai dari
Kepulauan Mentawai di lepas pantai Barat Pulau Sumatra hingga Papua di sebelah
Timur. Pengembaraan mereka mencari teripang dan berbagai hasil laut bahkan
sampai di Pantai Utara Australia (Illous dan Grange, 2013). Eksistensi mereka
ditandai dengan perjalanan mengarungi lautan dan erat kaitannya dengan suku bangsa pelaut lain, seperti: Suku Bugis,
Mandar, dan Buton, Keberadaan mereka pada masa sekarang mencerminkan kehidupan
pada masa lalu, sehingga dapat dipastikan bahwa mereka telah memiliki prasyarat
untuk menjadi angkatan laut Kerajaan Sriwijaya (Dick-Read, 2008). Lebih lanjut dikatakan bahwa nenek moyang
Suku Bugis dan Bajo merupakan tulang punggung angkatan laut Sriwijaya, demikian
juga keterkaitan Bahasa Bugis/Bajo dengan Madagaskan (Armada Dagang dari
Makassar pen...) dan lebih luas lagi sampai dengan Pantai Timur Afrika.
Kekuatan dan wilayah Sriwijaya begitu luas, maka pada
abad X untuk mengelilingi wilayah kekuasaannya memerlukan waktu dua tahuan
dengan menggunakan perahu layar yang cepat (Hamid, 2015). Kemampuan untuk menguasai
laut itu menurut Lapian (2009) hanya dimungkinkan bila didukung oleh angkatan
laut yang kuat, tenaga, armada, dan perlengkapan yang diperoleh dari Suku Bajo
yang loyal kepada Sriwijaya. Peranan Suku Bajo sebagai kekuatan pertahanan
Sriwijaya sangat ditakuti oleh kapal asing, mereka bukan bajak laut, karena
berada di bawah Koordinasi Pimpinan Kerajaan Sriwijaya.
Kerjaan Sriwijaya tidak mampu menjaga keseimbangan antara
kekuatannya sebagai negara maritim dan kemampuan mengembangkan daerah belakang dalam
arti optimalisasi potensi agraris, sehingga ia tak bertahan lama. pengalaman
sejarah menunjukkan bahwa kota pelabuhan harus ditopang oleh hasil pertanian
yang menjadi komoditas unggulan dari wilayah pedalaman. Ketangguhan
agraria dan maritim adalah pilar-pilar utama untuk kejayaan Nusantara.
2.
Masa Kerajaan Singasari
dan Majapahit
Ketangguhan
agraris dan maritim pertama kali ditunjukkan oleh Singhasari di bawah
pemerintahan Kertanegara pada abad ke-13. Dalam Kakawin (babad, cerita, kitab)
Negarakertagama Kertanegara telah mendengungkan perluasan cakrawala mandala ke
luar Pulau Jawa, yang meliputi daerah seluruh dwipantara. Dengan kekuatan
armada laut yang kuat, pada
tahun 1275 Kertanegara mengirimkan ekspedisi bahari ke Kerajaan Melayu dan
Campa untuk menjalin persahabatan agar bersama-sama dapat menghambat gerak maju Kerajaan Mongol ke
Asia Tenggara. Tahun 1284, ia menaklukkan Bali dalam ekspedisi laut ke timur.
Dua pilar utama kekuatan agraris dan maritim telah membawa Kertanegara
menaklukkan: Pahang, Melayu, Gurun (Indonesia Timur), Bakulapura (Kalimantan),
Sunda, Madura, dan seluruh Jawa. Sekalipun lautan menjadi perhatian utamanya,
Kertanegara tidak pernah lupa daratan, ia memperkuat sektor agrarianya.
Meskipun tidak banyak sumber tertulis tentang keterlibatan
Suku Bajo pada Zaman Singasari, tetapi ekspansi lautnya pada akhir abad ke-13
ke Indonesia Timur bertepatan dengan persebaran Suku Bajo ke wilayah ini,
sehingga dapat diduga bahwa kurir militer dan nakhoda yang mengangkut armada
militer diambil dari Suku Bajo.
Puncak kejayaan bahari tercapai pada abad ke-14 ketika
Majapahit menguasai seluruh Nusantara bahkan pengaruhnya meluas sampai ke
negara-negara tetangganya. Kerajaan Majapahit di bawah Hayam Wuruk, dan Gajah
Mada telah berkembang pesat menjadi kerajaan besar yang mampu memberikan
jaminan bagi keamanan perdagangan di wilayah Nusantara. Penyatuan Nusantara
oleh Majapahit melalui ekspedisi bahari dimulai tak lama setelah Mahapatih
Gajah Mada mengucapkan sumpah Palapa yang terkenal itu pada tahun 1334.
3.
Masa Kerajaan Malaka/Johor
Suku (Orang)
Laut adalah suku yang berada di pesisir sepanjang kepulauan Riau. Beberapa
sejarah mencatat bahwa Suku Bajo ini terbentuk dari lima periode kekuasaan.
yakni (1) masa Batin
(kepala klan), (2) Kesultanan
Melaka-Johor dan Riau-Lingga, (3) Belanda (1911-1942), (4) Jepang (19421945), dan (5) Republik
Indonesia (1949 sampai sekarang) (Chou, 2003:25). Adapula yang menyatakan
bahwa Suku Bajo ini asalnya adalah para perompak yang memiliki pengaruh kuat
pada masa kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor.
Orang Bajo sebenarnya tidak suka disebut “Bajo” sebab sebutan itu
dulu digunakan oleh orang luar Bajo untuk mengejek. Mereka lebih senang di
sebut “Orang Sama” sedangkan mereka menyebut orang darat (luar Bajo) sebagai
“Orang Bagai”. Hal lain yang
tidak banyak diketahui orang adalah tentang awal keislaman mereka. Masyarakat
Bajo menerima Islam dari Malikulsaleh. Sultan Aceh Abad ke-13 itu menolong moyang Orang Bajo saat
terusir dari negerinya (Johor & Malaka). Mereka juga sangat berjasa pada
pernyiaran Islam di Sulawesi (Bone, Gowa, Buton, Bima, dan
maluku). Orang-orang Bajo dipercaya oleh Malikulsaleh untuk
menjadi prajurit armada laut, mengantar para penyiar Agama Islam ke pulau-pulau belahan timur dan menjadi awak
perahu dan nahkoda para pedagang Islam. Pertemuan mereka dengan Sultan Malukulsaleh, penyiar
Islam dan pedagang Islam itu yang menjadikan orang Bajo menerima Islam sebagai
kepercayaan bersanding dengan kepercayaan asali mereka.
Pada 1699 Sultan Mahmud Syah, keturunan terakhir wangsa
Malaka-Johor terbunuh. Orang Laut menolak mengakui wangsa Bendahara yang naik tahta sebagai sultan Johor yang baru, karena
keluarga Bendahara dicurigai terlibat dalam pembunuhan tersebut. Ketika pada
1718 Raja
Kecil, seorang petualang Minangkabau mengklaim hak atas tahta Johor, Orang Laut memberi
dukungannya. Namun dengan dukungan prajurit-prajurit Bugis kepada Sultan Sulaiman Syah dari wangsa Bendahara
berhasil merebut kembali tahta Johor. Dengan bantuan orang-orang Laut (orang
suku Bentan dan orang Suku Bulang) membantu Raja Kecil mendirikan Kesultanan Siak, setelah terusir dari Johor.
Saat Belanda bermaksud menyerang Johor yang mulai bangkit
menyaingi Malaka yang pada abad ke-17 direbut Belanda, maka Sultan Johor
mengancam untuk memerintahkan Orang Laut untuk menghentikan perlindungan mereka
pada kapal-kapal Belanda. Pada abad
ke-18 peranan Orang Laut sebagai penjaga Selat Malaka pelan-pelan digantikan oleh suku Bugis.
C.
Peran Suku Bajo pada Zaman
Penjajahan Belanda
Pada abad ke-16 dan 17, zaman keemasan bajak laut (pirate) yaitu para perampok
di laut yang bertindak di luar segala hukum. Kata pirate berasal dari bahasa
Yunani yang berarti ‘yang menyerang’, ‘yang merampok’. Dalam Bahasa Indonesia
dan Melayu sebutan lain untuk bajak laut, lanun, berasal dari nama lain salah
satu suku maritim di Indonesia dan Malaysia. Tujuan mereka tidak bersifat politik, mereka mencari keuntungan
sendiri dan tidak melayani siapapun kecuali di bawah bendera Jolly Roger
(bendera bajak laut). Bisa dikatakan bahwa sejarah pembajakan terjadi secara
bersamaan dengan sejarah navigasi. Di mana terdapat kapal-kapal yang mengangkut
dagangan, muncul bajak laut yang siap memilikinya secara paksa.
Pembajakan
ternyata juga banyak terjadi di perairan Nusantara pada masa dahulu. Tepatnya pada tahun 1666
terjadi perompakan yang menimpa sebuah perahu VOC yang sedang berlabuh di Bandar Surabaya.
Oleh para pembajak setelah perahu dirusak kemudian dibakar. Akibat kejadian itu
maka VOC mengumumkan akan memberi hadiah uang kepada siapa pun yang dapat
menangkap perompak yang ternyata bernama Intjeh Cohdja. Barang siapa yang
menangkap dalam keadaan hidup akan mendapatkan imbalan sebesar 100 ringgit,
sedang untuk menangkap dalam keadaan mati diberi hadiah 50 ringgit. Sementara
itu, jika dapat menangkap anak buah dari Intjeh Cohdja dalam keadaan hidup
dihadiahi 10 ringgit, sedang dalam keadaan mati sebesar 5 ringgit. Bagi siapa
saja yang dapat merampas perahu dari Intjeh Chodja, diperbolehkan memiliki
perahu itu beserta muatannya (Tjiptoatmodjo dan Frasiscu Assisi Sutjipto, 1983).
Sumber VOC
tahun 1685 juga menyebutkan bahwa di Surabaya dan di daerah-daerah lainnya di
ujung Timur pulau Jawa (Oosthoek) tersiar nama seorang bajak laut yang terkenal
bernama Wassingrana. Singkat cerita bajak laut itu beserta anak buahnya dari
Makasar bernama “Winantacca” berhasil ditangkap dan dihukum mati oleh bupati
pantai kawasan tersebut. Setelah tewasnya pembajak-pembajak itu, para bupati
mengharapkan keadaan pantai dan pelayaran menjadi aman kembali, karena selama
itu para bajak laut banyak mengganggu pelayaran dan kerapkali merampok dan
membunuh rakyat kecil. Akan tetapi,
walaupun terus diburu dan ditangkap, kasus pembajakan tidak pernah berhenti.
Hal itu yang membuat perahu dagang harus dikawal oleh perahu perang terutama
apabila akan melewati tempat-tempat yang diduga menjadi sarang bajak laut.
Contohnya, Pulau Bawean yang pada masa dahulu kerap kali digunakan sebagai
tempat bersembunyi bajak laut dari berbagai suku bangsa, seperti orang Bugis,
Madura, Melayu, Bajo dan lainnya.
Pada abad ke-18 pantai Blambangan juga masih sering digunakan untuk tempat
persembunyian bajak laut Orang Bugis.
Pada tahun 1758 perahu Inggris tiba di pantai selatan Lumajang, dalam
rangka perjalanan dari Bengkulu menyusuri pantai selatan pulau Jawa untuk
seterusnya mengitari ujung Jawa Timur, dan kemudian akan menuju ke barat ke
arah Batavia, tiba-tiba perahunya dibajak dan dibakar (Tjiptoatmodjo dan
Frasiscu Assisi Sutjipto, 1983). Suku Samal yang diidentikkan dengan Suku Bajo
yang bermukim diantara Sulawesi dengan Mindanao, mereka ini gemar perperang,
memiliki perahu besar sejenis kora-kora. Pada tahun 1847 kapal uap
Inggris Nemesis bertemu dengan armada yang terdiri dari 40 hingga 60
kapal perompak berjenis tersebut (Dick-Read, 2008).
Menurut Grange dalam
Illous dan Grange (2013) pada bulan Juni 1824 tujuh puluh kapal yang
berisi orang-orang dari Papua dan Seram muncul di sekitar Banyuwangi dan pada
waktu bersamaan Kepulauan Kangean juga dihinggapi kekhawatiran akan armada yang
sama, akan tetapi angkatan laut Belanda mengejarnya, sehingga mereka segerah
meningglkan tempat itu. Serangan-serangan berulang kali dilakukan oleh oknum
Muslimin yang hidup dari perompakan, mendorong pemerintah Kolonial bertindak
untuk membersihkan laut Jawa dan pulau-pulau di sebelah timur dari perompak
yang mencemaskan.
Berdasarkan Lontarak Assalenna Bajo (Lontarak Asal-Usul Suku Bajo) menyatakan
bahwa sesaat setelah Arung Palakkan (Raja Bone) bergelar Petta to RisompaE mengalahkan
Gowa pada tahun 1667. Pada saat bersamaan masuknya di Bone Petta to RisompaE,
saat itu pulalah awal ikutnya sebagian Orang Bajo termasuk para Bangsawan
Bajo ikut mengantar
baginda Aru Palakka masuk di Bone.
Pada saat diserang Gowa, semua orang Bajo berada di pulau yang ditengah
berkumpul, di situlah mereka mendengar berita Petta to RisompaE bersiap
berangkat masuk ke Bone, Orang Bajo bertukar-pikiran dan kesepakatannya
berlayar masuk ke Gowa untuk menjemput Petta to RisompaE, sebab setelah
tunduknya Kerajaan Gowa dari baginda Petta to RisompaE, maka Bone lagi yang
besar (Anwar, 2000).
Setelah beberapa bulan beberapa tahun menetapnya di Bone Petta to RisompaE,
datang lagi Kompeni Belanda sepakat dengan Inggris bermaksud mengambil simbol
kebesaran Kerajaan Bone yang disebut “SudengngE”, namun ditentang oleh Petta
MatinroE Rirompegading, dan memarahi utusan Belanda dan dilempari juga juru
bicara derngan tempat ludah, sehingga merah
semua bajunya, setalah utusan sampai di Ujung Pandang (Makassar) berkatalah
Pembesar Ujung Pandang bahwa tidak pernah ada sebelum ini Kompeni dipermalukan oleh
orang kulit hitam.
Untuk menghadapai Belanda dan Inggris, maka Petta PonggawaE (Panglima
Perang Kerajaan Bone) berusaha untuk memobilisir masyarakat nelayan dan sudah
datang pula Lolo Bajo, mereka berkumpul di rumah Syahbandar, disampaikanlah
oleh Petta PonggawaE perlakukan orang Inggris, berkata Petta PonggawaE kepada
Lolo Bajo bahwa sudah taqdir kita dari Tuhan Lolo sehingga kita bisa bertemu di
sini akibat perbuatan orang Inggris,
Diharapkan juga
Lolo memerintahkan untuk mempersiapkan tanda pengabdian masyarakat nelayan
untuk membuat benteng sekarang juga, dengan menebang pohon kelepa, jangan ada
yang tersisa siapapun yang pemiliknya tebang semua. Berkata Petta PonggawaE
inilah yang saya sampaikan kepada semua masyarakat nelayan, atau engkau Lolo
Bajo, atau engkau Ponggawa Bajo jangan sampai
ada yang cedera.
Berkata lagi Daeng Matteruu datang dari Bone diperintahkan menyampaikan
kepada Ilolo bahwa diharapkan Lolo untuk mempersiapkan perahu empat buah
dilengkapi persenjataan dan Lolo diharap juga memerintahkan mereka ke Sinjai
melihat kapal orang Inggris (Anwar, 2000).
Dalam Perkembangan selanjutnya Kerajaan Bone terlibat Perang Melawan
Belanda selama 3 kali, dan pusat pertahanan Kerjaan Bone di Bajoe yang terletak
pesisir pantai Timur dan merupakan pusat pemukiman Suku Bajo, sehingga
pemerintah Kerjaan Bone selalu menempatkan Suku Bajo sebagai pasukan terdepan
melawan Belanda.
Besar dugaan diantara bajak laut yang dipimpin oleh Orang Bugis-Makassar
itu terdapat pula Suku Bajo, karena mereka kerap hidup berdampingan dengan Suku
Bugis-Makassar, seperti di Perairan dan pulau-pulau sekitar Makassar, di Bajoe
(Bone), dan di Pulau Bawean. Menurut Sacot (2008) Orang Bugis dan Orang Bajo
bersaudara, Orang Bugis menjadi kakak laki-laki dan Orang Bajo menjadi adik
perempuan. Sumber lain menyatakan bahwa anak Raja Bajo menikah dengan anak Raja
Bugis, sehingga kedua suku ini tidak boleh berperang. Apalagi Orang Bajo Gowa
adalah tangan kanan Raja Bone.
Pada
abad ke-18 peranan Orang Laut sebagai penjaga Selat Malaka untuk Kesultanan Johor-Riau pelan-pelan digantikan oleh Suku Bugis (Jamil, 2010).
Pemerintah Kolonial Belanda mencatat beberapa aksi
serangan perompak (bajak laut) di Kepulauan Kangean pada paruh pertama abad
XIX. Meskipun Nuraini menolak anggapan Suku Bajo sebagai bagian dari bajak
laut, tetapi jika merujuk pada kekerabatannya dengan Suku Bugis, yang disisi
lain seriang menjadi sasaran perompakan, tetapi pada kesempatan lain terdapat
Suku Bugis yang terlibat dalam aksi perompakan di laut.
Suatu hal yang menirik dari pernyataan Grange tersebut
tentang kata serangan onum Muslimin, sehingga bisa dipandang sebagai suatu
bentuk perjuangan menyebarkan agama islam dan perjuangan melawan Kolonial
Belanda. Jika hipotesis ini benar bahwa diantara suku yang sering terlibat
dalam perompakan adalah umumnya bergama Islam, sehingga mereka berjuang
mengusir penjajah Belanda karena melanggar kedaulatan mereka dan menghambat
penyiaran Islam.
Salah satu bentuk perlawanan Suku Bajo terhadap Belanda,
mereka tidak mau membayar pajak, dan untuk pertama kalinya mereka mebayar pajak
yang disebut kasudia pada tahun 1916. Pajak ini dikumpulkan Kapita
salah satu jabatan dalam struktur sosial Suku Bajo, kemudian Kapita
menyerahkan kepada Raja Bone dan semua Suku Bajo yang ada di Sulawesi berbuat
demikian (Zacot, 2008). Kenyataan ini membuktikan kedekatan Suku Bajo dengan
Suku Bugis khususnya Kerajaan Bone.
Orang Bajo sangat antipati terhadap Orang Tobelo (dari
Maluku) dan menyamakannya Orang Mindanao dari Philipina Selatan sebagai bajak
laut yang sering mengganggu pemukiman mereka (Zacot, 2008). Beberapa sumber
menyatakan bahwa Orang Tobelo yang dimpimpin oleh Labolontio merupakan bajak
laut yang sering beroperasi di beberapa pulau dan sepanjang pesisir pantai timu
Pulau Sulawesi di mulai dari Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara sampai Sulawesi Selatan, akan tetapi pemimpin mereka bernama
La Bolontio sekitar tahun 1537 berhasil dibunuh oleh Lakilaponto, beberapa orang pasukan La Bolontio juga ikut tewas, dan sebagian lainnya melarikan diri. Tewasnya
La Bolontio sebagai pemimpin Bajak Laut yang selalu mengganggu perairan Sultra
terjadi pada saat pertempuran sengit di Boneatiro pantai Barat Pulau Buton (Anwar, 2009).
Tewasnya La Bolontio, sebagai pemimpin bajak laut, untuk
beberapa waktu memberi ketentraman kehidupan wilayah perairan Nusantara bagian
Timur, termasuk suasana kehidupan sosial ekonomi Suku Bajo, sehingga mereka
dapat dengan bebas kembali mengarungi Perairan Nusantara termasuk aktivitas
pelayaran dan perdagangan antara Sulawesi dengan Sumatra dan wilayah Perairan
Selat Malaka pada umumnya. Pelayaran mereka dari Sulawesi dilakukan
bersama-sama dan atau beriringan dengan suku bangsa pelaut lainnya, seperti:
Bugis-Makassar, Buton, dan Mandar.
Kebebasan para pelayar Nusantara sebelum datangnya
Imperialisme, merasa terganggu setelah datangnya Portugis, Spanyol dan Belanda.
Gangguan utama muncul ketika VOC memaksanakan kehendak untuk melakukan monopoli
dagang di sertiap kerajaan yang ada di Nusantara yang sebelumnya telah menjadi
mitra dagangan Suku Bajo bersama Suku Bugis-Makassar, Buton, dan Mandar.
Kondisi ini membuat sebagian pelayar ini termasuk Suku Bajo, sering melakukan
perlawanan terhadap aktivitas pelayaran VOC terutama di wilayah perairan,
sehingga dianggap sebagai perompak/bajak laut. Bagi pelayar Bajo, reaksi ini
merupakan suatu bentuk perjuangan mempertahankan eksistensi mereka di wilayah
ini, karena secara historis-kultutal wilayah perairan Nusantara menjadi wilayah
penguasaannya karena telah menjadi tanh dan air yang diwariskan oleh nenek
moyang mereka.
D. Peran Suku Bajo pada Masa Republik Indonesia
Berbagai kajian dan publikasi tentang upaya pemberdayaan
Suku Bajo diantaranya dilakukan oleh Kemenko PMK yang melaksanakan seminar on Bajo SEA NOMAD in Asia - Pacific
yang bertajuk "Maritime Culture and Best Practices in the Management of
Fisheries Resources" tahun 2015. Dalam kesempatan itu
Menko PMK menyatakan hari ini kita hadir
untuk berdiskusi dan saling berbagi ilmu serta pengalaman untuk menunjukkan
tekad kita yang mau bergotong royong menghadirkan negara dalam upaya membangun
kembali kearifan lokal milik Suku Bajo demi menyejahterakan masyarakatnya. Kita
tentu berharap agar pembangunan berkelanjutan juga dapat dinikmati oleh Suku
Bajo terutama kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat, agar mereka
tidak jadi orang yang tertinggal di negaranya sendiri (Anonim, 2015a).
Suku Bajo memiliki pemahaman mendalam terhadap
pengelolaan sumber daya alam baik di darat maupun di laut dalam lingkungan
mereka tinggal. Suku Bajo memiliki pula pengetahuan dan
kearifan lokal mengenai pengelolaan kekayaan sumber daya alam terutama potensi
kelautan dan perikanan. Namun, di sisi lain, Suku Bajo justru menjadi kelompok
yang paling rentan terutama dalam soal mata pencaharian dan ketersediaan sumber
makanan. Kearifan lokal yang dimiliki Suku Bajo dalam menjaga kelestarian
ekosistem laut sudah sepatutnya diimbangi dengan tepat dalam upaya pemberdayaan masyarakatnya.
Budaya
maritim yang baik milik Suku Bajo diharapkan pula dapat ditularkan oleh
suku-suku lain di Indonesia terutama mereka yang mendiami wilayah pesisir laut
dan pulau-pulau terpencil serta terluar di wilayah NKRI. Suku Bajo tengah
diupayakan menjadi proyek percontohan bagaimana menciptakan masyarakat
yang sejahtera sekaligus memelihara kehidupan laut yang terpelihara dengan
baik dalam memiliki nilai
jual kepariwisataan.
Suku Bajo mahir menangkap ikan, tetapi
ketangkasan mereka dalam menggunakan alat-alat penangkapan ikan, dapat
tersaingi dengan kehadiran kapal-kapal penangkap ikan dari luar yang memiliki
modal besar, sementara Suku Bajo sulit mengembangkan usahanya karena tidak
memiliki akases permodalan khususnya kredit perbankan yang harus memiliki
jaminan. Kondisi ini yang membuat Suku Bajo di Era Republik Indonesia ini sulit
berkembang, dan akses pemberdayaan berupa ketersediaan sarana pendidikan lambat
dipikirkan dan dilaksanakan oleh pemerintah disebabkan karena pemukiman mereka
di atas air dan cenderung berpindah-pindah. Kecuali di era reformasi ini mulai banyak program yang
dapat menjangkau kebutuhan pendidikan mereka berupa Program Paket A, Paket B,
Paket C, SD Kecil, SMP Satu Atap.
Meskipun tingkat pendidikan sekolah mereka rendah, tetapi secara
kultutal telah mengembangkan sistem pengetahuan yang tumbuh secara indigenous dalam berbagai aspek
kehidupan. Kemampuan baca tulis cukup tinggi demikian pula penguasaan bahasa
Indonesia, dan filsafat hidup yang dituangkan dalam ungkapan pantun dengan bait
yang begitu rapi, kesemuanya itu mencerminkan budaya belajar mereka cukup
tinggi. Kesenian (pantun, nyanyian yang mengandung nasehat dan pendidikan,
termasuk seni tari modero), potensi kesenian dapat dimanfaatkan sebagai media
dan sumber pembelajaran bagi anak Suku Bajo.
Masyarakat Bajo
dalam kehidupan sehari-hari menggunakan Bahasa Bajo, meskipun mereka umumnya
menguasai bahasa Indonesia, bahkan jika dicermati lebih jauh bahwa dalam proses
persebarannya, Orang Bajo memegang peranan penting dalam 4 hal, yaitu: (1) Penyebaran
Bahasa Melayu/Indonesia terhadap segenap suku bangsa di Nusantara. (2) penyebaran Agama Islam, seperti disebut di
atas bahwa Suku Bajo menjalin hubungan baik dengan Sultal Malikul Saleh,
sehingga ia mejadi pemeluk Islam dan selanjutnya dalam proses pengembaraannya
juga menyebarkan Islam, sebagai suatu fakta bahwa pada awal abad XX ketika
terbentuknya Kota Kendari, maka Imamnya dipilih dari Suku Bajo, (3)
Orang Bajo juga berjasa dalam penyebaran tanaman sagu yang terbukti hanya
dijumpai di wilayah-wilayah pesisir sekitar pemukiman masyarakat Bajo di
wilayah Asia Tenggara dan Pasifik, dimana sebagian Orang Bajo menjadikan sagu
sebagai makanan pokoknya, dan (4) Pensuplai protein hasil laut di berbagai wilayah Nusantara, dan
menjadi bahan komoditi ekspor unggulan Indonesia berupa berbagai jenis ikan,
teripang, rumput laut dan mutiara.
Selain potensi
positif tersebut di atas, juga terdapat beberapa potensi yang dapat berpengaruh
negatif, yaitu: (1) sikap konsumtif, (2) tingkat pendidikan (sekolah) rata-rata
rendah, (3) manajemen keuangan keluarga lemah, dan (4) ketergantungan aktivitas
perempuan terhadap hasil kegiatan suami melaut.
Dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi beberapa
perubahan dalam kehidupan sosial Suku Bajo, yaitu: (1) ketersediaan sarana
pendidikan disekitar pemukiman mereka, sehingga tingkat partisipasi mereka
dalam pendidikan formal semakin meningkat, (2) kecenderungan bermukim dipantai
mulai meningkat, sehingga mereka dengan mudah memperoleh akses informasi inovasi
dalam berbagai dimenasi kehidupan dengan cepat dan maksimal, (3) terbentuknya
organisasi sosial Kerukunan Keluarga Masyarakat Bajo (Kekar Bajo) muali
dari tingkat Kabupaten/Kota sampai tingkat nasional dan Internasional. Wadah
ini membuat Suku Bajo memiliki daya tawar politik yang kuat, sehingga mereka
dapat mendudukkan perwakilannya di DPRD dan birokrasi pemerintahan di tingkat
lokal, khususnya di kawasan Timur Indonesia.
E. Penutup
Sejarah membuktikan bahwa tiga zaman Suku Bajo menguasai perairan Nusantara. Diawali ketika Suku Bajo menjadi
bagian inti dari Angakatan laut Kerajaan Sriwijaya, disusul mendukung perluasan
kekuasaan Kerajaan Majapahit ke wilayah Timur Nusantara, sekaligus menandari
persebaran Suku Bajo di wilayah ini. Pada zaman Kolonial Belanda, merasa
terusik atas peran pelayar Belanda yang dianggap mengganggu eksistensi
kehidupan Suku Bajo bersama dengan suku bahari lainnya dari Kawasan Timur
Nusantara, seperti: Bugis, Buton, dan Mandar. Berbagai kesempatan Suku Bajo
bersama dengan Suku Bugis terlibat perjuangan melawan Belanda di wilayah
perairan Nusantara, sehingga bagi Kolonian Belanda rekasi ini disebut
perompakan, namun dari pihak pelayar Nusantara merupakan bentuk perjuangan
dalam mepertahankan dominasi perdagangan dan upaya penyebaran Islam di wilayah
Nusantara mulai dari perairan Selat Malakan, Pesisir Pantai Pulau Jawa,
Perairan Sulawesi, Maluku sampai Mindanao.
Masa keemasan Suku Bajo itu tinggal sejarah, negeri ini tidak
belajar dari apa yang dilakukan para leluhur. Kejayaan bangsa tertutup potret
kemiskinan yang melanda rakyat negeri ini, khususnya Suku Bajo. Kecintaan kepada laut juga
semakin dangkal, rasa keberpihakan negara terhadap dunia maritim pun lemah, padahal,
budaya maritim adalah roh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan
jutaan penduduk tersebar di ribuan pulau.
Meski kini
sudah hadir Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), namun orientasi
pembangunan negara masih terfokus di sektor darat. Bahkan, sejumlah kalangan masih menganggap sektor kelautan
merupakan sebuah beban dibandingkan aset berharga. Demikian, semoga kejayaan bahari masa lalu membuat kita menghargai
lautan dan sekitar 17.580 pulau-pulau yang menyusun Nusantara.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2015a. Suku (Orang) Laut, Kepulauan Riau. http://mazmuzie.blogspot. co.id/2015/04/suku-orang-laut-kepulauan-riau.html. Akses, 9 Oktober 2017.
Anonim. 2015b. Kemenko PMK Gelar Seminar
tentang Suku Bajo- October 20, 2015. https://www.kemenkopmk.go.id/artikel/kemenko-pmk-gelar-seminar-tentang-suku-bajo-0. Akses, 15 Oktober 2017.
Anonim. 2017. Suku Laut. https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Laut. Akses, 15 Oktober 2017.
Anwar. 2000. Lontarak
Assalenna Bajo (Lontarak Asal-usul Suku Bajo). Jakarta: Program Penggalakan
Kajian Sumber-sumber Tertulis Nusantara Ditjen Dikti Depdiknas.
Anwar. 2003. Pelayaran Niaga
Orang Buton Pada Abad Xx. Dalam Jurn l Pendidikan dan Kebudayaan.
Jakarta: Balitban Dikbud.
Anwar. 2009. Haluoleo dalam Berbagai Persepsi. Kendari: Unhalu Press.
Chijs, J.A. van der, 1886. Nederlandsch-Indisch Plakaatboek. Batavia’s Gravenhage.
Dick-Read, Robert. 2008. Penjelajahan
Bahari (Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika). Bandun: PT Mizan
Pustaka.
Fahmialinh. 2016. Islam Bajo, Agama Orang Laut. July 22, 2016. https://fahmialinh.wordpress.com/category/budaya-islam-nusantara/. Akses, 9 Oktober 2017.
Hamid, Abd. Rahman. 2015. Sejarah Maritim
Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Illous, Charles dan Grange, Philippe. 2013. Kepulauan
Kangean: Penelitian Terapan untuk Pembangunan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
bekerja sama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO) Universite de La
Rochelle.
Jamil, O.K. Nizami. 2010. Sejarah Kerajaan Siak. Siak Sri
Indrapura: Lembaga Warisan Budaya Melayu Riau.
Kee Long, So
(September 1998). "Dissolving Hegemony or
Changing Trade Pattern? Images of Srivijaya in the Chinese Sources of the
Twelfth and Thirteenth Centuries".
Journal of Southeastasian Studies. Diakses tanggal 16 Oktober 20173.
Lapian, Adrian B. 2008. Pelayaran dan
Perniagaan usantara. Jakarta: Komunitas Bambu.
Lapian, Adrian B. 2009. Orang Laut-bajak
Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasa Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta: Komunitas
Bambu.
Rangkuti,Syahnan. 2015. MengenalTanjungButon. Kompas.com - 16/11/2015. Akses, 9 Oktober 2017.
Satyana, AwangHarun. 2017.
BudayaBahari Nusantara. https://tektonesiana.org/awangs-memoirs/031-budaya-bahari-nusantara/. Akses, 9 Oktober 2017.
Satyana, Awang Harun. 2017. Budaya Bahari Nusantara. https://tektonesiana.org/awangs-memoirs/031-budaya-bahari-nusantara/. Akses, 9 Oktober 2017.
Tjiptoatmodjo, Frasiscu Assisi Sutjipto, 1983. Kota-kota Pantai di Sekitar Selat
Madura (Abad XVII sampai Medio Abad XIX), Yogyakarta: Disertasi Ilmu
Sastra Universitas Gadjah Mada.
Vanleur, J.C. 2015. Perdagangan dan
Masyarakat Indonesia: Esai-esai tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia.
Yogyakarta: Ombak.
Virginia
Matheson Hooker (2003). "A Short History of Malaysia: Linking East
and West". Allen &
Unwin. – via Questia
(perlu langganan)
Zacot, Francois-Robert. 2008. Orang Bajo: Suku Pengembara Laut.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia-Forum Jakarta-Paris.
TIGA ZAMAN SUKU
BAJO MENGUASAI PERAIRAN NUSANTARA
(Sejak Kerajaan
Sriwijaya, Majaphit, sampai Republik Indonesia dan Dari Selat Malaka sampai
Mindanao)
Oleh:
FKIP Universitas Halu Oleo Kendari
Makalah
Disajikan pada Seminar Nasional Sejarah III yang diselenggarakan
FKIP Universitas Sriwijaya pada tanggal 28 Oktober 2017
di Palembang
PANITIA SEMINAR NASIONAL SEJARAH III
PALEMBANG
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar