Oleh: Anwar Hafid
A. Pengertian Kalosara
Suku Tolaki
telah lama mendiami dataran tenggara Pulau Sulawesi. Suku ini menyebar di dua
wilayah yang cukup luas yakni: Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Kabupaten
Konawe Selatan, Kabupaten Konawe Utara,
Kabupaten Kolaka, Kabupaten Kolaka Utara, dan Kabupaten Kolaka Timur.
Persebaran Suku Tolaki ini membawa serta pranata-pranata sosial, politik,
ekonomi dan sosial budayanya, yang kemudian tersimpul dalam isntrumen adat kalosara.
Secara harfiah,
kalosara terdiri atas dua kata, yaitu: kalo berarti seutas rotan dengan tiga lilitan yang melingkar; dan sara berarti adat, aturan, simbol hukum.
Sebagai benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan, dan ada juga yang
terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih,
akar, daun pandan, bambu dan sebagainya (Tarimana, 1993).
Foto 1. Kalosara yang dilengkapi dengan Sirih
dan Pinang
Kalosara terdiri
atas 3 bagian, yaitu: Pertama, kalo, berupa
lingkaran yang berbahan rotan kecil yang bulat berwarna krem tua yang dipilin, kedua ujung rotan
disatukan dalam satu simpul ikatan. Lingkaran memiliki makna sebagai
pencerminan jiwa persatuan dan kesatuan dari 3 unsur dalam sebuah kerajaan atau
pemerintahan, yaitu: (a) Unsur pimpinan (mokole/raja/penguasa),
(b) Unsur pelaksana atau penyelenggara kekuasaan raja/penguasa (pejabat,
pemangku adat, perangkat lembaga adat), (c) Unsur kedaulatan rakyat, yang
merupakan refleksi dari jiwa falsafah demokrasi Masyarakat Tolaki yang berjiwa
Ketuhanan.
Kedua, kain putih sebagai
pengalas
kalosara, memiliki makna sebagai
symbol kejujuran, kesucian, keadilan, da kebenaran.
Ketiga, siwoleuwa, yaitu
wadah yang berbentuk segi empat yang terbuat dari
anyaman daun onaha (palem rawa) atau
daun sorume (angrek hutan), memiliki
symbol sebagai pencerminan dari jiwa kerakyatan, keadilan social, dan
kesejahteraan umum bagi seluruh warga Masyarakat Tolaki (Suud, 2011).
Ketiga
wadah ini jika berdiri sendiri tidak memiliki arti dan fungsi adat, kecuali
ketiganya menyatu dalam suatu tatanan dengan struktur sebagai wadah pengalas
paling bawah berupa simoleuwa, kemudian
dilapisi di atasnya dengan kain putih, dan di atas kedua wadah ini diletakkan kalo.
Kalosara terdiri atas dua jensi, yaitu: (1) Kalosara Sapu Ulu, yaitu Kalosara
dengan besar lingkarannya seukuran kepala orang dewasa atau sekitar 40 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk
golongan masyarakat menengah ke bawah atau sekarang setingkat camat ke bawah
atau sering pula disebut Meula Nebose,
(2) Kalosara Sapu Bose, yaitu Kalosara dengan besar lingkarannya
seukuran bahu orang dewasa atau sekitar 45 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk golongan masyarakat tertentu,
seperti: Raja/Pejabat, orang penting, tokoh adat, dan tokoh masyarakat atau
sekarang setingkat Bupati ke atas atau sering pula disebut Tehau Bose (Tamburaka, 2015).
Terdapat
dua model ikatan ujung kalo. Model pertama, jika sesudah pertautan
pada simpul satunya keluar ujungnya menonjol, sedangkan yang dua ujungnya dari
arah kiri tersembunyi, maka model kalo ini
diperuntukkan pada kegiatan perkawinan. Adapun makna yang menonjol pada ujung
rotan sebagai penghargaan kepada pihak penerima, sedangkan yang tersembunyi
bermakna merendahkan diri bagi pihak pemberi.
Model
kedua, jika kedua ujung simpul rotan hingga membentuk angka delapan, maka Kalosara jenis ini diperuntukkan khusus
kegiatan upacara adat Mosehe, dalam konteks ini seperti penyelesaian
sengketa, perselisihan dan lain-lain atau kalosara
dalam pengertian yang luas (Tamburaka, 2015).
Selanjutnya
untuk membedakan Kalosara dengan Kalo, maka kalo dapat dibedakan berdasarkan bahan pembuatan dan
pemanfatannya, maka kalo banyak
jenisnya. Pertama, kalo dari rotan ada yang disebut kalosara, yaitu kalo yang dilengkapi
dengan wadah siwole tempat meletakkan
kalo dan kain putih sebagai pengalas siwole.
Kalosarana ini digunakan
sebagai alat upacara perkawinan adat, upacara pelantikan raja, upacara
penyambutan tamu penting, upacara perdamaian atas suatu sengketa, alat bagi
sejumlah tokoh untuk menyampaikan sesuatu saran/pendapat kepada pejabat, alat
untuk menyampaikan undangan pesta keluarga.
Foto 2. Suasana Pelatihan
Pemanfaatan Kalosara di Kalangan
Masyarakat Tolaki
Kedua, kalo dari emas disebut kalo eno-eno, yaitu kalo yang
digunakan sebagai alat upacara sesaji, alat tebusan atas pelanggaran janji
untuk melangsungkan upacara peminangan gadis dalam rangkaian perkawinan,
sebagai salah satu dari maskawin, dan dipakai sebagai kalung perhiasan bagi
wanita.
Ketiga, kalo dari besi
disebut kalo kalelawu, yaitu kalo
yang digunakan sebagai cincin hidung
kerbau.
Keempat,
kalo dari perak disebut kalo sambiala, kalo bolosu, dan kalo o langge, yaitu kalo
yang masing-masing dipakai sebagai
perhiasan dada, pergelangan tangan, pergelangan kaki, baik bagi anak-anak
maupun bagi remaja putri.
Kelima, kalo
dari benang ada yang disebut kalo kale-kale¸ dipakai sebagai pengikat
pergelangan tangan dan kaki bayi; dan kalo
ula-ula yang digunakan sebagai alat pekabaran tentang adanya orang yang
meninggal.
Keenam, kalo
dari kain putih disebut kalo lowani, yaitu kalo yang dipakai di kepala sebagai tanda berkabung, dan kalo dari kain biasa disebut kalo usu-usu, yaitu kalo
yang dipakai di kepala sebagai pengikat dan penutup kepala bagi orang tua.
Ketujuh,
kalo
dari akar atau kulit kayu disebut kalo
pebo, yaitu kalo yang dipakai
sebagai pengikat pinggang bagi orang dewasa; dan yang khusus dari akar bahar
disebut kalo kalepasi, yaitu kalo yang dipakai sebagai perhiasan bagi
orang dewasa; serta kalo dari akar hawa disebut kalo parahi atau kalo mbotiso,
yaitu kalo yang digunakan sebagai
tanda atau patok pemilikan tanah/hutan
untuk selanjutnya diolah menjadi sebidang ladang atau perkebunan. Kedelapan,
kalo
dari daun pandan disebut kalo kalunggu,
yaitu kalo yang dipakai sebagai
pengikat kepala bagi gadis remaja.
Kesembilan, kalo
dari bambu disebut kalo kinalo, yaitu
kalo yang digunakan sebagai penjaga
ladang dan tanaman yang ada di dalamnya.
Kesepuluh, kalo
dari kulit kerbau disebut kalo parado,
yaitu kalo yang digunakan untuk
menangkap kerbau liar.
Kesebelas, kalo sebagai cara-cara
mengikat yang melingkar disebut mowewei (membelitkan), mombali
(melingkari).
Keduabelas, kalo
yang terbentuk dalam
pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana pelaku membentuk lingkaran
disebut metaboriri (duduk melingkar
dalam keadaan makan bersama), meobu-obu
(duduk melingkar dalam merundingkan sesuatu secara bersama-sama), metomusako (berdiri berkeliling dalam
menangkap ternak, dan dalam melakukan tarian massal), dan modinggu (menumbuk padi secara bersama-sama dengan 4-5 orang mengelilingi sebuah
lesung masing-masing
memegang dua buah alu menumbuk padi sambil membenturkan alu tersebut dengan alu yang satunya dan atau
alu dari orang yang sebelumnya, sehingga mengeluarkan bunyi dengan irama yang
indah/syahdu untuk didengar sampai kejauhan 2,5 km).
Dalam tulisan ini hanya akan menguraikan Kalosara sebagai falsafah hidup Masyarakat Tolaki yang diharapkan
akan menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat dewasa ini dan akan dating,
dengan harapan generasi muda tidak tercabut dari akar budayanya. Dalam kaitan
ini relevan dengan apa yang disebut Aristoteles sebagai the natural basis of society (Stumpf, 1983), dan oleh Muhmidayeli
(2011) merupakan suatu upaya penjabaran dari aliran filsafat perenialisme yaitu berupaya menerapkan nilai-nilai atau norma-norma
yang bersifat kekal dan abadi sepanjang sejarah manusia. Kaum perenialis
memandang bahwa tradisi perkembangan intelektual yang ada zaman kuno telah
terbukti dapat memberikan solusi bagi berbagai problema kehidupan masyarakat,
sehingga perlu digunakan dan diterapkan dalam menghadapi alam modern yang sarat
dengan problema kehidupan.
Dalam implementasi pembelajaran di sekolah sebagai suatu muatan
pendidikan karakter, dengan asumsi bahwa dewasa ini terjadi proses demoralisasi
sehingga terjadi masalah social di berbagai tempat, sebagai akibat kurangnya
penghayatan dan pengamalan nilai-nilai luhur budaya setempat, maka kehadiran Kalosara sebagai muatan local dalam
pembelajaran merupakan suatu bentuk penjabaran aliran filsafat pendidikan Esensialisme Muhmidayeli (2011) yang
berpendapat bahwa agar pendidikan memiliki tujuan yang jelas dan kukuh diperlukan
nilai-nilai yang kukuh yang akan mendatangkan kestabilan. Untuk itu, perlu
dipilih nilai-nilai yang mempunyai tata yang jelas dan telah teruji oleh waktu.
Dalam konteks ini bahwa pelaksanaan pendidikan memerlukan modifikasi dan
penyempurnaan sesuai dengan kondisi manusia yang bersifat dinamis dan selalu
berkembang, namun perkembangan manusia akan selalu berada di bawah azas ketetapan dan natural, maka pendidikan
harus dibina atas dasar nilai-nilai yang kukuh dan tahan lama agar memberikan
kejelasan dan kestabilan arah bangunannya. Dengan demikian Kalosara sebagai suatu tatanan nilai, menjadi semakin strategis
untuk diungkap, dikaji dan dikembangkan dalam rangka proses pewarisan nilai
antar generasi dalam berbagai dimenasi kehidupan, terutama melalui pendidikan.
B. Kepribadian/Desksipsi
Kalosara
1. Pandangan
Masyarakat tentang Kalosara
Kecenderungan sikap Masyarakat Tolaki masa kini
terhadap kalosara,
yaitu: (1) tampak pada kesenian yaitu dalam hal bentuk, (2) terletak pada
makna-makna simbolik yang terkandung di dalamnya.
Bentuk-bentuk disain
dalam pola segi empat, lingkaran, ikat, dan pola gambar tumbuhan pakis, pola
kepala orang; bentuk-bentuk rias tubuh dalam bulatan, bentuk-bentuk demikian
berupa benda perhiasan dalam pola lingkaran; bentuk-bentuk alat-alat bunyi
dalam pola bulatan; bentuk-bentuk teknik menari dalam pola lingkaran dan pola
gerakan horizontal-vertikal
yang membentuk pola segi empat; semua menunjukkan corak yang sama dengan bentuk
pola kalo, yakni: lingkaran, ikatan,
dan segi empat.
Kalo secara umum meliputi o sara (adat istiadat), khususnya sara
owoseno Tolaki atau sara mbu’uno Tolaki, yaitu adat pokok (Instrumen utama), yang merupakan sumber dari segala adat-istiadat Masyarakat Tolaki yang berlaku dalam semua aspek kehidupan. Kalo sebagai adat pokok dapat digolongkan ke dalam 5 cabang,
yaitu: (1) sara wonua, yaitu adat pokok dalam
pemerintahan; (2) sara mbedulu, yaitu adat pokok dalam hubungan
kekeluargaan dan persatuan pada umumnya; (3) sara mbe’ombu, yaitu adat
pokok dalam aktivitas agama dan kepercayaan; (4) sara mandarahia, yaitu
adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan keterampilan;
dan (5) sara monda’u, mombopaho, mombakani, melambu, dumahu,
meoti-oti, yaitu adat pokok dalam berladang/berkebun, beternak, berburu
dengan menggunakan anjing pemburu yang sudah terlatih, dan menangkap ikan (Tarimana, 1993; Idam 2012).
Foto 3. Demonstrasi Pemanfaatan Kalosara
dalam Berbagai Aktivitas Sosial
Secara
historis, kalosara merupakan landasan dasar dari keseluruhan sistem
sosial budaya Suku Tolaki termasuk kepemimpinan, kaidah-kaidah hidup bermasyarakat, sistem norma,
sistem hukum dan aturan-aturan lainnya. Dalam kehidupan sosial budaya
sehari-hari secara umum baik merupakan rakyat biasa, sebagai seorang tokoh
formal maupun nonformal, nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam adat kalosara
berintikan persatuan dan kesatuan, keserasian dan keharmonisan, keamanan
dan kedamaian. Lambang kalosara juga menjadi landasan kultural bagi
setiap individu dalam menciptakan suasana kehidupan bersama yang aman damai
serta dalam menegakkan aturan baik berupa hukum adat maupun hukum negara
(Tawulo dkk, 1991; Tarimana, 1993; Su’ud, 1992; Tondrang, 2000). Karena itu
bagi Masyarakat Tolaki menghargai kalosara
berarti mentaati ajaran-ajaran nenek moyang. Apabila berbuat sebaliknya,
diyakini akan mendatangkan bala atau durhaka (Tarimana, 1993; Su’ud, 1992).
Kalosar secara antropologis merupakan unsur kebudayaan yang merupakan suatu
pusat dalam kebudayaan Tolaki, sehingga mendominasi banyak aktivitas atau
pranata lain dalam kehidupan. Fokus kebudayaan dari suatu masyarakat, oleh
Linton (1984) disebut cultural interest atau social interest,
yaitu suatu kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampak amat digemari warga
masyarakatnya sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan
masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1981).
Timbulnya
pertentangan sosial bisa terjadi kapan saja, di mana saja, baik antar
perorangan ataupun antar kelompok yang
dapat meresahkan masyarakat. Konflik yang sering muncul di masyarakat, seperti
masalah sengketa hak atas tanah, masalah perkawinan, pinangan ataupun masalah
warisan juga diselesaikan dengan menggunakan kalosara (Su’ud, 2008). Begitu juga masalah sengketa
perbatasan antar desa yang seringkali sulit dipecahkan/diselesaikan oleh
pemerintah, akhirnya diselesaikan secara adat melalui kalosara. Kebudayaan Tolaki dengan instrumen Kalosara menjadi alat dominan dalam penyelesaian setiap sengketa. Misalnya,
dalam penyelesaian sengketa tanah, maka pemerintah setempat bersama tokoh masyarakat dan kepala adat melakukan
kegiatan mosehe (pencucian/penyehatan
negeri) (Tarimana, 1993). Upacara mosehe merupakan upaya rekonsiliasi antara pihak-pihak yang
bertikai.
2. Fungsi Kalosara
Sebelumnya
telah dikemukakan apa arti kalosara,
baik secara harfiah maupun kalosarasara
sebagai konsep dan sebagai simbol, demikian juga hubungan kalosara dengan unsur-unsur lain dalam kebudayaan Tolaki; dan kalosara dalam kaitan dengan klasifikasi
simbolik, dua, tiga, dan lima menurut logika berfikir elementer dalam
kebudayaan Tolaki. Untuk menunjukkan kalosara
sebagai focus kebudayaan Tolaki, dalam bagian ini akan diuraikan empat fungsi
dari kalosara.
Keempat fungsi kalosara
itu adalah: (1) kalosara sebagai ide
dalam kebudayaan dan sebagai kenyataan dalam kehidupan Masyarakat Tolaki; (2) kalosara sebagai focus dan pengintegrasi
unsur-unsur kebudayaan Tolaki; (3) kalosara
sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam
kehidupan Masyarakat Tolaki; dan (4) kalosara
sebagai pemersatu untuk pertentangan-pertentangan konseptual dan sosial dalam
kebudayaan dan dalam kehidupan Masyarakat Tolaki.
a. Kalosara
Sebagai Ide dan
Kenyataan dalam
Kehidupan
Wujud ideal dari suatu
kebudayaan adalah salah satu dari tiga wujud kebudayaan. Dua wujud lainnya
adalah wujud kelakuan, dan wujud fisik. Wujud ideal dari suatu kebudayaan
adalah adat, atau lengkapnya disebut adat tata-kelakuan,karena adat berfungsi
sebagai pengatur kelakuan (Koentjaraningrat 1984). Menurut beliau, adat dapat
dibagi dalam empat tingkat, ialah tikat nilai-budaya, tingkat norma-norma,
tingkat hukum, dan tingkat aturan khusus. Berdasarkan pandangan di atas maka
saya akan mencoba meninjau kalosara
sebagai adat dalam empat tingkatannya.
Kalosara
pada tingkat nilai budaya adalah sistem nilai budaya, yang berfungsi mewujudkan
ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan
masyarakat Tolaki. Hal-hal yang paling bernilai bagi Masyarakat Tolaki dalam
kehidupan adalah apa yang disebut medulu
mepoko’aso (persatuan dan kesatuan), ate
pute penao moroha (kesucian dan keadilan), dan morini mbu’umbundi monapa mbu’undawaro (kemakmuran dan
kesejahteraan). Ide-ide ini dinyatakan oleh Masyarakat Tolaki melalui
penggunaan kalosara dalam upacara-upacara yang berkaitan dengan
kegiatan-kegiatan mereka dalam bidang-bidang sosial, ekonomi, politik dan keagamaan. Upacara yang
berkaitan dengan bidang sosial misalnya adalah upacara perkawinan dan kematian;
yang berkaitan dengan bidang ekonomi misalnya upacara pergantian tahun
pertanian, upacara penebangan/pembabatan hutan, upacara tanam
dan memotong
padi; yang berkaitan dengan bidang politik misalnya upacara pelantikan raja, dan
upacara penyambutan para pejabat pemerintah; dan yang berkaitan dengan bidang
keagamaan misalnya adalah upacara-upacara syukuran dan tolak bala.
Selain ide-ide itu
diwujudkan dalam upacara-upacara, juga diwujudkan dalam kegiatan sehari-hari.
Ide kesatuan dan persatuan misalnya diwujudkan dalam ungkapan\mete’alo-alo
(bantu-membantu) antara keluarga inti dengan keluarga inti atau antara kerabat
luas dengan kerabat luas dalam hal mendirikan rumah, sumbangan berupa makanan
dan minuman pada pesta-pesta terutama dalam pesta kematian. Ide kesucian
misalnya diwujudkan dalam rangkaian aktivitas lingkaran hidup seseorang,
seperti pemandian bayi pertama, pemotongan rambut bayi, penyunatan, puasa, dan
pemandian mayat. Ide keadilan misalnya diwujudkan dalam pengambilan keputusan
dalam hal pembagian warisan kepada anak-anak, yang dilakukan orang tua, dalam
pengambilan keputusan peradilan adat yang dilakukan oleh pabitara
(hakim
adat).
Ide kemakmuran misalnya diwujudkan dalam usaha mereka untuk merealisasikan apa
yang disebut mondaweako (jutaan ikat
padi), tepohiu o epe (bertebaran
bidang kebun sagu), kiniku mebanggona (kerbau
berombongan), lua-luano wawo raha (kebun kelapa yang luas). Akhirnya, ide kesejahteraan
misalnya diwujudkan dalam
ungkapan mombekapona-pona’ako
(saling hormat menghormati), mombekamei-meiri’ako
(saling kasih mengasihi), ndundu karandu (suasana ketenangan batin yang diliputi dengan
alunan bunyi gong yang merdu di tengah malam), dan tumotapa rarai (suasana kegembiraan yang diliputi dengan suara
hura-hura, tawa dan tepuk tangan yang meriah).
Kalosara
pada tingkat norma-norma adalah nilai-nilai budaya yang berfungsi mengaitkan
peranan-peranan tertentu dari Masyarakat Tolaki dalam masyarakat. Kalosara di sini berfungsi sebagai pedoman
bagi tingkah laku seseorang dalam
memainkan peranannya. Peranan seseorang dalam masyarakat adalah banyak: Dalam
kehidupan keluarga misalnya seseorang mempunyai peranan sebagai ayah tau ibu,
paman atau bibi, mertua, menantu, anak, kemenakan, sepupu; dan dalam kehidupan
sosial politik dan pemerintahan seseorang dapat berperan sebagai
atasan-bawahan, serta dalam kehidupan keagamaan seseorang dapat berperan
sebagai dukun atau juru bicara peseta upacara, atau sebagai imam, atau hanya
jamaah.
Penampilan kalosara sebagai pedoman bagi kelakuan
seseorang dalam memainkan peranan-peranannya tersebut tampak pada dua gejala,
yaitu pada peristiwa pertemuan-pertemuan keluarga dan pertemuan-pertemuan resmi
antara pemerintah dan rakyat di mana kalosara
digunakan; dan pada gejala di mana seseorang memakai kalosara pada bagian tertentu dari tubuhnya. Pada gejala pertama
seseorang yang diperhadapkan kalosara
kepadanya merasakan bahwa ia adalah seorang yang lebih tinggi peranannya
daripada orang yang menghadapkan kalosara
itu. Kelebihan peranannya itu karena pada saat itu ia diperlakukan sebagai
ayah atau ibu oleh anak, paman atau bibi oleh kemenakan, kakek atau nenek oleh
cucu, atau sebagai atasan oleh bawahan, yang masing-masing peranan anak,
kemenakan, cucu, atau peranan bawahan diwakilkan kepada seorang juru bicara.
Melalui kalosara seorang lebih tinggi
peranannya berfikir mengenai apa yang harus dilakukannya dan bagaimana ia harus
melakukannya sehubungan dengan maksud dan tujuan dari pihak yang menghadapkan kalosara kepadanya. Demikian pula
sebaliknya seorang yang lebih rendah peranannya tentu berfikir pula mengenai
apa dan bagaimana ia harus melayani orang yang lebih tinggi peranannya itu.
Gejala kedua yang
menunjukkan bahwa kalosara berfungsi
sebagai pedoman bagi kelakuan seseorang dalam masyarakat adalah pemakaian kalosara pada bagian tertentu dari
tubuhnya. Misalnya seorang remaja yang memakai kalosara pada pergelangan tangan dan kaki member tanda bahwa ia
pada saat itu harus berperan sebagai pemuda yang penuh dengan potensi untuk
melakukan tugas-tugas yang berat demi masa depannya. Demikian pula seorang yang memakai kalosara pada pinggangnya menuynjukkan bahwa ia pada saat itu
harus berperan sebagai orang tua yang penuh dengan kematangan untuk melakukan
pembinaan bagi anak dan generasi penerusnya.
Secara filosofi Suku Tolaki telah menetapkan kerangka budayanya dalam
bentuk falsafah hidup, yang merupakan penjabaran dari budaya kalosara, diungkapkan sebagai berikut:
Medulu mbenao = satu
dalam jiwa
Medulu mbonaa = satu
dalam pendirian
Medulu mboehe = satu
dalam kehendak/cita-cita.
Ketiga
ungkapan tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk:
1.
Satu dalam jiwa,
diaplikasikan dalam bentuk:
Mombe kamei meiri ako =
saling cinta-mencintai;
Mombeka pia-piarako =
saling pelihara-memelihara
2.
Satu dalam
pendirian, diaplikasikan dalam bentuk:
Mombekapona-pona ako =
saling menghargai pendapat;
Mombeka peha-pehawako =
saling ingat-mengingatkan;
Mombeka
pei-peiranga ako= saling saran-menyarankan.
3.
Satu
dalam kehendak/cita-cita, diaplikasikan dalam bentuk:
Mombeka
sudo-sudo ako =
saling topang-menopang;
Mombeka tulu-tulungi ako =
saling tolong-menolong;
Mombeka tamai ako =
saling memberi dan menerima;
Mombeka alo-alo ako =
saling mengambil satu tenaga;
Mombekakai-kai ako =
saling menikmati makanan;
Mombeka powe-powehi ako= saling memberi dan menerima
(Tarimana, 1993).
Bahasa filosofi tersebut mencerminkan keluhuran budaya Masyarakat Tolaki.
Potensi tersebut memiliki nuansa inovatif yang dapat berfungsi sebagai landasan
kemajuan budaya dan menjadi daya dorong utama peningkatan kreativitas
masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan damai.
Kalosara
pada
tingkat sistem hukum adalah hukum adat Masyarakat Tolaki yang
berfungsi mengatur bermacam-macam sektor
kehidupan. Kalosara sebagai hukum
adat tampak pada gejala di mana kalosara berfungsi
sebagai alat komunikasi antar keluarga,
antar
golongan; sebagai patok tanah hutan untuk dijadikan ladang, penjaga kebun dan
tanaman di dalamnya; sebagai pengikat tiang tengah rumah dan bangunan
perlindungan lainnya, alat yang dipakai dalam urusan penyelenggaraan
perkawinan, alat yang dipakai untuk menyumpah seorang raja, dan alat yang
dipakai dalam upacara tolak bala dan minta berkah. Penggunaan kalosara dalam beberapa sektor kehidupan Masyarakat
Tolaki tersebut merupakan ketentuan hukum
adat yang harus ditaati. Pelanggaran terhadapnya berarti sanksi yang akan
menimpa. Sanksi itu dapat berwujud sebagai
sanksi batin dan sebagai sanksi fisik.
Orang yang melanggar
ketentuan bahwa ia harus menggunakan kalosara
dalam berkomunikasi antar keluarga atau antar golongan sepanjang komunikasi
itu menyangkut hal yang penting, maka ia dikenakan sanksi batin berupa cemoohan bahwa ia tidak tahu sopan-santun, dan berakibat bahwa tidak perlu dihiraukan. Orang yang melanggar
patok tanah/hutan
dan penjaga kebun dan tanaman di dalamnya akan diperlakukan sebagai pencuri dan
segera akan diadukan ke sidang
peradilan adat. Orang yang tidak memakai kalosara
sebagai pengikat tiang rumahnya
menurut keyakinan mereka bahwa pemilik rumah dan keluarga yang tinggal di
dalamnya akan tidak merasa tentram dalam hidupnya, dan sewaktu-waktu rumah atau
bangunan tersebut akan ditimpa bencana alam. Orang yang melanggar ketentuan
yang menyangkut penggunaan kalosara
dalam perkawinan akan dikenakan sanksi berupa denda, diisikan dari masyarakat
ramai, atau diculik dan dibunuh secara diam-diam. Seorang raja yang disumpah
tanpa menggunakan kalosara dalam
rangkain pelantikannya, menurut keyakinan Masyarakat Tolaki, raja itu akan
tidak berhasil dalam kepemimpinannya, dan ada kemungkinan bahwa ia tidak
panjang umur. Mereka juga yakin bahwa apabila dalam upacara tolak bala dan
minta berkah tidak digunakan kalosara,
maka akan berakibat bahwa upacara itu
mustahil berhasil bahkan sebaliknya yang jadi ialah bencana alam sebagai
hukuman Tuhan. Ketaatan Masyarakat Tolaki terhadap
kalosaranya itu pada dasarnya bukan
karena mereka takut terhadap sanksi denda dan sanksi fisik, tetapi karena takut
terhadap kutukan Tuhan
(Tarimana, 1993).
Akhirnya, kalosara pada tingkat aturan khusus
adalah aturan-aturan khusus yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas
dan terbatas ruang-lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Kalosara sebagai aturan-aturan khusus tertuang dalam ungkapan merou
(aturan
khusus dalam berbahasa yang menunjukkan sopan-santun); atora (aturan khusus dalam komunikasi sosial); o wua (aturan khusus dalam bercocok tanam pada umumnya); o lawi (aturan khusus dalam bercocok
tanam padi khususnya); o sapa (aturan
khusus dalam berburu, beternak, dan menangkap ikan); mepori (aturan khusus dalam membuat dan
memakai peralatan); wowai (aturan
khusus dalam pantangan), dan mondodo
(aturan khusus dalam pekerjaan yang bersifat seni).
b. Kalosara
sebagai
Fokus dan
Pengintegrasi Unsur-Unsur Kebudayaan
Kalosara
ada
hubungannya dengan bahasa melalui fungsi kalosara
sebagai bahasa lambang komunikasi, demikian dengan unsur ekonomi melalui fungsi
kalosara sebagai penjaga tanaman dan
pusat ladang padi, dan melalui makna simbolik kalosara sebagai asas distribusi barang-barang ekonomi. Kalosara juga ada hubungannya dengan
sistem teknologi melalui bentuknya sebagai model dari teknik mengikat dan
bentuk alat-peralatan, demikian juga ada hubungannya dengan organisasi sosial
melalui makna simboliknya sebagai asas organisasi tradisional, asas organisasi kerajaan, dan
sebagai asas politik dan pemerintahan. Selanjutnya kalosara juga ada hubungannya dengan sistem pengetahuan melalui
makna simboliknya sebagai konsepsi Masyarakat Tolaki mengenai struktur alam
nyata, demikian juga ada hubungannya dengan sistem religi melalui makna simboliknya
sebagai konsepsi Masyarakat Tolaki mengenai struktur alam gaib. Akhirnya kalosara ada hubungannya dengan kesenian
melalui bentuknya sebagai model dari bentuk rias dan teknik menari (Tarian Lulo dengan Formasi Melingkar dan Berputar).
Foto
4. Tarian Lulo Formasi Melingkar Berbentuk Kalo
Foto
5. Modifikasi Tarian Lulo Formasi Mendatar/Memanjang
Pembuktian kalosara sebagai focus dan pengintegrasi
unsur-unsur kebudayaan Tolaki tidak hanya melalui hubungannya dengan beberapa
sub unsur dari tiap unsur kebudayaan Tolaki seperti terurai di atas, tetapi
juga tampak pada fungsi kalosara
dalam upacara sebagai simbol pusat yang mengintegrasikan sistem-sistem simbol
yang ada dalam konteks upacara. Sistem-sistem simbol itu tercermin pada
alat-alat upacara yang digunakan, waktu dan tempat upacara, dekorasi ruangan
rumah upacara, golongan-golongan masyarakat yang mengikuti upacara, pakaian
upacara, mantera-mantera dan doa-doa yang diucapkan oleh seorang dukun, dan
hidangan makanan upacara.
Alat-alat upacara,
seperti hewan korban, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda fisik lainnya, seperti: batu, tanah, air, api, semuanya mengandung makna simbol. Hewan korban, misalnya kerbau adalah simbol
kemakmuran; tumbuhan-tumbuhan
pada umumnya mengekspresikan ide pertumbuhan dan kesuburan. Batu adalah simbol
kekuatan dan ketahanan, tanah adalah simbol kesabaran, air adalah lambang kesucian, dan
api adalah simbol semangat untuk hidup di masa mendatang. Waktu upacara
mengekspresikan proses jalannya kehidupan yang baik di dunia. Oleh karena itu
waktu yang baik untuk upacara dipilih adalah waktu menjelang matahari naik yang
mengekspresikan umur panjang dan banyak rezeki, waktu 14 atau 15 bulan di
langit mengekspresikan kegenapan dan kesempurnaan hidup.
Pakaian upacara adalah simbol-simbol
status sosial seseorang dalam masyarakat. Golongan-golongan manusia yang ikut
dalam upacara mengekspresikan kesatuan dan persatuan dari unsur-unsur
masyarakat. Dekorasi ruangan upacara mengekspresikan alam semesta dan isinya.
Mantera-mantera dan doa-doa seorang dukun mengekspresikan keikhlasan manusia
dalam mengakui kesalahannya karena secara tidak sengaja telah mengganggu
ketentraman makhluk halus dan melanggar norma adat dan agama, dan disamping itu
juga manusia memohon kepada Tuhan agar diri mereka yang telah berdosa itu dapat
menjadi suci kembali. Pada akhir doanya seorang dukun mengharapkan kiranya
Tuhan senantiasa memelihara mereka sehingga terhindar dari bala bencana, dan
agar mereka hidup dalam suasana kesatuan dan persatuan, makmur dan sejahtera,
kekal dan abadi. Hidangan makanan dan minuman mengekspresikan rasa kesyukuran
atas berkah yang telah dikaruniakan, dan sekaligus mengekspresikan cita-cita
akan kemakmuran dan kesejahteraan di masa-masa mendatang.
Makna simbolik dari
unsur-unsur terurai di atas terintegrasi di dalam makna simbolik dari kalosara. Ide-ide kesatuan dan persatuan
tercermin di dalam makna simbolik dari lingkaran rotan, demikian juga ide-ide
keikhlasan dan kesucian tercermin di dalam makna simbolik dari kain putih, dan
ide-ide kemakmuran dan kesejahteraan tercermin di dalam makna simbolik dari
wadah anyaman di mana lingkaran rotan diletakkan (Tarimana, 1993).
Peranan
kalosara dalam fungsinya sebagai
pengintegrasi unsur-unsur kebudayaan Tolaki, baik dalam hubungannya dengan
beberapa sub unsur dari tiap unsur kebudayaan Tolaki maupun fungsinya sebagai
unsur utama dalam upacara, maka kalosara
merupakan aktivitas
kebudayaan yang berfungsi memenuhi dan memuaskan banyak kebutuhan dasar dalam
naluri manusia.
Kebutuhan-kebutuhan
dasar itu misalnya ingin menyampaikan perasaan dan pikirannya kepada sesamanya
secara sopan. Untuk itu mereka menciptakan kalosara
dan menggunakannya sebagai bahasa lambang. Mereka butuh akan keamanan ladang
dan kebun serta tanaman di dalamnya dalam rangkaian kebutuhan akan makan. Karena itu mereka menciptakan kalosara dan digunakan sebagai penjaga ladang dan
kebun serta tanaman di dalamnya. Mereka butuh akan keamanan rumahnya dari
gangguan bencana alam dan lain-lain gangguan dari luar dalam rangka kebutuhan
dasar akan rasa keamanan fisik. Untuk itu mereka menciptakan kalosara dan digunakannya untuk pengikat tiang
tengah rumah. Mereka butuh kawin dalam rangka menyalurkan kebutuhan dasar seks
dan keturunan, karena
itu mereka menciptakan kalosara dan
digunakannya untuk melamar gadis dan untuk melangsungkan perkawinan. Mereka
butuh akan komunikasi dengan sesamanya dalam rangka kebutuhan sosialnya, maka
mereka menciptakan kalosara dan
digunakannya untuk mengadakan hubungan antara keluarga dengan keluarga, dan
antara golongan dengan golongan. Mereka juga butuh akan keindahan, maka mereka
menciptakan kalosara dan memakainya
sebagai perhiasan. Mereka ingin tahu tentang sesuatu yang ada dalam alam
sekitarnya, maka mereka menciptakan kalosara
dan digunakannya sebagai alat ekspresi dan media konsepsi tentang alam semesta serta isinya. Mereka juga butuh kekuatan
sakti dan kekuatan sosial, maka mereka menciptakan kalosara dan digunakannya sebagai alat upacara dan alat komunikasi
dengan alam gaib (Tarimana,
1993).
Tampak
kelebihan kalosara dalam fungsinya
memenuhi dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia dibandingkan dengan
sub unsur lain dari unsur-unsur
kebudayaan Tolaki. Misalnya sub unsur kebudayaan “Perang’’ hanya berfungsi sebagai
alat produksi dalam rangkaian unsur sistem ekonomi, dan berfungsi sebagai
senjata dalam rangkaian unsur teknologi. Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kalosara adalah focus kebudayaan Tolaki
yang berfungsi sebagai pengintegrasi unsur-unsur yang ada di dalamnya.
c. Kalosara sebagai Pedoman Hidup untuk Terciptanya Ketertiban Sosial dan Moral
Upaya menrciptakan ketertiban sosial dan moral dalam
kehidupan masyarakat, maka
digunakanlah ajaran-ajaran kalosara sebagai pedoman hidup. Penggunaan kalosara sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial
dan moral tampak dalam usaha memulihkan suasana kelaparan karena panen tidak
jadi, suasana kecelakaan karena bencana alam, suasana kematian karena wabah
penyakit, suasana penganiayaan karena permusuhan, dan suasana keretakan karena
kesalahpahaman antara orang seorang, antara keluarga dengan keluarga, antara
golongan dengan golongan.
Masyarakat Tolaki
menganggap bahwa timbulnya suasana yang tidak baik tersebut diakibatkan manusia yang telah melanggar adat
dan norma agama. Artinya
perkataan Masyarakat Tolaki sendiri telah melanggar ajaran kalosara sebagai adat pokok mereka. Untuk memulihkan
suasana-suasana yang demikian, maka tak ada jalan lain yang lebih menjamin
berhasilnya pemulihan, kata mereka, kecuali mengadakan upacara di mana kalosara digunakan. Upacara itu disebut mosehe wonua (upacara besar yang diikuti oleh sebagian besar warga
masyarakat Tolaki). Dalam upacara
itu diungkapkan bahwa mereka telah melanggar adat dan norma agama. Pernyataan
ini dikumandangkan oleh dukun upacara agar didengar oleh seluruh peserta
upacara dan Tuhan. Dukun upacara juga menyatakan bahwa mereka telah tobat, dan
bersumpah bahwa mereka akan kembali kepada ajaran-ajaran kalosara yang sesungguhnya, adat pokok mereka. Akhirnya dukun
upacara meminta kepada seluruh peserta upacara dan warga
masyarakat pada umumnya agar kembali tertib dan berakhlak baik dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga mereka kembali hidup dalam suasana kecukupan, aman dan
tentram, sehat wal afiat, damai, dan suasana kekeluargaan yang
akrab, bersatu, kuat, dan kokoh (Tarimana, 1993).
Dalam suasana profan
atau dalam suasana kehidupan di luar upacara yang bersifat sacral, sering
terdengar kata-kata orang tua bahwa barangsiapa yang tidak mentaati kalosara maka ia menjadi bere-bere olutu ruru mbenao, artinya tersisih dari pergaulan
masyarakat umum.
Ia tidak dikunjungi oleh sesamanya dan begitu sebaliknya, karena ia telah
dianggap berakhlak rendah oleh warga masyarakat. Apabila sudah begitu
keadaannya maka ia menjadi seorang yang disebut mbirito, artinya manusia yang tidak memiliki harga diri lagi.
Biasanya orang demikian tidak betah lagi untuk bertahan menetap di
lingkungannya, dan terpaksa ia harus pindah ke negeri lain, dan jika ia tidak
mampu melakukannya,
maka terpaksa ia bunuh diri.
d. Kalosara sebagai Pemersatu
Bagian
ini akan mengemukakan beberapa contoh pada unsur pertentangan mana dari
klasifikasi dua itu yang dapat dipersatukan dengan kalosara. Unsur
konsep bertentangan dari klasifikasi dua itu yang dapat dipersatukan oleh kalosara adalah meliputi unsur pertentangan
yang terdapat pada klasifikasi dua mengenai manusia dan klasifikasi dua
mengenai alam. Pada klasifikasi dua mengenai manusia, unsur konsep bertentangan
itu adalah tubuh dan jiwa, kanan dan kiri, atau muka dan belakang, atau atas
dengan bawah, atau luar dan dalam. Pada klasifikasi dua mengenai alam, unsur
konsep bertentangan itu adalah dunia nyata dan dunia gaib, dunia atas dan dunia
bawah, demikian Timur dan Barat, atau Utara dan Selatan. Konsep bertentangan
itu tampak pada unsur petani dan tanamannya, antara unsur peternak dan
ternaknya, dan antara unsur pemburu dan hewan buruannya.
Pertentangan konseptual
antara tubuh dan jiwa dipersatukan oleh kalosara,
yang disebut kalosara kale-kale, yaitu
kalosara yang dipakaikan pada
pergelangan tangan dan kaki bayi, dan kalosara
pebo, yaitu kalosara yang dipakai
sebagai ikat pinggang orang dewasa. Pertentangan konseptual antara kanan dan
kiri, demikian antara muka dengan belakang, antara atas dan bawah, dan antara
luar dan dalam, semuanya dipersatukan oleh kalosara,
yang disebut kalosara sambiala, yaitu
kalosara yang dipakai di dada seorang anak.
Pertentangan konseptual antara dunia nyata dan dunia gaib, demikian antara
dunia atas dan dunia bawah, dan antara Timur dan Barat, Utara dan Selatan,
semuanya dipersatukan oleh kalosara, yang disebut kalosara eno-eno, yaitu kalosara
yang digunakan dalam upacara-upacara ritual di lapangan. Khusus pertentangan
konseptual antara orang hidup dan orang mati dipersatukan oleh kalosara, yang disebut kalosara ula-ula, yaitu kalosara yang
digunakan untuk pekabaran tentang adanya orang meninggal, dan kalosara yang
disebut kalosara lowani, yaitu kalosara yang dipakai sebagai tanda
berkabung. Pertentangan konseptual antara petani dan tanamannya dipersatukan
oleh kalosara, yang disebut kalosarakinalo yaitu kalosara yang digunakan untuk menjaga
ladang dan peternak dan ternaknya dipersatukan oleh kalosara, yang disebut kalosara
selekeri atau kalosara kalelawu yaitu kalosara
yang digunakan sebagai cincin hidung kerbau. Begitu pula antara pemburu dan
hewan buruannya dipersatukan oleh kalosara,
yang disebut kalosara o oho, kalosara o
taho, kalosara ohotai, kalosara o hopi yaitu kalosara
yang masing-masing digunakan untuk menangkap kerbau, rusa, anuang, ayam hutan, dan aneka-ragam burung (Tarimana, 1993).
Selain kalosara berfungsi sebagai pemersatu
untuk pertentangan-pertentangan konseptual terurai di atas, juga berfungsi
sebagai pemersatu untuk pertentangan-pertentangan sosial dalam kehidupan Masyarakat
Tolaki. Unsur sosial bertentangan dari klasifikasi dua itu yang dapat
dipersatukan oleh kalosara adalah
meliputi unsur pertentangan yang terdapat pada klasifikasi dua dalam
masyarakat. Unsur-unsur sosial yang bertentangan itu adalah golongan bangsawan
dengan
golongan budak, atau golongan pemerintah dengan golongan rakyat, keluarga mempelai perempuan dengan keluarga mempelai laki-lai, dan antara person dengan person.
Timbulnya pertentangan
sosial antara golongan bangsawan dan golongan budak biasanya bersumber dari
perlakuan tidak sewajarnya terhadap satu sama lain, demikian pertentangan
sosial antara golongan pemerintah dan golongan rakyat biasanya bersumber dari
perbedaan faham dalam soal politik. Sedangkan timbulnya pertentangan antara
keluarga dengan keluarga biasanya bersumber dari sengketa yang timbul karena
soal kawin lari, dan timbulnya pertentangan antara person dengan person
biasanya bersumber dari sengketa yang timbul karena soal harta pusaka.
Semua unsur sosial
bertentangan di atas dapat dipersatukan oleh kalosara. Kalosara yang digunakan untuk mendamaikan atau
mempersatukan golongan bangsawan dan golongan budak disebut kalosara mbutobu, yaitu kalosara yang digunakan untuk menghadap
kepada putobu (kepala wilayah) agar
kepala wilayah turun tangan menyelesaikan
perselisihan
di antara golongan bangsawan-dan golongan budak. Kalosara yang digunakan untuk mendamaikan atau mempersatukan
golongan pemerintah dan golongan rakyat disebut kalosara mokole, yaitu kalosara
yang digunakan untuk menghadap mokole (raja) agar raja turun tangan
memulihkan perselisihan di antara golongan pemerintah dan rakyat. Kalosara yang digunakan untuk
mendamaikan atau mempersatukan dua pihak keluarga yang berselisih karena soal
kawin lari disebut kalosara sokei,
yaitu kalosara yang digunakan untuk
membentengi diri dari pihak keluarga laki-laki yang melarikan gadis dari serangan pihak
keluarga yang anak gadisnya dilarikan. Kalosara
yang digunakan untuk mendamaikan atau mempersatukan orang dengan seorang
yang berselisih disebut kalosara
mekindoroa, yaitu kalosara yang digunakan
untuk menyelamatkan hidup seseorang yang berselisih karena keduanya saling
mengancam untuk membunuh lawannya
(Tarimana, 1993).
Masyarakat Tolaki
memperlakukan kalosaranya sebagai
alat pemersatu untuk pertentangan konseptual dan sosial terurai di atas
bersumber dari pandangan mereka bahwa kalosara
itu adalah simbol kesatuan dan persatuan.
3. Bahasa Tolaki sebagai Alat Ekspresi Komunikasi dan Hubungannya dengan Kalosara
Bagaimana sekarang
hubungan antara bahasa Tolaki dengan bahasa lambang yaitu bahasa kalosara, yang telah disebut di atas?
Hubungan antara asas bahasa Tolaki dengan kalosara,
sebaiknya dilihat dari dua segi, yakni segi bahasa sebagai alat ekspresi dan
segi bahasa sebagai alat komunikasi (Langer 1951; Mussem, 1973).
Bahasa kalosara sebagai bahasa simbolik adalah
ekspresi Masyarakat Tolaki mengenai segala sesuatu yang dipersiapkan sebagai
sepotong rotan yang dibentuk menjadi lingkaran dengan kedua ujungnya diikat
dengan suatu simpul. Bentuk lingkaran atau bulat ini adalah gambaran segala
sesuatu yang bulat dan mula penciptaannya oleh penciptanya, yang selanjutnya
mengalami perubahan dari yang bulat menjadi terbagi-bagi ke dalam unsur-unsur.
Dengan segala sesuatu di sini adalah
manusia dengan segala aspeknya, alam dengan segala unsurnya, masyarakat dengan
segala aspek-aspek sosialnya, demikian juga hewan dan tumbuhan, dan segala
benda alamiah dan budaya.
Unsur-unsur
dari segala sesuatu tersebut di atas masing-masing pada dasarnya hanya terdiri
atas dua atau tiga unsur . Adapun unsur-unsur yang terdiri atas empat, lima,
dan seterusnya, merupakan penjabaran dari unsur-unsur dasar dua dan tiga di
atas. Namun segala sesuatu tersebut terdiri dari unsur-unsur, tetapi kata mereka hal itu tidak
harus dipisah-pisahkan, melaikan harus dipandang sebagai satu kesatuan yang
bulat yang satu saling mengikat yang lain. Bentuk-bentuk ekpresi inilah yang tersimpul dalam kalosara.
Kalosara
sebagai alat komunikasi adalah alat yang dipakai oleh Masyarakat Tolaki dalam
berkomunikasi secara timbal-balik antara orang seorang, keluarga dengan
keluarga , golongan dengan golongan dalam konteks kehidupan sosial, dan dalam
berkomunikasi dengan unsur-unsur alam dan lingkungan sekitarnya serta dengan
dunia gaib. Komunikasi-komunikasi tersebut, harus dilakukan untuk mewujudkan
dan mempertahankan prinsip-prinsip kesatuan dan persatuan atau integrasi dan
solidaritas masyarakat pada khususnya seperti yang disimbolkan di dalam kalosara itu sendiri, agar tidak timbul
oposisi dan ketidak-serasian dalam tata kehidupan mereka sehari-hari sebagai
suatu masyarakat.
Penampilan kalosara sebagai wujud ekspresi dan alat
komunikasi tersebut nampak
pada peristiwa-peristiwa seperti yang digambarkan sebgai berikut:
a. Peristiwa
di mana seseorang, yang karena merasa sangat malu atas perlakuan seseorang/kelompok yang tidak sopan
terhadap
diri/keluarganya di depan umum, melakukan reaksi keras
berupa ancaman penganiayaan terhadap orang yang memperlakukannya demi membela
harga dirinya. Dalam situasi yang demikian muncullah pihak ketiga menampilkan kalosara di antara keduanya yang sedang
ancam-mengancam satu sama lain. Tanpa komentar dari semua pihak, peristiwa
ancam-mengancam tersebut berhenti secara otomatis di mana keduanya lalu saling
maaf-memaafkan satu sama lain karena bagi mereka kalosara itu adalah identik dengan perkataan: jangan, mohon maaf,
ampun, engkau, dia, dan aku, serta kita sekalian adalah satu kesatuan, satu
didalam tiga, dan tiga di dalam satu. Menganiaya dia berarti menganiaya diri
sendiri, dan menganiaya kami
serta kita sekalian. Tampilnya
kalosara dalam suasana demikian, maka damailah keduannya. Jika ternyata salah satu dari keduanya
atau kedua-duanya menolak adanya kalosara
dalam peristiwa itu, maka ia telah dipandang terkutuk dan akibatnya mereka
harus dikeluarkan dari warga Masyarakat Tolaki atau menghukum mereka dengan
ketentuan adat yang berlaku. Namun hal ini konon jarang terjadi.
b.Peristiwa
di mana dua orang utusan yang datang kepada suatu keluarga untuk maksud
menyampaikan undangan sesuatu pesta atau pekabaran mengenai adanya orang
meninggal dengan menggunakan kalosara.
Sesungguhnya utusan itu tanpa mengatakan apa maksud kedatangannya, keluarga
yang dikunjungi secara otomatis telah memahami bahwa maksud mereka adalah
pekabaran mengenai adanya orang meninggal, atau pemberitahuan mengenai akan
adanya perkawinan, karena kalosara
itu sendiri dengan atributnya telah menunjukkan tanda atau simbol yang bermakna
‘’ orang mati’’ atau makna ‘’laki dan perempuan.’’ Namun untuk memperjelas
keterangan mengenai hal itu masih perlu ada suatu dialog antara kedua belah
pihak, misalnya menanyakan: siapa yang meninggal, kapan dimakamkan, atau siapa
yang akan kawin dan kapan diselenggarakan.
Foto 6. Pabitara
dari Calon Mempelai Laki-laki Mempersembahkan Kalosara kepada Tolea
Calon Mempelai Perempuan
Foto 7. Pabitara dari Calon
Mempelai Laki-laki mempersembahkan Kalosara
kepada Toono Motuo (Tokoh
Masyarakat) dari Calon Mempelai Perempuan
c. Peristiwa
di mana kalosara itu digunakan dalam
upacara-upacara. Tanpa banyak komentar kecuali bahasa yang formal saja, peserta
upacara telah memahami maksud dan jalannya upacara, karena kalosara itu sendiri telah disimbolkan sebagai orang yang berbicara member
keterangan kepada peserta upacara,
tentang upacara
apa yang sedang dilakukan dan apa maksudnya, bahwa upacara sedang dilakukan itu
adalah upacara perkawinan, atau upacara kematian, atau upacara penyambutan
raja, dan atau upacara pelantikan raja (Tarimana, 1993; Suud, 2011).
Penampilan
kalosara pada peristiwa terurai di
atas, bagi Masyarakat Tolaki, merupakan cara-cara yang paling baik dan terpuji
untuk menyatakan ekspresi alam pikiran,
perasaan,
dan kehendaknya di satu pihak, dan untuk menyampaikan maksudnya di lain pihak.
Orang, keluarga, dan
golongan masyarakat yang selalu menggunakan kalosara
untuk menyampaikan maksud tertentu kepada orang, keluarga, dan golongan lain dipandang merou, me’irou (berakhlak terpuji, tahu adat, berbudi pekerti luhur). Singkatnya ia adalah manusia yang
sesungguhnya. Sebaliknya mereka yang tidak berlaku demikian dipandang tidak
sopan,tidak tahu adat,te’oha-oha(sombong).
Dalam hal ini
tampak
kalosara sebagai asas dari
adat-istiadat dalam berbahasa.
Kini
kalosara sebagai bahasa lambang bagi Masyarakat Tolaki telah mengalami
perubahan dalam cara pemakainnya. Perubahan itu tampak pada gejala adanya
sedikit penjelasan yang menyertai kalosara,
sehingga makna kalosara sebagai
bahasa lambang lebih cepat diserap terutama mereka yang kurang mengenal makna kalosara, misalnya kalangan pemuda atau mereka dari kalangan yang bukan Masyarakat
Tolaki.
Misalnya: sekarang
ini upacara perkawinan juga dihadiri oleh pihak dari luar. Perubahan itu tampak
pada gejala di mana seseorang menggunakan kupiah sebagai pengganti kalosara untuk menyatakan maksudnya,
karena pada saat itu sangat mendesak dan ia sedang tidak membawa kalosara. Kupiah itu diperlakukan
sebagai kalosara.
4. Hubungannya
Kalosara dengan Mata
Pencaharian
Semua
uraian mengenai mata pencaharian Masyarakat Tolaki, yang meliputi
masalah-masalah tentang bercocok tanam di ladang, menanam padi di sawah,
tanaman sagu dan tanaman jangka panjang, berburu dan beternak, konsep kepemilikan, dan integrasi berbagai
sistem ekonomi, menunjukkan bahwa sistem ekonomi Masyarakat Tolaki merupakan
sistem yang berlandaskan pada asas-asas tertentu. Asas-asas itu adalah: asas
alamiah, asas tradisional, dan asas kekeluargaan.
Asas
alamiah tampak dalam hubungannya dengan jenis produksi, yang diusahakan dan
dihasilkan tergantung pada kondisi dan potensi alam dan lingkungannya. Asas
tradisional nyata dalam kaitannya dengan sistem teknologi pengolahan dan
pemanfaatan hasil, yang senantiasa menurut ketentuan adat-istiadat yang berlaku
secara turun-temurun, baik dalam menggunakan peralatan yang masih sederhana
maupun dalam pengadaan upacara-upacara ritual yang bersifat religi atau
keagamaan. Asas
kekeluargaan tampak dalam hubungannya dengan kenyataan bahwa hampir semua usaha
pengolahan tanah dan pemetikan hasil tidak hanya dilakukan oleh anggota suatu
keluarga inti tetapi juga atas kerja sama dengan sejumlah anggota dalam ikatan
keluarga satu nenek moyang. Hasilnya pun tidak hanya dinikmati oleh pemiliknya
sendiri,
tetapi juga disyaratkan untuk dinikmati oleh sesama keluarga dan tetangga terdekat atau pemerintah setempat dalam kadar
tertentu. Asas kekeluargaan ini tidak hanya untuk memelihara hubungan
timbal-baik antara keluarga dengan keluarga atau antara rakyat dan pemerintah,
tetapi juga untuk memelihara hubungan timbal-balik antara manusia dengan
makhluk gaib. Kenyataan terakhir ini diwujudkan dalam upacara doa syukur
menikmati hasil panen padi
pertama,
di mana sejumlah anggota keluarga dan tetangga diundang untuk makan bersama,
dan disajikan sejumlah hidangan lainnya.
Selanjutnya,
bagaimana hubungan antara asas mata pencaharian Masyarakat Tolaki dengan kalosaranya? Hubungan itu tampak pada
tiga kenyataan yang digambarkan di bawah ini sebagai berikut:
a. Kenyataan
bahwa kalosara selalu digunakan
sebagai tanda kepemilikan,
dan tanda larangan, penjaga tanaman terhadap gangguan hama dan gangguan orang
lain. Selain itu kalosara secara
simbolik adalah ganti diri dari pemilik tanah dan tanaman di atasnya.
b.Kenyataan
bahwa kalosara selalu digunakan dalam upacara ritual dari hampir
setiap fase:
pengolahan tanah, penanaman padi, dan pemetikan hasil. Penyelenggaraan suatu
upacara ritual dengan menggunakan kalosara
adalah mutlak dilakukan demi suksesnya seluruh rangkaian kegiatan pengolahan
tanah, pemeliharaan tanaman, dan pemetikan hasil, karena hasil yang diinginkan,
adalah berkat adanya dukungan dari unsur-unsur alam nyata terutama sesama manusia itu sendiri, dan Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan demikian
hanya dapat diwujudkan di dalam dan setelah diadakan suatu upacara di mana kalosara digunakan, karena makna
simbolik dari kalosara adalah
berfungsi mewujudkan hubungan timbal-balik dari unsur-unsur upacara tersebut,
yakni: Hubungan timbal-balik antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan
hewan ternaknya, manusia dengan tumbuhan-tumbuhan atau tanamannya,
manusia-manusia dengan api, angin,
air,
dan tanah, manusia dengan waktu dan ruang, dan manusia dengan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Semua unsur ini
terlihat dalam konteks upacara;
c. Kenyataan bahwa ikutnya unsur pemerintah
setempat, keluarga dan tetangga terdekat menikmati hasil produksi tanaman dan
ternak potong, sesungguhnya, bagi Masyarakat Tolaki, adalah perwujudan dari
prinsip kalosara itu sendiri, yakni medulu (kesatuan dan persatuan).
Kenyataan ini merupakan wujud dari usaha mereka untuk memelihara dan
memepertahankan hubungan sosial yang serasi, selaras dan seimbang, serta
berkesinambungan (Tarimana,
1993).
Kini
setelah pemerintah setempat mulai melarang berladang liar untuk mengintensipkan
sistem irigasi bersawah, dan melarang berburu dan menangkap burung dalam rangka
upaya pelestarian lingkungan alam, serta mulai menerapkan sistem teknologi
tepat guna dalam beternak, maka peranan kalosara dalam sistem ekonomi tradisional Masyarakat
Tolaki sebagaimana dikemukakan di atas telah mulai bergeser. Peranan kalosara mulai bergeser dari sebagai
alat upacara untuk semua fase pengolahan tanah sampai pemetikan hasil
perladangan, menjadi hanya sebagai alat upacara pergantian tahun pertanian;
dari sebagai tanda kepemilikan
tanah bakal perladangan menjadi hanya sebagai penjaga kebun tanaman jangka
panjang, dari sebagai alat penangkap hewan buruan dan penangkap burung, menjadi hanya sebagai cincin
hidung kerbau dan sapi
peranan sebagai tanda kepemilikan seseorang.
5. Hubungannya Kalosara dengan Teknologi
Tradisional
Sistem
teknologi tradisional Masyarakat Tolaki, yang meliputi jenis alat-peralatan
hidup, bahan mentah pembuatannya, sistem pembuatan dan pemakaiannya, serta bentuk dan
struktur bagian-bagiannya yang telah dikemukakan di atas menunjukkan kepada
kita bahwa sistem teknologi tradisional Masyarakat Tolaki merupakan sistem yang
berlandaskan pada asas-asas tertentu.
Landasan sistem
teknologi dalam memproses peralatan dan perlengkapan hidup adalah asas
lingkaran atau bulatan, asas persegi empat, dan asas ikatan atau lilitan, serta
asas analogi, identifikasi dan representasi. Asas lingkaran dan persegi empat, nampak pada hampir semua bentuk
peralatan, baik secara sendiri maupun secara kombinasi. Dalam hampir semua cara
membuat alat-alat tampak teknik mengikat, melilit untuk menghubungkan satu sama
lain dari bagian-bagiannya. Sedangkan asas analogi, asosiasi dan identifikasi, nampak pada bentuk dan struktur
bagian-bagian suatu peralatan sebagai gambaran dari konsepsi mereka mengenai
diri sebagai manusia, sedangkan hewan dan tumbuhan, serta sebagai benda-benda
alam fisik lainnya yang terdapat dalam lingkungannya.
Selanjutnya, bagaimana
hubungan antara asas sistem teknologi tradisional Masyarakat Tolaki dengan kalosaranya? Hubungan itu Nampak pada
kenyataan-kenyataan yang digambarkan di bawah ini.
a. Kenyataan bahwa pada umumnya alat-peralatan
memerlukan pengikat rotan, yang teknik mengikatnya adalah selalu identik dengan
model ikatan kalosara yang melilit,
melingkar, dan membulat. Semua hulu dari alat-alat produktif dan senjata selalu
diikat dengan teknik khusus yang disebut holunga
(ikatan melingkaryang dianyam); demikian semua wadah anyaman diperkuat bobotnya
dengan lingkaran rotan yang dipilin, dan hampir semua dari model perhiasan identik
dengan model kalosara yang melingkar atau membulat.
b. Kenyataan yang unik adalah tiang tengah dari
suatu bangunan pada bagian
atas
tiang, utamanya rumah tempat tinggal selalu diikat dengan ikatan rotan yang
juga disebut kalosara.
c. Kenyataan bahwa model dari semua jenis jerat
penangkap hewan liar dan unggas yang bahannya dari rotan atau akar selalu
mengikuti model kalosara.
d. Selain model kalosara nampak
pada teknik mengikat dari peralatan tersebut dan pada sebagian bentuknya, juga
struktur unsur dua atau tiga dari alat-peralatan yang telah dilukiskan di atas
selalu tercermin di dalam struktur unsur dua atau tiga dari kalosara itu (Tarimana, 1993).
Meskipun Masyarakat Tolaki pada masa kini telah ada sebagian kecil
yang mendirikan rumah dengan sepenuhnya meninggalkan teknik ikat dari rotan,
karena bangunan rumah itu adalah bangunan permanen dari batu/semen, tetapi masih tampak peranan kalosara sebagai pengikat tiang tengah
rumah bagian ruang tengah pindah ke bagian ruang loteng. Kalosara pengikat tiang tengah rumah itu bergeser dari bahan rotan
ke bahan kain putih.
6. Hubungannya Kalosara dengan Sistem
Kekerabatan dan
Organisasi Politik
Uraian
di bawah ini menunjukkan letak hubungan antara sistem kekerabatan dan
organisasi sosial dengan kalosara. Kenyataannya upacara ritual dalam
proses lingkaran hidup, seperti: upacara pemandian bayi, upacara potong rambut,
upacara sunatan, upacara perkawinan, dan upacara pemakaman orang meninggal dan upacara peringatan kematian,
upacara penyambutan seseorang pejabat pemerintah yang berkunjung ke daerah atau
ke desa-desa, maka hubungan antara sistem kekerabatan dan organisasi sosial Masyarakat
Tolaki dengan kalosara terletak
pada dua aspek,
yaitu: (1)
peranan kalosara dalam penggunaannya
pada upacara-upacara ritual pada lingkaran hidup dan pada upacara resmi dalam
urusan pemerintahan; dan (2) pandangan Masyarakat Tolaki terhadap kalosara sebagai simbol.
a.
Peranan
Kalosara dalam Upacara
Dalam upacara pemandian
bayi yang lahir pertama, kalosara di
pakaikan pada pergelangan tangan dan kaki si bayi. Jenis kalosara yang
dipakaikan
disebut kalosara kale-kale (kalosara dari benang putih). Maksud
pemakaian itu selain sebagai tanda penjaga bayi itu dari gangguan makhluk halus
dan sebagai
tanda bahwa bayi yang lahir pertama itu merupakan unsur kelengkapan
terbentuknya suatu keluarga inti, dan terikat dalam hubungan keluarga luas dan
anggota baru bagi kelompok kerabat. Pemasangan kalosara dimaksud dilakukan oleh bibi atau nenek dari pihak ibunya.
Untuk tujuan yang sama, pada upacara potong rambut si bayi dipakaikan kalosara kale-kale (kalosara dari benang), tetapi bukan lagi benang putih melainkan
benang kuning. Makna benang
kuning berarti
si bayi telah kuat jiwanya untuk menahan gangguan dari makhluk halus.
Dalam upacara sunatan
menjelang dewasa, kalosara dipakaikan
pada pinggang sang
remaja. Jenis
kalosara yang dipakaikan disebut kalosara pebo (kalosara
dari akar atau kulit kayu keras). Maksud pemakaian itu selain sebagai tanda pengikat
hubungan antara jasmani dan rohani, juga merupakan tanda bahwa sang remaja telah siap untuk memasuki
jenjang perkawinan dan berarti pula bahwa akan mengikat hubungannya dengan
keluarga luas.
Dalam urusan perkawinan
kalosara selalu digunakan. Kalosara yang digunakan disebut kalosara mbendulu (kalosara adat perkawinan), yang terdiri dari lingkaran rotan, kain
putih, dan wadah anyaman. Maksud penggunaan kalosara
dalam perkawinan adalah untuk mempererat hubungan kekeluargaan di kalangan
keluarga luas, dan juga untuk mengikat hubungan dengan kelompok kerabat. Dalam
peristiwa kematian,
kalosara berperan
pada
dua jenis,
yaitu: (1) kalosara ula-ula (kalosara dari gulungan benang putih yang
dibentuk seperti orang-orangan); dan (2) kalosara lowani (kalosara
dari sobekan kain putih). Kalosara
yang pertama digunakan untuk pekabaran tentang adanya orang meninggal, dan kalosara yang kedua dipakai sebagai
tanda berkabung. Penggunaan kalosara
pertama mengandung makna simbolik bahwa anggota kerabat yang meninggal itu
datang kepada kerabatnya untuk pamit mendahului menghadap Tuhan, dan sekaligus
mengharapkan kerabatnya yang masih hidup itu sudi ikut mengurus keluarganya
yang ditinggalkan; dan pemakaian kalosara
kedua mengandung makna simbolik bahwa kerabat merasa kehilangan seorang anggota
kerabat yang sangat banyak menentukan dalam pembinaan keluarga dan kerabat
secara keseluruhan.
Kalosara
yang digunakan dalam upacara pelantikan raja pada zaman dahulu, dan pada
upacara-upacara penyambutan adat para pejabat pemerintah disebut kalosara wonua (kalosara
adat pemerintahan), yang
juga atributnya sama dengan kalosara
yang digunakan dalam perkawinan. Penggunaan kalosara
pada kedua peristiwa di atas dimaksudkan untuk mempererat tali hubungan silaturrahim antara pemerintah dan
rakyat, dan juga mengandung makna simbolik bahwa rakyat sangat mengharapkan
bimbingan dan perlindungan dari pemimpinnya, dan sebaliknya pemerintah
mengharapkan dukungan dan bantuan dari rakyatnya.
b.
Pandangan
Masyarakat terhadap Kalosara sebagai
Simbol
Kalosara
adalah
simbol dari unsur-unsur keluarga inti, adat dalam kehidupan rumah tangga, dan
rumah tangga itu sendiri sebagai wadah kehidupan keluarga inti, serta ikatan
hubungan antara unsur-unsur keluarga inti itu sendiri secara timbal-balik. Tiga
unsur dari keuarga inti adalah: ayah,
ibu,
anak. Ketiga unsur ini disimbolkan oleh tiga pilinan rotan yang dipertemukan pada
suatu ikatan simpul; adat dalam kehidupan rumah tangga disimbolkan oleh kain putih yang mengalas wadah anyaman;
dan rumah tangga itu disimbolkan oleh wadah anyaman siwole tempat
meletakkan lingkaran rotan yang berpilih tiga tersebut.
Kalosara
adalah simbol dari unsur-unsur keluarga luas, adat dalam kehidupan komuniti
keluarga luas, dan pola komuniti itu sendiri, serta ikatan hubungan antara
unsur-unsur keluarga luas secara timbal-balik. Tiga unsur dari keluarga luas
itu adalah: para paman dengan istrinya, para bibi dengan suaminya, dan para
kemenakan derajat satu. Seperti halnya tiga unsur keluarga inti, begitu pula
tiga unsur keluarga luas disimbolkan oleh tiga pilinan rotan yang dipertemukan pada suatu
ikatan simpul. Adat dalam kehidupan keluarga luas komuniti dan pola komuniti
itu sebagai wadah, masing-masing keduanya disimbolkan oleh kain putih dan wadah
anyaman tempat lingkaran rotan yang dipilin itu. Demikian pula kalosara adalah simbol dari unsur-unsur
kerabat/keluarga,
adat dalam kehidupan keluarga
(kindred),
serta ikatan hubungan antara unsur-unsur keluarga itu sendiri secara
timbal-balik. Tiga unsur dari kerabat/keluarga itu adalah: semua saudara sepupu
derajat satu bersama dengan istri dan suaminya dan dengan anak-anaknya, semua
saudara sepupu derajat dua bersama dengan istri dan suaminya dan dengan
anak-anaknya, semua saudara derajat tiga bersama istri dan suaminya dan dengan
anak-anaknya. Sebagaimana halnya tiga unsur keluarga luas, begitu pula tiga
unsur kerabat/keluarga
disimbolkan oleh tiga pilin rotan yang dipertemukan pada suatu ikatan simpul.
Adat dalam kehidupan keluarga
dan pola desa pemukiman warga keluarga,
masing-masing keduanya disimbolkan oleh kain putih dan wadah anyaman tempat
lingkaran rotan yang dipilin itu. Akhirnya kalosara
adalah simbol dari kelompok kerabat yang luas, yang mengekspresikan kesatuan dan persatuan
dari seluruh warga Masyarakat Tolaki asal dari satu nenek moyang, adat dalam
kehidupan kerabat luas (ambilineal),
dan pola dari suatu wilayah distrik atau kecamatan tempat pemukiman semua warga
kelompok kerabat yang berasal
dari satu nenek moyang
(Tarimana, 1993).
Ekspresi Masyarakat
Tolaki mengenai kalosara sebagai simbol
hubungan kekerabatan terurai di atas diwujudkan di dalam disain dari wadah
anyaman tempat kalosara itu
diletakkan. Pada gambar wadah anyaman di bawah, disain-disain itu tampak
sebagai tujuh lapisan segi empat sama sisi, 14 garis vertical (masing-masing
tujuh garis di sisi kanan dan tujuh garis di sisi kiri), 14 garis horizontal
masing-masing tujuh garis di sisi atas dan tujuh garis di sisi bawah, 14 gambar
panah (masing-masing tujuh buah di bagian atas kanan dan tujuh buah di bagian
bawah kiri), 14 gambar kembang (masing-masing tujuah buah di bagian kanan bawah
dan tujuh buah di bagian atas kanan), 30 gambar sampiran yang terletak di dalam
segi empat sama sisi (pusat dari wadah), 20 pasang segi tiga sama kaki pada
segi empat sama sisi lapisan kedua (masing-masing lima pasang pada tiap sisi),
40 gambar tumbuhan pakis pada segi empat sama sisi lapisan ketiga
(masing-masing 10 buah pada tiap sisi), 96 pasang segi tiga sama kaki pada segi
empat sama sisi lapisan keempat (masing-masing 24 pasang pada tiap sisi), dua
deretan tali yang mengelilingi empat sisi dari masing-masing segi empat sama
sisi lapisan kelima dan lapisan keenam, dan puluhan gambar silang yang tak
terbaca yang mengelilingi keempat sisi dari segi empat sama sisi lapisan
ketujuh. Menurut para informan gambar-gambar disain dari wadah anyaman ini
adalah simbol-simbol dari keluarga inti kelompok-kelompok kerabat, termasuk di
dalamnya warga dari tiap kelompok dan hubungan timbal-balik antara satu anggota
keluarga atau warga kelompok kerabat dengan lainnya. Itulah maksud dan tujuan
penggunaan kalosara dalam
upacara-upacara keluarga untuk mewujudkan hubungan-hubungan timbal-balik dari
kelompok kekerabatan mereka, dalam rangka memupuk rasa kesatuan dan persatuan
di kalangan kerabat.
Kalosara
juga simbol dari unsur-unsur pimpinan kelompok sosial kecil, dan wadah
lingkungan kecil tempat tinggal warganya. Tiga unsur dari pimpinan itu ialah: tonomotuo (ketua kelompok), tamalaki (kepala pertahanan dan
keamanan), dan mbu’akoi (dukun
kelompok). Demikian juga kalosara sebagai
simbol dari tiga unsur pimpinan desa, adat dalam kehidupan desa, dan wadah desa
itu sendiri sebagai tempat pemukiman dari warganya. Tiga unsur pimpinan itu
ialah: tonomotuo (kepala desa), pabitara (hakim adat), dan o sudo (wakil kepala desa) (Tariaman, 1993; Suud, 2011).
Kalosara juga simbol dari tiga unsur
pimpinan distrik atau kecamatan, adat dalam kehidupan di kecamatan, dan wadah
kecamatan itu sendiri sebagai tempat tinggal warganya. Tiga unsur itu ialah: putobu (kepala wilayah), pabitara (hakim adat di tingkat
kecamatan), dan posudo (aparat
pembantu kepala wilayah).
Pada tingkat kerajaan, kalosara sebagai simbol dari tiga unsur
pimpinan Kerajaan
Konawe dan Kerajaan Mekongga, adat dalam kehidupan kerajaan, dan wadah kerajaan
sebagai tempat tinggal dari warga kerajaan. Tiga unsur pimpinan kerajaan itu
ialah: mokole (raja), sulemandara (perdana menteri), dan tutuwi motaha (aparat pertahanan). Kalosara juga simbol dari cita-cita
politik kerajaan, yaitu: cita-cita kesatuan dan persatuan, kesucian, keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Cita-cita
kesatuan dan persatuan disimbolkan dengan lingkaran rotan, cita-cita kesucian
dan keadilan disimbolkan dengan kain putih, dan cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan
disimbolkan dengan wadah anyaman.
Kalosara
sebagai
simbol
adat, maka yang dimaksudkan adalah kain putih pelapis alas wadah anyaman karena
kain putih itu identik dengan kesucian dan keadilan, dan pada tingkat
berikutnya mereka menganalogikan segala hal yang suci dan adil yang dilakukan
oleh manusia karena berdasarkan ajaran adat. Demikian juga kalosara sebagai
simbol
dari wadah etnis,
wadah desa, wadah kerajaan, maka yang dimaksudkan adalah wadah anyaman tempat kalosara diletakkan, karena wadah
anyaman identik dengan wilayah pemukiman penduduk (Tarimana, 1993; Suud, 2011).
Untuk mewujudkan
unsur-unsur pimpinan dan mengingatkan ajaran-ajaran adat bagi warganya, serta
menyadarkan warga bahwa mereka tinggal dalam satu wilayah pemukiman, dan untuk
membangkitkan rasa dan cita-cita kesatuan dan persatuan, kesucian dan keadilan,
kemakmuran dan kesejahteraan, maka kalosara
selalu digunakan dalam upacara-upacara resmi dalam urusan pemerintahan,
seperti: upacara pelantikan mokole di
zaman kerajaan, dan upacara-upacara penyambutan adat para pemimpin yang
berkunjung di daerah atau di desa-desa. Dalam upacara itu diperdengarkanlah
hal-hal dimaksud di atas kepada warga setempat oleh seorang juru bicara
pemerintah.
Akhirnya kalosara merupakan simbol dari tiga
komponen stratifikasi sosial. Golongan bangsawan disimbolkan dengan lingkaran
rotan, golongan orang kebanyakan disimbolkan dengan kain putih, dan golongan
budak disimbolkan dengan wadah anyaman. Lingkaran rotan yang diletakkan pada
posisi di atas dari kain putih dan wadah anyaman menunjukkan bahwa golongan
bangsawan itu adalah pemerintah dan penguasa yang melindungi golongan
kebanyakan dan golongan budak. Kain
putih yang diletakkan pada posisi di bawah dari lingkaran rotan dan di atas wadah menunjukkan bahwa
golongan orang kebanyakan atau pemangku adalah pendukung golongan bangsawan dan
pembela dari golongan budak atau rakyat jelata, dan wadah anyaman yang
diletakkan di atas kain putih dan lingkaran rotan menunjukkan bahwa golongan
budak atau rakyat jelata adalah pendukung golongan pemangku adat dan pemuja
golongan bangsawan.
Hubungan
sistem kekerabatan dan organisasi sosial dengan kalosara, maka
perlu
memberi uraian mengenai sikap Masyarakat Tolaki masa kini terhadap kalosara, seperti hasil penelitian Tarimana (1993) yang
melibatkan 384 responden, hasilnya menunjukkan sebagai berikut:
1) Bahwa 86%
dari responden masih memandang kalosara
sangat berperan sebagai lambang integrasi dan solidaritas masyarakat Tolaki dan
perlu dipertahankan untuk masa-masa mendatang, dan 14% lainnya dalam hal
tertentu telah berpandangan bahwa kalosara
tidak perlu dipergunakan dan dipertahankan.
2) Dalam hal
penggunaan kalosara pada berbagai
keperluan menunjukkan tingkat frekuensi berturut-turut sebagai berikut: (a)
dalam perkawinan (96%); (b) dalam mengundang (95%); (c) dalam penyambutan
pejabat (86%); (d) dalam menghadap pejabat atau tokoh masyarakat (81%); (e)
dalam perdamaian (71%); (f) dalam kematian (70%).
3) Adapun
tingkat tidak perlunya penggunaan kalosara
dan gejala penyebabnya yang ditunjukkan oleh responden dalam
frekuensi-frekuensi di bawah ini adalah sebagai akibat dari beberapa hal
tertentu, antara lai sebagai berikut: (a) tingkat pertama dalam kematian (30%)
merupakan akibat dari pengaruh ajaran Islam yang menghendaki kecepatan
pemakaman karena dengan menggunakan kalosara
dapat memperlambat proses pemakaman, (b) tingkat kedua dalam perdamaian (29%)
merupakan akibat dari adanya lembaga pengadilan negeri yang dapat menyelesaikan
soal-soal sengketa keluarga; (c) tingkat ketiga dalam menghadap pejabat (19%)
merupakan akibat dari adanya lembaga perwakilan rakyat yang anggota-anggotanya
dapat menyalurkan keinginan mereka; (d) tingkat keempat dalam penyambutan
pejabat (14%) merupakan akibat dari adanya sementara pejabat yang tidak mau
diperlakukan demikian; (e) tingkat
kelima dalam mengundang (5%) adalah akibat dari adanya cara mengundang
dengan surat; dan (f) tingkat keenam dalam perkawinan merupakan akibat dari
adanya gejala kawin lari yang kadang-kadang dapat diselesaikan melalui
perkawinan di hadapan mahkamah pernikahan.
4) Bahwa adanya gejala tidak perlunya kalosara dipertahankan penggunaannya
dalam berbagai keperluan di atas namun hanya 3% merupakan akibat dari kalangan
pemuda yang kurang memahami arti dari makna kalosara.
5) Khusus mengenai gejala keharusan menaati
segala keputusan yang diambil dalam upacara-upacara kalosara terdapat 94% dari rsponden yang tetap bersikap demikian,
sedangkan lainnya 6% adalah mereka yang bersikap sebaliknya. Hal ini merupakan
akibat dari kurangnya penghargaan terhadap kalosara sebagai adat dan kurang dipahaminya hakikat kalosara itu sendiri oleh sebagian kalangan Masyarakat
Tolaki.
Kenyataan
bahwa tidak
ada perbedaan antara golongan pria dan wanita, demikian pula antara golongan Islam dan Kristen,
antara golongan pemuda dan orang tua, serta golongan tidak terpelajar dan
terpelajar,
Masyarakat Tolaki
dalam menilai perlu tidaknya kalosara
digunakan dan dipertahankan. Hal ini berarti bahwa adanya gejala tidak perlunya
kalosara digunakan dan dipertahankan
dalam berbagai keperluan yang telah dikemukakan di atas bukanlah disebabkan
oleh hal-hal yang berhubungan dengan perbedaan-perbedaan dalam jenis kelamin,
tingkat umur, dan tingkat pendidikan, tetapi sebagai akibat dari gejala dinamika
sosial dan perubahan budaya yang sedang terjadi, yang mulai mempengaruhi Masyarakat
Tolaki, baik yang tinggal di kota maupun di desa. Jadi hal ini bukan disebabkan faktor latar
belakang individu,
tetapi faktor kondisi lingkungan sosial budaya yang sedang terjadi.
7. Hubungan Kalosara dengan Kosmologi
dan
Sistem Keagamaan
Hubungan antara
kosmologi dan sistem keagamaan dengan kalosara
terletak dalam tiga hal, yaitu:
(1) kalosara
sebagai simbol yang mengekspresikan bentuk dan susunan alam semesta serata isinya, baik alam nyata maupun
alam gaib, bentuk tubuh manusia dan susunannya; (2) peranan kalosara dalam upacara; (3) pandangan Masyarakat Tolaki bahwa kalosara
itu adalah benda keramat
(Tarimana, 1993).
Lingkaran rotan adalah simbol
dunia atas, kain
putih adalah simbol dunia tengah, dan wadah anyaman adalah simbol dunia bawah.
Kadang-kadang juga masyarakat
menyatakan
bahwa lingkaran rotan itu adalah simbol
matahari, bulan,
dan bintang-bintang; dan kain putih
adalah langit, dan wadah siwole (anyaman) adalah simbol permukaan bumi.
Mereka juga mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah simbol sangia mbu’u (dewa tertinggi atau
Allah), sangia I losoano oleo (dewa
di timur), dan sangia I tepuliano oleo (dewa
di barat); kain putih adalah simbol dari guruno
o wuta sangiano wonua (dewa penguasa kehidupan di bumi), dan wadah anyaman
adalah simbol sangia I puri wula (dewa
di dasar bumi). Kalosara juga
disimbolkan sebagai manusia; Lingkaran rotan
adalah simbol kepala manusia;
kain putih
adalah simbol badan, dan wadah siwole adalah simbol tangan
dan kaki.
Hubungan berikutnya
adalah terletak pada peranan kalosara
dalam upacara. Dalam setiap upacara yang diadakan, kalosara merupakan inti perlengkapan upacara. Kalosara
sebagai inti upacara mengekspresikan unsur-unsur dan hubungan antara
unsur-unsur upacara yang bersifat timbal-balik dan bersifat integrasi, dan juga
menggambarkan maksud dan tujuan upacara. Hubungan antara unsur-unsur upacara
yang bersifat timbal-balik itu diekspresikan di dalam bentuk kalo melalui
simpulnya, dan hubungan antara unsur-unsur upacara yang bersifat integrasi
diekspresikan di dalam posisi kalosara
yang ditempatkan di tengah-tengah ruang upacara. Maksud dan tujuan suatu
upacara pada umumnya ingin mewujudkan rasa solidaritas sosial di kalangan
peserta upacara, rasa kesatuan dan persatuan, dan mewujudkan cita-cita kesucian
dan ketentraman, kemakmuran dan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat.
Maksud dan tujuan upacara diekspresikan di dalam kalosara melalui bentuknya yang
lingkaran sebagai lambang kesatuan dan persatuan, melalui atributnya kain putih
sebagai lambang kesucian dan ketentraman, dan melalui atributnya wadah anyaman
dari tangkai daun palam sebagai lambang kemakmuran dan kesejahteraan. Selain
maksud dan tujuan upacara diekspresikan dalam bentuk atribut kalosara
juga diekspresikan di dalam makna dari mantera-mantera dan doa-doa yang
diucapkan oleh dukun yang memimpin suatu upacara.
Akhirnya hubungan yang
paling erat antara sistem keyakinan Masyarakat Tolaki dengan kalosara
itu terletak pada pandangan bahwa kalosara
sebagai suatu
benda keramat. Pandangan ini bersumber dari konsepsi mereka yang menggambarkan kalosara
itu sebagai representasi dari nenek moyang mereka. Bagi Masyarakat Tolaki
menghargai,mensucikan dan mengkeramatkan kalosara
berarti mentaati ajaran-ajaran nenek moyang mereka. Hal ini berarti berkah bagi kehidupan
mereka, dan apabila sebaliknya berarti kualat, durhaka yang akan menimpa
mereka.
Memperhatikan
ketiga hal tersebut di atas yang menunjukkan letak hubungan antara kosmologi
dan sistem keagamaan Masyarakat
Tolaki
dengan kalosara,
maka dapat dinyatakan
bahwa
kalosara
tidak hanya sebagai alat ritus dan upacara, tetapi sekaligus sebagai simbol
yang memformulasikan konsepsi-konsepsi Masyarakat Tolaki mengenai alam semesta
dan isinya, dan memantapkan perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi Masyarakat
Tolaki untuk melakukan sesuatu setelah mereka mengadakan suatu upacara dengan
menggunakan kalosara.
Masyarakat Tolaki merasa aman dan tentram dalam hidupnya bersama kalosara.
Dalam kaitan ini sejalan dengan pandangan Geertz (1983) yang
menganggap religi sebagai suatu sistem simbol.
8. Hubungan Kalosara dengan Kesenian
Hubungan pertama yang
tampak di
antara kesenian dengan kalosara
adalah dalam bentuk. Hubungan kedua terletak pada makna-makna simbolik yang
terkandung di dalamnya. Bentuk-bentuk
disain dalam pola segi empat, lingkaran, ikat, dan pola gambar tumbuhan pakis, pola kepala orang, bentuk-bentuk
rias tubuh dalam pola buatan, demikian bentuk benda-benda perhiasan dalam pola
lingkaran; bentuk alat-alat bunyi dalam pola buatan; bentuk teknik menari dalam
pola lingkaran dan pola gerakan horizontal-vertikal yang membentuk pola segi
empat; semuanya menunjukkan corak yang sama dengan bentuk pola kalosara, yakni: lingkaran, ikatan, dan segi empat.
Dimensi diadik dalam
pola garis-garis dan segi empat pada disain, pola dua dan empat baris per bait
pada puisi, pola gerakan dua-tiga (ke kiri dua langkah, ke kanan tiga langkah)
dan membentuk lingkaran, dan pola tiga bergandengan: laki-perempuan laki, atau
perempuan-laki-perempuan pada tarian, ide kesatuan dan persatuan yang tercermin
dalam pola bulatan pada
rias tubuh dan pola lingkaran pada perhiasan; semuanya menunjukkan ide atau
asas yang sama pada kalosara, yaitu:
asas dualisme,
asas triparti, dan asas kesatuan.
Pencerminan klasifikasi
dua,
klasifikasi
tiga,
dan
klasifikasi
lima
pada
kalosara.Tiga
macam klasifikasi ini dalam
makna simbolik dari kalosara. Klasifikasi
dua tercermin di dalam unsur dua
ujung rotan yang
membentuk kalosara. Menurut konsepsi Masyarakat Tolaki, dua ujung rotan itu
adalah simbol dari laki dan perempuan, dan semua unsur dua yang saling
bertentangan atau yang dapat dipertentangkan, misalnya: jasmani dan rokhani,
manusia dan hewan, manusia dan tumbuhan, dunia nyata dan dunia gaib, dan
seterusnya.
Makna simbolik dari dua
ujung rotan yang menunjukkan klasifikasi dua tampak ketika upacara peminangan.
Dalam ruang upacara duduk kelompok peserta upacara dari pihak laki-laki di satu
sisi ruangan, dan peserta upacara dari perempuan di sisi yang lain secara
berhadap-hadapan. Kedua pihak itu saling bersaingan dalam hal menetapkan jenis
dan jumlah mas kawin dan biaya perkawinan yang akan datang. Pihak perempuan
meminta banyak dan pihak laki-laki minta sedikit yang satu minta turun, yang
lain minta teta tidak turun dari jumlah yang telah dimintanya. Gejala lain di
mana dua ujung rotan itu tampak sebagai klasifikasi dua kanan adalah keluarga
pengantin perempuan pihak ayah, yang duduk pada posisi kiri adalah keluarga
pengantin laki-laki pihak ibu, yang duduk pada posisi muka-belakang adalah
masing-masing keluarga dari masing-masing keluarga pengantin laki-laki dari
pihak ayah, dan keluarga pengantin perempuan dari pihak ibu. Sedangkan yang
duduk di tengah di mana kalosara
ditempatkan adalah dua juru bicara dari masing-masing keluarga pengantin dan
dua pasang suami-istri, ialah paman-bibi dari masing-masing pengantin, yang
duduk saling berhadapan. Demikian juga peserta upacara, misalnya dalam upacara
pergantian tahun pertanian, biasanya diatur demikian rupa, sehingga mereka yang
mengambil tempat di bagian timur
lapangan adalah penduduk yang berasal dari wilayah timur desa, yang mengambil tempat di bagian barat lapangan berasal dari wilayah barat desa, yang mengambil tempat di
bagian utara
lapangan berasal dari wilayah utara
desa, yang mengambil tempat di bagian selatan
lapangan berasal dari wilayah selatan desa, sedangkan mereka duduk di tengah
lapangan upacara di mana kalosara dan
alat-alat upacara serta bangunan panggung berada adalah dukun upacara yang
dikelilingi oleh para tokoh adat dan tokoh masyarakat setempat (Suud, 2011).
Kenyataan-kenyataan
tersebut di atas menunjukkan bahwa kalosara
dalam upacara merupakan simbol dari
unsur-unsur klasifikasi lima. Kalosara
dalam fungsinya sebagai pengikat rumah, juga melambangkan unsur-unsur
klasifikasi lima, berdasarkan asosiasi Masyarakat Tolaki yang mengidentifikasi kalosara dengan tiang tengan rumah, di
mana tiang tengah rumah berfungsi sebagai pusat tata ruang rumah yang
mencerminkan unsur-unsur ruang rumah, yaitu: sisi
kanan-kiri-muka-belakang-pusat rumah.
C.
Keterkaitan antara Multikulturalisme dengan Kalosara
Timbulnya pertentangan sosial bisa terjadi kapan saja, di mana saja, baik antar
perorangan atau antar kelompok dalam
satu enis tetentu, maupun antar etnis yang dapat meresahkan masyarakat dan
mengamcam persatuan. Konflik yang sering muncul di masyarakat, seperti masalah
sengketa hak atas tanah, masalah perkawinan, pinangan ataupun masalah warisan
juga diselesaikan dengan menggunakan kalosara (Su’ud, 2008). Begitu juga masalah sengketa
perbatasan antar desa yang seringkali sulit dipecahkan/diselesaikan oleh
pemerintah, akhirnya diselesaikan secara adat melalui kalosara. Kebudayaan Tolaki dengan instrumen Kalosara menjadi alat dominan dalam penyelesaian setiap sengketa. Misalnya,
dalam penyelesaian sengketa tanah, maka pemerintah setempat bersama tokoh masyarakat dan kepala adat melakukan
kegiatan mosehe (pencucian/penyehatan
negeri) (Tarimana, 1993). Upacara mosehe merupakan upaya rekonsiliasi antara pihak-pihak yang
bertikai.
Terkait dengan itu, maka Tilaar (1999) menyatakan perlu adanya kajian
etnografi agar dapat memberikan sumbangan dalam upaya untuk mengerti keragaman
budaya di Indonesia secara konkrit dan dapat dijadikan landasan nyata dan
terpercaya dalam proses pembangunan masyarakat dan bangsa.
Dalam Masyarakat
Tolaki filsafat kehidupan berakar pada ungkapan Inae kosara iee pinesara; inae liasara iee pinekasara=siapa yang tahu
adat akan dihormati; siapa yang melanggar adat akan dikasari/tidak akan dihormati.
Dari filsafat ini kemudian tersimpul dalam simbol kalosara yang mengatur tata hubungan antar manusia dan
lingkungannya (Tamburaka, 2004). Orang yang patuh pada adat/norma adalah orang beradab atau disebut kosara, orang seperti ini akan dihormati dan disegani
oleh masyarakat. Orang yang menolak adat disebut matesara (mati adat), dan orang yang melampauhi ketentuan adat
disebut liasara (Al-Mashur, 2015).
Dalam hubungan antar anggota masyarakat ini,
terdapat unsur-unsur yang mengandung nilai filsafat tinggi. Mereka menjadikannya sebagai tongkat
pegangan untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Adapun jenis budaya hasil karya
dan cipta yang mempunyai nilai sosial tinggi dan merupakan perwujudan karakter
positif yang lahir dari etnopedagogik melalui
media kalosara menurut Hafid (2015) antara lain:
1.
Kohanu
Kohanu,
sering
disebut dengan budaya malu. Kohanu, merupakan
sistem pertahanan moral bagi diri sendiri, misalnya ada orang yang dikatakan
malas bekerja, maka selanjutnya mereka menerapkan budaya kohanu ini dengan cara lebih tekun dan rajin dalam bekerja,
sehingga sebutan sebagai pemalas akan hilang dari dirinya, berganti dengan
sebutan pekerja keras yang rajin dan tekun. Secara tidak langsung budaya ini
mengajak setiap orang untuk selalu memaksimalkan tenaga maupun pikiran yang
dimilikinya untuk memajukan dia sendiri atau anggota kelompok yang lain.
2.
Merau
Merau,
adalah
budaya yang mengajak orang untuk selalu mengedepankan sikap sopan dan santun
dalam pergaulan, serta mau memberikan rasa hormat bagi semua anggota masyarakat
Tolaki maupun orang lain.
3.
Samaturu
Samaturu,
merupakan
salah satu budaya yang mengutamakan hidup untuk selalu menjalin persatuan, suka
menolong orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan dengan senang hati. Ini
juga merupakan wujud dari gotong royong yang menjadi pandangan hidup utama dari
Suku Tolaki.
4.
Taa
Ehe Tinua-Tuay
Taa ehe tinua-tuay, merupakan ajakan untuk
selalu merasa bangga karena menjadi bagian dari Masyarakat Tolaki. Sesungguhnya
budaya ini menjadi bagian dari kohanu, namun karena adanya suatu perbedaan
yang bersifat mengutamakan kemandirian, maka budaya yang satu ini selanjutnya
dipisah menjadi budaya sendiri.
5.
O’Sapa
Istilah
o’sapa
ialah semacam aturan-aturan klasik yang mengatur hubungan hukum antara manusia
dengan hewan. Hubungan-hubungan itu timbul manakala manusia melakukan pemburuan
(berburu) terhadap binatang liar seperti kerbau, rusa dan anoa, dengan
menggunakan tombak, menggunakan anjing, perangkap, dan alat-alat penangkap
lainnya, Aturan-aturan o’sapa
itu berwujud ketaatan/kepatuhan setiap orang/pemburu mengambil bagian dari
jerih payah yang tidak menyalahi ketentuan o’sapa,
misalnya: Apabila
binatang buruan itu mati berkat bantuan peralatan tombak dan anjing, maka
bagian tertentu dari daging kerbau atau rusa itu, harus diberikan kepada anjing
(pemilik anjing) dan tombak (yang menombak pertama) diluar dari bagian tertentu
yang biasa diberikan/diambil/dikuasai si pemburu (3/4 bagian) dan bagian
penguasa wilayah untuk daging dan tulang-tulang tertentu. Apabila binatang, tersebut
adalah binatang liar, tetapi bekas binatang peliharaan, maka aturan
pembagiannya telah tertentu pula bagi pemburunya, untuk anjing, untuk tombak
dan untuk penguasa wilayah/puutobu
atau kepala kampung.
Aturan-aturan
pembagian itulah disebut O’sapa, yang
menurut kaidah hidup bermasyarakat harus dipatuhi oleh anggota Masyarakat Tolaki termasuk Penguasa/Raja. Bila
aturan hukumnya tidak dijalankan, maka dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap kehidupan masyarakat dan negeri.
6. O’wua
Istilah
O’wua merupakan seperangkat
aturan/ketentuan hukum yang mengatur tata-cara bercocok tanam, merambah hutan,
menanam padi, dan aturan-aturan ini harus ditaati oleh semua Suku Tolaki
termasuk Penguasa/Raja. Apabila dilanggar maka negeri/penduduk dapat menderita
kekurangan pangan mengalami musim paceklik, ini suatu hal yang sangat ditakuti
oleh Suku Tolaki.
7. O’lawi
Istilah
o’lawi
ialah seperangkat aturan dasar tentang pemberian upah, imbalan jasa, pembagian
kerja dari seorang majikan pemilik kebun padi atau pemilik pohon sagu, atau
pemilik pohon buah-buahan yang didikerjakan oleh seseorang atau beberapa orang
pekerja upahan (toono mehawe, pasaku, pa
mone dan lain-lain) dengan upah atau bagian-bagian tertentu. Ketentuan
pembagian tersebut harus dipatuhi dengan sadar oleh semua orang termasuk
penguasa/mokole.
8. O’liwi
O’liwi ialah
seperangkat pesan, nasihat dan petunjuk hidup yang ditinggalkan/diwasiatkan seseorang untuk diikuti oleh anak
cucu /generasi berikut dari para leluhur, secara turun‑temurun terutama dalam
hal ini dapat disamakan dengan Yurisprudensi artinya putusan hakim tertinggi yang telah berlaku
tetap dan
dapat dicontoh oleh hakim-hakim
berikutnya dalam perkara yang sama maupun selainnya (Hafid, 2012).
Kedelapan
jenis aturan tersebut, berwal dari
kalosara dan juga berakhir pada kalosara.
Kondisi tersebut terjadi karena kalosara
merupakan norma tertinggi dalam kehidupan social, sehingga berfungsi sebagai
landasan filosofis dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian implementasi
kalosara dapat ditelaah secara
empiris, misalnya sejauhmana kalosara dijadikan
media untuk mentransformasikan pengetahuan, nilai, dan keterampilan dari
seorang kepada orang lain baik secara individual maupun kelompok. Secara
cultural semua aktivitas social harus disandarkan pada kalosara, sehingga tidak satu orangpun anggota masyarakat Tolaki
yang tidak pernah menyaksikan alat kalosara, termasuk menjadi partsipan dalam kegiatan
implementasi pemanfaatan kalosara.
Upaya
kristalisasi nilai-nilai tersebut, maka pemerintah Kerajaan Konawe dahulu kala
telah mendirikan suatu lembaga pendidikan pengkaderan calon pemimpin yang
bernama Inae Sinumo yang berkedudukan di Abuki mirip dengan fungsi
Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Melalui lembaga Inae Sinumo ini diharapkan internalisasi nilai-nilai kalosara dapat dipertahankan dan
dikembangkan oleh seluruh lapisan masyarakat, yang senantiasa didukung dan
dipelopori oleh pemimpin yang benar-benar memahami dan berkomitmen
mengembangkan kalosara dalam
kehidupan masyarakat Tolaki.
Kalosara
difungsikan baik sebagai penyebab suatu kegiatan/acara, maupun sebagai akibat.
Contoh sebagai penyebab: Dalam suatu rangkaian pernikahan, kalosara wajib diadakan sebagai instrument utama adat, jika tidak
ada maka acara tidak bisa
dilaksanakan. Contoh sebagai akibat: jika terdapat dua orang yang berselisih
paham, maka untuk mendamaikan harus diadakan kalosara (Hafid, 2012). Akhirnya, apapun aktivitas masyarakat Tolaki, maka kalosara harus ada atau aktivitas
seseorang dan kelompok orang harus selalu bersandar pada kalosara.
D.
Prospek Pemanfaatan Kalosara dalam Kehidupan Modern
Prospek pemanfataan kalosara dalam kehidupan modern sangat dibutuhkan, karena dewasa ini
diperlukan sutau instrument konktit yang dapat dijadikan pedoman dalam
mengarungi kehidupan social sehari-hari. Perkembangan dimana masyarakat yang
begitu cepat dan kompleks, sehingga tidak ada lagi sutu daerah atau komunitas
yang tertutup sama sekali dari pergaulan antar etnis dan antar latar budaya,
akan tetapi di sisi lain sering timbul gesekan antar individu dan antar
kolompok masyarakat dari latar budaya yang berbeda. Dalam situasi seperti ini kalosara diperlukan kehadirannya untuk
dapat mencegah dan atau menyelesaikan masalah, seperti beberapa kasus diuraikan
berikut ini.
1.
Kasus
Sengketa Tanah
Sengketa
pertanahan di daerah bermula ketika pemerintah menempatkan warga transmigrasi
di beberapa wilayah di daerah ini. Menurut Karsadi (2002) sejak
penyelanggaraan program transmigrasi di Kabupaten Kendari dengan menempatkan
transmigran dalam jumlah yang relatif besar telah berdampak terhadap
menyempitnya lahan pertanian secara tradisional. Keberadaan lahan-lahan
pertanian tradisional seperti diungkapkan hasil penelitian Su’ud (1986) dan
Tawulo (1991) yang menunjukkan sebagai tanah hak adat, yakni: (1) waworaha adalah di atas sebidang tanah
terdapat tanaman lama yang ditinggalkan oleh pemiliknya, (2) walaka adalah tempat menggembala atau
memelihara ternak kerbau, (3) o epe
adalah rawa-rawa tempat tumbuhnya tanaman sagu, (4) anasepu atau anahoma
adalah hutan bekas ladang baru atau masih diketemukan bekas jerami (5) o sepu adalah hutan bekas ladang yang
telah berumur sekirtar 6 tahun lebih dan setelah itu di olah kembali, dan (6) pinokotei adalah empang alam yang luas
yang telah diurus dan dirawat dan menjadi haknya secara turun temurun.
Kasus sengketa tanah di Kecamatan Unaaha Kabupaten Kendari tahun 1994 antara Warga Desa Puosu (Komunitas Tolaki) dengan Warga Transmigrasi berhasil dieselesaikan berkat adanya kalosara, yang difasilitasi oleh Bupati
Kendari. Secara operasional Bupati meminta tokoh masyarakat dari kedua belah pihak, untuk
melakukan pertemuan, selanjutnya dibentuk tim mediasi dari 2 orang tokoh
masyarakat Tolaki, satu orang melakukan komunikasi secara intensif dengan tokoh
dan kelompok masyarakat trasmigran dan satu orang melakukan komunikasi dengan
masyarakat Tolaki. Kedua tokoh berupaya mengidentifikasi aspirasi kedua belah
pihak.
Bagi
pihak Tolaki menghendaki tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat Bali harus
dikembalikan kepada pemilik yang sah dengan membatalkan sertifikat, sedangkan
pihak masyarakat transigran menghendaki pengakuan tanah yang telah dimiliki dan
telah disertifikatkan. Solusi yang akhirya disepakati adalah tanah yang telah
dimiliki oleh warga trasmigran dibagi dua, satu bagian tetap menjadi milik
warga transmigran, dan satu bagian dikembalikan kepada pemilik awal yang sah secara
adat. Puncak kesepakatan dilaksanakan
dalam
upacara mombesara (Upacara Pembersihan Negeri) dengan
membawa Kalosara dari pihak warga transmigran di
bawah bimbingan seorang mediantor dari tokoh masyarakat Tolaki, selanjutnya kalosara diletakkan di tengah-tengah
kedua belah pihak yang berkonflik.
Dalam suasana seperti ini kedua belah pihak menyatakan siap berdamai dan
menyatakan saling memaatkan. Setelah pertistiwa ini, maka tidak ada lagi
konflik di antara kedua komunitas tersebut, dan penyelesaian ini tidak ada yang dirugikan, dan
kehadiran kalosara dalam konteks ini sebagai
intrumen menyejuk hati yang membawa pihak-pihak yang bersengketa untuk dapat
melakukan komunikasi yang yang santun dalam menyelesaikan masalah secara damai
tanpa mengorbankan banyak tenaga, dana, dan waktu.
Terkait dengan itu Abdoerahman (2005) menyatakan bahwa
dalam perkembangan masyarakat Indonesia menuju masyarakat modern telah terjadi
dan selalu terjadi kontak antar etnis. Batas-batas wilayah bukan penghalang bagi
terjadinya migrasi kelompok etnis dari wilayah hukum adat tertentu memasuki
wilayah hukum dari kelompok etnis yang lain, sehingga melahirkan berbagai
perbuatan hukum yang bersifat lintas wilayah hukum adat dan tunduk pada prinsip
hukum antar adat.
Prinsip umum dipakai pada Masyarakat Minang adalah “Dimana bumi dipijak disana langit
dijunjung”, ungkapan sejenis pada Masyarakat Bugis adalah “Tegai-tegai sore lopie konitu saro mase”,
artinya: dimana kita berada disitu kita
harus menghargai budaya setempat, akan tetapi prinsip ini sering tidak
sepenuhnya ditaati, karena satu kelompok etnis tertentu sekalipun berada di
wilayah hukum adat yang lain secara kaku masih ingin melaksanakan hukum adatnya
sendiri dan ini secara lamiah dapat dibenarkan. Akan tetapi bagi masyarakat
pendatang awal (masyarakat asli) di wilayah hukum tertentu hal ini dianggap
pelanggaran. Hal inilah yang sering
menimbulkan konflik antar etnis. Dalam kaitan ini menurut Abdoerahman (2005)
pelaksanaan hukum adat, mulai dipikirkan tentang peranan hukum adat untuk
melakukan solusi konflik melalui revitalisasi
hukum adat.
2.
Kasus Sengketa Politik
Era otonomi daerah sering
menimbulkan sengketa politik baik antara individu internal satu partai politik,
antar partai politik, maupun sengketa pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah
(Gubernur, Bupati/Walikota). Belum banyak memanfaatkan instrumen adat lokal (local genius) untuk dijadikan media
penyelesaian sengketa politik tersebut.
Selama ini proses pelaksanaan
Pemilihan Kepala Daerah sering menimbulkan gesekan diantara kelompok pendukung
masing-masing. Tidak sedikit konflik sampai di meja hijau/Mahkamah Konstitusi,
dan beberapa pelanggaran harus berakhir di pengadilan. Sementara instrumen Kalosara memungkinkan untuk dapat
digunakan sebagai media penyelesaian perselisihan secara damai, dengan biaya
yang relatif murah.
Terkait dengan
itu pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Nagara Kesatuan Republik Indonesia”. Sedangkan pasal 281 ayat (3) menyebutkan
bahwa “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban”. Penegasan lebih lanjut tertuang dalam pasal
6 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan: Dalam rangka
penegakan hak asasi manusia, peradaban dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat
harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah.
Kemudian pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2001 tentang Pedoman Umum
Pengaturan Desa, yang merupakan ketentuan Pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999, dan
pasal 1 ayat (9) Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menyatakan bahwa “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejalan dengan itu, maka konflik akibat Pemilihan Kepala Daerah dapat
dimediasi melalui instrument adat-istiadat dan lembaga adat. Dalam situasi
sosial politik tersebut memerlukan solusi dalam bentuk kalosara yang
melibatkan lembaga adat Tolea/Pabbitara untuk
melakukan rekonsiliasi antara individu dan atau kelompok-kelompok sosial
politik yang berkonflik. Kehadiran tokoh adat Tolaki sangat penting untuk
tampil menjadi pelopor dari solusi konflik dengan menampilkan instrumen kalosara sebagai media utama yang dapat diterima oleh
kelompok yang bertikai atau kelompok lain yang ada di sekitarnya.
3. Kasus Kawin Lari
Kasus kawin
lari dimana keluarga perempuan melakukan tuntutan kepada keluarga pihak
laki-laki dalam bentuk dendam yang mengarah kepada pembunuhan. Akan tetapi bagi
masyarakat Tolaki, ketegangan pihak perempuan dapat diredam dengan membawakan kalosara. Jika kalosara dihadirkan dihadapan pihak keluarga perempuan, maka yang
bersangkutan tidak bisa melakukan reaksi, jika dia tetap bereaksi maka akan
diberikan sangsi adat dan akan dihukum secara fisik oleh segenap masyarakat
setempat. Sebaliknya, jika ia menerima kehadiran kalosara, maka keluarga pihak perempuan diberi kesempatan untuk
mengajukan tuntutan sebagai solusi adat, berupa: 1 pis kain kaci dan 1 ekor
kerbau sebagai peohala (denda) yang harus dibayar pihak
laki-laki kepada keluarga pihak perempuan (Suud, 2011). Setelah ditunaikan oleh pihak
laki-laki, maka terjadilah perdamaian.
Sehubungan dengan itu, maka dalam Konferensi tentang Hukum di Singapura
tahun 2003 telah mengidentifikasi pranata-pranata hukum dari negara-negara
ASEAN termasuk Indonesia yang kaya dengan berbagai lembaga hukum yang berasal
dari hukum adat untuk dikembangkan lebih jauh. Salah satu diantaranya adalah
lembaga mediasi yang mempunyai basis kuat dalam system musyawarah dari Bangsa
Indonesia (Abdoerahman, 2005).
Dalam proses perdamaian secara adat, tidak bermaksud merugikan pihak
tertentu, tetapi melalui instrument adat, maka proses penyelesaian dapat
dilakukan secara damai, sehingga tidak menimbulkan masalah yang berkelanjutan
dan pada akhirnya dapat menghemat tenaga dan pikiran dan hubungan social dapat
kembali berjalan normal.
4.
Kasus
Pembunuhan
Kasus penyelesaian pembunuhan dapat diselesaikan
dengan hukum Adat
Tolaki yaitu adanya konsensus antara keluarga korban dengan pihak pelaku yang
disaksikan oleh toono motuo, kapala
kambo/kapala desa, pabitara untuk
berdamai. Pelaku
harus memenuhi permintaan keluarga korban dengan menghadirkan
kalosara. Secara empiris
bahwa sesuai ketentuan adat bahwa pelaku harus menanggung denda
berupa: (1) satu pis kain kaci sebagai pengganti pembungkus mayat, (2) ongkos pesta kematian, dan (3)
satu ekor kerbau sebagai
tanda berkabung.
Diadakan perdamaian dengan jalan upacara
mosehe yaitu upacara perdamaian
antara keluarga korban dan keluarga pelaku dengan menghadirkan kalosara di hadapan kedua belah pihak.
Terkait dengan ini, maka perlu pelibatan konsepsi
local tentang status dan peran social yang ada dalam masyarakat. Kepemimpinan
local di berbagai tempat telah terbentuk sebagai respon masyarakat atas
tekanan-tekan dalam berbagai bentuk yang mereka hadapi selama puluhan tahun.
Kepemimpinan local di NTT terbukti mampu melestarikan lingkungan hutan dan kayu
cendana. Akibat pengingkaran status terhadap mereka dengan peralihan HPH
menyebabkan kerugian yang sangat besar, terutama karena pencurian dan
pembakaran hutan tidak tidak ditabukan lagi akibat hilangnya pemimpin
tradisional. Demikian juga status dan peran ulama di Aceh, Sumatera Barat, atau
Madura yang berubah sejalan dengan proses formalisasi kepemimpinan yang
kemudian hanya pemimpin formal yang dilegitimasi telah menyebabkan terganggunya
system social masyarakat. Konflik yang muncul tidak mudah lagi diselesaikan
karena otoritas yang baru tidak mendapatkan legitimasi secara adat dan hokum
setempat (Abdullah, 2003). Fakta ini
juga yang kemudian menyebabkan kemudian hilangnya suatu struktur media (Berger,
1991) dalam masyarakat yang mampu menjembatani komunikasi antara pemerintah dan
rakyat.
5. Kasus Tambang
Penemuan
tambang nikel dan emas di beberapa wilayah Sulawesi Tenggara, menyebabkan
masuknya berbagai perusahaan yang berusaha memiliki Kuasa Penambangan. Berbagai
cara untuk memperoleh tanah sebagai wilayah penambangan diantaranya membeli
tanah masyarakat setempat, dan atau
pembebasan dari Pemeruntah Daerah yang merupakan tanah ulayat. Namun dalam
pengelolaannya sering menimbulkan masalah, diantaranya: masalah AMDAL, baik dalam aspek lingkungan alam berupa pencemaran maupun masalah social,
berupa klaim masyarakat sekitar akan lahan yang diolah perusahaan merupakan
tanah ulayat atau kurang dilibatkannya masyarakat sekitar dalam pengolahan
tambang dalam bentuk keterlibatan sebagai tenaga kerja.
Konflik antara masyarakat pendatang/migran awal (penduduk asli) dengan
masyarakat pendatang/migran akhir (transmigran/Pengelola
Pertambangan/perkebunan), selain di Sulawesi Tenggara, juga ditemukan di
beberapa daerah lain seperti: di Sumatera Selatan antara PTPN dengan masyarakat
migrant akhir sebagai pengelola Perkebunan (Purba, 2003).
Kondisi tersebut merupakan suatu titik rawan di Sulawesi Tenggara, karena telah terbukti
dirasakan dampaknya di berbagai wilayah di Nusantara yang sering menimbulkan konflik, karena itu pemanfaatan kalosara sebagai
suatu bentuk pendekatan yang bersifat sosiologis dan antropologis sebagai suatu
hukum local yang merupakan fenomena yang hidup dan tetap dipertahankan karena
mempunyai landasan budaya yang sifatnya khas. Karena itu menurut Abdoerahman
(2005) lebih mengutamakan “Pluralisme
Hukum” dari pada mengusahakan adanya Unifikasi Hukum. Adanya keragaman budaya
pada masa sekarang sudah diakui sebagai salah satu hak asasi yang harus
dihormati oleh Negara, pemerintah, hukum, dan masyarakat.
Untuk itu,
bagi masyarakat Tolaki perlu memelihara peran pabitara (juru bicara adat) yang selalu hadir menjadi mediasi dalam
berbagai permasalahan masyarakat dengan memanfaatkan istrumen kalosara. Demikian pula peran Tolea yang
selalu hadir dalam urusan peminangan, pernikahan, dan perceraian juga
memanfaatakan instrument kalosara.
E. Penutup
Suku Tolaki yang mendiami jazirah
Tenggara Pulau Sulawesi dalam dinamikanya memiliki instrumen adat yang mengatur
segenap tata tingkah laku masyarakat yang disebut kalosara. Kalosara
sebagai instrumen utama tata kehidupan masyarakat sampai di era sekarang ini
masih eksis dipertahankan oleh segenap lapisan masyarakat, terutama dalam
kehidupan sosial budaya. Dengan demikian seiring dengan perkembangan dinamika
kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan melahirkan berbagai permasalahan
termasuk dalam tataran politik dan ekonomi, maka kehadiran kalosara sebagai instrumen solusi perlu dipertahankan dan
dikembangkan.
Berbagai masalah telah terbukti
berhasil diatasi melalui pemanfaatan kalosara.
Masalah sengketa tanah, masalah politik, masalah perkawinan, dan masalah
kriminalitas terbukti kehadiran kalosara
sebagai solusinya. Pemanfaatan kalosara
sebagai media solusi, dapat menjadi model bagi masyarakat lain, karena pilihan
ini dapat berjalan dengan mudah dan biaya yang murah.
Peran pabitara selaku tokoh masyarakat Tolaki perlu dilestarikan dan
dikembangkan untuk menjadi mediasi dalam penyelesaian berbagai masalah yang
dihadapi masyarakat dengan memanfaatkan kalosara
sebagai instrumen utama. Demikian pula peran tolea selaku
pemangku adat yang berkompeten memimpin rangkaian pelaksanaan upacara
perkawinan yang memegang adat kalosara.
F. Penilaian
1.
Jelaskan
pengertian kalosara
2.
Uraikan
4 fungsi kalosara
3.
Jelaskan hubungan antara
sistem teknologi tradisional dengan kalosaranya!
4.
Jelaskan
hubungan
antara sistem kekerabatan dengan kalosara dalam dua aspek!
5.
Jelaskan
hubungan
antara kosmologi dengan kalosara!
6.
Jelaskan
pencerminan kalosara pada:
a.
klasifikasi
dua
b.
klasifikasi
tiga
c.
klasifikasi
lima
7.
Bagaimana
peran pabitara dalam kehidupan social
Masyarakat Tolaki?
8.
Bagaimana
peran tolea dalam kehidupan social
Masyarakat Tolaki?
9.
Uraikan
4 jenis karakter positif yang lahir dari etnopedagogik melalui
media kalosara!
10. Jelaskan peran kalosara
dalam penyelesaian sengketa tanah antar etnis!
DAFTAR
PUSTAKA
Abdoerahman.
2005. “Hukum Adat Indonesia dalam Lingkungan Lokal, Nasional, dan Global”.
Dalam Pendidikan Multikultural dan
Revitalisasi Hukum Sadat dalam Perspektif Sejarah. Editor: Supriyoko.
Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Abdullah, Irwan.
2005. “Otonomi dan Hak-hak Budaya Daerah”. Dalam Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Sadat dalam Perspektif
Sejarah. Editor: Supriyoko. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Al-askur, Arsamid. 2015. Kearifan
Lokal tentang Tandua-Anandulura dan Sala Anggo. Kendari: Barokah Raya.
Berger, Peter. 1991. Cocial Construction of Reality: A Treatise
in the Sociology of Knowledge. New York: Penguin Books.
Geertz, Clifor. 1983. Local
Knowledge: Furter Essays in Interpretive Anthropology: New York: Basic
Books, Inc.
Hafid, Anwar. 2012. Kalosara Sebagai Instrumen Utama Dalam
Kehidupan Sosial Budaya Suku Tolaki di Sulawesi Tenggara. Makalah
Disajikan dalam Prakongres Kebudayaan Indonesia
di Jakarta, Tanggal 27-29
November 2012.
Hafid. Anwar. 2015. “Analisis Fungsi Kalosara Sebagai
Media Etnopedagogi dalam
Pengembangan Karakter Bangsa di Sulawesi
Tenggara”. Makalah Disajikan Pada Seminar Nasional “Meretas Strategi Pembelajaran Inovatif Berbasis Seni Budaya”, di Kendari, 5 April 2015
Idaman. 2012. Kalosara sebagai Medium Resolusi Konflik Pertanahan
pada Masyarakat Tolaki di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. http://idamanalwi.multiply.com/journal. Akses, 5 Oktober 2012
Karsadi, 2002. Sengketa Tanah dan Kekerasan di Daerah Transmigrasi: Studi Kasus di
Lokasi Pemukiman Transmigrasi di Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara.
Desertasi Doktor Sosiologi, PPS UGM Yogyakarta.
Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia.
Langer, S.K. 1978. Philosophy in a New Key: A Study in the Simbolism
of Reading, Rite and Art. Cambridge: Harvard University Press.
Linton, R. 1984. The Study of Man (Antropologi Suatu Penyelidikan Manusia). Diterjemahkan
oleh Firmansyah. Bandung: Jemmars.
Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika
Aditama.
Mussem, P dan M. R.
Rosenzweig. 1973. Psyochology: An
Introduction. London: D.C. Healt & Company.
Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan
Mengenai Desa. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Poedjawijatna. I. R. 1997. Pembimbing
ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Purba, Rehngena. 2003. ”Tanah dan Permasalahannya dalam Masyarakat Hukum
Adat”. Dalam Pendidikan
Multikultural dan Revitalisasi Hukum Sadat dalam Perspektif Sejarah. Editor:
Supriyoko. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Su’ud, Muslimin, 1986. Asas-Asas Hukum Adat Pertanahan Masyarakat Tolaki.
Kendari: Balai Penelitian Universitas Haluoleo.
Su’ud, Muslimin, 2008. Aneka Ragam
Kebudayaan Tolaki. Kendari: Universitas
Haluoleo.
Su’ud, Muslimin, 2012. Kompilasi
Hukum Adat Perkawinan di Sulawesi Tenggara. Kendari: HISPISI Cabang Sultra.
Tamburaka,
Basaula. 2015. Hukum Adat Perkawinan
Tolaki. Kendari: Barokah Raya.
Tamburaka,
Rustam E, dkk. 2004. Sejarah Sulawesi
Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun. Kendari: Unhalu Press.
Tarimana,
Abdurrauf. 1995. Kebudayaan Tolaki.
Jakarta: Balai Pustaka.
Tawulo, Asrul, 1991. Mondau Sebagai Sistem Perladangan Masyarakat Tolaki
dan Pengaruhnya Terhadap Kelesatarian Sumber Daya Hutan di Kabupaten Kendari. Kendari:
Balai penelitian Universitas Haluoleo.
Tilaar, H.A.R. 1999. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani
Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tondrang, Azis, 2000. Peranan Kalosara dalam Pembentukan Karakter
Masyarakat Tolaki. Unaaha: Makalah dalam Rangka Musyawarah Adat I Suku
Bangsa Tolaki.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia. 1945. Jakarta. Republik Indonesia.
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah. Jakarta:
Sekretariat Negara RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar