ANALISIS
FUNGSI KALOSARA SEBAGAI MEDIA ETNOPEDAGOGI DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA DI
SULAWESI TENGGARA
Oleh: Prof. Dr. H.
Anwar Hafid, M. Pd.
Dosen Program Studi Pendidikan
Sejarah FKIP Universitas Halu Oleo
A.
Pendahuluan
Setiap
suku bangsa berusaha memberikan pembelajaran kepada generasinya yang bertujuan
untuk melestarikan budaya mereka, dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Untuk dapat mempertahankan masyarakat sebagai kesatuan fungsional, harus selalu
diadakan training bagi para anggota
baru untuk dapat menempati posisi-posisi khusus dalam masyarakat. Para anggota
masyarakat harus dibagi-bagi dalam berbagai kategori, dan setiap kategori harus
dididik untuk melakukan berbagai macam hal. Masyarakat juga harus mengembangkan
pola-pola tingkah-laku yang harus dilakukan individu dalam menghadapi situasi
tertentu. Dengan adanya pola-pola semacam ini,
maka muncul garis pegangan untuk memberikan training bagi individu. Dalam cultural
continuum ada perwjudan baru yang ditambahkan, dan ada perwujudan lainnya
yang dilepaskan (Linton 1984).
Pendidikan pada dasarnya berbasis sosial budaya berupa
kegiatan pembelajaran yang didasarkan pada unsur-unsur budaya yang ada pada
masyarakat setempat oleh Koentjaraingrat (1981) diidentifikasi seperti: sistem
religi dan upacara keagamaan, sistem organsisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem
teknologi dan peralatan.
Proses
pembelajaran dalam bidang kebudayaan dikenal ada tiga istilah: discovery, invention, dan diffusion. Discovery adalah setiap penambahan
pengetahun, invention adalah sebuah
penggunaan baru daripada pengetahuan, diffusion
adalah transfer unsur-unsur kebudayaan dari suatu masyarakat ke masyarakat
lainnya.
Menurut
Linton (1984) lima puluh tahun yang lalu perempuan dari golongan menengah
rata-rata hanya bercita-cita untuk menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga,
maka seorang perempuan hanya mendapatkan training
untuk menghadapi perkawinan. Hal ini berbeda dengan sekarang beberapa orang
perempuan sebagai perorangan, memutuskan untuk bekerja di luar rumah (di
kantor).
Setiap
kebudayaan merupakan sebuah formasi yang bagian-bagiannya saling menyesuaikan.
Gejala saling menyesuaikan antara unsur-unsur kebudayaan ini disebut integration. Proses integrasi merupakan
perkembangan progresif dalam rangka mewujudkan persesuaian yang sempurna antara
berbagai unsur yang secara bersama mewujudkan budaya sempurna (total culture). Linton (1984) memberi
contoh terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat Suku Tanala di
Madagaskar sebagai akibat masuknya sistem teknologi bersawah, yang sebelumnya
mereka hanya mengenal sistem penanaman padi ladang.
Kebudayaan
merupakan suatu proses belajar. Misalnya dalam kesenian, manusia terus-menerus
mencari bentuk-bentuk ekspresi baru. Dalam bidang religi manusia berusaha untuk
menanggapi kekuasaan ilahi dengan simbol bahasa, tanda-tanda dan perbuatan yang
terus menerus diperbaharuinya. Meskipun demikian melalui kebudayaan tidak
selalu menghasilkan yang positif. Melalui trial
and error, kita menjadi bijaksana, namun dapat juga terjadi sebaliknya,
bahwa manusia melalui kekeliruan dan kesalahan menjadi makin bodoh, bahkan
sukses dan kesejahteraan tidak selalu menambah pengetahuan. Kebudayaan sebagai
proses belajar tidak menjamin kemajuan dan perbaikan yang sejati. Namun sebagai
bangsa atau individu yang baik diharapkan menjadikan kebudayaan sebagai proses
belajar untuk menjadi lebih baik dari kehidupan sebelumnya (Peursen, 1988).
Proses
pembelajaran keterampilan dan nilai merupakan proses transmisi kebudayaan.
Dalam transmisi menurut Fortes terdapat tiga unsur utama, yaitu: (1)
unsur-unsur yang ditransmisi, (2) proses transmisi, dan (3) cara transmisi
(Tilaar, 1999). Unsur-unsur budaya yang ditransmisi adalah nilai-nilai budaya
(adat-istiadat, pandangan mengenai hidup), kebiasaan sosial dalam pergaulan,
sikap dan peranan, tata makanan untuk dapat bertahan hidup.
Proses
transmisi meliputi proses: imitasi,
identifikasi, dan sosialisasi (Tilaar, 1999). Imitasi adalah meniru tingkah-laku dari sekitar, mulai dari
lingkungan keluarga kemudian meluas terhadap masyarakat lokal. Yang ditransmisi
adalah unsur-unsur yang telah dikemukakan di atas. Proses identifikasi berjalan sepanjang hayat sesuai dengan tingkat kemampuan
manusia itu sendiri. Selanjutnya unsur-unsur budaya itu harus disosialisasikan
yaitu diwujudkan dalam kehidupan nyata sehingga mendapat pengakuan sosial.
Proses transmisi dilakukan dalam dua bentuk yaitu peranserta dan bimbingan.
Cara transmisi melalui peranserta antara lain dengan perbandingan atau
ikutserta dalam kegiatan sehari-hari di lingkungan masyarakat. Bentuk bimbingan
dapat berupa instruksi, persuasi, dan ransangan.
Pengetahuan,
nilai, dan keterampilan berbasis sosial budaya Tolaki telah tumbuh di
tengah-tengah masyarakat. Pengetahuan, nilai, dan keterampilan tradisional yang
telah dimiliki oleh masyarakat Tolaki, tidak semuanya harus ditinggalkan,
tetapi sebagian diantaranya dapat dikembangkan berdasarkan pertimbangan
tertentu, sebagaimana tersimpul dari empat fungsi kalosara, yaitu: (1) ide (2)
focus dan pengintegrasian unsur-unsur kebudyaan, (3) pedoman hidup serta (4)
pemersatu (Tarimana, 1989).
B.
Konsep Etnopedagodi
Etnopedagogik
adalah praktek pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah seperti
pengobatan, seni bela diri, lingkungan hidup, pertanian, ekonomi, pemerintahan,
sistem penanggalan, dan lain - lain. etnopedagodik memandang pengetahuan atau
kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan
demi kesejahteraan masyarakat. kearifan lokal adalah koleksi fakta, konsep
kepercayaan, dan persepsi masyarakat ihwal dunia sekitar, menyelesaikan
masalah, dan memvalidasi informasi. singkatnya, kearifan lokal adalah bagaimana
pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan (Surya,
2011: 3).
Ada
beberapa ciri kearifan lokal, yaitu:
1. berdasarkan pengalaman
2. teruji setelah digunakan berabad -
abad
3. dapat diadaptasi dengan kultur ini
4. padu padan dalam praktek keseharian
masyarakat dan lembaga
5. lazim dilakukan oleh individu atau
masyarakat secara keseluruhan
6. bersifat dinamis dan terus berubah
7. sangat terkait dengan sistem
kepercayaan (Alwasilah, 2008).
Etnopedagogi adalah
praktik pendidikan berbasis
pengetahuan lokal dalam
berbagai aspek kehidupan. Ini
akan tumbuh menjadi
ethnophilosophy, ethnopsychology,
ethnomusicology, ethnopolitics, dan lain-lain.
Etnopedagogi memandang pengetahuan
atau kearifan lokal (indigenous
knowledge, local wisdom) sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat
diberdayakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Menurut Alwasilah (2008) ada
beberapa karakteristik dari kearifan lokal: (1) berdasarkan pengalaman, (2)
diuji setelah digunakanselama berabad-abad, (3) dapat disesuaikan dengan budaya
sekarang, (4) terpadu di setiap hari praktik dan lembaga-lembaga masyarakat,
(5) umumnya dilakukan oleh individu atau masyarakat secara keseluruhan, (6)
adalah dinamis dan selalu berubah, dan
(7) sangat terkait
dengan sistem kepercayaan.
Pemberdayaan melalui adaptasi
pengetahuan lokal, termasuk reinterpretasinilai-nilai yang terkandung dalam
sejumlah peribahasa, dengan kondisi
kontemporer adalah strategi
cerdas untuk memecahkan
masalah sosial karena dalam
banyak hal masalah-masalah sosial
yang berasal dari
isu-isu lokal juga.
Pemimpin lebih mudah untuk
mengarahkan anak buahnya dengan norma-norma yang umum di masyarakat. Kearifan
lokal bisa menjadi kendaraan yang
Sinergi tujuan modernisasi dengan pelestarian keunggulan lokal. Bagi Masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya
Suku Tolaki yang memiliki kearifan local dalam bentuk kalosara yang berfungsi sebagai media dalam etnopedagogi.
Etnopedagogi didefinisikan
sebagai model pembelajaran
lintas-budaya. Guru mampu mengajar di
setting budaya yang
setempat yang mungkin
berbeda. Siswa adalah
pembelajar lintas budaya. Siswa
mana pun di
dunia biasanya menunjukkan
ada pola pikir
serupa. Hal ini dapat diartikan bahwa untuk memberikan
pemahaman baru harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang
berlaku di lingkungan
setempat. Hal baru
dapat dengan mudah
diterima jika mengandung
nilai-nilai yang sejalan dengan nilai-nilai lokal. Pendidikan juga menyediakan
nilainilai universal yang
harus ada di
setiap nilai order
di dunia. Sebaliknya,
nilai-nilai lokal yang sangat baik juga bisa diangkat dan
disosialisasikanke dalam dunia yang lebih luas. Pendidikan melalui pendekatan etnopedagogi,
melihat pengetahuan lokal
sebagai sumber inovasi
dan keterampilan yang dapat diberdayakan (Surya, 2011).
Etnopedagogi terkait
erat dengan pendidikan
multikultural. Pendidikan multikultural memuat perangkat kepercayaan
yang memandang penting kearifan lokal dan keberagaman yang dimiliki komunitas
etnis untuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, dan
kelompok sosial maupun
negara. Ketika etnopedagogi
memandang pengetahuan atau
kearifan lokal sebagai sumber
inovasi dan keterampilan,
dilanjutkan dengan pendidikan
multicultural yang memberdayakan inovasi dan keterampilan itu agar dapat
menyumbangkan masukan positif bagi kelompok sosial lain dan budaya nasional.
C.
Konsep dan Fungsi Kalosara
Secara harfiah,
kalo adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat
yang melingkar, dan pertemuan atau kegiatan bersama dengan pelaku membentuk
lingkaran. Sebagai benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan, dan ada juga
yang terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih,
akar, daun pandan, bambu dan sebagainya (Tarimana, 1993).
Kalosara terdiri atas 3 bagian, yaitu: (1) kalo, berupa lilitan tiga rotan yang melingkar, (2) kain putih
sebagai mengalas, dan (3) siwoleuwa, yaitu
anyaman dari daun palem berbentuk persegi empat. Ketiga wadah ini jika berdiri
sendiri tidak memiliki arti dan fungsi adat, kecuali ketiganya menyatu dalam
suatu tatanan dengan struktur sebagai wadah pengalas paling bawah berupa simoleuwa, kemudian dilapisi di atasnya
dengan kain putih, dan di atas kedua wadah ini diletakkan kalo.
Berdasarkan bahan pembuatannya dan pemanfatannya, maka
kalo banyak jenisnya. Dalam tulisan
ini hanya membahas kalosara yaitu kalo
yang digunakan sebagai alat upacara perkawinan adat, upacara pelantikan raja,
upacara penyambutan tamu penting, upacara perdamaian atas suatu sengketa, alat
bagi sejumlah tokoh untuk menyampaikan sesuatu saran/pendapat kepada pejabat,
alat untuk menyampaikan undangan pesta keluarga. Kalosara ini dalam
pemanfaatannya dilengkapi dengan wadah anyaman dari tangkai daun pelem, dan
kain putih sebagai alas.
Peristiwa di mana seseorang,
yang karena merasa sangat malu atas pelakuan seseorang lainnya yang tidak sopan
terhadapnya di depan umum, melakukan reaksi keras berupa ancaman penganiayaan
terhadap orang yang memperlakukannya demikian untuk membela harga dirinya.
Dalam situasi yang demikian muncullah pihak ketiga menampilkan kalosara di antara keduanya yang sedang
ancam-mengancam satu sama lain. Tanpa komentar dari ketiganya, peristiwa
ancam-mengancam tersebut berhenti secara otomatis di mana keduanya akan saling
maaf-memaafkan karena bagi mereka kalosara
identik dengan perkataan: “jangan, mohon maaf, ampun, engkau, dia, dan aku,
serta kita sekalian adalah satu kesatuan, satu di dalam tiga, dan tiga di dalam
satu.” Menganiaya dia berarti menganiaya diri sendiri, dan menganiaya aku serta
kita sekaliannya. Dengan tampilnya kalosara
itu dalam suasana demikian maka damailah keduanya. Bila ternyata salah satu dari
keduanya atau kedua-duanya menolak adanya kalosara
dalam peristiwa itu, maka ia telah dipandang terkutuk dan akibatnya mereka
harus dikeluarkan dari warga Orang Tolaki atau menghukum mereka dengan
ketentuan adat yang berlaku.
Selanjutnya,bagaimana
hubungan antara asas mata pencaharian Orang Tolaki dengan kalosara? Hubungan itu tampak pada tiga kenyataan yang digambarkan
di bawah ini sebagai berikut: Kenyataan bahwa kalosara selalu digunakan sebagai tanda pemilikan, dan tanda larangan,
penjaga tanaman terhadap gangguan hama dan gangguan orang lain. Selain itu kalosara secara simbolik adalah ganti
diri dari pemilik tanah dan tanaman di atasnya.
Selanjutnya, bagaimana
hubungan antara asas sistem teknologi tradisional Orang Tolaki dengan kalosara?
Hubungan itu nampak pada
kenyataan-kenyataan yang digambarkan di bawah ini. Kenyataan bahwa pada umumnya
alat-peralatan m7emerlukan pengikat rotan, yang teknik mengikatnya adalah
selalu identik dengan model ikatan kalosara
yang melilit, melingkar, dan membulat. Semua hulu dari alat-alat produktif dan
senjata selalu diikat dengan teknik khusus yang disebut holungu (ikatan melingkar yang dianyam); demikian pula semua wadah
anyaman diperkuat bobotnya dengan lingkaran rotan yang dipilin, dan hampir
semua dari model perhiasan identik dengan model kalo yang melingkar, dan membulat.
Pergeseran nilai dan peranan
kalosara masa kini. Hubungan sistem
kekerabatan dan organisasi sosial dengan kalo,
perlu memberi uraian mengenai sikap Orang Tolaki masa kini terhadap kalo. Untuk mengetahui sikap Orang
Tolaki masa kini terhadap kalo, yaitu: (1) tampak pada kesenian yaitu dalam hal
bentuk, (2) terletak pada makna-makna simbolik yang terkandung di dalamnya.
Bentuk-bentuk disain dalam
pola segi empat, lingkaran, ikat, dan pola gambar tumbuhan pakis, pola kepala
orang; bentuk-bentuk rias tubuh dalam bulatan, bentuk-bentuk demikian berupa
benda perhiasan dalam pola lingkaran; bentuk-bentuk alat-alat bunyi dalam pola
bulatan; bentuk-bentuk teknik menari dalam pola lingkaran dan pola gerakan
horisontal-vertikal yang membentuk pola segi empat; semua menunjukkan corak
yang sama dengan bentuk pola kalo, yakni: lingkaran, ikatan, dan segi empat.
Konsep kalo dalam
kebudayaan Tolaki sangat luas ruang lingkup dan maknanya. Kalo secara
umum meliputi o sara (adat istiadat), khususnya sara owoseno Tolaki atau sara mbu’uno Tolaki, yaitu adat pokok (Instrumen utama), yang merupakan sumber dari segala adat-istiadat Orang Tolaki yang berlaku dalam semua aspek kehidupan mereka. Kalo sebagai adat pokok dapat digolongkan ke dalam 5 cabang,
yaitu: (1) sara wonua, yaitu adat pokok dalam
pemerintahan; (2) sara mbedulu, yaitu adat pokok dalam hubungan
kekeluargaan dan persatuan pada umumnya; (3) sara mbe’ombu, yaitu adat
pokok dalam aktivitas agama dan kepercayaan; (4) sara mandarahia, yaitu
adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan keterampilan;
dan (5) sara monda’u, mombopaho, mombakani, melambu, dumahu,
meoti-oti, yaitu adat pokok dalam berladang, berkebun, beternak, berburu,
dan menangkap ikan (Tarimana, 1993; Idam 2012).
Menurut
Tarimana (1993) kalosara bagi Suku Tolaki adalah fokus yang dapat mengintegrasikan unsur-unsur yang ada dalam
kebudayaan Tolaki, memiliki 4 fungsi:
1) Kalo sebagai ide dalam kebudayaan dan
sebagai kenyataan dalam kehidupan orang Tolaki. Kalo pada tingkat nilai
budaya adalah sistem nilai yang berfungsi mewujudkan ide-ide yang
mengkonsepsikan hal yang paling bernilai bagi Suku Tolaki, adalah apa yang
disebut medulu mepoko’aso (persatuan dan kesatuan), ate pute penao
moroha (kesucian dan keadilan), morini mbu’umbundi monapa mbu’undawaro
(kemakmuran dan kesejahteraan). Ide ini dinyatakan melalui penggunaan kalo
dalam setiap upacara perkawinan, kematian, upacara tanam dan potong padi atau
pun pada setiap upacara penyambutan tamu. Selain itu, ide ini juga diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam apa yang disebut mete’ alo-alo
(bantu-membantu) dan lain-lain. Akhirnya ide kesejahteraan misalnya diwujudkan dalam
apa yang disebut mombekapona-pona’ako (saling
hormat-menghormati), mombekamei-meiri’ako
(saling kasih-mengasihi), ndundu karandu (suasana
ketenangan batin yang diliputi dengan alunan bunyi gong yang merdu di tengah
malam), dan tumotapa rarai (suasana
kegembiraan yang dilipuyi dengan suara hura-hura, tawa, dan tepuk tangan yang
meriah).
2) Kalo sebagai fokus
dan pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan Tolaki. Kalo bagi Suku Tolaki, bukan hanya sekedar simbol,
tetapi juga fokus dalam pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan Tolaki, yakni: (1) dalam bahasa, sebagai lambang komunikasi; (2) dalam sistem ekonomi tradisional, sebagai penjaga tanaman, dan sebagai asas distribusi
barang-baranag ekonomi; (3) sistem teknologi tradisional, sebagai model mengikat dan bentuk alat-alat; (4) organisasi sosial, sebagai asas politik dan pemerintahan; (5) sistem pengetahuan, dalam hubungannya dengan alam semesta; (5) sistem kepercayaan, dalam hubungan struktur alam dunia; dan (6) sistem kesenian, dalam bubungan bentuk rias, dan teknik menari.
3) Kalo sebagai pedoman hidup untuk
terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam kehidupan Suku Tolaki. Untuk
terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam kehidupan masyarakat, penggunaan Kalo
sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral tampak
dalam usaha memulihkan suasana kelaparan karena panen gagal atau karena bencana
alam atau peristiwa lainnya. Suku Tolaki menganggap bahwa
timbulnya suasana yang tidak baik akibat dari manusia yang telah melanggar adat
ataupun ajaran agama, atau telah melanggar ajaran Kalo
sebagai instrumen adat utama mereka. Untuk memulihkan suasana
semacam ini, maka diadakanlah upacara yang disebut mosehe
wonua (upacara pembersihan negeri) yang diikuti oleh segenap besar warga masyarakat.
4) Kalo sebagai pemersatu dan solusi
terhadap pertentangan-pertentangan sosial
budaya dalam kehidupan masyarakat Tolaki.
D.
Implementasi
Kalosara sebagai Media Etnopedagogi dalam Kehidupan Masyarakat
Secara
historis, instrumen adat kalosara merupakan landasan dasar dari
keseluruhan sistem sosial budaya Suku Tolaki termasuk pendidikan, kaidah-kaidah hidup bermasyarakat, sistem norma-norma,
sistem hukum dan aturan-aturan lainnya. Dalam kehidupan sosial budaya Suku
Tolaki sehari-hari secara umum baik merupakan rakyat
biasa, sebagai seorang tokoh formal maupun nonformal, nilai-nilai kepemimpinan
yang terkandung dalam instrumen adat kalo berintikan persatuan dan
kesatuan, keserasian dan keharmonisan, keamanan dan kedamaian. Lembaga kalosara
juga menjadi landasan kultural bagi setiap individu dalam menciptakan
suasana kehidupan bersama yang aman damai serta dalam menegakkan aturan baik
berupa hukum adat maupun hukum negara (Tawulo dkk, 1991; Tarimana, 1993; Su’ud,
1992; Tondrang, 2000). Karena itu bagi Suku Tolaki menghargai, mengkeramatkan dan mensucikan kalo berarti mentaati
ajaran-ajaran nenek moyang mereka. Apabila mereka berbuat sebaliknya, diyakini
akan mendatangkan bala atau durhaka (Tarimana, 1993; Su’ud, 1992).
Kalosara secara antropologis merupakan unsur budaya
yang merupakan suatu pusat dalam kebudayaan Tolaki, sehingga mendominasi
banyak aktivitas atau pranata lain dalam kehidupan sehari-hari. Fokus
kebudayaan dari suatu masyarakat, oleh Linton (1936) disebut cultural
interest atau social interest, yaitu suatu kompleks unsur-unsur
kebudayaan yang tampak amat digemari warga masyarakatnya sehingga tampak
seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat yang bersangkutan
(Koentjaraningrat, 1981).
Etnopedagogi yang didasarkan nilai-nilai tradisi Jawa
misalnya telah diungkap oleh beberapa ahli. Nilai kepemimpinan pendidikan Jawa
yang paling dikenal luas adalah konsep yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara
yang terdiri dari 3 aspek kepemimpinan yaitu (1) ing ngarsa sung tuladha,
(2) ing madya mangun karsa, dan (3) tut wuri handayani. Konsep
pendidikan ini bahkan diadopsi menjadi nilai pendidikan nasional di
Indonesia (Surya, 2011). Bagi masyarakat
Bugis etnopedagogi didasarkan pada
nilai-nilai yang telah lebih dahulu
dikembangkan oleh La Mellong yang
bergelar Kajao Laliddong seorang
cendekiawan (negarawan) dari Kerjaan Bone atau penasehat Raja Bone ke-6 La
Uliyo memerintah 1543-1568 dan Raja Bone ke-7 La Tenri Rawe memerintah
1568-1584. (Ali, 1986). Semboyang tersebut berbunyi:
Ri oloi napatiroang = di depan memberi contoh/pentunjuk
Ri tengngai nasiraga-raga = di tengah memberi semangat
Ri munri nappong lopi = di belakang memberi dorongan
Semboyang ini
kemudian mengilhami sikap dan perilaku dalam sistem pendidikan masyarakat
Bugis/Makassar. Secara bersistem konsep pendidikan tersebut diaplikasikan dalam
lembaga Pendidikan Kedinasan bernama Anreguru
Ana Karung (Sejenis Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) yang khusus mendidik anak bangsawan yang
dipersiapkan akan menjadi calon pemimimpin di berbagai tingkatan dalam sistem
pemerintahan Kerajaan Bone (Hafid, 2013). Dalam sistem pendidikan keluarga dan kemasyarakatan
juga diimplementasikan oleh pendidik atau orang yang dituakan sebagai pendidik
yang memperlihatkan keteladanan dan pemberi semangat.
Dalam Masyarakat Tolaki Filsafat pendidikan
berakar pada ungkapan Inae kosara ie
pinesara; ie liasara ie pinekasara=siapa yang tahu adat akan dihormati; siapa
yang melanggar adat akan dikasari. Dari filsafat ini kemudian tersimpul
dalam symbol kalosara yang mengatur
tata hubungan antar manusia dan lingkungannya (Tamburaka, 2004).
Dalam hubungan antar anggota masyarakat ini, terdapat
unsur-unsur yang mengandung nilai filsafat
tinggi. Mereka menjadikannya sebagai tongkat pegangan untuk menjalani
kehidupan sehari-hari. Adapun jenis budaya hasil karya dan cipta yang mempunyai
nilai sosial tinggi dan merupakan perwujudan karakter positif yang lahir dari etnopedagogi melalui media kalosara antara lain:
1. Kohanu
Kohanu,
sering
juga disebut dengan budaya malu. Kohanu, merupakan
sistem pertahanan moral bagi diri sendiri, misalnya ada orang yang dikatakan
malas bekerja, maka selanjutnya mereka menerapkan budaya kohanu ini dengan cara lebih tekun dan rajin dalam bekerja,
sehingga sebutan sebagai pemalas akan hilang dari dirinya, berganti dengan
sebutan pekerja keras yang rajin dan tekun. Secara tidak langsung budaya ini
mengajak setiap orang untuk selalu memaksimalkan tenaga maupun pikiran yang
dimilikinya untuk memajukan dia sendiri atau anggota kelompok yang lain.
2. Merau
Merau,
adalah
budaya yang mengajak orang untuk selalu mengedepankan sikap sopan dan santun
dalam pergaulan, serta mau memberikan rasa hormat bagi semua anggota masyarakat
Tolaki maupun orang lain.
3. Samaturu
Samaturu,
merupakan
salah satu budaya yang mengutamakan hidup untuk selalu menjalin persatuan, suka
menolong orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan dengan senang hati. Ini
juga merupakan wujud dari gotong royong yang menjadi pandangan hidup utama dari
Suku Tolaki.
4. Taa Ehe Tinua-Tuay
Taa ehe tinua-tuay, merupakan ajakan untuk
selalu merasa bangga karena menjadi bagian dari masyarakat Suku Tolaki.
Sesungguhnya budaya ini menjadi bagian dari Kohanu. Namun karena adanya suatu
perbedaan yang bersifat mengutamakan kemandirian, maka budaya yang satu ini
selanjutnya dipisah menjadi budaya sendiri.
5. O’Sapa
Istilah
O’sapa ialah semacam aturan-aturan
klasik yang mengatur hubungan hukum antara manusia dengan hewan.
Hubungan-hubungan itu timbul manakala manusia melakukan pemburuan (berburu)
terhadap binatang liar seperti kerbau, rusa dan anoa, dengan menggunakan
tombak, menggunakan anjing, perangkap, dan alat-alat penangkap lainnya,
Aturan-aturan O’sapa itu berwujud
ketaatan/kepatuhan setiap orang/pemburu mengambil bagian dari jerih payah yang
tidak menyalahi ketentuan “O’sapa.,”
misalnya: Bila binatang buruan itu mati berkat bantuan peralatan tombak dan
anjing, maka bagian tertentu dari daging kerbau atau rusa itu, harus diberikan
kepada anjing (pemilik anjing) dan tombak (yang menombak pertama) diluar dari
bagian tertentu yang biasa diberikan/diambil/dikuasai si pemburu (3/4 bagian)
dan bagian penguasa wilayah untuk daging dan tulang-tulang tertentu. Bila
binatang, tersebut adalah binatang liar, tetapi bekas binatang peliharaan, maka
aturan pembagiannya telah tertentu pula bagi pemburunya, untuk anjing, untuk
tombak dan untuk penguasa wilayah/pu’utobu atau kepala kampung.
Aturan-aturan
pembagian itulah disebut O’sapa, yang
menurut kaidah hidup bermasyarakat harus dipatuhi oleh semua Suku Tolaki termasuk Penguasa/Raja.
Bila aturan hukumnya tidak dijalankan, maka dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap kehidupan masyarakat dan negeri.
6. O’wua
Istilah
O’wua merupakan seperangkat
aturan/ketentuan hukum yang mengatur tata-cara bercocok tanam, merambah hutan,
menanam padi, dan aturan-aturan ini harus ditaati oleh semua Suku Tolaki
termasuk Penguasa/Raja. Apabila dilanggar maka negeri/penduduk dapat menderita
kekurangan pangan mengalami musim paceklik, ini suatu hal yang sangat ditakuti
oleh Suku Tolaki.
7. O’lawi
Istilah
O’lawi ialah seperangkat aturan dasar
yang mengatur tentang tata cara pemberian upah, imbalan jasa, pembagian kerja
dari seorang majikan pemilik kebun padi atau pemilik pohon sagu, atau pemilik
pohon buah-buahan yang didikerjakan oleh seseorang atau beberapa orang pekerja
upahan (toono mehawe, pasaku, pa mone
dan lain-lain) dengan upah atau bagian-bagian tertentu. Ketentuan pembagian
tersebut harus dipatuhi dengan sadar oleh semua orang termasuk penguasa/Mokole.
8. O’liwi
O’liwi ialah
seperangkat pesan wasiat, nasihat dan petunjuk hidup yang
ditinggalkan/diwasiatkan untuk diikuti oleh anak cucu /generasi berikut dari
para leluhur, secara turun‑temurun terutama dalam hal ini dapat disamakan
dengan Yurisprudensi artinya putusan Hakim tertinggi yang telah berlaku tetap
yang dapat dicontoh oleh Hakim-hakim berikutnya dalam perkara yang sama maupun
selainnya (Hafid, 2012).
Kedelapan
jenis aturan tersebut, berwal dari
kalosara dan juga berakhir pada kalosara.
Kondisi tersebut terjadi karena kalosara
merupakan norma tertinggi dalam kehidupan social, sehingga berfungsi sebagai
landasan filosofis dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian Implementasi kalosara dapat
ditelaah secara empiris, misalnya sejauhmana kalosara dijadikan nmedia untuk mentransformasikan pengetahuan,
nilai, dan keterampilan dari seorang kepada orang lain baik secara individual
maupun kelompok. Secara cultural semua aktivitas social harus disandarkan pada kalosara, sehingga tidak satu orangpun
anggota masyarakat Tolaki yang tidak pernah menyaksikan alat kalosara, termasuk menjadi partsipan dalam kegiatan
implementasi pemanfaatan kalosara.
Upaya
kristalisasi nilai-nilai tersebut, maka pemerintah Kerajaan Konawe dahulu kala
telah mendirikan suatu lembaga pendidikan pengkaderan calon pemimpin yang
bernama Inae Sinumo yang berkedudukan di Abuki mirip dengan fungsi
Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri. Melalui lembaga Inae Sinumo ini diharapkan
internalisasi nilai-nilai kalosara
dapat dipertahankan dan dikembangkan oleh seluruh lapisan masyarakat, yang
senantiasa didukung dan dipelopori oleh pemimpin yang benar-benar memahami dan
berkomitmen mengembangkan kalosara
dalam kehidupan masyarakat Tolaki.
Kalosara
difungsikan baik sebagai penyebab suatu kegiatan/acara, maupun sebagai akibat.
Contoh sebagai penyebab: Dalam suatu rangkaian pernikahan, kalosara wajib diadakan sebagai instrument utama adat, jika tidak
ada maka acara tidak bias dilaksanakan. Contoh sebagai akibat: jika terdapat
dua orang yang berselisih paham, maka untuk mendamaikan harus diadakan kalosara. Akhirnya, apapun aktivitas
masyarakat Tolaki, maka kalosara harus
ada atau aktivitas seseorang dan kelompok orang harus selalu bersandar pada kalosara.
E.
Penutup
Suku Tolaki yang mendiami jazirah Tenggara Pulau
Sulawesi dalam dinamikanya memiliki instrumen adat yang mengatur segenap tata
tingkah laku masyarakat yang disebut kalosara. Kalosara
berfungsi sebagai media etnopedagogi tata kehidupan masyarakat sampai di era
sekarang ini masih eksis dipertahankan oleh segenap lapisan masyarakat,
terutama dalam kehidupan sosial. Dengan demikian seiring dengan perkembangan
dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan melahirkan berbagai
permasalahan termasuk dalam tataran politik dan ekonomi, maka kehadiran kalosara sebagai instrumen solusi perlu
dipertahankan dan dikembangkan.
Berbagai pengetahuan, nilai, dan keterampilan dapat
ditransfer melalui etnopedagogi dengan memanfaatkan kalosara. Masalah tata pergaulan sehari-hari dalam bidang politik,
bidang kebudayaan, dan bidang ekonomi terbukti kehadiran kalosara sebagai media etnopedagogi. Pemanfaatan kalosara sebagai media etnopedagogi,
dapat menjadi model bagi masyarakat lain, karena pilihan ini dapat berjalan
dengan mudah dan biaya yang murah.
Peran pabitara dan tolea selakau tokoh masyarakat Tolaki
perlu dilestarikan dan dikembangkan untuk menjadi pendidik dalam sistem etnopedagogi untuk berbagai pengetahuan,
nilai, dan keterampilan yang dibutuhkan terutama pengembangan karakter positif
masyarakat dengan memanfaatkan kalosara sebagai media utama.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Muh. 1986. Bone
Selayang Pandang. Watampone: Damai.
Alwasilah,
A.C. 2008. Tujuh Ayat Etnopedagogi. Artikel dalam Pikiran Rakyat
Bandung, 23 Januari 2008
Arta,
Arwan Tuti. 2009. Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana.
Yogyakarta: Galangpress.
Hafid, Anwar. 2007. Manajemen Pemberdayaan Perempuan. Bandung: Alfabeta.
Hafid, Anwar; Ahiri, Jafar; dan Haq, Pendais.
2007. Konsep Dasar Ilmu Pendidikan.
Bandung: Alfabeta.
Hafid,
Anwar. 2012. Kalosara Sebagai Instrumen
Utama Dalam Kehidupan Sosial Budaya Suku
Tolaki di Sulawesi Tenggara. Makalah Disajikan dalam Prakongres Kebudayaan Indonesia di Jakarta, Tanggal
27-29
November 2012.
Khamaganova, Erjen. 2005. Traditional
Indigenous Knowledge: Local View. Paper presented in in International
Workshop on Traditional Knowledge. Panama City, 21-23 September 2005.
Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan
Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Linton, R. 1984. The Study of Man (Antropologi Suatu
Penyelidikan Manusia). Diterjemahkan oleh Firmansyah. Bandung: Jemmars.
MacNeill,
N. et al 2003. Beyond Instructional Leadership: Towards Pedagogic
Leadership. Auckland: Australian Association for Research in Education
Peursen, C.A. Van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Sri
Sultan Hamengku Buwono X. 2003. Sabda Ungkapan Hati Seorang Raja.
Yogyakarta: PT. BP Kedaulatan Rakyat.
Surya,
Priadi. 2011. Kepemimpinan Etnopedagogi
Di Sekolah. Dalam Majalah Ilmiah
Dinamika UNY bulan Mei 2011.
Tamburaka, Rustam, E.
dkk. 2004. Sejarah Sulawesi Tenggara dan
40 Tahun Sultra Membangun. Jakarta.
Tilaar, H. A. R. 1993. Pengembangan Sumber Daya Manusia yang Berbudaya dalam Pembangunan
Jangka Panjang Kedua. Jakarta:
LPMP-IKIP Jakarta.
Tilaar, H. A. R. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MERETAS
STRATEGI PEMBELAJARAN INOVATIF BERBASIS SENI BUDAYA, NILAI DAN KARAKTER
Disain
Sampul : Aman Ma’ruf
Editor : Anwar Hafid
Penerbit : HISPISI Sultra bekerja sama
dengan
Masyarakat
Sejarawan Indonesia (MSI) Sultra, IKA PAPSI, IKA KB, IKA DIKJAR, IKA
PPKn, dan S2 Pendidikan Seni Universitas Halu Oleo
Cetakan
Pertama : Juni 2015
:
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang keras mengutip, memfotocopy, dan memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis
dari penerbit.
Alamat
Redaksi: Jl. Kelapa No. 107 Anduonohu Kendari
Telp : 085241529993 e-mail:anwarhapid@ymail.com
ISBN : 978-602-99809-8-1