Minggu, 08 Januari 2017

PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN BUDAYA WAWONII


Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.

A.    Pendahuluan

Era otonomi daerah memberi ruang gerak kepada masyarakat dan pemerintah daerah untuk mengembangkan daerahnya. Pengembangan daerah diharapkan berakar pada latar belakang budaya daerah yang telah diwariskan oleh para nenek moyang yang telah berjuang untuk membangunan daerah dalam berbagai dimensi kehidupan, diawali dari pembentukan komunitas sosial, struktur pemerintah, pranata sosial budaya seperti tata pergaulan dalam masyarakat dan pemerintahan, semangat nasionalisme dan patriotisme baik dalam memperjuangkan terbentuknya suatu pemerintahan yang dulu disebut kerajaan maupun dalam era kemerdekaan sekarang ini.
Kekayaan latar belakang budaya Masyarakat Konawe Kepulauan atau Masyarakat Wawonii akan sangat berharga untuk dijadikan pegangan dalam mengembangkan daerah ini pada era globalisasi dan otonomi daerah, lebih khusus lagi dalam rangka peningkatan status menjadi Warisan Budya Nusanatara sehingga dapat lebih mengembangan pariwisata di daerah serta pelestarian budaya daerah melalui pembelajaran di sekolah. Latar belakang budaya tersebut antara lain (1)permainan tradisional, (2) kesenian tradisional, (3) tradisi lisan/tradisi non benda.
Ketiga unsur budaya Masyarakat Menui tersebut merupakan modal historis yang dapat dikembangkan dalam mendukung promosi wisata dan  memperkaya muatan ajar di sekolah. Sayangnya, nilai-nilai budaya strategis itu, masih sulit dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah karena belum banyak terdokumentasikan dalam buku-buku budaya baik dalam buku budaya nasional maupun dalam buku budaya daerah.
Kesadaran akan penelitian/penulisan budaya daerah (Kabupaten/Kota) sudah mulai berkembang dari beberapa pemerintah daerah seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Kendaqri  yang telah menerbitkan secara nasional Buku Sejarah Kota Kendari (2007)  dan kemudian disusul Kabupaten Kolaka (2009), Kabupaten Konawe Utara (2013) yang menaruh perhatian besar terhadap pengkajian dan penulisan sejarah dan budaya daerah. Kesadaran ini tentu saja tidak berlebihan, karena terbukti bahwa dalam rangkaian aktivitas masyarakat sarat dengan nilai-nilai yang dapat dilestarikan dan dikembangkan dalam mendukung pembangunan daerah. Kesemuanya itu, perlu diungkap lewat suatu kajian ilmiah dengan menjunjung tinggi validitas data budaya.
Dewasa ini masyarakat dunia sedang berupaya menginventarisasi budaya dari berbagai bangsa di dunia untuk dapat dilestarikan dan dikembangkan dengan cara menetapkan sebagai WARISAN BUDAYA DUNIA, sampai dengan tahun 2015 ini telah teridentifikasi sebanyak 981 situs, terdiri atas:
a.       Warisan Alam                               : 193 buah
b.      Cagar Budaya                               : 759 buah
c.       Karya Budaya dan Naskah           : 29 buah
Diantara situs tersebut, Indonesia memiliki sebanyak 18 buah, yang terdiri atas:
a.       Warisan alam  4 buah
1)      Taman Nasional Ujung Kulon Banten
2)      Taman Nasional Komodo NTT
3)      Taman Nasional Lorenz Papua
4)      Warisan Hutan Tropis di Sumatera
b.      Cagar Budaya  4 buah
1)      Candi Boro Budur
2)      Candi Prambanan
3)      Situs Prasejarah Sangiran
4)      Lansikap Budaya Provinsi Bali
c.       Karya Budaya tak Benda  7 buah
1)      Wayang
2)      Keris
3)      Batik
4)      Angklung
5)      Tari Zaman
6)      Noken
7)      Subak Bali
d.      Naskah Kuno 3 buah
1)      I Lagaligo
2)      Negarakartagama
3)      Babad Dipenogoro
Sekarang ini pemerintah Indonesia melalui Kemendikbud sedang mengusahakan untuk mengulkan 5 buah Warisan Budaya Nusantara menjadi Warisan Budaya Dunia, yaitu:
1.      Tari Bali
2.      Pinisi
3.      Tempe
4.      Pantun
5.      Lariangi
Bagi masyarakat Sulawesi Tenggara yang memiliki latar budaya dan alam yang begitu kaya dan beragam, sampai saat ini Budaya Masyarakat Sulawesi Tenggara yang Telah Mendapat Mengakuan Pemerintah sebagai Warisan Budaya Nusantara baru 5 jenis, yaitu: Kalo, Lulo, Mosehe Wonua, Kabanti, dan Lariangi.
Kekayaan Budaya Masyarakat Wawonii tentu cukup banyak baik masih eksis maupun yang statis. Meskipun demikian unsure-unsur budaya tersebut nyaris dilupakan, karena selama ini belum ada penelitian dan penulisan budaya yang sistematis mengkaji dan mengungkap khasanah budaya Masyarakat Wawonii di Konawe Kepulauan  dalam sepanjang perjalanan sejarahnya sejak terbentuknya pemukiman masyarakat Wawonii di wilayah Konawe Kepulauan  sampai pada era Kemerdekaan  sekarang ini. Untuk itu dalam otonomi daerah ini, khususnya dalam rangka mendukung pariwisata daerah, maka menjadi sangat strategis untuk mengidentifikasi permainan, kesenian tradisional, tradisi lisan, dan peninggalan material  sebagai khasanah budaya sehingga dapat diwariskan kepada generasi melalui pendokumentasian dalam bentuk Buku Budaya Masyarakat Wawonii yang dapat Diterbitkan dan Diedarkan Secara Nasional.
 Kegiatan atraksi seni budaya dari syarakat Wawonii merupakan tari pergaulan untuk semua golongan usia, status sosial dan jenis kelamin. Hal tersebut tidak sedikit pengaruhnya terhadap komunikasi sosial antar suku, menyebabkan timbulnya rasa persahabatan dalam gerak kehidupan sehari-hari. Bagi Masyarakat Wawonii memiliki khasanah budaya permainan tradicional, kesenian tradicional (tari lense, tari molihi) tradisi lisan dalam bentuk pantun, nyanyian, mantra, selain itu di Wawonii juga ditermukan beberapa peninggalan budaya benda, berupa pemukiman para raja-raja wawonii yang disebut Lakino, gua prasejarah, keramik, rumah tradisional, benteng pertahanan, aksara Laembo, naskah-naskah kuno, dan makam raja.
Peninggalan budaya tersebut memiliki potensi untuk dapat diangkat statusnya menjadi Warisan Budaya Nusantara, namun sebelumnya pelu persyaratan berupa kajian akademis, sehingga dapat mengungkap lebih detail semua aspek budaya tersebut, termasuk potensinya untuk bisa bertahan dan dikembangkan oleh masyarakat setempat dan peluang untuk diadopasi oleh masyarakat luar.
Budaya dalam bentuk kesenian dan permainan tradisional yang ditemukan dari hasil penelitian Hafid (2007) di Kota Kendari dan Hafid (2009a) di Kabupaten Kolaka, yaitu sebanyak 18 jenis seni, terdiri atas seni tari 3 jenis, nyanyian 4 jenis, seni suara yang memakai alat 10 jenis, dan seni lukis dalam berbagai motif.
Seni budaya dalam wujud permainan tradisional sebanyak 45 jenis,  masing-masing: 1) permainan ketangkasan menangkap binatang liar sebanyak 8 jenis, 2) permainan ketangkasan fisik sebanyak 5 jenis, 3) permainan keseimbangan badan sebanyak 9 jenis, 4) permainan otot sebanyak 13 jenis, dan 5) permainan yang mengandalkan otak/ketangkasan sebanyak 10 jenis. Kesenian dan permainan tersebut, tidak semua relevan untuk dikembangkan, namun perlu diidentifikasi lebih lanjut.

B.     Peninggalan Sejarah dan Budaya di Wawonii

Pulau Wawonii, bisa jadi masih sangat asing didengar. Pulau Wawonii, jika dilihat pada Peta Sulawesi Tenggara sangat mudah untuk ditemukan karena bentuknya yang sedikit mirip dengan bentuk hati. Dalam Bahasa Wawonii "WAWO" artinya "atas" atau "tempat yang tinggi/yang dianggap tinggi". Sedangkan "NII" artinya "Kelapa". Sangat mengherankan jika sebagian orang beranggapan bahwa pantas saja Pulau tersebut dinamakan Wawonii karena banyaknya pohon kelapa di Pulau tersebut. "WAWONII" adalah Nama Raja I  Tangkombuno yang berpusat di Wilayah Timur Pulau Wawonii. Sangat sulit untuk menemukan bukti dari sisa-sisa kerajaan tersebut. Tidak sedikit turis & ahli sejarah yang datang ke Pulau Wawonii untuk mencari bukti dari kerajaan tersebut, tapi hasilnya nihil. Beberapa dari keluarga saya mengatakan "Sekuat apapun usaha orang mencari tempat yang ingin dia cari, jika tidak ada izin dan tidak bersama orang yang tepat maka perjalanannya  akan sia-sia" (Anonim, 2011).
Beberapa sumber menyebutkan bahwa penduduk asli Pulau Wawonii adalah Suku Torete. Sejarah Kerajaan yang diceritakan oleh Almarhumah Wahinda (Cucu dari Raja Mbeoga) menyebutkan bahwa  memang benar bahwa selain orang  Tangkombuno, ada juga orang-orang yang tinggal di Gunung Waworete yang dikenal dengan sebutan orang torete. Dalam bahasa Wawonii "TO" bermakna "orang/masyarakat" sedangkan "RETE" bermakna "Rata/Sama". Sedangkan menurut Pak Supian Bin H. Muh. Mahdy (Turunan Wawonii) menyebutkan bahwa makna dari "TORETE" adalah orang-orang yang disamakan kedudukannya. Setelah Raja Wawonii digantikan oleh anaknya Sangia Lungku, pada masa itulah terjadi kejadian yang sangat mengerikan bagi orang torete. Wabah penyakit kulit menyebabkan orang-orang torete berinisiatif untuk meninggalkan tempat tersebut. Ceritanya memang sulit dipercaya. Tapi seperti itulah sejarah dari nenek moyang orang Tangkombuno (Anonim, 2011).

1.      Kalapaeya
Salah satu adat kerajaan Tangkombuno yang masih dapat dilihat sampai saat ini adalah KALAPAEYA. Kalapaeya hanya dipersembahkan untuk turunan mokole Wawonii atau untuk keluarga kerajaan saja dengan tingkatan yang berbeda-beda. Sebenarnya penggunaan Kalapaeya sangatlah sakral. Tapi tidak sedikit dari masyarakat Pulau Wawonii yang mengerti betul bagaimana pembuatan dan penggunaannya dengan tepat (Anonim. 2014).  

Sepenggal Sejarah dan Adat di Pulau Wawonii

Sekitar abad ke-16 Keluarga Raja juga telah mengenal tulisan yang disebut dengan Ejaan Laembo.  Sayangnya  tulisan ini tidak di ajarkan pada masyarakat luas.  Jadi sangat sulit untuk mendapatkan informasi mengenai hal tersebut .
Dalam adat pernikahan, Mahar yang diberikan mempelai pria kepada mempelai wanita bukanlah berupa uang melainkan berupa Pohon Kelapa. Semakin tinggi derajat seorang wanita maka semakin banyak pula pohon kelapa yang disebutkan sebagai mahar perkawinan. Setelah berakhirnya sistem kerajaan, beberapa orang memutuskan untuk menyetarakan nilai mahar perkawinan dengan alasan kemanusiaan. Meskipun demikian sebagian masyarakat adat masih memegang teguh ketentuan pada nilai mahar yang sudah ditentukan sebelumnya. Beda suku, beda pula adat dan budayanya. Dan kita tetaplah Bhineka Tunggal Ika.

2.      Benteng/kerajaan Watuntinapi (Batu Disusun)
Terletak di Sekitar Desa ladianta, Noko dan Mataburanga Kecamatan Wawonii Timur Laut dengan jarak ± 30 Km dari Ibu Kota Kabupaten Konawe Kepulauan. Luas area Watuntinapi ± 2 Km2. Sesuai dengan namanya, bangunan bersejarah ini disusun menggunakan batu-batu pipih. Bangunan ini merupakan peninggalan Raja Mbeoga (Lakino Wawonii Ke-VIII). Konon ceritanya Setelah wafatnya Raja Mbeoga, tempat ini hanya dapat dikunjungi oleh orang-orang yang telah mendapat izin/ orang yang telah diamanahkan. Hal tersebut merupakan salah satu amanah dari Raja Mbeoga itu sendiri. Selain menutup tempat tersebut, raja Mbeoga juga mengamanahkan pada para Bonto agar masyarakatnya turun/ tinggal di pesisir pantai seperti sekarang ini (Anonim. 2014).

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwxORUp0w84xYcqtllCfBDriG3jhZ2bc-ZaJWISH3qJ99r1x9bthzYGRa5KuXmtyAgBMOV3zSGDu79CeADoJmJqskso7FHOyPndOfXU0JhpoQaXn2g0sOLrMm8_NSbTQq2WirvVEqR6TKn/s1600/Untitled-b.jpg

3.      Kontara (Benteng Pertahanan)
Terletak di sektiar desa ladianta, Noko dan Mataburanga Kecamatan Wawonii Timur Laut dengan jarak ± 30 Km dari Ibu Kota Kabupaten Konawe Kepulauan. Luas areal bangunan ini ± 1 Ha. Sesuai dengan namanya bangunan ini di dirikan sebagai benteng pertanahan untuk mengintai musuh baik dari penjajah bangsa belanda maupun para perompak (Bangsa Tobelo) dan kerajaan-kerajaan lain. Keunikan dari bangunan ini adalah bentuk pintu masuknya seperti pulau wawonii.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHgi0lTDofwkyCxf45H4b39sX2gr1UyE4rDQuPP-jhhoSh4XQT8q7TdlhWeUKMyP7SuCDtfpOOkIZWjRTUFrWOY3ZDWY5Z0YKYC_LGJ7QGMRo2i_10zc8kEhkOlB5NmUcsosYByjnUXJrG/s1600/KONTARA.jpg

4.      Makam Raja Mbeoga
Berada di Desa Dimba Kec. Wawonii Timur Laut, makam ini adalah salah satu peninggalan sejarah Pulau Wawonii yang di lestarikan oleh masyarakat dan menjadi salah satu cagar budaya Kabupaten Konawe Kepulauan (pulau wawonii) (Anonim. 2014)
1403352877371219259
Makam Raja Mbeoga (1650-1745) di Desa Dimba

5.      Permainan Tradisional (tinggo alu, tinggo kasu)

6.      Kesenian tradicional (tari lense, tari molihi)

7.      Tradisi lisan dalam bentuk: Pantun, Nyanyian, Mantra

8.      Pemukiman raja-raja Wawonii yang disebut Lakino

9.      Gua prasejarah

10.  Keramik

11.  Rumah Tradisional

12.  Aksara Laembo

13.  Naskah-naskah kuno.

 

C.    Strategi Pelestarian Seni Budaya Mekongga

Dalam upaya meningkatkan kecintaan generasi muda terhadap seni budaya daerah sehingga terbentuk jiwa generasi muda yang memiliki rasa nasionalisme dan bangga terhadap potensi seni budaya daerah dalam mewujudkan pertahanan semesta dan jati diri sebagai Orang Wawonii dapat dilakukan beberapa strategi.

1.    Penulisan/Penelitian
Pendokumentasian budaya dalam bentuk buku atau artikel, merupakan bentuk pelestarian dan pengembangan budaya. Melalui budaya tulis dan baca, maka seseorang adapat melestarikan dan mengembangan budaya, baik oleh penulisnya sendiri maupun para pembaca.

2.    Lomba/pekan Seni Budaya  
Kegiatan tersebut bertujuan untuk  membina, mengembangkan dan melestarikan kesenian daerah, serta untuk meningkatkan apresiasi dan kreativitas para seniman dan seniwati sekaligus dalam upaya memberikan hiburan yang segar bagi masyarakat. Berkenaan dengan itu,  diharapkan agar pembangunan seni budaya harus tetap dijaga dan dipelihara kelestariannya, sehingga dapat memupuk masyarakat untuk mencintai seni budaya asli daerah dan menanamkan jiwa, semangat serta nilai-nilai luhur bangsa, yang pada gilirannya dapat menggairahkan dan menyukseskan program nasional.

3.    Festival Seni Budaya
Pagelaran kalau kita mau keluar sebagai pemenang di dalam era globalisasi. Seni budaya merupakan aset utama karena sifatnya yang unik dan tampil beda, sehingga tepat untuk alat persaingan.  Masyarakat Mekongga dengan beragam seni budaya yang dimiliki. Harus dapat dimanfaatkan dengan tepat berbagai corak seni budaya tersebut dengan segala sektor dan faktor pendukungnya,  ini merupakan suatu karunia Tuhan yang patut disyukuri. Seni Budaya Wawonii yang beragam tidak saja komparatif tetapi juga kompetitif, yang patut dilestarikan dandimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

4.    Muatan Lokal di Sekolah
Guna melestarikan budaya Indonesia, pemerintah diharapkan dapat memasukkan mata pelajaran budaya unggulan sebagai muatan lokal. Cara ini dianggap efektif untuk mengenalkan budaya kepada generasi kini. angklung misalnya, sebagai salah satu budaya dari Jawa Barat, dapat dimasukkan sebagai mata pelajaran intrakulikuler di sekolah hingga universitas. "Kalau dulu sebagai ekstrakulikuler, lama-lama bisa jadi intrakulikuler", Jumat. Daerah-daerah lainnya di Indonesia yang mempunyai budaya khas, juga dapat melakukan hal yang sama. Tujuannya, terutama agar budaya tersebut tak hanya diakui, namun dapat diteruskan kepada generasi masa kini. Untuk itu, dinas pendidikan dan pemerintah daerah setempat dipandang memegang peranan penting dalam menyusun kurikulum tersebut. Sinergisitas dua institusi ini cukup menentukan. Hal ini khususnya terkait dengan tenaga pengajar. Dalam hal ini, pemerintah daerah harus memiliki pengajar yang menguasai dan mampu mengajarkan budaya setempat. sertifikat Best Practise yang didapat diklat Warisan Batik Indonesia dari UNESCO, sebagai contohnya, diberikan setelah lembaga dunia itu melihat sejauh mana program-program pelestarian budaya yang dilakukan Indonesia. "Kalau tidak ada programnya, tidak akan mendapat pengakuan sertifikat".  Untuk mendapatkan pengakuan sertifikat sebuah budaya, memang memerlukan waktu dan perjuangan yang panjang. "Ini akan panjang perjuangannya dan akan menarik, serta jadi khazanah budaya bangsa. Contohnya, angklung jadi ekskul dulu (optional), lama-lama jadi intrakurikuler dan muatan lokal (wajib)" (Hafid, 2009b).

5.    Dekranasda
Lembaga Dewan Kerajinan Nasional di daerah perlu melakukan keragaman kegiatan promosi seni budaya melalui kegiatan tersebut di atas dan pameran tetap berbagai seni budaya setempat. Budaya dan Promosi Pariwisata Kebudayaan adalah pengkondisian dari perilaku dan produknya. Kalau di analisis lebih jauh akan ditemukan adanya 12 komponen yang terkait satu sama lainnya yaitu:  bahasa, gastronomi/makanan, pakaian, teknologi setempat, sistem pendidikan, sejarah, pemanfaatan waktu luang, kerajinan tangan, arsitektur, tipe pekerjaan, seni dan musik, dan tradisi. Dari sekian komponen ternyata ada beberapa komponen yang menjadi perhatian wisatawan, karena itu perlu untuk mendapatkan perhatian di dalam pemanfaatannya, sehingga terjadi satu revitalisasi dan perkembangan yang dinamis tanpa kehilangan identitasnya, dan bukan malahan lenyap tanpa bekas karena mendapatkan pengaruh negatif dari wisatawan. Keuntungan yang diperoleh misalnya makin tumbuh dan berkembangnya gaya dan jenis seni kerajinan sebagai akibat mendapatkan tambahan pengetahuan dan kreativitas karena adanya "demand" untuk itu.

D.    Penutup

Posisi kebudayaan masyarakat Wawonii dewasa ini berada pada tataran masa perkembangan awal. Meskpun posisi kebudayaan masih dalam taraf perkembangan, tetapi secara empiris memiliki dasar yang kuat untuk dijadikan fondasi untuk meletakkan dasar-dasar perkembangan kemajuan Konawe Kepulauan dalam mewujudkan masyarakat sejahtera dan berbudaya dalam suasana masyarakat sejahtera. Budaya masyarakat Wawonii yang majemuk/fluralistik memiliki banyak unsur-unsur inovatif yang dapat berfungsi sebagai virus modernitas dalam mengantarkan masyarakat Konkep yang maju dan mandiri dalam wujud masyarakat masyarakat sejahtera dan melek budaya.
Keragaman budaya masyarakat Wawonii, bukan merupakan penghambat kemajuan teknologi, tetapi lebih diarahkan sebagai potensi untuk menjadi ragi dalam mengembangkan budaya industrial yang bersifat inovatif atau melalui proses akulturasi dengan unsur-unsur budaya lain dari luar. Dengan demikian kemajuan budaya industrial yang diharapkan bukan hanya merupakan invensi yang bersifat internal, tetapi juga dapat mengadopsi unsur-unsur budaya/teknologi dari laur sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Dengan demikian upaya pelestarian dan pengembangan budaya Wawonii sangat strategis dalam upaya pengembangan masyarakat dan Daerah Konkep.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010.  Pagelaran Tari Jaipongan Ajang Pelestarian Budaya Derah.  http://74.125.153.132/search?q=cache:FHwFohYxiDwJ:karawangkab.go.id/index.php%3Foption%3Dcom_content%26task%3Dview. Akses, 5 Februari, 2010
Anonim.  2011. Kearifan Lokal Masyarakat Di Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara Dalam Memanfaatkan Tumbuhan. https://ayunbio.wordpress.com/ 2011/11/25. Akses, 18 Juli 2015.
Anonim. 2014. Potensi - Potensi Pulau Wawonii.  ttp://rhisdhan.blogspot.com/2014 /11 /v-behaviorurldefaultvmlo.html. Akses, 18 Juli 2015.
Anonim. 2015. Sepenggal Sejarah dan Adat di Pulau Wawonii. File:///D:/ Kebudayan%20konkep/Sepenggal%20Sejarah%20dan%20Adat%20di%20Pulau%20Wawonii%20-%20 Kompasiana.Com.Htm. Akses, 22 Agustus 2015.
Hafid, Anwar, Dkk. 2007. Sejarah Kota Kendari. Bandung: Humaniora Utama Press.
Hafid, Anwar, dkk. 2009a. Sejarah Daerah Kolaka. Bandung: Humaniora Utama Press
Hafid, Anwar. 2009b. Sejarah dan Strategi Pelestarian Seni Budaya Mekongga. Makalah disajikan pada Lokakarya Plestarian dan Pengembangan Budaya Mekongga pada tanggal 8 Februari 2009 di Kolaka.
Pingak. Ch. 1963. Dokumenta Kolaka. Kolaka: Pemda Tk. II Kolaka.

Patasik, Wellem W. 2009. Rekonsiliasi dalam Budaya Tolaki, Sulawesi Tenggara. http://74.125.153.132/search?q=cache:ou_YRCFE2W0J:wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/01/rekonsiliasi-dalam-budaya-tolaki.html+Budaya+Mekongga&cd. Akses, 5 Feb 2010.




Makalah disajikan pada Lokakarya Melestarikan Budaya Wawonii Sebagai Pijakan Kearifan Lokal Di Tengah-Tengah Budaya Daerah Sulawesi Tenggara, tanggal 24 Agustus 2015 di Wawonii






Tidak ada komentar:

Posting Komentar