EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN
SEJARAH BERMUATAN SEJARAH LOKAL DENGAN MEMANFAATKAN MEDIA TEKNOLOGI INFORMASI
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar, M.Pd.
A. Pendahuluan
Para ahli kurikulum mengajukan kritik terhadap pembelajaran
sejarah yang didominasi bahan hafalan,
lebih menekankan memorisasi dan mengabaikan usaha pengembangan kemampuan
intelektual yang lebih tinggi, serta tidak relevan dengan kebutuhan peserta
didik (Partington, 1980:
12). Meskipun kritik tersebut bertolak
dari kenyataan yang ada di Inggris, tetapi kelihatannya menurut Govinthasamy (2002: 31) juga berlaku di Indonesia. Guru sejarah kurang
mementingkan penerapan kemahiran berfikir kreatif dan kritis dalam pembelajarannya.
Di negeri ini, ilmu sejarah telah menjadi salah satu mata
pelajaran wajib dalam kurikulum, sejak sekolah dasar, namun pembelajaran
sejarah di banyak sekolah tidak lebih dari transfer ilmu guru ke siswa di dalam
kelas melalui komunikasi satu arah. Siswa hanya menjadi objek pasif yang
mempunyai kewajiban menghafal catatan yang didiktekan guru supaya bisa menjawab
soal-soal yang akan diujikan.
Metode pembelajaran sejarah semacam ini telah menjadikan
pelajaran sejarah membosankan, karena tidak memberikan sentuhan emosional,
siswa merasa tidak terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Metode pembelajaran
yang kaku berakibat buruk untuk jangka waktu panjang dan berpotensi memunculkan
generasi yang mengalami "amnesia sejarah" yaitu melupakan sejarah
bangsa sendiri.
Pembelajaran sejaran di sekolah hanya sebagai rangkaian
fakta-fakta yang berupa urutan tahun, tokoh dan peristiwa belaka yang jauh dari
lingkungan sosial peserta didik, terutama di luar Jawa, karena selama ini
materi kurikulum didominasi peristiwa sejarah di Pulau Jawa, sementara
peristiwa dan peran tokoh di daerah lain yang tidak sedikit dan tidak kalah
pentingnya termasuk di Sulawesi Tenggara tidak pernah diajarkan. Materi
pembelajaran sejarah yang diberikan kepada peserta didik SD hingga SLTA tidak
berbeda. "Proklamasi kemerdekaan RI dan Perang Diponegoro,
misalnya, dipelajari dari SD hingga SLTA, sehingga membosankan.
Pemebelajaran sejarah perlu diberikan dengan lebih hidup
kepada peserta didik. Mereka tidak cukup dijejali kesibukan kognitif, menghafal
pengetahuan lewat fakta-fakta yang sudah mati pada masa lalu, yang dilanjutkan
dengan pertanyaan siapa, dimana, dan kapan sebagaimana banyak terjadi selama
ini. Model pembelajaran sejarah perlu diarahkan untuk memahami fenomena masa
lalu dalam berbagai aspeknya agar dapat menjelaskan persoalan pada masa kini.
Pembelajaran sejarah perlu mengaitkan antara peristiwa sejarah yang satu dengan
peristiwa lainnya, karena tidak ada peristiwa sejarah yang berdiri sendiri,
sehinga peserta didik akan lebih arif dan bijaksana dalam bertindak. Dengan
demikian, pembelajaran sejarah menjadi lebih hidup dan guru sejarah tidak hanya
memberikan pengetahuan fakta, melainkan mengajak siswa melihat dalam konteks
zaman lalu dikaitkan dengan masa kini dan masa yang akan datang. Pelajaran dari
peristiwa masa lalu yang sudah menjadi anasir-anasir sejarah dapat digunakan
dalam memaknai hidup yang tengah berjalan demi kemajuan pada masa depan.
Salah satu usaha pengembangan pembelajaran sejarah adalah
dikembangkannya suplemen kurikulum muatan lokal atau Kurikulm Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Inti muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan
media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial,
lingkungan budaya, dan kebutuhan daerah, serta wajib dipelajari oleh siswa di
daerah itu.
Hasil Penelitian
Sayono (2001) menunjukkan perlunya penyempurnaan kurikulum pembelajaran
sejarah dengan menempatkan sejarah lokal sebagai bahan ajar. Hal ini untuk
menghindarkan siswa tercabut dari akar sosio-kulturalnya, karena materi sejarah
yang paling dekat dengan kondisi psikologis siswa adalah sejarah lokal.
Kedudukan sejarah lokal sangat urgen dalam pembelajaran sejarah, dan diharapkan
ada kesinambungan dalam pemikiran siswa agar dapat merasa bahwa diri dan
lingkungannya merupakan bagian dari kehidupan yang lebih luas yakni negara
kesatuan Republik Indonesia
Tujuan penerapan sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah
di sekolah adalah (1) bahan belajar akan
lebih mudah diserap siswa, (2) sumber belajar di daerah dapat lebih mudah
dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, (3) siswa lebih mengenal kondisi
lingkungan, (4) siswa dapat meningkatkan pengetahuan mengenai daerahnya, (5)
siswa dapat menolong diri dan orang tuanya dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya, (6) siswa dapat menerapkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah
yang ditemukan di sekitarnya, dan (7) siswa menjadi akrab dengan lingkungannya
(Widja, 1989).
Mencermati perkembangan masyarakat yang begitu kompleks, maka perlu kurikulum berwawasan lokal berstandar Internasional, karena perkembangan
kurikulum sejarah tidak terlepas dari faktor eksternal dan internal. Kurikulum
nasional yang disusun berdasarkan kompetensi dasar dalam bentuk Standar
Internasional, akan memberikan peluang luas kepada daerah untuk mengembangkan
muatan lokal dalam pembelajaran sejarah, sesuai dengan ciri khas masing-masing
daerah. Dalam mengembangkan kurikulum bermuatan sejarah lokal dapat dikemas
dengan cara menjabarkan dan menambah bahan kajian dari KTSP mata pelajaran
sejarah.
Pengembangan pembelajaran sejarah bermuatan lokal perlu
pula mencermati arah materi sejarah yang bersifat Indonesia sentris, arah gerak
sejarah Bangsa Indonesia yang semula ditentukan oleh kaum elit/penguasa, menuju
ke gerak sejarah yang tidak hanya ditentukan oleh kaum penguasa, tetapi oleh
rakyat Indonesia. Dalam menghadapi tantangan pembelajaran sejarah yang demikian
itu, peran guru sejarah benar-benar menentukan selain sebagai pelaksana
kurikulum dan pengembang kurikulum sejarah, juga harus mampu melakukan
pengkajian sejarah lokal di sekitar tempat tugasnya. Akhirnya, pembelajaran
sejarah benar-benar bisa memberikan kearifan hidup bagi peserta didik.
B.
Pengkajian Sejarah Lokal dalam Rangka Pembelajaran
Sejarah
Istilah pengkajian sejarah lokal adalah penulisan
sejarah dalam lingkup yang terbatas meliputi suatu lokasi tertentu. Selain
istilah ”sejarah lokal” juga sering digunakan istilah “sejarah daerah”, namun
sejarah daerah kurang tepat digunakan karena istilah “daerah” bisa berkonotasi
politik, terutama dalam imbangan antara “daerah” dengan “pusat”, penggunaan
istilah itu, juga bisa mengabaikan konsep etniskultural sesungguhnya dan lebih
mencerminkan unit lokasi suatu perkembangan sejarah (Abdullah, 1985). Mungkin
istilah neighborhood yang diartikan
Jordan (1968) sebagai rangkaian peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar
dapat diterima dalam rangka pengkajian sejarah lokal untuk kepentingan
pembelajaran sejarah.
Perlunya kajian sejarah lokal karena untuk
mengetahui kesatuan yang lebih besar, bagian yang lebih kecil pun harus
dimengerti dengan baik. Seringkali hal-hal yang ada di tingkat nasional baru
bisa dimengerti dengan baik, apabila kita mengerti dengan baik pula
perkembangan di tingkat lokal. Pengembangan penulisan yang bersifat nasional
selama ini, sering kurang memberi makna bagi orang-orang tertentu, terutama
yang terkait dengan sejarah wilayahnya sendiri (Lapian, 1980). Banyak bagian
sejarah bangsa Indonesia, bukan saja tidak pernah dihayati, tetapi juga tidak
pernah dibayangkan karena kurangnya informasi tentang peristiwa itu, sehingga ada
begian-bagian sejarah daerah kita sendiri yang luput dari masyarakat pembaca
sejarah. Sebagai contoh keterbatasan pengetahuan orang-orang (bahkan yang
berasal dari daerah itu sendiri) tentang peranan penting serta perkembangan
detail dari kerajaan-kerajaan seperti Aceh, Wolio, Wuna, Konawe, Mekongga, dan
Laiwoi. Ataupun arti penting serta detail dari bentuk-bentuk pemerintahan yang
pernah berkembang di Indonesia seperti yang terdapat di Pulai Kei (Lurlim dan
Ursiw), di Minangkabau dengan Kota Piliang, Barata di Wuna dan Buton, serta
Pitu Dula Batu di Kerajaan Konawe, perlawanan rakyat Kolaka dan Kendari melawan
Sekutu dan Belanda yang mencapai puncaknya pada saat peristiwa 19 November
1945. Rangkaian peristiwa tersebut belum banyak ditulis sehingga tidak dipahami
masyarakat di Sulawesi Tenggara. Masih banyak lagi bisa dipakai contoh tentang
kasus-kasus objek studi sejarah lokal yang tidak begitu dikenal di lingkungan
masyarakat Indonesia. Dengan demikian, kepentingan mempelajari sejarah lokal,
pertama-tama adalah untuk mengenal berbagai peristiwa sejarah di wilayah
terdekat dengan lebih baik dan lebih bermakna.
Sejalan dengan itu, Lapian (1980) menunjukkan
kepentingan lebih lanjut dari kajian secara lokal, yaitu: “untuk bisa
mengadakan koreksi terhadap generalisasi-generalisasi yang sering dibuat dalam
penulisan sejarah nasional”. Sebagai ilustrasi masalah generalisasi yang
menyangkut periodisasi sejarah Indonesia yang sering diberi istilah Zaman
Hindu. Pada kenyataannya ada daerah-daerah yang tidak mengenal periode zaman
Hindu (seperti Sangir-Talaud, Sewu, Rote, dan Wilayah Sulawesi Tenggara). Ada
pula daerah-daerah yang sampai sekarang masih berpegang pada Hinduisme (seperti
Bali, dan sebagian Lombok). Di sini juga tampak bahwa pengembangan penulisan
sejarah lokal akan memberikan bahan pengecekan terhadap anggapan teoritis yang
bersifat menggeneralisasikan masalahnya untuk seluruh Indonesia.
Ada beberapa aspek positif dalam
pembelajaran sejarah lokal, baik yang bersifat edukatif psikologis maupun yang
bersifat kesejarahan sendiri. Pertama, mampu
membawa peserta didik pada situasi ril di lingkungannya dan mampu menerobos
batas antara dunia sekolah dan dunia nyata di sekitar sekolah. Dilihat secara
sosio-psikologis bisa membawa peserta didik secara langsung mengenal dan
menghayati lingkungan masyarakatnya, dimana mereka merupakan bagian di dalamnya
(Douch, 1967; Mahoney, 1981).
Kedua,
pembelajaran sejarah lokal, akan lebih mudah membawa siswa pada usaha untuk
mengenang pengalaman masa lampau masyarakatnya dengan melihat situasi masa
kini, bahkan dapat memproyeksikan
peluang dan tantangan pada masa yang akan datang. Dalam pembelajaran
sejarah lokal peserta didik akan mendapatkan banyak contoh dan pengalaman dari
berbagai tingkat perkembangan lingkungan masyarakatnya, termasuk situasi masa
kini. Dengan demikian, mereka akan lebih mudah menangkap konsep perubahan yang
menjadi kunci penghubung antara masa lampau, masa kini, dan masa yang akan
datang.
Kalau dihubungkan dengan teori J.
Bruner maupun dalam hubungan dengan konsep-konsep pendekatan proses, maka
pembelajaran sejarah lokal sangat mendukung prinsip pengembangan kemampuan
peserta didik untuk berpikir aktif, kreatif dan struktural konseptual. Hampir
semua prinsip dalam rangka pembelajaran siswa aktif sangat relevan dengan kegiatan pembelajaran
yang bermuatan sejarah lokal. Sesuai dengan sifat materi serta sumber sejarah
lokal, maka peserta didik akan terdorong untuk menjadi lebih peka lingkungan,
begitu juga mereka akan lebih terdorong mengembangkan keterampilan-keterampilan
khusus seperti: mengobservasi, teknik bertanya atau melakukan wawancara,
mengumpulkan dan menyeleksi sumber, mengadakan klasifikasi serta
mengidentifikasi konsep, bahkan membuat generalisasi, kesemuanya itu mendorong
bagi perkembangan proses belajar bersifat discovery
inquiry.
Jika dihubungkan dengan pendekatan
kurikulum yang bersifat integratif beberapa mata pelajaran menjadi satu
kelompok, dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), maka melalui pembelajaran
bermuatan sejarah lokal nampaknya integrasi itu akan lebih mudah diwujudkan.
Secara bersama-sama mata pelajaran ekonomi, geografi, sejarah dan sosial budaya
dalam sutu lokasi tertentu sulit dipisahkan dengan tegas. Semua unsur kelompok
mata pelajaran ini saling terkait dan menjelma dalam wujud kehidupan nyata dari
masyarakat secara keseluruhan (Berry dan Schug, 1984).
Pembelajaran bermuatan sejarah lokal
mengharapkan peserta didik maupun guru harus berhubungan dengan sumber-sumber
sejarah, baik yang tertulis maupun informasi lisan, baik berupa dokumen maupun
benda-benda seperti: bangunan, alat-alat, peta dan sebagainya yang mula-mula
harus dikumpulkan, kemudian dikritik serta diinterpretasikan sebelum bisa
digunakan sebagai bahan pembelajaran sejarah lokal. Untuk itu, guru sejarah
perlu suatu persiapan khusus sebelum pembelajaran bermuatan sejarah lokal bisa
dilaksanakan secara efektif.
Kesulitan lain adalah memadukan
tuntutan pembelajaran sejarah lokal dengan tuntutan penyelesaian target materi
yang telah tertulis dalam kurikulum. Pada umumnya dalam kurikulum sudah
ditentukan sejumlah materi dan pokok-pokok bahasan yang harus diselesaikan
sesuai dengan alokasi waktu yang sudah ditentukan dengan ketat. Dengan demikian
guru akan mengalami dilema antara memenuhi tuntutan kurikulum dengan usaha pengembangan
pembelajaran bermuatan sejarah lokal yang memerlukan waktu yang relatif banyak,
baik untuk persiapan maupun untuk pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang
dilakukan di luar kelas.
Terkait dengan permasalahan tersebut,
Douch (1967) mengemukakan tiga model pembelajaran sejarah lokal. Pertama, guru sejarah hanya mengambil
contoh-contoh dari kejadian lokal untuk memberi ilustrasi yang lebih hidup dari
uraian sejarah nasional maupun sejarah dunia yang sedang diajarkan. Di sini
jelas tidak akan ada masalah bagi usaha yang mengaitkan sejarah lokal dengan
kurikulum pembelajaran sejarah yang berlaku, karena tidak ada pengambilan
alokasi waktu yang sudah disediakan dan tidak ada kegiatan khusus di luar kelas
yang harus dilakukan guru dan peserta didik.
Kedua, dilakukan dalam bentuk kegiatan penjelajahan
lingkungan. Dalam bentuk ini peserta didik selain belajar sejarah di kelas,
juga diajak ke lingkungan sekitar sekolah untuk mengamati langsung
sumber-sumber sejarah dan mengumpulkan data sejarah. Aspek-aspek yang diamati
tidak semata-mata berupa sejarah dalam urutan-urutan peristiwa, tetapi juga
berbagai aspek kehidupan yang terkait seperti geografi, sosial ekonomi, dan
sosial budaya.
Ketiga, studi khusus tentang berbagai aspek kesejarahan di
lingkungan peserta didik. Peserta didik diorganisir untuk mengikuti prosedur
seperti yang dilakukan peneliti profesional, mulai dari pemilihan topik,
membuat perencanaan, cara membuat analisis data sampai penyusunan laporan hasil
studi.
Diantara tiga pilihan tersebut, akan lebih bijak jika
dipilih model kedua, karena selain tidak mengganggu materi yang telah ada dalam
kurikulum, juga dapat meningkatkan partisipasi siswa dan mendorong siswa untuk
lebih kreatif dan inovatif, serta bangga terhadap lingkungan sosialnya. Persoalannya
sekarang, sejauh mana guru sejarah mampu merancang kegiatan pembelajaran yang
dapat mengaitkan dengan peristiwa sejarah lokal. Selama ini sumber-sumber
sejarah lokal masih terbatas yang diungkap secara tertulis, jika ada itu
umumnya ditulis oleh sejarwan amatir, sementara sejarawan profesional hanya
senang berdebat persoalan metodologi yang juga sudah ketinggalan zaman,
sehingga cuplikan-cuplikan sejarah yang sempat ditulis juga tidak dapat
memuaskan banyak pihak. Di sisi lain, jika kajian sejarah lokal dapat dilakukan
secara profesional dengan mengadaptasi metodologi penelitian sosial modern
dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah.
Seperti, hasil kajin Sejarah Kota Kendari yang dilakukan Tim dari FKIP Unhalu
berhasil mengungkap hari lahir Kota Kendari 9 Mei 1832, demikian pula
penelitian Sejarah Kolaka yang dilakukan oleh Tim yang sama berhasil mengungkap
beberapa fakta baru diantaranya rangkaian peristiwa 19 November 1945 yang
merupakan puncak perjuangan rakyat Sulawesi Tenggara dalam mempertahankan
kemerdekaan melawan sekutu dan Belanda sekaligus dapat memperkaya muatan
sejarah nasional Indonesia. Dua kajian terakhir telah menjadi acuan bagi
pemerintah dan masyarakat, utamanya guru sejarah dalam pembelajaran di sekolah
mulai SD sampai dengan SMA.
C.
Pengembangan Strategi Pembelajaran Sejarah
Agar pembelajaran sejarah berhasil baik, metode yang
digunakan harus bisa mengkonstruk "ingatan historis" yang disertai
dengan "ingatan emosional". Metode pembelajaran satu arah yang ada
selama ini hanya akan mengkonstruk "ingatan historis". Siswa
menjadikan sejarah hanya sebagai fakta-fakta kering yang bersifat hafalan tanpa
adanya ketertarikan dan minat untuk memaknainya, apalagi menggali lebih jauh.
Supaya ingatan "historis" bisa bertahan lama, maka perlu disertai
"ingatan emosional", yaitu ingatan yang terbentuk dengan melibatkan
emosi hingga bisa menumbuhkan kesadaran dalam diri siswa untuk menggali lebih
jauh dan memaknai berbagai peristiwa sejarah. Proses pembelajaran kemudian
tidak hanya berhenti pada penghafalan saja, tetapi siswa bisa aktif dalam
komuniasi dua arah dengan guru untuk menyampaikan pendapatnya mengenai objek
sejarah yang tengah dipelajari karena sejak awal ia telah merasa menjadi bagian
dari proses pembelajaran. Di sinilah urgensinya kajian sejarah lokal dalam
pembelajaran sejarah.
Kegiatan pembelajaran bermuatan
sejarah lokal merupakan bagian dari pendekatan CTL (Contextual Teaching and
Learning). Melalui pendekatan ini
proses pembelajaran menempatkan lingkungan sosial sebagai sumber belajar
potensial (Johnson, 2006), termasuk di dalamnya aspek-aspek historis dalam
lingkungan sehari-hari peserta didik. Penggunaan
peta sejarah sebagai bagian dari CTL secara empiris menurut Ismail (2001) dapat
meningkatkan motivasi siswa dalam pembelajaran sejarah. Implementasi CTL
dapat dilakukan dengan menggunakan metode inquiri. Pemanfaatan metode inquiri
dalam pembelajaran sejarah dapat meningkatkan pencapaian hasil belajar sejarah
dan dapat meningkatkan sikap positif siswa terhadap mata pelajaran sejarah dan
pembelajaran sejarah (Mahmud, 2008).
Pembelajaran kooperatif merupakan suatu bentuk pembelajaran
dalam kelompok kecil untuk bekerja sama sesama siswa (Heinich, 1990), dan dapat
meningkatkan motivasi serta prestasi belajar siswa (Anglin, 1995). Untuk
mencapai hasil yang maksimal dalam pembelajaran kooperatif, maka ada lima unsur
yang harus diterapkan, yaitu: (1) saling ketergantungan positif, (2) tanggung
jawab terhadap tugas dan kegiatan belajar, (3) terjadi tatap muka tidak harus
di kelas, (4) komunikasi antar anggota, dan (5) evaluasi proses kinerja
kelompok (Lie, 2002). Hasil uji coba melalui eksperimen menunjukkan bahwa
strategi pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar sejarah
(Mursidin, 2005).
Penggunaan model pembelajaran cooperative learning merupakan salah satu alternatif yang dapat
dilaksanakan oleh guru dalam memberdayakan siswa secara aktif dalam menggali
muatan sejarah lokal ke dalam pembelajaran sejarah. Model cooperative learning ini mampu menempatkan siswa sebagai subjek
dalam mengungkap episode-episode sejarah lokal. Karena pada dasarnya cooperative learning adalah menggali
potensi yang sebenarnya sudah dimiliki oleh masing-masing siswa. Untuk
mendukung kondisi tersebut, guru memegang peranan penting dalam menciptakan
suasana kelas yang `dapat memberikan keleluasaan dalam belajar dan mendorong
siswa mengembangan potensi berpikirnya. Penggunaan model cooperative learning ini menempatkan guru sebagai fasilitator,
motivator, mediator dan evaluator dalam upaya membantu siswa mengembangkan
keterampilan sosial dan kemampuan berpikir kritis, agar ia mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya, mampu bekerjasama dengan orang lain, dan mampu untuk
berinteraksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Pembelajaran sejarah lokal dapat divariasikan dengan media Teknologi
Informasi, dan Komunikasi (TIK) seperti: komputer/internet dan modul elektironik
yang secara empiris menunjukkan produktivitas hasil belajar
sejarah yang tinggi dan dapat mengaplikasikan pelbagai teori dan strategi
pembelajaran terutama pembelajaran kooperatif (Mohamad, 2002: 21; Alias, 2008:
135).
Kunjungan ke situs
sejarah (metode karyawisata) bisa dikatakan sebagai salah satu metode yang
dapat menimbulkan "ingatan emosional". Setelah siswa diberikan
fakta-fakta sejarah untuk mengkonstruk "ingatan historis" dalam
kelas, ingatan emosionalnya dapat tergali berkat kunjungan ke situs-situs
sejarah. Selain metode karyawisata, beberapa metode alternatif dalam kaitannya
dengan modifikasi pembelajaran sejarah perlu dikembangkan. Salah satu metode
yang bisa diterapkan adalah pemanfaatan media audiovisual. Pemutaran film
dokumenter, semidokumenter, dan film layar lebar yang berlatar sejarah. Setelah
menonton film, siswa akan termotivasi menggali lebih jauh lagi "sejarah"
yang terdokumentasikan atau yang dibuat versi layar lebar. Seorang siswa yang
usai menonton film “Peran Tokoh Haluoleo”, atau “Peristiwa 19 November 1945 di
Kolaka” misalnya, maka ia akan termotivasi untuk mengetahui lebih lanjut peran
tokoh dan makna historis yang dapat dikembangkan di era sekarang dan masa yang akan datang.
D.
Pengembangan dan Pemanfaatan Media Teknologi
Informasi dalam Pembelajaran Sejarah
Berkaitan model pembelajaran sejarah bermuatan
sejarah lokal, maka perlu pengembangan media berbasis teknologi informasi untuk
merangsang siswa. Seharusnya guru tidak terpaku pada buku ajar, tetapi harus
mengembangkan media yang mengintegrasikan sejarah lokal. Sebab karakteristik
setiap sekolah berbeda sesuai dengan arah KTSP berupa keragaman. “Tidak mungkin
menggunakan satu buku/media untuk seluruh sekolah di Indonesia. Guru harus mampu mengembangkan
materi dalam dimensi kekinian dengan mendekatkan materi pembelajaran sesuai
dengan kebutuhan dan kedekatan masalah peserta didik. Pengembangan strategi
pembelajaran yang mengedepankan aktivitas siswa merupakan upaya inovatif
pembelajaran sejarah.
Pengadaan media TIK untuk kegiatan
pembelajaran bisa saja berasal dari sekolah itu sendiri atau dari pihak lain.
Pada dasarnya tidak menjadi masalah dari manapun asalnya media TIK yang sampai
di sekolah. Lebih penting lagi adalah bagaimana menyiasati agar media TIK yang
telah tersedia di sekolah dapat dioptimalkan pemanfaatannya bagi kepentingan
pembelajaran peserta didik. Beberapa contoh media TIK yang mulai banyak
tersedia di pasaran adalah CD/kaset audio, VCD, dan internet. Timbul
pertanyaan, mengapa menggunakan media TIK. Jawabnya: Menghemat waktu proses pembelajaran, melatih
pembelajar lebih mandiri dalam mendapatkan ilmu pengetahuan (http://www.docstoc.com/docs/
20430018/).
Sehubungan dengan semakin maraknya ketersediaan
media TIK untuk kegiatan pembelajaran, baik di pasaran, yang diadakan sekolah
sendiri maupun yang diterima sekolah dari berbagai pihak, maka sebelum
memanfaatkannya di dalam kelas, beberapa tips berikut ini perlu kiranya
mendapatkan perhatian:
1. Mempelajari Materi Pembelajaran yang Dikemas dalam Media TIK
Akibat kemajuan TIK dewasa ini, para guru dapat
mencatat daftar websites yang memang memuat materi pelajaran yang berkaitan
dengan materi pelajaran yang akan dibahas di dalam kelas. Tidak hanya mencatat
website-nya tetapi juga materi pelajaran yang dikandung di dalamnya. Penugasan
peserta didik mengakses websites tertentu hendaknya dilakukan guru secara
terencana. Demikian juga dengan alokasi waktu bagi peserta didik untuk
mengerjakan tugas yang diberikan.
Jika di sekolah telah tersedia perangkat
komputer dan akses ke internet, maka guru dapat menugaskan para peserta
didiknya untuk mengunjungi websites yang dimaksudkan. Tidak hanya sekedar
mengunjungi websites tertentu saja, tetapi para peserta didik juga ditugaskan
untuk mendiskusikan materi pelajaran yang dikemas di dalamnya.
Mengakses websites tertentu yang ditugaskan
guru dapat saja dilakukan peserta didik di luar jam pelajaran sekolah atau
selama peserta didik masih berada di sekolah. Apabila selama berada di
lingkungan sekolah, peserta didik dapat saja mengakses websites yang ditugaskan
guru di lab komputer. Peserta didik akan merasa lebih leluasa melaksanakan
tugas yang diberikan guru apabila ada jam pelajaran kosong. Atau,
setidak-tidaknya ada satu jam pelajaran yang diperuntukkan guru kepada peserta
didik untuk mengakses websites dan mendiskusikan materinya. Tentunya akan lebih
baik lagi apabila peserta didik melaksanakan tugas di luar jam pelajaran
sekolah.
2. Merencanakan Waktu Pemanfaatan
Media TIK
Ada sebagian guru yang membawa media TIK atau
media pembelajaran ke dalam kelas dan kemudian memanfaatkannya ketika dirinya
merasa memerlukannya. Artinya, pemanfaatan media pembelajaran dilakukan sesuai
dengan keinginannya.
Pemanfaatan media dalam kegiatan pembelajaran
dilakukan secara terencana dan terintegrasi dalam jadwal pelajaran sekolah.
Sebagai contoh guru yang akan memanfaatkan media CD atau VCD dalam kegiatan
pembelajaran. Setelah mempelajari materi yang dikandung di dalam CD/VCD, maka
guru tahu persis kapan materi tersebut akan dibahas bersama peserta didiknya.
Dalam kaitan ini, guru dituntut membuat perencanaan pemanfaatannya. Berbagai
topik program media yang terdapat dalam CD/VCD telah terlebih dahulu dipelajari
guru sehingga dapat diintegrasikan dengan jadwal pelajaran sekolah, baik hari
maupun waktunya. Dengan adanya perencanaan ini, maka peserta didik dapat dikondisikan
agar peserta didik mempersiapkan diri dan fasilitas yang mereka perlukan
sebelum kegiatan pemanfaatan media dilakukan. Demikian juga kesiapan guru itu
sendiri, baik dalam mempelajari materi pelajaran yang dikemas di dalam media CD
atau VCD maupun dalam mempersiapkan fasilitas yang dibutuhkan guru.
3. Mengkomunikasikan Rencana Pemanfaatan Media TIK kepada Peserta Didik
Ada 2 alasan mengapa dinilai penting
mengkomunikasikan rencana pemanfaatan media TIK kepada peserta didik adalah
agar peserta didik dapat mempersiapkan (a) dirinya untuk mempelajari materi
pelajaran yang akan disajikan melalui media TIK dan (b) fasilitas yang
diperlukan untuk mengikuti kegiatan pembelajaran melalui media TIK. Dari sisi
guru, ada tuntutan agar guru lebih (a) mempersiapkan dirinya mengenai materi
pelajaran yang akan dibahas, (b) mempersiapkan fasilitas yang dibutuhkan (dalam
kondisi baik) agar tidak menjadi hambatan sewaktu pemanfaatan media TIK
dilaksanakan, dan (c) mempersiapkan ruangan yang akan menjadi tempat pemanfaatan
media TIK (Siahaan, 2011).
Menurut Wahap (2000) yang mampu melakukan itu semua
adalah guru yang mempunyai latar pendidikan sejarah dan memiliki pengalaman
pelatihan dalam aspek media, metode dan materi pembelajaran sejarah. Akhirnya, guru sejarah harus memiliki latar
belakang pendidikan sejarah dan perlu diberi pelatihan tentang media dan metode
pembelajaran sejarah sehingga hasil pembelajarannya efektif dan efisien.
E.
Penutup
Berbagai kelemahan yang ditemukan dalam pembelajaran
sejarah selama ini, salah satu penyebabnya karena materi yang diajarkan tidak
ada kaitannya dengan lingkungan sosial siswa. Materi pembelajaran terkesan
cerita tentang tokoh, peristiwa, dan tahun yang jauh dari lingkungan siswa.
Untuk itu, integrasi sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah merupakan suatu
keharusan untuk melibatkan siswa dalam proses pembelajaran, sehingga dapat
memberi makna dan kesadaran kepada peserta didik. Demikian pula penggunaan
pendekatan, metode, dan media pembelajaran yang bervariasi sangat diperlukan
untuk memperoleh hasil yang optimal. Guru sejarah selain harus mampu membuat
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, juga dituntut kemampuan untuk
melakukan pengkajian sejarah lokal di sekitar peserta dididknya yang dapat
dijadikan bahan belajar di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T. dkk. 1999. Membangun Masyarakat Madani Menuju Indonesia Baru Milenium ke-3. Yogyakarta:
Aditya Media.
Alias, R. 2008. “Penghasilan Bahan Pengajaran dan Pembelajaran Berbantukan Komputer
Bertajuk Sejarah dan Kita, Petempatan Awal di Negara Kita, Parameswara dan
Pengasasan Melaka”. http://akademik.ukm.my/eda/
projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118,
Akses, 8 Mei 2008.
Anglin, G.J. 1995. Instructional Technology, past, presnt, and future. Englewood,
Colorado: Libraries Unlimited, Inc.
Berry, R and Schug, M.C. 1984. “Young People and
Community”. Dalam Commonity Study: Aplications
and Opportunities. Washington: National Council for the Social Studies.
Douch, R.1967. Local
History an the Teacher. London: Rout-ledge & Kegan Paul.
Govinthasamy, B.A. 2002. “Penilaian
Perlaksanaan Kemahiran Berfikir Cecara Kreatif dan Kritis (KBKK) dalam Mata
Pelajaran Sejarah KBSM Tingkatan 4. Satu Kajian di Daerah Tampin dan Rembau
Negeri Sembilan”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=
c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118, 8 Mei 2008.
Heinich, R. Et all. 1990. Instructional and the New Technologies of Instruction. New York:
Macmillan Publishing Company.
http://www.docstoc.com/docs/20430018/PEMBELAJARAN-BERAZAS-MEDIA-TEKNOLOGI-INFORMASI.
akses, 2 Maret 2011
Johnson, E.B. 2006. Contextual
Teaching and Learning. Bandung: Mizan Media Utama.
Jordan, P.D.1968. The Nature and Practice of State and Local History. Washington:
Amaerican Historical Association.
Lapian, A.B. 1980. “Memperluas Cakrawala melalui
Sejarah Lokal” dalam Majalah Prisma. No.
8 Tahun IX. Jakarta: LP3ES.
Lie, Anita. 2002. Cooperatif
Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta:
Grasindo.
Mahoney, J. 1981. Local History: A Guide for Research and Writing. Washington DC:
National Education Association.
Mohamad, M. 2002. “Pembinaan dan Perlaksanaan Modul Pembelajaran Mengenai Web
yang Disepadukan dengan Subjek Sejarah Dunia Tajuk Tamadun Awal Manusia”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118,
8 Mei 2008.
Mursidin, T. 2005. “Pengaruh Strategi Pembelajaran
dan Konsep Diri terhadap Hasil Belajar Sejarah”. Disertasi: Jakarta: Program Pascasarjana UNJ. Tidak diterbitkan.
Partington, G. 1980. The Idea of an Historical Education. Avon: NFER Publishing Company.
Sayono, J. 2001. “Sejarah Lokal Kontemporer: Urgensinya Sebagai
Muatan Lokal di Sekolah-Sekolah Lanjutan” dalam Jurnal Sejarah Kajian dan Pengajarannya. Tahun 6, Nomor 2, September 2001.
Siahaan, Sudirman. 2011. Tips bagi Guru dalam Memanfaatkan
Media Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk Pembelajaran.
http://cobaberbagi.wordpress.com
/2010/01/25/. Akses, 2 Maret 2011
Wahap, W. 2008. “Penggunaan Penyoalan Lisan di Kalangan Guru Sejarah
di Sekitar Bandar Sibu, Sarawak”. http://akademik.ukm.my/eda/projekge6553/sejarah.htm?PHPSESSID=c37f30694e4dc4095e3e7579e8a73e44#118,
8 Mei 2008.
Widja, I.G. 1999. Sejarah Lokal suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta:
Depdikbud.
PERANAN SEJARAH LOKAL DALAM
MENINGKATKAN EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SEJARAH
MELALUI PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid,
M.Pd.
Guru Besar dalam Bidang Pendidikan Sejarah pada Program
Studi Pendidikan Sejarah
FKIP Universitas Haluoleo
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar