Rabu, 03 Juni 2020

INTEGRASI TRIDISI LISAN KOMUNITAS BAHARI DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH DALAM RANGKA PENGEMBANGAN KARAKTER SISWA




INTEGRASI TRIDISI LISAN KOMUNITAS BAHARI DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH DALAM RANGKA PENGEMBANGAN KARAKTER SISWA








Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd




Makalah
Disajikan Dalam Konferensi Nasional Sejarah X dan
Kongres Masyarakat Sejarawanindonesia
Tema:
“Budaya Bahari
dan Dinamika Kehidupan Bangsa dalam
Perspektif Sejarah
” di Jakarta, 7-10 November 2016


                                    

PANITIA KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X DAN
KONGRES MASYARAKAT SEJARAWANINDONESIA (MSI)
JAKARTA
2016



Judul Makalah:
INTEGRASI TRIDISI LISAN KOMUNITAS BAHARI DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH DALAM RANGKA PENGEMBANGAN
KARAKTER SISWA

Oleh: Anwar Hafid

ABSTRAK
Mencermati kehidupan konteks masa kini, maka perlu menengok kejayaan masa lalu dalam budaya bahari, sehingga dapat menjadi penyemangat dalam membangun Indonesia di berbagai dimensi kehidupan berbasis budaya bahari. Dewasa ini semangat kebaharian cenderung melemah, menyebabkan sumber daya laut Indonesia yang melimpah hilang begitu saja. Sementara itu kejayaan budaya bahari bangsa Indonesia pada masa lalu bukanlah cerita asing di kalangan generasi tua. Akan tetapi, kejayaan masa lalu itu hanya sampai sebatas kenangan bagi orang tua, sementara itu generasi muda sekarang berpaling makin jauh dari visi kebaharian, meskipun sebagai cucu para pelaut ulung yang pernah disegani berbagai bangsa di dunia.
Peran kebaharian Masyarakat Indonesia telah lama dan masih terekam dalam tradisi lisan berupa: nyanyian, pantun, cerita, dan mantra. Tradisi tersebut antara lain ditemukan dalam latar komunitas bahari seperti: Suku Buton, Bajo, Bugis-Makassar, dan Mandar di Kawasan Timur Indonesia. Generasi muda tidak bisa dibiarkan melupakan sejarah keunggulan nenek moyang di bidang kebaharian, karena generasi muda memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari pada elemen masyarakat lainnya untuk ikut mewujudkan kehidupan masyarakat yang cinta bahari. Untuk itu, generasi muda harus diberi pemahaman peradaban bahari dan potensi kelautan dalam peningkatan sumber daya ekonomi lewat pendidikan. Selama ini pembangunan terhadap peradaban bahari seolah-olah ditinggalkan, sehingga keberadaan pulau-pulau terluar dan pulau kecil sering diabaikan. Dengan demikian perlu kajian pembelajaran sejarah yang berkaitan dengan penguatan karakter bangsa dan pemahaman visi kebaharian dari berbagai komunitas bahari.
Pendidikan bermuatan kebaharian dapat diberikan melalui integrasi muatan tradisi lisan tentang kebaharian dalam pembelajaran IPS/Sejarah di SD, SMP, dan SMA. Keberadaan muatan kebaharian merupakan manivestasi investasi jangka panjang yang dapat mengangkat citra bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari. Pembelajaran bermuatan kebaharian diharapkan mampu membangun sikap dan wawasan anak didik sebagai bangsa bahari. Pengembangan kurikulum kebaharian melalui pembelajaran tradisi lisan di sekolah merupakan bagian dari respon terhadap kebijakan pemerintah, dimana kelautan menjadi faktor yang penting dalam mendukung pembangunan khususnya di sektor ekonomi. Akhirnya melalui pembelajaran IPS/Sejarah, maka rasa cinta dan karakter kebaharian akan tumbuh dan berkembang serta diharapkan mampu menanamkan image positif tentang kelautan pada diri anak yang kelak akan menjadi generasi penerus masa depan bangsa.


A.  Pendahuluan
Letak geografis dan keadaan alam Indonesia terutama di Kawasan Timur Nusantara yang terdiri atas gugusan pulau, menyebabkan masyarakatnya sebagian hidup dari laut baik sebagai nelayan maupun sebagai pelayar niaga. Masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau seperti Komunis Buton, Bajo, Bugis-Makassar dan Mandar merupakan masyarakat maritim dan secara turun-temurun telah mewariskan kearifan berlayar, menangkap ikan, dan berdagang kepada anak cucunya melalui tradisi lisan  dalam bentuk: cerita  rakyat, pantun, lagu, dan ungkapan filosofi hidup. Mereka mengembangan learning community (pendidikan informal dan pendidikan nonformal)  dengan bahan belajar dikemas dalam tradisi lisan sekaligus langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga memudahkan peserta didik (anak/keluarga, dan sawi) untuk mengadopsinya. Output pembelajaran ini dipandang cukup efektif karena berhasil menempatkan Indonesia sebagai masyarakat maritim yang disegani di dunia karena mereka berhasil mengarungi laut dan samedera yang luas.
Seiring dengan berkembangnya sistem pendidikan formal dalam lingkungan komunitas maritim ini, maka muatan kearifan lokal dalam dimensi kemaritiman pada pendidikan informal dan nonformal mengalami penurunan. Pendidikan formal yang diharapkan dapat lebih mengembangkan nilai-nilai karakter positif dari kearifan lokal belum mampu untuk mentransfer dalam pembelajaran termasuk dalam bentuk integrasi sekalipun, sehingga anak-anak dari komunitas maritim seakan mereka tercabut dari akar budayanya yang kemudian berdampak terhadap menurunnya sikap dan minat kebaharian masyarakat Indonesia termasuk anak dari komunitas bahari.   
Mencermati fenomena tersebut, maka pendidikan formal harus mampu mengakomodir nilai-nilai lokal tersebut yang masih berserakan dalam bentuk tradisi lisan dari berbagai jenisnya. Artinya perlu mengakomodir kebutuhan lokal yang ada di sekitar peserta didik. Upaya mengakomodir kebutuhan lokal tersebut, maka Kemendikbud mengeluarkan Permen No. 79 Tahun 2014 Tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013 Pasal 1 menyatakan bahwa muatan lokal adalah bahan kajian atau mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal.
Pasal 2 (1) Muatan lokal merupakan bahan kajian atau mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal yang dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan dan kearifan di daerah tempat tinggalnya. (2) Muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajarkan dengan tujuan membekali peserta didik dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk: (a) mengenal dan mencintai lingkungan alam, sosial, budaya, dan spiritual di daerahnya; dan (b) melestarikan dan mengembangkan keunggulan dan kearifan daerah yang berguna bagi diri dan lingkungannya dalam rangka menunjang pembangunan nasional.
Muatan lokal dapat berupa: seni budaya, prakarya, pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan, bahasa, dan/atau teknologi. Muatan pembelajaran terkait muatan lokal berupa bahan kajian terhadap keunggulan dan kearifan daerah tempat tinggalnya, dapat  diintegrasikan antara lain dalam mata pelajaran tertentu.  Dalam konteks ini muatan lokal tradisi lisan, selain dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran: seni budaya, prakarya, pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan, juga diintegrasikan dalam Mata Pelajaran IPS SD/SMP atau Sejarah di SMA/MA/SMK.
Salah satu kearifan dan keuanggulan lokal yang tersimpan dalam bentuk tradisi lisan adalah dimensi kebaharian dalam arti luas. Dalam konteks ini telah berjalan sepanjang sejarah yang terungkap dalam pernyataan “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”, akan tetapi akhir-akhir ini cenderung mengalami kemunduran.
Salah satu upaya dalam membangun kembali semangat kebaharian bangsa Indonesia adalah dengan memasukkan konsep kebaharian dalam kurikulum pendidikan nasional, utamanya pada jalur pendidikan formal di tingkat pendidikan dasar (SD, SMP, MI, MTs), Pendidikan Menengah (SMA, SMK, MA) maupun pendidikan tinggi (PTN, PTS). Dengan masuknya materi kebaharian sebagai bagian integral dalam kurikulum pendidikan nasional, maka diharapkan mampu menanamkan image positif tentang kelautan pada diri anak didik yang kelak akan menjadi kader generasi penerus masa depan bangsa. Keberadaan pendidikan kebaharian merupakan manivestasi investasi jangka panjang yang dapat mengangkat citra bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari.
Pendidikan kebaharian mampu membangun sikap serta wawasan anak didik terhadap kondisi geografis Indonesia sebagai bangsa bahari dalam bentuk negara kepulauan yang terbesar di dunia. Dengan demikian wawasan dan pemahaman cinta bahari harus terus diajarkan dan dibiasakan sejak dini terhadap anak didik melalui pendidikan formal yang ada. Pengembangan budaya masyarakat bahari merupakan bagian dari respon terhadap kebijakan pemerintah tentang “Tol Laut”, menjadi faktor yang penting dalam mendukung pembangunan khususnya di sektor ekonomi. Muatan kebaharian adalah seperangkat informasi tentang berbagai aspek yang berhubungan dengan laut, yang harus ditempuh dan dikuasai, untuk mencapai suatu tingkat kemampuan tertentu.
Terdapat suatu alasan yang mendasar mengapa pada pendidikan formal di semua jenjang pendidikan sangat tepat sebagai sarana membangun kembali semangat dan jiwa kebaharian bangsa Indonesia, yaitu: pendidikan formal pada semua jenjang pendidikan merupakan pendidikan yang pasti akan dilalui oleh setiap peserta didik. Pendidikan formal merupakan landasan untuk dapat memahami konsep kebaharian secara menyeluruh. Adapun keberadaan sekolah menengah pelayaran atau perikanan, akademi atau universitas yang membuka jurusan kelautan atau perikanan, mata pelajarannya sudah menjurus dan mengarah pada suatu profesi atau pekerjaan tertentu.
Melalui integrasi muatan materi kebaharian dalam pembelajaran, maka diasumsikan bahwa kelak warga negara Indonesia akan mengubah pandangan kontinental atau ke daratan selama ini dan akan digantikan dengan pandangan yang berwawasan kebaharian.

B.  Konsep Tridisi Lisan
Hakikat kelisanan (orality) mencakup segala hal yang berhubungan dengan sastera, bahasa, sejarah, biografi, dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke mulut. Tradisi lisan tidak hanya mencakup ceritera rakyat, teka-teki, peribahasa, nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda sebagaimana umumnya diduga orang, tetapi juga berkaitan dengan sistem kognitif kebudayaan, seperti: sejarah, hukum, dan pengobatan (Pudentia, 1999).
Penuturan secara verbal yang dipahami sebagai kesaksian lisan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, merupakan hakikat dari tradisi lisan. Tradisi lisan lebih banyak berkenaan dengan peristiwa-peristiwa atau tradisi yang berkembang di tengah masyarakat bukan hanya yang berhubungan dengan satu peristiwa sejarah. Tradisi lisan dapat diidentikkan dengan folklor, baik folklor lisan maupun sebagian lisan.
Sifat dari tradisi lisan adalah turun temurun dan fungsinya untuk memperkuat ikatan komunal dalam masyarakat. Tradisi lisan mengacu pada historical gossip misalnya cerita tentang cikal bakal penghuni pohon dan tentang mitos. Tradisi lisan dapat diwariskan melalui adat-sitiadat, cerita dongeng, pertunjukan, dan kepercayaan masyarakat.




Tabel 1. Perbedaan Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan
Sejarah Lisan
Tradisi Lisan
1.      Merupakan metode pengumpulan dan penyimpanan informasi kesejarahan
2.      Tidak terbatas pada kebudayaan lisan
3.      Sengaja dicari dengan teknik wawancara
4.      Termasuk kesaksian mata
5.      Si pencerita merupakan bagian dari peristiwa
6.      Disampaikan secara langsung dari pelaku
1.      Merupakan sumber bagi penelitian sejarah

2.      Terbatas pada kebudayaan lisan
3.      Didapat secara langsung

4.      Tidak termasuk kesaksian mata
5.      Si pencerita bukan merupakan bagian dari peristiwa
6.      Disampaikan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya

Menurut Sibarani (2000) tradisi lisan adalah semua kesenian, pertunjukan atau permainan yang mengguanakan tutur lisan. Unsur kelisanan merupakan bagian utama dari tradisi lisan. Menurut Dorson (1963) tanpa kelisanan suatu budaya tidak bisa disebut tradisi lisan. Oleh karena itu secara utuh tradisi lisan mempunya dimensi:  (1) kelisanan, (2) kebahasaan, (3) kesetaraan, dan (4) nilai budaya.
Perkembangan tradisi lisan terjadi dari mulut ke mulut, sehingga menimbulkan banyak versi cerita. Menurut Hutomo (1991), tradisi lisan mencakup beberapa hal, yakni: (1) berupa kesusastraan lisan, (2) berupa teknologi tradisional, (3) berupa pengetahuan folklore di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (4) berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan folklore di luar batas formal agama-agama besar, (5) berupa kesenian folklore di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, dan (6) berupa hukum adat.
Menurut Vansina  (1985) tradisi lisan sebagai "pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini" di mana "pesan itu haruslah berupa pernyataan yang dituturkan, dinyanyikan, atau diiringi alat musik"; "Haruslah ada penyampaian melalui tutur kata dari mulut sekurang-kurangnya sejarak satu generasi". Para sosiolog, bahasawan, atau sarjana seni verbal mengajukan pendekatannya masing-masing, yang untuk kasus khusus (sosiologi) mungkin saja menekankan pengetahuan umum, fitur kedua yaitu membedakan bahasa dari dialog (bahasawan) biasa, dan fitur terakhir adalah bentuk dan isi yang mendefinisi seni (pendongeng). Tradisi lisan dapat didefinisikan sebagai kesaksian yang disampaikan secara verbal dari satu generasi ke generasi berikutnya. Persifatan khusus sedemikian adalah tentang keverbalannya dan cara bagaimana ia disampaikan (Ki-Zerbo, 1990).
Tradisi lisan memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia yang pada dasarnya memiliki empat fungsi, yaitu: (1) sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidikan, dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya.
Tradisi lisan sebagai bagian dari kajian lokal ataupun kearifan lokal menurut Lapian (1980) menunjukkan bahwa kepentingan lebih lanjut dari kajian secara lokal, yaitu: “untuk bisa mengadakan koreksi terhadap generalisasi-generalisasi yang sering dibuat dalam penulisan sejarah nasional”. Sebagai ilustrasi masalah generalisasi yang menyangkut periodisasi sejarah Indonesia yang sering diberi istilah Zaman Hindu. Pada kenyataannya ada daerah-daerah yang tidak mengenal periode zaman Hindu (seperti Sangir-Talaud, Sewu, Rote, dan Wilayah Sulawesi Tenggara). Ada pula daerah-daerah yang sampai sekarang masih berpegang pada Hinduisme (seperti Bali, dan sebagian Lombok). Di sini juga nampak bahwa pengembangan penulisan sejarah lokal akan memberikan bahan pengecekan terhadap anggapan teoritis yang bersifat menggeneralisasikan masalahnya untuk seluruh Indonesia.
            Ada beberapa aspek positif dalam pembelajaran sejarah local yang umumnya bersumber dari tradisi lisan, baik yang bersifat edukatif psikologis maupun yang bersifat kesejarahan sendiri. Pertama, mampu membawa peserta didik pada situasi ril di lingkungannya dan mampu menerobos batas antara dunia sekolah dan dunia nyata di sekitar sekolah. Dilihat secara sosio-psikologis bisa membawa peserta didik secara langsung mengenal dan menghayati lingkungan masyarakatnya, dimana mereka merupakan bagian di dalamnya (Douch, 1967; Mahoney, 1981).
          Kedua, pembelajaran sejarah lokal, akan lebih mudah membawa siswa pada usaha untuk mengenang pengalaman masa lampau masyarakatnya dengan melihat situasi masa kini, bahkan dapat memproyeksikan  peluang dan tantangan pada yang akan datang. Dalam pembelajaran sejarah lokal peserta didik akan mendapatkan banyak contoh dan pengalaman dari berbagai tingkat perkembangan lingkungan masyarakatnya, termasuk situasi masa kini. Dengan demikian, mereka akan lebih mudah menangkap konsep perubahan yang menjadi kunci penghubung antara masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.
          Kalau dihubungkan dengan teori J. Bruner maupun dalam hubungan dengan konsep pendekatan proses, maka pembelajaran sejarah lokal sangat mendukung prinsip pengembangan kemampuan peserta didik untuk berpikir aktif, kreatif dan struktural konseptual. Hampir semua prinsip dalam rangka pembelajaran siswa aktif  sangat relevan dengan kegiatan pembelajaran yang bermuatan sejarah lokal. Sesuai dengan sifat materi serta sumber sejarah lokal, maka peserta didik akan terdorong untuk menjadi lebih peka lingkungan, begitu juga mereka akan lebih terdorong mengembangkan keterampilan-keterampilan khusus seperti: mengobservasi, teknik bertanya atau melakukan wawancara, mengumpulkan dan menyeleksi sumber, mengadakan klasifikasi serta mengidentifikasi konsep, bahkan membuat generalisasi, kesemuanya itu mendorong bagi perkembangan proses belajar bersifat discovery inquiry.
Berdasarkan pemikiran tersebut menunjukkan bahwa tradisi lisan merupakan lambang identitas daerah/komunitas yang diungkapkan lewat bahasa lisan, tradisi, hukum, sejarah yang mengandung nilai-nilai luhur yang sangat berharga. Tradisi lisan merupakan suatu aset kekayaan budaya yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan ajar bagi masyarakat setempat, sehingga dapat melestarikan nilai dan mengembangkan karakter positif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akhirnya tepatlah dikatakan Cobern dan Aikenhead (2008) bahwa transfer pengetahuan apapun bentuknya, harus mempertimbangkan latar belakang budaya peserta didik. Sejalan dengan itu Wenger (2004) menyatakan bahwa dengan mendesksripsikan secara bermakna kepada orang lain (peserta didik) hal-hal atau pengalaman-pengalaman yang makin menantang, akan mendorong kemampuan peserta didik untuk mendeskripsikannya.
Tradisi lisan komunitas bahari, juga memiliki keempat fungsi tersebut, sehingga tradisi lisan di satu sisi dapat digunakan sebagai media pembelajaran dan di sisi lain dapat digunakan sebagai sumber/materi pembelajaran. Fungsi tradisi lisan komunitas bahari akan dapat mengubah manusia terutama generasi muda ke masa depan yang lebih cerah apabila diamanatkan dalam proses pembelajaran baik dalam pendidikan formal, nonformal, dan informal. Dengan demikian perlu integrasi tradisi lisan masyarakat bahari ke dalam pembelajaran baik sebagai media pendidikan maupun sebagai sumber belajar.
Menurut Sibarani (2013) folklor termasuk yang lisan/tradisi lisan dapat digunakan sebagai media pendidikan untuk menyampaikan pelajaran kepada siswa guna mempermudah pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan individu untuk terlibat dalam proses pembelajaran. Selain itu, tradisi lisan juga dapat berfungsi sebagai salah satu langkah dalam melestarikan budaya lokal yang ada. Hal ini dirasakan perlu pada saat sekarang ini karena banyak dari generasi muda sudah melupakan budaya yang merupakan warisan leluhur nenek moyang dan kebanggaan identitasnya.
 Dalam kondisi tersebut, maka peran guru sangat penting untuk mendisain pembelajaran dalam aspek: materi, metode, dan media pembelajaran. Guru IPS/Sejarah tidak cukup hanya menjadi pengajar, tetapi juga harus menjadi peneliti untuk menggali sejarah lokal yang masih berserakan dalam bentuk tradisi lisan untuk selanjutnya diintegrasikan dalam pembelajaran.

C.  Tradisi Lisan dalam Komunitas Bahari
Komunitas Bahari di Kawasan Timur Indonesia, seperti: Komunitas Buton, Bajo, Bugis-Makassar dan Mandar masih tetap mempertahankan semboyang Nenek Moyangku Seorang Pelaut. Mereka memiliki tradisi lisan yang masih hidup sampai saat ini, dan tradisi lisan tersebut memiliki muatan edukatif dan normatif yang masih relevan dikembangkan dalam era sekarang ini.
Bagi Masyarakat Buton, konsep masyarakat bahari diformalkan dalam struktur pemerintahan Kesultanan Buton, karena terdapat jabatan Kapilao Matanyo dan Kapitalao Sukanayo (Panglima Angkatan Laut Timur dan Panglima Angkatan Laut Barat) (Hafid, 2012).
Masyarakat Buton di Wakatobi mengenal tradisi po asa-asa (bersatu) dan po hamba-hamba (bantu-membantu). Tradisi persatuan dan tolong-menolong ini dibangun di atas landasan filosofi mai to assae na hada, ara no assamona hada mou te bumbu no dete (mari kita satukan kehendak, jika kehendak sudah menyatu, maka bukit pun akan menjadi rata). Tradisi ini diimplementasikan dalam pelayaran yang tercermin dalam konsep asa rope (satu perahu), mate asa-asa tumbu asa-asa (mati sama-sama, hidup sama-sama) yang dipegang teguh dalam kondisi perahu terancam bahaya, misalnya: ancaman badai dan karam. Konsep lain adalah porambanga (berlayar bergandengan) artinya beberapa perahu meninggalkan pelabuhan secara bersama-sama dengan satu tujuan (Ali-Hadara, 2015).
Tradisi lisan dalam bentuk gangguan Sanggila (bajak laut) dari di Wilayah Wakatobi-Buton terdapat dua kelompok sanggila, yaitu: (1) Sanggila Mangindanao/Manginda/ Mindanao dari Philipina Selatan, (2) Sanggila Tobelo dari Maluku Utara (Lapian, 2009; Ali-Hadara, 2015). Pertarungan antara sesama sanggila sering terjadi yang disebut kapala nu sanggila (kepalanya bajak laut) artinya pertarungan satu lawan satu dan bagi yang kalah kepalanya dipenggal kemudian dibiarkan begitu saja. Salah seorang pemimpin sanggila  yang terkenal bernama La Bolontio, kemudian tewas di tangan pasukan Buton yang dipimpin oleh La Kilaponto dan para pengikutnya yang selamat melarikan diri. Kehadiran para sanggila di wilayah perairan Wakatobi mendapat perlawanan dari masyarakat yang dipimpin oleh La Mainaka. 
Cerita tersebut mengandung nilai-nilai persatuan, tolong-menolong, dan semangat patriotisme yang perlu diwarisi oleh generasi muda, sehingga dipandang perlu untuk dipelajari lebih awal melalui pendidikan formal sejak SD.
Tradisi lisan masyarakat Buton yang memuat aspek religius terungkap dalam Kabanti Ajonga Yinda Malusa yang menyatakan bahwa pada zaman pemerintahan Sangia Ncili-Ncili (Sultan Zainuddin La Tumpamana 1681-1689) setiap hari jum’at Sultan Ternate mengharuskan semua pembesar Buton melakukan shalat jum’at di Ternate. Ketika azan terdengar, mereka masih dalam perjalanan dan dapat pergi pulang dari Buton ke Ternate dengan perahunya. Selanjutnya dalam versi lain dinyatakan bahwa Sultan Zainuddin (La Tumpamana)  yang selalu shalat jum’at di Ternate yang berangkat ke Ternate dengan menggunakan perahu Wasilomata (sekejap mata) (Ihsan, 2015).
Seiring dengan perkembangan pelayaran niaga di Nusantara pada abad XVII, maka di setiap pelabuhan ditempatkan perwakilan (Syahbandar), pemangku jabatan ini harus makhir berbahasa Melayu dan bahasa daerah setempat sebagai alat diplomasi. Dari sinilah peran pelayar niaga Buton, Bajo, Bugis-Makassar, dan Mandar (B3M2) dalam mentrasformasikan pemakaian Bahasa dan Sastra Melayu di wilayah-wilayah kerajaan pesisir pantai Nusantara dan Asia Tenggara. Sejak abad XVII pelabuhan Makassar menjadi tempat transit barang dagangan dari Kawasan Timur Nusantara untuk selanjutnya ke Barat atau sebaliknya (Hafid, 2005; Zuhdi, 1997). Para pedagang B3M3 sudah akrab dengan pedagang Melayu, mungkin pula peran Orang Bajo seperti ditulis dalam Lontarak Asal-usul Suku Bajo, yang memiliki banyak persamaan budaya khususnya bahasa dengan suku Laut di Selat Malaka, juga mengakui leluhurnya dari Johor, yang kemudian tersebar di segenap pesisir pantai dan pulau-pulau terpencil di Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, bahkan sampai di Philipina Selatan, Siam, dan Kamboja. Suku Bajo tetap konsisten mempertahankan Bahasa dan Sastra Melayu, selain Bahasa Bajo (Hafid, 2003).
Konteks masyarakat Bajo, maka dua orang peneliti bajo  bernama Ismail dan Nuraini (2013) memandang bahwa Masyarakat Bajo memiliki kebanggaan dan kesetiaan pada bahasa dan budayanya. Namun, bahasa dan budaya Bajo tidak diajarkan di sekolah sehingga ada kekhawatiran punah di kemudian hari. Para penutur tradisi lisan yang merupakan satu-satunya alat pelestarian budaya dan media pembelajaran karakter dalam dimensi kebaharian  mereka semakin berkurang. Misalnya di Sulawesi Tenggara pelantun Iko–iko M. Syukur yang biasa di panggil Wa Candra atau di panggil Puto Syukur, telah meniggal dunia (Anonim, 2009). Puto Syukur terkenal dengan nyanyian Iko–iko nya yang merupakan cerita-cerita tentang budaya bajo, termasuk masalah sosial yang baru saja terjadi, tak lepas dari untaian kata dari iko-iko yang ia bawakan.
Perkembangan iko-iko dari tahun ke tahun mengalami kemunduran (stagnan) bahkan terancam punah. Penutur iko-iko yang masih ada saat ini, termasuk di Sulawesi Tenggara sangat terbatas dan bahkan sangat langka. Dengan demikian jika kondisi ini dibiarkan, maka iko-iko yang merupakan kebanggaan Komunitas Bajo akan punah. Berikut contoh Iko-iko:
Nahkoda Asang
 Nahkoda Asang Bele. Bele llaw masi ya didikki. Boan pore sanang pore lama’ ma rantau. Kalaha’ sehe ma mia dirina sanang ooo. Kallalao ele kabittaang na nggai bele lagi sanang ya tattanda ele mma na.
Ma tikka ne ya ma kampoh sanang masi ya teteo bona ngala gandah na , ngala po’ saramana sanang bele. Duaine manusia kampoh , pupo’ ka toroh jambatah. Bona ngoya’ sanang yo’ na ooo. Juragang daha kita geger. barah dandangang datu bele. Bona palua sanang bona ningge ma poong tikala’ Bona ngoya’ ka kampoh. 
Ayo’na datu barah kaang ne kamu tikkang kampoh kami bele. Allau patundo sanang ne iyya ka torh jambatah bona duai matilawang mmana. Yyo’na oooo mma bele sanang. Ngga ko sanang ndiku, Sitti Rugayya. Andah, yyo’na sanang ndi nnte Sitti Rugaiyya udane sanang di boa ele Balanda bele sanang ka tana balanda bele, 
Allau yyo’na mma ooo bele sanang. Cilaka ai ko itu ma aku nggai wwa ku karapiku, nggai ndi kudu karapiku bele. Undah iyya ma nanges bona manguju dirina sanang. Bona duai ka bido’ dui ya ka bido’ pakunjah sanang Mbo Panai.
Yyo’na ana’ Nahkoda Asang , boanu aku katonang ku nte piddi’ atainu na pore bono ka tana Balanda bele, Ndah bona barangka’ sanang ka tana Balanda.       
Masi ya teteo kita ne kappal Balanda pa ampa’ ma bundaang na. Bona ngala mariang na sanang. Bona nyerang kappal Balanda nggai bibitta bona patindeng.


Artinya:
Nahkoda Asang, dia masih kecil sudah pergi berlayar merantau ke kampung orang lain mencari jati dirinya. karena lamanya merantau, sehingga dia sudah tidak ditandai/diketahui oleh Mamanya.
Setelah dia sampai ke Kampung, masih jauh dia sudah mengambil Gendang kemudian memukulnya. Datang lah orang-orang di kampung, berkumpul di ujung jembatang, kemudian dia berteriak, juragan jangan ribut, siapa tahu ada anak Datu (Raja). Kemudian dia keluar (dari kapal), kemudian dia berdiri di tiang layar,  kemudian berteriak ke kampung.
Katanya  kami datang ke kampung kami. setelah sandar ke ujung jembatan, dia (Nahkoda Asang) menanyakan Mamanya. Katanya, hai Mama, Di mana Adikku, Sitti Rugayya. Ibunya menjawab Sitti Rugaiyya sudah di bawa oleh Belanda ke negeri Belanda.
Pada hari itu katanya, celaka apa kah ini yang terjadi pada diriku tidak Bapakku (uwa ku) saya dapatkan, bukan juga adikku. Setelah dia menangis dia mempersiapkan dirinya (akan berangkat).
Kemudian dia (Nahkoda Asang)  turun ke Perahunya, melompatlah Mbo Panai,
   Katanya Anakku Nahkoda Asang, bawa saya, saya tahu kau sakit hati, sehingga mau pergi berperang ke negeri Belanda.
   Masih jauh, dia sudah melihat Kapal Belanda, menghadang di depannya. Kemudia mereka mengambil Meriam dan menyerang kapal Belanda, tidak lama Kapal itu tenggelam.
Iko-iko tersebut menggambarkan sikap patriotisme dan menjunjung tinggi harkat dan martabat keluarga dan bangsa, melawan kejahatan penjajah Belanda.
Berikut contoh nauya (nyanyian Bajo) yang menggambarkan pendidikan kebaharian:
Ella-ella, tidorko daha nandole
Batongko daha nanges
Batongko daha dinanges uwan’nu pore sakai ka Papua
Barah dibunang umor taha, nia dalle’na
Barah dibunangko umor taha mubasar nusakai daruwa uwa’nu.
Hai bunga tidurlah jangan ingat-ingat yang lain
Bangunlah jangan menangis
Bangunlah jangan engkau menangis bapakmu pergi berlayar jauh ke Papua
Mudah-mudahan dia diberi umur panjang dan banyak rezekinya
Mudah-mudahan engkau diberi umur panjang dan besar, engkau berlayar seperti bapakmu.
Masyarakat bahari lainnya adalah Bugis-Makassar yang memiliki berbagai ungkapan lisan menggambarkan kegemaran dan keberanian mengarungi lautan, yaitu: Pura babbara’ sompe’ku, pura tangkisi gulikku, ulebbirennni tellengnge natowalie (Jika layar sudah terkembang, kemudi sudah terpasang, lebih baik tenggelam dari pada surut langkah/kembali (Machmud, 1976). Dalam ungkapan sejenis dinyatakan bahwa: Sompen’ni tapada sompe’ tapada mammenanga tasiallabuang (Marilah kita berlayar bersama-sama untuk menuju suatu tujuan). Ungkapan serupa berbunyi Teegi-teegi sore lopie, koni taro sengereng (dimana saja perahu berlabuh di situlah kita menanam/menyimpan kenangan). Artinya, bagi Orang Bugis Makassar merantau ke negeri orang merupakan suatu yang biasa, dan negeri rantauan dianggan negerinya sendiri, sehingga dia berusaha menanam/menyimpan kenangan, menanam budi baik atau membangun wilayah di mana ia bermukim, mereka cenderung menetap di daerah perantauan.  Perantau Bugis-Makassar harus mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ia harus mau menerima dan toleransi dengan budaya setempat, setelah ia mampu menyakinkan masyarakat setempat untuk menerimanya sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri.  Ibarat pepatah Melayu, dimana bumi dipijak disana langit dijunjung. Maka falsafah Bugis-Makassar ini bermakna, dimanapun perahuku kutambatkan, di sanalah saya menanam budi baik. Selanjutnya terdapat beberapa nyanyian Pelaut Bugis-Makassar, berikut ini.
Pitte Cina uala ranreng lopi
Jarung sipeppa’ uala balango
Nakua sompe’ mua
Dengan benang Cina (sutera) seutas sebagai tali perahu
Dengan jarum sebatang sebagai jangkar
Akupun tetap berlayar
Somperengng-e uala paddaga-raga
Tasi-e uala lino pottanang
Lolangeng ri masagena-e
Berlayar adalah nafas hidupku
Laut adalah daratanku
Dijadikan pengembaraan tanpa batas
Nalawa mua salareng riwu
Nakuguncirik gulikku
Kualeleangngi tellengng-e natowali-e
Meski di hadapan ada topan
Kemudiku tetap kuputar
Lebih baik tenggelam dari pada surut/kembali
Dua sompe kupattinja
Dua guling kupattejjok
Dua balango kupangatta
Makkarewangeng maneng
Dua layar kusiapkan
Dua kemudi kutancapkan
Dua jangkar kuteguhkan/persiapkan
Semua adalah sahabatku (Hamid, 2005).
Orang Bugis-Makassar adalah perantau, umumnya orang sudah tahu, akan tetapi, jika pertanyaanya adalah “apakah yang membuat Orang Bugis-Makassar suka merantau? dan mengapa Orang Bugis banyak sukses di tanah rantau? Tentu saja tidak semua orang akan mampu menguraikan jawabannya.
Sedikit berkelakar bahwa etos kerja Orang Bugis-Makassar sangat tinggi karena Orang Bugis-Makassar sangat kompleks kebutuhan hidupnya. Terutama saat ia sudah dewasa, mulailah berpikir untuk menikah, dan tradisi pernikahan di kalangan Orang Bugis-Makassar tidak murah. Setelah menikah berpikir lagi untuk memiliki rumah dan kendaraan. Setelah itu tercapai, maka mereka ingin naik Haji. Bagi mereka status haji adalah simbol religius dan simbol strata sosial ekonomi bagi Orang Bugis-Makassar. Setelah semua itu tercapai, maka Orang Bugis-Makassar kembali lagi ke kebutuhan dasar tadi, ingin menikah lagi, ingin memiliki rumah baru, kendaraan baru, naik haji lagi dan seterusnya. Kebutuhan yang tinggi inilah yang membuat Orang Bugis-Makassar memiliki etos kerja keras yang menyebabkan mereka merantau dengan mengarungi lautan.
Orang Bugis-Makassar tidak hanya sukses di tanah rantau, tetapi juga mampu beradaptasi dengan lingkungan dimana mereka berdiam. Di beberapa daerah kehadirannya banyak mewarnai dinamika dan eksistensi masyarakat setempat. Di tanah Jawa mereka mampu hadir ditengah riuh rendah pergolakan pada zaman Kerajaan Mataram Islam, sehingga muncullah Kampung Bugisan dan Daengan. Di tanah para Dewa, mereka berbaur dengan masyarakat dan budaya Bali hingga muncullah kampung Serangan. Di daratan Sumatera, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara, Papua bahkan hingga di luar negeri keberadaan mereka juga tercatat dalam sejarah dan benak masyarakat pribumi. Entah itu catatan bertinta emas dan atau bertinta kelabu. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa catatan kelabunya tidaklah sebanyak catatan emasnya. Kemampun mereka beradaptasi dengan masyarakat dan budaya setempat adalah kuncinya.
Khasanah budaya Bugis-Makassar sendiri banyak mengajarkan falsafah-falsafah hidup sebagai kearifan lokal yang menjadi bekal bagi para perantau. Beberapa falsafah tersebut diantaranya: Palettui aleta riolo tejjokata; pasaniasai jamatta riolo temmototta=sampai ke tujuan sebelum berangkat; selesaikan pekerjaan esok hari sebelum bangun tidur.
Falsafah ini mengajarkan kepada calon perantau agar tidak “merantau buta”, atau tidak merantau tanpa arah dan tujuan yang jelas. Perantau sejati Bugis-Makassar tidak merantau dengan mengikuti arah kaki kemana hendak melangkah, tidak boleh berprinsip: tegi-tegi monro tallenttung ajeta, konitu leppang (dimana kaki terantuk, disanalah kita berhenti). Prinsip ini bermakna dan bersugesti negatif, tetapi merantau harus disertai dengan kepastian akan tempat yang dituju apa yang akan dikerjakan di sana, bahkan calon perantau harus meyakinkah ruh dan jiwanya sudah ada dan menyatu dengan negeri rantau yang akan dituju.
Hukum ekonomi yang meminimalkan modal dan memaksimalkan keuntungan adalah inti yang diajarkan dalam falasafah ini. Seorang perantau, harus berangkat dengan bekal sedikit dan kelak jika pulang harus membawa hasil sebanyak-banyaknya. Di luar ranah ekonomi, falsafah ini juga bermakna “lihatlah ketika anda berangkat merantau anda bukan siapa-siapa, maka saat anda kembali nanti, maka anda harus menjadi orang terpandang”. Pemaknaan ini cocok untuk mereka yang merantau dengan tujuan menimba ilmu atau mengejar jenjang karir, ataupun mereka yang merantau karena mengejar cintanya.
 Niat yang teguh, tekad yang bulat, semangat yang membara harus terus terjaga, tak boleh luntur  dalam perjalanan ke negeri rantau bahkan saat berada di negeri rantau itu sendiri. Seorang perantau harus berpegang pada niat, tekad dan semangat. Jika tidak, dikhawatirkan ia akan mundur atau surut jauh sebelum ia mencapai yang diimpikannya, serta mundur sebelum tiba di negeri rantau.
Falsafah tersebut menegaskan bahwa seseorang yang telah memilih merantau sebagai jalan hidup, harus kukuh, kokoh dan kekeh dengan pilihannya. Tidak boleh ada kata mundur apalagi batal, sehinga tidak jadi merantau, apapun resikonya, seperti ungkapan sebelumnya yang menggambarkan seorang pelaut yang telah memasang kemudinya, sudah kembangkan layarnya, mereka tidak akan surut kembali sebeluam samapai pada tujuannya. Falsafah tersebut adalah contoh kecil dari beragamanya kearifan lokal Bugis-Makassar yang terkait dengan ikhwal kemaritiman yang dikemas dalam beberapa tradisi lisan.
Petuah nenek moyang tentang kebaharian, yaitu: de gaga-tu akkatenningetta ri tengana tasi’e saliwenna puang-allata’ala riakkatenning, jaji maresopi limbang tasi na tollettu ri pottanang-e. Kalau sudah di tengah laut (air) tidak ada pegangan kita, selain berpegang teguh (tawakkal) kepada Allah (yang memberi keselamatan, rezeki dan lain-lainnya),  jadi perlu perjuangan untuk bisa sampai dan bertemu dengan daratan.
Makna di balik itu sangat jelas bagi pelayar Bugis-Makassar sebagai komunitas mritim bahwa kalau mau hidup dan bisa bertahan hidup, maka peganglah filosofi tersebut sebagai spirit dalam berjuang mengarungi dunia ini sehingga cita-cita dan harapan untuk menghidupi keluarga secara layak bahkan menjadi saudagar sukses yang sering kita dengar selama ini. Masih banyak bentuk kearfikan lokal lainnya yang sekiranya tak cukup ruang untuk diulas pada tulisan ini.

D.  Pendidikan Berbasis Sosial Budaya
Salah satu model belajar yang menarik adalah model Cina yang kembali ke akar, yaitu menemukan kembali kekuatan dahsyat dari budaya asli masyarakat. Cina berusaha keras mengawinkan era kecerdasan jaringan dengan tradisi dan akar budayanya sendiri. Dalam melaksanakan misi tersebut, Cina menemukan kembali bahwa banyak metode belajar yang efektif saat ini sebenarnya telah pernah diajarkan 2.500 tahun yang lalu oleh Confusius, diantaranya : (1) Dia menekankan pentingnya memadukan ide baru dengan ide lama yang telah teruji, (2) menginginkan terjadinya reformasi sosial melalui pendidikan, (3) mengandalkan konsep belajar dengan praktek, (4) menggunakan seluruh dunia sebagai ruang kelasnya, (5) menggunakan musik dan puisi secara meluas dalam pembelajaran, (6) belajar tentang cara belajar sama pentingnya dengan belajar tentang informasi, (7) setiap orang memiliki daya belajar yang khas, dan (8) bangunlah nilai dan perilaku terpuji (Driden dan Vos, 2011).   
Mencermati pandangan tersebut, maka tidak mengherankan selama lebih dari 2.000 tahun Orang Cina belajar matematika lewat alat belajar cepat paling awal di dunia yaitu Swipoa/dipoa atau sempoa. Demikian pula dua alat belajar lain untuk matematika yaitu permainan “kartu” dan “domino”. Dalam banyak hal Cina telah memperkenalkan Revolusi Belajar, dan kita menemukan kembali hal tersebut. Berbagai kebenaran klasik tersebut umumnya berserakan dalam bentuk tradisi lisan Masyarakat Cina klasik dan selanjutnya dapat dihubungkan dengan riset otak dan komunikasi instan mutakhir. 
Contoh model pembelajaran sejenis dalam arti pembangunan pada masyarakat Jepang yang mengakar pada Teori Z yang dikembangkan oleh William G. Ouchi  bersumber dari tradisi Masyarakat Jepang yang terbiasa hidup berdekatan, karena itu Orang Jepang memiliki kehidupan yang lebih terbuka, sehingga sedikit sekali rahasia kehidupan pribadi yang tersembunyi. Masyarakat Jepang memiliki lima karakter kunci yang dipandang sebagai akar kekuatan bangsanya, yaitu: (1) Emulasi, hasrat atau upaya untuk menyamai atau melebihi kemajuan orang lain, (2) Konsensus, kebiasaan untuk berkompromi dan bukan konfrontasi, (3) Futurism, berpandangan jauh ke depan menatap kemajuan bagi perorangan dan kemajuan bersama di masa depan, (4) Kualitas, mutu menjadi faktor penarik bagi setiap proses dan hasil produksi Jepang, dan (5) Kompetisi,  sumberdaya manusia dan produk Jepang memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam tata kehidupan dan tata ekonomi global (Sudjana, 2010).
Kemajuan Jepang kemudian diikuti oleh Korea Selatan yang juga memunculkan teori baru yang dikembangkan oleh Myon Woo Lee yang disebut Teori W. Lee merekomendasikan pengembangan budaya teknologi dan industri khusus Korea Selatan untuk mengantarkan negeri ini menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Lee juga menyarankan upaya mengoptimalkan penggunaan budaya, keunggulan geografis, karakteristik penduduk, sumber daya alam, dan kreativitas masyarakat. Budaya Korea Selatan menekankan aspek kekeluargaan dan solidaritas (Sudjana, 2010).  Kemajuan ketiga bangsa tersebut dalam berbagai sektor kehidupan umumnya berakar pada budaya kompromi/kekeluargaan dan kerjasama/solidaritas, unsur-unsur budaya tersebut umumnya dimanfaatkan melalui tradisi lisan.      
Menurut Wenger (2005) cara paling cepat dan tepat untuk mengubah dunia ini menjadi lebih baik adalah mengajak sebanyakmungkin orang membiasakan diri melakukan pengamatan sendiri, mengartikulasikan, mengungkapkan dan mencatat pengamatan tersebut. Ketika mereka melakukan hal demikian, pengamatan, persepsi, pemikiran, dan gagasan mereka akan mencuat tak terduga dan akan berkembang laur biasa.
Bagi masyarakat maritim khususnya Masyarakat Bajo yang bermukim di wilayah pesisir terpencil atau di pulau-pulau Menurut Ismail dan Nuraini (2013) terjadi kelangkaan Buku Bahasa Bajo di wilayah konsentrasi masyarakat Bajo, sehingga mengharuskan pemerintah mengembangkan Kurikulum/Buku yang Berbahasa Bajo sebagai muatan Lokal dan menjadikan tradisi lisan seperti: iko-iko, lagu, pantun, falsafah hidup sebagai muatan ajar yang terintegrasi. Pentingnya iko-iko sebagai tradisi lisan yang memiliki nuansa kebaharian nampak dari iko-iko “Papakannahan Datu Kimbayat (Cerita Raja Kumbayat) yang menceritakan seorang anak bangsawan pedagang kaya yang ulet dan merakyat. Ia berdagang antar pulau (Banjar dan Singapura), dalam cerita tersebut nampak adanya relasi antar komunitas, seperti ia (Abdul Hasani) yang menumpang perahu Orang Buton dari Banjar Pangatan ke Singapura.   
Bagi masyarakat pesisir dan pulau terpencil/terluar seperti tersebut perlu menyimak pandangan Barbara Prashing bahwa kunci menuju sukses belajar dan bekerja adalah menemukan keunikan gaya belajar dan gaya bekerja anda sendiri (Dryden dan Vos, 2011). Namun disisi lain guru seharusnya membantu siswa dalam mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, dan menyodorkan berbagai pertanyaan untuk membuat siswa memikirkan permasalahan dan jenis informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada solusi yang dapat dipertahankan. Menurut Arends (2008) bahwa peserta didik perlu diajari tata cara menjadi investigator aktif dan cara menggunakan metode-metode yang sesuai dengan permasalahan yang mereka teliti, seperti: wwawancara, observasi atau membuat catatan, termasuk etika investigator yang baik.
Pandangan tersebut mempertegas pentingnya budaya lokal yang berserakan dalam bentuk tradisi lisan untuk dikemas dalam bentuk muatan lokal yang terintegrasi dalam pembelajaran, sehingga terjadi pembelajaran yang unik sesui dengan kebutuhan dan karakter masyarakat setempat.

E.  Bentuk Integrasi Tradisi Lisan dan Pembelajaran Sejarah di SMA
Pengintegrasian tradisi lisan kebaharian pada satuan pendidikan formal, khususnya dalam pembelajaran IPS dan Sejarah adalah untuk menanamkan dan menumbuhkan kembali semangat serta jiwa kebaharian bangsa. Wujud muatan integrasi dikemas dalam mata pelajaran IPS/Sejarah sebagai satu kompetensi dasar dan atau integrasi dalam beberapa topik yang relevan. Bentuk ini tidak perlu menyediakan guru-guru mata pelajaran khusus, tetapi cukup disiapkan pelatihan pada guru-guru mata pelajaran IPS dan Sejarah yang akan diberi muatan kebaharian.
Pengintegrasian tradisi lisan komunitas bahari dapat dilakukan dengan menggunakan metode tugas, yaitu guru memberi tugas kepada siswa baik secara individu maupun secara kelompok dengan petunjuk yang jelas, sehingga siswa dengan mudah memperoleh informasi dari masyarakat melalui teknik: wawancara, pengamatan, dan studi dokumen, sehingga siswa dapat mengembangkan beberapa keterampilan, seperti: keterampilan bertanya, keterampilan mengemukakan pendapat secara lisan dan tulisan, keterampilan mengamati suatu fenomena sosial. Dalam kondisi seperti ini siswa dapat memperkaya dirinya dengan berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya. Di sisi lain masyarakat akan berusaha mempertahankan dan mengembangkan tradisi lisan yang ada di lingkungannya, termasuk upaya masyarakat melakukan interpretasi nilai-nilai yang ada dalam tradisi lisan, sehingga dapat disosialisasikan kepada generasi muda di lingkungannya dalam berbagai momen yang ada.
Satu contoh bentuk integrasi tradisi lisan Komunitas Bahari (Komunitas Bugis-Makassar) dilakukan oleh (Asban, 2016) dalam bentuk uji coba melalui Penelitian Tindakan Kelas. Perbaikan pembelajaran dilakukan dengan menggunakan tradisi lisan dalam pembelajaran pada materi: Jenis-jenis Manusia Purba dan Hasil Kebudayaannya. Pada pelaksanaan pembelajaran dimulai dengan menarik perhatian siswa saat membuka pelajaran. Dalam konteks ini guru menggunakan Metode Tugas dan Metode Tanya Jawab: Minggu sebelumnya guru telah memberikan tugas observasi dan wawancara kepada tokoh masyarakat Bugis-Makassar tentang tradisi lisan yang terkait dengan falsafah hidup Orang Bugis-Makassar yang dituangkan dalam tugas kelompok, dipadukan dengan materi umum yang ada dalam buku pegangan siswa. Pembelajaran minggu ini, Guru menanyakan kembali mengenai tugas kelompok yang akan didiskusikan. Sebelum  pembelajaran dimulai, guru terlebih dahulu menyampaikan tujuan pembelajaran dan sedikit memberikan gambaran mengenai pendekatan pembelajaran yang menggunakan tradisi lisan. Kemudian guru memberikan pengantar mengenai pelajaran yang akan diberikan dengan membacakan falsafah hidup Komunitas Bugis-Makassar, yaitu:
1.   Naiya  tau  malempuu-e’ manguruu eloo-i’ tau sugi-e (orang jujur sewarisan dengan orang kaya). Maknanya : orang jujur tidak  sulit memperoleh  kepercayaan dari orang kaya karena kejujurannya.
2.   Rebba sipatokkong, mali' siparappe', sirui' menre' tessirui'no', malilu sipakainge' (Rebah saling menegakkan, hanyut saling menarik ke pinggir pantai, jika khilaf saling mengingatkan).
3.   Naiya acca ripatoppokie’ je’kko, rirapangngi alliiri; nare’kko te’yai mareddu, mapooloi (kepandaian yang desertai ketidak-jujuran ibarat tiang rumah, jika tidak tercabut ia akan patah).
4.   Temmettak nawa-nawa majaa’
Tammassuk ada-ada belle
Teppugauk-gauk maceko
Tidak pernah berpikiran jahat
Tidak mengeluarkan kata-kata dusta
Tidak melakukan perbutan curang
5.   Ka-antu jekkonga  kammai batu nibuanga naung rilikuo’ na-antu lombusuka kammai bulo ammawanga ri je’ne’ka, nuossakaugi poko’na ammumbai appa’na, nuassakaugi  appa’na ammumbai poko’na (kecurangan itu sama dengan batu yang dibuang ke dalam lubang; sedangkan kejujuran laksana bambu yang terapung di air, jika ditekan pangkalnya,  maka ujungnya akan timbul, dan jika ditekan ujungnya, maka pangkalnya akan timbul).
Setelah melihat siswa telah siap untuk memulai pembelajaran, kemudian guru membagi kelompok dan mempersilahkan siswa untuk duduk berdasarkan kelompoknya. Guru mempersilahkan kelompok pertama untuk tampil di depan kelas mempresentasikan hasil observasi yang dilakukan bersama kelompoknya selama 10 menit, selanjutnya ditanggapi dan kemudian dilanjutkan kelompok berikutnya secara berturut-turut. Pada akhir pembelajaran guru mengajak siswa untuk memberikan kesimpulan atas pembelajaran yang dilakukan kemudian guru memberikan kesimpulan akhir. Kemudian guru mengakhiri pembelajaran dengan kembali memberikan motivasi kepada siswa dan mengingatkan kelompok berikutnya agar dapat lebih baik dalam mempresentasikan hasil observasinya.
Hasil penelitian di atas menyimpulkan bahwa: (1) Penerapan metode diskusi dengan menggunakan tradisi lisan dalam pembelajaran sejarah pada siswa kelas X.5 SMAN 03 Bombana dapat meningkatkan keefektifan mengajar guru. Hal ini didasarkan pada peningkatan yang terjadi dalam tiap siklus. Pada siklus I terlihat keefekfan mengajar guru mencapai 71% meningkat menjadi 76% pada siklus II dan terus mengalami peningkatan pada siklus III mencapai 96%. (2) Aktifitas belajar siswa dalam pembelajaran Sejarah dapat ditingkatkan melalui metode diskusi dengan menggunakan tradisi lisan yaitu tindakan siklus I diperoleh sebesar 47,7% kemudian meningkat menjadi 66,2% pada siklus II, dan pada siklus III mencapai sebesar 85,1%. (3) Penerapan metode diskusi dengan menggunakan tradisi lisan dalam pembelajaran sejarah dapat meningkatkan karakter positif siswa. Hal ini terlihat dari pelaksanaan tindakan sebanyak tiga siklus dan terlihat peningkatan persentase yang cukup tinggi yaitu pada pelaksanaan tindakan siklus I, siklus II, dan siklus III terlihat selalu terjadi peningkatan terhadap 5 sikap yang diamati yakni: disiplin, jujur, tanggung jawab, peduli dan santun, seperti tampak pada tabel 1.

Tabel 1. Rakapitulasi Data Setiap Siklus
No
Tindakan
Keefektifan
Mengajar Guru
Aktivitas Belajar  Siswa
Karakter (%)
Disiplin
Jujur
Tanggung Jawab
Peduli
Santun
1
Siklus I
71
47,7
75
70
58,33
58,33
57,14
2
Siklus II
76
66,2
79,16
75
75
70,83
71,42
3
Siklus III
96
85,1
91,66
90
91,66
91,66
92,85
Sumber: Data Observasi
Beberapa saran diajukan: (1) Kepada guru-guru sejarah kiranya dapat mengintegrasikan tradisi lisan untuk meningkatkan karakter positif siswa, sehingga siswa dapat mengesksplorasikan kemampuannya dalam mengemukakan gagasan dan mudah memaham materi pembelajaran yang disajikan, (2) Bagi siswa dapat lebih termotivasi untuk mengembangkan diri dan mengenal budaya, sehingga dapat mengembangkan karakter adab kesopanan baik dalam berfikir, bertindak dan berbicara agar tercipta generasi berkualitas yang berkarakter positif.

F.   Penutup
Upaya melestarikan dan mengembangkan semangat kebaharian masyarakat Indonesia, harus dilakukan dalam pendidikan formal mulai dari SD sampai perguruan tinggi. Salah satu bentuk pembelajaran muatan kebaharian dapat dilakukan melalui pengintegrasian tradisi lisan komunitas bahari. Pengintegrasian tradisi lisan kebaharian pada satuan pendidikan formal, khususnya dalam pembelajaran IPS dan sejarah dapat mempercepat penanaman dan menumbuhkan kembali semangat serta jiwa kebaharian bangsa yang nyaris hilang. Wujud muatan integrasi dalam pembelajaran IPS/Sejarah dapat berupa satu kompetensi dasar dan atau integrasi dalam beberapa topik yang relevan. Bentuk ini tidak perlu menyediakan guru-guru khusus mata pelajaran baru, tetapi cukup disiapkan pelatihan pada guru-guru mata pelajaran IPS dan Sejarah yang akan diberi muatan kebaharian.
Pengintegrasian tradisi lisan komunitas bahari dapat dilakukan dengan menggunakan metode tugas dan diskusi yaitu guru memberi tugas kepada siswa baik secara individu maupun secara kelompok dengan petunjuak yang jelas, sehingga siswa dengan mudah memperoleh informasi dari masyarakat melalui teknik: wawancara, pengamatan, dan studi dokumen, agar siswa dapat mengembangkan beberapa keterampilan, seperti: keterampilan bertanya, keterampilan mengemukakan pendapat secara lisan dan tulisan, keterampilan mengamati suatu fenomena sosial.
Secara empiris model integrasi tradisi lisan dalam pembelajaran sejarah telah terbukti efektivitasnya oleh hasil penelitian yang telah dilakukan oleh guru SMA yang terbukti dapat meningkatkan keefektifan mengajar guru, meningkatkan aktivitas belajar siswa, dan berhasil pula mengembangkan karakter positif siswa.


DAFTAR PUSTAKA

Ali-Hadara; Tamanajo; dan La Bia, Buhari. 2015. Sejarah Wakatobi: Dari Praintegrasi Hingga Kabupaten. Kendari: HISPISI Sultra.
Anonim. 2009. Bajo Bangkit, Kamis, 03 September 2009. http://bajobangkit-sultra.blogspot.com/. Akses, 22 April 2012
Arends, Richard I. 2007. Learning to Teach. New York: McGraw Hill Companies.
Asban. 2016. “Penerapan Metode Diskusi Dengan Menggunakan Tradisi Lisan Dalam Mengembangkan Karakter Positif Siswa Pada Pembelajaran Sejarah Sman 03 Bombana”. Tesis Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo Kendari
Cobern, W.W dan Aikenhead, G.S.  2008. “Cultural Aspects of Learning Science”. In B.J. Fraser & K.G. Tobin (Eds). International Handbook of Science Education (pp.39-52). Kluwer Akademic Publisher.
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng
dan lain-lain, Jakarta: Grafiti Pers
.
Douch, R.1967. Local History an the Teacher. London: Rout-ledge & Kegan Paul.
Dryden, Gordon  dan Vos, Jeannette. 2011. The Learning Revolution. Bandung: Kaifa.
Ismail, Nany dan Nuraini, Chandra.  2013. “Berbicara dan Bercerita di Kepulauan Kangean. Dalam Illouz, Charles and Grange, Philippe. Kepulauan Kangean: Penelitian Terapan untuk Pembangunan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Hafid, Anwar. 2012. “Nilai-Nilai Kepahlawanan, Keperintisan, Dan Kesetiakawanan Sosial Generasi Muda di Sulawesi Tenggara”. Makalah  Disajikan dalam Bimbingan Pelestarian Nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial (K2KS) Dinas Sosial Propinsi Sulawesi Tenggara, Tanggal 17 Oktober 2012
Hamid, Abu. 2005. Passompe Pengembaraan Orang Bugis. , Makassar: Pustaka Refleksi.
Hutomo, Suripan Hadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI Komisariat Jawa Timur.
Ihsan, Moch. Musoffa dan Rosdin, Ali. 2015. ”Falsafah Bhinci-Bhinciki Kuli dalam Masyarakat Buton” dalam Pendidikan Multikultura Berbasis Kearifan Lokal. Jakarta: Balitbang Kemendikbud.
Ki-Zerbo, Joseph. 1990. Methodology and African Prehistory. UNESCO International Scientific Committee for the Drafting of a General History of Africa: James Currey Publishers.
Lapian, A.B. 1980. “Memperluas Cakrawala melalui Sejarah Lokal” dalam Majalah Prisma. No. 8 Tahun IX. Jakarta: LP3ES.
Lapian, A.B. 2009. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta: Komunitas Bambu.
Machmud, A. Hasan. 1976. Silasa: Setetes Embun di Tanah Gersang. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Mahoney, J. 1981. Local History: A Guide for Research and Writing. Washington DC: National Education Association.
Moeliono, Anton M. dkk. 1988. Kamus Besar Bahasa Indoensia. Jakarta: Depdikbud RI.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud.
Pudentia MPSS (ed.), 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan,  Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
Sibarani, Robert. 2012a. Kearifan Lokal. Hakekat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan.  Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).
Sibarani, Robert. 2012b. Tradisi Lisan Sebagai Sumber Kearifan Lokal:
Sebuah Pemahaman Metodologis”. Makalah disajikan pada Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara di Tanjung Pinang, Tanggal 23-27 Mei 2012.
Sibarani, Robert. 2013. “Folklor sebagai Media dan Sumber Pendidikan: Sebuah Ancangan Kurikulum dalam Pembentukan Karakter Siswa Berbasis Nilai Budaya Batak Toba”. Dalam Folklor Nusantara: Hakekat, Bentuk, Fungsi. Yogyakarta: Ombak.
Sudjana, D. 2010. Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Nonformal dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Falah.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Vansina, Jan.  1985. Oral Tradition as History. James Currey Publishers.
Wenger, Win. 2005. Beyon Teraching & Learning. Bandung: Nuansa.
Zacot, Francois-Robert. 2008. Orang Bajo Suku Pengembara Laut. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.




RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
SMA/MA.                               : SMA NEGERI 03 BOMBANA
Mata Pelajaran                        : Sejarah
Kelas/Semester                        : X/2
Standar Kompetensi               : 2.  Menganalisa Peradaban Indonesia dan Dunia
Kompetensi Dasar                   : 2.1. Menganalisa Kehidupan Awal Masyarakat Indonesia
Indikator                                 : Menjelaskan penemuan jenis-jenis manusia purba
Menjelaskan hasil kebudayaan manusia purba
Alokasi Waktu                        : 4x45 menit

A.    Tujuan Pembelajaran
Peserta didik mampu untuk:
1.      Menjelaskan perbedaan pokok manusia purba dari tahun ketahun
2.      Menguraikan mengapa penemuan pithecanthropus erectus sempat menggemparkan dunia ilmu pengetahuan
3.      Menguraikan ciri-ciri pithecanthropus
4.      Mengidentifikasi ciri-ciri kebudayaan pacitan
5.      Menjelaskan hasil kebudayaan nmanusia purba
6.      Menjelaskan hasil kebudayaan manusia purba
7.      Menunjukkkan sikap disiplin
8.      Menunjukkkan sikap jujur
9.      Menunjukkkan sikap tanggung jawab
10.  Menunjukkkan sikap peduli
11.  Menunjukkkan sikap santun
12.  Membuat peta penyebaran manusia purba di Indonesia
B.     Materi Pembelajaran
1.      Jenis-jenis manusia purba
2.      Hasil kebudayaan manusia purba
C.     Metode Pembelajaran
Penugasan, Diskusi, Ceramah
D.    Strategi Pembelajaran: Tradisi Lisan
E.     Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
Pertemuan Pertama
1.      Kegiatan Pendahuluan
a.       Apersepsi guru mengajukan pertanyaan mengenai pengertian manusia purba.
b.      Menyampaikan tujuan pembelajaran.
c.       Membagi kelompok
d.      Membacakan falsafah hidup moronene
3.      Kegiatan Inti
a.    Eksploras
Dalam kegiatan eksplorasi, guru:
Guru menjelaskan penemuan dan jenis-jenis manusia purba (nilai yang ditanamkan: Tanggung Jawab, peduli lingkungan
b.    Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi, guru:
Siswa secara berkelompok menyusun kronologi mengenai jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia. (nilai yang ditanamkan: Tanggung Jawab, peduli lingkungan.);

c.                                                                  c. Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa:
1)   Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui (nilai yang ditanamkan: Tanggung jawab,peduli);
2)   Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui. (nilai yang ditanamkan: Peduli lingkungan, tanggung jawab)

4.      Kegiatan Penutup
a.       Bersama-sama melakukan refleksi materi yang telah dibahas. (nilai yang ditanamkan: Jujur, disiplin,, tanggung jawab, peduli, santun);
b.      Menarik kesimpulan materi. (nilai yang ditanamkan: Peduli lingkungan, tanggung jawab);
F.      Sumber Belajar
1.      Kurikulum KTSP dan perangkatnya
2.      Pedoman Khusus Pengembangan Silabus KTSP SMA    
3.      Buku sumber Sejarah SMA
4.      Peta konsep
5.      Buku-buku penunjang yang relevan
G.    Penilaian
Jenis tagihan          : Portofolio
Bentuk tagihan      : Menyusun kronologi
Contoh instrumen : Susunlah kronologi mengenai jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia!

 

Tabel 1 Format Penilaian Portofolio

No
Aspek yang diamati
Nilai Capaian Kelompok
Rata-rata
K1
K2
K3
K4
K5
Total
1.
Menyimak penjelasan guru.






2.
Menghargai pendapat teman.






3.
Keterampilan merumuskan masalah.






4.
Keterampilan mencari dan mengolah sumber belajar






5.
Keterampilan menyusun data dan informasi






6.
Keterampilan menyajikan data






7.
Keterampilan menyelesaikan masalah






8.
Keterampilan menyusun laporan






9.
Mengemukakan pendapat atau ide kepada guru atau teman.






10.
Berdiskusi dalam kelompok.






11.
Mempresentasikan hasil kerja kelompok






12.
Menarik kesimpulan






13.
Berperilaku yang relevan dalam kegiatan pembelajaran.






Jumlah






Rata-rata (%)






Kriteria Penilaian :
Kriteria Indikator
Nilai Kualitatif
Nilai Kuantitatif
80-100
Memuaskan
4
70-79
Baik
3
60-69
Cukup
2
45-59
Kurang cukup
1


Mengetahui,                                                                Rumbia,                     2016
Kepala Sekolah,                                                          Peneliti,



JAM’AN,S.Pd                                                                        ASBAN,S.Pd
NIP. 196509101994121007               .                       NIP.198006172006041019





Tabel 2 RUBRIK PENILAIAN SOSIAL

No.
Nama Siswa
Skor Aspek yang Dinilai
Jumlah Skor
  Nilai Akhir (NA) atau   Skor Rerata
Sosial
Disiplin
jujur
Tanggung Jawab
Peduli
Santun

1









2









3









4









5









dst











Rentang Skor = 1 – 5, skor minimal = 5, skor maksimal = 25





Tabel 3 Penilaian Karakter Tanggung Jawab (Naondroi Adanna)
No.
Aspek yang diamati
Skor
1
2
3
4
1.
Melaksanakan setiap pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya (napigaui setiap jamang ye mencaji tanggung jawabna)




2.
Melaksanakan tugas individu dengan baik (napigaui tugas ri ale wedding makessing)




3.
Menerima resiko dari tindakan yang dilakukan (naruntu resiko pole setiap kesalahan ye di pegau-e)




4.
Tidak menuduh orang lain tanpa bukti yang akurat (denappitenna tau lain tanpa bukti ye manessa)




5.
Mengakui dan meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan (mengakui sibawa millau dampeng atas kesalahan ye nappigau-e)




6.
Melaksanakan apa yang pernah dikatakan tanpa di suruh (mappigau-i aga pura di puada tanpa di suroh)




Jumlah Skor

Rata-Rata Skor

Persentase



Tabel 4 Penilaian Karakter Peduli (Maperu)
No.
Aspek yang diamati
Skor
1
2
3
4
1.
Selalu bekerja sama saat sedang menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru (tenni pada majamma naselesaikan tugas ye di arengi pole gurunna)




2.
Menghormati teman yang berbeda pendapat (nahormati silona ye berbeda pendapat)




3.
Menerima kekurangan teman (aktif majamma kelompok)




4.
Memaafkan kesalahan teman saat mengerjakan soal kelompok (nadampengangi kesalahan silonna)




5.
Selalu membagi ilmu yang diperolehnya kepada teman kelompoknya (tenni mabagi paddisengeng narutu-e  kepada silo kelompona)




6.
Tidak mendahulukan kepentingan pribadi (de’appadioloi kepentingan pribadinna)




Jumlah Skor

Rata-Rata Skor

Persentase



Tabel 5 RUBRIK TES PENGETAHUAN
No
Indikator
Teknik
Bentuk
Instrumen
Instrumen

1.








2.





Peserta didik dapat:
Menjelaskan penemuan jenis-jenis manusia purba







Menjelaskan hasil kebudayaan manusia purba



Tes tertulis







Tes tertulis

Tes uraian








Tes uraian



a. Jelaskan perbedaan pokok manusia purba dari tahun ke tahun
b. Uraikan mengapa penemuan fosil pithecanthropus erectus sempat menggemparkan dunia ilmu pengetahuan?
c. Identifikasi ciri-ciri pithecantropus
d. Identifikasi ciri-ciri kebudayaan pacitan
e. Jelaskan hasil kebudayaan manusia purba

Tabel 6 LEMBAR PENGAMATAN ASPEK PSIKOMOTORIK
No
Nama Siswa
Aspek yang Diamati
Jumlah
Psikomotorik A


4
3
2
1
4
3
2
1
4
3
2
1

1

V












2


v











3



V
V









                                                                                                                                    


Tabel 7 RUBRIK PENGAMATAN ASPEK PSIKOMOTORIK
Aspek dan Skor
Deskriptor
Psikomotorik A
Membuat peta penyebaran manusia purba di Indonesia
4
Jika keempat aspek berikut muncul selama pengamatan
1. Nama peta
2. Kontras warna
3. Garis jalur
4. Legenda
3
Jika hanya tiga aspek yang muncul
2
Jika hanya dua aspek yang muncul
1
Jika hanya satu aspek yang muncul




Tabel 8 LEMBAR OBSERVASI AKTIFITAS MENGAJAR GURU PADA SIKLUS II
Tahapan
Aspek yang Diamati
Dilakukan
Skor
Ya
Tidak
1
2
3
4
Tahap Pendahuluan
Membuka pelajaran




Menyampaikan tujuan pembelajaran




Memperkenalkan mengenai strategi pembelajaran yang akan diterapkan




Tahap 1
Memberikan motifasi kepada siswa




Menanyakan kesiapan siswa dalam memulai pelajaran




Memberikan gambaran umum tentang materi pelajaran




Membuka materi dengan membacakan falsafah Bugis




Tahap 2
Membentuk kelompok belajar




Mempersilahkan agar para siswa duduk dalam sebuah kelompok yang telah ditentukan




Menjelaskan mengenai tugas yang telah disiapkan




Mempersilahkan siswa untuk mendiskusikan materi yang akan diajarkan





Tahap 3
Mengawasi jalannya proses pembelajaran




Memberikan penjelasan kepada siswa yang kurang memahami model pembelajaran




Mengontrol suasana dalam pembelajaran




Membimbing diskusi kelompok




Tahap 4


Membimbing siswa untuk menjawab pertanyaan didepan kelas




Fasilitator dalam presentase




Memotivasi siswa agar dapat terlibat aktif




Memotivasi agar siswa berani tampil didepan kelas




Tahap 5
Melakukan refleksi atas pembelajaran




Melakukan analisis pembelajaran




Memberikan penguatan kepada siswa




Memberikan penghargaan kepada siswa yang tampil di depan kelas




Tahap penutup
Melibatkan siswa dalam memberikan kesimpulan




Memberikan tugas rumah kepada siswa




Jumlah Skor
76
Rata-rata skor
3,04
Persentase kemampuan aktifitas guru
76






Tabel 9 LEMBAR OBSERVASI AKTIFITAS BELAJAR SISWA PADA SIKLUS II
No
Aspek yang diamati
Nilai Capaian Kelompok
Rata-rata
K1
K2
K3
K4
K5
Total
1.
Menyimak penjelasan guru.
2
3
3
3
3
2,8
2.
Menghargai pendapat teman.
1
3
3
1
3
2,2
3.
Keterampilan merumuskan masalah.
1
3
1
3
1
1,8
4.
Keterampilan mencari dan mengolah sumber belajar
2
3
2
1
2
2
5.
Keterampilan menyusun data dan informasi
1
1
1
1
1
1
6.
Keterampilan menyajikan data
1
3
2
3
3
2,4
7.
Keterampilan menyelesaikan masalah
2
2
2
1
2
1,8
8.
Keterampilan menyusun laporan
1
3
1
1
1
1,4
9.
Mengemukakan pendapat atau ide kepada guru atau teman.
1
2
2
2
3
2
10.
Berdiskusi dalam kelompok.
3
3
3
2
1
2,4
11.
Mempresentasikan hasil kerja kelompok
1
3
1
1
2
1,6
12.
Menarik kesimpulan
3
3
3
3
2
2,8
13.
Berperilaku yang relevan dalam kegiatan pembelajaran.
1
2
2
1
2
1,6
Jumlah
20
34
26
23
26
25,8
Rata-rata (%)
51,3
87,2
66,7
59
66,7
66,2




Tabel 10 HASIL EVALUASI BELAJAR SISWA PADA SIKLUS II
No
Nama Siswa
Nilai
Keterangan
Lulus
Tidak
1
AMR
74

2
ARS
80

3
ALS
93

4
DKN
73

5
FNA
85

6
IDR
80

7
INR
73

8
IML
80

9
KTA
80

10
KNH
89

11
LMA
87

12
MAR
83

13
MYS
85

14
RDA
87

15
RDT
94

16
RWT
73

17
RST
82

18
VVA
86

19
ARM
74

20
RRY
81

21
MFN
74

Nilai Rata-Rata
81,57


Persentase Ketuntasan
71,42%

Tabel 11 REKAPITULASI DATA TIAP SIKLUS
No
Tindakan
Aktifitas (%)
Karakter (%)
Guru
Siswa
Disiplin
Jujur
Tanggung Jawab
Peduli
Santun
1.
Siklus I
71
47,7
75
70
58,33
58,33
57,14
2.
Siklus II
76
66,2
79,16
75
75
70,83
71,42
3.
Siklus III
96
85,1
91,66
90
91,66
91,66
92,85
Sumber: Rekapitulasi Data Observasi





BAHAN AJAR TRADISI LISAN
FALSAFAH HIDUP ORANG BUGIS

1.    Naiya  tau  malempuu-e’ manguruu eloo-i’ tau sugi-e (orang jujur sewarisan dengan orang kaya). Maknanya: orang jujur tidak  sulit memperoleh  kepercayaan dari orang kaya karena kejujurannya.
2.    Rebba sipatokkong, mali' siparappe', sirui' menre' tessirui'no', malilu sipakainge' (Rebba saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan/saling menarik ke pinggir pantai, jika khilaf saling mengingatkan).
Maknanya: Rebah tegak-menegakkan, ialah supaya berpijak dengan teguh dan berdiri dengan megah di atas bumi kehidupan. Jika hanyut/ada kesulitan yang dihadapi seseorang harus tolong menolong. Tidak ada jalan kehidupan tanpa rintangan dan persimpangan, itulah perlunya ingat-mengatkan ke jalan yang benar. Jika semuanya sudah berpadu, maka akan menjelmah gotong royong yang sempurna.
3.    Naiya accae ripatoppoki je’kko, rirapangngi alliiri;, nare’kko te’yai mareddu, mapooloi (kepandaian yang desertai kecurangan ibarat tiang rumah, jika tidak tercabut ia akan patah).
Maknanya: Bagi Masyarakat Bugis, tiang rumah dihubungkan satu dengan yang lain menggunakan pacak, jika pacak itu bengkok, sulit masuk ke lubang tiang dan patah kalau dipaksakan. Kiasan terhadap orang pandai tetapi tidak jujur selamanya tidak akan mendatangkan kebaikan (berkah) bahkan dapat membawa bencana/malapetaka.
4.    Temmettak nawa-nawa majaa’: Tidak pernah berpikiran jahat
Tammassuk ada-ada belle: Tidak mengeluarkan kata-kata dusta
Teppugauk-gauk maceko: Tidak melakukan perbutan curang
5.    Ka-antu jekkonga  kammai batu nibuanga naung rilikuo’ na-antu lombusuka kammai bulo ammawanga ri je’ne’ka, nuossakaugi poko’na ammumbai appa’na, nuassakaugi  appa’na ammumbai poko’na (kecurangan itu sama dengan batu yang dibuang ke dalam lubang; sedangkan kejujuran laksana bambu yang terapung di air, jika ditekan pangkalnya,  maka ujungnya akan timbul, dan jika ditekan ujungnya, maka pangkalnya akan timbul).
Maknanya: kecurangan mudah disembunyikan; Akan tetapi kejujuran senantiasa tampak dan muncul ke permukaan.
6.    Raja dan  pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan memerintah berdasarkan etika pemerintahan yang disebut sulapa’ ‘appa’ (empat  penjuru tetapi bukan penjuru angin, melainkan kearifan, yaitu: Lempuu (lurus, jujur), tongeng (kebenaran, benar), warani (berani), dan temmappallaisengngi/adele (adil). Kemudian di tengah sulapa’ ‘appa’ didirikan siri’ dan pesse. Seorang pemimpin masiri’ kalau tidak jujur atau lurus dalam menjalankan pemerintahan. Masiri’ kalau tidak tegas dan berani melindungi dan mensejahterakan rakyatnya dalam menjalankan pemerintahan. Masiri’ kalau tidak dapat berlaku adil didalam menjalankan pemerintahan. Ketika seseorang memimpin menjalankan sulapa’ ‘appa’ dalam pemerintahannya dan mendapat perlakuan yang membuat yang bersangkutan direndahkan martabat maka rapu (rumpun) dari seseorang yang telah direndahkan tidak akan masseddi siri’ (rumpun itu membela kehormatan saudara se-rapu-nya). Selanjutnya masseddi siri’ berkembang menjadi pesse. Pembebasan kehormatan se-rapu dan jaringan rapu –nya. Jadi pada dasarnya seseorang pemimpin di Sulawesi Selatan malu kalau tidak jujur, berani, benar, dan adil. Etika ini berlaku pula dalam kehidupan social.




BAHAN AJAR SESUAI BUKU PEGANGAN SISWA
JENIS-JENIS MANUSIA PURBA DI INDONESIA
Manusia yang hidup pada zaman prasejarah sekarang sudah berubah menjadi fosil. Fosil manusia yang ditemukan di Indonesia terdiri dari beberapa jenis. Hal ini diketahui dari kedatangan para ahli dari Eropa pada abad ke-19, di mana mereka tertarik untuk mengadakan penelitian tentang fosil manusia di Indonesia.
Fosil manusia yang ditemukan pertama kali berasal dari Trinil, Jawa Timur oleh Eugene Dubouis, sehingga menarik para ahli lain untuk datang ke Pulau Jawa, mengadakan penelitian yang serupa. Selanjutnya penyelidikan fosil manusia dilakukan oleh GRH Von Koenigswald, Ter Har, dan Oppenoorth serta F. Weidenrech. Mereka berhasil menemukan fosil manusia di daerah Sangiran, Ngandong, di lembah Sungai Bengawan Solo. Atas temuan fosil tersebut, Von Koenigswald membagi zaman  Dilluvium/Pleistocen di Indonesia menjadi 3 lapisan yaitu
 1. Pleistocen bawah/lapisan Jetis,
 2. Pleistocen tengah/lapisan Trinil dan
 3. Pleistocen atas/lapisanNgandong.
Penyelidikan fosil manusia selain dilakukan oleh orang-orang Eropa, juga oleh para ahli dari Indonesia, seperti Prof. Dr. Sartono, Prof. Dr. Teuku Jacob, Dr. Otto Sudarmadji dan Prof. Dr. Soejono. Lokasi penyelidikan antara lain Sangiran dan lembah Sungai Bengawan Solo. Dari hasil penyelidikan tersebut dapat diketahui jenis manusia purba yang hidup di Indonesia. Untuk itu silahkan Anda pelajari uraian berikut ini
a. Meganthropus
Seperti yang telah diuraikan pada materi sebelumnya, Von Koenigswald menemukan tengkorak di Desa Sangiran tahun 1941. Tengkorak yang ditemukan berupa tulang rahang bawah, dan gigi geliginya yang tampak mempunyai batang yang tegap dan geraham yang besar-besar.
Dari penemuan tersebut, maka oleh Von Koenigswald diberi nama Meganthropus Palaeojavanicus yang artinya manusia raksasa tertua dari Pulau Jawa. Fosil tersebut diperkirakan hidupnya antara 20 juta - 15 juta tahun yang lalu, dan berasal dari lapisan Jetis. Untuk lebih menambah pemahaman Anda tentang jenis manusia purba di Indonesia, maka bandingkanlah jenis Meganthropus ini dengan jenis fosil yang lain seperti pada uraian materi berikut ini.
Ciri Meganthropus :
a. Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
b. Badannya tegak
c. Hidup mengumpulkan makanan
d. Makanannya tumbuhan
e. Rahangnya kuat
b. Pithecanthropus/Homo Erectus
Dengan kedatangan Eugene Dubouis ke Pulau jawa tahun 1890 di Trinil, Ngawi ditemukan tulang rahang, kemudian tahun 1891 bagian tengkorak dan tahun 1892 ditemukan tulang paha kiri setelah disusun hasil penemuan fosil-fosil tersebut oleh Eugene Dubouis diberi nama Pithecanthropus Eractus artinya manusia kera yang berjalan tegak. Dan sekarang fosil tersebut dinamakan sebagai Homo Erectus dari Jawa. Homo Erectus hidupnya diperkirakan antara 1,5 juta - 500.000 tahun yang lalu dan berasal dari Pleistocen tengah atau lapisan Trinil.
Ciri Pithecanthropus :
a. Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
b. Hidup berkelompok
c. Hidungnya lebar dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol
d. Mengumpulkan makanan dan berburu
e. Makanannya daging dan tumbuhan
Dari penjelasan di atas, apakah Anda sudah memahami bahwa Homo Erectus ternyata usianya lebih muda jika dibandingkan dengan Meghanthropus Palaeojavanicus.
Para ilmuwan awalnya menganggap hasil temuan E. Dubouis (Homo Erectus) bukan termasuk garis keturunan manusia, tetapi setelah adanya temuan fosil oleh Von Koenigswald dari lapisan jetis/pleistocen bawah, maka seluruh ilmuwan mengakui bahwa fosil-fosil yang ditemukan Von Koenigswald lebih tua umurnya jika dibandingkan dengan Homo Erectus yang ditemukan oleh E. Dubouis.
c. Homo Sapiens
 Homo Sapiens adalah jenis manusia purba yang memiliki bentuk tubuh yang sama dengan manusia sekarang. Mereka telah memiliki sifat seperti manusia sekarang. Kehidupan mereka sangat sederhana, dan hidupnya mengembara.
Ciri jenis Homo :
a. Hidup antara 25.000 s/d 40.000 tahun yang lalu
b. Muka dan hidung lebar
c. Dahi masih menonjol
d. Tarap kehidupannya lebih maju dibanding manusia sebelumnya
Jenis fosil Homo Sapiens yang ditemukan di Indonesia terdiri dari:
1. Fosil manusia yang ditemukan di daerah Ngandong Blora di Sangiran dan Sambung Macan, Sragen, lembah Sungai Bengawan Solo tahun 1931 - 1934. Fosil ini setelah diteliti oleh Von Koenigswald dan Weidenreich diberi nama Homo Sapien Soloensis (Homo Soloensis).
     2. Fosil manusia yang ditemukan di Wajak (Tulung Agung) tahun 1889   oleh Van Reitschotten diteliti oleh Eugene Dubouis kemudian diberi nama menjadi Homo Sapiens Wajakensis.
Kebudayaan Paleolitikum di Indonesia ditemukan di daerah Pacitan dan Ngandong, maka sering disebut Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.
1) Kebudayaan Pacitan
            Alat-alat kebudayaan Pacitan ditemukan oleh Von Koenigswald pada tahun1935. Di daerah Pacitan banyak ditemukan alat-alat dari batu yang masih sangat  kasar. Alat-alat tersebut berbentuk kapak, yakni kapak perimbas (chooper), karena tidak memakai tangkai maka disebut Kapak Genggam. Alat budaya Pacitan diperkirakan dari lapisan pleistosen tengah (lapisan Trinil); sedangkan pendukung kebudayaan tersebut ialah Pithecantropus erectus. Kapak Genggam selain ditemukan di Pacitan, juga ditemukan di Sukabumi dan Ciamis (Jawa Barat), Parigi dan Gombong (Jawa Tengah), Bengkulu dan Lahat (Sumatra Selatan), Awangbangkal (Kalimantan Selatan), dan Cabenge (Sulawesi Selatan), Flores, dan Timor. Selain Kapak Genggam, juga dikenal jenis lain, yakni alat Serpih (flake).
2) Kebudayaan Ngandong
Di sekitar daerah Ngandong dan Sidorejo (dekat Ngawi, Madiun, Jawa Timur)        didapatkan banyak alat-alat dari tulang di samping kapak-kapak genggam dari batu. Alat-alat Kebu-dayaan Ngandong ditemukan oleh Von Koenigswald pada tahun 1941 dan yang banyak ditemukan alat-alat dari tulang (semacam alat penusuk = belati),dan tanduk rusa terutama di gua.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar