KALOSARA SEBAGAI
INSTRUMEN UTAMA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
BUDAYA SUKU TOLAKI DI SULAWESI TENGGARA
Oleh:
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.
A. Pendahuluan
Penghayatan
dan pengkajian budaya yang minim selama ini, berdampak langsung terhadap
rendahnya pemahaman generasi akan kekayaan budaya daerahnya. Hal ini terungkap
dalam berbagai kesempatan pertemuan ilmiah di Sultra, selalu muncul keluhan
peserta akan kurangnya literatur tentang budaya dan sejarah Sulawesi Tenggara.
Minimnya bacaan dan bahan amatan dalam bentuk pentas budaya, semakin mengikis
kepedulian dan penghayatan masyarakat akan pengembangan budaya daerah, sehingga
dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap pengikisan nilai-nilai budaya yang
memiliki nuansa inovatif yang telah tumbuh pada budaya suku bangsa yang ada di
Sultra.
Telah
disadari banyak pihak bahwa salah satu prinsip manajemen dalam menghadapi
polarisasi adalah berpola pada budaya. Para manajer dalam era modern makin
memahami pentingnya budaya dalam pengembangan sumber daya manusia. Namun harus
diakui bahwa perubahan budaya tidak dihasilkan secara langsung melalui upaya
untuk mengubah budaya itu sendiri, tidak pula melalui pelatihan budaya, pencatatan
sejumlah nilai dan keyakinan, atau perintah kepada orang lain untuk berbudaya.
Suatu hal yang pasti bahwa nilai-nilai budaya harus mampu diinternalisasikan
dalam setiap aktivitas sosial masyarakat, sehingga dapat dengan mudah diadopsi
oleh anak sebagai peserta didik atau generasi pelanjut yang akan mengembangkan
kebudayaan itu baik dalam bentuk invensi maupun melalui proses akulturasi.
Suku Tolaki telah lama mendiami Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Suku ini menyebar di beberapa wilayah yang
cukup luas yakni wilayah Kota Kendari, Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, dan Kolaka. Persebaran Suku Tolaki ini membawa serta pranata-pranata sosial, politik, ekonomi dan
tata nilai. Sumber nilai dalam Suku Tolaki baik yang
berdiam di pedesaan sebagai petani tradisional maupun yang bermukim di
perkotaan sebagai pegawai negeri atau pengusaha, sampai saat ini mesih
menempatkan instrumen adat yang disebut Kalo sebagai suatu yang sakral (Tarimana, 1993; Idaman, 2012). Kalo, dapat berfungsi sebagai lambang pemersatu dan alat penyelesaian
berbagai masalah dalam kehidupan
masyarakat.
Secara
sosio-psikologis, budaya masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara dewasa ini memiliki ciri-ciri umum, yang berpotensi
besar sebagai pendorong pembangunan daerah. Ciri-ciri itu, adalah:
1. Memiliki naluri untuk hidup bertetangga secara
baik
2. Mempunyai keinginan dan sikap kerja sama dalam
bentuk gotong royong, yang diaplikasikan dalam budaya samaturu.
3. Memiliki sikap kekerabatan yang dicerminkan dalam
solidaritas dan tenggang rasa terhadap sesama yang diaplikasikan dalam
budaya medulu.
4. Rukun dalam kehidupan, mau bermusyawarah yang
diaplikasikan budaya mepokoaso.
5.
Memiliki sifat penyabar,
6. Menghormati orang lain yang memiliki status
sosial yang lebih tinggi di masyarakat atau lingkungan kerjanya, tercermin
dalam ungkapan inggomiu (Hafid, 2008).
Potensi
inovatif dari budaya Suku Tolaki saat ini, harus dipandang sebagai suatu
potensi dan peluang, bukan tantangan dan hambatan pembangunan menuju
kesejahteraan masyarakat. Secara filosofi Suku Tolaki telah menetapkan kerangka
budayanya dalam bentuk falsafah hidup, yang merupakan penjabaran dari budaya kalosara, diungkapkan sebagai berikut:
Medulu mbenao = satu dalam jiwa
Medulu mbonaa = satu dalam pendirian
Medulu mboehe = satu dalam kehendak/cita-cita.
Ketiga ungkapan tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk:
1.
Satu dalam jiwa, diaplikasikan dalam bentuk:
Mombe kamei meiri ako = saling cinta-mencintai;
Mombeka pia-piarako = saling pelihara-memelihara
2.
Satu dalam pendirian, diaplikasikan dalam bentuk:
Mombekapona-pona ako = saling menghargai pendapat;
Mombeka peha-pehawako = saling ingat-mengingatkan;
Mombeka pei-peiranga ako = saling saran-menyarankan.
3. Satu dalam kehendak/cita-cita, diaplikasikan
dalam bentuk:
Mombeka sudo-sudo ako = saling topang-menopang;
Mombeka tulu-tulungi ako = saling tolong-menolong;
Mombeka tamai ako = saling memberi dan menerima;
Mombeka alo-alo ako = saling ambil-mengambil satu
tenaga;
Mombekakai-kai ako = saling menikmati makanan;
Mombeka powe-powehi ako = saling memberi dan menerima (Tarimana,
1993).
Bahasa filosofi tersebut mencerminkan keluhuran
budaya Suku Tolaki. Potensi tersebut memiliki nuansa inovatif yang dapat berfungsi
sebagai landasan kemajuan budaya dan menjadi daya dorong utama peningkatan
kreativitas masyarakat Sultra, khususnya dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan
damai.
Bagi Masyarakat
Tolaki, kalo merupakan suatu pedoman
yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kalo pada tingkat nilai budaya merupakan
sistem norma adat yang berfungsi mewujudkan ide-ide yang mengkonsepsikan
hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Kalo pada tingkat aturan khusus mengatur aktivitas-aktivitas yang
amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Dalam konsep kalo yang mengatur aktivitas tersebut dikenal meraou, yaitu aturan khusus yang mengatur setiap individu dalam
berbahasa yang menunjukan sopan santun (bertata krama); Atora, yakni aturan khusus dalam komunikasi sosial.
Supaya setiap
individu dapat terhindari dari pelanggaran yang menyebabkan hadirnya kalo, maka dikembangkanlah kata-kata
falsafah yang dapat memberi sugesti kepada anggota masyarakat untuk bertingkah laku dengan baik. Misalnya:
Inae kosara iee nggopinesara, Inae lia
sara iee nggopinekasara. Artinya: Siapa yang tahu adat, ia yang akan
dihargai dan dihormati dan sebaliknya siapa yang melanggar adat akan dikasari
(dihukum). Ungkapan ini mempunyai makna
yang sangat dalam bagi kehidupan masyarakat.
Tiap orang diharapkan untuk hidup dan bertingkah laku sesuai dengan
norma adat istiadat yang hidup dalam masyarakat. Seseorang akan mendapat penilaian yang baik
dari masyarakat, apabila sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan norma-norma
yang berlaku. Sebaliknya seseorang akan
mendapat penilaian yang negatif atau kurang baik, bila yang bersangkutan sering
melakukan perbuatan tercelah yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku (Mazi,
2004).
B. Sekilas
Tentang Suku Tolaki
Suku
Tolaki adalah sebuah komunitas masyarakat yang mendiami pulau Sulawesi di
sebelah Tenggara persisnya di Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan,
Konawe Utara. Kebanyakan dari mereka punya profesi sebagai petani yang rajin
dalam bekerja. Selain itu mereka juga punya semangat gotong royong yang tinggi.
Sementara itu, Tolaki adalah sebuah kata yang mengandung arti jantan. Sedangkan
orang suku Tolaki menyebut dirinya Tolohinagga yang maksudnya adalah orang yang
dating dari langit.
Secara
historis wilayah Suku Tolaki merupakan bagian dari konawe, sebuah kerajaan yang
berada di wilayah Unaaha menetapkan suatu aturan yang dinamakan Siwole Mbatohu.
Untuk kehidupan bermasyarakatnya, suku Tolaki mempunyai symbol budaya yang
membuat mereka bisa bersatu padu untuk mengatasi berbagai macam persoalan yang
mincul. Symbol ini dinamakan Kalosara
yang dimunculkan dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat yang berbudi luhur
dan mau menjaga ketentraman dan kesejahteraan secara bersama-sama dan bisa
bergaul secara akrab dengan anggota masyarakat yang lain.
Dalam
hubungan antar anggota masyarakat ini, terdapat unsur-unsur yang mengandung
nilai filsafat tinggi. Mereka menjadikannya sebagai tongkat pegangan untuk
menjalani kehidupan sehari-hari. Adapun jenis budaya hasil karya dan cipta yang
punya nilai sosial sangat tinggi antara lain:
1.
Osara
Osara ialah
seperangkat aturan-aturan pokok yang mengatur hubungan hukum antara seorang dengan
orang lain, antara individu dengan kelompok, dan antara kelompok dengan
kelompok yang apabila dilanggar dapat menimbulkan sanksi baik dalam bentuk
hukuman fisik maupun berupa kutukan masyarakat.
Osara,
mengajarkan kepada setiap individu Suku Tolaki untuk selalu menaati segala keputusan yang dikeluarkan oleh
adat dengan tujuan untuk mengajak masyarakat agar mau menciptakan rasa damai
dan cinta dalam kehidupan mereka. Terutama ketika sedang bermasalah atau bersengketa dengan anggota masyarakat yang lain. Keseluruhan
aturan hidup bermasyarakat tersebut sifatnya (tidak tertulis”, namun secara
turun temurun diketahui, dihayati dan dipatuhi oleh setiap warga masyarakat
Tolaki dari semua unsur lapisan termasuk penguasa/Mokole (Raja).
2.
Osamu
Osamu,
sering juga disebut dengan budaya malu. Osamu, merupakan sistem pertahanan moral bagi diri sendiri, misalnya ada
orang yang dikatakan malas bekerja, maka selanjutnya mereka menerapkan budaya kohanu ini
dengan cara lebih tekun dan rajin dalam bekerja, sehingga sebutan sebagai
pemalas akan hilang dari dirinya, berganti dengan sebutan pekerja keras yang
rajin dan tekun. Secara
tidak langsung budaya ini mengajak setiap orang untuk selalu memaksimalkan
tenaga maupun pikiran yang dimilikinya untuk memajukan dia sendiri atau anggota
suku yang lain.
3.
Merau
Merau,
adalah
budaya yang mengajak orang untuk selalu mengedepankan sikap sopan dan santun dalam pergaulan,
serta mau memberikan rasa hormat bagi semua anggota suku
Tolaki maupun orang lain.
4.
Samaturu
Samaturu,
merupakan
salah satu budaya yang mengutamakan hidup untuk selalu menjalin persatuan, suka
menolong orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan dengan senang hati. Ini
juga merupakan wujud dari gotong royong yang menjadi pandangan hidup utama dari
Suku Tolaki.
5.
Taa Ehe Tinua-Tuay
Taa ehe tinua-tuay, merupakan
ajakan untuk selalu merasa bangga karena menjadi bagian dari masyarakat Suku Tolaki. Sesungguhnya budaya ini menjadi bagian dari Kohanu. Namun
karena adanya suatu perbedaan yang bersifat mengutamakan kemandirian maka
budaya yang satu ini selanjutnya dipisah menjadi budaya sendiri.
6.
O’Sapa
Istilah
O’sapa ialah semacam aturan-aturan
klasik yang mengatur hubungan hukum antara manusia dengan hewan.
Hubungan-hubungan itu timbul manakala manusia melakukan pemburuan (berburu)
terhadap binatang liar seperti kerbau, rusa dan anoa, , dengan menggunakan
tombak, menggunakan anjing, perangkap, dan alat-alat penangkap lainnya,
Aturan-aturan O’sapa itu berwujud
ketaatan/kepatuhan setiap orang/pemburu mengambil bagian dari jerih payah yang
tidak menyalahi dari ketentuan “O’sapa.,”
misalnya: Bila binatang buruan itu mati berkat bantuan peralatan tombak dan
anjing, maka bagian tertentu dari daging kerbau atau rusa itu, harus diberikan
kepada anjing (pemilik anjing) dan tombak (yang menombak pertama) diluar dari
bagian tertentu yang biasa diberikan/diambil/dikuasai si pemburu (3/4 bagian )
dan bagian untuk penguasa wilayah untuk daging dan tulang-tulang tertentu,.
Bila binatang, tersebut adalah binatang liar tapi bekas binatang peliharaan,
maka aturan pembagiannya telah tertentu pula bagi pemburunya, untuk anjing,
untuk tombak dan untuk penguasa wilayah/pu’utobu atau kepala kampung.
Aturan-aturan
pembagian itulah disebut O’sapa, yang
menurut kaidah hidup bermasyarakat suku Tolaki harus ditaati. dihormati dan
dipatuhi oleh semua orang Tolaki
termasuk Penguasa/Raja. Bila aturan hukumnya tidak dijalankan, maka dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat dan Negeri.
7. O’wua
Istilah
O’wua sebagai salah satu kaidah
pokok kehidupan masyarakat Suku Tolaki ialah seperangkat aturan/ketentuan
hukum yang mengatur tata-cara bercocok tanam, merambas hutan, menanam padi, dan
aturan-aturan ini harus ditaati oleh semua orang Tolaki termasuk Penguasa/Raja.
Apabila dilanggar maka Negeri/penduduk dapat menderita kekurangan pangan
mengalami musim paceklik suatu hal yang sangat ditakuti oleh orang Tolaki.
8. O’lawi
Istilah
O’lawi ialah seperangkat aturan dasar
Suku Tolaki yang mengatur tentang tata cara pemberian upah, imbalan jasa,
pembagian kerja dari seorang majikan pemilik kebun padi) atau pemilik pohon
sagu, atau pemilik pohon buah-buahan yang didikerjakan oleh seseorang atau
beberapa orang pekerja upahan (toono
mehawe, pasaku, pa mone dan lain-lain) dengan upah atau bagian-bagian
tertentu, Ketentuan-ketentuan pembagian tersebut harus dipatuhi dengan sadar
oleh semua orang Tolaki termasuk penguasa/Raja/Mokole.
9. O’liwi
O’liwi ialah
seperangkat pesan wasiat, nasihat dan petunjuk hidup yang
ditinggalkan/diwasiatkan untuk diikuti oleh anak cucu /generasi berikut dari
para leluhur, secara turun‑temurun terutama, dalam hal-hal yang dalam istilah
ilmu hukum dapat disamakan dengan Yurisprudensi artinya putusan Hakim tertinggi
yang telah berlaku tetap yang dapat dicontoh oleh Hakim-hakim berikutnya dalam
perkara yang sama maupun selainnya.
C. Konsep dan Jenis Kalo
Secara harfiah, kalo
adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar,
dan pertemuan atau kegiatan bersama dengan pelaku membentuk lingkaran. Sebagai
benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan, dan ada juga yang terbuat dari
bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan sebagainya (Tarimana, 1993).
Kalosara terdiri atas 3
bagian, yaitu: (1) kalo, berupa
lilitan tiga rotan yang melingkar, (2) kain putih sebagai mengalas, dan (3) siwoleuwa, yaitu anyaman dari daun palem
berbentuk persegi empat. Ketiga wadah ini jika berdiri sendiri tidak memiliki
arti dan fungsi adat, kecuali ketiganya menyatu dalam suatu tatanan dengan
struktur sebagai wadah pengalas paling bawah berupa simoleuwa, kemudian dilapisi di atasnya dengan kain putih, dan di atas
kedua wadah ini diletakkan kalo.
Berdasarkan bahan pembuatannya dan pemanfatannya, maka
kalo banyak jenisnya. Pertama, kalo dari rotan ada yang disebut kalosara, yaitu kalo
yang digunakan sebagai alat upacara perkawinan adat, upacara pelantikan raja,
upacara penyambutan tamu penting, upacara perdamaian atas suatu sengketa, alat
bagi sejumlah tokoh untuk menyampaikan sesuatu saran/pendapat kepada pejabat,
alat untuk menyampaikan undangan pesta keluarga. Kalosara ini dalam
pemanfaatannya dilengkapi dengan wadah anyaman dari tangkai daun pelem, dan
kain putih sebagai alas.
Kedua, kalo dari emas disebut kalo eno-eno, yaitu kalo yang
digunakan sebagai alat upacara sesaji, alat tebusan atas pelanggaran janji
untuk melangsungkan upacara peminangan gadis dalam rangkaian perkawinan,
sebagai salah satu dari maskawin, dan dipakai sebagai kalung perhiasan bagi
wanita.
Ketiga, kalo dari besi
disebut kalo kalelawu, yaitu kalo
yang digunakan sebagai cincin hidung
kerbau.
Keempat, kalo
dari perak disebut kalo sambiala, kalo bolosu, dan kalo o langge, yaitu kalo
yang masing-masing dipakai sebagai
perhiasan dada, pergelangan tangan, pergelangan kaki, baik bagi anak-anak
maupun bagi remaja putri.
Kelima, kalo
dari benang ada yang disebut kalo kale-kale¸ dipakai sebagai pengikat
pergelangan tangan dan kaki bayi; dan kalo
ula-ula yang digunakan sebagai alat pekabaran tentang adanya orang yang
meninggal.
Keenam, kalo
dari kain putih disebut kalo lowani, yaitu kalo yang dipakai di kepala sebagai tanda berkabung, dan kalo dari kain biasa disebut kalo usu-usu, yaitu kalo
yang dipakai di kepala sebagai pengikat dan penutup kepala bagi orang tua.
Ketujuh,
kalo
dari akar atau kulit kayu disebut kalo
pebo, yaitu kalo yang dipakai
sebagai pengikat pinggang bagi orang dewasa; dan yang khusus dari akar bahar
disebut kalo kalepasi, yaitu kalo yang dipakai sebagai perhiasan bagi
orang dewasa; serta kalo dari akar hawa disebut kalo parahi atau kalo mbotiso, yaitu kalo
yang digunakan sebagai tanda atau patok pemilikan tanah hutan untuk selanjutnya
diolah menjadi sebidang ladang atau perkebunan. Kalo dari daun pandan disebut kalo
kalunggu, yaitu kalo yang dipakai
sebagai pengikat kepala bagi gadis remaja.
Kalo dari
bambu disebut kalo kinalo, yaitu kalo yang digunakan sebagai penjaga ladang
dan tanaman yang ada di dalamnya.
kalo dari
kulit kerbau disebut kalo parado,
yaitu kalo yang digunakan untuk
menangkap kerbau liar.
Kalo sebagai cara-cara mengikat
yang melingkar disebut mowewei (membelitkan),
mombali (melingkari); dan sebagai pertemuan-pertemuan
atau kegiatan bersama di mana pelaku membentuk lingkaran disebut metaboriri (duduk melingkar dalam
keadaan makan bersama), meobu-obu
(duduk melingkar dalam merundingkan sesuatu secara bersama-sama), metomusako
(berdiri berkeliling dalam menangkap ternak, dan dalam melakukan tarian massal),
dan modinggu (menumbuk padi secara
bersama-sama dengan mengelilingi sebuah lesung sambil membunyikan lesung dan
alu).
Peristiwa di mana seseorang, yang
karena merasa sangat malu atas pelakuan seseorang lainnya yang tidak sopan
terhadapnya di depan umum, melakukan reaksi keras berupa ancaman penganiayaan
terhadap orang yang memperlakukannya demikian untuk membela harga dirinya.
Dalam situasi yang demikian muncullah pihak ketiga menampilkan kalo di antara keduanya yang sedang
ancam-mengancam satu sama lain. Tanpa komentar dari ketiganya, peristiwa
ancam-mengancam tersebut berhenti secara otomatis di mana keduanya akan saling
maaf-memaafkan karena bagi mereka kalo
identik dengan perkataan: “jangan, mohon maaf, ampun, engkau, dia, dan aku, serta
kita sekalian adalah satu kesatuan, satu di dalam tiga, dan tiga di dalam
satu.” Menganiaya dia berarti menganiaya diri sendiri, dan menganiaya aku serta
kita sekaliannya. Dengan tampilnya kalo
itu dalam suasana demikian maka damailah keduanya. Bila ternyata salah satu
dari keduanya atau kedua-duanya menolak adanya kalo dalam peristiwa itu, maka ia telah dipandang terkutuk dan
akibatnya mereka harus dikeluarkan dari warga Orang Tolaki atau menghukum
mereka dengan ketentuan adat yang berlaku.
Selanjutnya,bagaimana hubungan
antara asas mata pencaharian Orang Tolaki dengan kalo? Hubungan itu tampak pada tiga kenyataan yang digambarkan di
bawah ini sebagai berikut: Kenyataan bahwa kalo
selalu digunakan sebagai tanda pemilikan, dan tanda larangan, penjaga tanaman
terhadap gangguan hama dan gangguan orang lain. Selain itu kalo secara simbolik adalah ganti diri dari pemilik tanah dan
tanaman di atasnya.
Selanjutnya, bagaimana hubungan
antara asas sistem teknologi tradisional Orang Tolaki dengan kalo?
Hubungan itu nampak pada
kenyataan-kenyataan yang digambarkan di bawah ini. Kenyataan bahwa pada umumnya
alat-peralatan memerlukan pengikat rotan, yang teknik mengikatnya adalah selalu
identik dengan model ikatan kalo yang
melilit, melingkar, dan membulat. Semua hulu dari alat-alat produktif dan
senjata selalu diikat dengan teknik khusus yang disebut holungu (ikatan melingkar yang dianyam); demikian pula semua wadah
anyaman diperkuat bobotnya dengan lingkaran rotan yang dipilin, dan hampir
semua dari model perhiasan identik dengan model kalo yang melingkar, dan membulat.
Pergeseran nilai dan peranan kalo masa kini. Hubungan sistem
kekerabatan dan organisasi sosial dengan kalo,
perlu memberi uraian mengenai sikap Orang Tolaki masa kini terhadap kalo.
Untuk mengetahui sikap Orang Tolaki
masa kini terhadap kalo, yaitu: (1) tampak pada kesenian yaitu dalam hal bentuk,
(2) terletak pada makna-makna simbolik yang terkandung di dalamnya.
Bentuk-bentuk
disain dalam pola segi empat, lingkaran, ikat, dan pola gambar tumbuhan pakis,
pola kepala orang; bentuk-bentuk rias tubuh dalam bulatan, bentuk-bentuk
demikian berupa benda perhiasan dalam pola lingkaran; bentuk-bentuk alat-alat
bunyi dalam pola bulatan; bentuk-bentuk teknik menari dalam pola lingkaran dan
pola gerakan horisontal-vertikal yang membentuk pola segi empat; semua
menunjukkan corak yang sama dengan bentuk pola kalo, yakni: lingkaran, ikatan,
dan segi empat.
Konsep kalo dalam
kebudayaan Tolaki sangat luas ruang lingkup dan maknanya. Kalo
secara umum meliputi o sara (adat istiadat), khususnya sara owoseno Tolaki atau sara mbu’uno Tolaki, yaitu adat
pokok (Instrumen utama), yang
merupakan sumber dari segala adat-istiadat Orang Tolaki yang berlaku
dalam semua aspek kehidupan mereka. Kalo
sebagai adat pokok dapat digolongkan ke dalam 5 cabang, yaitu: (1) sara
wonua, yaitu adat pokok dalam pemerintahan; (2) sara mbedulu, yaitu
adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan pada umumnya; (3) sara
mbe’ombu, yaitu adat pokok dalam aktivitas agama dan kepercayaan; (4) sara
mandarahia, yaitu adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan
keahlian dan keterampilan; dan (5) sara monda’u, mombopaho, mombakani,
melambu, dumahu, meoti-oti, yaitu adat pokok dalam berladang, berkebun,
beternak, berburu, dan menangkap ikan (Tarimana, 1993; Idam 2012).
D. Pemanfaatan Instrumen Kalosara dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Tolaki
Secara historis, lembaga adat kalosara
merupakan landasan dasar dari keseluruhan sistem sosial budaya Suku Tolaki termasuk kepemimpinan, kaidah-kaidah hidup bermasyarakat, sistem
norma-norma, sistem hukum dan aturan-aturan lainnya. Dalam kehidupan sosial
budaya Orang Tolaki sehari-hari secara umum baik merupakan rakyat biasa, sebagai seorang tokoh
formal maupun nonformal, nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam lembaga
adat kalosara berintikan persatuan dan kesatuan, keserasian dan
keharmonisan, keamanan dan kedamaian. Lembaga kalosara juga menjadi
landasan kultural bagi setiap individu dalam menciptakan suasana kehidupan
bersama yang aman damai serta dalam menegakkan aturan baik berupa hukum adat
maupun hukum negara (Tawulo dkk, 1991; Tarimana, 1993; Su’ud, 1992; Tondrang,
2000). Karena itu bagi Orang Tolaki menghargai, mengkeramatkan dan
mensucikan kalo berarti mentaati ajaran-ajaran nenek moyang mereka.
Apabila mereka berbuat sebaliknya, diyakini akan mendatangkan bala atau durhaka
(Tarimana, 1993; Su’ud, 1992).
Kalo secara antropologis merupakan unsur kebudayaan yang merupakan suatu
pusat dalam kebudayaan Tolaki, sehingga mendominasi banyak aktivitas atau
pranata lain dalam kehidupan orang Tolaki. Fokus kebudayaan dari suatu
masyarakat, oleh Linton (1936: 402) disebut cultural interest
atau social interest, yaitu suatu kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampak
amat digemari warga masyarakatnya sehingga tampak seolah-olah mendominasi
seluruh kehidupan masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1981).
Menurut Tarimana (1993) kalo
bagi Orang Tolaki adalah fokus yang dapat mengintegrasikan unsur-unsur yang ada dalam
kebudayaan Tolaki, memiliki 4 fungsi:
1) Kalo sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai kenyataan dalam kehidupan orang
Tolaki. Kalo pada tingkat nilai budaya adalah sistem nilai yang
berfungsi mewujudkan ide-ide yang mengkonsepsikan hal yang paling bernilai bagi
orang Tolaki, adalah apa yang disebut medulu mepoko’aso (persatuan dan
kesatuan), ate pute penao moroha (kesucian dan keadilan), morini
mbu’umbundi monapa mbu’undawaro (kemakmuran dan kesejahteraan). Ide ini
dinyatakan melalui penggunaan kalo dalam setiap upacara perkawinan, kematian,
upacara tanam dan potong padi atau pun pada setiap upacara penyambutan tamu.
Selain itu, ide ini juga diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam
apa yang disebut mete’ alo-alo (bantu-membantu) dan lain-lain. Akhirnya
ide kesejahteraan misalnya diwujudkan dalam apa yang disebut mombekapona-pona’ako (saling
hormat-menghormati), mombekamei-meiri’ako
(saling kasih-mengasihi), ndundu karandu (suasana
ketenangan batin yang diliputi dengan alunan bunyi gong yang merdu di tengah
malam), dan tumotapa rarai (suasana
kegembiraan yang dilipuyi dengan suara hura-hura, tawa, dan tepuk tangan yang meriah).
2) Kalo sebagai fokus
dan pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan Tolaki. Kalo bagi orang Tolaki, bukan hanya sekedar simbol,
tetapi juga fokus dalam pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan Tolaki, yakni: (1) dalam bahasa, sebagai
lambang komunikasi; (2) dalam sistem ekonomi tradisional, sebagai
penjaga tanaman, dan sebagai asas distribusi barang-baranag ekonomi; (3) sistem teknologi tradisional, sebagai model
mengikat dan bentuk alat-alat; (4) organisasi sosial, sebagai asas
politik dan pemerintahan; (5) sistem pengetahuan, dalam
hubungannya dengan alam semesta; (5) sistem kepercayaan, dalam
hubungan struktur alam dunia; dan (6) sistem kesenian, dalam
bubungan bentuk rias, dan teknik menari.
3) Kalo sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam
kehidupan orang Tolaki. Untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam
kehidupan masyarakat, penggunaan Kalo sebagai pedoman hidup untuk
terciptanya ketertiban sosial dan moral tampak dalam usaha memulihkan suasana
kelaparan karena panen gagal atau karena bencana alam atau peristiwa lainnya. Orang Tolakimenganggap bahwa timbulnya suasana yang tidak baik akibat dari
manusia yang telah melanggar adat ataupun ajaran agama, atau telah
melanggar ajaran Kalo sebagai instrumen adat utama mereka. Untuk
memulihkan suasana semacam ini, maka diadakanlah upacara yang
disebut mosehe wonua (upacara pembersihan negeri) yang
diikuti oleh segenap besar warga masyarakat.
4) Kalo sebagai pemersatu dan solusi
terhadap pertentangan-pertentangan sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Tolaki.
Timbulnya
pertentangan sosial bisa terjadi kapan saja, di mana saja, baik antar perorangan ataupun antar kelompok yang dapat meresahkan
masyarakat. Konflik yang sering muncul di masyarakat, seperti masalah sengketa
hak atas tanah, masalah perkawinan, pinangan ataupun masalah warisan juga
diselesaikan dengan menggunakan kalosara (Su’ud,
2008). Begitu juga masalah sengketa perbatasan antar desa yang seringkali sulit
dipecahkan/diselesaikan oleh pemerintah, akhirnya diselesaikan secara adat
melalui kalosara. Kebudayaan Tolaki dengan instrumen Kalosara menjadi
alat dominan dalam penyelesaian setiap sengketa. Misalnya, dalam penyelesaian
sengketa tanah, maka pemerintah setempat bersama tokoh masyarakat dan kepala adat melakukan
kegiatan mosehe (pencucian/penyehatan negeri) (Tarimana,
1993). Upacara mosehe merupakan upaya rekonsiliasi antara pihak-pihak yang
bertikai.
Pascapemerintahan Suharto,
sejumlah permasalahan yang dulunya terpendam meledak ke permukaan.
Beragam konflik yang terjadi pada prinspinya selalu mengedepankan, wacana
pertahanan diri atau egoisme antar-kelompok yang melakukan
konflik. Bentuk-bentuk sengketa pertanahan yang banyak melibatkan rakyat
atau para petani biasanya beragam bentuk. Scott (1985) menyebutnya sebagai everyday
forms of resistence, perlawanan terselubung (Siahaan, 1996), dan
perbanditan sosial (Suhartono, 1995). Bentuk lain perlawanan petani dimotivasi
oleh sikap-sikap keagamaan. Kartodirdjo (1984) mencatat bahwa perlawanan para
tani dapat diidentifikasi sebagai gerakan juru selamat (messianisme),
gerakan ratu adil (millenearisme), gerakan pribumi (nativisme),
gerakan kenabian (prophetisme), dan penghidupan kembali (revivalisme).
Konflik pertanahan di daerah ini
bermula ketika pemerintah menempatkan warga transmigrasi di beberapa wilayah di
daerah ini. Menurut Karsadi (2002) sejak penyelanggaraan program transmigrasi di Kabupaten Kendari dengan
menempatkan transmigran dengan jumlah yang relatif besar telah berdampak
terhadap menyempitnya lahan pertanian secara tradisional. Keberadaan
lahan-lahan pertanian tradisional seperti homa, anahoma atau anasepu, o’epe, arano, lokua, dan walaka semakin
tergusur karena lahan tersebut sebagian besar digunakan untuk proyek
transmigrasi.
Selain itu, permasalahan lain
yang mempertajam munculnya konflik dilatari oleh semakin melebarnya kesenjangan
antara penduduk transmigran dengan penduduk asli atau suku Tolaki. Secara
sosial ekonomi, penduduk transmigran memiliki kecakapan dan keahlian di bidang
pertanian, kepemilikan aset-aset dan alat-alat pertanian. Sementara hal ini
berbanding terbalik dengan penduduk asli khusuusnya di kalangan petani yang
hidupnya masih memprihatinkan. Dengan proyek transmigrasi ini, penduduk asli
semakin kehilangan lahan pertanian untuk menyambung hidupnya.
Kondisi sosial tersebut memerlukan solusi dalam bentuk
kalosara untuk melakukan
rekonsisliasi antara pihak-pihak yang berkonflik. Peran tokoh adat Tolaki
sangat strategis untuk tampil menjadi bagian dari solusi konflik dengan
menampilkan kalosara sebagai instrumen utama adat Tolaki dapat
diterima oleh kelompok lain.
Peran Pabitara: juru bicara adat yang memfungsikan kalosara
dalam berbagai kesempatan. Pabitara masih tetap eksis karena dipelihara, bahkan
setiap desa memiliki minimal seorang Pabitara,
ini seiring dengan kepentingan
masyarakat Toilaki dalam menyelesaikan setiap masalah.
E. Prospek Pemanfataan Instrumen Kalosara dalam Kehidupan Sosial
1.
Kasus
Sengketa Tanah
Kasus sengketa tanah di Kecamatan Unaaha
Kabupaten Kendari tahun 1994 antara Warga Desa Puosu (Komunitas
Tolaki) dengan Warga Transmigrasi berhasil dieselesaikan berkat adanya kalosara, yang difasilitasi oleh Bupati Kendari Drs. H. Razak
Porosi.
Secara operasional Bupati meminta tokoh masyarakat dari kedua belah pihak, untuk melakukan pertemuan, selanjutnya
dibentuk tim mediasi dari 2 orang tokoh masyarakat Tolaki, satu orang melakukan
komunikasi secara intensif dengan tokoh dan kelompok masyarakat trasmigran dan
satu orang melakukan komunikasi dengan masyarakat Tolaki. Kedua tokoh berupaya
mengidentifikasi aspirasi kedua belah pihak.
Bagi pihak
Tolaki menghendaki tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat Bali harus
dikembalikan kepada pemilik yang sah dengan membatalkan sertifikat, sedangkan
pihak masyarakat transigran menghendaki pengakuan tanah yang telah dimiliki dan
telah disertifikatkan. Solusi yang akhirya disepakati adalah tanah yang telah
dimiliki oleh warga trasmigran dibagi dua, satu bagian tetap menjadi milik warga
transmigran, dan satu bagian dikembalikan kepada pemilik awal yang sah secara
adat. Puncak kesepakatan dilaksanakan dalam upacara mombesara (Upacara
Pembersihan Negeri) dengan membawa Kalosara dari pihak warga transmigran di bawah
bimbingan seorang mediantor dari tokoh masyarakat Tolaki, selanjutnya kalosara diletakkan di tengah-tengah
kedua belah pihak yang berkonflik. Dalam
suasana seperti ini kedua belah pihak menyatakan siap berdamai dan menyatakan
saling memaatkan. Setelah pertistiwa ini, maka tidak ada lagi konflik di antara
kedua komunitas tersebut.
2. Kasus Sengketa
Politik
Era otonomi daerah sering menimbulkan sengketa politik
baik antara individu internal satu partai politik, antar partai politik, maupun
sengketa pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota).
Belum banyak memanfaatkan instrumen adat lokal (local genius) untuk dijadikan media penyelesaian sengketa politik
tersebut.
Selama ini proses pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
sering menimbulkan gesekan diantara kelompok pendukung masing-masing. Tidak
sedikit konflik sampai di meja hijau/Mahkamah Konstitusi, dan beberapa
pelanggaran harus berakhir di pengadilan. Sementara instrumen Kalosara memungkinkan unyuk dapat digunakan
sebagai media penyelesaian perselisihan secara damai, dengan biaya yang relatif
murah.
Situasi sosial politik tersebut memerlukan solusi
dalam bentuk kalosara untuk melakukan
rekonsisliasi antara individu dan atau kelompok-kelompok sosial politik yang
berkonflik. Kehadiran tokoh adat Tolaki sangat penting untuk tampil menjadi
pelopor dari solusi konflik dengan menampilkan instrumen kalosara sebagai media
utama yang dapat diterima oleh kelompok yang bertikai atau kelompok lain yang
ada di sekitarnya.
Contoh kasus: Perselisihan antara Guberur dengan salah
seorang Bupati di Sultra. setelah berlangsung perselisihan kurang lebih satu
tahun, kedua belah pihak masing-masing bertahan pada pendirian, gubernur
menganggap dirinya harus dihormati karena poisisnya, sementara Bupati yang
lebih tua usianya merasa sewajarnya dia dihormati oleh gubernur. di tengah-tengah
kekhawatiran masyarakat akan keberlanjutan perselisihan tersebut, maka para
tokoh masyarakat Tolaki melakukan musyawarah yang menyepakati untuk mengutus
masing-masing satu orang perwakilan ke Gubernur dan satu orang ke Bupati.
Perwakilan berusaha mencari titik temu secara damai, setelah melalui diskusi
dari masing-masing mediator, akhirnya disepakati bahwa kedua belah pihak
bersedia bertemua dan saling memaafkan, maka dirancanglah pertemuan di suatu
rumah salah seorang tokoh masyarakat. Pertemuan dihadiri oleh tokoh-tokoh
masyarakat, setelah kedua belah pihak berada di tempat pertemuan, maka sebuah kalosara dalam ukuran besar diletakkan
di tengah selanjutnya kedua belah pihak langsung saling merangkul dan
menyatakan saling memaafkan. Sejak peristiwa ini, maka keduanya tidak lagi
menyimpan dendam sampai saat ini.
3. Kasus Kawin Lari
Kasus kawin lari dimana keluarga perempuan melakukan
tuntutan kepada keluarga pihak laki-laki dalam bentuk dendam yang mengarah
kepada pembunuhan. Akan tetapi bagi masyarakat Tolaki, ketegangan pihak perempuan
dapat diredam dengan membawakan kalosara.
Jika kalosara dihadirkan dihadapan
pihak keluarga perempuan, maka yang bersangkutan tidak bisa melakukan reaksi,
jika dia tetap bereaksi maka akan diberikan sangsi adat dan akan dihukum secara
fisik oleh segenap masyarakat setempat. Sebaliknya, jika ia menerima kehadiran kalosara, maka keluarga pihak perempuan diberi
kesempatan untuk mengajukan tuntutan sebagai solusi adat, berupa: 1 pis kain
kaci dan 1 ekor kerbau sebagai peahala (denda)
yang harus dibayar pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan.
4.
Kasus
Pembunuhan
Kasus penyelesaian pembunuhan dapat diselesaikan dengan hukum Adat Tolaki yaitu adanya konsensus antara keluarga korban dengan pihak
pelaku yang disaksikan oleh toono motuo,
kapala kambo/kapala desa, pabitara
untuk berdamai. Pelaku harus memenuhi permintaan keluarga korban dengan menghadirkan kalosara. Secara
empiris bahwa sesuai ketentuan adat
bahwa pelaku harus menanggung denda berupa: (1) satu pis kain kaci
sebagai perngganti pembungkus mayat, (2) ongkos pesta kematian, dan (3) satu ekor kerbau
sebagai tanda berkabung. Diadakan perdamaian dengan jalan upacara mosehe yaitu
upacara perdamaian antara keluarga korban dan keluarga pelaku dengan
menghadirkan kalosara di hadapan
kedua belah pihak.
5. Kasus Tambang
Penemuan
tambang nikel dan emas di beberapa wilayah Sulawesi Tenggara, menyebabkan masuknya
berbagai perusahaan yang berusaha memiliki Kuasa Penambangan. Berbagai cara
untuk memperoleh tanah sebagai wilayah penambangan diantaranya membeli tanah
masyarakat setempat dengan harga yang murah, setelah itu secepatnya melakukan
penambangan dengan jalan menggali tanah tanpa memperhatikan AMDAL, sehingga
dalam waktu singkat para anggota masyarakat merasakan dampaknya. Misalnya: (1)
nelayan tidak lagi dapat memperoleh ikan dalam radius tertentu dari pantai
karena tercemar air pembuangan tambang yang langsung mengalir ke laut tampa
adanya proses penyaringan, (2) akan terjadi kecemburuan sosial dalam jangka
menengah dan pajang, melalui rekrutmen tenaga kerja umumnya dari luar, karena
masyarakat sekitar kurang terampil dan pendidikan rendah, (3) belum ada
pemikiran untuk memberdayakan masyarakat melalui pendidikan kepada generasi
muda sekitar tambang dengan memanfaatkan dana CSR.
Kondisi ini
merupakan suatu titik rawan di Sulawesi Tenggara, karena telah terbukti
dirasakan dampaknya di berbagai wilayah di Nusantara. Untuk itu, bagi
masyarakat Tolaki perlu memelihara peran pabitara
(juru bicara adat) yang selalu hadir menjadi mediasi dalam berbagai
permasalahan masyarakat dengan memanfaatkan istrumen kalosara.
F. Penutup
Suku Tolaki yang mendiami jazirah Tenggara Pulau
Sulawesi dalam dinamikanya memiliki instrumen adat yang mengatur segenap tata
tingkah laku masyarakat yang disebut kalosara.
Kalosara sebagai instrumen utama tata
kehidupan masyarakat sampai di era sekarang ini masih eksis dipertahankan oleh
segenap lapisan masyarakat, terutama dalam kehidupan sosial budaya. Dengan
demikian seiring dengan perkembangan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin
kompleks dan melahirkan berbagai permasalahan termasuk dalam tataran politik
dan ekonomi, maka kehadiran kalosara
sebagai instrumen solusi perlu dipertahankan dan dikembangkan.
Berbagai masalah telah terbukti berhasil diatasi
melalui pemanfaatan kalosara. Masalah
sengketa tanah, masalah politik, masalah perkawinan, dan masalah kriminalitas
terbukti kehadiran kalosara sebagai
solusinya. Pemanfaatan kalosara
sebagai media solusi, dapat menjadi model bagi masyarakat lain, karena pilihan
ini dapat berjalan dengan mudah dan biaya yang murah.
Peran pabitara
selakau tokoh masyarakat Tolaki perlu dilestarikan dan dikembangkan untuk
menjadi mediasi dalam penyelesaian berbagai masalah yang dihadapai masyarakat
dengan memanfaatkan kalosara sebagai instrumen utama.
DAFTAR PUSTAKA
Mazi,
Ali. 2004. Peranan Nilai-nilai Budaya
Lokal dalam Pelaksnaan Pembinaan Teritorial di Sulawesi Tenggara. Kendari.
Hafid, Anwar; Safar, Misran. 2008. Kajian Pengembangan Kebudayaan di Kota Kendari: Kendari: Laporan Penelitian Kerja Sama FKIP
Unhalu dengan Pemda Kota Kendari.
Harsono, Boedi, 2007. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan
Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan.
Harsono, Boedi, 2007. Hukum Agraria Indonesia, sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
Idaman. 2012. Kalosara sebagai Medium Resolusi Konflik Pertanahan pada Masyarakat
Tolaki Di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. http://idamanalwi.multiply.com/journal. Akses, 5 Oktober 2012
Karsadi, 2002. Sengketa Tanah dan Kekerasan di Daerah Transmigrasi: Studi Kasus di
Lokasi Pemukiman Transmigrasi di Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara.
Desertasi Doktor Sosiologi, PPS UGM Yogyakarta.
Kartodirdjo, Sartono, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi,
Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya. Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial
di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sangadji, Arianto, 2000. PLTA Lore Lindu: Orang Lindu Menolak Pindah.
Yogyakarta: Yayasan Tanah Merdeka, ED Walhi Sulawesi tengah dan Pustaka
pelajar.
Scott, James
C., 1985. Weapon of the Weak: Everyday of Peasant Resistance. New Haven and
London: Yale University Press.
Siahaan,
Hotman M., 1996. Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program TRI
sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi. Surabaya:
Disertasi Doktor Universitas Airlangga.
Soetrisno, Loekman, 1995. “Tanah dan Masa Depan Rakyat Indonesia di
Pedesaan” dalam Tanah, Rakyat dan Demokrasi. Untoro Hariadi dan
Masruchah (eds). Yogyakarta: Forum LSM-LPSM.
Suhartono, 1995. Bandit-Bandit Pedesaaan di Jawa. Studi Historis
1850-1942. Yogyakarta: Aditya Media.
Sumardjono, Maria S.W., “Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya”, Kompas, Jakarta 2008.
Susetiawan, 2001. “Rekognisi sebagai Penyelesaian Konflik Pertanahan:
Sebuah Tinjauan Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat” Masyarakat
Indonesia. XXVII, No. 1. 2001.
Su’ud, Muslimin, 1986. Asas-Asas Hukum Adat Pertanahan Orang Tolaki. Kendari: Balai Penelitian Universitas Haluoleo.
Su’ud, Muslimin, 2008. Aneka Ragam
Kebudayaan Tolaki. Kendari: Universitas
Haluoleo.
Su’ud, Muslimin, 2012. Kompilasi
Hukum Adat Perkawinan di Sulawesi Tenggara. Kendari: HISPISI
Cabang Sultra.
Tarimana, Abdurrauf, 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.
Tauchid, Muhammad, 1952. Masalah Agraria sebagai Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat. Djakarta: Tjakrawala.
Tawulo, Asrul, 1991. Mondau Sebagai Sistem Perladangan Masyarakat
Tolaki dan Pengaruhnya Terhadap Kelesatarian Sumber Daya Hutan di Kabupaten
Kendari. Kendari: Balai penelitian Universitas Haluoleo.
Tondrang, Azis, 2000. Peranan Kalosara dalam Pembentukan Karakter
Masyarakat Tolaki. Unaaha: Makalah dalam Rangka Musyawarah Adat I Suku
Bangsa Tolaki.
Ubbe, Ahmad, et al., 1990. Monografi Hukum Adat Daerah
Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman R.I.
KALOSARA SEBAGAI
INSTRUMEN UTAMA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
BUDAYA SUKU TOLAKI DI SULAWESI TENGGARA
Makalah
Disajikan
dalam Prakongres Kebudayaan Indonesia di Jakarta,
Tanggal 27-29 November 2012
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid
Dosen FKIP/PPs
Universitas Haluoleo
BADAN PEKERJA
KONGRES KEBUDAYAAN INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL
KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar