Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.
A. Pendahuluan
Era otonomi daerah memberi ruang gerak kepada masyarakat
dan pemerintah daerah untuk mengembangkan daerahnya. Pengembangan daerah
diharapkan berakar pada latar belakang budaya daerah yang telah diwariskan oleh
para nenek moyang yang telah berjuang untuk membangunan daerah dalam berbagai
dimensi kehidupan, diawali dari pembentukan komunitas sosial, struktur
pemerintah, pranata sosial budaya seperti tata pergaulan dalam masyarakat dan
pemerintahan, semangat nasionalisme dan patriotisme baik dalam memperjuangkan
terbentuknya suatu pemerintahan yang dulu disebut kerajaan maupun dalam era
kemerdekaan sekarang ini.
Kekayaan latar belakang budaya Masyarakat Konawe Kepulauan
atau Masyarakat Wawonii akan sangat berharga untuk dijadikan pegangan dalam
mengembangkan daerah ini pada era globalisasi dan otonomi daerah, lebih khusus
lagi dalam rangka peningkatan status menjadi Warisan Budya
Nusanatara sehingga dapat lebih mengembangan pariwisata di daerah
serta pelestarian budaya daerah melalui pembelajaran di sekolah. Latar belakang
budaya tersebut antara lain (1)permainan tradisional, (2) kesenian tradisional,
(3) tradisi lisan/tradisi non benda.
Ketiga unsur budaya Masyarakat Menui tersebut merupakan
modal historis yang dapat dikembangkan dalam mendukung promosi wisata dan memperkaya muatan ajar di sekolah. Sayangnya,
nilai-nilai budaya strategis itu, masih sulit dikembangkan oleh masyarakat dan
pemerintah karena belum banyak terdokumentasikan dalam buku-buku budaya baik
dalam buku budaya nasional maupun dalam buku budaya daerah.
Kesadaran akan penelitian/penulisan budaya daerah
(Kabupaten/Kota) sudah mulai berkembang dari beberapa pemerintah daerah seperti
yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Kendaqri
yang telah menerbitkan secara nasional Buku Sejarah Kota Kendari
(2007) dan kemudian disusul Kabupaten
Kolaka (2009), Kabupaten Konawe Utara (2013) yang menaruh perhatian besar
terhadap pengkajian dan penulisan sejarah dan budaya daerah. Kesadaran ini
tentu saja tidak berlebihan, karena terbukti bahwa dalam rangkaian aktivitas
masyarakat sarat dengan nilai-nilai yang dapat dilestarikan dan dikembangkan
dalam mendukung pembangunan daerah. Kesemuanya itu, perlu diungkap lewat suatu
kajian ilmiah dengan menjunjung tinggi validitas data budaya.
Dewasa ini
masyarakat dunia sedang berupaya menginventarisasi budaya dari berbagai bangsa
di dunia untuk dapat dilestarikan dan dikembangkan dengan cara menetapkan
sebagai WARISAN BUDAYA DUNIA, sampai
dengan tahun 2015 ini telah teridentifikasi sebanyak 981 situs, terdiri atas:
a. Warisan
Alam : 193 buah
b. Cagar
Budaya : 759 buah
c. Karya
Budaya dan Naskah : 29 buah
Diantara situs
tersebut, Indonesia memiliki sebanyak 18 buah, yang terdiri atas:
a.
Warisan alam 4 buah
1) Taman
Nasional Ujung Kulon Banten
2) Taman
Nasional Komodo NTT
3) Taman
Nasional Lorenz Papua
4) Warisan
Hutan Tropis di Sumatera
b.
Cagar Budaya 4 buah
1) Candi
Boro Budur
2) Candi
Prambanan
3) Situs
Prasejarah Sangiran
4) Lansikap
Budaya Provinsi Bali
c.
Karya Budaya tak Benda 7 buah
1) Wayang
2) Keris
3) Batik
4) Angklung
5) Tari
Zaman
6) Noken
7) Subak
Bali
d.
Naskah Kuno 3 buah
1) I
Lagaligo
2) Negarakartagama
3) Babad
Dipenogoro
Sekarang
ini pemerintah Indonesia melalui Kemendikbud sedang mengusahakan untuk
mengulkan 5 buah Warisan Budaya Nusantara menjadi Warisan Budaya Dunia, yaitu:
1.
Tari Bali
2.
Pinisi
3.
Tempe
4.
Pantun
5.
Lariangi
Bagi masyarakat
Sulawesi Tenggara yang memiliki latar budaya dan alam yang begitu kaya dan
beragam, sampai saat ini Budaya Masyarakat Sulawesi Tenggara yang Telah Mendapat
Mengakuan Pemerintah sebagai Warisan
Budaya Nusantara baru 5 jenis, yaitu: Kalo, Lulo, Mosehe Wonua, Kabanti, dan Lariangi.
Kekayaan Budaya
Masyarakat Wawonii tentu cukup banyak baik masih eksis maupun yang statis.
Meskipun demikian unsure-unsur budaya tersebut nyaris dilupakan, karena selama
ini belum ada penelitian dan penulisan budaya yang sistematis mengkaji dan
mengungkap khasanah budaya Masyarakat Wawonii di Konawe Kepulauan dalam sepanjang perjalanan sejarahnya sejak
terbentuknya pemukiman masyarakat Wawonii di wilayah Konawe Kepulauan sampai pada era Kemerdekaan sekarang ini. Untuk itu dalam otonomi daerah
ini, khususnya dalam rangka mendukung pariwisata daerah, maka menjadi sangat
strategis untuk mengidentifikasi permainan, kesenian tradisional, tradisi
lisan, dan peninggalan material sebagai
khasanah budaya sehingga dapat diwariskan kepada generasi melalui
pendokumentasian dalam bentuk Buku Budaya Masyarakat Wawonii yang dapat
Diterbitkan dan Diedarkan Secara Nasional.
Kegiatan
atraksi seni budaya dari syarakat Wawonii merupakan tari pergaulan untuk semua
golongan usia, status sosial dan jenis kelamin. Hal tersebut tidak sedikit
pengaruhnya terhadap komunikasi sosial antar suku, menyebabkan timbulnya rasa
persahabatan dalam gerak kehidupan sehari-hari. Bagi Masyarakat Wawonii
memiliki khasanah budaya permainan tradicional, kesenian tradicional (tari
lense, tari molihi) tradisi lisan dalam bentuk pantun,
nyanyian, mantra, selain itu di Wawonii juga ditermukan beberapa peninggalan
budaya benda, berupa pemukiman para raja-raja wawonii yang disebut
Lakino, gua prasejarah, keramik, rumah tradisional, benteng pertahanan, aksara
Laembo, naskah-naskah kuno, dan makam raja.
Peninggalan budaya tersebut
memiliki potensi untuk dapat diangkat statusnya menjadi Warisan
Budaya Nusantara, namun sebelumnya pelu
persyaratan berupa kajian akademis, sehingga dapat mengungkap lebih detail
semua aspek budaya tersebut, termasuk potensinya untuk bisa bertahan dan
dikembangkan oleh masyarakat setempat dan peluang untuk diadopasi oleh
masyarakat luar.
Budaya
dalam bentuk kesenian dan permainan tradisional yang ditemukan dari hasil
penelitian Hafid (2007) di Kota Kendari dan Hafid (2009a) di Kabupaten Kolaka,
yaitu sebanyak 18 jenis seni, terdiri atas seni tari 3 jenis, nyanyian 4 jenis,
seni suara yang memakai alat 10 jenis, dan seni lukis dalam berbagai motif.
Seni
budaya dalam wujud permainan tradisional sebanyak 45 jenis, masing-masing: 1) permainan ketangkasan
menangkap binatang liar sebanyak 8 jenis, 2) permainan ketangkasan fisik
sebanyak 5 jenis, 3) permainan keseimbangan badan sebanyak 9 jenis, 4)
permainan otot sebanyak 13 jenis, dan 5) permainan yang mengandalkan
otak/ketangkasan sebanyak 10 jenis. Kesenian dan permainan tersebut, tidak
semua relevan untuk dikembangkan, namun perlu diidentifikasi lebih lanjut.
B. Peninggalan Sejarah dan Budaya di Wawonii
Pulau Wawonii, bisa jadi masih sangat asing didengar. Pulau
Wawonii, jika dilihat pada Peta Sulawesi Tenggara sangat mudah untuk ditemukan
karena bentuknya yang sedikit mirip dengan bentuk hati. Dalam Bahasa Wawonii
"WAWO" artinya "atas" atau "tempat yang tinggi/yang
dianggap tinggi". Sedangkan "NII" artinya "Kelapa".
Sangat mengherankan jika sebagian orang beranggapan bahwa pantas saja Pulau
tersebut dinamakan Wawonii karena banyaknya pohon kelapa di Pulau tersebut.
"WAWONII" adalah Nama Raja I Tangkombuno yang berpusat di
Wilayah Timur Pulau Wawonii. Sangat sulit untuk menemukan bukti dari sisa-sisa
kerajaan tersebut. Tidak sedikit turis & ahli sejarah yang datang ke Pulau
Wawonii untuk mencari bukti dari kerajaan tersebut, tapi hasilnya nihil. Beberapa
dari keluarga saya mengatakan "Sekuat apapun usaha orang mencari tempat
yang ingin dia cari, jika tidak ada izin dan tidak bersama orang yang tepat
maka perjalanannya akan sia-sia" (Anonim, 2011).
Beberapa sumber menyebutkan bahwa penduduk asli Pulau Wawonii
adalah Suku Torete. Sejarah Kerajaan yang diceritakan oleh Almarhumah Wahinda
(Cucu dari Raja Mbeoga) menyebutkan bahwa memang benar bahwa selain orang
Tangkombuno, ada juga orang-orang yang tinggal di Gunung Waworete yang
dikenal dengan sebutan orang torete. Dalam bahasa Wawonii "TO"
bermakna "orang/masyarakat" sedangkan "RETE" bermakna
"Rata/Sama". Sedangkan menurut Pak Supian Bin H. Muh. Mahdy (Turunan
Wawonii) menyebutkan bahwa makna dari "TORETE" adalah orang-orang
yang disamakan kedudukannya. Setelah Raja Wawonii digantikan oleh anaknya
Sangia Lungku, pada masa itulah terjadi kejadian yang sangat mengerikan bagi
orang torete. Wabah penyakit kulit menyebabkan orang-orang torete berinisiatif
untuk meninggalkan tempat tersebut. Ceritanya memang sulit dipercaya. Tapi
seperti itulah sejarah dari nenek moyang orang Tangkombuno (Anonim, 2011).
1.
Kalapaeya
Salah satu adat kerajaan Tangkombuno yang masih dapat
dilihat sampai saat ini adalah KALAPAEYA. Kalapaeya hanya dipersembahkan untuk
turunan mokole Wawonii atau untuk keluarga kerajaan saja dengan tingkatan yang
berbeda-beda. Sebenarnya penggunaan Kalapaeya sangatlah sakral. Tapi tidak
sedikit dari masyarakat Pulau Wawonii yang mengerti betul bagaimana pembuatan
dan penggunaannya dengan tepat (Anonim. 2014).
Sekitar abad ke-16 Keluarga Raja juga telah mengenal tulisan
yang disebut dengan Ejaan Laembo. Sayangnya tulisan ini
tidak di ajarkan pada masyarakat luas. Jadi sangat sulit untuk
mendapatkan informasi mengenai hal tersebut .
Dalam adat pernikahan, Mahar yang diberikan mempelai pria
kepada mempelai wanita bukanlah berupa uang melainkan berupa Pohon Kelapa.
Semakin tinggi derajat seorang wanita maka semakin banyak pula pohon kelapa
yang disebutkan sebagai mahar perkawinan. Setelah berakhirnya sistem
kerajaan, beberapa orang memutuskan untuk menyetarakan nilai mahar perkawinan
dengan alasan kemanusiaan. Meskipun demikian sebagian masyarakat adat masih
memegang teguh ketentuan pada nilai mahar yang sudah ditentukan sebelumnya. Beda
suku, beda pula adat dan budayanya. Dan kita tetaplah Bhineka Tunggal Ika.
2.
Benteng/kerajaan Watuntinapi (Batu
Disusun)
Terletak di Sekitar Desa ladianta, Noko dan Mataburanga
Kecamatan Wawonii Timur Laut dengan jarak ± 30 Km dari Ibu Kota Kabupaten Konawe
Kepulauan. Luas area Watuntinapi ± 2 Km2. Sesuai dengan namanya, bangunan
bersejarah ini disusun menggunakan batu-batu pipih. Bangunan ini merupakan
peninggalan Raja Mbeoga (Lakino Wawonii Ke-VIII). Konon ceritanya Setelah
wafatnya Raja Mbeoga, tempat ini hanya dapat dikunjungi oleh orang-orang yang
telah mendapat izin/ orang yang telah diamanahkan. Hal tersebut merupakan salah
satu amanah dari Raja Mbeoga itu sendiri. Selain menutup tempat tersebut, raja
Mbeoga juga mengamanahkan pada para Bonto agar masyarakatnya turun/ tinggal di
pesisir pantai seperti sekarang ini (Anonim. 2014).
3.
Kontara (Benteng Pertahanan)
Terletak di sektiar desa ladianta, Noko dan Mataburanga
Kecamatan Wawonii Timur Laut dengan jarak ± 30 Km dari Ibu Kota Kabupaten
Konawe Kepulauan. Luas areal bangunan ini ± 1 Ha. Sesuai dengan namanya
bangunan ini di dirikan sebagai benteng pertanahan untuk mengintai musuh baik
dari penjajah bangsa belanda maupun para perompak (Bangsa Tobelo) dan
kerajaan-kerajaan lain. Keunikan dari bangunan ini adalah bentuk pintu masuknya
seperti pulau wawonii.
4.
Makam Raja Mbeoga
Berada di Desa Dimba Kec. Wawonii Timur Laut, makam ini
adalah salah satu peninggalan sejarah Pulau Wawonii yang di lestarikan oleh
masyarakat dan menjadi salah satu cagar budaya Kabupaten Konawe Kepulauan
(pulau wawonii) (Anonim. 2014).
Makam
Raja Mbeoga (1650-1745) di Desa Dimba
5. Permainan Tradisional (tinggo alu, tinggo kasu)
6. Kesenian tradicional (tari lense, tari molihi)
7. Tradisi lisan dalam bentuk: Pantun, Nyanyian, Mantra
8. Pemukiman raja-raja Wawonii yang disebut Lakino
9. Gua prasejarah
10. Keramik
11. Rumah Tradisional
12. Aksara Laembo
13. Naskah-naskah kuno.
C. Strategi Pelestarian Seni Budaya Mekongga
Dalam upaya meningkatkan
kecintaan generasi muda terhadap seni budaya daerah sehingga terbentuk jiwa
generasi muda yang memiliki rasa nasionalisme dan bangga terhadap potensi seni
budaya daerah dalam mewujudkan pertahanan semesta dan jati diri sebagai Orang Wawonii
dapat dilakukan beberapa strategi.
1. Penulisan/Penelitian
Pendokumentasian budaya dalam bentuk buku atau artikel, merupakan bentuk
pelestarian dan pengembangan budaya. Melalui budaya tulis dan baca, maka
seseorang adapat melestarikan dan mengembangan budaya, baik oleh penulisnya
sendiri maupun para pembaca.
2. Lomba/pekan Seni Budaya
Kegiatan tersebut bertujuan untuk membina, mengembangkan dan
melestarikan kesenian daerah, serta untuk meningkatkan apresiasi dan
kreativitas para seniman dan seniwati sekaligus dalam upaya memberikan hiburan
yang segar bagi masyarakat. Berkenaan dengan itu, diharapkan agar pembangunan seni budaya harus
tetap dijaga dan dipelihara kelestariannya, sehingga dapat memupuk masyarakat
untuk mencintai seni budaya asli daerah dan menanamkan jiwa, semangat serta
nilai-nilai luhur bangsa, yang pada gilirannya dapat menggairahkan dan
menyukseskan program nasional.
3. Festival Seni Budaya
Pagelaran kalau kita mau
keluar sebagai pemenang di dalam era globalisasi. Seni budaya merupakan aset
utama karena sifatnya yang unik dan tampil beda, sehingga tepat untuk alat
persaingan. Masyarakat Mekongga dengan
beragam seni budaya yang dimiliki. Harus dapat dimanfaatkan dengan tepat
berbagai corak seni budaya tersebut dengan segala sektor dan faktor
pendukungnya, ini merupakan suatu
karunia Tuhan yang patut disyukuri. Seni Budaya Wawonii yang beragam tidak saja
komparatif tetapi juga kompetitif, yang patut dilestarikan dandimanfaatkan
sebaik-baiknya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
4. Muatan Lokal di Sekolah
Guna
melestarikan budaya Indonesia, pemerintah diharapkan dapat memasukkan mata
pelajaran budaya unggulan sebagai muatan lokal. Cara ini dianggap efektif untuk
mengenalkan budaya kepada generasi kini. angklung misalnya, sebagai salah satu
budaya dari Jawa Barat, dapat dimasukkan sebagai mata pelajaran intrakulikuler
di sekolah hingga universitas. "Kalau dulu sebagai ekstrakulikuler, lama-lama
bisa jadi intrakulikuler", Jumat. Daerah-daerah lainnya di Indonesia yang
mempunyai budaya khas, juga dapat melakukan hal yang sama. Tujuannya, terutama
agar budaya tersebut tak hanya diakui, namun dapat diteruskan kepada generasi
masa kini. Untuk itu, dinas pendidikan dan pemerintah daerah setempat dipandang
memegang peranan penting dalam menyusun kurikulum tersebut. Sinergisitas dua
institusi ini cukup menentukan. Hal ini khususnya terkait dengan tenaga
pengajar. Dalam hal ini, pemerintah daerah harus memiliki pengajar yang
menguasai dan mampu mengajarkan budaya setempat. sertifikat Best Practise yang
didapat diklat Warisan Batik Indonesia dari UNESCO, sebagai contohnya,
diberikan setelah lembaga dunia itu melihat sejauh mana program-program
pelestarian budaya yang dilakukan Indonesia. "Kalau tidak ada programnya,
tidak akan mendapat pengakuan sertifikat".
Untuk mendapatkan pengakuan sertifikat sebuah budaya, memang memerlukan
waktu dan perjuangan yang panjang. "Ini akan panjang perjuangannya dan
akan menarik, serta jadi khazanah budaya bangsa. Contohnya, angklung jadi
ekskul dulu (optional), lama-lama jadi intrakurikuler dan muatan lokal
(wajib)" (Hafid, 2009b).
5. Dekranasda
Lembaga
Dewan Kerajinan Nasional di daerah perlu melakukan keragaman kegiatan promosi
seni budaya melalui kegiatan tersebut di atas dan pameran tetap berbagai seni
budaya setempat. Budaya dan Promosi Pariwisata Kebudayaan adalah pengkondisian
dari perilaku dan produknya. Kalau di analisis lebih jauh akan ditemukan adanya
12 komponen yang terkait satu sama lainnya yaitu: bahasa, gastronomi/makanan, pakaian,
teknologi setempat, sistem pendidikan, sejarah, pemanfaatan waktu luang,
kerajinan tangan, arsitektur, tipe pekerjaan, seni dan musik, dan tradisi. Dari
sekian komponen ternyata ada beberapa komponen yang menjadi perhatian
wisatawan, karena itu perlu untuk mendapatkan perhatian di dalam
pemanfaatannya, sehingga terjadi satu revitalisasi dan perkembangan yang
dinamis tanpa kehilangan identitasnya, dan bukan malahan lenyap tanpa bekas
karena mendapatkan pengaruh negatif dari wisatawan. Keuntungan yang diperoleh
misalnya makin tumbuh dan berkembangnya gaya dan jenis seni kerajinan sebagai
akibat mendapatkan tambahan pengetahuan dan kreativitas karena adanya
"demand" untuk itu.
D. Penutup
Posisi
kebudayaan masyarakat Wawonii dewasa ini berada pada tataran masa perkembangan
awal. Meskpun posisi kebudayaan masih dalam taraf perkembangan, tetapi secara
empiris memiliki dasar yang kuat untuk dijadikan fondasi untuk meletakkan
dasar-dasar perkembangan kemajuan Konawe Kepulauan dalam mewujudkan masyarakat
sejahtera dan berbudaya dalam suasana masyarakat sejahtera. Budaya masyarakat Wawonii
yang majemuk/fluralistik memiliki banyak unsur-unsur inovatif yang dapat
berfungsi sebagai virus modernitas dalam mengantarkan masyarakat Konkep yang
maju dan mandiri dalam wujud masyarakat masyarakat sejahtera dan melek budaya.
Keragaman budaya
masyarakat Wawonii, bukan merupakan penghambat kemajuan teknologi, tetapi lebih
diarahkan sebagai potensi untuk menjadi ragi dalam mengembangkan budaya
industrial yang bersifat inovatif atau melalui proses akulturasi dengan
unsur-unsur budaya lain dari luar. Dengan demikian kemajuan budaya industrial
yang diharapkan bukan hanya merupakan invensi yang bersifat internal, tetapi
juga dapat mengadopsi unsur-unsur budaya/teknologi dari laur sepanjang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Dengan demikian
upaya pelestarian dan pengembangan budaya Wawonii sangat strategis dalam upaya
pengembangan masyarakat dan Daerah Konkep.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.
2010. Pagelaran
Tari Jaipongan Ajang Pelestarian Budaya Derah. http://74.125.153.132/search?q=cache:FHwFohYxiDwJ:karawangkab.go.id/index.php%3Foption%3Dcom_content%26task%3Dview.
Akses, 5 Februari, 2010
Anonim. 2011. Kearifan
Lokal Masyarakat Di Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara Dalam
Memanfaatkan Tumbuhan. https://ayunbio.wordpress.com/
2011/11/25.
Akses, 18 Juli 2015.
Anonim.
2014. Potensi - Potensi Pulau Wawonii. ttp://rhisdhan.blogspot.com/2014 /11 /v-behaviorurldefaultvmlo.html.
Akses, 18 Juli 2015.
Anonim. 2015. Sepenggal Sejarah dan
Adat di Pulau Wawonii. File:///D:/
Kebudayan%20konkep/Sepenggal%20Sejarah%20dan%20Adat%20di%20Pulau%20Wawonii%20-%20
Kompasiana.Com.Htm. Akses, 22 Agustus 2015.
Hafid, Anwar,
Dkk. 2007. Sejarah Kota Kendari. Bandung:
Humaniora Utama Press.
Hafid,
Anwar, dkk. 2009a. Sejarah Daerah Kolaka.
Bandung: Humaniora Utama Press
Hafid,
Anwar. 2009b. Sejarah dan Strategi Pelestarian Seni Budaya Mekongga. Makalah
disajikan pada Lokakarya Plestarian dan Pengembangan Budaya Mekongga pada
tanggal 8 Februari 2009 di Kolaka.
Pingak. Ch. 1963. Dokumenta
Kolaka. Kolaka: Pemda Tk. II Kolaka.
Patasik, Wellem W. 2009. Rekonsiliasi dalam Budaya Tolaki, Sulawesi Tenggara. http://74.125.153.132/search?q=cache:ou_YRCFE2W0J:wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/01/rekonsiliasi-dalam-budaya-tolaki.html+Budaya+Mekongga&cd. Akses, 5 Feb 2010.
Makalah disajikan pada Lokakarya Melestarikan Budaya Wawonii Sebagai Pijakan
Kearifan Lokal Di Tengah-Tengah Budaya Daerah Sulawesi Tenggara, tanggal 24 Agustus 2015 di Wawonii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar