Minggu, 28 Juni 2020

KALOSARA SEBAGAI INSTRUMEN UTAMA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA SUKU TOLAKI DI SULAWESI TENGGARA Oleh: Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.


KALOSARA SEBAGAI INSTRUMEN UTAMA  DALAM KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA SUKU TOLAKI DI SULAWESI TENGGARA
Oleh:
Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.

A.  Pendahuluan
Penghayatan dan pengkajian budaya yang minim selama ini, berdampak langsung terhadap rendahnya pemahaman generasi akan kekayaan budaya daerahnya. Hal ini terungkap dalam berbagai kesempatan pertemuan ilmiah di Sultra, selalu muncul keluhan peserta akan kurangnya literatur tentang budaya dan sejarah Sulawesi Tenggara. Minimnya bacaan dan bahan amatan dalam bentuk pentas budaya, semakin mengikis kepedulian dan penghayatan masyarakat akan pengembangan budaya daerah, sehingga dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap pengikisan nilai-nilai budaya yang memiliki nuansa inovatif yang telah tumbuh pada budaya suku bangsa yang ada di Sultra.
Telah disadari banyak pihak bahwa salah satu prinsip manajemen dalam menghadapi polarisasi adalah berpola pada budaya. Para manajer dalam era modern makin memahami pentingnya budaya dalam pengembangan sumber daya manusia. Namun harus diakui bahwa perubahan budaya tidak dihasilkan secara langsung melalui upaya untuk mengubah budaya itu sendiri, tidak pula melalui pelatihan budaya, pencatatan sejumlah nilai dan keyakinan, atau perintah kepada orang lain untuk berbudaya. Suatu hal yang pasti bahwa nilai-nilai budaya harus mampu diinternalisasikan dalam setiap aktivitas sosial masyarakat, sehingga dapat dengan mudah diadopsi oleh anak sebagai peserta didik atau generasi pelanjut yang akan mengembangkan kebudayaan itu baik dalam bentuk invensi maupun melalui proses akulturasi.
Suku Tolaki telah lama mendiami Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Suku ini menyebar di beberapa wilayah yang cukup luas yakni wilayah Kota Kendari, Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, dan Kolaka. Persebaran Suku Tolaki ini membawa serta pranata-pranata sosial, politik, ekonomi dan tata nilai. Sumber nilai dalam Suku Tolaki baik yang berdiam di pedesaan sebagai petani tradisional maupun yang bermukim di perkotaan sebagai pegawai negeri atau pengusaha, sampai saat ini mesih menempatkan instrumen adat yang disebut Kalo sebagai suatu yang sakral (Tarimana, 1993; Idaman, 2012). Kalo, dapat berfungsi sebagai lambang pemersatu dan alat penyelesaian berbagai masalah dalam  kehidupan masyarakat.
Secara sosio-psikologis, budaya masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara dewasa ini memiliki ciri-ciri umum, yang berpotensi besar sebagai pendorong pembangunan daerah. Ciri-ciri itu, adalah:
1.    Memiliki naluri untuk hidup bertetangga secara baik
2.    Mempunyai keinginan dan sikap kerja sama dalam bentuk gotong royong, yang diaplikasikan dalam budaya samaturu.
3.    Memiliki sikap kekerabatan yang dicerminkan dalam solidaritas dan tenggang rasa terhadap sesama yang diaplikasikan dalam budaya  medulu.
4.    Rukun dalam kehidupan, mau bermusyawarah yang diaplikasikan budaya mepokoaso.
5.    Memiliki sifat penyabar,
6.    Menghormati orang lain yang memiliki status sosial yang lebih tinggi di masyarakat atau lingkungan kerjanya, tercermin dalam  ungkapan inggomiu (Hafid, 2008).
Potensi inovatif dari budaya Suku Tolaki saat ini, harus dipandang sebagai suatu potensi dan peluang, bukan tantangan dan hambatan pembangunan menuju kesejahteraan masyarakat. Secara filosofi Suku Tolaki telah menetapkan kerangka budayanya dalam bentuk falsafah hidup, yang merupakan penjabaran dari budaya kalosara, diungkapkan sebagai berikut:
Medulu mbenao = satu dalam jiwa
Medulu mbonaa = satu dalam pendirian
Medulu mboehe = satu dalam kehendak/cita-cita.
Ketiga ungkapan tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk:
1.    Satu dalam jiwa, diaplikasikan dalam bentuk:
Mombe kamei meiri ako            = saling cinta-mencintai;
Mombeka pia-piarako               = saling pelihara-memelihara
2.    Satu dalam pendirian, diaplikasikan dalam bentuk:
Mombekapona-pona ako           = saling menghargai pendapat;
Mombeka peha-pehawako         = saling ingat-mengingatkan;
Mombeka pei-peiranga ako       = saling saran-menyarankan.
3.    Satu dalam kehendak/cita-cita, diaplikasikan dalam bentuk:
Mombeka sudo-sudo ako           = saling topang-menopang;
Mombeka tulu-tulungi ako         = saling tolong-menolong;
Mombeka tamai ako                  = saling memberi dan menerima;
Mombeka alo-alo ako                = saling ambil-mengambil satu tenaga;
Mombekakai-kai ako                 = saling menikmati makanan;
Mombeka powe-powehi ako      = saling memberi dan menerima (Tarimana, 1993).
Bahasa filosofi tersebut mencerminkan keluhuran budaya Suku Tolaki. Potensi tersebut memiliki nuansa inovatif yang dapat berfungsi sebagai landasan kemajuan budaya dan menjadi daya dorong utama peningkatan kreativitas masyarakat Sultra, khususnya dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan damai.
Bagi Masyarakat Tolaki, kalo merupakan suatu pedoman yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.  Kalo pada tingkat nilai budaya merupakan sistem norma adat yang berfungsi mewujudkan ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Kalo pada tingkat aturan khusus mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat.  Dalam konsep kalo yang mengatur aktivitas tersebut dikenal meraou, yaitu aturan khusus yang mengatur setiap individu dalam berbahasa yang menunjukan sopan santun (bertata krama); Atora, yakni aturan khusus dalam komunikasi sosial.
Supaya setiap individu dapat terhindari dari pelanggaran yang menyebabkan hadirnya kalo, maka dikembangkanlah kata-kata falsafah yang dapat memberi sugesti kepada anggota  masyarakat untuk bertingkah laku dengan  baik.  Misalnya: Inae kosara iee nggopinesara, Inae lia sara iee nggopinekasara. Artinya: Siapa yang tahu adat, ia yang akan dihargai dan dihormati dan sebaliknya siapa yang melanggar adat akan dikasari (dihukum).  Ungkapan ini mempunyai makna yang sangat dalam bagi kehidupan masyarakat.  Tiap orang diharapkan untuk hidup dan bertingkah laku sesuai dengan norma adat istiadat yang hidup dalam masyarakat.  Seseorang akan mendapat penilaian yang baik dari masyarakat, apabila sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan norma-norma yang berlaku.  Sebaliknya seseorang akan mendapat penilaian yang negatif atau kurang baik, bila yang bersangkutan sering melakukan perbuatan tercelah yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku (Mazi, 2004).

B.  Sekilas Tentang Suku Tolaki
Suku Tolaki adalah sebuah komunitas masyarakat yang mendiami pulau Sulawesi di sebelah Tenggara persisnya di Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara. Kebanyakan dari mereka punya profesi sebagai petani yang rajin dalam bekerja. Selain itu mereka juga punya semangat gotong royong yang tinggi. Sementara itu, Tolaki adalah sebuah kata yang mengandung arti jantan. Sedangkan orang suku Tolaki menyebut dirinya Tolohinagga yang maksudnya adalah orang yang dating dari langit.
Secara historis wilayah Suku Tolaki merupakan bagian dari konawe, sebuah kerajaan yang berada di wilayah Unaaha menetapkan suatu aturan yang dinamakan Siwole Mbatohu. Untuk kehidupan bermasyarakatnya, suku Tolaki mempunyai symbol budaya yang membuat mereka bisa bersatu padu untuk mengatasi berbagai macam persoalan yang mincul. Symbol ini dinamakan Kalosara yang dimunculkan dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat yang berbudi luhur dan mau menjaga ketentraman dan kesejahteraan secara bersama-sama dan bisa bergaul secara akrab dengan anggota masyarakat yang lain.
Dalam hubungan antar anggota masyarakat ini, terdapat unsur-unsur yang mengandung nilai filsafat tinggi. Mereka menjadikannya sebagai tongkat pegangan untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Adapun jenis budaya hasil karya dan cipta yang punya nilai sosial sangat tinggi antara lain:
1.    Osara
Osara ialah seperangkat aturan-aturan pokok yang mengatur hubungan hukum antara seorang dengan orang lain, antara individu dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok yang apabila dilanggar dapat menim­bulkan sanksi baik dalam bentuk hukuman fisik mau­pun berupa kutukan masyarakat.
Osara, mengajarkan kepada setiap individu Suku Tolaki untuk selalu menaati segala keputusan yang dikeluarkan oleh adat dengan tujuan untuk mengajak masyarakat agar mau menciptakan rasa damai dan cinta dalam kehidupan mereka. Terutama ketika sedang bermasalah atau bersengketa dengan anggota masyarakat yang lain. Keseluruhan aturan hidup bermasyarakat tersebut sifatnya (tidak tertulis”, namun secara turun temurun diketahui, dihayati dan dipatuhi oleh setiap warga masyarakat Tolaki dari semua unsur lapisan termasuk penguasa/Mokole (Raja).

2.    Osamu
Osamu, sering juga disebut dengan budaya malu. Osamu, merupakan sistem pertahanan moral bagi diri sendiri, misalnya ada orang yang dikatakan malas bekerja, maka selanjutnya mereka menerapkan budaya kohanu ini dengan cara lebih tekun dan rajin dalam bekerja, sehingga sebutan sebagai pemalas akan hilang dari dirinya, berganti dengan sebutan pekerja keras yang rajin dan tekun. Secara tidak langsung budaya ini mengajak setiap orang untuk selalu memaksimalkan tenaga maupun pikiran yang dimilikinya untuk memajukan dia sendiri atau anggota suku yang lain.

3.    Merau
Merau, adalah budaya yang mengajak orang untuk selalu mengedepankan sikap sopan dan santun dalam pergaulan, serta mau memberikan rasa hormat bagi semua anggota suku Tolaki maupun orang lain.

4.    Samaturu
Samaturu, merupakan salah satu budaya yang mengutamakan hidup untuk selalu menjalin persatuan, suka menolong orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan dengan senang hati. Ini juga merupakan wujud dari gotong royong yang menjadi pandangan hidup utama dari Suku Tolaki.

5.    Taa Ehe Tinua-Tuay
Taa ehe tinua-tuay, merupakan ajakan untuk selalu merasa bangga karena menjadi bagian dari masyarakat Suku Tolaki. Sesungguhnya budaya ini menjadi bagian dari Kohanu. Namun karena adanya suatu perbedaan yang bersifat mengutamakan kemandirian maka budaya yang satu ini selanjutnya dipisah menjadi budaya sendiri.

6.    O’Sapa
Istilah O’sapa ialah semacam aturan-aturan klasik yang mengatur hubungan hukum antara manusia dengan hewan. Hubungan-hubungan itu timbul manakala manusia melakukan pemburuan (berburu) terhadap binatang liar seperti kerbau, rusa dan anoa, , dengan menggunakan tombak, menggunakan anjing, perangkap, dan alat-alat penangkap lainnya, Aturan-aturan O’sa­pa itu berwujud ketaatan/kepatuhan setiap orang/pemburu mengambil bagian dari jerih payah yang tidak menyalahi dari ketentuan “O’sapa.,” misalnya: Bila binatang buruan itu mati berkat bantuan peralatan tombak dan anjing, maka bagian tertentu dari daging kerbau atau rusa itu, harus diberikan kepada anjing (pemilik anjing) dan tombak (yang menombak pertama) diluar dari bagian tertentu yang biasa diberikan/diambil/dikuasai si pemburu (3/4 bagian ) dan bagian untuk penguasa wilayah untuk daging dan tulang-tulang tertentu,. Bila binatang, tersebut adalah binatang liar tapi bekas binatang peliharaan, maka aturan pembagiannya telah tertentu pula bagi pemburunya, untuk anjing, untuk tombak dan untuk penguasa wilayah/pu’utobu atau kepala kampung.
Aturan-aturan pembagian itulah disebut O’sapa, yang menurut kaidah hidup bermasyarakat suku To­laki harus ditaati. dihormati dan dipatuhi oleh  semua orang Tolaki termasuk Penguasa/Raja. Bila aturan hukumnya tidak dijalankan, maka da­pat menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat dan Negeri.

7.    O’wua
Istilah O’wua sebagai sa­lah satu kaidah pokok kehidupan masyarakat Suku Tola­ki ialah seperangkat aturan/ketentuan hukum yang mengatur tata-cara bercocok tanam, merambas hutan, menanam padi, dan aturan-aturan ini harus ditaati oleh semua orang Tolaki termasuk Penguasa/Raja. Apabila dilanggar maka Negeri/penduduk dapat menderita kekurangan pangan mengalami musim paceklik suatu hal yang sangat ditakuti oleh orang Tolaki.

8.    O’lawi
Istilah O’lawi ialah seperangkat aturan dasar Suku Tolaki yang mengatur tentang tata cara pemberian upah, imbalan jasa, pembagian kerja dari seorang majikan pemilik kebun padi) atau pemilik pohon sagu, atau pemilik pohon buah-buahan yang di­dikerjakan oleh seseorang atau beberapa orang pekerja upahan (toono mehawe, pasaku, pa mone dan lain-lain) dengan upah atau bagian-bagian tertentu, Ketentuan-ketentuan pembagian tersebut harus dipatuhi dengan sa­dar oleh semua orang Tolaki termasuk penguasa/Raja/Moko­le.

9.    O’liwi
O’liwi ialah seperangkat pesan wasiat, nasihat dan petunjuk hidup yang ditinggalkan/diwasiatkan untuk diikuti oleh anak cucu /generasi berikut dari para leluhur, secara turun‑temurun terutama, dalam hal-hal yang dalam istilah ilmu hukum dapat disamakan dengan Yurisprudensi artinya putusan Hakim tertinggi yang telah berlaku tetap yang dapat dicontoh oleh Hakim-hakim berikutnya da­lam perkara yang sama maupun selainnya.

C.  Konsep dan Jenis Kalo
Secara harfiah, kalo adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, dan pertemuan atau kegiatan bersama dengan pelaku membentuk lingkaran. Sebagai benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan, dan ada juga yang terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan sebagainya (Tarimana, 1993).
Kalosara terdiri atas 3 bagian, yaitu: (1) kalo, berupa lilitan tiga rotan yang melingkar, (2) kain putih sebagai mengalas, dan (3) siwoleuwa, yaitu anyaman dari daun palem berbentuk persegi empat. Ketiga wadah ini jika berdiri sendiri tidak memiliki arti dan fungsi adat, kecuali ketiganya menyatu dalam suatu tatanan dengan struktur sebagai wadah pengalas paling bawah berupa simoleuwa, kemudian dilapisi di atasnya dengan kain putih, dan di atas kedua wadah ini diletakkan kalo.
Berdasarkan bahan pembuatannya dan pemanfatannya, maka kalo banyak jenisnya. Pertama, kalo  dari rotan ada yang disebut kalosara,  yaitu kalo yang digunakan sebagai alat upacara perkawinan adat, upacara pelantikan raja, upacara penyambutan tamu penting, upacara perdamaian atas suatu sengketa, alat bagi sejumlah tokoh untuk menyampaikan sesuatu saran/pendapat kepada pejabat, alat untuk menyampaikan undangan pesta keluarga. Kalosara  ini dalam pemanfaatannya dilengkapi dengan wadah anyaman dari tangkai daun pelem, dan kain putih sebagai alas.
   
Kedua, kalo  dari emas disebut kalo eno-eno, yaitu kalo yang digunakan sebagai alat upacara sesaji, alat tebusan atas pelanggaran janji untuk melangsungkan upacara peminangan gadis dalam rangkaian perkawinan, sebagai salah satu dari maskawin, dan dipakai sebagai kalung perhiasan bagi wanita.
Ketiga, kalo dari besi disebut kalo kalelawu,  yaitu kalo  yang digunakan sebagai cincin hidung kerbau.
Keempat, kalo  dari perak disebut kalo sambiala, kalo bolosu,  dan  kalo o langge,  yaitu kalo  yang masing-masing dipakai sebagai perhiasan dada, pergelangan tangan, pergelangan kaki, baik bagi anak-anak maupun bagi remaja putri.
Kelima, kalo  dari benang ada yang disebut kalo kale-kale¸ dipakai sebagai pengikat pergelangan tangan dan kaki bayi; dan kalo ula-ula yang digunakan sebagai alat pekabaran tentang adanya orang yang meninggal.
Keenam, kalo  dari kain putih disebut  kalo lowani,   yaitu kalo yang dipakai di kepala sebagai tanda berkabung, dan kalo  dari kain biasa disebut  kalo usu-usu,  yaitu kalo yang dipakai di kepala sebagai pengikat dan penutup kepala bagi orang tua.
Ketujuh, kalo dari akar atau kulit kayu disebut kalo pebo, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat pinggang bagi orang dewasa; dan yang khusus dari akar bahar disebut kalo kalepasi, yaitu kalo yang dipakai sebagai perhiasan bagi orang dewasa; serta kalo dari akar hawa disebut kalo parahi atau kalo mbotiso, yaitu kalo yang digunakan sebagai tanda atau patok pemilikan tanah hutan untuk selanjutnya diolah menjadi sebidang ladang atau perkebunan. Kalo dari daun pandan disebut kalo kalunggu, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat kepala bagi gadis remaja.
Kalo dari bambu disebut kalo kinalo, yaitu kalo yang digunakan sebagai penjaga ladang dan tanaman yang ada di dalamnya.
kalo dari kulit kerbau disebut kalo parado, yaitu kalo yang digunakan untuk menangkap kerbau liar.
Kalo sebagai cara-cara mengikat yang melingkar disebut mowewei (membelitkan), mombali (melingkari); dan sebagai pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana pelaku membentuk lingkaran disebut metaboriri (duduk melingkar dalam keadaan makan bersama), meobu-obu (duduk melingkar dalam merundingkan sesuatu secara bersama-sama), metomusako (berdiri berkeliling dalam menangkap ternak, dan dalam melakukan tarian massal), dan modinggu (menumbuk padi secara bersama-sama dengan mengelilingi sebuah lesung sambil membunyikan lesung dan alu).
Peristiwa di mana seseorang, yang karena merasa sangat malu atas pelakuan seseorang lainnya yang tidak sopan terhadapnya di depan umum, melakukan reaksi keras berupa ancaman penganiayaan terhadap orang yang memperlakukannya demikian untuk membela harga dirinya. Dalam situasi yang demikian muncullah pihak ketiga menampilkan kalo di antara keduanya yang sedang ancam-mengancam satu sama lain. Tanpa komentar dari ketiganya, peristiwa ancam-mengancam tersebut berhenti secara otomatis di mana keduanya akan saling maaf-memaafkan karena bagi mereka kalo identik dengan perkataan: “jangan, mohon maaf, ampun, engkau, dia, dan aku, serta kita sekalian adalah satu kesatuan, satu di dalam tiga, dan tiga di dalam satu.” Menganiaya dia berarti menganiaya diri sendiri, dan menganiaya aku serta kita sekaliannya. Dengan tampilnya kalo itu dalam suasana demikian maka damailah keduanya. Bila ternyata salah satu dari keduanya atau kedua-duanya menolak adanya kalo dalam peristiwa itu, maka ia telah dipandang terkutuk dan akibatnya mereka harus dikeluarkan dari warga Orang Tolaki atau menghukum mereka dengan ketentuan adat yang berlaku.
Selanjutnya,bagaimana hubungan antara asas mata pencaharian Orang Tolaki dengan kalo? Hubungan itu tampak pada tiga kenyataan yang digambarkan di bawah ini sebagai berikut: Kenyataan bahwa kalo selalu digunakan sebagai tanda pemilikan, dan tanda larangan, penjaga tanaman terhadap gangguan hama dan gangguan orang lain. Selain itu kalo secara simbolik adalah ganti diri dari pemilik tanah dan tanaman di atasnya.
Selanjutnya, bagaimana hubungan antara asas sistem teknologi tradisional Orang Tolaki dengan kalo?
Hubungan itu nampak pada kenyataan-kenyataan yang digambarkan di bawah ini. Kenyataan bahwa pada umumnya alat-peralatan memerlukan pengikat rotan, yang teknik mengikatnya adalah selalu identik dengan model ikatan kalo yang melilit, melingkar, dan membulat. Semua hulu dari alat-alat produktif dan senjata selalu diikat dengan teknik khusus yang disebut holungu (ikatan melingkar yang dianyam); demikian pula semua wadah anyaman diperkuat bobotnya dengan lingkaran rotan yang dipilin, dan hampir semua dari model perhiasan identik dengan model kalo yang melingkar, dan membulat.
Pergeseran nilai dan peranan kalo masa kini. Hubungan sistem kekerabatan dan organisasi sosial dengan kalo, perlu memberi uraian mengenai sikap Orang Tolaki masa kini terhadap kalo.
Untuk mengetahui sikap Orang Tolaki masa kini terhadap kalo, yaitu: (1) tampak pada kesenian yaitu dalam hal bentuk, (2) terletak pada makna-makna simbolik yang terkandung di dalamnya.
   Bentuk-bentuk disain dalam pola segi empat, lingkaran, ikat, dan pola gambar tumbuhan pakis, pola kepala orang; bentuk-bentuk rias tubuh dalam bulatan, bentuk-bentuk demikian berupa benda perhiasan dalam pola lingkaran; bentuk-bentuk alat-alat bunyi dalam pola bulatan; bentuk-bentuk teknik menari dalam pola lingkaran dan pola gerakan horisontal-vertikal yang membentuk pola segi empat; semua menunjukkan corak yang sama dengan bentuk pola kalo, yakni: lingkaran, ikatan, dan segi empat.
Konsep kalo dalam kebudayaan Tolaki sangat luas ruang lingkup dan maknanya. Kalo secara umum meliputi o sara (adat istiadat), khususnya sara owoseno Tolaki atau sara mbu’uno Tolaki, yaitu adat pokok (Instrumen utama), yang merupakan sumber dari segala adat-istiadat Orang Tolaki yang berlaku dalam semua aspek kehidupan mereka. Kalo sebagai adat pokok dapat digolongkan ke dalam 5 cabang, yaitu: (1) sara wonua, yaitu adat pokok dalam pemerintahan; (2) sara mbedulu, yaitu adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan pada umumnya; (3) sara mbe’ombu, yaitu adat pokok dalam aktivitas agama dan kepercayaan; (4) sara mandarahia, yaitu adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan keterampilan; dan (5) sara monda’u, mombopaho, mombakani, melambu, dumahu, meoti-oti, yaitu adat pokok dalam berladang, berkebun, beternak, berburu, dan menangkap ikan (Tarimana, 1993; Idam 2012).



D.  Pemanfaatan Instrumen Kalosara dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Tolaki
Secara historis, lembaga adat kalosara merupakan landasan dasar dari keseluruhan sistem sosial budaya Suku Tolaki termasuk kepemimpinan, kaidah-kaidah hidup bermasyarakat, sistem norma-norma, sistem hukum dan aturan-aturan lainnya. Dalam kehidupan sosial budaya Orang Tolaki sehari-hari secara umum baik merupakan rakyat biasa, sebagai seorang tokoh formal maupun nonformal, nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam lembaga adat kalosara berintikan persatuan dan kesatuan, keserasian dan keharmonisan, keamanan dan kedamaian. Lembaga kalosara juga menjadi landasan kultural bagi setiap individu dalam menciptakan suasana kehidupan bersama yang aman damai serta dalam menegakkan aturan baik berupa hukum adat maupun hukum negara (Tawulo dkk, 1991; Tarimana, 1993; Su’ud, 1992; Tondrang, 2000). Karena itu bagi Orang Tolaki menghargai, mengkeramatkan dan mensucikan kalo berarti mentaati ajaran-ajaran nenek moyang mereka. Apabila mereka berbuat sebaliknya, diyakini akan mendatangkan bala atau durhaka (Tarimana, 1993; Su’ud, 1992).
Kalo secara antropologis merupakan unsur kebudayaan yang merupakan  suatu pusat dalam kebudayaan Tolaki, sehingga mendominasi banyak aktivitas atau pranata lain dalam kehidupan orang Tolaki. Fokus kebudayaan dari suatu masyarakat, oleh Linton (1936: 402) disebut cultural interest atau social interest, yaitu suatu kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampak amat digemari warga masyarakatnya sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1981).
Menurut Tarimana (1993) kalo bagi Orang Tolaki adalah fokus yang dapat mengintegrasikan unsur-unsur yang ada dalam kebudayaan Tolaki, memiliki 4 fungsi:
1)   Kalo sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai kenyataan dalam kehidupan orang Tolaki. Kalo pada tingkat nilai budaya adalah sistem nilai yang berfungsi mewujudkan ide-ide yang mengkonsepsikan hal yang paling bernilai bagi orang Tolaki, adalah apa yang disebut medulu mepoko’aso (persatuan dan kesatuan), ate pute penao moroha (kesucian dan keadilan), morini mbu’umbundi monapa mbu’undawaro (kemakmuran dan kesejahteraan). Ide ini dinyatakan melalui penggunaan kalo dalam setiap upacara perkawinan, kematian, upacara tanam dan potong padi atau pun pada setiap upacara penyambutan tamu. Selain itu, ide ini juga diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam apa yang disebut mete’ alo-alo (bantu-membantu) dan lain-lain. Akhirnya ide kesejahteraan misalnya diwujudkan dalam apa yang disebut mombekapona-pona’ako (saling hormat-menghormati), mombekamei-meiri’ako (saling kasih-mengasihi), ndundu karandu (suasana ketenangan batin yang diliputi dengan alunan bunyi gong yang merdu di tengah malam), dan tumotapa rarai (suasana kegembiraan yang dilipuyi dengan suara hura-hura, tawa, dan tepuk tangan yang meriah).
2) Kalo sebagai fokus dan pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan Tolaki. Kalo bagi orang Tolaki, bukan hanya sekedar simbol, tetapi juga fokus dalam pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan Tolaki, yakni: (1) dalam bahasa, sebagai lambang komunikasi; (2) dalam sistem ekonomi tradisional, sebagai penjaga tanaman, dan sebagai asas distribusi barang-baranag ekonomi; (3) sistem teknologi tradisional, sebagai  model mengikat dan bentuk alat-alat; (4) organisasi sosial, sebagai asas politik dan pemerintahan; (5) sistem pengetahuan, dalam hubungannya dengan alam semesta; (5) sistem kepercayaan, dalam hubungan struktur alam dunia; dan (6) sistem kesenian, dalam bubungan bentuk rias, dan teknik menari.
3) Kalo sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam kehidupan orang Tolaki. Untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam kehidupan masyarakat, penggunaan Kalo sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral tampak dalam usaha memulihkan suasana kelaparan karena panen gagal atau karena bencana alam atau peristiwa lainnya. Orang Tolakimenganggap bahwa timbulnya suasana yang tidak baik akibat dari manusia yang telah melanggar adat ataupun ajaran agama, atau telah melanggar ajaran Kalo sebagai instrumen adat utama mereka. Untuk memulihkan suasana semacam ini, maka diadakanlah upacara yang disebut mosehe wonua (upacara pembersihan negeri) yang diikuti oleh segenap besar warga masyarakat.
4) Kalo sebagai pemersatu dan solusi terhadap pertentangan-pertentangan sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Tolaki.
Timbulnya pertentangan sosial bisa terjadi kapan saja, di mana saja, baik antar perorangan ataupun antar kelompok yang dapat meresahkan masyarakat. Konflik yang sering muncul di masyarakat, seperti masalah sengketa hak atas tanah, masalah perkawinan, pinangan ataupun masalah warisan juga diselesaikan dengan menggunakan kalosara (Su’ud, 2008). Begitu juga masalah sengketa perbatasan antar desa yang seringkali sulit dipecahkan/diselesaikan oleh pemerintah, akhirnya diselesaikan secara adat melalui kalosara. Kebudayaan Tolaki dengan instrumen Kalosara menjadi  alat dominan dalam penyelesaian setiap sengketa. Misalnya, dalam penyelesaian sengketa tanah, maka pemerintah setempat bersama tokoh masyarakat dan kepala adat melakukan kegiatan mosehe (pencucian/penyehatan negeri) (Tarimana, 1993). Upacara mosehe merupakan upaya rekonsiliasi antara pihak-pihak yang bertikai.
Pascapemerintahan Suharto, sejumlah permasalahan yang dulunya terpendam meledak ke permukaan. Beragam konflik yang terjadi pada prinspinya selalu mengedepankan, wacana pertahanan diri atau egoisme antar-kelompok yang melakukan konflik. Bentuk-bentuk sengketa pertanahan yang banyak melibatkan rakyat atau para petani biasanya beragam bentuk. Scott (1985) menyebutnya sebagai everyday forms of resistence, perlawanan terselubung (Siahaan, 1996), dan perbanditan sosial (Suhartono, 1995). Bentuk lain perlawanan petani dimotivasi oleh sikap-sikap keagamaan. Kartodirdjo (1984) mencatat bahwa perlawanan para tani dapat diidentifikasi sebagai gerakan juru selamat (messianisme), gerakan ratu adil (millenearisme), gerakan pribumi (nativisme), gerakan kenabian (prophetisme), dan penghidupan kembali (revivalisme).
Konflik pertanahan di daerah ini bermula ketika pemerintah menempatkan warga transmigrasi di beberapa wilayah di daerah ini. Menurut Karsadi (2002) sejak penyelanggaraan program transmigrasi di Kabupaten Kendari dengan menempatkan transmigran dengan jumlah yang relatif besar telah berdampak terhadap menyempitnya lahan pertanian secara tradisional. Keberadaan lahan-lahan pertanian tradisional seperti homa, anahoma atau anasepu, o’epe, arano, lokua, dan walaka semakin tergusur karena lahan tersebut sebagian besar digunakan untuk proyek transmigrasi.
Selain itu, permasalahan lain yang mempertajam munculnya konflik dilatari oleh semakin melebarnya kesenjangan antara penduduk transmigran dengan penduduk asli atau suku Tolaki. Secara sosial ekonomi, penduduk transmigran memiliki kecakapan dan keahlian di bidang pertanian, kepemilikan aset-aset dan alat-alat pertanian. Sementara hal ini berbanding terbalik dengan penduduk asli khusuusnya di kalangan petani yang hidupnya masih memprihatinkan. Dengan proyek transmigrasi ini, penduduk asli semakin kehilangan lahan pertanian untuk menyambung hidupnya.
Kondisi sosial tersebut memerlukan solusi dalam bentuk kalosara untuk melakukan rekonsisliasi antara pihak-pihak yang berkonflik. Peran tokoh adat Tolaki sangat strategis untuk tampil menjadi bagian dari solusi konflik dengan menampilkan  kalosara  sebagai instrumen utama adat Tolaki dapat diterima oleh kelompok lain.
Peran Pabitara: juru bicara adat yang memfungsikan kalosara dalam berbagai kesempatan. Pabitara masih tetap eksis karena dipelihara, bahkan setiap desa memiliki minimal seorang Pabitara, ini seiring dengan kepentingan masyarakat Toilaki dalam menyelesaikan setiap masalah.

E.  Prospek Pemanfataan Instrumen Kalosara dalam Kehidupan Sosial
1.    Kasus Sengketa Tanah
Kasus sengketa tanah di Kecamatan Unaaha Kabupaten Kendari tahun 1994 antara Warga Desa Puosu (Komunitas Tolaki) dengan Warga Transmigrasi berhasil dieselesaikan berkat adanya kalosara, yang difasilitasi oleh Bupati Kendari Drs. H. Razak Porosi. Secara operasional Bupati meminta tokoh masyarakat dari kedua belah pihak, untuk melakukan pertemuan, selanjutnya dibentuk tim mediasi dari 2 orang tokoh masyarakat Tolaki, satu orang melakukan komunikasi secara intensif dengan tokoh dan kelompok masyarakat trasmigran dan satu orang melakukan komunikasi dengan masyarakat Tolaki. Kedua tokoh berupaya mengidentifikasi aspirasi kedua belah pihak.
Bagi pihak Tolaki menghendaki tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat Bali harus dikembalikan kepada pemilik yang sah dengan membatalkan sertifikat, sedangkan pihak masyarakat transigran menghendaki pengakuan tanah yang telah dimiliki dan telah disertifikatkan. Solusi yang akhirya disepakati adalah tanah yang telah dimiliki oleh warga trasmigran dibagi dua, satu bagian tetap menjadi milik warga transmigran, dan satu bagian dikembalikan kepada pemilik awal yang sah secara adat. Puncak kesepakatan dilaksanakan dalam upacara mombesara (Upacara Pembersihan Negeri) dengan membawa Kalosara dari pihak warga transmigran di bawah bimbingan seorang mediantor dari tokoh masyarakat Tolaki, selanjutnya kalosara diletakkan di tengah-tengah kedua belah pihak yang berkonflik. Dalam suasana seperti ini kedua belah pihak menyatakan siap berdamai dan menyatakan saling memaatkan. Setelah pertistiwa ini, maka tidak ada lagi konflik di antara kedua komunitas tersebut.

2.    Kasus Sengketa Politik
Era otonomi daerah sering menimbulkan sengketa politik baik antara individu internal satu partai politik, antar partai politik, maupun sengketa pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). Belum banyak memanfaatkan instrumen adat lokal (local genius) untuk dijadikan media penyelesaian sengketa politik tersebut.
Selama ini proses pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah sering menimbulkan gesekan diantara kelompok pendukung masing-masing. Tidak sedikit konflik sampai di meja hijau/Mahkamah Konstitusi, dan beberapa pelanggaran harus berakhir di pengadilan. Sementara instrumen Kalosara memungkinkan unyuk dapat digunakan sebagai media penyelesaian perselisihan secara damai, dengan biaya yang relatif murah.
Situasi sosial politik tersebut memerlukan solusi dalam bentuk kalosara untuk melakukan rekonsisliasi antara individu dan atau kelompok-kelompok sosial politik yang berkonflik. Kehadiran tokoh adat Tolaki sangat penting untuk tampil menjadi pelopor dari solusi konflik dengan menampilkan instrumen kalosara  sebagai media utama yang dapat diterima oleh kelompok yang bertikai atau kelompok lain yang ada di sekitarnya.
Contoh kasus: Perselisihan antara Guberur dengan salah seorang Bupati di Sultra. setelah berlangsung perselisihan kurang lebih satu tahun, kedua belah pihak masing-masing bertahan pada pendirian, gubernur menganggap dirinya harus dihormati karena poisisnya, sementara Bupati yang lebih tua usianya merasa sewajarnya dia dihormati oleh gubernur. di tengah-tengah kekhawatiran masyarakat akan keberlanjutan perselisihan tersebut, maka para tokoh masyarakat Tolaki melakukan musyawarah yang menyepakati untuk mengutus masing-masing satu orang perwakilan ke Gubernur dan satu orang ke Bupati. Perwakilan berusaha mencari titik temu secara damai, setelah melalui diskusi dari masing-masing mediator, akhirnya disepakati bahwa kedua belah pihak bersedia bertemua dan saling memaafkan, maka dirancanglah pertemuan di suatu rumah salah seorang tokoh masyarakat. Pertemuan dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat, setelah kedua belah pihak berada di tempat pertemuan, maka sebuah kalosara dalam ukuran besar diletakkan di tengah selanjutnya kedua belah pihak langsung saling merangkul dan menyatakan saling memaafkan. Sejak peristiwa ini, maka keduanya tidak lagi menyimpan dendam sampai saat ini.  

3.    Kasus Kawin Lari
Kasus kawin lari dimana keluarga perempuan melakukan tuntutan kepada keluarga pihak laki-laki dalam bentuk dendam yang mengarah kepada pembunuhan. Akan tetapi bagi masyarakat Tolaki, ketegangan pihak perempuan dapat diredam dengan membawakan kalosara. Jika kalosara dihadirkan dihadapan pihak keluarga perempuan, maka yang bersangkutan tidak bisa melakukan reaksi, jika dia tetap bereaksi maka akan diberikan sangsi adat dan akan dihukum secara fisik oleh segenap masyarakat setempat. Sebaliknya, jika ia menerima kehadiran kalosara,  maka keluarga pihak perempuan diberi kesempatan untuk mengajukan tuntutan sebagai solusi adat, berupa: 1 pis kain kaci dan 1 ekor kerbau sebagai peahala (denda) yang harus dibayar pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan.

4.    Kasus Pembunuhan
Kasus penyelesaian pembunuhan dapat diselesaikan dengan hukum Adat Tolaki yaitu adanya konsensus antara keluarga korban dengan pihak pelaku yang disaksikan oleh toono motuo, kapala kambo/kapala desa, pabitara untuk berdamai. Pelaku harus memenuhi permintaan keluarga korban dengan menghadirkan kalosara. Secara empiris  bahwa sesuai ketentuan adat bahwa pelaku harus menanggung denda berupa: (1) satu pis kain kaci sebagai perngganti pembungkus mayat, (2) ongkos pesta kematian, dan (3) satu ekor kerbau sebagai tanda berkabung. Diadakan perdamaian dengan jalan upacara mosehe yaitu upacara perdamaian antara keluarga korban dan keluarga pelaku dengan menghadirkan kalosara di hadapan kedua belah pihak.


5.    Kasus Tambang
Penemuan tambang nikel dan emas di beberapa wilayah Sulawesi Tenggara, menyebabkan masuknya berbagai perusahaan yang berusaha memiliki Kuasa Penambangan. Berbagai cara untuk memperoleh tanah sebagai wilayah penambangan diantaranya membeli tanah masyarakat setempat dengan harga yang murah, setelah itu secepatnya melakukan penambangan dengan jalan menggali tanah tanpa memperhatikan AMDAL, sehingga dalam waktu singkat para anggota masyarakat merasakan dampaknya. Misalnya: (1) nelayan tidak lagi dapat memperoleh ikan dalam radius tertentu dari pantai karena tercemar air pembuangan tambang yang langsung mengalir ke laut tampa adanya proses penyaringan, (2) akan terjadi kecemburuan sosial dalam jangka menengah dan pajang, melalui rekrutmen tenaga kerja umumnya dari luar, karena masyarakat sekitar kurang terampil dan pendidikan rendah, (3) belum ada pemikiran untuk memberdayakan masyarakat melalui pendidikan kepada generasi muda sekitar tambang dengan memanfaatkan dana CSR.
Kondisi ini merupakan suatu titik rawan di Sulawesi Tenggara, karena telah terbukti dirasakan dampaknya di berbagai wilayah di Nusantara. Untuk itu, bagi masyarakat Tolaki perlu memelihara peran pabitara (juru bicara adat) yang selalu hadir menjadi mediasi dalam berbagai permasalahan masyarakat dengan memanfaatkan istrumen kalosara.

F.   Penutup
Suku Tolaki yang mendiami jazirah Tenggara Pulau Sulawesi dalam dinamikanya memiliki instrumen adat yang mengatur segenap tata tingkah laku masyarakat yang disebut kalosara. Kalosara sebagai instrumen utama tata kehidupan masyarakat sampai di era sekarang ini masih eksis dipertahankan oleh segenap lapisan masyarakat, terutama dalam kehidupan sosial budaya. Dengan demikian seiring dengan perkembangan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan melahirkan berbagai permasalahan termasuk dalam tataran politik dan ekonomi, maka kehadiran kalosara sebagai instrumen solusi perlu dipertahankan dan dikembangkan.
Berbagai masalah telah terbukti berhasil diatasi melalui pemanfaatan kalosara. Masalah sengketa tanah, masalah politik, masalah perkawinan, dan masalah kriminalitas terbukti kehadiran kalosara sebagai solusinya. Pemanfaatan kalosara sebagai media solusi, dapat menjadi model bagi masyarakat lain, karena pilihan ini dapat berjalan dengan mudah dan biaya yang murah.
Peran pabitara selakau tokoh masyarakat Tolaki perlu dilestarikan dan dikembangkan untuk menjadi mediasi dalam penyelesaian berbagai masalah yang dihadapai masyarakat dengan memanfaatkan kalosara  sebagai instrumen utama.
  


DAFTAR PUSTAKA

Mazi, Ali. 2004. Peranan Nilai-nilai Budaya Lokal dalam Pelaksnaan Pembinaan Teritorial di Sulawesi Tenggara. Kendari.
Hafid, Anwar; Safar,  Misran. 2008. Kajian Pengembangan Kebudayaan di Kota Kendari: Kendari: Laporan Penelitian Kerja Sama FKIP Unhalu dengan Pemda Kota Kendari.   
Harsono, Boedi, 2007. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan.
Harsono, Boedi, 2007. Hukum Agraria Indonesia, sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.  
Idaman. 2012. Kalosara sebagai Medium Resolusi Konflik Pertanahan pada Masyarakat Tolaki Di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. http://idamanalwi.multiply.com/journal. Akses, 5 Oktober 2012
Karsadi, 2002. Sengketa Tanah dan Kekerasan di Daerah Transmigrasi: Studi Kasus di Lokasi Pemukiman Transmigrasi di Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara. Desertasi Doktor Sosiologi, PPS UGM Yogyakarta.
Kartodirdjo, Sartono, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya. Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.  
Sangadji, Arianto, 2000. PLTA Lore Lindu: Orang Lindu Menolak Pindah. Yogyakarta: Yayasan Tanah Merdeka, ED Walhi Sulawesi tengah dan Pustaka pelajar.
Scott, James C., 1985. Weapon of the Weak: Everyday of Peasant Resistance. New Haven and London: Yale University Press.
Siahaan, Hotman M., 1996. Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program TRI sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi. Surabaya: Disertasi Doktor Universitas Airlangga.
Soetrisno, Loekman, 1995. “Tanah dan Masa Depan Rakyat Indonesia di Pedesaan” dalam Tanah, Rakyat dan Demokrasi. Untoro Hariadi  dan Masruchah (eds). Yogyakarta: Forum LSM-LPSM.
Suhartono, 1995. Bandit-Bandit Pedesaaan di Jawa. Studi Historis 1850-1942. Yogyakarta: Aditya Media.
Sumardjono, Maria S.W., “Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya”, Kompas, Jakarta 2008.
Susetiawan, 2001. “Rekognisi sebagai Penyelesaian Konflik Pertanahan: Sebuah Tinjauan Pendekatan Pemberdayaan MasyarakatMasyarakat Indonesia. XXVII, No. 1. 2001.
Su’ud, Muslimin, 1986. Asas-Asas Hukum Adat Pertanahan Orang Tolaki. Kendari: Balai Penelitian Universitas Haluoleo.
Su’ud, Muslimin, 2008. Aneka Ragam Kebudayaan Tolaki. Kendari: Universitas Haluoleo.
Su’ud, Muslimin, 2012. Kompilasi Hukum Adat Perkawinan di Sulawesi Tenggara. Kendari: HISPISI Cabang Sultra.
Tarimana, Abdurrauf, 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.
Tauchid, Muhammad,  1952. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat. Djakarta: Tjakrawala.
 Tawulo, Asrul, 1991. Mondau Sebagai Sistem Perladangan Masyarakat Tolaki dan Pengaruhnya Terhadap Kelesatarian Sumber Daya Hutan di Kabupaten Kendari. Kendari: Balai penelitian Universitas Haluoleo.
 Tondrang, Azis, 2000. Peranan Kalosara dalam Pembentukan Karakter Masyarakat Tolaki. Unaaha: Makalah dalam Rangka Musyawarah Adat I Suku Bangsa Tolaki.
 Ubbe, Ahmad, et al., 1990. Monografi Hukum Adat Daerah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman R.I.



KALOSARA SEBAGAI INSTRUMEN UTAMA  DALAM KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA SUKU TOLAKI DI SULAWESI TENGGARA











Makalah
Disajikan dalam Prakongres Kebudayaan Indonesia di Jakarta,
Tanggal 27-29 November 2012











Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid
Dosen FKIP/PPs Universitas Haluoleo








BADAN PEKERJA KONGRES KEBUDAYAAN INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
2012




Tidak ada komentar:

Posting Komentar