Rabu, 03 Juni 2020

KONFLIK SARA DI WILAYAH PERTAMBANGAN (Kasus Sulawesi Tenggara)



 




KONFLIK SARA DI WILAYAH PERTAMBANGAN
(Kasus Sulawesi Tenggara)










Makalah
Disajikan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia di Yogyakarta,
Tanggal 8-11 Oktober 2013











Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid
Dosen FKIP/PPs Universitas Haluoleo










BADAN PEKERJA KONGRES KEBUDAYAAN INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
2013




KONFLIK SARA DI WILAYAH PERTAMBANGAN
(Kasus Sulawesi Tenggara)
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.
FKIP Universitas Halu Oleo

Sejak munculnya tren bahan tambang nikel di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini, maka wilayah Sulawesi Tenggara mendapat perhatian dari pemodal yang memiliki minat di sektor ini. Berbagai bangsa mengunjungi wilayah ini, seperti: Cina, India, Korea Selatan, mereka seakan berebut pengaruh dengan  berusaha mendekati pemerintah daerah dan masyarakat dengan menggandeng masyarakat lokal, invenstor lokal, dan nasional. Pemerintah Daerah menyambut baik niat invenstor untuk menggali dan memasarkan tanah air dan tanah leluhur dalam keadaan mentah untuk dikapalkan keluar negeri. Tanah kuning yang menyimpan rahasia beruma mineral nikel yang begitu dibutuhkan oleh banyak bangsa untuk berbagai keperluan indcustri strategis, menggiring banyak orang untuk menanamkan modal dalam upaya eksplorasi, maka Pemda Kabupaten yang memiliki kewenangan, merasa tidak dapat menahan diri untuk tidak memberi izin kepada investor, meskipun mereka menyadari bahwa kemampuan mereka melakukan pemetaan wilayah, dalam bentuk: wilayah hutan lindung, wilayah penguasaan rakyat, wilayah adat, dan wilayah penguasaan negara yang menjadi kewenangan pemda. Kondisi ini, menyebabkan Pemda mengeluarkan izin tanpa pedoman yang jelas, akhirnya terjadi tumpang tindih dan konflik.
Konflik bernuansa sara yang terjadi antar lain: (1) konflik antara perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat adat karena dianggap merebut wilayah adat/leluhur, (2) konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat pemilik lahan karena dianggap merebut lahar perkebunan dan peternakan mereka, (3) konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat pemukim di sekitar wilayah tambang, karena dianggap mencemari sumber air, sungai, dan perairan tempat mereka mencari/memelihara ikan, (4) konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan pemerintah daerah dan masyarakat pemukim di sekitar wilayah tambang, karena dianggap melakukan eksplorasi di luar wilayah izin penguasaan dengan merambah hutan lindung. Konflik lain yang bernuansa ekonomi: (1) konflik antara satu perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan perusahaan lain karena tumpang tindih lahan, dan (2) konflik antara pemegang saham dalam suatu perusahaan pemegang IUP.
Bagi masyarakat Sultra, khususnya Suku Tolaki memiliki instrumen adat berupa Kalosara yang selama ini dapat dijadikan solusi konflik. demikian pula sikap keterbukaan dan toleransi etnis Tolaki dan Moronene dalam menerima pendatang dari luar, termasuk proses kawin-mawin dengan pendatang. Kedua hal ini menjadi instrumen solusi konflik, sehingga selama ini tidak terjadi konflik terbuka di Sulawesi Tenggara.

Kata kunci: Konflik sara, masyarakat adat, etnis pendatang, instrumen budaya


A. Pendahuluan
Kehadiran investor untuk melakukan eksploitasi tambang sejatinya akan membuka peluang kerja bagi masyarakat sekitar tambang, namun kenyataannya mereka kurang dilibatkan karena penduduk sekitar tambang memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan. kondisi ini merupakan suatu ironi, karena konsep partisipasi masyarakat begitu penting saat ini, terutama setelah era Orde Baru, selain karena merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara dalam pembangunan, juga karena fakta empiriknya menunjukkan bahwa minimnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan menjadi faktor pemicu munculnya konflik antara masyarakat terkena dampak dengan pemerintah dan penerima izin usaha dari pemerintah. Dalam sektor pertambangan minerba, sebagai contoh, sepanjang tahun 2011 dan 2012 telah terjadi konflik pertambangan sebanyak 203 kasus di seluruh wilayah Indonesia (Anonim, 2013).
Buruknya mekanisme partisipasi masyarakat dalam sektor tambang, dipicu oleh lemahnya pengaturan secara hukum mengenai partisipasi masyarakat dalam penetapan Wilayah Pertambangan yang menjadi acuan dasar penerbitan izin-izin pertambangan. Posisi masyarakat di tempat sebagai objek yang hanya perlu diperhatikan saja dalam proses penetapan wilayah pertambangan. Padahal resikonya, masyarakat akan kehilangan tanahnya dan atau rusaknya ruang hidup mereka. Seharusnya negara wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak”.
Siapa saja yang tinggal pada kawasan tambang di Wilayah Sultra dewasa ini sudah terbiasa dengan adanya konflik, dan mungkin juga menyimpan ingatan akan penderitaan, atau sebaliknya akan kegembiraannya sewaktu suatu konflik dapat diatasi. Sejalan dengan itu muncul Rencana Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara menetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Rencana ini dipandang berpotensi kuat melahirkan konflik atas tanah dan sumber daya alam. Dimana penetapan KEK Pertambangan Nasional akan memaksa petani dan masyarakat adat serta warga yang berdomisili di wilayah yang ditunjuk sebagai KEK, akan berhadap-hadapan secara vertikal dengan gabungan kepentingan pemilik modal dan aparatur negara. Warga yang menolak juga akan berpotensi konflik horizontal dengan warga yang menerima wilayahnya jadi KEK Pertambangan Nasional.
Upaya menjadikan Sultra sebagai kawasan pertambangan nasional juga akan mengancam secara ekologis Kawasan Ekologi Genting (KEG) yang menjadi sumber-sumber kehidupan rakyat. Pertambangan akan selalu identik dengan tindakan brutal merusak alam, khususnya hutan dan pesisir-laut, mencemari lingkungan, menyuburkan konflik vertikal dan horizontal di tengah rakyat, menyuburkan korupsi aparat negara, menciptakan kemiskinan ekonomi-sosial-budaya struktural, serta melestarikan pembiaran pencurian sumber daya alam oleh pemodal asing maupun nasional.
Pemerintah Sulawesi Tenggara mestinya belajar dari cerita praktek pertambangan di sejumlah wilayah Nusantara. Karena kenyataannya di wilayah-wilayah tambang tersebut, negara jelas mendapatkan kerugian ekonomi, sosial maupun ekologis dari industri ekstraktif pertambangan. Hadirnya perusahaan tambang, bukan saja tak dapat mensejahterakan negeri, untuk mensejahterakan masyarakat lingkar tambang beserta alamnyapun sulit. Hasil tambang habis dikuras untuk kepentingan ekspor (pemilik modal), dan meninggalkan lubang-lubang tambang beracun, serta derita kemiskinan dan kehancuran lingkungan hidup. Kasus di Konawe Utara, misalnya: Data tahun 2012 menunjukkan bahwa ada sebanyak 100 buah Perusahaan yang telah memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas masing-masing bervariasi mulai dari 100Ha sampai dengan 164.293Ha, dengan luas keseluruhan 392.901 Ha. Belum termasuk 7 kabupaten lain yang ada di Sultra sebagai wilayah opersional pertambangan nikel, aspal, dan emas.
Fenomena tersebut menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat di sekitar tambang yang selama ini merasa dirugikan, karena tidak banyak terlibat dalam pengelolaan tambang, akhirnya tidak memperoleh manfaat dari tambang. Sementara para investor bersama stafnya yang umumnya dari etnis luar Sultra hidup dalam kemewahan, bahkan sering berprilaku tidak sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Akhirnya, lahirlah konflik yang dipermukaan nampak bersifat ekonomi, tetapi dibalik itu ada konflik bernuansa sara, karena adanya perbedaan sosial budaya dan agama.
Konflik bernuansa sara yang terjadi antar lain: (1) konflik antara perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat adat karena dianggap merebut wilayah adat/leluhur, (2) konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat pemilik lahan karena dianggap merebut lahar perkebunan dan peternakan mereka, (3) konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat pemukim di sekitar wilayah tambang, karena dianggap mencemari sumber air, sungai, dan perairan tempat mereka mencari/memelihara ikan, (4) konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan pemerintah daerah dan masyarakat pemukim di sekitar wilayah tambang, karena dianggap melakukan eksplorasi di luar wilayah izin penguasaan dengan merambah hutan lindung. Terdapat pula konflik bernuansa ekonomi semata, seperti: kasus-tumpang-tindih lahan, dan konflik antar pemilik saham dalam suatu perusahaan.
Kenyataannya menurut Fisher, dkk (2001) bahwa ketika berhadapan dengan konflik sosial dan politik, buday asering muncul sebagai faktor yang harus diakui dan diatasi karena pengaruhnya terhadap konflik. Untuk itu upaya menangani konflik harus memiliki pengertian konteks budaya pihak-pihak yang terlibat, khususnya fihak-fihak yang berkonflik berasal dari budaya yang berbeda.

B. Jenis-Jenis Konflik
1. Konflik antara Perusahaan Pemegang IUP dengan Masyarakat Adat karena Merebut Wilayah Adat/Leluhur
Kesempatan dan persaingan kerja, umumnya konflik ini dipicu oleh kesempatan kerja antara masyarakat pendatang di perusahaan dengan putra daerah. Mengingat, industri tambang sangat spesifik, high risk, high capacity dan high technology sehingga pekerja datang dengan kemampuan tinggi dan renumerasi yang sesuai. Kemudian masyarakat sekitar umumnya adalah mereka dengan kemampuan skill terbatas bahkan tingkat pendidikan juga tidak tinggi sehingga kesempatan berusaha mereka lebih kecil dari para pendatang. Gap yang terjadi inilah memicu timbulnya konflik akibat persaingan kerja dengan putra daerah.
Masalah hak ulayat dan hak individu, konflik ini berakar dari ketidakterimaan masyarakat terhadap perusahaan akibat terambilnya tanah warisan dan ulayat masyarakat setempat. Tanah ulayat diklaim sebagai kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Jadi mengambil tanah dan hak ulayat akan memutuskan hubungan mekanis antara masyarakat denga leluhurnya.
Pemanfaatan lahan bekas pemukiman yang sudah ditinggalkan, selama ini tidak pernah menjadi persoalan namun dengan adanya kandungan emas di lahan tersebut, mendadak persoalan hak ulayat dimunculkan. Contoh, kasus Kabupaten Bombana: Momentum penutupan tambang oleh pemerintah Kabupaten Bombana dimanfaatkan oleh sejumlah tokoh masyarakat dan keluarganya untuk mengklaim lokasi tersebut sebagai wilayah hak ulayat mereka. Konsekuensinya, sejumlah tokoh suku Moronene mulai memberlakukan pungutan terhadap penambang, bila para penambang tersebut menggali lubang untuk menambang di lahan tersebut. Mereka menganggap para penambang itu beraktivitas di wilayah tanah ulayat mereka. Itulah sebabnya mereka mengajukan protes kepada DPRD dan Bupati atas beroperasinya PT Panca Logam Makmur (PLM) yang telah mengantongi IUP dari Bupati di wilayah yang mereka klaim sebagai wilayah mereka. Puluhan warga yang menamakan diri Forum Masyarakat Rumpun Pewaris Tanah Adat Rarowatu mendesak Bupati Bombana untuk mencabut semua rekomendasi IUP yang sudah dikeluarkan karena dinilai telah merugikan masyarakat pewaris tanah adat khususnya di wilayah Rarowatu. Tidak diketahui berapa nilai kompensasi dari pemanfaatan tanah ulayat tersebut, akan tetapi sejak ramainya pendulangan di lahan lokasi penambangan, pungutan mengatasnamakan masyarakat setempat mulai marak. Para penambang bahkan dikenai pungutan lebih sekali dalam sehari (Zulkarnain, 2010).
Banyak penduduk datang dari luar Tanah Sultra dan mulai mencari dasar hidupnya di Sultra. Proses demikian berjalan begitu pesat (dan didorong oleh pemerintah pusat), membuat banyak orang protes  karena mulai takut kehilangan peluang hidupnya atau karena merasa bahwa perlahan-lahan mereka (warga asli) tidak diakui lagi sebagai ‘tuan rumah’. Apalagi muncul perbedaan ungkapan budaya, gaya hidup, gaya religiositas, daya penyesuaian, perbedaan kedudukan, dan kekuasaan.
Banyak warga masyarakat tradisional mengalami bahwa apa yang mereka hargai dan lestarikan selama sekian lama tiba-tiba dinilai “tidak laku” lagi, karena tidak modern atau malahan dinilai primitif. Kenyataan semacam itu sangat sulit diterima bahkan cenderung menimbulkan ketegangan dan perasaan marah pada mereka yang dinilai ketinggalan zaman; atau menimbulkan perasaan minder pada pihak yang dinilai tradisional, sedangkan pihak dari luar (yang menilai) merasa diri mantap betul: lebih baik, paling benar, berbobot dan yang lain ‘tingka laku’. Sikap diskriminatif semacam ini sering muncul dan membuat banyak warga terluka  begitu dalam. Tidak mengherankan bahwa warga yang merasa dicap ‘bodoh dan miskin’ tidak begitu berminat untuk mengambil suatu peran aktif dalam kehidupan kemasyarakatan, atau kehidupan sosial keagamaan, karena mereka merasa diri tidak diakui sebagai manusia sejati  dan semartabat dengan siapa saja dari luar. Ternyata kemajemukan kependudukan membawa serta segala macam gejala dimana  perbedaan menjadi unsur yang lebih ditonjolkan daripada unsur kesamaan. Kenyataan demikian merupakan tanah subur bagi lahirnya konflik.

2. Konflik antar Perusahaan Pemegang IUP dengan Masyarakat Pemilik Lahan karena Merebut Lahar Perkebunan dan Peternakan
Adanya pemicu berganda seperti penggunaan lahan milik masyarakat oleh perusahaan tanpa diwujudkannya legalitas yang menguntungkan kedua pihak. Akibanya terputus hubungan mekanistik antara masyarakat dengan habitat asal dan lingkungan sosialnya serta mengubah ritme kehidupan mereka. Sebagai pemilik awal, ini juga kerap memicu adanya sikap menuntut ini dan itu terhadap perusahaan.
Lalu bagaimana dengan konsep pemberdayaan (empowerment) masyarakat sekitar tambang yang saat ini digadang-gadangkan sebagai konsep membangun tambang yang berkelanjutan? Meski diakui bahwa konsep ini yang diselaraskan dengan Corporate Social Responsibility (CSR) baru berada pada milestone awal dan terkadang di perusahaan bukan menjadi prioritas. CSR dianggap sebagai terobosan baru di dunia perusahaan terlebih untuk perusahaan ekstraktif, karena menggabungkan prinsip people and planet dalam aktivitas pencarian profit perusahaan.
Diakui atau tidak, CSR di Indonesia khususnya di industri ekstraktif seperti pertambangan merangkak menuju pendewasaan pola pikir dan kemampuan membangun diri masyarakat. Perusahaan sebagai stake holder utama harus mampu menganggap hubungan masyarakat dengan perusahaan adalah mitra yang sejajar. Jangan menganggap program Comdev sebagai charity semata atau hanya memberi kail tetapi tidak mampu mengajarkan bagaimana cara memancing yang tepat.
Secara garis besar bahwa konflik pertambangan dapat terjadi karena belum tersusunnya kebijakan pemanfaatan SDA secara optimal oleh pemerintah pusat dan daerah sebagai suatu kepentingan nasional. Juga belum didukungnya optimasi national resources sustainability antara pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup yang seharusnya dibentuk dalam management yang integral.
Lima tahun lalu penduduk asli pada wilayah-wilayah tambang di Sulawesi Tenggara (Moronene di Bombana, Tolaki di Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara) merupakan penduduk mayoritas dari seluruh warga di wilayah tersebut. Akan tetapi sejalan berkembangnya industri tambang, yang banyak diperankan oleh etnis pendatang dari luar Sultra, maka ke depan kondisi sosial budaya akan mengalami pergeseran, dan bukan tidak mustahil penduduk asli akan menjadi termaginalkan dan kemudian menjadi minoritas di negeri sendiri.
Kasus protes Akbar Dimba dari Aliansi Masyarakat Wawonii Peduli Lingkungan (AMWPL) mendesak pemerintah daerah mencabut izin usaha pertambangan nikel dan emas di Kecamatan Wawonii Tengah, dan Wawonii Barat, Kabupaten Konawe, sebab kawasan tambang tersebut merupakan kawasan pertanian, perkebunan, dan perikanan di wilayah itu.

3. Konflik antar Perusahaan Pemegang IUP dengan Masyarakat Pemukim Sekitar Wilayah Tambang, karena Mencemari Lingkungan
Masalah pertambangan yang menimbulkan kegentingan dipicu kegiatan tambang yang tak memberi kesejahteraan kepada masyarakat lingkar tambang. ”Berbagai konflik dan tindakan kriminal terkait kegiatan pertambangan disebabkan oleh berkembangnya paradigma baru di masyarakat bahwa tambang adalah milik daerah dan masyarakatnya, yang dengan mudah ditunggangi kepentingan: politik, ekonomi, pemekaran wilayah, pilkada, dan kesejahteraan ekonomi dan sosial yang kemudian menjelma menjadi tuntutan anti-pertambangan.
Direktur Walhi Sulawesi Tenggara Hartono di Kendari mengatakan, kehadiran pertambangan di Sultra lebih banyak merugikan masyarakat dari pada menguntungkan. Pemerintah diminta melakukan moratorium pertambangan. Banyak aktivitas pertambangan, menimbulkan kerusakan lingkungan, konflik dengan masyarakat, serta menghilangkan mata pencaharian warga. Kasus terbaru adalah meluapnya dam pengendali air perusahaan tambang nikel di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, yang membanjiri tiga desa di Kabaena, 15 Februari 2012. Pada bulan Februari 2011, ratusan nelayan di Kecamatan Pomalaa, sempat menyegel dua kapal tongkang milik perusahaan karena perusahaan belum membayar ganti rugi lahan milik masyarakat, dan kerugian nelayan akibat penambangan yang mencemari perairan wilayah penangkapan dan wilayah budi daya ikan.
Petani tambak di Konawe Utara mengadu ke DPRD setempat karena PT. Bumi Konawe Abadi dalam melakukan eksploitasi tanah merah (tambang Nikel) mencemari areal tambang warga, sehingga salah seorang petani menuntut ganti rugi sebanyak Rp.100.000/M, karena areal tambaknya panen 3 kali setahun, dan setiap panen menghasilkan Rp. 270.000.000, namun pihak PT. Bumi Konawe Abadi belum merealisasikan tuntutan warga (Kendari Pos, 5 September 2013).
Praktek pertambangan menyebabkan pemutusan rantai ekonomi, kriminalisasi, kekerasan terhadap masyarakat. Selain masalah dibidang kehutanan dan Izin Usaha Pertambangan (IUP), pertambangan juga menimbulkan kerusakan lingkungan di daerah pesisir. Karena dalam melakukan operasi pertambangan, pemilik perusahaan banyak mengincar daerah-daerah pesisir sebagai zona aktivitas terpadat. Contoh: pencemaran limbah tambang galian di Desa Huko-huko, Tambea dan Hakakutobu, Kabupaten Kolaka. Perusahaan yang beroperasi di daerah tersebut adalah PT. Dharma Rosady Internasional (DRI).
Kasus yang lebih miris lagi terjadi di Kabaena, dimana masyarakat Desa Kokoe, Kecamatan Kabaena Timur tidak dapat lagi menggunakan Sungai sebagai sumber air minum masyarakat setempat. Di Desa Langkowa, Bomba-bomba dan Telutu Jaya Kecamatan Tinaggea, Konawe Selatan, PT Ifish Deco mengambil air irigasi petani ditiga desa itu dalam melakukan aktivitas produksi.

4. Konflik antar Perusahaan Pemegang IUP dengan Pemerintah Daerah dan Masyarakat Pemukim di Wilayah Tambang, karena Melakukan Eksplorasi di Luar Wilayah Izin Penguasaan dengan Merambah Hutan Lindung.
Kerusakan lingkungan adalah ancaman serius mengingat aktivitas tambang pada dasarnya bersifat destruktif karena mengubah bentang alam, sifat fisik dan kimia tanah, bahkan perubahan ekosistem lingkungan secara total. Selain aktivitas tambang, aktivitas turunan juga turut menyisakan kerusakan lingkungan seperti terjadinya air asam tambang (acid mine drainage) akibat teroksidasinya mineral yang mengandung sulfida. Dampak ini memprihatinkan karena kerusakannya tidak dapat ditanggulangi dalam waktu cepat.
Muncul fenomena bari di wilayah pertambangan dalam bentuk Penambang Tanpa Izin (PETI). Kehadirannya melahirkan salah satu konflik multi kompleks yang terjadi di pertambangan. Dikatakan multi kompleks karena memperlihatkan banyak stakeholder makro maupun mikro. Banyak yang berkepentingan atas hadirnya PETI di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan.
PETI sendiri bermakna usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan yayasan berbadan hukum yang dalam operasinya tidak memiliki Izin dan instansi pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. PETI umumnya diawali oleh keberadaan para penambang tradisional, yang kemudian berkembang karena adanya faktor kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan usaha, keterlibatan pihak lain yang bertindak sebagai cukong dan backing, ketidakharmonisan hubungan antara perusahaan dengan masyarakat setempat, serta krisis ekonomi ber­kepanjangan yang diikuti oleh penafsiran keliru tentang reformasi. Di sisi lain, kelemahan dalam penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang menomorsekiankan pertam­bangan (oleh) rakyat, juga ikut mendorong maraknya PETI.
Kegiatan PETI yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pertam­bangan yang benar, telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, pemborosan sumber daya mineral, dan kecelakaan tambang. Disamping itu, PETI bukan saja menyebabkan potensi penerimaan negara berkurang, tetapi juga Negara/Pemerintah harus mengeluarkan dana yang sangat besar untuk memperbaiki kerusakan lingkungan. Hal lain yang perlu dicermati adalah PETI umumnya identik dengan budaya kekerasan dan premanisme, prostitusi, perjudian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengingkaran terhadap norma-norma agama. Budaya pencurian' termasuk menjarah, semakin berkembang, sehingga memberikan pengaruh buruk bagi mereka yang ingin berusaha sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Salah satu faktor terbesar adalah persoalan ekonomi dimana terjadi kekurangpahaman hukum di tataran masyarakat lokal. Masyarakat tidak ikut serta dalam pemanfaatan SDA minerl oleh perusahaan sehingga kesejahteraan mereka sendiri tidak terangkat. Padahal sebagai agen of development, kehadiran perusahaan seharusnya mampu membawa perubahan positif dan menjadi penggerak di berbagai bidang ekonomi lanjutan (multiplier effect).
Cerita banyak mengenai hilangnya sumber nafkah bagi masyarakat kampung, karena
kekayaan alam sekitarnya sudah diambil oleh mereka yang “dapat izin dari Jakarta” untuk
mengurasnya secara komersial. Di kota-kota sudah banyak keluhan mengenai kekurangan
air minum karena hutan yang menjadi jaminan untuk kelancaran persediaan air sudah habis
ditebang
, demikian pula banjir yang melanda Sulawesi Tenggara pada tanggal 16 Juli 2013, nyaris merendam 2/3 wilayah Sultra dan 80% wilayah Kota Kendari sebagai Ibu Kota Sulawesi Tenggara tenggelam, akibat banjir kiriman dari wilayah-wilayah pertambangan (Konawe, Konawe Utara, dan Konawe Selatan) yang telah rusak ekosistemnya. Menurut penjelasan Gubernur Sultra banjir tersebut merusah 2/3 areal produktif seperti sawah, kebun, jalan, jembatan, rumah, pasar, dan peraktoran (Kendari Pos, 19 Juli 2013).
Akhir-akhir ini ternyata makin kurang yang menjaga kelestarian lingkungan hidup, sehingga lingkungan hidup makin kurang aman karena prinsip keuntungan ekonomi diutamakan dari pada nilai lainnya. Tidak mengherankan bila banyak warga mulai pesimis atau makin tergoda untuk mengikuti trend-trend saja dan bergabung dalam suatu perebutan keuntungan dari kekayaan alam yang merugikan kehidupan rakyat banyak.
Contoh kasus: Komplek pertambangan di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra) milik PT Dharma Rosadi International, diamuk massa akhir pekan lalu. Beberapa truk yang terparkir dirusak dengan memecah kaca. Satu unit alat berat juga dirusak. Massa juga membakar gudang penampung bahan bakar di sekitar pelabuhan milik perusahaan. Lalu kantor dan pos pengamanan pun tak luput dari amukan.
Perusahaan tambang ini memang kerap mendapat protes dari berbagai kalangan. Tahun lalu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra, melaporkan perusahaan ini ke polisi dengan tuduhan mengeksploitasi nikel di hutan produksi. Padahal, izin pinjam pakai dari Kementerian Kehutanan (kemenhut), belum terbit. Dari investigasi Walhi, ditemukan sekitar 90 persen konsesi milik perusahaan itu masuk hutan produksi. Sisanya, sekitar 10 persen merupakan Area Penggunaan Lain (APL). Sayangnya, tak ada tindaklanjut dari kepolisian.

5. Konflik Bernuansa Ekonomi
Konflik yang bernuansa ekonomi murni antara kedua perusahaan pemegang IUP, terjadi antara PT. Starget Pasific Resourcer (SPR) dengan  PT. Cipta Djaya Surya (CDS) yang beroperasi di Desa Molore, Kecamatan Langgikima,  Konawe Utara. Kedua perusaahan tersebut berseteru dan saling menuding. PT. SPR melaporkan PT. CDS ke Polda Sultra, terkait kasus penyerobotan lahan, begitu juga sebaliknya. Untuk membuktikan dua pelaporan perusahaan tersebut, pihak kepolisian langsung melakukan penyelidikan di area perusaahan. Dirut CDS, Chandra pun dijadikan tersangka. Hal ini membuktikan bahwa pihak CDS lah melakukan penyerobotan di area pertambangan SPR seluas 21 hektar.
Konflik antar pemegang sahan dalam suatu perusahaan terjadi pada PT. Panca Logam Makmur yang beroperasi di Bombana. ada dua kubu yang saling bersaing yaitu: “Kelompok Jakarta” yang disebut kelompok pemegang saham minoritas, dan “Kelompok Surabaya”, sebagai pemegang saham mayoritas, pada tanggal 23 Julu Kelompok Surabaya berusaha memasuki areal pertambangan yang sedang dikuasai Kelompok Jakarta, namun dihalang-halangi oleh petugas keamaan perusahaan yang dibantu pihak kepolisian, kejadian ini nyaris terjadi bentrok antara dua kubu. Menurut data WALHI Sultra, banyak oknum TNI dan Kepolisian yang terlibat dalam aktivitas pertambangan di Sultra. Kasus yang nampak misalnya, kasus perebuatan lahan antara oknum TNI dengan Polisi di wilayah produksi PT. Panca Logam Makmur (PLM) di Kabupaten Bombana (Kendari Pos, 5 September 2013).

C. Solusi Budaya dalam Mengatasi Konflik
            Berbagai tradisi, struktur dan proses yang terdapat dalam setiap budaya bisa sangat membantu dalam menyelesaikan konflik dan mengembangkan perdamaian (Fisher, 2001). Di beberapa tempat ada metode yang sudah diterapkan selama berabad-abad untuk menangani konflik antar pribadi dan antar kelompok.  Fenomena tersebut terdapat dalam budaya Suku Tolaki yang disebut Kalosara sebagai instrumen untuk menyelesaikan konflik (Tarimana, 1993). Dengan demikian, maka mengatasi konflik diperlukan sutau strategi atau suatu seni,
karena menanganinya tidak mudah, sehingga dituntut suatu seni  tersendiri, suatu budaya tersendiri sehingga suatu konflik dapat diatasi. Dalam kebudayaan feodal segala konflik diatasi dengan memakai kekuasaan yang dimiliki oleh segelintir orang yang  menentukan segalanya dan keistimewaan mereka tidak boleh diganggu-gugat, misaknya peran pabitara (tokoh adat juru bicara) dalam Masyarakat Tolaki, yang memanfaatkan Kalosara. Dalam suatu dunia yang penuh perubahan termasuk mengatasi konflik, menuntut suatu keterbukaan dari semua pihak yang berkepentingan untuk mencari jalan keluar dengan memanfaatkan instrumen budaya dan menyesuaikannya dengan perkembangan zaman.
Popularisasi konsep HAM sebagai “Adat Baru”, termasuk sikap damai, toleran, penghargaan hukum serta pengakuan hak setiap orang. Pelatihan “Adat Baru” di tingkat masyarakat akar rumput, perlu dilakukan dalam bentuk: Penyuluhan mengenai pelestarian alam dan lingkungan yang sehat, pemantauan pengoperasian perusahaan-perusahaan besar dari segi dampaknya atas lingkungan, menggali tradisi pelestarian lingkungan/alam dan mengakui peraturan tradisional secara hukum. Kesemuanya itu dapat dilakukan dengan memperbaiki pendidikan, sehingga dapat menunjang pengembangan kepribadian para warga secara merata.
Penemuan tambang nikel dan emas di beberapa wilayah Sulawesi Tenggara, menyebabkan masuknya berbagai perusahaan yang berusaha memiliki Izin Usaha Penambangan. Berbagai cara untuk memperoleh tanah sebagai wilayah penambangan diantaranya membeli tanah masyarakat setempat dengan harga yang murah, setelah itu secepatnya melakukan penambangan dengan jalan menggali tanah tanpa memperhatikan AMDAL, sehingga dalam waktu singkat para anggota masyarakat merasakan dampaknya. Misalnya: (1) nelayan tidak lagi dapat memperoleh ikan dalam radius tertentu dari pantai karena tercemar air pembuangan tambang yang langsung mengalir ke laut tampa adanya proses penyaringan, (2) akan terjadi kecemburuan sosial dalam jangka menengah dan pajang, melalui rekrutmen tenaga kerja umumnya dari luar, karena masyarakat sekitar kurang terampil dan pendidikan rendah, (3) belum ada pemikiran untuk memberdayakan masyarakat melalui pendidikan kepada generasi muda sekitar tambang dengan memanfaatkan dana CSR.
Pascapenemuan tambang nikel dan tambang emas, sejumlah permasalahan yang mengarah konflik sara meledak ke permukaan. Beragam konflik yang terjadi pada prinspinya selalu mengedepankan, wacana pertahanan diri atau egoisme antar-kelompok yang melakukan konflik. Bentuk-bentuk sengketa pertanahan yang banyak melibatkan rakyat atau para petani biasanya beragam bentuk. Scott (1985) menyebutnya sebagai everyday forms of resistence, perlawanan terselubung (Siahaan, 1996), dan perbanditan sosial (Suhartono, 1995). Bentuk lain perlawanan petani dimotivasi oleh sikap-sikap keagamaan. Kartodirdjo (1984) mencatat bahwa perlawanan para tani dapat diidentifikasi sebagai gerakan juru selamat (messianisme), gerakan ratu adil (millenearisme), gerakan pribumi (nativisme), gerakan kenabian (prophetisme), dan penghidupan kembali (revivalisme).
Konflik pertanahan di daerah ini bermula ketika pemerintah menempatkan warga transmigrasi di beberapa wilayah di daerah ini. Menurut Karsadi (2002) sejak penyelanggaraan program transmigrasi di Kabupaten Kendari dengan menempatkan transmigran dengan jumlah yang relatif besar telah berdampak terhadap menyempitnya lahan pertanian secara tradisional. Keberadaan lahan-lahan pertanian tradisional seperti homa, anahoma atau anasepu, o’epe, arano, lokua, dan walaka semakin tergusur karena lahan tersebut sebagian besar digunakan untuk proyek transmigrasi.
Selain itu, permasalahan lain yang mempertajam munculnya konflik dilatari oleh semakin melebarnya kesenjangan antara penduduk pendatang dengan penduduk asli atau suku Tolaki. Secara sosial ekonomi, para pendatang memiliki kecakapan dan keahlian. Sementara hal ini berbanding terbalik dengan penduduk asli khusuusnya di kalangan petani yang hidupnya masih memprihatinkan. Dengan proyek transmigrasi dan pemberian IUP, penduduk asli semakin kehilangan lahan pertanian untuk menyambung hidupnya.
Kondisi sosial tersebut memerlukan solusi dalam bentuk kalosara untuk melakukan rekonsisliasi antara pihak-pihak yang berkonflik. Peran tokoh adat Tolaki sangat strategis untuk tampil menjadi bagian dari solusi konflik dengan menampilkan  kalosara  sebagai instrumen utama adat Tolaki dapat diterima oleh kelompok lain.
Peran Pabitara: juru bicara adat yang memfungsikan kalosara dalam berbagai kesempatan. Pabitara masih tetap eksis karena dipelihara, bahkan setiap desa memiliki minimal seorang Pabitara, ini seiring dengan kepentingan masyarakat Tolaki dalam menyelesaikan setiap masalah.
Kondisi ini merupakan suatu titik rawan di Sulawesi Tenggara, karena telah terbukti dirasakan dampaknya di berbagai wilayah di Nusantara. Untuk itu, bagi masyarakat Tolaki perlu memelihara peran pabitara (juru bicara adat) yang selalu hadir menjadi mediasi dalam berbagai permasalahan masyarakat dengan memanfaatkan istrumen kalosara.
Bagi masyarakat Sultra khususnya Suku Tolaki yang wilayahnya paling banyak terbit IUP, memiliki bentuk instrumen adat yang dapat dijadikan sebagai solusi konflik yang disebut kalosara. Prospek pemanfataan instrumen kalosara dalam kehidupan sosial. Kasus sengketa tanah di Kecamatan Unaaha Kabupaten Kendari tahun 1994 antara Warga Desa Puosu (Komunitas Tolaki) dengan Warga Transmigrasi berhasil dieselesaikan berkat adanya kalosara, yang difasilitasi oleh Bupati Kendari Drs. H. Razak Porosi. Secara operasional Bupati meminta tokoh masyarakat dari kedua belah pihak, untuk melakukan pertemuan, selanjutnya dibentuk tim mediasi dari 2 orang tokoh masyarakat Tolaki, satu orang melakukan komunikasi secara intensif dengan tokoh dan kelompok masyarakat trasmigran dan satu orang melakukan komunikasi dengan masyarakat Tolaki. Kedua tokoh berupaya mengidentifikasi aspirasi kedua belah pihak.
Kasus kawin lari dimana keluarga perempuan melakukan tuntutan kepada keluarga pihak laki-laki dalam bentuk dendam yang mengarah kepada pembunuhan. Akan tetapi bagi masyarakat Tolaki, ketegangan pihak perempuan dapat diredam dengan membawakan kalosara. Jika kalosara dihadirkan dihadapan pihak keluarga perempuan, maka yang bersangkutan tidak bisa melakukan reaksi, jika dia tetap bereaksi maka akan diberikan sangsi adat dan akan dihukum secara fisik oleh segenap masyarakat setempat. Sebaliknya, jika ia menerima kehadiran kalosara,  maka keluarga pihak perempuan diberi kesempatan untuk mengajukan tuntutan sebagai solusi adat, berupa: 1 pis kain kaci dan 1 ekor kerbau sebagai peahala (denda) yang harus dibayar pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan.
Kasus penyelesaian pembunuhan dapat diselesaikan dengan hukum Adat Tolaki yaitu adanya konsensus antara keluarga korban dengan pihak pelaku yang disaksikan oleh toono motuo, kapala kambo/kapala desa, pabitara untuk berdamai. Pelaku harus memenuhi permintaan keluarga korban dengan menghadirkan kalosara. Secara empiris  bahwa sesuai ketentuan adat bahwa pelaku harus menanggung denda berupa: (1) satu pis kain kaci sebagai perngganti pembungkus mayat, (2) ongkos pesta kematian, dan (3) satu ekor kerbau sebagai tanda berkabung. Diadakan perdamaian dengan jalan upacara mosehe yaitu upacara perdamaian antara keluarga korban dan keluarga pelaku dengan menghadirkan kalosara di hadapan kedua belah pihak.

D. Penutup
Munculnya tambang dari bumi Sulawesi Tenggara, selain merupakan rahmat, juga membawa masalah baru termasuk konflik ekonomi yang bernuansa sara. Suku Tolaki yang mendiami sebagian besar wilayah pertambangan dalam dinamikanya memiliki instrumen adat yang mengatur segenap tata tingkah laku masyarakat yang disebut kalosara. Kalosara sebagai instrumen utama tata kehidupan masyarakat sampai di era sekarang ini masih eksis dipertahankan oleh segenap lapisan masyarakat, terutama dalam kehidupan sosial budaya. Dengan demikian seiring dengan perkembangan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan melahirkan berbagai permasalahan termasuk konflik bernuansa sara di wilayah pertambangan, maka kehadiran kalosara sebagai instrumen solusi perlu dipertahankan dan dikembangkan.
Berbagai masalah telah terbukti berhasil diatasi melalui pemanfaatan kalosara. Masalah sengketa tanah, masalah perkawinan, dan masalah kriminalitas di wilayah pertambangan, terbukti kehadiran kalosara sebagai solusinya. Pemanfaatan kalosara sebagai media solusi, dapat menjadi model bagi masyarakat lain, karena pilihan ini dapat berjalan dengan mudah dan biaya yang murah. Peran pabitara selaku tokoh masyarakat Tolaki pemegang otoritas kalosara, perlu dikembangkan untuk menjadi mediasi dalam penyelesaian berbagai masalah yang dihadapai masyarakat dengan memanfaatkan kalosara  sebagai instrumen utama.
  
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Tips: Mengatasi Konflik. http://www.sabda.org/ c3i/c3i_tips_mengatasi_konflik, Akses, 25-3-2009.

Anonim. 2009. Membangun Budaya Damai & Rekonsiliasi. http://search.yahoo.com/search?p=langkah+mengatasi+konflik+, Akses, 25-3-2009
Anonim. 2013. Minim Part Isipasi Masyarakat, Sektor Tambang Penuh Konflik. http://www.walhi.or.id/v3/index.php?option=com_ content&view=article&id=3125. Akses, 31 Agustus 2013.
Anonim. 2013. Konflik di Kawasan Pertambangan. http://radyanprasetyo.blogspot.com/2012/07/konflik-di-kawasan-pertambangan.html. Akses, 31 Agustus 2013.
Fisher, Simon, dkk. 2001. Working with Counflict: Skills and Strategies for Action. London: Zed Books, Ltd.
Mazi, Ali. 2004. Peranan Nilai-nilai Budaya Lokal dalam Pelaksnaan Pembinaan Teritorial di Sulawesi Tenggara. Kendari.
Harsono, Boedi, 2007. Hukum Agraria Indonesia, sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.  
Idaman. 2012. Kalosara sebagai Medium Resolusi Konflik Pertanahan pada Masyarakat Tolaki di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. http://idamanalwi. multiply.com/journal. Akses, 5 Oktober 2012
Karsadi, 2002. Sengketa Tanah dan Kekerasan di Daerah Transmigrasi: Studi Kasus di Lokasi Pemukiman Transmigrasi di Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara. Desertasi Doktor Sosiologi, PPS UGM Yogyakarta.
Kartodirdjo, Sartono, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya. Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kendari Pos, 24 Juli 2013.
Kendari Pos, 5 September 2013.
Lederach,  John Paul.  2005.  “Konflik dan Perubahan”,  Transformasi Konflik (terjemahan). Jogyakarta: Duta Wacana Press.
Scott, James C., 1985. Weapon of the Weak: Everyday of Peasant Resistance. New Haven and London: Yale University Press.
Siahaan, Hotman M., 1996. Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program TRI sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi. Surabaya: Disertasi Doktor Universitas Airlangga.
Soemarjan, Selo. 1964. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Suhartono, 1995. Bandit-Bandit Pedesaaan di Jawa. Studi Historis 1850-1942. Yogyakarta: Aditya Media.
Su’ud, Muslimin, 1986. Asas-Asas Hukum Adat Pertanahan Orang Tolaki. Kendari: Balai Penelitian Universitas Haluoleo.
Su’ud, Muslimin, 2012. Kompilasi Hukum Adat Perkawinan di Sulawesi Tenggara. Kendari: HISPISI Cabang Sultra.
Tarimana, Abdurrauf, 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.
Tondrang, Azis, 2000. Peranan Kalosara dalam Pembentukan Karakter Masyarakat Tolaki. Unaaha: Makalah dalam Rangka Musyawarah Adat I Suku Bangsa Tolaki.
 Ubbe, Ahmad, et al., 1990. Monografi Hukum Adat Daerah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman R.I.
Undang-undang No.4 Tahun 2009. tentang Pertambangan Minerba. Jakarta: Sekreatriat Negara RI.
Yozami, M. Agus. 2012. Banyak Kepala Daerah Keluarkan IUP Palsu Izin dikeluarkan oleh Bupati atau Walikota Baru Tanpa Melihat Izin-izin yang Pernah Dikeluarkan oleh Pejabat Sebelumnya.  http://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt4f3d02d9787d6/ banyak-kepala-daerah-keluarkan-iup-palsu. Akses, 31 Agustus 2013.
Zulkarnain, Iskandar. 2010. Strategi Pengembangan Wilayah Pertambangan Rakyat di Bombana Sulawesi Tenggara.  Jakarta: LIPI.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar