Rabu, 03 Juni 2020

PENGEMBANGAN NILAI KEPAHLAWANAN, KEPERINTISAN, KESETIAKAWANAN, DAN RESTORASI SOSIAL DARI TOKOH PEJUANG SULAWESI TENGGARA MENENTANG IMPERIALISME






PENGEMBANGAN NILAI KEPAHLAWANAN, KEPERINTISAN, KESETIAKAWANAN, DAN RESTORASI SOSIAL DARI TOKOH PEJUANG SULAWESI TENGGARA MENENTANG IMPERIALISME






Makalah
Disajikan dalam Bimbingan Pelestarian Nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial (K3RS) melalui Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dinas Sosial Propinsi Sulawesi Tenggara,
tanggal 30 Agustus 2017











Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
Dosen FKIP Universitas Haluoleo











DINAS SOSIAL
PROPINSI SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2017









PENGEMBANGAN NILAI KEPAHLAWANAN, KEPERINTISAN, KESETIAKAWANAN, DAN RESTORASI SOSIAL DARI TOKOH PEJUANG SULAWESI TENGGARA MENENTANG IMPERIALISME

Oleh: Prof. Dr. H. Anwar, M. Pd.
A.  Pendahuluan
Nilai  adalah suatu tujuan akhir yang diinginkan, mempengaruhi tingkah laku, yang digunakan sebagai prinsip atau panduan dalam hidup seseorang atau masyarakat. Bisa dikatakan bahwa nilai-nilai pada hakikatnya merupakan sejumlah prinsip yang dianggap berharga dan bernilai sehingga layak diperjuangkan dengan penuh pengorbanan. Jika seseorang hanya memperjuangkan nilai-nilai pribadi sering disebut indivudualis, namun jika seseorang memperjuangkan nilai-nilai sosial sering disebut pejuang atau pahlawan (orang yang banyak berbuat untuk kepentingan orang lain tentu ada pahalanya).
Nilai-nilai merupakan representasi dari kognitif dari persyaratan hidup manusia dan dapat bergeser karenanya. Empat tipe persyaratan itu yaitu: 
(1) Panggilan Jiwa, (2) Kebutuhan individu sebagai organism, (3) Persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal, (4) Tuntutan institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok (Jaya, 2012).
Mengkaji dan melihat definisi nilai tersebut, maka dalam konteks ke Indonesiaan, kita bisa menyebutkan bahwa nilai-nilai perjuangan dan kepahlawanan yang dapat mempersatukan bangsa ini terbagi menjadi tiga yaitu: Pertama, Sebelum kemerdekaan nilai-nilai itu terangkum dalam istilah MERDEKA. Merdeka ini dianggap amat bernilai tinggi dan menjadikan wilayah jajahan  Hindia Belanda bersatu padu. Menghilangkan sisi-sisi perbedaan dan mengedepankan toleransi. Kata-kata merdeka begitu dirindukan oleh semua pihak, mulai dari gerakan Sarekan Dagang Islam, Budi Utomo, Sumpah Pemuda dan perjuangan-perjuangan lokal yang lain. Kedua, Saat membela dan mempertahankan kemerdekaan, dengan tampilnya para pejuang kemerdekaan dengan mengatasnamakan laskar-laskar, pandu  dan sebagainya. Mereka mengeluarkan semboyang MERDEKA ATAU MATI. Ketiga, Setelah merdeka di carilah semua kepentingan suku-bangsa ini melalui wakil-wakilnya dan semua sepakat untuk menjunjung tinggi kesamaan nilai yang terangkum dalam istilah  PANCASILA (lima sila/point). Suatu nilai dasar yang telah digali ini, diambil dari semua golongan yang ada dan kemudian ditetapkan sebagai dasar kesepahaman untuk bergabung dan menyatukan diri dalam suatu negara yaitu negara Indonesia. Lima Sila perjuangan yaitu: (1) Ke Tuhaan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari nilai-nilai kejuangan yang didasari rasa persatuan dan kesatuan serta  cinta ini muncul semangat juang dan semangat kepahlawanan, yaitu: (1) Rasa senasib sepenanggungan, (2) Rela berkorban/tanpa pamrih, (3) Teguh, (4) Ulet, (5) Percaya diri, dan (6)  Gotong royong (Jaya, 2012)
Perkembangan teknologi dan globalisasi informasi sangat berpengaruh dan berakibat pada terjadinya pergeseran tata nilai. Sehingga ada kecenderungan nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan dan kesetiakawanan sosial mengalami penurunan dalam pengamalannya (Anonim, 2011). Sehubungan dengan hal tesebut dalam melanjutkan pembangunan, perlunya generasi muda dan generasi penerus dibekali nilai kepahlawanan, keperintisan dan kesetiakawanan sosial, sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui Bimbingan Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial ini, para guru dan tokoh masyarakat dapat mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada anak didik dalam kegiatan pembangunan sehari-hari, baik dalam kelas maupun di luar kelas. Sehingga kelah dikemudian hari, anak didik menjadi generasi muda dan generasi penerus bangsa yang profesional, handal, tangguh, serta memiliki jiwa kepahlawanan, keperintisan, kesetiakawanan, dan restorasi sosial dengan tetap menghargai para pahlawan pendahulunya.
Kesetiakawanan sebagai pengejewantahan dari sikap, perilaku dan jati diri bangsa Indonesia akan dapat menjadi modal yang besar dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial yang dihadapi bangsa ini secara bertahap untuk melakukan perbaikan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh tanah air, apabila nilai kemerdekaan, nilai kepahlawanan dan nilai kesetiakawanan itu melekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Gagasan kesetiakawanan berawal dari solidaritas kerakyatan dan kebangsaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Solidaritas muncul karena kesamaan nasib (sejarah), kesamaan wilayah (teritorial), kesamaan kultural, dan bahasa. Menurut Ernest Renan [1823-1892], semua itu merupakan modal untuk membentuk nation. Kesadaran kebangsaan memuncak seiring deklarasi Sumpah Pemuda 1928. Sebuah semangat mengubah ”keakuan” menjadi ”kekamian” menuju ”kekitaan”.
Selanjutnya, kesetiakawanan nasional tumbuh kuat karena faktor penjajahan. Dalam hal ini, kesetiakawanan mengejawantah dalam perjuangan mengusir penjajahan, baik masa prakemerdekaan maupun pascakemerdekaan. Kesetiakawanan bermula dari semangat solidaritas nasional antara TNI dan rakyat dalam mengusir Belanda yang kembali pada 19 Desember 1948. Akhirnya kebersamaan yang dilandasi semangat rela berkorban dan mengutamakan kepentingan bangsa menjadi senjata ampuh untuk memerdekakan bangsa.
Namun, fakta lain menunjukkan, nilai-nilai kesetiakawanan kian terkikis. Saat ini solidaritas itu hanya muncul di ruang politik dengan semangat membela kepentingan masing-masing golongan. Menguat pula solidaritas kedaerahan yang mewujud dalam komunalisme dan tribalisme. Di bidang ekonomi, nilai solidaritas belum menjadi kesadaran nasional, baik di level struktural, institusional, maupun personal.
Menguatnya kesenjangan di berbagai ruang publik merupakan indikator melemahnya kesetiakawanan sosial. Basis-basis perekonomian dikuasai segelintir orang yang memiliki berbagai akses. Juga terjadi kesenjangan antarwilayah, antara pusat dan daerah, antarpulau, antaretnik, dan antargolongan.
Ada tiga hal yang menggerus nilai kesetiakawanan. Pertama, menguatnya semangat individualis karena globalisasi. Kedua, menguatnya identitas komunal dan kedaerahan. Ketiga, lemahnya otoritas kepemimpinan. Hal ini terkait keteladanan para kepemimpinan yang kian memudar.

 

B.  Profil Pejuang Sulawesi Tenggara Masa Penjajahan Belanda

1.  La Walanda dari Buton
2. La Ode Ngkadiri (Sangia Kaindea) Dari Muna
3. Wa Ode Wakelu, Dari Muna
4. Kapita Waloindi, Dari Binongko
5. La Ode Gure, Dari Kulisusu
6. Wa Ode Wau Dari Buton
7. Himayatuddin Muhammad Saidi Dari Buton
8. Muhammad Umar Dari Buton
9. La Ode Gola Dari Kulisusu
10. Ani Abdul Latif Dari Buton
11. Watukila Dari Konawe
12. Lapadi Dari Konawe Selatan
13. Weribundu Dari Konawe
14. Tojabi, Yang Berjuang Di Luwu, Kolaka Utara Dan Wajo
15. Haji Hasan Dari Wawo Kolaka Utara
16. Lapotende Dari Konawe
17. La Ode Boha Dari Buton
18. Lamboasa Dari Konawe
19. Sangia Dowo, Mbohog, Dan I Ule Dari Moronene
20. La Ode Ebo, Dari Tiworo
21. Mantalagi, Dari Buton
22. La Ode Ijo Dari Muna \
23. Polonui Dari Punggaluku Konawe Selatan
24. La Ode Pulu Dari Muna
25. Laulewulu Dari Motaha Konawe

C.  Nilai-Nilai Kepahlawanan
1.    Rela Berkorban
Bersedia dengan ikhlas, senang hati, dengan tidak mengharapkan imbalan, dan mau memberikan sebagian yang dimiliki sekalipun menimbulkan penderitaan bagi dirinya.
2.    Cinta Tanah Air
Perasaan cinta terhadap bangsa dan negaranya sendiri, Bangga dengan produk dalam negeri,
Kreatif dalam bidang keahlian untuk memajukan daerahnya (pendidikan sebagai bekal dalam peran pembangunan bangsa), Prestasi dan Menjaga dan melestarikan bumi pertiwi.
3.    Kerja Keras
Berusaha dengan sepenuh hati dengan sekuat tenaga untuk berupaya mendapatkan keingingan pencapaian hasil yang maksimal pada umumnya.
4.    Keteladanan
Suatu sikap positif yang dapat dijadikan sebagai acuan oleh masyarakat. Keteladanan berasal dari kata “teladan” yang memiliki arti sesuatu yang patut ditiru untuk dicontoh tentang perbuatan, kelakuan, sifat dan lain sebagainya. Sedangkan keteladanan merupakan perilaku seseorang yang sengaja ataupun tidak sengaja dilakukan atau dijadikan contoh bagi orang yang mengetahuinya atau melihatnya.Dalam bahasa Arab, teladan adalah uswatun Hasanah. Mahmud Yunus mendefinisikan “uswatun” sama dengan “qudwah” yang berarti “ikutan” dan “hasanah” diartikan perbuatan yang baik.
5.    Kejujuran
Keserasian atas berita yang disampaikan dengan fakta yang ada.
6.    Demokratis
Suatu pilihan dimana sebuah bangsa menganut paham kebebasan berpendapat dengan hasil musyawarah mufakat.
7.    Mandiri
Melakukan suatu hal tanpa menggantungkan diri pada individu lain. Kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan sendiri dan untuk kebutuhannya sendiri tanpa bantuan dari orang lain, maupun berpikir dan bertindak original/kreatif, dan penuh inisiatif, mampu mempengaruhi lingkungan, mempunyai rasa percaya diri dan memperoleh kepuasan dari usahanya.
8.    Bertanggung jawab
Keadaan wajib menaggung segala sesuatu hal yang telah diperbuat.
Tidak Mudah Menumbuhkan Jiwa Rela Berkorban Seperti Para Pahlawan/Pejuang Pembela Kemerdekaan Indonesia. Sebagai bagian dari masyarakat acara seperti ini diharapkan berdampak pada peningkatan peran serta masyarakat seperti yang diharapan pada acara tersebut. Cinta tanah air diimplementasikan dalam kehidupan nyata sebagai bagian kebutuhan sendiri, bimbingan hati dengan hati ikhlas. Keberadaan potensi dalam meningkatkan rasa memiliki sebagai bagian dari nilai-nilai kepedulian untuk bersama dalam kedamaian hidup bermasyarakat, terutama di daerah masing-masing yang merupakan bagian terintegrasi pada negara dan bangsa tercinta ini yaitu bangsa Indonesia.

D.  Nilai-nilai Keperintisan
Keperintisan adalah memelopori, mengerjakan untuk pertama kali, usaha yang mula-mula sekali, misalnya Raden Ajeng kartini Kartini telah memelopori jalan untuk memajukan kaum wanita, sedangkan istilah perintis kemerdekaan adalah orang yang ikut serta (berjuang) untuk mencapai Indonesia Merdeka (Moeliono, 1988).
Jika nilai dikaitkan dengan tujuan akhir, maka nilai keperintisan dapat berupa: (1) kepeloporan, (2) keberanian untuk memulai suatu kebaikan, (3) menciptakan suatu hal baru yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, (4) pemikiran baru yang dapat mengubah pandangan dan perilaku umat manusia.

E.  Nilai-Nilai Kesetiakawanan Sosial
Kesetiakawanan Sosial atau rasa solidaritas sosial adalah merupakan potensi spritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nurani bangsa Indonesia yang tereplikasi dari sikap dan perilaku yang dilandasi oleh pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi sosial sesuai dengan kemampuan dari masing-masing warga masyarakat dengan semangat kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan.
Oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nilai Dasar Kesejahteraan Sosial, modal sosial (Social Capital) yang ada dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan didayagunakan dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk bernegara yaitu Masyarakat Sejahtera. Sebagai nilai dasar kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial harus terus direvitalisasi sesuai dengan kondisi aktual bangsa dan diimplementasikan dalam wujud nyata dalam kehidupan kita.
Kesetiakawanan sosial merupakan nilai yang bermakna bagi setiap bangsa. Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial dalam kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia pada hakekatnya telah ada sejak jaman nenek moyang kita jauh sebelum negara ini berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka yang kemudian dikenal sebagai bangsa Indonesia.
Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial tersebut dalam perjalanan kehidupan bangsa kita telah teruji dalam berbagai peristiwa sejarah, dengan puncak manifestasinya terwujud dalam tindak dan sikap berdasarkan rasa kebersamaan dari seluruh bangsa Indonesia pada saat menghadapi ancaman dari penjajah yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa.
Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan berkat semangat kesetiakawanan sosial yang tinggi. Oleh karena itu, semangat kesetiakawanan sosial harus senantiasa ditanamkan, ditingkatkan dan dikukuhkan melalui berbagai kegiatan termasuk peringatan HKSN setiap tahunnya.
Sesuai tuntutan saat ini, dengan memperhatikan potensi dan kemampuan bangsa kita, maka Kesetiakawanan Sosial ini yang merupakan pengejewantahan dari realisasi konkrit semangat kesetiakawanan sosial masyarakat. Dengan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat dalam pelaksanaannya memerlukan berbagai dukungan dan peran aktif dari seluruh komponen/elemen bangsa, bukan hanya tanggungjawab pemerintah saja melainkan tanggung jawab bersama secara kolektif seluruh masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, makna nilai kesetiakawanan sosial sebagai sikap dan perilaku masyarakat dikaitkan dengan perjuangan tokoh ditujukan pada upaya membantu dan memecahkan berbagai permasalahan sosial bangsa dengan cara mendayagunakan peran aktif masyarakat secara luas, terorganisir dan berkelanjutan. Dengan demikian kesetiakawanan sosial masih akan tumbuh dan melekat dalam diri bangsa Indonesia yang dilandasi oleh nilai-nilai kemerdekaan, nilai kepahlawanan dan nilai-nilai kesetiakawanan itu sendiri dalam wawasan kebangsaan mewujudkan kebersamaan: hidup sejahtera, mati masuk surga, bersama membangun bangsa.
Dalam perjalanan sejarah, kita memerlukan momentum untuk membangkitkan semangat dan daya implementasi baru. Di tengah krisis finansial global, mungkin sudah saatnya menemukan kembali nilai-nilai kesetiakawanan sosial guna menjawab aneka masalah kebangsaan.  Saatnya kita menumbuhkan apa yang disebut Komaruddin Hidayat (2008) grand solidarity untuk kemudian diaplikasi ke dalam grand reality. Grand solidarity adalah rasa kebersamaan untuk membangun bangsa, yang didasarkan atas spirit, tekad, dan visi yang diajarkan founding father’s. Adapun grand reality adalah upaya untuk mengaplikasi masa lalu ke konteks masa kini. Pada level praksis, program-program pembangunan harus dilandasi semangat kesetiakawanan yang diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan. Pemerintah wajib memberi umpan (akses permodalan), memandu bagaimana cara memancing (akses SDM), menunjukkan di mana memancingnya (akses teknologi dan informasi), serta menunjukkan di mana menjual ikannya.
Di tingkat masyarakat, dapat ditradisikan satu orang kaya yang tinggal di permukiman miskin membantu orang miskin. Inilah yang disebut kepedulian sosial. Jika hal ini dilakukan secara simultan, akan tercipta keharmonisan di tingkat negara maupun kehidupan  masyarakat. Maka, inilah saatnya kita menemukan kembali solidaritas sosial nasional dan jati diri bangsa. Kita harus menumbuhkan semangat kebersamaan dan kepedulian dalam menghadapi tantangan kebangsaan.
Pelestarian Nilai-Nilai Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial Nasional di daerah. Aktualisasi generasi muda dan masyarakat pada saat ini dalam melakukan tindakan sebagai perujudan cinta tanah air dan dalam peran serta pada pembangunan daerah. Perspektif  nilai-nilai Kepahlawanan, Keperintisan, Kejuangan dalam menghadapi tantangan masa depan.

D. Restorasi Sosial
Istilah restorasi berarti pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula (Moeliono, 1988). Menurut Rizal bahwa kebijakan restorasi Sosial yang digalakkan Kementerian Sosial bertalian langsung dengan konsep ke-Bhinekaan dan Pluralisme. Pluralisme adalah suatu hal yang mulai memudar di negeri ini, itulah mengapa restorasi sosial menjadi penting.  Restorasi berarti menemukan kembali nilai-nilai yang sudah memudar, di mana salah satunya adalah konsep kemajemukan. Indonesia, sejatinya merupakan negara yang menjunjung tinggi dan hidup dalam pluralisme sejak dahulu kala. Sebab, Indonesia sebagai negara laut lazim didatangi orang-orang dari negara-negara lain, tempat pertemuan berbagai Budaya, Agama, dan Ras (Anonim, 2015). Untuk merestorasi kembali Pluralisme, Rizal menyarankan rakyat melihat kembali perjuangan para Pahlawan yang nama-namanya sudah tercatat di Kementerian Sosial. "Pluralisme tergambar dari sikap dan tindakan para Pahlawan Bangsa. Kementerian Sosial sedang menggalakkan kebijakan restorasi sosial untuk memperkuat solidaritas, kesetiakawanan sosial, sekaligus mencegah masuknya paham transnasional yang anti Pancasila. Restorasi sosial, menurut Khofifah Indar Parawansa, juga berarti menjunjung sikap kesetaraan di tengah rakyat. Ini juga merupakan program kesembilan dalam Nawa Cita. Adapun poin tersebut adalah, "Memperteguh ke-Bhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan ke-Bhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antar warga".
Perlu mengajak rakyat mengembangkan sikap egaliter (paham bahwa setiap manusia adalah sederajat), dengan saling menegur sapa, yang kaya menyapa yang miskin, yang terdidik menyapa yang tidak terdidik, yang di Kota menyapa yang di Desa. Dengan begitu, kita akan merasakan bahwa kita semua adalah satu.
Semua kelompok masyarakat dan etnis yang ada memiliki spirit untuk maju dengan semangat kegotong-royongan, meskipun dalam ungkapan bahasa yang berbeda.  Menurut Sanusi Pane dalam Mattulada (1995) bahwa kebudayaan Indonesia harus mementingkan kerohanian, perasaan, kegotong-royongan, dan manusia Indonesia tidak boleh melupakan sejarah kebudayaannya, sebab dengan mempelajari kebudayaannya di masa lalu, ia dapat membangun kebudayaan yang baru.
Demikian pula tingginya semangat kekerabatan antar etnis, yang pada kenyataannya memiliki pertalian baik melalui hubungan darah maupun perkawinan, sehingga makin menyuburkan nilai solidaritas antar etnik yang ada. Baik yang disebut sebagai etnik setempat (Tolaki, Moronene, Muna, dan Buton) maupun etnik yang disebut pendatang seperti Bugis/Makassar, Jawa, Bali dan Sasak, pada kenyataannya telah terjali hubungan kekerabatan. Akhirnya, nilai kegotong-royongan atau solidaritas antar etnik telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kondisi ini sangat menunjang program pemerintah dalam menanggulangi kerawanan sosial, lebih khusus lagi dalam aspek benturan antar etnis atau antar budaya. Pada kelompok etnik yang ada di Sultra telah dikembangkan budaya gotong-royong. Di masyarakat Tolaki dikembangkan budaya medulu, samaturu, dan mepokoaso, di masyarakat Muna dikenal dengan budaya pokadulu, dan di Buton seperti disebutkan dalam filsafat Binci-binciki kuli.
Pada kenyataannya, di masyarakat Sulawesi Tenggara telah melekat pribadi khas yang menunjukkan unjuk kerja siap berjuang demi tegaknya harkat dan martabat manusia myang sekaligus mencerminkan nilai kepahlawanan, kejuangan dan kesetiakawanan sosial.  Pribadi seperti itu terwujud dalam bentuk: (1) Mempunyai itikad baik, (2) menjunjung tinggi nilai intelektualitas, (3) menempatkan nilai kejujuran sebagai hal mutlak sebagai pendamping nilai keintelektualan, (4) mempunyai keberanian moral untuk menjalankan kebenaran, (5) teguh dalam pendirian, (6) konsekuen dalam bertindak, (7) tangguh dalam menjalani persaingan hidup, (8) menjunjung tinggi nilai usaha, (9) bertindak patut atau wajar, (10) cermat dan berhati-hati dalam bertindak, (11) merdeka atau otonom, (12) solider, (13) bertawakkal.
Warisan nilai budaya yang ada pada kelompok-kelompok masyarakat di Sultra tersebut, sangat relevan untuk diimplementasikan dalam dimensi petahanan keaman khususnya dalam memelihara keutuhan dan kemanan teritorial Sulawesi Tenggara khususnya dan Indonesia umumnya.

F. Penutup
Rangkaian perjuangan merebut dan mempertahankan kemedekaan telah menelan banyak korban baik harta maupun jiwa. Para pejuang berani mengorbankan harta dan jiwanya demi mencapai cita-cita kemederkaan abadi, bukan semata-mata untuk kepentingannya, tetapi untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan untuk waktu yang tidak terhingga.  Mereka rela berkorban karena ada jiwa, semangat, nilai kejuangan dan pengabdian untuk kejayaan bangsa dan negara di masa depan. Tugas generasi sekarang adalah mewarisi, melanjutkan, dan mengembangkan perjuangannya dengan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengembangkan nilai-nilai moral bangsa yang penuh kejujuran dan semangat ingin maju dalam rangka memajukan bangsa dan negara tercnita.




DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Akibat Teknologi/Globalisasi Informasi Terjadi Pergeseran Tata Nilai. http://nahskaw.wordpress. om/2011/03/16/akibat-teknologi-globalisasi-informasi-terjadi-pergeseran-tata-nilai/. Akses, 6 Oktober 2012.

Anonim. 2015. Sejarawan: Restorasi sosial Indonesia Bertalian dengan Pluraslisme” dalam  Kabar 7 Com. Rabu, 30/12/2015. http://kabar7.com/detail/sejarawan-restorasi-sosial-indonesia-bertalian-dengan-pluraslisme/9306/2015-12-31. Akses, 26 Agustus 2017.
Bhurhanuddin, B., dkk. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Bhurhanuddin, B., dkk. 1979. Sejarah Masa Revolusi Fisik Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Brotosoehendro, S., dkk. 1988. Pedoman Umum Pelestarian Jiwa, Semangat, dan Nilai-nilai 45. Jakarta: Dewan Harian Nasional Angkatan-45.
Hafid, Anwar. 2012. Nilai-Nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial Generasi Muda di Sulawesi Tenggara. Makalah Disajikan dalam Bimbingan Pelestarian Nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial (K2KS) Dinas Sosial Propinsi Sulawesi Tenggara,Tanggal 17 Oktober 2012.
Jaya, Muhammad. 2012.  Upaya Penanaman Nilai-nilai Kepahlawanan. http://www.disjarah-ad.org/news-a-event/upaya-penanaman-nilai-nilai-kepahlawanan.html. Akses, 15 Oktober 2012.
Kansil, C.S.T dan Julianto. 1986. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indoensia. Jakarta: Erlangga.
La-Patuju. 01 September 2013. Profil Pejuang Sulawesi Tenggara Pasca Kemerdekaan. Akses, 25 Agustus 2017.
Mahmud, Amir. 1985. Surat Perintah 11 Maret 1966 Tonggak Sejarah Perjuangan Orde Baru. Jakarta: MPR.
Mazi, Ali. 2004. Peran Nilai-nilai Budaya Lokal dalam Pelakasanaan Pembinaan Teritorial di Sulawesi Tenggara. Kendari.
Moeliono, Anton, dkk. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud RI.
Pringgodigdo, A.K. 1984. Sejarah Pergerakan Rakyat Indoensia. Jakarta: Dian Rakyat.
Sagimun, M.D. dkk. 1986. Perlawanan dan Pengasingan Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press.
Sukamo. 1983. Indonesia Menggugat. Jakarta: Inti Idayu Press.
Tamburakan, R., dkk. 1999. Sejarah Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekretarait Daerah Propinsi Sultra.
Toynbee, A. (1963). A Study of History. Vol.1. London: Oxpord University.

 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar