Rabu, 04 Januari 2017

PERAN BUDAYA SEBAGAI PEREKAT ANTAR GENERASI


Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd. Dosen FKIP dan Pascasarjana Unhalu
A.    Pendahuluan
Budaya dari suatu daerah, merupakan unsur penentu bagi usaha pembangunan dan modernitas masyarakat daerah yang bersangkutan. Semua perbuatan manusia ditentukan oleh kebudayaannya. Tata cara masyarakat menghayati, melakukan berbagai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari merupakan cermin budayanya. Kebudayaan merupakan media pendidikan di mana manusia dapat belajar untuk memaksimalkan kemampuan akal budinya dalam berkarya dan mencipta.
Persebaran dan perkembangan budaya daerah Sulawesi Tenggara sampai dengan saat ini semakin kompleks dan beragam merupakan potensi yang masih terpendam. Oleh karena itu, ethos budaya yang majemuk dari beberapa suku bangsa di Sulawesi Tenggara pada dasawarsa pertama abad XXI ini, merupakan dasar untuk dijadikan daya dorong dalam merekatkan persatuan dan persaudaraan antar etnis dan antar genrasi.
Sebagai dasar, maka posisi budaya saat ini sangat strategis untuk dapat menjadi pilar kemajuan daerah dalam berbagai sektor keidupan. Keragaman suku bangsa (Buton, Muna, Tolaki, Moronene, Kulisusu, Bugis/Makassar, Bajo, Jawa, Sunda, dan Bali) dengan budayanya merupakan potensi besar untuk dijadikan bahan ramuan menuju suatu produk budaya yang memiliki nilai manfaat yang tinggi bagi kehidupan manusia di mata masyarakat luar dan bangsa lain di dunia.
Jika ada pertanyaan, apakah masyarakat Sulawesi Tenggara siap memeliara persatuan dan persaudaraan antar komunitas menuju masyarakat industrial yang penuh persaingan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu memerlukan bayangan ke depan mengenai bentuk masyarakat seperti apa yang akan kita wujudkan pada kurung waktu tertentu. Tentu saja belum dikonsepsikan secara bulat, tetapi berbagai suku bangsa dan kelompok-kelompok masyarakat di Sultra mungkin sudah mempunyai konsepsi masing-masing yang berlainan. Jelasnya bahwa model masyarakat yang sekarang sudah maju tak mungkin dapat kita tiru begitu saja, karena lingkungan alam, komposisi penduduk, struktur masyarakat, aneka ragam budaya, sistem nilai budaya dan agama memang berbeda.
Untuk era sekarang 2012 budaya dan peradaban masyarakat Sulawesi Tenggara berada dalam masa transisi dari masyarakat yang memiliki unsur-unsur tradisional ke arah masyarakat yang lebih dominan pada praktek unsur-unsur budaya masyarakat modern. Meskipun demikian budaya dan peradaban masyarakat Sultra cukup kuat, baik dalam dimensi budaya material maupun budaya non-material. Budaya material seperti peninggalan benteng, dan beberapa produk budaya yang memiliki nilai estetika dan mungkin juga nilai jual tinggi secara ekonomi (gembol, kerajinan perak). Budaya non-material seperti ethos kerja yang ditunjukkan para pelayar, dan berbagai kesenian dan tradisi yang memiliki unsur-unsur inovatif atau motivator dalam meningkatkan kreativitas masyarakat.
Secara teoretis beberapa negara membuktikan bahwa sosial budaya masyarakat memberi kontribusi positif untuk kemajuan pembangunan bangsanya. Bangsa Indonesia, dan masyarakat Sulawesi Tenggara akan membuktikan pula teori itu, melalui penempatan budaya sebagai landasan pengembangan daerah dalam berbagai dimensi kehidupan, atau dalam ungkapan lain disebut pembangunan berbasis sosial budaya. Konsep tersebut tidak berarti mengabaikan sikap keterbukaan terhadap inovasi dari luar yang dapat memperkaya budaya setempat untuk memacu percepatan pembangunan daerah. Secara empiris bahwa ketertinggalan Sulawesi Tenggara dalam beberapa matra kehidupan jika dibanding dengan daerah lain di Indonesia, memerlukan suatu kearifan untuk melakukan lompatan-lompatan tertentu dalam tangga-tangga perkembangan yang berlaku secara natural dan evolusioner selama ini.
Budaya baik dalam bentuk material maupun tradisi lisan sebagai produk dari berbagai aktivitas masyarakat Sultra menunjukkan peradaban masyarakatnya yang sudah tinggi. Keberadaan benteng di berbagai tempat meskipun merupakan perpaduan budaya asing (Portugis dan Belanda), tetapi budaya setempat tetap nampak, demikian pula tradisi berlayar bagi masyarakat Buton dan Bajo yang mampu mengarungi samaudera bahkan sampai ke Negeri Cina (Anwar, 1999), merupakan bukti lain adanya local genius (Wertheim, 1999) masyarakat Sultra. Karakternya tetap bertahan meskipun ada dorongan kuat dari budaya luar seperti: Islam, Portugis, dan Belanda.
Bagaimanapun, kebudayaan Sultra pada masa awal jauh dari satu kesatuan, beberapa pola dapat dilihat di dalamnya. Sekarang penduduk Sultra, telah memiliki tingkat persatuan tertentu dalam bidang keagamaan. Islam merupakan keyakinan resmi mayoritas penduduk dan Islam juga telah memberi sumbangan pada terbentunya persatuan  dalam domain kebudayaan itu. Oleh karena itu sangat keliru jika mempercayai bahwa kesatuan yang ada di Sultra, hanya dihubungkan dengan Belanda dan faktor geografis. Faktor spiritual dan ekonomi tidak sedikit pengaruhnya dalam proses terbentuknya kesatuan politik Sulawesi Tenggara sejak terbentuknya Kabupaten Sulawesi Tenggara berdasarkan PP No. 34/1952 dengan Empat Kewedanan (Thalha, 1982). Sekali lagi faktor sosial budaya merupakan dasar dan mata rantai yang tidak pernah putus dalam proses pembangunan di Sulawesi Tenggara. Siapapun yang akan membangun tanpa mendasarkan pada akar budaya setempat akan mengalami kerapuhan dalam mempertahankan bangunannya termasuk bangunan politik dan tatanan sosial ekonomi masyarakat. 

B.     Posisi Kebudayaan dan Peradaban Daerah Sultra Dewa ini

Suatu hal yang baru dalam proses pembangunan daerah dewasa ini ialah peranan visi masa depan. Terutama dalam menghadapi era global tanpa batas, diperlukan suatu visi ke arah mana masyarakat dan daerah kita ini akan menunju. Tanpa visi yang jelas yaitu visi yang mendasarkan nilai-nilai yang hidup dalam kebudayaan daerah saat ini, akan sulit untuk menentukan arah perkembangan masyarakat dan daerah kita ke masa depan, atau pilihan lain ialah tinggal mengadopsi saja apa yang disebut budaya global. Mengadopsi budaya global tanpa dasar yang kuat dari kebudayaan sendiri berarti manusia Sultra akan kehilangan identitas atau jatidirinya. Di sinilah letak pendidikan untuk meletakkan dasar-dasar yang kuat dari nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat Sultra yang akan dijadikan pondasi untuk membentuk budaya masa depan yang lebih jelas dan terarah.
Beberapa orang berpendapat bahwa dewasa ini terjadi proses nasionalisme budaya. Makna kata tersebut bahwa semakin kita hidup dalam zaman global dan menjadi saling bergantung secara ekonomi, tetapi kitapun semakin bertindak manusiawi, semakin menegaskan kekhasan kita, semakin ingin mempertahankan bahasa kita, dan berpegang teguh pada akar dan kebudayaan kita. Menurut Dryden dan Vos (2000) walaupun orang Eropa bergabung secara ekonomi, tetapi bangsa Jerman akan semakin Jerman, dan bangsa Perancis semakin Perancis. Kenyataannya, bahwa semakin berkembangnya teknologi, semakin subur pula upaya melestarikan warisan budaya dalam berbagai jenisnya. Dalam komunitas individual yang mengilhami arah baru masyarakat Sultra, khususnya di antara kelompok-kelompok masyarakat, kita akan melihat prakarsa budaya yang akan berkembang dan peningkatan harga diri yang luar biasa.
Konsep pendidikan yang berbasis masyarakat (community based education=CBE) perlu mendapat prioritas di daerah ini, sehingga diharapkan melakukan pergesaran paradigma khususnya dalam kaitan dengan kebudayaan daerah. Melalui CBE dapat dicegah pencabutan fungsi pendidikan sebagai alat pembudayaan. Pendidikan nasional dan pendidikan yang dikembangan di daerah Sultra dewasa ini bersifat intelektualistis dan tidak memberikan kesempatan perkembangan intelegensi yang menyeluruh dari peserta didik, dan mengabaikan peran budaya setempat dalam perkembangan individu. Sementara dalam dunia pendidikan muncul pendekatan baru yang disebut Science Technology Society=STS atau Sains Teknologi Masyarakat=STM. Artinya pendidikan sebagai proses pembudayaan masyarakat harus berbasis pada lingkungan masyarakat (lingkungan sosial dan lingkungan alam). Ini dimaksudkan untuk mendekatkan masyarakat dari lingkungannya, sekaligus memudahkan proses adaptasi, memupuk kreativitas sehingga dapat melahirkan inovasi.
Penghayatan dan pengkajian budaya yang minim selama ini, berdampak langsung terhadap rendahnya pemahaman generasi akan kekayaan budaya daerahnya. Hal ini terungkap dalam berbagai kesempatan pertemuan ilmiah di Sultra, selalu muncul keluhan peserta akan kurangnya literatur tentang budaya dan sejarah Sulawesi Tenggara. Minimnya bacaan dan bahan amatan dalam bentuk pentas budaya, semakin mengikis kepedulian dan penghayatan masyarakat akan pengembangan budaya daerah, sehingga dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap pengikisan nilai-nilai budaya yang memiliki nuansa inovatif yang telah tumbuh pada budaya suku bangsa yang ada di Sultra.
Telah disadari banyak pihak bahwa salah satu prinsip manajemen dalam menghadapi polarisasi adalah berpola pada budaya. Para manajer dalam era modern makin memahami pentingnya budaya dalam pengembangan sumber daya manusia. Namun harus diakui bahwa perubahan budaya tidak dihasilkan secara langsung melalui upaya untuk mengubah budaya itu sendiri, tidak pula melalui pelatihan budaya, pencatatan sejumlah nilai dan keyakinan, atau perintah kepada orang lain untuk berbudaya. Suatu hal yang pasti bahwa nilai-nilai budaya harus mampu diinternalisasikan dalam setiap aktivitas sosial masyarakat, sehingga dapat dengan mudah diadopsi oleh anak sebagai peserta didik atau generasi pelanjut yang akan mengembangkan kebudayaan itu baik dalam bentuk invensi maupun melalui proses akulturasi.
Secara sosio-psikologis, budaya masyarakat Sulawesi Tenggara dewasa ini memiliki ciri-ciri umum, yang berpotensi besar sebagai pendorong pembangunan daerah. Ciri-ciri itu, adalah:
1.      Memiliki naluri untuk hidup bertetangga secara baik
2.      Mempunyai keinginan dan sikap kerja sama dalam bentuk gotong royong, yang diaplikasikan dalam budaya samaturu, pokadulu, dan sebagainya.
3.      Memiliki sikap kekerabatan yang dicerminkan dalam solidaritas dan tenggang rasa terhadap sesama.
4.      Rukun dalam kehidupan, mau bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan.
5.      Memiliki semangat juang, ulet, tahan uji, dan penyabar,
6.      Menghormati orang lain yang memiliki status sosial yang lebih tinggi di masyarakat atau lingkungan kerjanya.
Timbul pertanyaan: apakah ciri-ciri yang diangkat dari budaya masyarakat Sulawesi Tenggara pada masa transisi 2003 ini dapat digunkan dalam kehidupan modern? Bagaimana cara mentransformasikannya dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Tenggara pada tata pergaulan berbangsa dan pergaulan antar bangsa dalam era global?
Jawabannya bisa dijelaskan dengan mencoba meminjam pada kenyataan hidup masyarakat Cina Perantauan seperti dikatakan oleh Naisbitt (1997) yaitu bekerja keras dan hemat sebagai ciri menonjol dalam diri orang-orang Cina. Mereka bekerja dengan menggantungkan diri pada keberanian, keahlian, dan jiwa wirausaha. Salah seorang Cina Perantauan dari Malaysia Robert Kuok, menyatakan: sebagai anak-anak kami belajar nilai-nilai moral, terutama nilai moral Konfusian. Istilah seperti: integritas bisnis, kehormatan, kata-katamu adalah ikatanmu, sering digunakan oleh orang tua dan mengendap dalam dada generasi muda. Demikian pula moralitas mulut, harus dijaga, yaitu: tidak boleh berbicara buruk mengenai orang lain.
Jika kesamaan ciri budaya Cina tersebut yang ada pada unsur-unsur budaya Sultra dapat diaplikasikan, bukan suatu hal yang naif jika kemajuan masyarakat Sultra  ke depan dapat terwujud, yang pasti bahwa unsur-unsur budaya inovatif telah terintegrasi dalam beberapa budaya suku bangsa yang ada di Sultra. Misalnya Orang Buton melekat jiwa dan semangat kebaharian, orang Muna menonjolkan ethos kerja dan hidup sederhana, orang Tolaki melekat sikap kegotongroyongan dan kekeluargaan, orang Bugis dengan dinamika yang tinggi memiliki ethos kerja dan semangat kewirausahaan, orang Bajo mempertahankan unsur-unsur kedisiplinan dalam aktivitas kesehariannya yang mengikuti pasang surut air laut, orang Jawa dengan ketekunannya, dan orang Bali dengan sikap kreativitas dan seninya. Potensi inovatif dari masing-masing suku bangsa atau budaya komunitas yang ada di Sultra saat ini, harus dipandang sebagai suatu potensi dan peluang, bukan tantangan dan hambatan pembangunan menuju kesejahteraan masyarakat Sultra.
Secara filosofi bahwa suku bangsa yang ada di Sultra telah menetapkan kerangka budayanya. Bagi masyarakat Tolaki falsafah hidup diungkapkan sebagai berikut:
Medulu mbenao          = satu dalam jiwa
Medulu mbonaa          = satu dalam pendirian
Medulu mboehe           = satu dalam kehendak/cita-cita.

Ketiga ungkapan tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk:
1.      Satu dalam jiwa, diaplikasikan dalam bentuk:
Mombe kamei meiri ako    = saling cinta-mencintai;
Mombeka pia-piarako       = saling pelihara-memelihara
2.      Satu dalam pendirian, diaplikasikan dalam bentuk:
Mombekapona-pona ako              = saling menghargai pendapat;
Mombeka peha-pehawako            = saling ingat-mengingatkan;
Mombeka pei-peiranga ako          = saling saran-menyarankan.
3.      Satu dalam kehendak/cita-cita, diaplikasikan dalam bentuk:
Mombeka sudo-sudo ako              = saling topang-menopang;
Mombeka tulu-tulungi ako            = saling tolong-menolong;
Mombeka tamai ako                      = saling memberi dan menerima;
Mombeka alo-alo ako                   = saling ambil-mengambil satu tenaga;
Mombekakai-kai ako                     = saling menikmati makanan;
Mombeka powe-powehi ako         = saling memberi dan menerima;
(Tarimana, 1989).

Orang Buton menetapkan ikrar dengan ungkapan: Poromu yinda saangu, pogaa yinda koolota=bersatu tidak berpadu, bercerai tidak berantara. Ditetapkan pula falsafah hidup, sebagai berikut:
Pomaa maa siaka                 = saling kasih mengasihi
Poangka angkataka              = saling hormat menghormati
Popia piara                           = saling pelihara memelihara
Pomae maea                         = saling malu-memalui (Djarudju, 1989).

Keempat unsur filsafat dan ikrar terbut saling terkait dan terpadu menjadi ungkapan:  Pobinci-binciki kuli=apabila mencibut kulit sendiri merasa sakit, maka demikian pula jika mencubit orang lain.
Ungkapan tersebut menempati posisi penting dalam tata pergaulan masyarakat Buton dan berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan masyarakat dan kebudayaannya.
Bagi masyarakat Muna telah memegang teguh falsafah hidup yang dibagi atas landasan moral yaitu:
Dopomoa-moa sighoo          = saling menyayangi
Dopo angka-angka tau         = saling menghargai
Dopo pia para                      = saling tenggang rasa
Dopo aja-ajati                       = saling mengadati.

Sedangkan landasan idiil dalam pelaksanaan pemerintahan, diabstraksikan dalam ungkapan berikut:
Hansu-hansuru ana bhaja sumano keno hansuru liwu;
Hansu-hansuru ana liwu sumano keno hansuru ajati;
Hansu-hansuru ana ajati sumano keno hansuru sara;
Hansu-hansuru ana sara sumano keno hansuru agama.
Artinya:
Biar hancur badan asalkan jangan hancur negeri;
Biar hancur negeri asalkan jangan hancur hukum;
Biar hancur hukum asalkan pemerintah tetap tegak;
Biar pemerintah dibubarkan asalkan agama tetap tegak (Batoa, 1991; Tamburaka, 1995).

Bagi masyarakat Bugis Ungkapan sejenis berbunyi:
Namu'ka rusa' taro arung tenrusa taro ade', rusa taro ade' tenrusa' pattaro pangulu anang, rusa pattaro pangulu anang, tenrusa' pattaro tau maega.
Meskipun bertentangan dengan aturan kerajaan/raja, asalkan jangan bertentangan dengan ketentuan adat, meskipun bertentangan dengan aturan adat, asalkan jangan bertentangan dengan ketentuan tokoh masyarakat, meskipun bertentangan dengan ketentuan tokoh masyarakat, asalkan jangan bertentangan dengan kesepakatan orang banyak.
Bahasa filosofi tersebut dari tiga suku bangsa utama di Sultra mencerminkan keluhuran budaya masyarakat. Potensi tersebut memiliki nuansa inovatif yang dapat berfungsi sebagai landasan kemajuan budaya dan menjadi daya dorong utama peningkatan kreativitas masyarakat Sultra, khususnya dalam mewujudkan masyarakat industrial di alam Sultra Raya pada tahun 2020.
Secara empiris, potensi budaya Sultra yang dapat dikembangkan dalam mendukung pembangunan, khsusnya di sektor pariwista telah diidentifikasi oleh Djami (1992) yanga dibagi atas empat unsur budaya, yaitu: (1) upacara tradisional sebanyak 30 jenis, (2) kesenian sebanyak 68 jenis, (3) indsutri tradisional sebanyak 23 jenis, dan (4) peninggalan sejarah-budaya sebanyak 58 jenis. Keempat unsur budaya terdiri atas 180 jenis itu, tersebar di empat kabupaten (Buton 60 jenis, Muna 45 jenis, Kendari 36 jenis, dan Kolaka 39 jenis).
Selain adanya ciri-ciri tersebut, masyarakat Sulawesi Tenggara di era 2003 dipengruhi pula oleh sifat-sifat atau budaya seperti digambarkan oleh Teori X dan Teori Y. Di antara individu masyarakat Sulawesi Tenggara dewasa ini, terdapat sikap malas, tidak bertanggung jawab, tidak kreatif, dan hanya bekerja sekedar untuk hidup. Pada sisi lain ciri Teori Y dapat dijumpai seperti bekerja sebagai suatu kesenangan atau permainan (works is a play),  bertanggung jawab, kreatif, dan bekerja tidak hanya untuk mencari kepuasan fisik, melainkan juga sebagai upaya pemenuhan kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri (Sudjana, 2000). 
Dari segi kreativitas di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS), budaya masyarakat Sulawesi Tenggara sampai dengan saat ini telah menunjukkan kenyataan yang berbeda. Di bidang seni bangunan (benteng) dan perhiasan cendera mata dalam wujud kerajinan perak (Kendari Werek) menggambarkan bahwa dewasa ini karya seni masyarakat Sulawesi Tenggara telah dikenal secara nasional bahkan internasional. Namun di bidang IPTEK, kreativitas itu masih tertinggal dari daerah dan bangsa lain yang lebih maju. Kreativitas orang Jepang, Korea Selatan, Amerika dan Eropa Barat di bidang IPTEK berada jauh di depan kreativitas orang Sulawesi Tenggara dan Indonesia pada umumnya.  
Dalam memposisikan budaya Sulawesi Tenggara dewasa ini untuk dijadikan landasan menuju kemajuan, maka tidak berlebihan kiranya melihat teori Z yang muncul menyertai pembangunan ekonomi Jepang. Teori ini dikembangkan oleh William G. Ouchi antara lain menyatakan bahwa orang Jepang terbiasa hidup berdekatan secara harmonis dengan tetangga. Karena itu orang Jepang memiliki kehidupan yang lebih terbuka sehingga sedikit sekali rahasia kehidupan pribadi yang tersembunyi. Budaya inilah yang menjadi faktor penyebab orang Jepang cepat maju, sesuai dengan kemampuan dan peluang masing-masing, dapat bekerja sama dengan orang lain secara harmonis, dan dapat menekan sekecilmungkin terjadinya benturan antar kepentingan masing-masing individu atau kelompok. Sosial budaya masyarakat Jepang memberikan kontribusi positif terhadap kemajuan pembangunan bangsanya.
Ciri yang dimiliki masyarakat Jepang dapat dijumpai dalam budaya masyarakat Sultra dewasa ini, seperti terlihat dari keragaman suku bangsa yang ada di Sultra merupakan suatu penanda adanya sikap keterbukaan masyarakat setempat menerima orang luar bersama dengan budayanya. Selama ini, tidak ditemukan benturan sosial yang berarti baik antar kelompok-kelompok masyarakat setempat maupun dengan kelompok masyarakat pendatang. Kondisi ini, merupakan salah satu indikator yang dapat berpengaruh positif terhadap kemajuan pembangunan daerah di masa depan. Pertanyaannya sekarang: bagaimana memanfaatkan kondisi ini secara efektif dan efisien dalam pembangunan masyarakat Sultra yang maju dan berbudaya.  
Di negara Industri baru Korea Selatan muncul Teori W yang dikembangkan oleh Myon-Woo Lee. Teori ini menekankan bahwa pengembangan budaya teknologi dan industri khusus Korea Selatan, untuk mengantarkan negara ini menjadi salah satu adidaya ekonomi dunia. Ia menyarankan perlunya upaya mengoptimalkan penggunaan budaya, keunggulan geografis, karakteristik penduduk, sumber daya alam, dan kreativitas masyarakat dalam menjadikan Korea Selatan sebagai salah satu pusat ekonomi paling maju di dunia.
Ciri yang menjadi dasar kemajuan Korea Selatan jika dikaji dari unsur-unsur budaya masyarakat Sulawesi Tenggara dapat ditemukan beberapa persamaan. Budaya dari berbagai suku bangsa merupakan potensi besar memiliki unsur-unsur inovatif untuk memacu percepatan pembangunan daerah, penduduk yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda didukung oleh sikap toleransi yang tinggi merupakan modal besar untuk mewujudkan suatu perpaduan unsur-unsur budaya yang dapat melahirkan budaya besar seperti halnya yang terjadi di Mesir Kuno, dan Yunani Kuno. Sumber daya alam baik di darat dan di laut merupakan daya dukung yang cukup strategis didukung pula oleh adanya potensi untuk mengembangkan sikap kreativitas yang telah dimiliki oleh sebagaian individu dan kelompok masyarakat seperti ditunjukkan oleh para perajin dan pelayar dari berbagai etnik yang ada.
Kebudayaan, termasuk kebudayaan daerah Sultra harus dipandang sebagai suatu proses yang berkesinambungan. Dalam proses berkesinambungan itu tentunya daya cipta memegang peranan penting. Daya cipta lahir dari manusia yang kreatif. Manusia kreatif tidak lahir dengan sendirinya tetapi muncul karena adanya rangsangan dari keseluruhan kebudayaan masyarakat di mana dia hidup, termasuk rangsangan dari pranata sosial yang bernama lembaga-lembaga pendidikan (Tilaar, 1999a).
Dalam Kongres Kebudayaan 1991 berkembang pemikiran bahwa kebudayaan Indonesia sejak pertengahan abad ke-19 sampai sekarang merupakan suatu garis perkembangan dari feodalisme sampai demokrasi, dan dilanjutkan dengan globalisasi. Proses globalisasi melemahkan egosentrisme budaya Eropa terhadap budaya Timur. Perkembangan kebudayaan Eropa dimulai dengan masyarakat berbudaya dengan agama, kemudian dengan seni, dan dewasa ini dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Konsep kebenaran yang dahulunya mempunyai sifat spiritual, sekarang sifatnya rasional dan ilmiah. Sedangkan perkembangan kebudayaan masyarakat Sultra berawal dari masyarakat berbudaya dengan religius (animisme, dinamisme dan totemisme), kemudian sekarang sedang mengalami transisi kepada masyarakat berbudaya melalui rasionalitas dan limiah. Budaya kita tidak mengalami periode pemujaan yang berlebihan terhadap kesenian seperti halnya budaya Eropa pada masa renaissance. Budaya bangsa dan daerah Sultra berjalan pada dua kurung waktu dari periode magis-religius kepada periode rasionalitas ilmiah dengan tidak melupakan aspek religius keagamaan (Islam, Kristen, dan Hindu).

Kecenderungan pakar kebudayaan melihat peran pendidikan dalam pengembangan kebudayaan. Orientasi pendidikan nasional yang tentu saja berpengaruh langsung terhadap pendidikan Sultra terlalu menekankan pada domain kognitif, dibandingkan dengan domain afektif dan psikomotorik. Hal ini berarti sangat kurangnya sumbangan pendidikan terhadap peningkatan wawasan dan aprsiasi  kebudayaan dan kesenian. Masalah sentral yang muncul sejak waktu itu ialah bagaimana sistem pendidikan kita menghasilkan warga masyarakat yang bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai budaya daerah, dalam kehidupan politik,  ekonomi, hukum dan sosial. Dalam konteks ini dunia pendidikan di Sultra saat ini perlu dipacu untuk secara berencana dan terarah melahirkan manusia-manusia berbudaya yang sadar, terdidik, dan berkualitas.

Dalam usaha mewujudkan masyarakat industrial yang berbasis sosial budaya Sultra, maka tidak berlebihan mengutip pendapat Tilaar (1999a) yang menawarkan beberapa strategi dengan asas-asas: (1) kesatuan, (2) ketahanan dan kelangsungan hidup, (3) kemerdekaan berpendapat, (4) kesejahteraan, (5) pengembangan akal budi, (6) kreativitas, (7) keterbukaan, (8) ketuhanan, (9) kemanusiaan, (10) kemandirian, (11) kejujuran, (12) kesederhanaan, (13) kekeluaragaan, (14) kebhinnekaan, (15) kerakyatan, (16) keadilan sosial, (17) ketertiban, (18) keseimbangan, dan (19) kepemimpinan. Asas-asas tersebut pada kenyataannya dapat dijumpai dalam unsur-unsur budaya yang ada pada beberapa suku bangsa yang ada di Sultra ini, sehingga kalau kita akan memanfaatkan sari pati budaya yang ada untuk dikembangkan dalam Sultra raya menuju masyarakat industrial sangat memudahkan masyarakat melakukan adaptif.

Berbagai studi tentang periode transformasi secara tipikal didahului oleh bermacam-macam indikator sosial, banyak diantaranya identik dengan gejala-gejala krisis kita dewasa ini. Pada masa-masa perubahan budaya, indikator-indikator ini cenderung muncul dalam satu hingga tiga dasawarsa sebelum transformasi sentral terjadi, yang semakin meningkat frekuensi dan intensitasnya pada masa transformasi itu mendekat, dan kemudian menurun lagi setelah transformasi itu terjadi. Oleh Capra (1998) diidentifikasi pola-pola kebangkitan dan keruntuhan peradaban-peradaban besar di sekitar Laut Tengah, yaitu berturut-turut: Sumero-Akadia, Mesir Kuno, Aegean, Syria, Yunani, Islam, Kristen Ortodoks, dan Barat.

Transformasi budaya semacam ini merupakan langkah-langkah esensial dalam perkembangan peradaban. Kekuatan-kekuatan yang mendasari perkembangan ini semakin kompleks, dan para sejarawan tidak memiliki teori dinamika budaya yang komprehensif, tetapi tampak bahwa semua peradaban berjalan melalui kemiripan siklus proses-proses kejadian: (1) geneses of civilizations, (2) growths of civilizations, (3) Decline of civilizations (i) breakdowns of civilization, (ii) disintegration of civilization, (iii) dissolution of civilizations (Toynbee, 1956).

Suatu bangsa atau peradaban pada dasarnya melalui proses evolusi: kelahiran, perkembangan, dan keruntuhan (kemerosotan, kehancuran, dan lenyap). Toynbee menyatakan bahwa suatu kebudayaan dapat lahir dan berkembang karena adanya challenge and response antara manusia dengan alam sekitarnya. Proses lahirnya suatu kebudayaan merupakan suatu transisi dari kondisi statis ke aktivitas dinamis. Transisi ini mungkin terjadi secara spontan, melalui pengaruh beberapa peradaban yang telah ada atau melalui disintegrasi dari satu peradaban atau lebih dari generasi yang lebih tua. Suatu pola dasar perkembangan kebudayaan adalah melalui proses tantangan dan jawaban. Tantangan dari lingkungan alam dan sosial memancing tanggapan/jawaban kreatif dalam suatu masyarakat atau kelompok sosial yang mendorong masyarakat itu memasuki proses peradaban.

Peradaban terus tumbuh ketika jawaban terhadap tantangan awal berhasil  membangkitkan  momentum budaya yang membawa masyarakat keluar dari kondisi  tidak stabil memasuki suatu keseimbangan berkelebihan yang tampil sebagai tantangan baru. Melalui cara ini, pola tantangan dan jawaban awal terulang dalam fase-fase pertumbuhan berikutnya, di mana masing-masing tanggapannya berhasil menimbulkan suatu kondisi yang menuntut penyesuaian kreatif baru (Capra, 1998).

Jika mengacu pada pemikiran Toynbee tersebut, maka budaya dan peradaban Sultra saat ini berada pada tahapan awal perkembangan. Apa yang dilakukan oleh pemerintah dan rakyat Sultra sejak saat ini dengan membuat rancangan pembangunan yang visioner dan berbasis pada sosial budaya daerah merupakan suatu bentuk kebangkitan budaya dalam arti terjadi proses kesinambungan budaya sebelumnya.

Harus disadari bahwa perubahan sosial hendaknya tetap berakar pada budaya. Masyarakat sejahtera yang didukung industri adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan berciri suka rela (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan ketrkaitan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.

Sebagai suatu pandangan, kebudayaan dalam menjawab arah pembinaan masyarakat industrial, akan bertumpu pada asumsi perspektif filosofis yang disebut dengan berpijak atau berakar pada nilai. Tumbuhnya masyarakat industrial sebagai sebuah era baru sangat berkaitan dengan kehidupan budaya. Perubahan nilai sangat terkait dengan manifestasi dinamika kebudayaan. Nilai-nilai akan menjadi acuan dan sikap perilaku manusia, sebagai makhluk individual yang tak bisa lepas dari masyarakat sekitarnya dengan orientasi budaya yang khas.

Pada dasarnya masyarakat industrial merupakan bagian yang integral dengan bangunan budaya yang menyeluruh. Hal ini harus dicari garis paralel dalam sistem sosial yang ada, sehingga dapat dilihat kekuatan masyarakat yang mampu menjadi penyeimbang dan pengawas terhadap kekuatan pemerintah. Pada akhirnya akan menghasilkan sebuah konsep bahwa “budaya sebagai sebuah karakter”. Hal ini penting, karena realitas masyarakat majemuk, yaitu terbelah menjadi kelompok-kelompok kecil dengan ciri dan arah yang spesifik.


C.    Kendala-kendala Budaya dalam Rangka Pengembangan Masyarakat Industrial

Beberapa kendala kultural dalam masyarakat Sulawesi Tenggara antara lain:
1.      Rendahnya disiplin dan ketaatan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.      Kreativitas masih rendah terutama dalam bidang IPTEK
3.      Kurang tegas dalam bersikap terhadap sesuatu sehingga sulit membedakan antara yang baik dan tidak baik, setuju dan tidak setuju.
4.      Fluralitas masyarakat Sultra dalam sosial budaya (suku, bahasa, agama, adat-istiadat)
5.      Munculnya gejala penurunan sikap solidaritas sosial dalam kehidupan masyarakat.
6.      Menurunnya rasa percaya diri kepada orang lain.
Tantangan sosial budaya dalam bentuk pluralitas masyarakat Sultra, tidak hanya berkaitan dengan budaya, tetapi juga dimensi sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Meskipun kesatuan politik telah terbentuk selama setengah abad (51 tahun), pluralitas masyarakat kurang dimanfaatkan sebagai potensi yang dapat didinamisasikan untuk memacu pembangunan. Kebijakan pembangunan selama ini termasuk pembangunan daerah justru terkesan menjadikan masyarakat yang majemuk menjadi suatu masyarakat yang mengarah pada bentuk uniformitas. Dampak dari kebijakan tersebut, adalah meningkatnya semangat egosentrisme. Ini dapat dilihat dari meningkatnya aspirasi tentang pentingnya putra daerah untuk diangkat menjadi pejabat. Gejala ini terjadi karena masyarakat kurang begitu percaya pemimpin dari daerah lain akan dapat membawa kesejahteraan bagi diri dan daerahnya. Rasa saling tidak percaya ini, telah menjadi kendala yang serius dalam mewujudkan kesejahteraan yang didukung oleh manusia-manusia yang melek teknologi dan industri.

Kecuali itu, terdapat kesan yang kuat bahwa solidaritas sosial makin menipis dalam kehidupan masyarakat akhir-akhir ini, dapat dicermati dari berbagai praktek kehidupan yang berjalan. Orang tidak begitu peduli lagi dengan kehidupan orang lain. Egoisme semakin menonjol, yang mewarnai berbagai bentuk kehidupan masyarakat terutama di perkotaan. Egoisme yang semakin menebal ini telah menjadikan mentalitas masyarakat Sultra tidak mudah untuk mengakui keunggulan masyarakat atau bangsa lain. Dalam berbagai kasus egoisme itu ditunjukkan pula dengan sukarnya kebanyakan individu untuk menerima kekalahan secara sportif. Padahal salah satu pilar penting bagi terwujudnya masyarakat sindustrial adalah hadirnya solidaritas sosial dalam menuju kesamaan pandangan.

Rasa percaya diri kepada orang lain menurun dari waktu ke waktu. Ini pun akhirnya mengimbas pada menipisnya rasa percaya diri masyarakat. Gejala tersebut dapat dicermati dari rasa kuatir yang berlebihan pada berbagai segmen masyarakat untuk berbuat. Orang selalu merasa kuatir kalau-kalau yang dilakukannya keliru. Orang menjadi malas walaupun dia yakin apa yang akan dilakukannya itu benar.

Dalam upaya mengurangi rasa percaya diri itu, orang mulai menempuh jalan pintas dengan menggunakan berbagai alat pelindung dan topeng, antara lain dalam bentuk pemilikan atribut benda-benda yang dipandang bergengsi, dan berbagai macam dalih kemunafikan yang dipandang dapat menyelamatkan muka. Rendahnya rasa percaya diri ini secara riil dapat kita lihat pada maraknya budaya “Asal Bapak Senang” yang melanda kalangan masyarakat kita. Rasa percaya diri inilah yang sesungguhnya secara signifikan berpengaruh pada keyakinan seseorang untuk mengatakan "ya” sebagai “ya”, dan “tidak” sebagai “tidak”. Jika ditelusuri secara mendalam, maka rendahnya rasa percaya diri ini bertalian erat dengan budaya feodalisme yang membentuknya. Karena itulah, untuk menunjang terwujudnya proses pembentukan masyarakat industrial, diperlukan rasa percaya diri yang tinggi pada masyarakat. Dalam kaitan ini, perlu pendekonstruksian budaya feodal  menjadi budaya yang lebih egaliter dalam tata kehidupan masyarakat Sultra. Sebab, dalam budaya egaliter itulah, mentalitas warga masyarakat akan dapat terlatih untuk bisa menghargai orang lain, tanpa harus melihat atribut-atribut yang melekat pada diri orang lain itu. Hanya dengan penghargaan terhadap orang lain itulah, kepercayaan diri orang per orang akan dapat tumbuh tanpa merasa ada gangguan dan tekanan kultural-psikologis, sebagaimana dalam budaya feodal.

Kita tidak berpegang pada pendapat Victor Turner yang menyebutnya sebagai masyarakat liminality. Masyarakat mana digambarkan tidak mempunyai rujukan budaya yang jelas (Abdullah, 1999). Tidak  mudah untuk mewujudkan masyarakat industrial tanpa memanfaatkan potensi keragaman budaya masyarakat Sultra. Diperlukan kerja keras dan nilai jujur untuk mengembangkan budaya masyarakat agar menjadi lebh dinamis, terbuka, dan bebas dari tekanan, agar jalan menuju masyarakat industrial yang berbudaya lebih terbuka luas.

Kenyataan yang ada sekarang adalah masyarakat Sultra yang majemuk, menganut sistem nilai sosial dalam bentuk bagian-bagian, sehingga para anggota masyarkat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai sebuah keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan. Jika kita bisa memaparkan pendapat Berghe (dalam Abdullah, 1999), tentang karakteristik masyarakat majemuk, yaitu: (1) terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang mempunyai kebudayaan yang berbeda satu dengan yang lain, (2) memiliki struktur sosial yang terbagi dalam lembaga yang bersifat non-komplementer, (3) kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar, (4) secara relatif sering mengalami konflik antara kelompok, (5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling ketergantungan di bidang ekonomi, dan (6) adanya dominasi politik oleh satu kelompok atas kelompok lain.

Ciri yang dikemukakan tersebut tidak sepenuhnya terjadi dalam latar budaya masyarakat Sultra dewasa ini atau jika ciri tersebut dipandang bersifat universal, maka budaya masyarakat Sultra yang majemuk itu, merupakan pengingkaran dari berbagai ciri tersebut. Ciri ketiga, empat, lima dan enam tidak ditemukan dalam latar budaya masyarakat Sultra dewasa ini. Kondisi budaya Sultra 2003 tersebut, merupakan modal dasar untuk dijadikan fondasi utama menuju percepatan pembangunan dalam rangka mewujudkan masyarakat industrial yang hidup dalam suasana sejahtera di berbagai dimensi kehidupan.

 

D.    Sosialisasi Nilai Budaya Menuju Masyarakat Industrial

Dalam kondisi budaya seperti tersebut di atas, maka diperlukan suatu kearifan dalam bentuk aksi di mana masyarakat harus kembali berpijak pada institusi kelaurga untuk melakukan inkulturasi nilai-nilai budaya yang erat kaitannya dengan ciri-ciri masyarakat industrial. Melalui proses sosialisasi dan inkulturasi nilai budaya di lingkungan keluarga, diharapkan nilai-nilai demokrasi dan sikap kreativitas akan tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat. Pemanfaatan keluarga sebagai basis kuat untuk menjadi persemaian bibit nilai-nilai budaya yang diperlukan untuk mewujudkan masyarakat sejahtera dalam suasana masyarakat industrial.

Zaman kerajaan telah berdiri kelembagaan budaya dalam bentuk kelembagaan pendidikan. misalnya: di Buton dikenal Lembaga Pendidikan Zaawiyah, ada lembaga pengkaderan calon pemimpin Belo Baruga (untuk Laki-laki) dan Belo Mamba (untuk perempuan). Di Kerajaan Konawe terdapat lembaga Inea Sinumo berkedukan di Abuki, di luar Sultra lembaga sejenis tersapat di Kerajaan Bone bernama Anreguru Ana Karung. Di lembaga pendidikan ini lebih menekankan pendidikan karakter (berbicara, berperilaku yang santun), pendidikan kepemimpinan
Pada nuansa yang lebih luas, lembaga pendidikan harus melanjutkan pertumbuhan nilai-nilai positif dalam proses pendidikan yang dilakukan. Selama ini lembaga pendidikan khususnya pendidikan persekolahan terkesan lebih memposisikan dirinya sebatas lembaga pengajaran dalam kegiatannya. Meskipun pelajaran agama dan nilai-nilai Pancasila telah disampaikan, tetapi penekanan lebih berat ditujukan pada kepentingan pengajaran (aspek kognitif) dari pada kepentingan sosialisasi nilai dalam bentuk domain afektif. Demikian pula domain psikomotorik kurang tersentuh, sehingga peran lembaga persekolahan sebagai arena pelatihan tidak nampak, akibatnya sikap kreativitas peserta didik tidak berkembang.

Upaya untuk meminimalkan kendala budaya dalam mewujudkan masyarakatindustrial, diperlukan suatu strategi mengubah kendala menjadi potensi. Tentu saja diperlukan suatu kearifan dalam meramu potensi budaya yang ada, seperti keragaman budaya yang dapat menjadi peluang banyaknya bibit unsur budaya inovatif, rendahnya disiplin dan ketaatan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan rendahnya rasa percaya diri, dapat ditekan dengan penanaman sikap disiplin dan kejujuran melalui tripusat pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat), kreativitas rendah dalam bidang IPTEK, rendahnya sikap solidaritas dapat ditingkatkan dengan penekanan pada aspek psikomotirik, sikap demokratis, dan sikap solidaritas dalam setiap kesempatan sosialisasi nilai atau pendidikan.

Diperlukan beberapa persyaratan agar gagasan tentang masyarakat industrial yang berbasis pada budaya sultra dapat diimplementasikan dengan baik. Persyaratan tersebut dapat diperikan berikut ini.

1.      Pemahaman yang Sama

Pada tingkat awal sangat diperlukan adanya pemahaman bersama di kalangan masyarakat, tentang apa dan bagaimana karakteristik dari masyarakat yang disebut masyarakat industrial itu. Paling tidak secara konsepsional prinsip-prinsip dasarnya harus dipahami secara bersama, sehingga relatif tidak ada lagi yang tidak memahami apa yang digariskan dalam prinsip-prinsip dasar masyarakat industrial tersebut. Masyarakat harus memahami lebih dahulu bagaimana mekanisme sistem yang terdapat dalam masyarakat industrial itu dalam dinamika kehidupan masyarakat Sultra. Dengan pemahaman seperti itu, relatif akan menjadi lebih mudah bagi masyarakat untuk melangkahkan kaki selanjutnya menuju masyarakat industrial. Karena itu sosialisasi tentang budaya yang ada saat ini dan sistem masyarakat yang dicita-citakan itu perlu dilaksanakan dengan memanfaatkan berbagai kesempatan dan media yang ada.


2.      Keyakinan dan Saling Percaya

Menumbuhkan keyakinan di kalangan masyarakat bahwa masyarakat industrial adalah masyarakat pilihan yang terbaik dalam mewujudkan suatu sistem sosial yang dicita-citakan, perlu dikondisikan. Hanya dengan keyakinan itu, proses untuk menuju masyarakat sejahtera dapat dilakukan. Seiring dengan itu harus pula ditumbuhkembangkan rasa saling percaya di kalangan masyarakat dengan meningkatkan rasa keadilan dan kejujuran dalam berbagai dimensi kehidupan.


3.      Satu Hati dan Saling Tergantung

Sebagai refleksi dari kondisi satu hati akan tergambar dari semakin menguatnya rasa saling ketergantungan (interdependecy) antara individu dengan kelompok masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, tingkat saling membutuhkan antar berbagai segmen masyarakat akan menjadi bagian terpenting dari moral kehidupan masyarakat.


4.      Kesamaan Pandangan tentang Tujuan dan Misi

Jika kondisi satu hati dalam masyarakat sudah menunjukkan benih-benih yang menggembirakan, kesamaan pandangan baik mengenai tujuan dan misi menjadi lebih mudah untuk diwujudkan. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat tentu tidak dapat dinafikan begitu saja, tetapi perbedaan itu menurut Abdullah (1999) bukan untuk diarahkan menjadi suatu yang bersifat uniformity (keseragaman), tetapi dalam wujud unity (kesatuan) dan  onenees (keutuhan).

 Berbagai pihak telah menyadari bahwa dalam menyambut indutriaalisasi pada global, perlu menggali nilai-nilai budaya yang bersifat indigenous (Tilaar, 1999b). Kita harus mampu memodifikasi  nilai-nilai budaya daerah atau nilai-nilai indigenous sesuai dengan nilai-nilai modern sehingga ketercabutan dari akar budaya dapat dihindarkan. Mempertahankan nilai-nilai indigenous yang bersifat positif akan membantu dalam mengemukakan dan mempertahankan identitas masyarakat Sultra. Pada akhirnya nantu, suatu masyarakat  atau individu yang kehilangan identitas akan kehilangan keberadaannya. Oleh karena ini dalam era industrialisasi yang dicita-citakan manusia dan masyarakat unggul yang diharapkan adalah memiliki kesadaran dan apresiasi terhadap budayanya dan nilai-nilai yang berkembang di lingkungan sosialnya.


E.     Penutup
Posisi kebudayaan dan peradaban Sultra dalam perekat antar generasi dari masa ke masa. Meskpun posisi kebudayaan masih dalam taraf perkembangan tetapi secara empiris memiliki dasar yang kuat untuk dijadikan fondasi untuk meletakkan dasar-dasar perekat antar generasi untuk mewujudkan masyarakat sejahtera dan berbudaya dalam suasana masyarakat industrial. Budaya masyarakat Sultra yang majemuk/fluralistik memiliki banyak unsur-unsur inovatif yang dapat berfungsi sebagai pilar utama dalam mengantarkan masyarakat Sultra yang maju dan mandiri dalam wujud masyarakat industrial dan melek budaya.
Keragaman budaya masyarakat Sultra, bukan merupakan penghambat kemajuan teknologi, tetapi lebih diarahkan sebagai potensi untuk menjadi bahan racitan dalam mengembangkan budaya industrial yang bersifat inovatif atau melalui proses akulturasi dengan unsur-unsur budaya lain dari luar. Dengan demikian kemajuan budaya industrial yang diharapkan bukan hanya merupakan invensi yang bersifat internal, tetapi juga dapat mengadopsi unsur-unsur budaya/teknologi dari laur sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya masyarakat setempat, sehingga makin merekatkan persatuan dan kesatuan antar komunitas dan antar generasi.

 

DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, T. dkk. 1999. Membangun Masyarakat Madani Menuju Indonesia Baru Milenium ke-3. Yogyakarta: Aditya Media.
Anonim. 1982. Dokumenta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekretariat DPRD.
Anwar. 2000. “Pelayaran Niaga Orang Buton pada Abad XX”. Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Nomor. 027 Tahun ke-6. Jakarta:  Balitbang Depdiknas. 
Batoa, L. K. 1991. Sejarah Kerjaan daerah Muna. Raha: Astri.
Capra, F. 1998. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Djami, M.A. dkk. 1992. Latar Belakang Budaya dan Prospek Pengembangan Pariwisata Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Laporan Penelitian dibiayai DIKTI-Depdikbud.
Djarudju, L. S. 1989. “Konteks Kepemimpinan Tradisional Buton dalam Menunjang Gersamata dan Pembangunan Nasional”. Makalah disampaikan dalam Seminar tentang Kepemimpinan Menurut Budaya Sulawesi Tenggara dan Kaitannya dengan Pembangunan Daerah/Nasional. Kendari: FISIP-Unsultra, 23 November 1989.  
Dryden, G dan Vos, J. 2000. Revolusi Cara Belajar: The Learning Revolution. Bandung: Kaifa.
Naisbitt, J. 1997. Megantrends Asia: Delapan Megantren Asia yang Mengubah Dunia. Jakarta: Gramedia.
Sudjana, D. 2000.  Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Luar Sekolah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Falah Production.
Tarimana, A. 1989. “Budaya Kepemimpinan Tolaki dan Sumbangannya terhadap Pembangunan Desa (Gersamata) di Sulawesi Tenggara”. Makalah disampaikan dalam Seminar tentang Kepemimpinan Menurut Budaya Sulawesi Tenggara dan Kaitannya dengan Pembangunan Daerah/Nasional. Kendari: FISIP-Unsultra, 23 November 1989.  
Thalha, A. 1982. Kabupaten Sulawesi Tenggara Fase Perkembangan ke Status Propinsi. Kendari: Biro Hukum Sekretariat Wilayah Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara.
Tilaar, H.A.R. 1999a. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani.  Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tilaar, H.A.R. 1999b. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21.  Magelang: Indonesia Tera.
Toynbee, A.J. 196. A Study of History. London: Oxpord University Press.
Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacara.




 Makalah: Disajikan dalam Seminar dan Dialog Lintas Generasi akan Cinta Tanah Air, diselenggarakan Pemerintah Kota Kendari, 13 Oktober 2012.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar