PENGEMBANGAN NILAI KEPAHLAWANAN, KEPERINTISAN, KESETIAKAWANAN, DAN
RESTORASI SOSIAL DARI TOKOH PEJUANG SULAWESI TENGGARA MENENTANG IMPERIALISME
Makalah
Disajikan
dalam Bimbingan Pelestarian Nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan
Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial (K3RS) melalui Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS)
Dinas Sosial Propinsi Sulawesi
Tenggara,
tanggal
30 Agustus 2017
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
Dosen FKIP Universitas Haluoleo
DINAS SOSIAL
PROPINSI
SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2017
PENGEMBANGAN NILAI KEPAHLAWANAN, KEPERINTISAN, KESETIAKAWANAN, DAN
RESTORASI SOSIAL DARI TOKOH PEJUANG SULAWESI TENGGARA MENENTANG IMPERIALISME
Oleh: Prof. Dr. H.
Anwar, M. Pd.
A. Pendahuluan
Nilai
adalah suatu tujuan akhir yang diinginkan, mempengaruhi tingkah laku, yang
digunakan sebagai prinsip atau panduan dalam hidup seseorang atau masyarakat.
Bisa dikatakan bahwa nilai-nilai pada hakikatnya merupakan sejumlah prinsip
yang dianggap berharga dan bernilai sehingga layak diperjuangkan dengan penuh
pengorbanan. Jika seseorang
hanya memperjuangkan nilai-nilai pribadi sering disebut indivudualis, namun
jika seseorang memperjuangkan nilai-nilai sosial sering disebut pejuang atau
pahlawan (orang yang banyak berbuat untuk kepentingan orang lain tentu ada
pahalanya).
Nilai-nilai merupakan representasi dari kognitif dari persyaratan hidup manusia dan dapat bergeser karenanya. Empat tipe persyaratan itu yaitu: (1) Panggilan Jiwa, (2) Kebutuhan individu sebagai organism, (3) Persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal, (4) Tuntutan institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok (Jaya, 2012).
Nilai-nilai merupakan representasi dari kognitif dari persyaratan hidup manusia dan dapat bergeser karenanya. Empat tipe persyaratan itu yaitu: (1) Panggilan Jiwa, (2) Kebutuhan individu sebagai organism, (3) Persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal, (4) Tuntutan institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok (Jaya, 2012).
Mengkaji dan
melihat definisi nilai tersebut, maka dalam konteks ke Indonesiaan, kita bisa
menyebutkan bahwa nilai-nilai perjuangan dan kepahlawanan yang dapat
mempersatukan bangsa ini terbagi menjadi tiga yaitu: Pertama, Sebelum
kemerdekaan nilai-nilai itu terangkum dalam istilah MERDEKA. Merdeka ini dianggap amat bernilai tinggi dan
menjadikan wilayah jajahan Hindia Belanda bersatu padu. Menghilangkan
sisi-sisi perbedaan dan mengedepankan toleransi. Kata-kata merdeka begitu dirindukan
oleh semua pihak, mulai dari gerakan Sarekan Dagang Islam, Budi Utomo, Sumpah Pemuda
dan perjuangan-perjuangan lokal yang lain. Kedua, Saat membela
dan mempertahankan kemerdekaan, dengan tampilnya para pejuang kemerdekaan
dengan mengatasnamakan laskar-laskar, pandu dan sebagainya. Mereka
mengeluarkan semboyang MERDEKA ATAU MATI. Ketiga, Setelah merdeka di
carilah semua kepentingan suku-bangsa ini melalui wakil-wakilnya dan semua
sepakat untuk menjunjung tinggi kesamaan nilai yang terangkum dalam
istilah PANCASILA (lima sila/point). Suatu nilai dasar yang telah digali
ini, diambil dari semua golongan yang ada dan kemudian ditetapkan sebagai dasar
kesepahaman untuk bergabung dan menyatukan diri dalam suatu negara yaitu negara
Indonesia. Lima Sila perjuangan yaitu: (1) Ke Tuhaan Yang Maha Esa, (2)
Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan, (5) Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari nilai-nilai
kejuangan yang didasari rasa persatuan dan kesatuan serta cinta ini
muncul semangat juang dan semangat kepahlawanan, yaitu: (1) Rasa senasib
sepenanggungan, (2) Rela berkorban/tanpa pamrih, (3) Teguh, (4) Ulet, (5)
Percaya diri, dan (6) Gotong royong (Jaya, 2012)
Perkembangan
teknologi dan globalisasi informasi sangat berpengaruh dan berakibat pada
terjadinya pergeseran tata nilai. Sehingga ada kecenderungan nilai-nilai
kepahlawanan, keperintisan dan kesetiakawanan sosial mengalami penurunan dalam
pengamalannya (Anonim, 2011). Sehubungan dengan hal tesebut dalam melanjutkan
pembangunan, perlunya generasi muda dan generasi penerus dibekali nilai
kepahlawanan, keperintisan dan kesetiakawanan sosial, sehingga dapat diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui
Bimbingan Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan
Sosial ini, para guru dan tokoh masyarakat dapat mentransformasikan nilai-nilai
tersebut kepada anak didik dalam kegiatan pembangunan sehari-hari, baik dalam
kelas maupun di luar kelas. Sehingga kelah dikemudian hari, anak didik menjadi
generasi muda dan generasi penerus bangsa yang profesional, handal, tangguh,
serta memiliki jiwa kepahlawanan, keperintisan, kesetiakawanan, dan restorasi
sosial dengan tetap menghargai para pahlawan pendahulunya.
Kesetiakawanan sebagai
pengejewantahan dari sikap, perilaku dan jati diri bangsa Indonesia akan dapat
menjadi modal yang besar dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial yang
dihadapi bangsa ini secara bertahap untuk melakukan perbaikan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di seluruh tanah air, apabila nilai kemerdekaan, nilai
kepahlawanan dan nilai kesetiakawanan itu melekat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Gagasan kesetiakawanan berawal dari
solidaritas kerakyatan dan kebangsaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Solidaritas muncul karena kesamaan nasib (sejarah), kesamaan wilayah
(teritorial), kesamaan kultural, dan bahasa. Menurut Ernest Renan [1823-1892],
semua itu merupakan modal untuk membentuk nation. Kesadaran kebangsaan memuncak
seiring deklarasi Sumpah Pemuda 1928. Sebuah semangat mengubah ”keakuan”
menjadi ”kekamian” menuju ”kekitaan”.
Selanjutnya, kesetiakawanan nasional
tumbuh kuat karena faktor penjajahan. Dalam hal ini, kesetiakawanan
mengejawantah dalam perjuangan mengusir penjajahan, baik masa prakemerdekaan
maupun pascakemerdekaan. Kesetiakawanan bermula dari semangat solidaritas
nasional antara TNI dan rakyat dalam mengusir Belanda yang kembali pada 19
Desember 1948. Akhirnya kebersamaan yang dilandasi semangat rela berkorban dan
mengutamakan kepentingan bangsa menjadi senjata ampuh untuk memerdekakan
bangsa.
Namun, fakta lain menunjukkan,
nilai-nilai kesetiakawanan kian terkikis. Saat ini solidaritas itu hanya muncul
di ruang politik dengan semangat membela kepentingan masing-masing golongan.
Menguat pula solidaritas kedaerahan yang mewujud dalam komunalisme dan
tribalisme. Di bidang ekonomi, nilai solidaritas belum menjadi kesadaran
nasional, baik di level struktural, institusional, maupun personal.
Menguatnya kesenjangan di berbagai
ruang publik merupakan indikator melemahnya kesetiakawanan sosial. Basis-basis
perekonomian dikuasai segelintir orang yang memiliki berbagai akses. Juga
terjadi kesenjangan antarwilayah, antara pusat dan daerah, antarpulau,
antaretnik, dan antargolongan.
Ada tiga hal yang menggerus nilai
kesetiakawanan. Pertama, menguatnya semangat individualis karena
globalisasi. Kedua, menguatnya identitas komunal dan kedaerahan. Ketiga,
lemahnya otoritas kepemimpinan. Hal ini terkait keteladanan para kepemimpinan
yang kian memudar.
B. Profil Pejuang Sulawesi Tenggara Masa Penjajahan Belanda
1. La Walanda dari Buton
2. La Ode Ngkadiri (Sangia Kaindea) Dari
Muna
3. Wa Ode Wakelu, Dari Muna
4. Kapita Waloindi, Dari Binongko
5. La Ode Gure, Dari Kulisusu
6. Wa Ode Wau Dari Buton
7. Himayatuddin Muhammad Saidi Dari
Buton
8. Muhammad Umar Dari Buton
9. La Ode Gola Dari Kulisusu
10. Ani Abdul Latif Dari Buton
11. Watukila Dari Konawe
12. Lapadi Dari Konawe Selatan
13. Weribundu Dari Konawe
14. Tojabi, Yang Berjuang Di Luwu,
Kolaka Utara Dan Wajo
15. Haji Hasan Dari Wawo Kolaka Utara
16. Lapotende Dari Konawe
17. La Ode Boha Dari Buton
18. Lamboasa Dari Konawe
19. Sangia Dowo, Mbohog, Dan I Ule
Dari Moronene
20. La Ode Ebo, Dari Tiworo
21. Mantalagi, Dari Buton
22. La Ode Ijo Dari Muna \
23. Polonui Dari Punggaluku Konawe
Selatan
24. La Ode Pulu Dari Muna
C. Nilai-Nilai Kepahlawanan
1. Rela Berkorban
Bersedia dengan ikhlas, senang hati, dengan tidak mengharapkan imbalan, dan mau memberikan sebagian yang dimiliki sekalipun menimbulkan penderitaan bagi dirinya.
Bersedia dengan ikhlas, senang hati, dengan tidak mengharapkan imbalan, dan mau memberikan sebagian yang dimiliki sekalipun menimbulkan penderitaan bagi dirinya.
2. Cinta Tanah Air
Perasaan
cinta terhadap bangsa dan negaranya sendiri, Bangga dengan produk dalam negeri,
Kreatif dalam bidang keahlian untuk memajukan daerahnya (pendidikan sebagai bekal dalam peran pembangunan bangsa), Prestasi dan Menjaga dan melestarikan bumi pertiwi.
Kreatif dalam bidang keahlian untuk memajukan daerahnya (pendidikan sebagai bekal dalam peran pembangunan bangsa), Prestasi dan Menjaga dan melestarikan bumi pertiwi.
3. Kerja Keras
Berusaha dengan sepenuh hati dengan sekuat tenaga untuk berupaya mendapatkan keingingan pencapaian hasil yang maksimal pada umumnya.
Berusaha dengan sepenuh hati dengan sekuat tenaga untuk berupaya mendapatkan keingingan pencapaian hasil yang maksimal pada umumnya.
4. Keteladanan
Suatu sikap positif yang dapat dijadikan sebagai acuan oleh masyarakat. Keteladanan berasal dari kata “teladan” yang memiliki arti sesuatu yang patut ditiru untuk dicontoh tentang perbuatan, kelakuan, sifat dan lain sebagainya. Sedangkan keteladanan merupakan perilaku seseorang yang sengaja ataupun tidak sengaja dilakukan atau dijadikan contoh bagi orang yang mengetahuinya atau melihatnya.Dalam bahasa Arab, teladan adalah uswatun Hasanah. Mahmud Yunus mendefinisikan “uswatun” sama dengan “qudwah” yang berarti “ikutan” dan “hasanah” diartikan perbuatan yang baik.
Suatu sikap positif yang dapat dijadikan sebagai acuan oleh masyarakat. Keteladanan berasal dari kata “teladan” yang memiliki arti sesuatu yang patut ditiru untuk dicontoh tentang perbuatan, kelakuan, sifat dan lain sebagainya. Sedangkan keteladanan merupakan perilaku seseorang yang sengaja ataupun tidak sengaja dilakukan atau dijadikan contoh bagi orang yang mengetahuinya atau melihatnya.Dalam bahasa Arab, teladan adalah uswatun Hasanah. Mahmud Yunus mendefinisikan “uswatun” sama dengan “qudwah” yang berarti “ikutan” dan “hasanah” diartikan perbuatan yang baik.
5. Kejujuran
Keserasian atas berita yang disampaikan dengan fakta yang ada.
Keserasian atas berita yang disampaikan dengan fakta yang ada.
6. Demokratis
Suatu pilihan dimana sebuah bangsa menganut paham kebebasan berpendapat dengan hasil musyawarah mufakat.
Suatu pilihan dimana sebuah bangsa menganut paham kebebasan berpendapat dengan hasil musyawarah mufakat.
7. Mandiri
Melakukan suatu hal tanpa menggantungkan diri pada individu lain. Kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan sendiri dan untuk kebutuhannya sendiri tanpa bantuan dari orang lain, maupun berpikir dan bertindak original/kreatif, dan penuh inisiatif, mampu mempengaruhi lingkungan, mempunyai rasa percaya diri dan memperoleh kepuasan dari usahanya.
Melakukan suatu hal tanpa menggantungkan diri pada individu lain. Kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan sendiri dan untuk kebutuhannya sendiri tanpa bantuan dari orang lain, maupun berpikir dan bertindak original/kreatif, dan penuh inisiatif, mampu mempengaruhi lingkungan, mempunyai rasa percaya diri dan memperoleh kepuasan dari usahanya.
8. Bertanggung jawab
Keadaan wajib menaggung segala sesuatu hal yang telah diperbuat.
Keadaan wajib menaggung segala sesuatu hal yang telah diperbuat.
Tidak Mudah Menumbuhkan Jiwa Rela
Berkorban Seperti Para Pahlawan/Pejuang Pembela Kemerdekaan Indonesia. Sebagai
bagian dari masyarakat acara seperti ini diharapkan berdampak pada peningkatan
peran serta masyarakat seperti yang diharapan pada acara tersebut. Cinta tanah
air diimplementasikan dalam kehidupan nyata sebagai bagian kebutuhan sendiri,
bimbingan hati dengan hati ikhlas. Keberadaan potensi dalam meningkatkan rasa
memiliki sebagai bagian dari nilai-nilai kepedulian untuk bersama dalam
kedamaian hidup bermasyarakat, terutama di daerah masing-masing yang merupakan
bagian terintegrasi pada negara dan bangsa tercinta ini yaitu bangsa Indonesia.
D. Nilai-nilai Keperintisan
Keperintisan adalah memelopori,
mengerjakan untuk pertama kali, usaha yang mula-mula sekali, misalnya Raden
Ajeng kartini Kartini telah memelopori jalan untuk memajukan kaum wanita, sedangkan
istilah perintis kemerdekaan adalah orang yang ikut serta (berjuang) untuk
mencapai Indonesia Merdeka (Moeliono, 1988).
Jika nilai
dikaitkan dengan tujuan akhir, maka nilai keperintisan dapat berupa: (1)
kepeloporan, (2) keberanian untuk memulai suatu kebaikan, (3) menciptakan suatu
hal baru yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, (4) pemikiran baru yang dapat
mengubah pandangan dan perilaku umat manusia.
E. Nilai-Nilai Kesetiakawanan Sosial
Kesetiakawanan Sosial atau rasa
solidaritas sosial adalah merupakan potensi spritual, komitmen bersama
sekaligus jati diri bangsa oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan
Nurani bangsa Indonesia yang tereplikasi dari sikap dan perilaku yang dilandasi
oleh pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi sosial
sesuai dengan kemampuan dari masing-masing warga masyarakat dengan semangat
kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi sesama, kegotongroyongan dalam
kebersamaan dan kekeluargaan.
Oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nilai Dasar Kesejahteraan Sosial, modal sosial (Social Capital) yang ada dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan didayagunakan dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk bernegara yaitu Masyarakat Sejahtera. Sebagai nilai dasar kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial harus terus direvitalisasi sesuai dengan kondisi aktual bangsa dan diimplementasikan dalam wujud nyata dalam kehidupan kita.
Oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nilai Dasar Kesejahteraan Sosial, modal sosial (Social Capital) yang ada dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan didayagunakan dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk bernegara yaitu Masyarakat Sejahtera. Sebagai nilai dasar kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial harus terus direvitalisasi sesuai dengan kondisi aktual bangsa dan diimplementasikan dalam wujud nyata dalam kehidupan kita.
Kesetiakawanan sosial merupakan
nilai yang bermakna bagi setiap bangsa. Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial
dalam kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia pada hakekatnya telah ada sejak
jaman nenek moyang kita jauh sebelum negara ini berdiri sebagai suatu bangsa
yang merdeka yang kemudian dikenal sebagai bangsa Indonesia.
Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial tersebut dalam perjalanan kehidupan bangsa kita telah teruji dalam berbagai peristiwa sejarah, dengan puncak manifestasinya terwujud dalam tindak dan sikap berdasarkan rasa kebersamaan dari seluruh bangsa Indonesia pada saat menghadapi ancaman dari penjajah yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa.
Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan berkat semangat kesetiakawanan sosial yang tinggi. Oleh karena itu, semangat kesetiakawanan sosial harus senantiasa ditanamkan, ditingkatkan dan dikukuhkan melalui berbagai kegiatan termasuk peringatan HKSN setiap tahunnya.
Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial tersebut dalam perjalanan kehidupan bangsa kita telah teruji dalam berbagai peristiwa sejarah, dengan puncak manifestasinya terwujud dalam tindak dan sikap berdasarkan rasa kebersamaan dari seluruh bangsa Indonesia pada saat menghadapi ancaman dari penjajah yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa.
Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan berkat semangat kesetiakawanan sosial yang tinggi. Oleh karena itu, semangat kesetiakawanan sosial harus senantiasa ditanamkan, ditingkatkan dan dikukuhkan melalui berbagai kegiatan termasuk peringatan HKSN setiap tahunnya.
Sesuai tuntutan saat ini, dengan
memperhatikan potensi dan kemampuan bangsa kita, maka Kesetiakawanan Sosial ini
yang merupakan pengejewantahan dari realisasi konkrit semangat kesetiakawanan
sosial masyarakat. Dengan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat dalam
pelaksanaannya memerlukan berbagai dukungan dan peran aktif dari seluruh
komponen/elemen bangsa, bukan hanya tanggungjawab pemerintah saja melainkan
tanggung jawab bersama secara kolektif seluruh masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, makna nilai
kesetiakawanan sosial sebagai sikap dan perilaku masyarakat dikaitkan dengan
perjuangan tokoh ditujukan pada upaya membantu dan memecahkan berbagai
permasalahan sosial bangsa dengan cara mendayagunakan peran aktif masyarakat
secara luas, terorganisir dan berkelanjutan. Dengan demikian kesetiakawanan
sosial masih akan tumbuh dan melekat dalam diri bangsa Indonesia yang dilandasi
oleh nilai-nilai kemerdekaan, nilai kepahlawanan dan nilai-nilai kesetiakawanan
itu sendiri dalam wawasan kebangsaan mewujudkan kebersamaan: hidup sejahtera,
mati masuk surga, bersama membangun bangsa.
Dalam perjalanan sejarah, kita
memerlukan momentum untuk membangkitkan semangat dan daya implementasi baru. Di
tengah krisis finansial global, mungkin sudah saatnya menemukan kembali
nilai-nilai kesetiakawanan sosial guna menjawab aneka masalah kebangsaan. Saatnya kita menumbuhkan apa yang disebut
Komaruddin Hidayat (2008) grand solidarity untuk kemudian diaplikasi ke
dalam grand reality. Grand solidarity adalah rasa kebersamaan untuk membangun
bangsa, yang didasarkan atas spirit, tekad, dan visi yang diajarkan founding
father’s. Adapun grand reality adalah upaya untuk mengaplikasi masa lalu ke
konteks masa kini. Pada level praksis, program-program pembangunan harus
dilandasi semangat kesetiakawanan yang diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan.
Pemerintah wajib memberi umpan (akses permodalan), memandu bagaimana cara
memancing (akses SDM), menunjukkan di mana memancingnya (akses teknologi dan
informasi), serta menunjukkan di mana menjual ikannya.
Di tingkat masyarakat, dapat
ditradisikan satu orang kaya yang tinggal di permukiman miskin membantu orang
miskin. Inilah yang disebut kepedulian sosial. Jika hal ini dilakukan secara
simultan, akan tercipta keharmonisan di tingkat negara maupun kehidupan masyarakat. Maka, inilah saatnya kita
menemukan kembali solidaritas sosial nasional dan jati diri bangsa. Kita harus
menumbuhkan semangat kebersamaan dan kepedulian dalam menghadapi tantangan
kebangsaan.
Pelestarian Nilai-Nilai
Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial Nasional di daerah.
Aktualisasi generasi muda dan masyarakat pada saat ini dalam melakukan tindakan
sebagai perujudan cinta tanah air dan dalam peran serta pada pembangunan
daerah. Perspektif nilai-nilai
Kepahlawanan, Keperintisan, Kejuangan dalam menghadapi tantangan masa depan.
D. Restorasi Sosial
Istilah restorasi berarti pengembalian atau
pemulihan kepada keadaan semula (Moeliono, 1988). Menurut Rizal bahwa kebijakan restorasi
Sosial yang digalakkan Kementerian Sosial bertalian langsung dengan konsep
ke-Bhinekaan dan Pluralisme. Pluralisme adalah suatu
hal yang mulai memudar di negeri ini, itulah mengapa restorasi sosial menjadi
penting. Restorasi berarti menemukan
kembali nilai-nilai yang sudah memudar, di mana salah satunya adalah konsep
kemajemukan. Indonesia, sejatinya merupakan negara yang menjunjung tinggi dan
hidup dalam pluralisme sejak dahulu kala. Sebab, Indonesia sebagai negara laut
lazim didatangi orang-orang dari negara-negara lain, tempat pertemuan berbagai
Budaya, Agama, dan Ras (Anonim, 2015). Untuk merestorasi kembali Pluralisme,
Rizal menyarankan rakyat melihat kembali perjuangan para Pahlawan yang
nama-namanya sudah tercatat di Kementerian Sosial. "Pluralisme tergambar
dari sikap dan tindakan para Pahlawan Bangsa. Kementerian Sosial sedang
menggalakkan kebijakan restorasi sosial untuk memperkuat solidaritas,
kesetiakawanan sosial, sekaligus mencegah masuknya paham transnasional yang
anti Pancasila. Restorasi sosial, menurut Khofifah Indar Parawansa, juga
berarti menjunjung sikap kesetaraan di tengah rakyat. Ini juga merupakan
program kesembilan dalam Nawa Cita. Adapun poin tersebut adalah,
"Memperteguh ke-Bhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia
melalui kebijakan memperkuat pendidikan ke-Bhinnekaan dan menciptakan
ruang-ruang dialog antar warga".
Perlu
mengajak rakyat mengembangkan sikap egaliter (paham bahwa setiap manusia adalah
sederajat), dengan saling menegur sapa, yang kaya menyapa yang miskin, yang
terdidik menyapa yang tidak terdidik, yang di Kota menyapa yang di Desa. Dengan
begitu, kita akan merasakan bahwa kita semua adalah satu.
Semua
kelompok masyarakat dan etnis yang ada memiliki spirit untuk maju dengan
semangat kegotong-royongan, meskipun dalam ungkapan bahasa yang berbeda. Menurut Sanusi Pane dalam Mattulada (1995)
bahwa kebudayaan Indonesia harus mementingkan kerohanian, perasaan,
kegotong-royongan, dan manusia Indonesia tidak boleh melupakan sejarah
kebudayaannya, sebab dengan mempelajari kebudayaannya di masa lalu, ia dapat
membangun kebudayaan yang baru.
Demikian
pula tingginya semangat kekerabatan antar etnis, yang pada kenyataannya
memiliki pertalian baik melalui hubungan darah maupun perkawinan, sehingga
makin menyuburkan nilai solidaritas antar etnik yang ada. Baik yang disebut
sebagai etnik setempat (Tolaki, Moronene, Muna, dan Buton) maupun etnik yang
disebut pendatang seperti Bugis/Makassar, Jawa, Bali dan Sasak, pada
kenyataannya telah terjali hubungan kekerabatan. Akhirnya, nilai
kegotong-royongan atau solidaritas antar etnik telah menjadi bagian tak
terpisahkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kondisi ini sangat menunjang
program pemerintah dalam menanggulangi kerawanan sosial, lebih khusus lagi
dalam aspek benturan antar etnis atau antar budaya. Pada kelompok etnik yang
ada di Sultra telah dikembangkan budaya gotong-royong. Di masyarakat Tolaki
dikembangkan budaya medulu, samaturu, dan mepokoaso, di masyarakat Muna dikenal dengan budaya pokadulu, dan di Buton seperti disebutkan dalam filsafat Binci-binciki
kuli.
Pada
kenyataannya, di masyarakat Sulawesi Tenggara telah melekat pribadi khas yang
menunjukkan unjuk kerja siap berjuang demi tegaknya harkat dan martabat manusia
myang sekaligus mencerminkan nilai kepahlawanan, kejuangan dan kesetiakawanan
sosial. Pribadi seperti itu terwujud
dalam bentuk: (1) Mempunyai itikad baik, (2) menjunjung tinggi nilai intelektualitas,
(3) menempatkan nilai kejujuran sebagai hal mutlak sebagai pendamping nilai
keintelektualan, (4) mempunyai keberanian moral untuk menjalankan kebenaran,
(5) teguh dalam pendirian, (6) konsekuen dalam bertindak, (7) tangguh dalam
menjalani persaingan hidup, (8) menjunjung tinggi nilai usaha, (9) bertindak
patut atau wajar, (10) cermat dan berhati-hati dalam bertindak, (11) merdeka
atau otonom, (12) solider, (13) bertawakkal.
Warisan nilai
budaya yang ada pada kelompok-kelompok masyarakat di Sultra tersebut, sangat
relevan untuk diimplementasikan dalam dimensi petahanan keaman khususnya dalam
memelihara keutuhan dan kemanan teritorial Sulawesi Tenggara khususnya dan
Indonesia umumnya.
F. Penutup
Rangkaian perjuangan merebut dan
mempertahankan kemedekaan telah menelan banyak korban baik harta maupun jiwa.
Para pejuang berani mengorbankan harta dan jiwanya demi mencapai cita-cita
kemederkaan abadi, bukan semata-mata untuk kepentingannya, tetapi untuk
kepentingan bangsa secara keseluruhan untuk waktu yang tidak terhingga. Mereka rela berkorban karena ada jiwa,
semangat, nilai kejuangan dan pengabdian untuk kejayaan bangsa dan negara di
masa depan. Tugas generasi sekarang adalah mewarisi, melanjutkan, dan mengembangkan perjuangannya dengan memelihara persatuan
dan kesatuan bangsa, serta mengembangkan nilai-nilai moral bangsa yang penuh
kejujuran dan semangat ingin maju dalam rangka memajukan bangsa dan negara tercnita.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Akibat Teknologi/Globalisasi Informasi Terjadi Pergeseran Tata Nilai. http://nahskaw.wordpress. om/2011/03/16/akibat-teknologi-globalisasi-informasi-terjadi-pergeseran-tata-nilai/. Akses, 6 Oktober 2012.
Anonim. 2015. Sejarawan:
Restorasi sosial Indonesia Bertalian dengan Pluraslisme” dalam Kabar 7 Com. Rabu, 30/12/2015. http://kabar7.com/detail/sejarawan-restorasi-sosial-indonesia-bertalian-dengan-pluraslisme/9306/2015-12-31. Akses, 26 Agustus 2017.
Bhurhanuddin, B., dkk. 1978. Sejarah
Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Bhurhanuddin, B., dkk. 1979. Sejarah
Masa Revolusi Fisik Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta:
Depdikbud.
Brotosoehendro,
S., dkk. 1988. Pedoman Umum Pelestarian
Jiwa, Semangat, dan Nilai-nilai 45. Jakarta: Dewan Harian Nasional
Angkatan-45.
Hafid, Anwar. 2012. Nilai-Nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan
Kesetiakawanan Sosial Generasi Muda di Sulawesi Tenggara. Makalah Disajikan
dalam Bimbingan Pelestarian Nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan
Kesetiakawanan Sosial (K2KS)
Dinas Sosial Propinsi Sulawesi Tenggara,Tanggal
17 Oktober 2012.
Jaya,
Muhammad. 2012. Upaya
Penanaman Nilai-nilai Kepahlawanan. http://www.disjarah-ad.org/news-a-event/upaya-penanaman-nilai-nilai-kepahlawanan.html. Akses, 15
Oktober 2012.
Kansil, C.S.T
dan Julianto. 1986. Sejarah Perjuangan
Pergerakan Kebangsaan Indoensia. Jakarta: Erlangga.
La-Patuju. 30
November 2013. Profil Pejuang
Sulawesi Tenggara Masa Penjajahan Belanda. Akses, 25 Agustus 2017.
La-Patuju. 01
September 2013. Profil Pejuang Sulawesi Tenggara
Pasca Kemerdekaan.
Akses, 25 Agustus 2017.
Mahmud,
Amir. 1985. Surat Perintah 11 Maret 1966
Tonggak Sejarah Perjuangan Orde Baru. Jakarta: MPR.
Mazi, Ali. 2004. Peran Nilai-nilai Budaya Lokal dalam Pelakasanaan Pembinaan Teritorial di Sulawesi Tenggara. Kendari.
Moeliono, Anton, dkk. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Depdikbud RI.
Pringgodigdo,
A.K. 1984. Sejarah Pergerakan Rakyat
Indoensia. Jakarta: Dian Rakyat.
Sagimun, M.D.
dkk. 1986. Perlawanan dan Pengasingan
Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press.
Sukamo. 1983. Indonesia Menggugat. Jakarta: Inti Idayu
Press.
Tamburakan, R.,
dkk. 1999. Sejarah Sulawesi Tenggara.
Kendari: Sekretarait Daerah Propinsi Sultra.
Toynbee, A. (1963). A Study of History. Vol.1. London: Oxpord University.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar