INTEGRASI
TRIDISI LISAN KOMUNITAS BAHARI DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH DALAM
RANGKA PENGEMBANGAN KARAKTER SISWA
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar
Hafid, M. Pd
Makalah
Disajikan Dalam Konferensi Nasional
Sejarah X dan
Kongres
Masyarakat Sejarawanindonesia
Tema:
“Budaya Bahari dan Dinamika Kehidupan Bangsa dalam
Perspektif Sejarah” di Jakarta, 7-10 November 2016
Tema:
“Budaya Bahari dan Dinamika Kehidupan Bangsa dalam
Perspektif Sejarah” di Jakarta, 7-10 November 2016
PANITIA
KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X DAN
KONGRES
MASYARAKAT SEJARAWANINDONESIA (MSI)
JAKARTA
2016
Judul Makalah:
INTEGRASI
TRIDISI LISAN KOMUNITAS BAHARI DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH DALAM
RANGKA PENGEMBANGAN
KARAKTER SISWA
Oleh: Anwar Hafid
ABSTRAK
Mencermati kehidupan konteks masa kini, maka perlu menengok kejayaan
masa lalu dalam budaya bahari, sehingga dapat menjadi penyemangat dalam membangun
Indonesia di berbagai dimensi kehidupan berbasis budaya bahari. Dewasa ini semangat kebaharian cenderung melemah, menyebabkan sumber daya laut
Indonesia yang melimpah hilang begitu saja. Sementara itu kejayaan budaya bahari
bangsa Indonesia pada masa
lalu bukanlah cerita asing di kalangan generasi tua.
Akan tetapi, kejayaan masa lalu itu hanya sampai
sebatas kenangan bagi orang tua, sementara itu generasi muda sekarang berpaling
makin jauh dari visi kebaharian, meskipun sebagai cucu
para pelaut ulung yang pernah disegani berbagai bangsa
di dunia.
Peran kebaharian
Masyarakat Indonesia telah lama dan masih terekam dalam
tradisi lisan berupa: nyanyian, pantun, cerita, dan mantra. Tradisi tersebut antara lain ditemukan dalam latar komunitas bahari seperti: Suku Buton, Bajo,
Bugis-Makassar, dan Mandar di Kawasan Timur Indonesia. Generasi
muda tidak bisa dibiarkan melupakan sejarah keunggulan nenek
moyang di bidang kebaharian, karena generasi muda memiliki
tanggung jawab yang lebih besar dari pada elemen
masyarakat lainnya untuk ikut mewujudkan kehidupan masyarakat yang cinta
bahari. Untuk itu, generasi muda harus diberi pemahaman
peradaban bahari dan potensi kelautan dalam peningkatan sumber daya ekonomi
lewat pendidikan. Selama ini pembangunan terhadap peradaban bahari seolah-olah
ditinggalkan, sehingga keberadaan pulau-pulau terluar
dan pulau kecil sering diabaikan. Dengan demikian
perlu kajian pembelajaran
sejarah yang berkaitan dengan penguatan karakter bangsa dan pemahaman visi kebaharian dari berbagai komunitas bahari.
Pendidikan bermuatan kebaharian dapat diberikan melalui integrasi
muatan tradisi lisan tentang kebaharian dalam
pembelajaran IPS/Sejarah di SD, SMP, dan SMA. Keberadaan muatan kebaharian merupakan manivestasi investasi
jangka panjang yang dapat mengangkat citra bangsa Indonesia sebagai bangsa
bahari. Pembelajaran bermuatan kebaharian diharapkan mampu membangun sikap dan wawasan anak didik sebagai bangsa
bahari. Pengembangan kurikulum kebaharian melalui pembelajaran tradisi
lisan di sekolah merupakan
bagian dari respon terhadap kebijakan pemerintah, dimana kelautan menjadi
faktor yang penting dalam mendukung pembangunan khususnya di sektor ekonomi. Akhirnya
melalui pembelajaran IPS/Sejarah, maka rasa cinta dan
karakter kebaharian akan tumbuh dan berkembang serta diharapkan mampu menanamkan image
positif tentang kelautan pada diri anak yang kelak akan menjadi generasi
penerus masa depan bangsa.
A. Pendahuluan
Letak geografis dan keadaan alam Indonesia terutama di
Kawasan Timur Nusantara yang terdiri atas gugusan pulau, menyebabkan
masyarakatnya sebagian hidup dari laut baik sebagai nelayan maupun sebagai
pelayar niaga. Masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau
seperti Komunis Buton, Bajo, Bugis-Makassar dan Mandar merupakan masyarakat
maritim dan secara turun-temurun telah mewariskan kearifan berlayar, menangkap
ikan, dan berdagang kepada anak cucunya melalui tradisi lisan dalam bentuk: cerita rakyat, pantun, lagu, dan ungkapan filosofi
hidup. Mereka mengembangan learning
community (pendidikan informal dan pendidikan nonformal) dengan bahan belajar dikemas dalam tradisi
lisan sekaligus langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
memudahkan peserta didik (anak/keluarga, dan sawi) untuk mengadopsinya. Output
pembelajaran ini dipandang cukup efektif karena berhasil menempatkan Indonesia
sebagai masyarakat maritim yang disegani di dunia karena mereka berhasil
mengarungi laut dan samedera yang luas.
Seiring dengan berkembangnya sistem pendidikan formal
dalam lingkungan komunitas maritim ini, maka muatan kearifan lokal dalam
dimensi kemaritiman pada pendidikan informal dan nonformal mengalami penurunan.
Pendidikan formal yang diharapkan dapat lebih mengembangkan nilai-nilai
karakter positif dari kearifan lokal belum mampu untuk mentransfer dalam
pembelajaran termasuk dalam bentuk integrasi sekalipun, sehingga anak-anak dari
komunitas maritim seakan mereka tercabut dari akar budayanya yang kemudian
berdampak terhadap menurunnya sikap dan minat kebaharian masyarakat Indonesia
termasuk anak dari komunitas bahari.
Mencermati fenomena tersebut, maka pendidikan formal
harus mampu mengakomodir nilai-nilai lokal tersebut yang masih berserakan dalam
bentuk tradisi lisan dari berbagai jenisnya. Artinya perlu mengakomodir
kebutuhan lokal yang ada di sekitar peserta didik. Upaya mengakomodir kebutuhan lokal tersebut, maka Kemendikbud mengeluarkan Permen No. 79 Tahun 2014 Tentang Muatan Lokal
Kurikulum 2013
Pasal 1 menyatakan bahwa muatan lokal adalah bahan kajian atau
mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi muatan dan proses
pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal.
Pasal 2 (1)
Muatan lokal merupakan bahan kajian atau mata pelajaran pada satuan pendidikan
yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal
yang dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan
dan kearifan di daerah tempat tinggalnya. (2) Muatan lokal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajarkan dengan tujuan membekali peserta didik dengan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk: (a)
mengenal dan mencintai lingkungan alam, sosial, budaya, dan spiritual di
daerahnya; dan (b)
melestarikan dan mengembangkan keunggulan dan kearifan daerah yang berguna bagi
diri dan lingkungannya dalam rangka menunjang pembangunan nasional.
Muatan lokal
dapat berupa: seni budaya, prakarya, pendidikan jasmani, olahraga, dan
kesehatan, bahasa, dan/atau teknologi. Muatan pembelajaran terkait muatan lokal
berupa bahan kajian terhadap keunggulan dan kearifan daerah tempat tinggalnya, dapat diintegrasikan antara lain dalam mata
pelajaran tertentu. Dalam konteks ini muatan lokal tradisi lisan,
selain dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran: seni budaya,
prakarya, pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan, juga diintegrasikan dalam Mata Pelajaran IPS SD/SMP atau Sejarah di
SMA/MA/SMK.
Salah satu kearifan dan keuanggulan lokal yang tersimpan
dalam bentuk tradisi lisan adalah dimensi kebaharian dalam arti luas. Dalam
konteks ini telah berjalan sepanjang sejarah yang terungkap dalam pernyataan “Nenek
Moyangku Seorang Pelaut”, akan tetapi akhir-akhir ini cenderung
mengalami kemunduran.
Salah
satu upaya dalam membangun kembali semangat kebaharian bangsa Indonesia adalah
dengan memasukkan konsep kebaharian dalam kurikulum pendidikan nasional,
utamanya pada jalur pendidikan formal di tingkat pendidikan dasar (SD, SMP, MI,
MTs), Pendidikan Menengah (SMA, SMK, MA) maupun pendidikan tinggi (PTN, PTS). Dengan masuknya materi kebaharian sebagai bagian integral dalam kurikulum pendidikan
nasional, maka diharapkan mampu menanamkan image positif tentang kelautan pada
diri anak didik yang kelak akan menjadi kader generasi penerus masa depan
bangsa. Keberadaan pendidikan kebaharian
merupakan manivestasi investasi jangka panjang yang dapat mengangkat citra
bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari.
Pendidikan
kebaharian mampu membangun sikap serta wawasan anak didik terhadap kondisi
geografis Indonesia sebagai bangsa bahari dalam
bentuk negara kepulauan yang terbesar di dunia. Dengan demikian wawasan dan
pemahaman cinta bahari harus terus diajarkan dan dibiasakan sejak dini terhadap
anak didik melalui pendidikan formal yang ada. Pengembangan budaya
masyarakat bahari merupakan bagian dari respon
terhadap kebijakan pemerintah tentang “Tol Laut”, menjadi faktor yang penting dalam mendukung pembangunan
khususnya di sektor ekonomi. Muatan kebaharian
adalah seperangkat informasi tentang
berbagai aspek yang berhubungan dengan laut, yang harus ditempuh dan
dikuasai, untuk mencapai suatu tingkat kemampuan tertentu.
Terdapat
suatu alasan yang mendasar mengapa pada pendidikan formal di semua jenjang pendidikan
sangat tepat sebagai sarana membangun kembali semangat dan jiwa kebaharian
bangsa Indonesia, yaitu: pendidikan formal pada semua jenjang pendidikan
merupakan pendidikan yang pasti akan dilalui oleh setiap peserta didik.
Pendidikan formal merupakan landasan untuk dapat memahami konsep kebaharian
secara menyeluruh. Adapun keberadaan sekolah menengah pelayaran atau perikanan,
akademi atau universitas yang membuka jurusan kelautan atau perikanan, mata
pelajarannya sudah menjurus dan mengarah pada suatu profesi atau pekerjaan
tertentu.
Melalui integrasi muatan
materi kebaharian dalam pembelajaran,
maka diasumsikan bahwa kelak warga negara Indonesia akan mengubah pandangan kontinental atau ke daratan selama ini dan akan digantikan dengan pandangan yang berwawasan kebaharian.
B.
Konsep Tridisi Lisan
Hakikat kelisanan
(orality) mencakup
segala hal yang berhubungan dengan sastera, bahasa, sejarah, biografi, dan
berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke
mulut. Tradisi
lisan tidak hanya mencakup ceritera rakyat, teka-teki, peribahasa, nyanyian
rakyat, mitologi, dan legenda sebagaimana umumnya diduga orang, tetapi juga
berkaitan dengan sistem kognitif kebudayaan, seperti: sejarah, hukum, dan
pengobatan (Pudentia, 1999).
Penuturan secara verbal yang dipahami
sebagai kesaksian
lisan dari satu generasi ke generasi selanjutnya,
merupakan
hakikat dari tradisi lisan. Tradisi lisan lebih banyak berkenaan
dengan peristiwa-peristiwa atau tradisi yang berkembang
di tengah masyarakat bukan hanya yang berhubungan
dengan satu peristiwa
sejarah. Tradisi lisan
dapat diidentikkan dengan folklor, baik folklor lisan maupun
sebagian lisan.
Sifat dari tradisi lisan adalah turun temurun dan
fungsinya untuk memperkuat ikatan komunal dalam masyarakat. Tradisi lisan
mengacu pada historical gossip misalnya cerita tentang cikal bakal penghuni
pohon dan tentang mitos. Tradisi lisan dapat diwariskan melalui adat-sitiadat, cerita
dongeng, pertunjukan, dan kepercayaan masyarakat.
Tabel 1. Perbedaan
Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan
Sejarah
Lisan
|
Tradisi
Lisan
|
1. Merupakan metode pengumpulan dan
penyimpanan informasi kesejarahan
2. Tidak terbatas pada kebudayaan
lisan
3. Sengaja dicari dengan teknik
wawancara
4. Termasuk kesaksian mata
5. Si pencerita merupakan bagian dari
peristiwa
6. Disampaikan secara langsung dari
pelaku
|
1. Merupakan sumber bagi penelitian
sejarah
2. Terbatas pada kebudayaan lisan
3. Didapat secara langsung
4. Tidak termasuk kesaksian mata
5. Si pencerita bukan merupakan
bagian dari peristiwa
6. Disampaikan secara turun temurun
dari satu generasi ke generasi berikutnya
|
Menurut
Sibarani (2000) tradisi lisan adalah semua kesenian, pertunjukan atau permainan
yang mengguanakan tutur lisan. Unsur kelisanan merupakan bagian utama dari
tradisi lisan. Menurut Dorson (1963) tanpa kelisanan suatu budaya tidak bisa
disebut tradisi lisan. Oleh karena itu secara utuh tradisi lisan mempunya
dimensi: (1) kelisanan, (2) kebahasaan, (3)
kesetaraan, dan (4) nilai budaya.
Perkembangan tradisi lisan terjadi dari
mulut ke mulut, sehingga menimbulkan banyak versi cerita. Menurut Hutomo
(1991), tradisi lisan mencakup beberapa hal, yakni: (1) berupa kesusastraan
lisan, (2) berupa teknologi tradisional, (3) berupa pengetahuan folklore di luar
pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (4) berupa unsur-unsur religi dan
kepercayaan folklore di luar batas formal agama-agama
besar, (5) berupa kesenian folklore di luar pusat-pusat istana dan
kota metropolitan, dan (6) berupa hukum adat.
Menurut Vansina (1985) tradisi lisan sebagai "pesan
verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa
kini" di mana "pesan itu haruslah berupa pernyataan yang dituturkan,
dinyanyikan, atau diiringi alat musik"; "Haruslah ada penyampaian
melalui tutur kata dari mulut sekurang-kurangnya sejarak satu generasi".
Para sosiolog, bahasawan, atau sarjana seni verbal mengajukan pendekatannya
masing-masing, yang untuk kasus khusus (sosiologi) mungkin saja menekankan
pengetahuan umum, fitur kedua yaitu membedakan bahasa dari dialog (bahasawan)
biasa, dan fitur terakhir adalah bentuk dan isi yang mendefinisi seni
(pendongeng). Tradisi lisan dapat didefinisikan sebagai kesaksian yang
disampaikan secara verbal dari satu generasi ke generasi berikutnya. Persifatan
khusus sedemikian adalah tentang keverbalannya dan cara bagaimana ia
disampaikan (Ki-Zerbo, 1990).
Tradisi
lisan memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia yang pada
dasarnya memiliki empat fungsi, yaitu: (1) sebagai sistem proyeksi, yakni
sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, (2) sebagai alat pengesahan
pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidikan,
dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan
selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya.
Tradisi lisan sebagai bagian dari kajian lokal ataupun kearifan lokal menurut
Lapian
(1980) menunjukkan bahwa kepentingan
lebih lanjut dari kajian secara lokal, yaitu: “untuk bisa mengadakan koreksi
terhadap generalisasi-generalisasi yang sering dibuat dalam penulisan sejarah
nasional”. Sebagai ilustrasi masalah generalisasi yang menyangkut periodisasi
sejarah Indonesia yang sering diberi istilah Zaman Hindu. Pada kenyataannya ada
daerah-daerah yang tidak mengenal periode zaman Hindu (seperti Sangir-Talaud,
Sewu, Rote, dan Wilayah Sulawesi Tenggara). Ada pula daerah-daerah yang sampai
sekarang masih berpegang pada Hinduisme (seperti Bali, dan sebagian Lombok). Di
sini juga nampak bahwa pengembangan penulisan sejarah lokal akan memberikan
bahan pengecekan terhadap anggapan teoritis yang bersifat menggeneralisasikan
masalahnya untuk seluruh Indonesia.
Ada beberapa aspek positif dalam
pembelajaran sejarah local yang umumnya
bersumber dari tradisi lisan, baik yang bersifat edukatif psikologis maupun yang
bersifat kesejarahan sendiri. Pertama, mampu
membawa peserta didik pada situasi ril di lingkungannya dan mampu menerobos
batas antara dunia sekolah dan dunia nyata di sekitar sekolah. Dilihat secara
sosio-psikologis bisa membawa peserta didik secara langsung mengenal dan
menghayati lingkungan masyarakatnya, dimana mereka
merupakan bagian di dalamnya (Douch, 1967; Mahoney, 1981).
Kedua, pembelajaran sejarah lokal, akan
lebih mudah membawa siswa pada usaha untuk mengenang pengalaman masa lampau
masyarakatnya dengan melihat situasi masa kini, bahkan dapat
memproyeksikan peluang dan tantangan
pada yang akan datang. Dalam pembelajaran sejarah lokal peserta didik akan
mendapatkan banyak contoh dan pengalaman dari berbagai tingkat perkembangan lingkungan
masyarakatnya, termasuk situasi masa kini. Dengan demikian, mereka akan lebih
mudah menangkap konsep perubahan yang menjadi kunci penghubung antara masa
lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.
Kalau
dihubungkan dengan teori J. Bruner maupun dalam hubungan dengan konsep
pendekatan proses, maka pembelajaran sejarah lokal sangat mendukung prinsip
pengembangan kemampuan peserta didik untuk berpikir aktif, kreatif dan
struktural konseptual. Hampir semua prinsip dalam rangka pembelajaran siswa
aktif sangat relevan dengan kegiatan
pembelajaran yang bermuatan sejarah lokal. Sesuai dengan sifat materi serta
sumber sejarah lokal, maka peserta didik akan terdorong untuk menjadi lebih
peka lingkungan, begitu juga mereka akan lebih terdorong mengembangkan
keterampilan-keterampilan khusus seperti: mengobservasi, teknik bertanya atau
melakukan wawancara, mengumpulkan dan menyeleksi sumber, mengadakan klasifikasi
serta mengidentifikasi konsep, bahkan membuat generalisasi, kesemuanya itu
mendorong bagi perkembangan proses belajar bersifat discovery inquiry.
Berdasarkan
pemikiran tersebut menunjukkan bahwa tradisi lisan merupakan lambang identitas
daerah/komunitas
yang diungkapkan lewat bahasa lisan, tradisi, hukum, sejarah yang mengandung
nilai-nilai luhur yang sangat berharga. Tradisi lisan merupakan suatu aset
kekayaan budaya yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai bahan ajar bagi masyarakat setempat, sehingga dapat
melestarikan nilai dan mengembangkan karakter positif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akhirnya tepatlah dikatakan Cobern dan Aikenhead (2008) bahwa transfer pengetahuan apapun bentuknya, harus
mempertimbangkan latar belakang budaya peserta didik. Sejalan dengan itu Wenger (2004) menyatakan bahwa dengan mendesksripsikan
secara bermakna kepada orang lain (peserta didik) hal-hal atau
pengalaman-pengalaman yang makin menantang, akan mendorong kemampuan peserta
didik untuk mendeskripsikannya.
Tradisi lisan komunitas bahari, juga memiliki keempat fungsi tersebut,
sehingga tradisi lisan di satu sisi dapat digunakan sebagai media pembelajaran
dan di sisi lain dapat digunakan sebagai sumber/materi pembelajaran. Fungsi
tradisi lisan komunitas bahari akan dapat mengubah manusia terutama generasi
muda ke masa depan yang lebih cerah apabila diamanatkan dalam proses pembelajaran
baik dalam pendidikan formal, nonformal, dan informal. Dengan demikian perlu
integrasi tradisi lisan masyarakat bahari ke dalam pembelajaran baik sebagai
media pendidikan maupun sebagai sumber belajar.
Menurut
Sibarani (2013) folklor termasuk yang lisan/tradisi lisan dapat digunakan
sebagai media pendidikan untuk menyampaikan pelajaran kepada siswa guna
mempermudah pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan individu untuk terlibat
dalam proses pembelajaran. Selain itu, tradisi lisan juga dapat berfungsi
sebagai salah satu langkah dalam melestarikan budaya lokal yang ada. Hal ini
dirasakan perlu pada saat sekarang ini karena banyak dari generasi muda sudah
melupakan budaya yang merupakan warisan leluhur nenek moyang dan kebanggaan
identitasnya.
Dalam kondisi tersebut, maka peran guru sangat
penting untuk mendisain pembelajaran dalam aspek: materi, metode, dan media
pembelajaran. Guru IPS/Sejarah tidak cukup hanya menjadi pengajar, tetapi juga
harus menjadi peneliti untuk menggali sejarah lokal yang masih berserakan dalam
bentuk tradisi lisan untuk selanjutnya diintegrasikan dalam pembelajaran.
C. Tradisi Lisan dalam
Komunitas Bahari
Komunitas
Bahari di Kawasan Timur Indonesia, seperti: Komunitas Buton, Bajo,
Bugis-Makassar dan Mandar masih tetap mempertahankan semboyang Nenek
Moyangku Seorang Pelaut. Mereka memiliki tradisi lisan yang masih hidup
sampai saat ini, dan tradisi lisan tersebut memiliki muatan edukatif dan
normatif yang masih relevan dikembangkan dalam era sekarang ini.
Bagi
Masyarakat Buton, konsep masyarakat bahari diformalkan dalam struktur
pemerintahan Kesultanan Buton, karena terdapat jabatan Kapilao Matanyo dan Kapitalao Sukanayo (Panglima Angkatan Laut
Timur dan Panglima Angkatan Laut Barat) (Hafid, 2012).
Masyarakat Buton
di Wakatobi mengenal tradisi po asa-asa (bersatu)
dan po hamba-hamba (bantu-membantu).
Tradisi persatuan dan tolong-menolong ini dibangun di atas landasan filosofi mai to assae na hada, ara no assamona hada
mou te bumbu no dete (mari kita satukan kehendak, jika kehendak sudah
menyatu, maka bukit pun akan menjadi rata). Tradisi ini diimplementasikan dalam
pelayaran yang tercermin dalam konsep asa
rope (satu perahu), mate asa-asa
tumbu asa-asa (mati sama-sama, hidup sama-sama) yang dipegang teguh dalam
kondisi perahu terancam bahaya, misalnya: ancaman badai dan karam. Konsep lain
adalah porambanga (berlayar bergandengan)
artinya beberapa perahu meninggalkan pelabuhan secara bersama-sama dengan satu
tujuan (Ali-Hadara, 2015).
Tradisi
lisan dalam bentuk gangguan Sanggila
(bajak laut) dari di Wilayah Wakatobi-Buton terdapat dua kelompok sanggila, yaitu: (1) Sanggila Mangindanao/Manginda/ Mindanao dari
Philipina Selatan, (2) Sanggila Tobelo
dari Maluku Utara (Lapian, 2009; Ali-Hadara, 2015). Pertarungan antara sesama sanggila sering terjadi yang disebut kapala nu sanggila (kepalanya bajak
laut) artinya pertarungan satu lawan satu dan bagi yang kalah kepalanya
dipenggal kemudian dibiarkan begitu saja. Salah seorang pemimpin sanggila yang terkenal bernama La Bolontio, kemudian tewas di tangan pasukan Buton yang dipimpin
oleh La Kilaponto dan para pengikutnya yang selamat melarikan diri. Kehadiran
para sanggila di wilayah perairan
Wakatobi mendapat perlawanan dari masyarakat yang dipimpin oleh La Mainaka.
Cerita
tersebut mengandung nilai-nilai persatuan, tolong-menolong, dan semangat
patriotisme yang perlu diwarisi oleh generasi muda, sehingga dipandang perlu
untuk dipelajari lebih awal melalui pendidikan formal sejak SD.
Tradisi
lisan masyarakat Buton yang memuat aspek religius terungkap dalam Kabanti Ajonga Yinda Malusa yang
menyatakan bahwa pada zaman pemerintahan Sangia
Ncili-Ncili (Sultan Zainuddin La Tumpamana 1681-1689) setiap hari jum’at
Sultan Ternate mengharuskan semua pembesar Buton melakukan shalat jum’at di
Ternate. Ketika azan terdengar, mereka masih dalam perjalanan dan dapat pergi
pulang dari Buton ke Ternate dengan perahunya. Selanjutnya dalam versi lain dinyatakan
bahwa Sultan Zainuddin (La Tumpamana)
yang selalu shalat jum’at di Ternate yang berangkat ke Ternate dengan
menggunakan perahu Wasilomata
(sekejap mata) (Ihsan, 2015).
Seiring
dengan perkembangan pelayaran niaga di Nusantara pada abad XVII, maka di setiap
pelabuhan ditempatkan perwakilan (Syahbandar),
pemangku jabatan ini harus makhir berbahasa Melayu dan
bahasa daerah setempat sebagai alat diplomasi. Dari sinilah peran
pelayar niaga Buton, Bajo, Bugis-Makassar,
dan Mandar (B3M2)
dalam mentrasformasikan pemakaian Bahasa dan Sastra Melayu di wilayah-wilayah
kerajaan pesisir pantai Nusantara dan Asia Tenggara. Sejak abad XVII pelabuhan
Makassar menjadi tempat transit barang dagangan dari Kawasan Timur Nusantara
untuk selanjutnya ke Barat atau sebaliknya (Hafid, 2005; Zuhdi, 1997). Para
pedagang B3M3
sudah akrab dengan pedagang Melayu, mungkin pula peran Orang Bajo seperti
ditulis dalam Lontarak Asal-usul Suku Bajo, yang memiliki banyak persamaan
budaya khususnya bahasa dengan suku Laut di Selat Malaka, juga mengakui
leluhurnya dari Johor, yang kemudian tersebar di segenap pesisir pantai dan
pulau-pulau terpencil di Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, bahkan sampai
di Philipina Selatan, Siam, dan Kamboja. Suku Bajo tetap konsisten
mempertahankan Bahasa dan Sastra Melayu, selain Bahasa Bajo (Hafid, 2003).
Konteks masyarakat Bajo, maka dua
orang peneliti bajo bernama Ismail dan
Nuraini (2013) memandang bahwa Masyarakat Bajo memiliki kebanggaan dan kesetiaan pada bahasa dan
budayanya. Namun, bahasa dan budaya Bajo tidak diajarkan di sekolah sehingga
ada kekhawatiran punah di kemudian hari. Para penutur tradisi lisan yang
merupakan satu-satunya alat pelestarian budaya dan media
pembelajaran karakter dalam dimensi kebaharian mereka semakin
berkurang. Misalnya di Sulawesi Tenggara pelantun Iko–iko
M. Syukur yang biasa di panggil Wa Candra atau di panggil Puto Syukur, telah
meniggal dunia (Anonim, 2009). Puto Syukur terkenal dengan nyanyian Iko–iko nya yang merupakan cerita-cerita
tentang budaya bajo, termasuk masalah sosial yang baru saja terjadi, tak lepas
dari untaian kata dari iko-iko yang ia bawakan.
Perkembangan iko-iko
dari tahun ke tahun mengalami kemunduran (stagnan) bahkan terancam punah.
Penutur iko-iko yang masih ada saat
ini, termasuk di Sulawesi Tenggara sangat terbatas dan bahkan sangat langka.
Dengan demikian jika kondisi ini dibiarkan, maka iko-iko yang merupakan kebanggaan Komunitas Bajo akan punah. Berikut contoh Iko-iko:
Nahkoda
Asang
Nahkoda
Asang Bele. Bele llaw masi ya didikki. Boan pore sanang pore lama’ ma rantau.
Kalaha’ sehe ma mia dirina sanang ooo. Kallalao ele kabittaang na nggai bele
lagi sanang ya tattanda ele mma na.
Ma
tikka ne ya ma kampoh sanang masi ya teteo bona ngala gandah na , ngala po’
saramana sanang bele. Duaine manusia kampoh , pupo’ ka toroh jambatah. Bona
ngoya’ sanang yo’ na ooo. Juragang daha kita geger. barah dandangang datu bele.
Bona palua sanang bona ningge ma poong tikala’ Bona ngoya’ ka kampoh.
Ayo’na
datu barah kaang ne kamu tikkang kampoh kami bele. Allau patundo sanang ne iyya
ka torh jambatah bona duai matilawang mmana. Yyo’na oooo mma bele sanang. Ngga
ko sanang ndiku, Sitti Rugayya. Andah, yyo’na sanang ndi nnte Sitti Rugaiyya
udane sanang di boa ele Balanda bele sanang ka tana balanda bele,
Allau
yyo’na mma ooo bele sanang. Cilaka ai ko itu ma aku nggai wwa ku karapiku,
nggai ndi kudu karapiku bele. Undah iyya ma nanges bona manguju dirina sanang.
Bona duai ka bido’ dui ya ka bido’ pakunjah sanang Mbo Panai.
Yyo’na
ana’ Nahkoda Asang , boanu aku katonang ku nte piddi’ atainu na pore bono ka
tana Balanda bele, Ndah bona barangka’ sanang ka tana Balanda.
Masi
ya teteo kita ne kappal Balanda pa ampa’ ma bundaang na. Bona ngala mariang na
sanang. Bona nyerang kappal Balanda nggai bibitta bona patindeng.
Artinya:
Nahkoda Asang, dia
masih kecil sudah pergi berlayar merantau ke kampung orang lain mencari jati
dirinya.
karena lamanya merantau,
sehingga dia sudah tidak ditandai/diketahui oleh Mamanya.
Setelah dia sampai ke
Kampung, masih jauh dia sudah mengambil Gendang kemudian memukulnya. Datang lah orang-orang di kampung,
berkumpul di ujung jembatang, kemudian dia berteriak, juragan jangan ribut,
siapa tahu ada anak Datu (Raja). Kemudian
dia keluar (dari
kapal), kemudian dia berdiri di tiang layar,
kemudian berteriak ke kampung.
Katanya kami datang ke kampung kami. setelah sandar
ke ujung jembatan, dia (Nahkoda Asang) menanyakan Mamanya. Katanya, hai Mama,
Di mana Adikku, Sitti Rugayya. Ibunya menjawab Sitti Rugaiyya sudah di bawa
oleh Belanda ke negeri Belanda.
Pada
hari itu katanya, celaka apa kah ini yang terjadi pada diriku tidak Bapakku (uwa ku) saya dapatkan, bukan juga adikku.
Setelah dia menangis dia mempersiapkan
dirinya (akan berangkat).
Kemudian dia
(Nahkoda Asang) turun ke Perahunya,
melompatlah Mbo Panai,
Katanya Anakku Nahkoda Asang,
bawa saya, saya tahu kau sakit hati, sehingga mau pergi berperang ke negeri
Belanda.
Masih jauh, dia sudah melihat Kapal Belanda, menghadang di depannya.
Kemudia mereka mengambil Meriam dan menyerang kapal Belanda, tidak lama Kapal
itu tenggelam.
Iko-iko tersebut menggambarkan sikap patriotisme dan menjunjung tinggi harkat dan
martabat keluarga dan bangsa, melawan kejahatan penjajah Belanda.
Berikut contoh nauya (nyanyian Bajo) yang menggambarkan
pendidikan kebaharian:
Ella-ella, tidorko daha
nandole
Batongko daha nanges
Batongko daha dinanges
uwan’nu pore sakai ka Papua
Barah dibunang umor
taha, nia dalle’na
Barah dibunangko umor
taha mubasar nusakai daruwa uwa’nu.
Hai
bunga tidurlah jangan ingat-ingat yang lain
Bangunlah
jangan menangis
Bangunlah
jangan engkau menangis bapakmu pergi berlayar jauh ke Papua
Mudah-mudahan
dia diberi umur panjang dan banyak rezekinya
Mudah-mudahan
engkau diberi umur panjang dan besar, engkau berlayar seperti bapakmu.
Masyarakat bahari lainnya adalah Bugis-Makassar
yang memiliki berbagai ungkapan lisan menggambarkan kegemaran dan keberanian
mengarungi lautan, yaitu: Pura babbara’
sompe’ku, pura tangkisi gulikku, ulebbirennni tellengnge natowalie (Jika layar
sudah terkembang, kemudi sudah terpasang, lebih baik tenggelam dari pada surut
langkah/kembali (Machmud, 1976). Dalam ungkapan sejenis dinyatakan bahwa: Sompen’ni tapada sompe’ tapada mammenanga
tasiallabuang (Marilah kita berlayar bersama-sama untuk menuju suatu
tujuan). Ungkapan serupa berbunyi Teegi-teegi
sore lopie, koni taro sengereng (dimana saja perahu berlabuh di situlah
kita menanam/menyimpan kenangan). Artinya, bagi Orang Bugis Makassar merantau
ke negeri orang merupakan suatu yang biasa, dan negeri rantauan dianggan
negerinya sendiri, sehingga dia berusaha menanam/menyimpan kenangan, menanam
budi baik atau membangun wilayah di mana ia bermukim, mereka cenderung menetap
di daerah perantauan. Perantau Bugis-Makassar harus mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan
lingkungan barunya. Ia harus mau menerima dan toleransi dengan budaya setempat,
setelah ia mampu menyakinkan masyarakat setempat untuk menerimanya sebagai
bagian dari masyarakat itu sendiri.
Ibarat pepatah Melayu, dimana bumi dipijak disana langit dijunjung. Maka
falsafah Bugis-Makassar
ini bermakna, dimanapun perahuku kutambatkan, di sanalah saya menanam budi
baik. Selanjutnya terdapat beberapa nyanyian Pelaut Bugis-Makassar, berikut ini.
Pitte
Cina uala ranreng lopi
Jarung
sipeppa’ uala balango
Nakua
sompe’ mua
Dengan benang Cina (sutera)
seutas sebagai tali perahu
Dengan jarum sebatang sebagai jangkar
Akupun
tetap berlayar
Somperengng-e
uala paddaga-raga
Tasi-e
uala lino pottanang
Lolangeng
ri masagena-e
Berlayar adalah
nafas hidupku
Laut adalah daratanku
Dijadikan pengembaraan tanpa batas
Nalawa mua salareng riwu
Nakuguncirik gulikku
Kualeleangngi tellengng-e natowali-e
Meski di hadapan ada topan
Kemudiku tetap kuputar
Lebih baik tenggelam dari pada surut/kembali
Dua sompe kupattinja
Dua guling kupattejjok
Dua balango kupangatta
Makkarewangeng maneng
Dua layar kusiapkan
Dua kemudi kutancapkan
Dua jangkar kuteguhkan/persiapkan
Semua
adalah sahabatku (Hamid, 2005).
Orang
Bugis-Makassar adalah perantau,
umumnya orang sudah tahu, akan tetapi, jika pertanyaanya adalah “apakah yang
membuat Orang Bugis-Makassar
suka merantau? dan mengapa Orang Bugis banyak sukses di tanah rantau? Tentu
saja tidak semua orang akan mampu menguraikan jawabannya.
Sedikit
berkelakar bahwa etos
kerja Orang Bugis-Makassar
sangat tinggi karena Orang Bugis-Makassar sangat kompleks kebutuhan hidupnya. Terutama saat ia sudah
dewasa, mulailah berpikir untuk menikah, dan tradisi pernikahan di kalangan Orang Bugis-Makassar tidak murah. Setelah menikah
berpikir lagi untuk memiliki rumah dan kendaraan. Setelah itu tercapai, maka mereka ingin naik Haji. Bagi mereka
status haji adalah simbol religius dan simbol
strata sosial ekonomi bagi Orang Bugis-Makassar. Setelah semua itu tercapai, maka Orang Bugis-Makassar kembali lagi ke kebutuhan dasar
tadi, ingin menikah lagi, ingin
memiliki rumah
baru, kendaraan baru, naik haji lagi dan seterusnya. Kebutuhan yang tinggi
inilah yang membuat Orang Bugis-Makassar memiliki etos kerja keras yang
menyebabkan mereka merantau dengan mengarungi lautan.
Orang Bugis-Makassar tidak hanya sukses di tanah rantau, tetapi juga mampu beradaptasi dengan
lingkungan dimana mereka berdiam. Di beberapa daerah kehadirannya banyak
mewarnai dinamika dan eksistensi masyarakat setempat. Di tanah Jawa mereka
mampu hadir ditengah riuh rendah pergolakan pada zaman Kerajaan Mataram Islam, sehingga
muncullah Kampung
Bugisan dan Daengan. Di tanah para Dewa, mereka berbaur dengan masyarakat dan
budaya Bali hingga muncullah kampung Serangan. Di daratan Sumatera, Kalimantan,
Maluku, Nusa Tenggara, Papua bahkan hingga di luar negeri keberadaan mereka
juga tercatat dalam sejarah dan benak masyarakat pribumi. Entah itu catatan
bertinta emas dan atau bertinta kelabu. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa
catatan kelabunya tidaklah sebanyak catatan emasnya. Kemampun mereka
beradaptasi dengan masyarakat dan budaya setempat adalah kuncinya.
Khasanah
budaya Bugis-Makassar
sendiri banyak mengajarkan falsafah-falsafah hidup sebagai kearifan lokal yang
menjadi bekal bagi para perantau. Beberapa falsafah tersebut diantaranya: Palettui aleta riolo tejjokata; pasaniasai
jamatta riolo temmototta=sampai ke tujuan sebelum berangkat; selesaikan
pekerjaan esok hari sebelum bangun tidur.
Falsafah
ini mengajarkan kepada calon perantau agar tidak “merantau buta”, atau tidak merantau tanpa arah dan tujuan yang
jelas. Perantau
sejati Bugis-Makassar tidak merantau dengan mengikuti
arah kaki kemana hendak melangkah, tidak boleh berprinsip: tegi-tegi monro tallenttung
ajeta, konitu
leppang (dimana
kaki terantuk, disanalah kita berhenti). Prinsip ini bermakna dan bersugesti negatif, tetapi merantau harus disertai dengan
kepastian akan tempat yang dituju apa yang akan dikerjakan di sana, bahkan
calon perantau harus meyakinkah ruh dan jiwanya sudah ada dan menyatu dengan
negeri rantau yang akan dituju.
Hukum
ekonomi yang meminimalkan modal dan memaksimalkan keuntungan adalah inti yang
diajarkan dalam falasafah ini. Seorang perantau, harus berangkat dengan bekal
sedikit dan kelak jika pulang harus membawa hasil sebanyak-banyaknya. Di luar
ranah ekonomi, falsafah ini juga bermakna “lihatlah ketika anda berangkat merantau anda bukan siapa-siapa, maka saat anda kembali nanti, maka anda harus menjadi orang terpandang”.
Pemaknaan ini cocok untuk mereka yang merantau dengan tujuan menimba ilmu atau
mengejar jenjang karir, ataupun mereka yang merantau karena mengejar cintanya.
Niat yang teguh, tekad yang bulat, semangat yang membara
harus terus terjaga, tak boleh luntur dalam perjalanan ke negeri rantau bahkan saat berada
di negeri rantau itu sendiri. Seorang perantau harus berpegang pada niat, tekad
dan semangat. Jika tidak, dikhawatirkan ia akan mundur atau surut jauh sebelum
ia mencapai yang diimpikannya, serta mundur sebelum tiba di negeri rantau.
Falsafah
tersebut menegaskan bahwa seseorang yang
telah memilih merantau sebagai jalan hidup, harus kukuh, kokoh dan kekeh dengan
pilihannya. Tidak boleh ada kata mundur apalagi batal, sehinga tidak jadi merantau, apapun resikonya, seperti
ungkapan sebelumnya yang menggambarkan seorang pelaut yang telah memasang kemudinya, sudah kembangkan layarnya, mereka
tidak akan surut kembali sebeluam samapai pada tujuannya. Falsafah tersebut adalah contoh kecil dari
beragamanya kearifan lokal Bugis-Makassar yang terkait dengan ikhwal kemaritiman
yang dikemas dalam beberapa tradisi lisan.
Petuah nenek moyang
tentang kebaharian, yaitu: de gaga-tu akkatenningetta ri tengana tasi’e
saliwenna puang-allata’ala riakkatenning,
jaji maresopi limbang tasi na tollettu ri pottanang-e. Kalau sudah di
tengah laut (air) tidak ada pegangan kita, selain berpegang teguh (tawakkal)
kepada Allah (yang memberi keselamatan, rezeki dan lain-lainnya), jadi perlu perjuangan untuk bisa sampai dan
bertemu dengan daratan.
Makna
di balik itu sangat jelas bagi pelayar
Bugis-Makassar
sebagai komunitas mritim bahwa
kalau mau hidup dan bisa bertahan hidup, maka peganglah filosofi tersebut
sebagai spirit dalam berjuang mengarungi dunia ini sehingga cita-cita dan
harapan untuk menghidupi
keluarga secara layak bahkan menjadi saudagar sukses yang sering kita dengar selama
ini. Masih banyak bentuk kearfikan lokal
lainnya yang sekiranya tak cukup ruang untuk diulas pada tulisan ini.
D. Pendidikan Berbasis
Sosial Budaya
Salah satu
model belajar yang menarik adalah model Cina yang kembali ke akar, yaitu
menemukan kembali kekuatan dahsyat dari budaya asli masyarakat. Cina berusaha
keras mengawinkan era kecerdasan jaringan dengan tradisi dan akar budayanya
sendiri. Dalam melaksanakan misi tersebut, Cina menemukan kembali bahwa banyak
metode belajar yang efektif saat ini sebenarnya telah pernah diajarkan 2.500
tahun yang lalu oleh Confusius, diantaranya : (1) Dia menekankan pentingnya
memadukan ide baru dengan ide lama yang telah teruji, (2) menginginkan
terjadinya reformasi sosial melalui pendidikan, (3) mengandalkan konsep belajar
dengan praktek, (4) menggunakan seluruh dunia sebagai ruang kelasnya, (5)
menggunakan musik dan puisi secara meluas dalam pembelajaran, (6) belajar
tentang cara belajar sama pentingnya dengan belajar tentang informasi, (7)
setiap orang memiliki daya belajar yang khas, dan (8) bangunlah nilai dan
perilaku terpuji (Driden dan Vos, 2011).
Mencermati
pandangan tersebut, maka tidak mengherankan selama lebih dari 2.000 tahun Orang
Cina belajar matematika lewat alat belajar cepat paling awal di dunia yaitu Swipoa/dipoa atau sempoa. Demikian pula
dua alat belajar lain untuk matematika yaitu permainan “kartu” dan “domino”.
Dalam banyak hal Cina telah memperkenalkan Revolusi Belajar, dan kita menemukan
kembali hal tersebut. Berbagai kebenaran klasik tersebut umumnya berserakan dalam
bentuk tradisi lisan Masyarakat Cina klasik dan selanjutnya dapat dihubungkan
dengan riset otak dan komunikasi instan mutakhir.
Contoh model pembelajaran sejenis
dalam arti pembangunan pada masyarakat Jepang yang mengakar pada Teori Z yang
dikembangkan oleh William G. Ouchi
bersumber dari tradisi Masyarakat Jepang yang terbiasa hidup berdekatan,
karena itu Orang Jepang memiliki kehidupan yang lebih terbuka, sehingga sedikit
sekali rahasia kehidupan pribadi yang tersembunyi. Masyarakat Jepang memiliki
lima karakter kunci yang dipandang sebagai akar kekuatan bangsanya, yaitu: (1) Emulasi, hasrat atau upaya untuk
menyamai atau melebihi kemajuan orang lain, (2) Konsensus, kebiasaan untuk berkompromi dan bukan konfrontasi, (3) Futurism, berpandangan jauh ke depan
menatap kemajuan bagi perorangan dan kemajuan bersama di masa depan, (4) Kualitas, mutu menjadi faktor penarik
bagi setiap proses dan hasil produksi Jepang, dan (5) Kompetisi, sumberdaya
manusia dan produk Jepang memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif dalam tata kehidupan dan tata ekonomi global (Sudjana, 2010).
Kemajuan Jepang kemudian diikuti
oleh Korea Selatan yang juga memunculkan teori baru yang dikembangkan oleh Myon
Woo Lee yang disebut Teori W. Lee merekomendasikan pengembangan budaya
teknologi dan industri khusus Korea Selatan untuk mengantarkan negeri ini
menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Lee juga menyarankan upaya mengoptimalkan
penggunaan budaya, keunggulan geografis, karakteristik penduduk, sumber daya
alam, dan kreativitas masyarakat. Budaya Korea Selatan menekankan aspek
kekeluargaan dan solidaritas (Sudjana, 2010).
Kemajuan ketiga bangsa tersebut dalam berbagai sektor kehidupan umumnya
berakar pada budaya kompromi/kekeluargaan dan kerjasama/solidaritas,
unsur-unsur budaya tersebut umumnya dimanfaatkan melalui tradisi lisan.
Menurut Wenger (2005) cara paling cepat dan tepat untuk mengubah dunia ini menjadi
lebih baik adalah mengajak sebanyakmungkin orang membiasakan diri melakukan
pengamatan sendiri, mengartikulasikan, mengungkapkan dan mencatat pengamatan
tersebut. Ketika mereka melakukan hal demikian, pengamatan, persepsi,
pemikiran, dan gagasan mereka akan mencuat tak terduga dan akan berkembang laur
biasa.
Bagi
masyarakat maritim khususnya Masyarakat Bajo yang bermukim di wilayah pesisir
terpencil atau di pulau-pulau Menurut Ismail dan Nuraini (2013) terjadi kelangkaan
Buku Bahasa Bajo di wilayah konsentrasi masyarakat Bajo, sehingga mengharuskan
pemerintah mengembangkan Kurikulum/Buku yang Berbahasa Bajo sebagai muatan
Lokal dan menjadikan tradisi lisan seperti: iko-iko, lagu, pantun, falsafah
hidup sebagai muatan ajar yang terintegrasi. Pentingnya iko-iko sebagai tradisi
lisan yang memiliki nuansa kebaharian nampak dari iko-iko “Papakannahan Datu Kimbayat (Cerita Raja Kumbayat) yang menceritakan
seorang anak bangsawan pedagang kaya yang ulet dan merakyat. Ia berdagang antar
pulau (Banjar dan Singapura), dalam cerita tersebut nampak adanya relasi antar
komunitas, seperti ia (Abdul Hasani) yang menumpang perahu Orang Buton dari
Banjar Pangatan ke Singapura.
Bagi
masyarakat pesisir dan pulau terpencil/terluar seperti tersebut perlu menyimak
pandangan Barbara Prashing bahwa kunci menuju sukses belajar dan bekerja adalah
menemukan keunikan gaya belajar dan gaya bekerja anda sendiri (Dryden dan Vos,
2011). Namun disisi lain guru seharusnya membantu siswa dalam mengumpulkan
informasi dari berbagai sumber, dan menyodorkan berbagai pertanyaan untuk
membuat siswa memikirkan permasalahan dan jenis informasi yang dibutuhkan untuk
sampai pada solusi yang dapat dipertahankan. Menurut Arends (2008) bahwa
peserta didik perlu diajari tata cara menjadi investigator aktif dan cara
menggunakan metode-metode yang sesuai dengan permasalahan yang mereka teliti,
seperti: wwawancara, observasi atau membuat catatan, termasuk etika
investigator yang baik.
Pandangan
tersebut mempertegas pentingnya budaya lokal yang berserakan dalam bentuk
tradisi lisan untuk dikemas dalam bentuk muatan lokal yang terintegrasi dalam
pembelajaran, sehingga terjadi pembelajaran yang unik sesui dengan kebutuhan
dan karakter masyarakat setempat.
E.
Bentuk Integrasi Tradisi Lisan dan Pembelajaran Sejarah
di SMA
Pengintegrasian
tradisi lisan kebaharian pada satuan pendidikan
formal, khususnya dalam pembelajaran IPS dan
Sejarah adalah untuk menanamkan dan
menumbuhkan kembali semangat serta jiwa kebaharian bangsa. Wujud muatan integrasi dikemas dalam mata pelajaran IPS/Sejarah sebagai satu kompetensi
dasar dan atau integrasi dalam beberapa topik yang relevan. Bentuk ini tidak perlu menyediakan guru-guru mata pelajaran
khusus, tetapi cukup disiapkan pelatihan pada guru-guru
mata pelajaran IPS dan
Sejarah yang akan diberi muatan kebaharian.
Pengintegrasian
tradisi lisan komunitas bahari dapat dilakukan dengan menggunakan metode tugas,
yaitu guru memberi tugas kepada siswa baik secara individu maupun secara
kelompok dengan petunjuk yang jelas, sehingga siswa dengan mudah memperoleh
informasi dari masyarakat melalui teknik: wawancara, pengamatan, dan studi
dokumen, sehingga siswa dapat mengembangkan beberapa keterampilan, seperti:
keterampilan bertanya, keterampilan mengemukakan pendapat secara lisan dan
tulisan, keterampilan mengamati suatu fenomena sosial. Dalam kondisi seperti
ini siswa dapat memperkaya dirinya dengan berbagai sumber belajar yang ada di
sekitarnya. Di sisi lain masyarakat akan berusaha mempertahankan dan
mengembangkan tradisi lisan yang ada di lingkungannya, termasuk upaya
masyarakat melakukan interpretasi nilai-nilai yang ada dalam tradisi lisan,
sehingga dapat disosialisasikan kepada generasi muda di lingkungannya dalam
berbagai momen yang ada.
Satu contoh bentuk integrasi tradisi lisan Komunitas
Bahari (Komunitas Bugis-Makassar) dilakukan oleh (Asban, 2016) dalam bentuk uji
coba melalui Penelitian Tindakan Kelas. Perbaikan pembelajaran dilakukan dengan
menggunakan tradisi lisan dalam pembelajaran pada materi:
Jenis-jenis Manusia Purba dan Hasil Kebudayaannya. Pada
pelaksanaan pembelajaran dimulai dengan menarik perhatian siswa saat membuka pelajaran. Dalam konteks ini guru menggunakan Metode
Tugas dan Metode Tanya Jawab: Minggu sebelumnya guru telah memberikan tugas
observasi dan wawancara kepada tokoh masyarakat Bugis-Makassar tentang tradisi
lisan yang terkait dengan falsafah hidup Orang Bugis-Makassar yang dituangkan
dalam tugas kelompok, dipadukan dengan materi umum yang ada dalam buku pegangan
siswa. Pembelajaran minggu ini, Guru menanyakan kembali mengenai tugas
kelompok yang akan didiskusikan. Sebelum
pembelajaran dimulai, guru terlebih
dahulu menyampaikan tujuan pembelajaran dan sedikit memberikan gambaran
mengenai pendekatan pembelajaran yang menggunakan tradisi lisan. Kemudian guru
memberikan pengantar mengenai pelajaran yang akan diberikan dengan membacakan
falsafah hidup Komunitas Bugis-Makassar, yaitu:
1.
Naiya tau
malempuu-e’ manguruu eloo-i’ tau sugi-e (orang
jujur sewarisan
dengan
orang
kaya). Maknanya : orang
jujur tidak sulit memperoleh kepercayaan
dari orang
kaya karena
kejujurannya.
2.
Rebba sipatokkong, mali' siparappe', sirui' menre'
tessirui'no', malilu sipakainge' (Rebah
saling menegakkan, hanyut saling menarik ke pinggir pantai, jika khilaf saling mengingatkan).
3.
Naiya acca ripatoppokie’ je’kko, rirapangngi alliiri; nare’kko te’yai mareddu’, mapooloi (kepandaian
yang
desertai ketidak-jujuran ibarat tiang
rumah, jika tidak tercabut ia akan
patah).
4.
Temmettak
nawa-nawa majaa’
Tammassuk
ada-ada belle
Teppugauk-gauk
maceko
Tidak pernah berpikiran jahat
Tidak
mengeluarkan kata-kata dusta
Tidak melakukan
perbutan curang
5.
Ka-antu jekkonga kammai batu nibuanga naung rilikuo’ na-antu lombusuka kammai bulo ammawanga ri je’ne’ka, nuossakaugi poko’na ammumbai appa’na, nuassakaugi appa’na ammumbai poko’na (kecurangan
itu sama dengan
batu yang
dibuang
ke dalam
lubang;
sedangkan
kejujuran
laksana
bambu
yang
terapung
di air, jika ditekan
pangkalnya, maka ujungnya
akan timbul, dan jika ditekan ujungnya,
maka pangkalnya
akan timbul).
Setelah melihat
siswa telah siap untuk memulai pembelajaran, kemudian guru membagi kelompok dan
mempersilahkan siswa untuk duduk berdasarkan kelompoknya. Guru mempersilahkan
kelompok pertama untuk tampil di depan kelas mempresentasikan
hasil observasi yang dilakukan bersama kelompoknya selama 10
menit, selanjutnya
ditanggapi dan
kemudian dilanjutkan kelompok berikutnya secara berturut-turut. Pada akhir
pembelajaran guru mengajak siswa untuk memberikan kesimpulan atas pembelajaran
yang dilakukan kemudian guru memberikan kesimpulan akhir.
Kemudian guru mengakhiri pembelajaran dengan kembali memberikan motivasi kepada
siswa dan mengingatkan kelompok berikutnya agar dapat lebih baik dalam
mempresentasikan
hasil observasinya.
Hasil penelitian
di atas menyimpulkan bahwa: (1) Penerapan metode
diskusi dengan menggunakan tradisi lisan dalam pembelajaran sejarah
pada siswa kelas X.5 SMAN 03 Bombana dapat meningkatkan keefektifan mengajar
guru. Hal ini didasarkan pada peningkatan yang terjadi dalam tiap siklus. Pada
siklus I terlihat keefekfan mengajar guru
mencapai 71% meningkat menjadi 76% pada siklus II dan terus mengalami
peningkatan pada siklus III mencapai 96%. (2) Aktifitas
belajar siswa dalam pembelajaran Sejarah dapat ditingkatkan melalui metode
diskusi dengan menggunakan tradisi lisan yaitu tindakan siklus
I diperoleh sebesar 47,7% kemudian meningkat menjadi 66,2% pada siklus II,
dan pada siklus III mencapai sebesar 85,1%. (3) Penerapan
metode diskusi dengan menggunakan tradisi lisan dalam pembelajaran sejarah
dapat meningkatkan karakter positif siswa. Hal ini terlihat dari pelaksanaan
tindakan sebanyak tiga siklus dan terlihat peningkatan persentase yang cukup tinggi yaitu pada pelaksanaan
tindakan siklus I, siklus II, dan siklus III terlihat selalu terjadi
peningkatan terhadap 5 sikap yang diamati yakni:
disiplin, jujur, tanggung jawab, peduli dan santun, seperti tampak pada tabel 1.
Tabel 1. Rakapitulasi Data Setiap Siklus
No
|
Tindakan
|
Keefektifan
Mengajar Guru
|
Aktivitas Belajar
Siswa
|
Karakter
(%)
|
||||
Disiplin
|
Jujur
|
Tanggung Jawab
|
Peduli
|
Santun
|
||||
1
|
Siklus I
|
71
|
47,7
|
75
|
70
|
58,33
|
58,33
|
57,14
|
2
|
Siklus II
|
76
|
66,2
|
79,16
|
75
|
75
|
70,83
|
71,42
|
3
|
Siklus
III
|
96
|
85,1
|
91,66
|
90
|
91,66
|
91,66
|
92,85
|
Sumber: Data Observasi
Beberapa
saran diajukan: (1) Kepada guru-guru sejarah kiranya dapat mengintegrasikan tradisi lisan untuk meningkatkan
karakter positif siswa, sehingga siswa dapat
mengesksplorasikan kemampuannya dalam
mengemukakan gagasan dan mudah memaham materi
pembelajaran yang disajikan, (2) Bagi siswa dapat
lebih termotivasi
untuk mengembangkan diri dan mengenal budaya, sehingga dapat mengembangkan karakter adab
kesopanan baik dalam berfikir, bertindak dan berbicara agar tercipta generasi
berkualitas yang berkarakter positif.
F.
Penutup
Upaya melestarikan dan mengembangkan semangat kebaharian
masyarakat Indonesia, harus dilakukan dalam pendidikan formal mulai dari SD
sampai perguruan tinggi. Salah satu bentuk pembelajaran muatan kebaharian dapat
dilakukan melalui pengintegrasian tradisi lisan komunitas bahari. Pengintegrasian tradisi lisan kebaharian
pada satuan pendidikan formal, khususnya dalam
pembelajaran IPS dan sejarah dapat mempercepat penanaman
dan menumbuhkan kembali semangat serta jiwa kebaharian bangsa yang nyaris
hilang. Wujud muatan integrasi dalam pembelajaran IPS/Sejarah dapat berupa satu kompetensi
dasar dan atau integrasi dalam beberapa topik yang relevan. Bentuk ini tidak perlu menyediakan guru-guru khusus mata
pelajaran baru, tetapi cukup disiapkan
pelatihan pada guru-guru mata pelajaran IPS dan Sejarah yang akan diberi
muatan kebaharian.
Pengintegrasian
tradisi lisan komunitas bahari dapat dilakukan dengan menggunakan metode tugas
dan diskusi yaitu guru memberi tugas kepada siswa baik secara individu maupun
secara kelompok dengan petunjuak yang jelas, sehingga siswa dengan mudah
memperoleh informasi dari masyarakat melalui teknik: wawancara, pengamatan, dan
studi dokumen, agar siswa dapat mengembangkan beberapa keterampilan, seperti:
keterampilan bertanya, keterampilan mengemukakan pendapat secara lisan dan
tulisan, keterampilan mengamati suatu fenomena sosial.
Secara empiris model integrasi tradisi lisan dalam
pembelajaran sejarah telah terbukti efektivitasnya oleh hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh guru SMA yang terbukti dapat meningkatkan keefektifan
mengajar guru, meningkatkan aktivitas belajar siswa, dan berhasil pula
mengembangkan karakter positif siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Ali-Hadara; Tamanajo; dan La Bia, Buhari. 2015. Sejarah Wakatobi: Dari Praintegrasi Hingga
Kabupaten. Kendari: HISPISI Sultra.
Anonim. 2009. Bajo Bangkit, Kamis,
03 September 2009. http://bajobangkit-sultra.blogspot.com/.
Akses, 22 April 2012
Arends, Richard I. 2007. Learning to Teach. New York: McGraw Hill Companies.
Asban. 2016. “Penerapan Metode Diskusi Dengan Menggunakan
Tradisi Lisan Dalam Mengembangkan Karakter Positif Siswa Pada Pembelajaran
Sejarah Sman 03 Bombana”. Tesis Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo Kendari
Cobern,
W.W dan Aikenhead, G.S. 2008. “Cultural
Aspects of Learning Science”. In B.J. Fraser & K.G. Tobin (Eds). International Handbook of Science Education
(pp.39-52). Kluwer Akademic Publisher.
Danandjaja,
James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng
dan lain-lain, Jakarta: Grafiti Pers.
dan lain-lain, Jakarta: Grafiti Pers.
Douch,
R.1967. Local History an the Teacher.
London: Rout-ledge & Kegan Paul.
Dryden, Gordon dan
Vos, Jeannette. 2011. The Learning
Revolution. Bandung: Kaifa.
Ismail, Nany dan Nuraini, Chandra. 2013. “Berbicara dan Bercerita di Kepulauan
Kangean. Dalam Illouz, Charles and Grange, Philippe. Kepulauan Kangean: Penelitian Terapan untuk Pembangunan. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Hafid, Anwar. 2012. “Nilai-Nilai
Kepahlawanan, Keperintisan, Dan Kesetiakawanan Sosial Generasi Muda di Sulawesi
Tenggara”. Makalah Disajikan dalam Bimbingan Pelestarian Nilai
Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial (K2KS) Dinas Sosial Propinsi Sulawesi Tenggara, Tanggal 17 Oktober 2012
Hamid,
Abu. 2005. Passompe Pengembaraan Orang Bugis. ,
Makassar: Pustaka Refleksi.
Hutomo,
Suripan Hadi.
1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya:
HISKI Komisariat Jawa Timur.
Ihsan, Moch. Musoffa dan Rosdin, Ali. 2015. ”Falsafah Bhinci-Bhinciki Kuli
dalam Masyarakat Buton” dalam Pendidikan
Multikultura Berbasis Kearifan Lokal. Jakarta: Balitbang Kemendikbud.
Ki-Zerbo,
Joseph. 1990. Methodology and African
Prehistory. UNESCO International Scientific Committee for the Drafting of a
General History of Africa: James Currey Publishers.
Lapian,
A.B. 1980. “Memperluas Cakrawala melalui Sejarah Lokal” dalam Majalah Prisma. No. 8 Tahun IX. Jakarta:
LP3ES.
Lapian, A.B. 2009. Orang
Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta:
Komunitas Bambu.
Machmud, A. Hasan. 1976. Silasa: Setetes Embun di Tanah Gersang. Ujung Pandang: Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Mahoney,
J. 1981. Local History: A Guide for
Research and Writing. Washington DC: National Education Association.
Moeliono,
Anton M. dkk. 1988. Kamus Besar Bahasa
Indoensia. Jakarta: Depdikbud RI.
Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Muatan Lokal
Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud.
Pudentia
MPSS (ed.), 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
Sibarani, Robert. 2012a. Kearifan Lokal. Hakekat, Peran, dan Metode
Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi
Tradisi Lisan (ATL).
Sibarani, Robert. 2012b. “Tradisi Lisan Sebagai Sumber Kearifan Lokal:
Sebuah Pemahaman Metodologis”. Makalah disajikan pada Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara di Tanjung Pinang, Tanggal 23-27 Mei 2012.
Sebuah Pemahaman Metodologis”. Makalah disajikan pada Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara di Tanjung Pinang, Tanggal 23-27 Mei 2012.
Sibarani, Robert. 2013.
“Folklor sebagai Media dan Sumber Pendidikan: Sebuah
Ancangan Kurikulum dalam Pembentukan Karakter Siswa Berbasis Nilai Budaya Batak
Toba”. Dalam Folklor Nusantara: Hakekat, Bentuk, Fungsi. Yogyakarta: Ombak.
Sudjana, D. 2010. Manajemen Program Pendidikan untuk
Pendidikan Nonformal dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Falah.
Undang-Undang No.
20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Wenger, Win. 2005. Beyon
Teraching & Learning. Bandung: Nuansa.
Zacot, Francois-Robert. 2008. Orang Bajo Suku Pengembara Laut. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
RENCANA PELAKSANAAN
PEMBELAJARAN (RPP)
SMA/MA. : SMA NEGERI 03 BOMBANA
Mata Pelajaran :
Sejarah
Kelas/Semester : X/2
Standar Kompetensi : 2. Menganalisa Peradaban Indonesia dan Dunia
Kompetensi Dasar : 2.1. Menganalisa Kehidupan
Awal Masyarakat Indonesia
Indikator : Menjelaskan
penemuan jenis-jenis manusia purba
Menjelaskan hasil kebudayaan manusia purba
Alokasi Waktu : 4x45 menit
A.
Tujuan Pembelajaran
Peserta didik mampu untuk:
1.
Menjelaskan perbedaan pokok manusia purba dari tahun ketahun
2.
Menguraikan
mengapa penemuan pithecanthropus erectus sempat menggemparkan dunia ilmu
pengetahuan
3.
Menguraikan
ciri-ciri pithecanthropus
4.
Mengidentifikasi
ciri-ciri kebudayaan pacitan
5.
Menjelaskan
hasil kebudayaan nmanusia purba
6.
Menjelaskan hasil
kebudayaan manusia purba
7.
Menunjukkkan
sikap disiplin
8.
Menunjukkkan
sikap jujur
9.
Menunjukkkan
sikap tanggung
jawab
10.
Menunjukkkan
sikap peduli
11.
Menunjukkkan
sikap santun
12.
Membuat
peta penyebaran manusia purba di Indonesia
B.
Materi Pembelajaran
1.
Jenis-jenis manusia
purba
2.
Hasil kebudayaan
manusia purba
C.
Metode Pembelajaran
Penugasan, Diskusi, Ceramah
D.
Strategi
Pembelajaran: Tradisi Lisan
E.
Langkah-langkah
Kegiatan Pembelajaran
Pertemuan Pertama
1.
Kegiatan Pendahuluan
a.
Apersepsi guru
mengajukan pertanyaan mengenai pengertian manusia purba.
b.
Menyampaikan tujuan
pembelajaran.
c.
Membagi
kelompok
d.
Membacakan
falsafah hidup moronene
3.
Kegiatan Inti
a.
Eksploras
Dalam kegiatan eksplorasi, guru:
Guru
menjelaskan penemuan dan jenis-jenis manusia purba (nilai yang ditanamkan: Tanggung
Jawab, peduli lingkungan
b.
Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi, guru:
Siswa secara
berkelompok menyusun kronologi mengenai jenis-jenis manusia purba yang
ditemukan di Indonesia. (nilai yang ditanamkan: Tanggung Jawab, peduli
lingkungan.);
c.
c. Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa:
1) Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui (nilai yang
ditanamkan: Tanggung jawab,peduli);
2) Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui. (nilai yang
ditanamkan: Peduli lingkungan, tanggung jawab)
4.
Kegiatan Penutup
a.
Bersama-sama
melakukan refleksi materi yang telah dibahas. (nilai yang ditanamkan: Jujur,
disiplin,, tanggung jawab, peduli, santun);
b.
Menarik kesimpulan
materi.
(nilai yang ditanamkan: Peduli
lingkungan, tanggung jawab);
F.
Sumber Belajar
1.
Kurikulum KTSP dan
perangkatnya
2.
Pedoman Khusus
Pengembangan Silabus KTSP SMA
3.
Buku sumber Sejarah
SMA
4.
Peta konsep
5.
Buku-buku penunjang
yang relevan
G.
Penilaian
Jenis tagihan :
Portofolio
Bentuk tagihan :
Menyusun kronologi
Contoh instrumen :
Susunlah kronologi mengenai jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di
Indonesia!
Tabel 1 Format Penilaian Portofolio
No
|
Aspek yang
diamati
|
Nilai Capaian
Kelompok
|
Rata-rata
|
||||
K1
|
K2
|
K3
|
K4
|
K5
|
Total
|
||
1.
|
Menyimak penjelasan guru.
|
||||||
2.
|
Menghargai pendapat teman.
|
||||||
3.
|
Keterampilan merumuskan masalah.
|
||||||
4.
|
Keterampilan mencari dan mengolah
sumber belajar
|
||||||
5.
|
Keterampilan
menyusun data dan informasi
|
||||||
6.
|
Keterampilan menyajikan data
|
||||||
7.
|
Keterampilan menyelesaikan masalah
|
||||||
8.
|
Keterampilan menyusun laporan
|
||||||
9.
|
Mengemukakan pendapat atau ide
kepada guru atau teman.
|
||||||
10.
|
Berdiskusi dalam kelompok.
|
||||||
11.
|
Mempresentasikan hasil kerja
kelompok
|
||||||
12.
|
Menarik
kesimpulan
|
||||||
13.
|
Berperilaku
yang relevan dalam kegiatan pembelajaran.
|
||||||
Jumlah
|
|||||||
Rata-rata (%)
|
Kriteria Penilaian :
Kriteria
Indikator
|
Nilai Kualitatif
|
Nilai Kuantitatif
|
80-100
|
Memuaskan
|
4
|
70-79
|
Baik
|
3
|
60-69
|
Cukup
|
2
|
45-59
|
Kurang cukup
|
1
|
Mengetahui, Rumbia, 2016
Kepala Sekolah, Peneliti,
JAM’AN,S.Pd ASBAN,S.Pd
NIP.
196509101994121007 . NIP.198006172006041019
Tabel 2 RUBRIK PENILAIAN
SOSIAL
No.
|
Nama Siswa
|
Skor Aspek yang Dinilai
|
Jumlah Skor
|
Nilai Akhir (NA) atau Skor Rerata
|
|||||
Sosial
|
|||||||||
Disiplin
|
jujur
|
Tanggung Jawab
|
Peduli
|
Santun
|
|||||
1
|
|||||||||
2
|
|||||||||
3
|
|||||||||
4
|
|||||||||
5
|
|||||||||
dst
|
|||||||||
Rentang Skor = 1 – 5, skor minimal = 5,
skor maksimal = 25
Tabel 3 Penilaian
Karakter Tanggung Jawab (Naondroi Adanna)
No.
|
Aspek
yang diamati
|
Skor
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1.
|
Melaksanakan setiap pekerjaan yang
menjadi tanggung jawabnya (napigaui setiap jamang ye mencaji tanggung
jawabna)
|
||||
2.
|
Melaksanakan tugas individu dengan
baik (napigaui tugas ri ale wedding makessing)
|
||||
3.
|
Menerima resiko dari tindakan yang
dilakukan (naruntu resiko pole setiap kesalahan ye di pegau-e)
|
||||
4.
|
Tidak menuduh orang lain tanpa
bukti yang akurat (denappitenna tau lain tanpa bukti ye manessa)
|
||||
5.
|
Mengakui dan meminta maaf atas
kesalahan yang dilakukan (mengakui sibawa millau dampeng atas kesalahan ye
nappigau-e)
|
||||
6.
|
Melaksanakan apa yang pernah
dikatakan tanpa di suruh (mappigau-i aga pura di puada tanpa di suroh)
|
||||
Jumlah Skor
|
|||||
Rata-Rata Skor
|
|||||
Persentase
|
Tabel 4 Penilaian
Karakter Peduli (Maperu)
No.
|
Aspek
yang diamati
|
Skor
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1.
|
Selalu bekerja sama saat sedang
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru (tenni pada majamma naselesaikan
tugas ye di arengi pole gurunna)
|
||||
2.
|
Menghormati teman yang berbeda
pendapat (nahormati silona ye berbeda pendapat)
|
||||
3.
|
Menerima kekurangan teman (aktif
majamma kelompok)
|
||||
4.
|
Memaafkan kesalahan teman saat
mengerjakan soal kelompok (nadampengangi kesalahan silonna)
|
||||
5.
|
Selalu membagi ilmu yang
diperolehnya kepada teman kelompoknya (tenni mabagi paddisengeng
narutu-e kepada silo kelompona)
|
||||
6.
|
Tidak mendahulukan kepentingan
pribadi (de’appadioloi kepentingan pribadinna)
|
||||
Jumlah Skor
|
|||||
Rata-Rata Skor
|
|||||
Persentase
|
Tabel 5 RUBRIK TES
PENGETAHUAN
No
|
Indikator
|
Teknik
|
Bentuk
Instrumen
|
Instrumen
|
1.
2.
|
Peserta
didik dapat:
Menjelaskan penemuan jenis-jenis manusia purba
Menjelaskan hasil kebudayaan manusia purba
|
Tes tertulis
Tes tertulis
|
Tes uraian
Tes uraian
|
a.
Jelaskan perbedaan pokok manusia purba dari tahun ke tahun
b.
Uraikan mengapa penemuan fosil pithecanthropus erectus sempat menggemparkan
dunia ilmu pengetahuan?
c.
Identifikasi ciri-ciri pithecantropus
d. Identifikasi ciri-ciri kebudayaan pacitan
e. Jelaskan hasil kebudayaan manusia purba
|
Tabel 6 LEMBAR
PENGAMATAN ASPEK PSIKOMOTORIK
No
|
Nama Siswa
|
Aspek
yang Diamati
|
Jumlah
|
|||||||||||
Psikomotorik A
|
||||||||||||||
4
|
3
|
2
|
1
|
4
|
3
|
2
|
1
|
4
|
3
|
2
|
1
|
|||
1
|
V
|
|||||||||||||
2
|
v
|
|||||||||||||
3
|
V
|
V
|
Tabel 7 RUBRIK
PENGAMATAN ASPEK PSIKOMOTORIK
Aspek dan Skor
|
Deskriptor
|
Psikomotorik A
|
Membuat
peta penyebaran manusia purba di Indonesia
|
4
|
Jika keempat aspek berikut muncul
selama pengamatan
1. Nama peta
2. Kontras warna
3. Garis jalur
4. Legenda
|
3
|
Jika hanya tiga aspek yang muncul
|
2
|
Jika hanya dua aspek yang muncul
|
1
|
Jika hanya satu aspek yang muncul
|
Tabel 8 LEMBAR OBSERVASI
AKTIFITAS MENGAJAR GURU PADA SIKLUS II
Tahapan
|
Aspek
yang Diamati
|
Dilakukan
|
Skor
|
||||
Ya
|
Tidak
|
1
|
2
|
3
|
4
|
||
Tahap Pendahuluan
|
Membuka pelajaran
|
√
|
√
|
||||
Menyampaikan tujuan pembelajaran
|
√
|
√
|
|||||
Memperkenalkan mengenai strategi
pembelajaran yang akan diterapkan
|
√
|
√
|
|||||
Tahap 1
|
Memberikan motifasi kepada siswa
|
√
|
√
|
||||
Menanyakan kesiapan siswa dalam
memulai pelajaran
|
√
|
√
|
|||||
Memberikan gambaran umum tentang
materi pelajaran
|
√
|
√
|
|||||
Membuka materi dengan membacakan
falsafah Bugis
|
√
|
√
|
|||||
Tahap 2
|
Membentuk kelompok belajar
|
√
|
√
|
||||
Mempersilahkan agar para siswa
duduk dalam sebuah kelompok yang telah ditentukan
|
√
|
√
|
|||||
Menjelaskan mengenai tugas yang
telah disiapkan
|
√
|
√
|
|||||
Mempersilahkan siswa untuk
mendiskusikan materi yang akan diajarkan
|
√
|
||||||
Tahap 3
|
Mengawasi jalannya proses
pembelajaran
|
√
|
√
|
||||
Memberikan penjelasan kepada siswa
yang kurang memahami model pembelajaran
|
√
|
√
|
|||||
Mengontrol suasana dalam
pembelajaran
|
√
|
√
|
|||||
Membimbing diskusi kelompok
|
√
|
√
|
|||||
Tahap 4
|
Membimbing siswa untuk menjawab
pertanyaan didepan kelas
|
√
|
√
|
||||
Fasilitator dalam presentase
|
√
|
√
|
|||||
Memotivasi siswa agar dapat
terlibat aktif
|
√
|
√
|
|||||
Memotivasi agar siswa berani
tampil didepan kelas
|
√
|
√
|
|||||
Tahap 5
|
Melakukan refleksi atas
pembelajaran
|
√
|
√
|
||||
Melakukan analisis pembelajaran
|
√
|
√
|
|||||
Memberikan penguatan kepada siswa
|
√
|
√
|
|||||
Memberikan penghargaan kepada
siswa yang tampil di depan kelas
|
√
|
√
|
|||||
Tahap penutup
|
Melibatkan siswa dalam memberikan
kesimpulan
|
√
|
√
|
||||
Memberikan tugas rumah kepada
siswa
|
√
|
√
|
|||||
Jumlah
Skor
|
76
|
||||||
Rata-rata
skor
|
3,04
|
||||||
Persentase
kemampuan aktifitas guru
|
76
|
Tabel 9 LEMBAR OBSERVASI AKTIFITAS BELAJAR SISWA PADA SIKLUS II
No
|
Aspek yang
diamati
|
Nilai Capaian
Kelompok
|
Rata-rata
|
||||
K1
|
K2
|
K3
|
K4
|
K5
|
Total
|
||
1.
|
Menyimak penjelasan guru.
|
2
|
3
|
3
|
3
|
3
|
2,8
|
2.
|
Menghargai pendapat teman.
|
1
|
3
|
3
|
1
|
3
|
2,2
|
3.
|
Keterampilan merumuskan masalah.
|
1
|
3
|
1
|
3
|
1
|
1,8
|
4.
|
Keterampilan mencari dan mengolah
sumber belajar
|
2
|
3
|
2
|
1
|
2
|
2
|
5.
|
Keterampilan
menyusun data dan informasi
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
6.
|
Keterampilan menyajikan data
|
1
|
3
|
2
|
3
|
3
|
2,4
|
7.
|
Keterampilan menyelesaikan masalah
|
2
|
2
|
2
|
1
|
2
|
1,8
|
8.
|
Keterampilan menyusun laporan
|
1
|
3
|
1
|
1
|
1
|
1,4
|
9.
|
Mengemukakan pendapat atau ide
kepada guru atau teman.
|
1
|
2
|
2
|
2
|
3
|
2
|
10.
|
Berdiskusi dalam kelompok.
|
3
|
3
|
3
|
2
|
1
|
2,4
|
11.
|
Mempresentasikan hasil kerja
kelompok
|
1
|
3
|
1
|
1
|
2
|
1,6
|
12.
|
Menarik
kesimpulan
|
3
|
3
|
3
|
3
|
2
|
2,8
|
13.
|
Berperilaku
yang relevan dalam kegiatan pembelajaran.
|
1
|
2
|
2
|
1
|
2
|
1,6
|
Jumlah
|
20
|
34
|
26
|
23
|
26
|
25,8
|
|
Rata-rata (%)
|
51,3
|
87,2
|
66,7
|
59
|
66,7
|
66,2
|
Tabel 10 HASIL EVALUASI
BELAJAR SISWA PADA SIKLUS II
No
|
Nama
Siswa
|
Nilai
|
Keterangan
|
|
Lulus
|
Tidak
|
|||
1
|
AMR
|
74
|
√
|
|
2
|
ARS
|
80
|
√
|
|
3
|
ALS
|
93
|
√
|
|
4
|
DKN
|
73
|
√
|
|
5
|
FNA
|
85
|
√
|
|
6
|
IDR
|
80
|
√
|
|
7
|
INR
|
73
|
√
|
|
8
|
IML
|
80
|
√
|
|
9
|
KTA
|
80
|
√
|
|
10
|
KNH
|
89
|
√
|
|
11
|
LMA
|
87
|
√
|
|
12
|
MAR
|
83
|
√
|
|
13
|
MYS
|
85
|
√
|
|
14
|
RDA
|
87
|
√
|
|
15
|
RDT
|
94
|
√
|
|
16
|
RWT
|
73
|
√
|
|
17
|
RST
|
82
|
√
|
|
18
|
VVA
|
86
|
√
|
|
19
|
ARM
|
74
|
√
|
|
20
|
RRY
|
81
|
√
|
|
21
|
MFN
|
74
|
√
|
|
Nilai Rata-Rata
|
81,57
|
|||
Persentase Ketuntasan
|
71,42%
|
Tabel 11 REKAPITULASI DATA TIAP SIKLUS
No
|
Tindakan
|
Aktifitas
(%)
|
Karakter
(%)
|
|||||
Guru
|
Siswa
|
Disiplin
|
Jujur
|
Tanggung
Jawab
|
Peduli
|
Santun
|
||
1.
|
Siklus I
|
71
|
47,7
|
75
|
70
|
58,33
|
58,33
|
57,14
|
2.
|
Siklus II
|
76
|
66,2
|
79,16
|
75
|
75
|
70,83
|
71,42
|
3.
|
Siklus
III
|
96
|
85,1
|
91,66
|
90
|
91,66
|
91,66
|
92,85
|
Sumber:
Rekapitulasi Data Observasi
BAHAN AJAR TRADISI LISAN
FALSAFAH HIDUP
ORANG BUGIS
1.
Naiya tau
malempuu-e’ manguruu eloo-i’ tau sugi-e (orang
jujur sewarisan
dengan
orang
kaya). Maknanya: orang
jujur tidak sulit memperoleh kepercayaan
dari orang
kaya karena
kejujurannya.
2.
Rebba sipatokkong, mali' siparappe', sirui' menre'
tessirui'no', malilu sipakainge' (Rebba saling
menegakkan, hanyut saling mendamparkan/saling menarik ke pinggir pantai, jika khilaf saling mengingatkan).
Maknanya: Rebah tegak-menegakkan, ialah supaya berpijak
dengan teguh dan berdiri dengan megah di atas bumi kehidupan. Jika hanyut/ada kesulitan yang dihadapi seseorang harus tolong menolong. Tidak ada jalan kehidupan tanpa rintangan
dan persimpangan, itulah perlunya ingat-mengatkan
ke jalan yang benar. Jika semuanya sudah berpadu, maka akan menjelmah gotong royong yang sempurna.
3.
Naiya accae
ripatoppoki je’kko, rirapangngi alliiri;, nare’kko te’yai mareddu’, mapooloi (kepandaian
yang
desertai kecurangan
ibarat tiang
rumah, jika tidak tercabut ia akan
patah).
Maknanya: Bagi Masyarakat Bugis, tiang
rumah dihubungkan
satu dengan
yang
lain
menggunakan
pacak,
jika pacak
itu bengkok,
sulit masuk ke lubang
tiang
dan
patah kalau dipaksakan. Kiasan
terhadap orang
pandai
tetapi tidak jujur selamanya tidak akan mendatangkan
kebaikan
(berkah) bahkan
dapat membawa bencana/malapetaka.
4.
Temmettak
nawa-nawa majaa’: Tidak pernah berpikiran jahat
Tammassuk
ada-ada belle: Tidak mengeluarkan kata-kata dusta
Teppugauk-gauk
maceko: Tidak melakukan perbutan curang
5.
Ka-antu jekkonga kammai batu nibuanga naung rilikuo’ na-antu lombusuka kammai bulo ammawanga ri je’ne’ka, nuossakaugi poko’na ammumbai appa’na, nuassakaugi appa’na ammumbai poko’na (kecurangan
itu sama dengan
batu yang
dibuang
ke dalam
lubang;
sedangkan
kejujuran
laksana
bambu
yang
terapung
di air, jika ditekan
pangkalnya, maka ujungnya
akan timbul, dan jika ditekan ujungnya,
maka pangkalnya
akan timbul).
Maknanya: kecurangan
mudah disembunyikan; Akan tetapi kejujuran
senantiasa
tampak dan
muncul
ke permukaan.
6.
Raja
dan pemerintahan
kerajaan-kerajaan
di Sulawesi Selatan memerintah
berdasarkan
etika pemerintahan
yang
disebut sulapa’ ‘appa’ (empat penjuru tetapi bukan
penjuru
angin,
melainkan
kearifan,
yaitu: Lempuu (lurus, jujur), tongeng (kebenaran, benar),
warani
(berani),
dan temmappallaisengngi/adele (adil). Kemudian
di tengah
sulapa’ ‘appa’ didirikan siri’ dan pesse. Seorang
pemimpin
masiri’ kalau tidak jujur atau lurus dalam menjalankan
pemerintahan.
Masiri’ kalau tidak tegas dan berani
melindungi
dan
mensejahterakan
rakyatnya
dalam menjalankan
pemerintahan.
Masiri’ kalau tidak dapat berlaku adil didalam menjalankan
pemerintahan.
Ketika seseorang
memimpin
menjalankan
sulapa’ ‘appa’ dalam pemerintahannya
dan
mendapat
perlakuan
yang
membuat yang
bersangkutan
direndahkan
martabat maka rapu (rumpun) dari seseorang
yang
telah direndahkan
tidak akan
masseddi siri’ (rumpun itu membela kehormatan
saudara se-rapu-nya).
Selanjutnya
masseddi siri’ berkembang menjadi
pesse. Pembebasan
kehormatan
se-rapu dan
jaringan
rapu –nya.
Jadi pada dasarnya
seseorang
pemimpin
di Sulawesi Selatan malu kalau tidak jujur, berani,
benar,
dan
adil. Etika ini
berlaku pula dalam kehidupan social.
BAHAN AJAR SESUAI BUKU PEGANGAN SISWA
JENIS-JENIS
MANUSIA PURBA DI INDONESIA
Manusia yang hidup pada zaman prasejarah sekarang sudah berubah menjadi
fosil. Fosil manusia yang ditemukan di Indonesia terdiri dari beberapa jenis.
Hal ini diketahui dari kedatangan para ahli dari Eropa pada abad ke-19, di mana
mereka tertarik untuk mengadakan penelitian tentang fosil manusia di Indonesia.
Fosil manusia yang ditemukan pertama
kali berasal dari Trinil, Jawa Timur oleh Eugene Dubouis, sehingga menarik para
ahli lain untuk datang ke Pulau Jawa, mengadakan penelitian yang serupa.
Selanjutnya penyelidikan fosil manusia dilakukan oleh GRH Von Koenigswald, Ter
Har, dan Oppenoorth serta F. Weidenrech. Mereka berhasil menemukan fosil
manusia di daerah Sangiran, Ngandong, di lembah Sungai Bengawan Solo. Atas
temuan fosil tersebut, Von Koenigswald membagi zaman Dilluvium/Pleistocen di Indonesia menjadi 3
lapisan yaitu
1. Pleistocen bawah/lapisan Jetis,
2. Pleistocen tengah/lapisan Trinil dan
3. Pleistocen atas/lapisanNgandong.
Penyelidikan
fosil manusia selain dilakukan oleh orang-orang Eropa, juga oleh para ahli dari
Indonesia, seperti Prof. Dr. Sartono, Prof. Dr. Teuku Jacob, Dr. Otto
Sudarmadji dan Prof. Dr. Soejono. Lokasi penyelidikan antara lain Sangiran dan
lembah Sungai Bengawan Solo. Dari hasil penyelidikan tersebut dapat diketahui
jenis manusia purba yang hidup di Indonesia. Untuk itu silahkan Anda pelajari
uraian berikut ini
a. Meganthropus
a. Meganthropus
Seperti yang telah diuraikan pada materi
sebelumnya, Von Koenigswald menemukan tengkorak di Desa Sangiran tahun 1941.
Tengkorak yang ditemukan berupa tulang rahang bawah, dan gigi geliginya yang
tampak mempunyai batang yang tegap dan geraham yang besar-besar.
Dari penemuan tersebut, maka oleh Von Koenigswald diberi nama Meganthropus Palaeojavanicus yang artinya manusia raksasa tertua dari Pulau Jawa. Fosil tersebut diperkirakan hidupnya antara 20 juta - 15 juta tahun yang lalu, dan berasal dari lapisan Jetis. Untuk lebih menambah pemahaman Anda tentang jenis manusia purba di Indonesia, maka bandingkanlah jenis Meganthropus ini dengan jenis fosil yang lain seperti pada uraian materi berikut ini.
Dari penemuan tersebut, maka oleh Von Koenigswald diberi nama Meganthropus Palaeojavanicus yang artinya manusia raksasa tertua dari Pulau Jawa. Fosil tersebut diperkirakan hidupnya antara 20 juta - 15 juta tahun yang lalu, dan berasal dari lapisan Jetis. Untuk lebih menambah pemahaman Anda tentang jenis manusia purba di Indonesia, maka bandingkanlah jenis Meganthropus ini dengan jenis fosil yang lain seperti pada uraian materi berikut ini.
Ciri
Meganthropus :
a.
Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
b.
Badannya tegak
c.
Hidup mengumpulkan makanan
d.
Makanannya tumbuhan
e.
Rahangnya kuat
b. Pithecanthropus/Homo Erectus
Dengan kedatangan Eugene Dubouis ke
Pulau jawa tahun 1890 di Trinil, Ngawi ditemukan tulang rahang, kemudian tahun
1891 bagian tengkorak dan tahun 1892 ditemukan tulang paha kiri setelah disusun
hasil penemuan fosil-fosil tersebut oleh Eugene Dubouis diberi nama
Pithecanthropus Eractus artinya manusia kera yang berjalan tegak. Dan sekarang
fosil tersebut dinamakan sebagai Homo Erectus dari Jawa. Homo Erectus hidupnya
diperkirakan antara 1,5 juta - 500.000 tahun yang lalu dan berasal dari
Pleistocen tengah atau lapisan Trinil.
Ciri Pithecanthropus
:
a.
Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
b.
Hidup berkelompok
c.
Hidungnya lebar dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol
d.
Mengumpulkan makanan dan berburu
e.
Makanannya daging dan tumbuhan
Dari penjelasan di atas, apakah Anda sudah
memahami bahwa Homo Erectus ternyata usianya lebih muda jika dibandingkan
dengan Meghanthropus Palaeojavanicus.
Para
ilmuwan awalnya menganggap hasil temuan E. Dubouis (Homo Erectus) bukan
termasuk garis keturunan manusia, tetapi setelah adanya temuan fosil oleh Von
Koenigswald dari lapisan jetis/pleistocen bawah, maka seluruh ilmuwan mengakui
bahwa fosil-fosil yang ditemukan Von Koenigswald lebih tua umurnya jika
dibandingkan dengan Homo Erectus yang ditemukan oleh E. Dubouis.
c. Homo Sapiens
Homo Sapiens adalah jenis manusia purba yang
memiliki bentuk tubuh yang sama dengan manusia sekarang. Mereka telah memiliki
sifat seperti manusia sekarang. Kehidupan mereka sangat sederhana, dan hidupnya
mengembara.
Ciri jenis Homo
:
a.
Hidup antara 25.000 s/d 40.000 tahun yang lalu
b.
Muka dan hidung lebar
c.
Dahi masih menonjol
d.
Tarap kehidupannya lebih maju dibanding manusia sebelumnya
Jenis
fosil Homo Sapiens yang ditemukan di Indonesia terdiri dari:
1.
Fosil manusia yang ditemukan di daerah Ngandong Blora di Sangiran dan Sambung
Macan, Sragen, lembah Sungai Bengawan Solo tahun 1931 - 1934. Fosil ini setelah
diteliti oleh Von Koenigswald dan Weidenreich diberi nama Homo Sapien Soloensis
(Homo Soloensis).
2. Fosil manusia yang ditemukan di Wajak
(Tulung Agung) tahun 1889 oleh Van
Reitschotten diteliti oleh Eugene Dubouis kemudian diberi nama menjadi Homo
Sapiens Wajakensis.
Kebudayaan
Paleolitikum di Indonesia ditemukan di daerah Pacitan dan Ngandong, maka sering
disebut Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.
1) Kebudayaan Pacitan
Alat-alat
kebudayaan Pacitan ditemukan oleh Von Koenigswald pada tahun1935. Di daerah
Pacitan banyak ditemukan alat-alat dari batu yang masih sangat kasar. Alat-alat tersebut berbentuk kapak,
yakni kapak perimbas (chooper), karena tidak memakai tangkai maka disebut Kapak
Genggam. Alat budaya Pacitan diperkirakan dari lapisan pleistosen tengah
(lapisan Trinil); sedangkan pendukung kebudayaan tersebut ialah Pithecantropus
erectus. Kapak Genggam selain ditemukan di Pacitan, juga ditemukan di Sukabumi
dan Ciamis (Jawa Barat), Parigi dan Gombong (Jawa Tengah), Bengkulu dan Lahat
(Sumatra Selatan), Awangbangkal (Kalimantan Selatan), dan Cabenge (Sulawesi
Selatan), Flores, dan Timor. Selain Kapak Genggam, juga dikenal jenis lain,
yakni alat Serpih (flake).
2) Kebudayaan Ngandong
Di
sekitar daerah Ngandong dan Sidorejo (dekat Ngawi, Madiun, Jawa Timur) didapatkan banyak alat-alat dari tulang
di samping kapak-kapak genggam dari batu. Alat-alat Kebu-dayaan Ngandong
ditemukan oleh Von Koenigswald pada tahun 1941 dan yang banyak ditemukan
alat-alat dari tulang (semacam alat penusuk = belati),dan tanduk rusa terutama
di gua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar