Minggu, 08 Januari 2017

FALSAFAH KALOSARA DALAM MASYARAKAT TOLAKI *)


Oleh: Anwar Hafid

A.    Pengertian Kalosara
Suku Tolaki telah lama mendiami dataran tenggara Pulau Sulawesi. Suku ini menyebar di dua wilayah yang cukup luas yakni: Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe  Selatan, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Kolaka Utara, dan Kabupaten Kolaka Timur. Persebaran Suku Tolaki ini membawa serta pranata-pranata sosial, politik, ekonomi dan sosial budayanya, yang kemudian tersimpul dalam isntrumen adat kalosara.
Secara harfiah, kalosara terdiri atas dua kata, yaitu: kalo berarti seutas rotan dengan tiga lilitan yang melingkar; dan sara berarti adat, aturan, simbol hukum. Sebagai benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan, dan ada juga yang terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan sebagainya (Tarimana, 1993).

Foto 1. Kalosara yang dilengkapi dengan Sirih dan Pinang
Kalosara terdiri atas 3 bagian, yaitu: Pertama, kalo, berupa lingkaran yang berbahan rotan kecil yang bulat berwarna krem tua yang dipilin, kedua ujung rotan disatukan dalam satu simpul ikatan. Lingkaran memiliki makna sebagai pencerminan jiwa persatuan dan kesatuan dari 3 unsur dalam sebuah kerajaan atau pemerintahan, yaitu: (a) Unsur pimpinan (mokole/raja/penguasa), (b) Unsur pelaksana atau penyelenggara kekuasaan raja/penguasa (pejabat, pemangku adat, perangkat lembaga adat), (c) Unsur kedaulatan rakyat, yang merupakan refleksi dari jiwa falsafah demokrasi Masyarakat Tolaki yang berjiwa Ketuhanan.
Kedua, kain putih sebagai pengalas kalosara, memiliki makna sebagai symbol kejujuran, kesucian, keadilan, da kebenaran.
Ketiga, siwoleuwa, yaitu wadah yang berbentuk segi empat yang terbuat dari anyaman daun onaha (palem rawa) atau daun sorume (angrek hutan), memiliki symbol sebagai pencerminan dari jiwa kerakyatan, keadilan social, dan kesejahteraan umum bagi seluruh warga Masyarakat Tolaki (Suud, 2011).
Ketiga wadah ini jika berdiri sendiri tidak memiliki arti dan fungsi adat, kecuali ketiganya menyatu dalam suatu tatanan dengan struktur sebagai wadah pengalas paling bawah berupa simoleuwa, kemudian dilapisi di atasnya dengan kain putih, dan di atas kedua wadah ini diletakkan kalo.
Kalosara  terdiri atas dua jensi, yaitu: (1) Kalosara Sapu Ulu,  yaitu Kalosara dengan besar lingkarannya seukuran kepala orang dewasa atau sekitar 40 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk golongan masyarakat menengah ke bawah atau sekarang setingkat camat ke bawah atau sering pula disebut Meula Nebose, (2) Kalosara Sapu Bose, yaitu Kalosara dengan besar lingkarannya seukuran bahu orang dewasa atau sekitar 45 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk golongan masyarakat tertentu, seperti: Raja/Pejabat, orang penting, tokoh adat, dan tokoh masyarakat atau sekarang setingkat Bupati ke atas atau sering pula disebut Tehau Bose (Tamburaka, 2015).
Terdapat dua model ikatan ujung kalo. Model pertama, jika sesudah pertautan pada simpul satunya keluar ujungnya menonjol, sedangkan yang dua ujungnya dari arah kiri tersembunyi, maka model kalo ini diperuntukkan pada kegiatan perkawinan. Adapun makna yang menonjol pada ujung rotan sebagai penghargaan kepada pihak penerima, sedangkan yang tersembunyi bermakna merendahkan diri bagi pihak pemberi.
 Model kedua, jika kedua ujung simpul rotan hingga membentuk angka delapan, maka Kalosara jenis ini diperuntukkan khusus kegiatan upacara adat Mosehe,  dalam konteks ini seperti penyelesaian sengketa, perselisihan dan lain-lain atau kalosara dalam pengertian yang luas (Tamburaka, 2015).
Selanjutnya untuk membedakan Kalosara dengan Kalo, maka kalo dapat dibedakan berdasarkan bahan pembuatan dan pemanfatannya, maka kalo banyak jenisnya. Pertama, kalo  dari rotan ada yang disebut kalosara, yaitu kalo yang dilengkapi dengan wadah siwole tempat meletakkan kalo dan kain putih sebagai pengalas siwole. Kalosarana ini digunakan sebagai alat upacara perkawinan adat, upacara pelantikan raja, upacara penyambutan tamu penting, upacara perdamaian atas suatu sengketa, alat bagi sejumlah tokoh untuk menyampaikan sesuatu saran/pendapat kepada pejabat, alat untuk menyampaikan undangan pesta keluarga.
Foto 2. Suasana Pelatihan Pemanfaatan Kalosara di Kalangan Masyarakat Tolaki

Kedua, kalo  dari emas disebut kalo eno-eno, yaitu kalo yang digunakan sebagai alat upacara sesaji, alat tebusan atas pelanggaran janji untuk melangsungkan upacara peminangan gadis dalam rangkaian perkawinan, sebagai salah satu dari maskawin, dan dipakai sebagai kalung perhiasan bagi wanita.
Ketiga, kalo dari besi disebut kalo kalelawu,  yaitu kalo  yang digunakan sebagai cincin hidung kerbau.
Keempat, kalo  dari perak disebut kalo sambiala, kalo bolosu,  dan  kalo o langge,  yaitu kalo  yang masing-masing dipakai sebagai perhiasan dada, pergelangan tangan, pergelangan kaki, baik bagi anak-anak maupun bagi remaja putri.
Kelima, kalo  dari benang ada yang disebut kalo kale-kale¸ dipakai sebagai pengikat pergelangan tangan dan kaki bayi; dan kalo ula-ula yang digunakan sebagai alat pekabaran tentang adanya orang yang meninggal.
Keenam, kalo  dari kain putih disebut  kalo lowani,   yaitu kalo yang dipakai di kepala sebagai tanda berkabung, dan kalo  dari kain biasa disebut  kalo usu-usu,  yaitu kalo yang dipakai di kepala sebagai pengikat dan penutup kepala bagi orang tua.
Ketujuh, kalo dari akar atau kulit kayu disebut kalo pebo, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat pinggang bagi orang dewasa; dan yang khusus dari akar bahar disebut kalo kalepasi, yaitu kalo yang dipakai sebagai perhiasan bagi orang dewasa; serta kalo dari akar hawa disebut kalo parahi atau kalo mbotiso, yaitu kalo yang digunakan sebagai tanda atau patok pemilikan tanah/hutan untuk selanjutnya diolah menjadi sebidang ladang atau perkebunan. Kedelapan, kalo dari daun pandan disebut kalo kalunggu, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat kepala bagi gadis remaja.
Kesembilan, kalo dari bambu disebut kalo kinalo, yaitu kalo yang digunakan sebagai penjaga ladang dan tanaman yang ada di dalamnya.
Kesepuluh, kalo dari kulit kerbau disebut kalo parado, yaitu kalo yang digunakan untuk menangkap kerbau liar.
Kesebelas, kalo sebagai cara-cara mengikat yang melingkar disebut mowewei (membelitkan), mombali (melingkari).
Keduabelas, kalo yang terbentuk dalam pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana pelaku membentuk lingkaran disebut metaboriri (duduk melingkar dalam keadaan makan bersama), meobu-obu (duduk melingkar dalam merundingkan sesuatu secara bersama-sama), metomusako (berdiri berkeliling dalam menangkap ternak, dan dalam melakukan tarian massal), dan modinggu (menumbuk padi secara bersama-sama dengan 4-5 orang mengelilingi sebuah lesung masing-masing memegang dua buah alu menumbuk padi sambil membenturkan alu tersebut dengan alu yang satunya dan atau alu dari orang yang sebelumnya, sehingga mengeluarkan bunyi dengan irama yang indah/syahdu untuk didengar sampai kejauhan 2,5 km).
Dalam tulisan ini hanya akan menguraikan Kalosara sebagai falsafah hidup Masyarakat Tolaki yang diharapkan akan menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat dewasa ini dan akan dating, dengan harapan generasi muda tidak tercabut dari akar budayanya. Dalam kaitan ini relevan dengan apa yang disebut Aristoteles sebagai the natural basis of society (Stumpf, 1983), dan oleh Muhmidayeli (2011) merupakan suatu upaya penjabaran dari aliran filsafat perenialisme yaitu berupaya menerapkan nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat kekal dan abadi sepanjang sejarah manusia. Kaum perenialis memandang bahwa tradisi perkembangan intelektual yang ada zaman kuno telah terbukti dapat memberikan solusi bagi berbagai problema kehidupan masyarakat, sehingga perlu digunakan dan diterapkan dalam menghadapi alam modern yang sarat dengan problema kehidupan.
Dalam implementasi pembelajaran di sekolah sebagai suatu muatan pendidikan karakter, dengan asumsi bahwa dewasa ini terjadi proses demoralisasi sehingga terjadi masalah social di berbagai tempat, sebagai akibat kurangnya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai luhur budaya setempat, maka kehadiran Kalosara sebagai muatan local dalam pembelajaran merupakan suatu bentuk penjabaran aliran filsafat pendidikan Esensialisme Muhmidayeli (2011) yang berpendapat bahwa agar pendidikan memiliki tujuan yang jelas dan kukuh diperlukan nilai-nilai yang kukuh yang akan mendatangkan kestabilan. Untuk itu, perlu dipilih nilai-nilai yang mempunyai tata yang jelas dan telah teruji oleh waktu. Dalam konteks ini bahwa pelaksanaan pendidikan memerlukan modifikasi dan penyempurnaan sesuai dengan kondisi manusia yang bersifat dinamis dan selalu berkembang, namun perkembangan manusia akan selalu berada di bawah  azas ketetapan dan natural, maka pendidikan harus dibina atas dasar nilai-nilai yang kukuh dan tahan lama agar memberikan kejelasan dan kestabilan arah bangunannya. Dengan demikian Kalosara sebagai suatu tatanan nilai, menjadi semakin strategis untuk diungkap, dikaji dan dikembangkan dalam rangka proses pewarisan nilai antar generasi dalam berbagai dimenasi kehidupan, terutama melalui pendidikan.

B.     Kepribadian/Desksipsi Kalosara
1.      Pandangan Masyarakat tentang Kalosara
Kecenderungan sikap Masyarakat Tolaki masa kini terhadap kalosara, yaitu: (1) tampak pada kesenian yaitu dalam hal bentuk, (2) terletak pada makna-makna simbolik yang terkandung di dalamnya.
Bentuk-bentuk disain dalam pola segi empat, lingkaran, ikat, dan pola gambar tumbuhan pakis, pola kepala orang; bentuk-bentuk rias tubuh dalam bulatan, bentuk-bentuk demikian berupa benda perhiasan dalam pola lingkaran; bentuk-bentuk alat-alat bunyi dalam pola bulatan; bentuk-bentuk teknik menari dalam pola lingkaran dan pola gerakan horizontal-vertikal yang membentuk pola segi empat; semua menunjukkan corak yang sama dengan bentuk pola kalo, yakni: lingkaran, ikatan, dan segi empat.
Kalo secara umum meliputi o sara (adat istiadat), khususnya sara owoseno Tolaki atau sara mbu’uno Tolaki, yaitu adat pokok (Instrumen utama), yang merupakan sumber dari segala adat-istiadat Masyarakat Tolaki yang berlaku dalam semua aspek kehidupan. Kalo sebagai adat pokok dapat digolongkan ke dalam 5 cabang, yaitu: (1) sara wonua, yaitu adat pokok dalam pemerintahan; (2) sara mbedulu, yaitu adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan pada umumnya; (3) sara mbe’ombu, yaitu adat pokok dalam aktivitas agama dan kepercayaan; (4) sara mandarahia, yaitu adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan keterampilan; dan (5) sara monda’u, mombopaho, mombakani, melambu, dumahu, meoti-oti, yaitu adat pokok dalam berladang/berkebun, beternak, berburu dengan menggunakan anjing pemburu yang sudah terlatih, dan menangkap ikan (Tarimana, 1993; Idam 2012).

Foto 3. Demonstrasi Pemanfaatan Kalosara dalam Berbagai Aktivitas Sosial

Secara historis, kalosara merupakan landasan dasar dari keseluruhan sistem sosial budaya Suku Tolaki termasuk kepemimpinan, kaidah-kaidah hidup bermasyarakat, sistem norma, sistem hukum dan aturan-aturan lainnya. Dalam kehidupan sosial budaya sehari-hari secara umum baik merupakan rakyat biasa, sebagai seorang tokoh formal maupun nonformal, nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam adat kalosara berintikan persatuan dan kesatuan, keserasian dan keharmonisan, keamanan dan kedamaian. Lambang kalosara juga menjadi landasan kultural bagi setiap individu dalam menciptakan suasana kehidupan bersama yang aman damai serta dalam menegakkan aturan baik berupa hukum adat maupun hukum negara (Tawulo dkk, 1991; Tarimana, 1993; Su’ud, 1992; Tondrang, 2000). Karena itu bagi Masyarakat Tolaki menghargai kalosara berarti mentaati ajaran-ajaran nenek moyang. Apabila berbuat sebaliknya, diyakini akan mendatangkan bala atau durhaka (Tarimana, 1993; Su’ud, 1992).
Kalosar secara antropologis merupakan unsur kebudayaan yang merupakan  suatu pusat dalam kebudayaan Tolaki, sehingga mendominasi banyak aktivitas atau pranata lain dalam kehidupan. Fokus kebudayaan dari suatu masyarakat, oleh Linton (1984) disebut cultural interest atau social interest, yaitu suatu kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampak amat digemari warga masyarakatnya sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1981).
Timbulnya pertentangan sosial bisa terjadi kapan saja, di mana saja, baik antar perorangan ataupun antar kelompok yang dapat meresahkan masyarakat. Konflik yang sering muncul di masyarakat, seperti masalah sengketa hak atas tanah, masalah perkawinan, pinangan ataupun masalah warisan juga diselesaikan dengan menggunakan kalosara (Su’ud, 2008). Begitu juga masalah sengketa perbatasan antar desa yang seringkali sulit dipecahkan/diselesaikan oleh pemerintah, akhirnya diselesaikan secara adat melalui kalosara. Kebudayaan Tolaki dengan instrumen Kalosara menjadi  alat dominan dalam penyelesaian setiap sengketa. Misalnya, dalam penyelesaian sengketa tanah, maka pemerintah setempat bersama tokoh masyarakat dan kepala adat melakukan kegiatan mosehe (pencucian/penyehatan negeri) (Tarimana, 1993). Upacara mosehe merupakan upaya rekonsiliasi antara pihak-pihak yang bertikai.

2.      Fungsi Kalosara
Sebelumnya telah dikemukakan apa arti kalosara, baik secara harfiah maupun kalosarasara sebagai konsep dan sebagai simbol, demikian juga hubungan kalosara dengan unsur-unsur lain dalam kebudayaan Tolaki; dan kalosara dalam kaitan dengan klasifikasi simbolik, dua, tiga, dan lima menurut logika berfikir elementer dalam kebudayaan Tolaki. Untuk menunjukkan kalosara sebagai focus kebudayaan Tolaki, dalam bagian ini akan diuraikan empat fungsi dari kalosara.
   Keempat fungsi kalosara itu adalah: (1) kalosara sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai kenyataan dalam kehidupan Masyarakat Tolaki; (2) kalosara sebagai focus dan pengintegrasi unsur-unsur kebudayaan Tolaki; (3) kalosara sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam kehidupan Masyarakat Tolaki; dan (4) kalosara sebagai pemersatu untuk pertentangan-pertentangan konseptual dan sosial dalam kebudayaan dan dalam kehidupan Masyarakat Tolaki.

a.  Kalosara Sebagai Ide dan Kenyataan dalam Kehidupan
Wujud ideal dari suatu kebudayaan adalah salah satu dari tiga wujud kebudayaan. Dua wujud lainnya adalah wujud kelakuan, dan wujud fisik. Wujud ideal dari suatu kebudayaan adalah adat, atau lengkapnya disebut adat tata-kelakuan,karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakuan (Koentjaraningrat 1984). Menurut beliau, adat dapat dibagi dalam empat tingkat, ialah tikat nilai-budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum, dan tingkat aturan khusus. Berdasarkan pandangan di atas maka saya akan mencoba meninjau kalosara sebagai adat dalam empat tingkatannya.
Kalosara pada tingkat nilai budaya adalah sistem nilai budaya, yang berfungsi mewujudkan ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat Tolaki. Hal-hal yang paling bernilai bagi Masyarakat Tolaki dalam kehidupan adalah apa yang disebut medulu mepoko’aso (persatuan dan kesatuan), ate pute penao moroha (kesucian dan keadilan), dan morini mbu’umbundi monapa mbu’undawaro (kemakmuran dan kesejahteraan). Ide-ide ini dinyatakan oleh Masyarakat Tolaki melalui penggunaan kalosara  dalam upacara-upacara yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan mereka dalam bidang-bidang sosial, ekonomi, politik dan keagamaan. Upacara yang berkaitan dengan bidang sosial misalnya adalah upacara perkawinan dan kematian; yang berkaitan dengan bidang ekonomi misalnya upacara pergantian tahun pertanian, upacara penebangan/pembabatan hutan, upacara tanam dan memotong padi; yang berkaitan dengan bidang politik misalnya upacara pelantikan raja, dan upacara penyambutan para pejabat pemerintah; dan yang berkaitan dengan bidang keagamaan misalnya adalah upacara-upacara syukuran dan tolak bala.
Selain ide-ide itu diwujudkan dalam upacara-upacara, juga diwujudkan dalam kegiatan sehari-hari. Ide kesatuan dan persatuan misalnya diwujudkan dalam ungkapan\mete’alo-alo (bantu-membantu) antara keluarga inti dengan keluarga inti atau antara kerabat luas dengan kerabat luas dalam hal mendirikan rumah, sumbangan berupa makanan dan minuman pada pesta-pesta terutama dalam pesta kematian. Ide kesucian misalnya diwujudkan dalam rangkaian aktivitas lingkaran hidup seseorang, seperti pemandian bayi pertama, pemotongan rambut bayi, penyunatan, puasa, dan pemandian mayat. Ide keadilan misalnya diwujudkan dalam pengambilan keputusan dalam hal pembagian warisan kepada anak-anak, yang dilakukan orang tua, dalam pengambilan keputusan peradilan adat yang dilakukan oleh pabitara (hakim adat). Ide kemakmuran misalnya diwujudkan dalam usaha mereka untuk merealisasikan apa yang disebut mondaweako (jutaan ikat padi), tepohiu o epe (bertebaran bidang kebun sagu), kiniku mebanggona (kerbau berombongan), lua-luano wawo raha  (kebun kelapa yang luas). Akhirnya, ide kesejahteraan misalnya diwujudkan dalam ungkapan mombekapona-pona’ako (saling hormat menghormati), mombekamei-meiri’ako (saling kasih mengasihi), ndundu karandu  (suasana ketenangan batin yang diliputi dengan alunan bunyi gong yang merdu di tengah malam), dan tumotapa rarai (suasana kegembiraan yang diliputi dengan suara hura-hura, tawa dan tepuk tangan yang meriah).
Kalosara pada tingkat norma-norma adalah nilai-nilai budaya yang berfungsi mengaitkan peranan-peranan tertentu dari Masyarakat Tolaki dalam masyarakat. Kalosara di sini berfungsi sebagai pedoman bagi tingkah laku seseorang dalam memainkan peranannya. Peranan seseorang dalam masyarakat adalah banyak: Dalam kehidupan keluarga misalnya seseorang mempunyai peranan sebagai ayah tau ibu, paman atau bibi, mertua, menantu, anak, kemenakan, sepupu; dan dalam kehidupan sosial politik dan pemerintahan seseorang dapat berperan sebagai atasan-bawahan, serta dalam kehidupan keagamaan seseorang dapat berperan sebagai dukun atau juru bicara peseta upacara, atau sebagai imam, atau hanya jamaah.
Penampilan kalosara sebagai pedoman bagi kelakuan seseorang dalam memainkan peranan-peranannya tersebut tampak pada dua gejala, yaitu pada peristiwa pertemuan-pertemuan keluarga dan pertemuan-pertemuan resmi antara pemerintah dan rakyat di mana kalosara digunakan; dan pada gejala di mana seseorang memakai kalosara pada bagian tertentu dari tubuhnya. Pada gejala pertama seseorang yang diperhadapkan kalosara kepadanya merasakan bahwa ia adalah seorang yang lebih tinggi peranannya daripada orang yang menghadapkan kalosara itu. Kelebihan peranannya itu karena pada saat itu ia diperlakukan sebagai ayah atau ibu oleh anak, paman atau bibi oleh kemenakan, kakek atau nenek oleh cucu, atau sebagai atasan oleh bawahan, yang masing-masing peranan anak, kemenakan, cucu, atau peranan bawahan diwakilkan kepada seorang juru bicara. Melalui kalosara seorang lebih tinggi peranannya berfikir mengenai apa yang harus dilakukannya dan bagaimana ia harus melakukannya sehubungan dengan maksud dan tujuan dari pihak yang menghadapkan kalosara kepadanya. Demikian pula sebaliknya seorang yang lebih rendah peranannya tentu berfikir pula mengenai apa dan bagaimana ia harus melayani orang yang lebih tinggi peranannya itu.
Gejala kedua yang menunjukkan bahwa kalosara berfungsi sebagai pedoman bagi kelakuan seseorang dalam masyarakat adalah pemakaian kalosara pada bagian tertentu dari tubuhnya. Misalnya seorang remaja yang memakai kalosara pada pergelangan tangan dan kaki member tanda bahwa ia pada saat itu harus berperan sebagai pemuda yang penuh dengan potensi untuk melakukan tugas-tugas yang berat demi masa depannya. Demikian pula seorang  yang memakai kalosara pada pinggangnya menuynjukkan bahwa ia pada saat itu harus berperan sebagai orang tua yang penuh dengan kematangan untuk melakukan pembinaan bagi anak dan generasi penerusnya.
Secara filosofi Suku Tolaki telah menetapkan kerangka budayanya dalam bentuk falsafah hidup, yang merupakan penjabaran dari budaya kalosara, diungkapkan sebagai berikut:
Medulu mbenao = satu dalam jiwa
Medulu mbonaa = satu dalam pendirian
Medulu mboehe = satu dalam kehendak/cita-cita.
Ketiga ungkapan tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk:
1.    Satu dalam jiwa, diaplikasikan dalam bentuk:
Mombe kamei meiri ako     = saling cinta-mencintai;
Mombeka pia-piarako        = saling pelihara-memelihara
2.    Satu dalam pendirian, diaplikasikan dalam bentuk:
Mombekapona-pona ako    = saling menghargai pendapat;
Mombeka peha-pehawako  = saling ingat-mengingatkan;
Mombeka pei-peiranga ako= saling saran-menyarankan.
3.    Satu dalam kehendak/cita-cita, diaplikasikan dalam bentuk:
Mombeka sudo-sudo ako    = saling topang-menopang;
Mombeka tulu-tulungi ako  = saling tolong-menolong;
Mombeka tamai ako           = saling memberi dan menerima;
Mombeka alo-alo ako         = saling mengambil satu tenaga;
Mombekakai-kai ako          = saling menikmati makanan;
Mombeka powe-powehi ako= saling memberi dan menerima
(Tarimana, 1993).
Bahasa filosofi tersebut mencerminkan keluhuran budaya Masyarakat Tolaki. Potensi tersebut memiliki nuansa inovatif yang dapat berfungsi sebagai landasan kemajuan budaya dan menjadi daya dorong utama peningkatan kreativitas masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan damai.
Kalosara pada  tingkat sistem hukum adalah hukum adat Masyarakat Tolaki yang berfungsi mengatur bermacam-macam sektor kehidupan. Kalosara sebagai hukum adat tampak pada gejala di mana kalosara berfungsi sebagai alat komunikasi antar keluarga, antar golongan; sebagai patok tanah hutan untuk dijadikan ladang, penjaga kebun dan tanaman di dalamnya; sebagai pengikat tiang tengah rumah dan bangunan perlindungan lainnya, alat yang dipakai dalam urusan penyelenggaraan perkawinan, alat yang dipakai untuk menyumpah seorang raja, dan alat yang dipakai dalam upacara tolak bala dan minta berkah. Penggunaan kalosara  dalam beberapa sektor kehidupan Masyarakat Tolaki tersebut merupakan ketentuan hukum adat yang harus ditaati. Pelanggaran terhadapnya berarti sanksi yang akan menimpa. Sanksi itu dapat berwujud sebagai sanksi batin dan sebagai sanksi fisik.
Orang yang melanggar ketentuan bahwa ia harus menggunakan kalosara dalam berkomunikasi antar keluarga atau antar golongan sepanjang komunikasi itu menyangkut hal yang penting, maka ia dikenakan sanksi batin berupa cemoohan bahwa ia tidak tahu sopan-santun, dan  berakibat bahwa tidak perlu dihiraukan. Orang yang melanggar patok tanah/hutan dan penjaga kebun dan tanaman di dalamnya akan diperlakukan sebagai pencuri dan segera akan diadukan ke sidang peradilan adat. Orang yang tidak memakai kalosara  sebagai pengikat tiang rumahnya menurut keyakinan mereka bahwa pemilik rumah dan keluarga yang tinggal di dalamnya akan tidak merasa tentram dalam hidupnya, dan sewaktu-waktu rumah atau bangunan tersebut akan ditimpa bencana alam. Orang yang melanggar ketentuan yang menyangkut penggunaan kalosara dalam perkawinan akan dikenakan sanksi berupa denda, diisikan dari masyarakat ramai, atau diculik dan dibunuh secara diam-diam. Seorang raja yang disumpah tanpa menggunakan kalosara dalam rangkain pelantikannya, menurut keyakinan Masyarakat Tolaki, raja itu akan tidak berhasil dalam kepemimpinannya, dan ada kemungkinan bahwa ia tidak panjang umur. Mereka juga yakin bahwa apabila dalam upacara tolak bala dan minta berkah tidak digunakan kalosara, maka akan berakibat bahwa  upacara itu mustahil berhasil bahkan sebaliknya yang jadi ialah bencana alam sebagai hukuman Tuhan. Ketaatan Masyarakat Tolaki terhadap kalosaranya itu pada dasarnya bukan karena mereka takut terhadap sanksi denda dan sanksi fisik, tetapi karena takut terhadap kutukan Tuhan (Tarimana, 1993).
Akhirnya, kalosara pada tingkat aturan khusus adalah aturan-aturan khusus yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang-lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Kalosara sebagai aturan-aturan khusus tertuang dalam ungkapan merou (aturan khusus dalam berbahasa yang menunjukkan sopan-santun); atora (aturan khusus dalam komunikasi sosial); o wua (aturan khusus dalam bercocok tanam pada umumnya); o lawi (aturan khusus dalam bercocok tanam padi khususnya); o sapa (aturan khusus dalam berburu, beternak, dan menangkap ikan); mepori (aturan khusus dalam membuat dan memakai peralatan); wowai (aturan khusus dalam pantangan), dan mondodo (aturan khusus dalam pekerjaan yang bersifat seni).

b.  Kalosara sebagai Fokus dan Pengintegrasi Unsur-Unsur Kebudayaan
Kalosara ada hubungannya dengan bahasa melalui fungsi kalosara sebagai bahasa lambang komunikasi, demikian dengan unsur ekonomi melalui fungsi kalosara sebagai penjaga tanaman dan pusat ladang padi, dan melalui makna simbolik kalosara sebagai asas distribusi barang-barang ekonomi. Kalosara juga ada hubungannya dengan sistem teknologi melalui bentuknya sebagai model dari teknik mengikat dan bentuk alat-peralatan, demikian juga ada hubungannya dengan organisasi sosial melalui makna simboliknya sebagai asas organisasi tradisional, asas organisasi kerajaan, dan sebagai asas politik dan pemerintahan. Selanjutnya kalosara juga ada hubungannya dengan sistem pengetahuan melalui makna simboliknya sebagai konsepsi Masyarakat Tolaki mengenai struktur alam nyata, demikian juga ada hubungannya dengan sistem religi melalui makna simboliknya sebagai konsepsi Masyarakat Tolaki mengenai struktur alam gaib. Akhirnya kalosara ada hubungannya dengan kesenian melalui bentuknya sebagai model dari bentuk rias dan teknik menari (Tarian Lulo dengan Formasi Melingkar dan Berputar).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjML5wyAi8gUZzboBHOXEvUf3wwR2wSOYkpmMHY0Tnc3xf-V7ChE2k18adDwQJpIj_T-iWkiyc-hKaQM8s3K-hChTKjBOwYO-2bvHBWABoZj0dl8z5vQHXQFCxz5wtWvfXnVo1UGunD40_S/s320/Lulo.jpeg
Foto 4. Tarian Lulo Formasi Melingkar Berbentuk Kalo




Lagu Lulo DJ Remix Nonstop Elektone






Foto 5. Modifikasi Tarian Lulo Formasi Mendatar/Memanjang

Pembuktian kalosara sebagai focus dan pengintegrasi unsur-unsur kebudayaan Tolaki tidak hanya melalui hubungannya dengan beberapa sub unsur dari tiap unsur kebudayaan Tolaki seperti terurai di atas, tetapi juga tampak pada fungsi kalosara dalam upacara sebagai simbol pusat yang mengintegrasikan sistem-sistem simbol yang ada dalam konteks upacara. Sistem-sistem simbol itu tercermin pada alat-alat upacara yang digunakan, waktu dan tempat upacara, dekorasi ruangan rumah upacara, golongan-golongan masyarakat yang mengikuti upacara, pakaian upacara, mantera-mantera dan doa-doa yang diucapkan oleh seorang dukun, dan hidangan makanan upacara.
Alat-alat upacara, seperti hewan korban, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda fisik lainnya, seperti: batu, tanah, air, api, semuanya mengandung makna simbol. Hewan korban, misalnya kerbau adalah simbol kemakmuran; tumbuhan-tumbuhan pada umumnya mengekspresikan ide pertumbuhan dan kesuburan. Batu adalah simbol kekuatan dan ketahanan, tanah adalah simbol kesabaran, air adalah lambang kesucian, dan api adalah simbol semangat untuk hidup di masa mendatang. Waktu upacara mengekspresikan proses jalannya kehidupan yang baik di dunia. Oleh karena itu waktu yang baik untuk upacara dipilih adalah waktu menjelang matahari naik yang mengekspresikan umur panjang dan banyak rezeki, waktu 14 atau 15 bulan di langit mengekspresikan kegenapan dan kesempurnaan hidup.
Pakaian upacara adalah simbol-simbol status sosial seseorang dalam masyarakat. Golongan-golongan manusia yang ikut dalam upacara mengekspresikan kesatuan dan persatuan dari unsur-unsur masyarakat. Dekorasi ruangan upacara mengekspresikan alam semesta dan isinya. Mantera-mantera dan doa-doa seorang dukun mengekspresikan keikhlasan manusia dalam mengakui kesalahannya karena secara tidak sengaja telah mengganggu ketentraman makhluk halus dan melanggar norma adat dan agama, dan disamping itu juga manusia memohon kepada Tuhan agar diri mereka yang telah berdosa itu dapat menjadi suci kembali. Pada akhir doanya seorang dukun mengharapkan kiranya Tuhan senantiasa memelihara mereka sehingga terhindar dari bala bencana, dan agar mereka hidup dalam suasana kesatuan dan persatuan, makmur dan sejahtera, kekal dan abadi. Hidangan makanan dan minuman mengekspresikan rasa kesyukuran atas berkah yang telah dikaruniakan, dan sekaligus mengekspresikan cita-cita akan kemakmuran dan kesejahteraan di masa-masa mendatang.
Makna simbolik dari unsur-unsur terurai di atas terintegrasi di dalam makna simbolik dari kalosara. Ide-ide kesatuan dan persatuan tercermin di dalam makna simbolik dari lingkaran rotan, demikian juga ide-ide keikhlasan dan kesucian tercermin di dalam makna simbolik dari kain putih, dan ide-ide kemakmuran dan kesejahteraan tercermin di dalam makna simbolik dari wadah anyaman di mana lingkaran rotan diletakkan (Tarimana, 1993).
Peranan kalosara dalam fungsinya sebagai pengintegrasi unsur-unsur kebudayaan Tolaki, baik dalam hubungannya dengan beberapa sub unsur dari tiap unsur kebudayaan Tolaki maupun fungsinya sebagai unsur utama dalam upacara, maka kalosara merupakan aktivitas kebudayaan yang berfungsi memenuhi dan memuaskan banyak kebutuhan dasar dalam naluri manusia.
Kebutuhan-kebutuhan dasar itu misalnya ingin menyampaikan perasaan dan pikirannya kepada sesamanya secara sopan. Untuk itu mereka menciptakan kalosara dan menggunakannya sebagai bahasa lambang. Mereka butuh akan keamanan ladang dan kebun serta tanaman di dalamnya dalam rangkaian kebutuhan akan makan. Karena itu mereka menciptakan kalosara dan digunakan sebagai penjaga ladang dan kebun serta tanaman di dalamnya. Mereka butuh akan keamanan rumahnya dari gangguan bencana alam dan lain-lain gangguan dari luar dalam rangka kebutuhan dasar akan rasa keamanan fisik. Untuk itu mereka menciptakan kalosara dan digunakannya untuk pengikat tiang tengah rumah. Mereka butuh kawin dalam rangka menyalurkan kebutuhan dasar seks dan keturunan, karena itu mereka menciptakan kalosara dan digunakannya untuk melamar gadis dan untuk melangsungkan perkawinan. Mereka butuh akan komunikasi dengan sesamanya dalam rangka kebutuhan sosialnya, maka mereka menciptakan kalosara dan digunakannya untuk mengadakan hubungan antara keluarga dengan keluarga, dan antara golongan dengan golongan. Mereka juga butuh akan keindahan, maka mereka menciptakan kalosara dan memakainya sebagai perhiasan. Mereka ingin tahu tentang sesuatu yang ada dalam alam sekitarnya, maka mereka menciptakan kalosara dan digunakannya sebagai alat ekspresi dan media konsepsi tentang alam semesta serta isinya. Mereka juga butuh kekuatan sakti dan kekuatan sosial, maka mereka menciptakan kalosara dan digunakannya sebagai alat upacara dan alat komunikasi dengan alam gaib (Tarimana, 1993).
Tampak kelebihan kalosara dalam fungsinya memenuhi dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia dibandingkan dengan sub unsur lain dari unsur-unsur kebudayaan Tolaki. Misalnya sub unsur kebudayaan Perang’’ hanya berfungsi sebagai alat produksi dalam rangkaian unsur sistem ekonomi, dan berfungsi sebagai senjata dalam rangkaian unsur teknologi. Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kalosara adalah focus kebudayaan Tolaki yang berfungsi sebagai pengintegrasi unsur-unsur yang ada di dalamnya.

c.  Kalosara sebagai Pedoman Hidup untuk Terciptanya Ketertiban Sosial dan Moral
Upaya menrciptakan ketertiban sosial dan moral dalam kehidupan masyarakat, maka digunakanlah ajaran-ajaran kalosara sebagai pedoman hidup. Penggunaan kalosara sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral tampak dalam usaha memulihkan suasana kelaparan karena panen tidak jadi, suasana kecelakaan karena bencana alam, suasana kematian karena wabah penyakit, suasana penganiayaan karena permusuhan, dan suasana keretakan karena kesalahpahaman antara orang seorang, antara keluarga dengan keluarga, antara golongan dengan golongan.
Masyarakat Tolaki menganggap bahwa timbulnya suasana yang tidak baik tersebut diakibatkan manusia yang telah melanggar adat dan norma agama. Artinya perkataan Masyarakat Tolaki sendiri telah melanggar ajaran kalosara sebagai adat pokok mereka. Untuk memulihkan suasana-suasana yang demikian, maka tak ada jalan lain yang lebih menjamin berhasilnya pemulihan, kata mereka, kecuali mengadakan upacara di mana kalosara digunakan. Upacara itu disebut mosehe wonua (upacara besar yang diikuti oleh sebagian besar warga masyarakat Tolaki). Dalam upacara itu diungkapkan bahwa mereka telah melanggar adat dan norma agama. Pernyataan ini dikumandangkan oleh dukun upacara agar didengar oleh seluruh peserta upacara dan Tuhan. Dukun upacara juga menyatakan bahwa mereka telah tobat, dan bersumpah bahwa mereka akan kembali kepada ajaran-ajaran kalosara yang sesungguhnya, adat pokok mereka. Akhirnya dukun upacara meminta kepada seluruh peserta upacara dan warga masyarakat pada umumnya agar kembali tertib dan berakhlak baik dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka kembali hidup dalam suasana kecukupan, aman dan tentram, sehat wal afiat, damai, dan suasana kekeluargaan yang akrab, bersatu, kuat, dan kokoh (Tarimana, 1993).
Dalam suasana profan atau dalam suasana kehidupan di luar upacara yang bersifat sacral, sering terdengar kata-kata orang tua bahwa barangsiapa yang tidak mentaati kalosara  maka ia menjadi bere-bere olutu ruru mbenao, artinya tersisih dari pergaulan masyarakat umum. Ia tidak dikunjungi oleh sesamanya dan begitu sebaliknya, karena ia telah dianggap berakhlak rendah oleh warga masyarakat. Apabila sudah begitu keadaannya maka ia menjadi seorang yang disebut mbirito, artinya manusia yang tidak memiliki harga diri lagi. Biasanya orang demikian tidak betah lagi untuk bertahan menetap di lingkungannya, dan terpaksa ia harus pindah ke negeri lain, dan jika ia tidak mampu melakukannya, maka terpaksa ia bunuh diri.

d.  Kalosara sebagai Pemersatu
Bagian ini akan mengemukakan beberapa contoh pada unsur pertentangan mana dari klasifikasi dua itu yang dapat dipersatukan dengan kalosara. Unsur konsep bertentangan dari klasifikasi dua itu yang dapat dipersatukan oleh kalosara adalah meliputi unsur pertentangan yang terdapat pada klasifikasi dua mengenai manusia dan klasifikasi dua mengenai alam. Pada klasifikasi dua mengenai manusia, unsur konsep bertentangan itu adalah tubuh dan jiwa, kanan dan kiri, atau muka dan belakang, atau atas dengan bawah, atau luar dan dalam. Pada klasifikasi dua mengenai alam, unsur konsep bertentangan itu adalah dunia nyata dan dunia gaib, dunia atas dan dunia bawah, demikian Timur dan Barat, atau Utara dan Selatan. Konsep bertentangan itu tampak pada unsur petani dan tanamannya, antara unsur peternak dan ternaknya, dan antara unsur pemburu dan hewan buruannya.
Pertentangan konseptual antara tubuh dan jiwa dipersatukan oleh kalosara, yang disebut kalosara kale-kale, yaitu kalosara yang dipakaikan pada pergelangan tangan dan kaki bayi, dan kalosara pebo, yaitu kalosara yang dipakai sebagai ikat pinggang orang dewasa. Pertentangan konseptual antara kanan dan kiri, demikian antara muka dengan belakang, antara atas dan bawah, dan antara luar dan dalam, semuanya dipersatukan oleh kalosara, yang disebut kalosara sambiala, yaitu kalosara  yang dipakai di dada seorang anak. Pertentangan konseptual antara dunia nyata dan dunia gaib, demikian antara dunia atas dan dunia bawah, dan antara Timur dan Barat, Utara dan Selatan, semuanya dipersatukan oleh kalosara,  yang disebut kalosara eno-eno, yaitu kalosara yang digunakan dalam upacara-upacara ritual di lapangan. Khusus pertentangan konseptual antara orang hidup dan orang mati dipersatukan oleh kalosara, yang disebut kalosara ula-ula, yaitu kalosara yang digunakan untuk pekabaran tentang adanya orang meninggal, dan kalosara yang disebut kalosara lowani, yaitu kalosara yang dipakai sebagai tanda berkabung. Pertentangan konseptual antara petani dan tanamannya dipersatukan oleh kalosara, yang disebut kalosarakinalo yaitu kalosara yang digunakan untuk menjaga ladang dan peternak dan ternaknya dipersatukan oleh kalosara, yang disebut kalosara selekeri atau kalosara kalelawu  yaitu kalosara yang digunakan sebagai cincin hidung kerbau. Begitu pula antara pemburu dan hewan buruannya dipersatukan oleh kalosara, yang disebut kalosara o oho, kalosara o taho, kalosara ohotai, kalosara o hopi  yaitu kalosara yang masing-masing digunakan untuk menangkap kerbau, rusa, anuang, ayam hutan, dan aneka-ragam burung (Tarimana, 1993).
Selain kalosara berfungsi sebagai pemersatu untuk pertentangan-pertentangan konseptual terurai di atas, juga berfungsi sebagai pemersatu untuk pertentangan-pertentangan sosial dalam kehidupan Masyarakat Tolaki. Unsur sosial bertentangan dari klasifikasi dua itu yang dapat dipersatukan oleh kalosara adalah meliputi unsur pertentangan yang terdapat pada klasifikasi dua dalam masyarakat. Unsur-unsur sosial yang bertentangan itu adalah golongan bangsawan dengan golongan budak, atau golongan pemerintah dengan golongan rakyat, keluarga mempelai perempuan dengan keluarga mempelai laki-lai, dan antara person dengan person.
Timbulnya pertentangan sosial antara golongan bangsawan dan golongan budak biasanya bersumber dari perlakuan tidak sewajarnya terhadap satu sama lain, demikian pertentangan sosial antara golongan pemerintah dan golongan rakyat biasanya bersumber dari perbedaan faham dalam soal politik. Sedangkan timbulnya pertentangan antara keluarga dengan keluarga biasanya bersumber dari sengketa yang timbul karena soal kawin lari, dan timbulnya pertentangan antara person dengan person biasanya bersumber dari sengketa yang timbul karena soal harta pusaka.
Semua unsur sosial bertentangan di atas dapat dipersatukan oleh kalosara. Kalosara yang digunakan untuk mendamaikan atau mempersatukan golongan bangsawan dan golongan budak disebut kalosara mbutobu, yaitu kalosara yang digunakan untuk menghadap kepada putobu (kepala wilayah) agar kepala wilayah turun tangan menyelesaikan perselisihan di antara golongan bangsawan-dan golongan budak. Kalosara yang digunakan untuk mendamaikan atau mempersatukan golongan pemerintah dan golongan rakyat disebut kalosara mokole, yaitu kalosara yang digunakan untuk menghadap mokole (raja) agar raja turun tangan memulihkan perselisihan di antara golongan pemerintah dan rakyat. Kalosara yang digunakan untuk mendamaikan atau mempersatukan dua pihak keluarga yang berselisih karena soal kawin lari disebut kalosara sokei, yaitu kalosara yang digunakan untuk membentengi diri dari pihak keluarga laki-laki yang melarikan gadis dari serangan pihak keluarga yang anak gadisnya dilarikan. Kalosara yang digunakan untuk mendamaikan atau mempersatukan orang dengan seorang yang berselisih disebut kalosara mekindoroa, yaitu kalosara yang digunakan untuk menyelamatkan hidup seseorang yang berselisih karena keduanya saling mengancam untuk membunuh lawannya (Tarimana, 1993).
Masyarakat Tolaki memperlakukan kalosaranya sebagai alat pemersatu untuk pertentangan konseptual dan sosial terurai di atas bersumber dari pandangan mereka bahwa kalosara itu adalah simbol kesatuan dan persatuan.

3.  Bahasa Tolaki sebagai Alat Ekspresi Komunikasi dan Hubungannya dengan Kalosara
Bagaimana sekarang hubungan antara bahasa Tolaki dengan bahasa lambang yaitu bahasa kalosara, yang telah disebut di atas? Hubungan antara asas bahasa Tolaki dengan kalosara, sebaiknya dilihat dari dua segi, yakni segi bahasa sebagai alat ekspresi dan segi bahasa sebagai alat komunikasi (Langer 1951; Mussem, 1973).
Bahasa kalosara sebagai bahasa simbolik adalah ekspresi Masyarakat Tolaki mengenai segala sesuatu yang dipersiapkan sebagai sepotong rotan yang dibentuk menjadi lingkaran dengan kedua ujungnya diikat dengan suatu simpul. Bentuk lingkaran atau bulat ini adalah gambaran segala sesuatu yang bulat dan mula penciptaannya oleh penciptanya, yang selanjutnya mengalami perubahan dari yang bulat menjadi terbagi-bagi ke dalam unsur-unsur. Dengan segala sesuatu di sini adalah manusia dengan segala aspeknya, alam dengan segala unsurnya, masyarakat dengan segala aspek-aspek sosialnya, demikian juga hewan dan tumbuhan, dan segala benda alamiah dan budaya.
 Unsur-unsur dari segala sesuatu tersebut di atas masing-masing pada dasarnya hanya terdiri atas dua atau tiga unsur . Adapun unsur-unsur yang terdiri atas empat, lima, dan seterusnya, merupakan penjabaran dari unsur-unsur dasar dua dan tiga di atas. Namun segala sesuatu tersebut terdiri dari unsur-unsur, tetapi kata mereka hal itu tidak harus dipisah-pisahkan, melaikan harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat yang satu saling mengikat yang lain. Bentuk-bentuk ekpresi inilah yang tersimpul dalam kalosara.
Kalosara sebagai alat komunikasi adalah alat yang dipakai oleh Masyarakat Tolaki dalam berkomunikasi secara timbal-balik antara orang seorang, keluarga dengan keluarga , golongan dengan golongan dalam konteks kehidupan sosial, dan dalam berkomunikasi dengan unsur-unsur alam dan lingkungan sekitarnya serta dengan dunia gaib. Komunikasi-komunikasi tersebut, harus dilakukan untuk mewujudkan dan mempertahankan prinsip-prinsip kesatuan dan persatuan atau integrasi dan solidaritas masyarakat pada khususnya seperti yang disimbolkan di dalam kalosara itu sendiri, agar tidak timbul oposisi dan ketidak-serasian dalam tata kehidupan mereka sehari-hari sebagai suatu masyarakat.
Penampilan kalosara sebagai wujud ekspresi dan alat komunikasi tersebut nampak pada peristiwa-peristiwa seperti yang digambarkan sebgai berikut:
a. Peristiwa di mana seseorang, yang karena merasa sangat malu atas perlakuan seseorang/kelompok yang tidak sopan terhadap diri/keluarganya di depan umum, melakukan reaksi keras berupa ancaman penganiayaan terhadap orang yang memperlakukannya demi membela harga dirinya. Dalam situasi yang demikian muncullah pihak ketiga menampilkan kalosara di antara keduanya yang sedang ancam-mengancam satu sama lain. Tanpa komentar dari semua pihak, peristiwa ancam-mengancam tersebut berhenti secara otomatis di mana keduanya lalu saling maaf-memaafkan satu sama lain karena bagi mereka kalosara itu adalah identik dengan perkataan: jangan, mohon maaf, ampun, engkau, dia, dan aku, serta kita sekalian adalah satu kesatuan, satu didalam tiga, dan tiga di dalam satu. Menganiaya dia berarti menganiaya diri sendiri, dan menganiaya kami serta kita sekalian. Tampilnya kalosara dalam suasana demikian, maka damailah keduannya. Jika ternyata salah satu dari keduanya atau kedua-duanya menolak adanya kalosara dalam peristiwa itu, maka ia telah dipandang terkutuk dan akibatnya mereka harus dikeluarkan dari warga Masyarakat Tolaki atau menghukum mereka dengan ketentuan adat yang berlaku. Namun hal ini konon jarang terjadi.
b.Peristiwa di mana dua orang utusan yang datang kepada suatu keluarga untuk maksud menyampaikan undangan sesuatu pesta atau pekabaran mengenai adanya orang meninggal dengan menggunakan kalosara. Sesungguhnya utusan itu tanpa mengatakan apa maksud kedatangannya, keluarga yang dikunjungi secara otomatis telah memahami bahwa maksud mereka adalah pekabaran mengenai adanya orang meninggal, atau pemberitahuan mengenai akan adanya perkawinan, karena kalosara itu sendiri dengan atributnya telah menunjukkan tanda atau simbol yang bermakna ‘’ orang mati’’ atau makna ‘’laki dan perempuan.’’ Namun untuk memperjelas keterangan mengenai hal itu masih perlu ada suatu dialog antara kedua belah pihak, misalnya menanyakan: siapa yang meninggal, kapan dimakamkan, atau siapa yang akan kawin dan kapan diselenggarakan.

Foto 6. Pabitara dari Calon Mempelai Laki-laki Mempersembahkan Kalosara kepada Tolea Calon Mempelai Perempuan



Foto 7. Pabitara dari Calon Mempelai Laki-laki mempersembahkan Kalosara kepada Toono Motuo (Tokoh Masyarakat) dari Calon Mempelai Perempuan

c. Peristiwa di mana kalosara itu digunakan dalam upacara-upacara. Tanpa banyak komentar kecuali bahasa yang formal saja, peserta upacara telah memahami maksud dan jalannya upacara, karena kalosara itu sendiri telah disimbolkan sebagai orang yang berbicara member keterangan kepada peserta upacara, tentang upacara apa yang sedang dilakukan dan apa maksudnya, bahwa upacara sedang dilakukan itu adalah upacara perkawinan, atau upacara kematian, atau upacara penyambutan raja, dan atau upacara pelantikan raja (Tarimana, 1993; Suud, 2011).
Penampilan kalosara pada peristiwa terurai di atas, bagi Masyarakat Tolaki, merupakan cara-cara yang paling baik dan terpuji untuk menyatakan ekspresi alam pikiran, perasaan, dan kehendaknya di satu pihak, dan untuk menyampaikan maksudnya di lain pihak. Orang, keluarga, dan golongan masyarakat yang selalu menggunakan kalosara untuk menyampaikan maksud tertentu kepada orang, keluarga, dan golongan lain dipandang merou, me’irou (berakhlak terpuji, tahu adat, berbudi pekerti luhur). Singkatnya ia adalah manusia yang sesungguhnya. Sebaliknya mereka yang tidak berlaku demikian dipandang tidak sopan,tidak tahu adat,te’oha-oha(sombong). Dalam hal ini tampak kalosara sebagai asas dari adat-istiadat dalam berbahasa.
Kini kalosara sebagai bahasa lambang bagi Masyarakat Tolaki telah mengalami perubahan dalam cara pemakainnya. Perubahan itu tampak pada gejala adanya sedikit penjelasan yang menyertai kalosara, sehingga makna kalosara sebagai bahasa lambang lebih cepat diserap terutama mereka yang kurang mengenal makna kalosara, misalnya kalangan pemuda atau mereka dari kalangan yang bukan Masyarakat Tolaki. Misalnya: sekarang ini upacara perkawinan juga dihadiri oleh pihak dari luar. Perubahan itu tampak pada gejala di mana seseorang menggunakan kupiah sebagai pengganti kalosara untuk menyatakan maksudnya, karena pada saat itu sangat mendesak dan ia sedang tidak membawa kalosara. Kupiah itu diperlakukan sebagai kalosara.

4.  Hubungannya Kalosara dengan Mata Pencaharian
Semua uraian mengenai mata pencaharian Masyarakat Tolaki, yang meliputi masalah-masalah tentang bercocok tanam di ladang, menanam padi di sawah, tanaman sagu dan tanaman jangka panjang, berburu dan beternak, konsep kepemilikan, dan integrasi berbagai sistem ekonomi, menunjukkan bahwa sistem ekonomi Masyarakat Tolaki merupakan sistem yang berlandaskan pada asas-asas tertentu. Asas-asas itu adalah: asas alamiah, asas tradisional, dan asas kekeluargaan.
Asas alamiah tampak dalam hubungannya dengan jenis produksi, yang diusahakan dan dihasilkan tergantung pada kondisi dan potensi alam dan lingkungannya. Asas tradisional nyata dalam kaitannya dengan sistem teknologi pengolahan dan pemanfaatan hasil, yang senantiasa menurut ketentuan adat-istiadat yang berlaku secara turun-temurun, baik dalam menggunakan peralatan yang masih sederhana maupun dalam pengadaan upacara-upacara ritual yang bersifat religi atau keagamaan. Asas kekeluargaan tampak dalam hubungannya dengan kenyataan bahwa hampir semua usaha pengolahan tanah dan pemetikan hasil tidak hanya dilakukan oleh anggota suatu keluarga inti tetapi juga atas kerja sama dengan sejumlah anggota dalam ikatan keluarga satu nenek moyang. Hasilnya pun tidak hanya dinikmati oleh pemiliknya sendiri, tetapi juga disyaratkan untuk dinikmati oleh sesama keluarga dan tetangga terdekat atau pemerintah setempat dalam kadar tertentu. Asas kekeluargaan ini tidak hanya untuk memelihara hubungan timbal-baik antara keluarga dengan keluarga atau antara rakyat dan pemerintah, tetapi juga untuk memelihara hubungan timbal-balik antara manusia dengan makhluk gaib. Kenyataan terakhir ini diwujudkan dalam upacara doa syukur menikmati hasil panen padi pertama, di mana sejumlah anggota keluarga dan tetangga diundang untuk makan bersama, dan disajikan sejumlah hidangan lainnya.
Selanjutnya, bagaimana hubungan antara asas mata pencaharian Masyarakat Tolaki dengan kalosaranya? Hubungan itu tampak pada tiga kenyataan yang digambarkan di bawah ini sebagai berikut:
a. Kenyataan bahwa kalosara selalu digunakan sebagai tanda kepemilikan, dan tanda larangan, penjaga tanaman terhadap gangguan hama dan gangguan orang lain. Selain itu kalosara secara simbolik adalah ganti diri dari pemilik tanah dan tanaman di atasnya.
b.Kenyataan bahwa kalosara  selalu digunakan dalam upacara ritual dari hampir setiap fase: pengolahan tanah, penanaman padi, dan pemetikan hasil. Penyelenggaraan suatu upacara ritual dengan menggunakan kalosara adalah mutlak dilakukan demi suksesnya seluruh rangkaian kegiatan pengolahan tanah, pemeliharaan tanaman, dan pemetikan hasil, karena hasil yang diinginkan, adalah berkat adanya dukungan dari unsur-unsur alam nyata terutama sesama manusia itu sendiri, dan Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan demikian hanya dapat diwujudkan di dalam dan setelah diadakan suatu upacara di mana kalosara digunakan, karena makna simbolik dari kalosara adalah berfungsi mewujudkan hubungan timbal-balik dari unsur-unsur upacara tersebut, yakni: Hubungan timbal-balik antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan hewan ternaknya, manusia dengan tumbuhan-tumbuhan atau tanamannya, manusia-manusia dengan api, angin, air, dan tanah, manusia dengan waktu dan ruang, dan manusia dengan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Semua unsur ini terlihat dalam konteks upacara;
c.  Kenyataan bahwa ikutnya unsur pemerintah setempat, keluarga dan tetangga terdekat menikmati hasil produksi tanaman dan ternak potong, sesungguhnya, bagi Masyarakat Tolaki, adalah perwujudan dari prinsip kalosara itu sendiri, yakni medulu (kesatuan dan persatuan). Kenyataan ini merupakan wujud dari usaha mereka untuk memelihara dan memepertahankan hubungan sosial yang serasi, selaras dan seimbang, serta berkesinambungan (Tarimana, 1993).
Kini setelah pemerintah setempat mulai melarang berladang liar untuk mengintensipkan sistem irigasi bersawah, dan melarang berburu dan menangkap burung dalam rangka upaya pelestarian lingkungan alam, serta mulai menerapkan sistem teknologi tepat guna dalam beternak, maka peranan  kalosara dalam sistem ekonomi tradisional Masyarakat Tolaki sebagaimana dikemukakan di atas telah mulai bergeser. Peranan kalosara mulai bergeser dari sebagai alat upacara untuk semua fase pengolahan tanah sampai pemetikan hasil perladangan, menjadi hanya sebagai alat upacara pergantian tahun pertanian; dari sebagai tanda kepemilikan tanah bakal perladangan menjadi hanya sebagai penjaga kebun tanaman jangka panjang, dari sebagai alat penangkap hewan buruan dan penangkap burung, menjadi hanya sebagai cincin hidung kerbau dan sapi peranan sebagai tanda kepemilikan seseorang.

5.  Hubungannya Kalosara dengan Teknologi Tradisional
Sistem teknologi tradisional Masyarakat Tolaki, yang meliputi jenis alat-peralatan hidup, bahan mentah pembuatannya, sistem pembuatan dan pemakaiannya, serta bentuk dan struktur bagian-bagiannya yang telah dikemukakan di atas menunjukkan kepada kita bahwa sistem teknologi tradisional Masyarakat Tolaki merupakan sistem yang berlandaskan pada asas-asas tertentu.
Landasan sistem teknologi dalam memproses peralatan dan perlengkapan hidup adalah asas lingkaran atau bulatan, asas persegi empat, dan asas ikatan atau lilitan, serta asas analogi, identifikasi dan representasi. Asas lingkaran dan persegi empat, nampak pada hampir semua bentuk peralatan, baik secara sendiri maupun secara kombinasi. Dalam hampir semua cara membuat alat-alat tampak teknik mengikat, melilit untuk menghubungkan satu sama lain dari bagian-bagiannya. Sedangkan asas analogi, asosiasi dan identifikasi, nampak pada bentuk dan struktur bagian-bagian suatu peralatan sebagai gambaran dari konsepsi mereka mengenai diri sebagai manusia, sedangkan hewan dan tumbuhan, serta sebagai benda-benda alam fisik lainnya yang terdapat dalam lingkungannya.
Selanjutnya, bagaimana hubungan antara asas sistem teknologi tradisional Masyarakat Tolaki dengan kalosaranya? Hubungan itu Nampak pada kenyataan-kenyataan yang digambarkan di bawah ini.
a.  Kenyataan bahwa pada umumnya alat-peralatan memerlukan pengikat rotan, yang teknik mengikatnya adalah selalu identik dengan model ikatan kalosara yang melilit, melingkar, dan membulat. Semua hulu dari alat-alat produktif dan senjata selalu diikat dengan teknik khusus yang disebut holunga (ikatan melingkaryang dianyam); demikian semua wadah anyaman diperkuat bobotnya dengan lingkaran rotan yang dipilin, dan hampir semua dari model perhiasan identik dengan model kalosara yang melingkar atau membulat.
b.  Kenyataan yang unik adalah tiang tengah dari suatu bangunan pada bagian atas tiang, utamanya rumah tempat tinggal selalu diikat dengan ikatan rotan yang juga disebut kalosara.
c.  Kenyataan bahwa model dari semua jenis jerat penangkap hewan liar dan unggas yang bahannya dari rotan atau akar selalu mengikuti model kalosara.
d.  Selain model kalosara nampak pada teknik mengikat dari peralatan tersebut dan pada sebagian bentuknya, juga struktur unsur dua atau tiga dari alat-peralatan yang telah dilukiskan di atas selalu tercermin di dalam struktur unsur dua atau tiga dari kalosara itu (Tarimana, 1993).
   Meskipun Masyarakat Tolaki pada masa kini telah ada sebagian kecil yang mendirikan rumah dengan sepenuhnya meninggalkan teknik ikat dari rotan, karena bangunan rumah itu adalah bangunan permanen dari batu/semen, tetapi masih tampak peranan kalosara sebagai pengikat tiang tengah rumah bagian ruang tengah pindah ke bagian ruang loteng. Kalosara pengikat tiang tengah rumah itu bergeser dari bahan rotan ke bahan kain putih.

6.  Hubungannya Kalosara dengan Sistem Kekerabatan dan Organisasi Politik
Uraian di bawah ini menunjukkan letak hubungan antara sistem kekerabatan dan organisasi sosial dengan kalosara. Kenyataannya upacara ritual dalam proses lingkaran hidup, seperti: upacara pemandian bayi, upacara potong rambut, upacara sunatan, upacara perkawinan, dan upacara pemakaman orang meninggal dan upacara peringatan kematian, upacara penyambutan seseorang pejabat pemerintah yang berkunjung ke daerah atau ke desa-desa, maka hubungan antara sistem kekerabatan dan organisasi sosial Masyarakat Tolaki dengan kalosara terletak pada dua aspek, yaitu: (1) peranan kalosara dalam penggunaannya pada upacara-upacara ritual pada lingkaran hidup dan pada upacara resmi dalam urusan pemerintahan; dan (2) pandangan Masyarakat Tolaki terhadap kalosara sebagai simbol.

a.      Peranan Kalosara dalam Upacara
Dalam upacara pemandian bayi yang lahir pertama, kalosara di pakaikan pada pergelangan tangan dan kaki si bayi. Jenis kalosara yang dipakaikan disebut kalosara kale-kale (kalosara dari benang putih). Maksud pemakaian itu selain sebagai tanda penjaga bayi itu dari gangguan makhluk halus dan sebagai tanda bahwa bayi yang lahir pertama itu merupakan unsur kelengkapan terbentuknya suatu keluarga inti, dan terikat dalam hubungan keluarga luas dan anggota baru bagi kelompok kerabat. Pemasangan kalosara dimaksud dilakukan oleh bibi atau nenek dari pihak ibunya. Untuk tujuan yang sama, pada upacara potong rambut si bayi dipakaikan kalosara kale-kale (kalosara dari benang), tetapi bukan lagi benang putih melainkan benang kuning. Makna benang kuning berarti si bayi telah kuat jiwanya untuk menahan gangguan dari makhluk halus.
Dalam upacara sunatan menjelang dewasa, kalosara dipakaikan pada pinggang sang remaja. Jenis kalosara  yang dipakaikan disebut kalosara pebo (kalosara dari akar atau kulit kayu keras). Maksud pemakaian itu selain sebagai tanda pengikat hubungan antara jasmani dan rohani, juga merupakan tanda bahwa sang remaja telah siap untuk memasuki jenjang perkawinan dan berarti pula bahwa akan mengikat hubungannya dengan keluarga luas.
Dalam urusan perkawinan kalosara selalu digunakan. Kalosara yang digunakan disebut kalosara mbendulu (kalosara adat perkawinan), yang terdiri dari lingkaran rotan, kain putih, dan wadah anyaman. Maksud penggunaan kalosara dalam perkawinan adalah untuk mempererat hubungan kekeluargaan di kalangan keluarga luas, dan juga untuk mengikat hubungan dengan kelompok kerabat. Dalam peristiwa kematian, kalosara berperan pada dua jenis, yaitu: (1) kalosara ula-ula (kalosara dari gulungan benang putih yang dibentuk seperti orang-orangan); dan (2) kalosara lowani  (kalosara dari sobekan kain putih). Kalosara yang pertama digunakan untuk pekabaran tentang adanya orang meninggal, dan kalosara yang kedua dipakai sebagai tanda berkabung. Penggunaan kalosara pertama mengandung makna simbolik bahwa anggota kerabat yang meninggal itu datang kepada kerabatnya untuk pamit mendahului menghadap Tuhan, dan sekaligus mengharapkan kerabatnya yang masih hidup itu sudi ikut mengurus keluarganya yang ditinggalkan; dan pemakaian kalosara kedua mengandung makna simbolik bahwa kerabat merasa kehilangan seorang anggota kerabat yang sangat banyak menentukan dalam pembinaan keluarga dan kerabat secara keseluruhan.
Kalosara yang digunakan dalam upacara pelantikan raja pada zaman dahulu, dan pada upacara-upacara penyambutan adat para pejabat pemerintah disebut kalosara wonua (kalosara adat pemerintahan), yang juga atributnya sama dengan kalosara yang digunakan dalam perkawinan. Penggunaan kalosara pada kedua peristiwa di atas dimaksudkan untuk mempererat tali hubungan silaturrahim antara pemerintah dan rakyat, dan juga mengandung makna simbolik bahwa rakyat sangat mengharapkan bimbingan dan perlindungan dari pemimpinnya, dan sebaliknya pemerintah mengharapkan dukungan dan bantuan dari rakyatnya.

b.      Pandangan Masyarakat terhadap Kalosara sebagai Simbol
Kalosara adalah simbol dari unsur-unsur keluarga inti, adat dalam kehidupan rumah tangga, dan rumah tangga itu sendiri sebagai wadah kehidupan keluarga inti, serta ikatan hubungan antara unsur-unsur keluarga inti itu sendiri secara timbal-balik. Tiga unsur dari keuarga inti adalah: ayah, ibu, anak. Ketiga unsur ini disimbolkan oleh tiga pilinan rotan yang dipertemukan pada suatu ikatan simpul; adat dalam kehidupan rumah tangga disimbolkan oleh kain putih yang mengalas wadah anyaman; dan rumah tangga itu disimbolkan oleh wadah anyaman siwole tempat meletakkan lingkaran rotan yang berpilih tiga tersebut.
Kalosara adalah simbol dari unsur-unsur keluarga luas, adat dalam kehidupan komuniti keluarga luas, dan pola komuniti itu sendiri, serta ikatan hubungan antara unsur-unsur keluarga luas secara timbal-balik. Tiga unsur dari keluarga luas itu adalah: para paman dengan istrinya, para bibi dengan suaminya, dan para kemenakan derajat satu. Seperti halnya tiga unsur keluarga inti, begitu pula tiga unsur keluarga luas disimbolkan oleh tiga pilinan rotan yang dipertemukan pada suatu ikatan simpul. Adat dalam kehidupan keluarga luas komuniti dan pola komuniti itu sebagai wadah, masing-masing keduanya disimbolkan oleh kain putih dan wadah anyaman tempat lingkaran rotan yang dipilin itu. Demikian pula kalosara adalah simbol dari unsur-unsur kerabat/keluarga, adat dalam kehidupan keluarga (kindred), serta ikatan hubungan antara unsur-unsur keluarga itu sendiri secara timbal-balik. Tiga unsur dari kerabat/keluarga itu adalah: semua saudara sepupu derajat satu bersama dengan istri dan suaminya dan dengan anak-anaknya, semua saudara sepupu derajat dua bersama dengan istri dan suaminya dan dengan anak-anaknya, semua saudara derajat tiga bersama istri dan suaminya dan dengan anak-anaknya. Sebagaimana halnya tiga unsur keluarga luas, begitu pula tiga unsur kerabat/keluarga disimbolkan oleh tiga pilin rotan yang dipertemukan pada suatu ikatan simpul. Adat dalam kehidupan keluarga dan pola desa pemukiman warga keluarga, masing-masing keduanya disimbolkan oleh kain putih dan wadah anyaman tempat lingkaran rotan yang dipilin itu. Akhirnya kalosara adalah simbol dari kelompok kerabat yang luas, yang mengekspresikan kesatuan dan persatuan dari seluruh warga Masyarakat Tolaki asal dari satu nenek moyang, adat dalam kehidupan kerabat luas (ambilineal), dan pola dari suatu wilayah distrik atau kecamatan tempat pemukiman semua warga kelompok kerabat yang berasal dari satu nenek moyang (Tarimana, 1993).
Ekspresi Masyarakat Tolaki mengenai kalosara sebagai simbol hubungan kekerabatan terurai di atas diwujudkan di dalam disain dari wadah anyaman tempat kalosara itu diletakkan. Pada gambar wadah anyaman di bawah, disain-disain itu tampak sebagai tujuh lapisan segi empat sama sisi, 14 garis vertical (masing-masing tujuh garis di sisi kanan dan tujuh garis di sisi kiri), 14 garis horizontal masing-masing tujuh garis di sisi atas dan tujuh garis di sisi bawah, 14 gambar panah (masing-masing tujuh buah di bagian atas kanan dan tujuh buah di bagian bawah kiri), 14 gambar kembang (masing-masing tujuah buah di bagian kanan bawah dan tujuh buah di bagian atas kanan), 30 gambar sampiran yang terletak di dalam segi empat sama sisi (pusat dari wadah), 20 pasang segi tiga sama kaki pada segi empat sama sisi lapisan kedua (masing-masing lima pasang pada tiap sisi), 40 gambar tumbuhan pakis pada segi empat sama sisi lapisan ketiga (masing-masing 10 buah pada tiap sisi), 96 pasang segi tiga sama kaki pada segi empat sama sisi lapisan keempat (masing-masing 24 pasang pada tiap sisi), dua deretan tali yang mengelilingi empat sisi dari masing-masing segi empat sama sisi lapisan kelima dan lapisan keenam, dan puluhan gambar silang yang tak terbaca yang mengelilingi keempat sisi dari segi empat sama sisi lapisan ketujuh. Menurut para informan gambar-gambar disain dari wadah anyaman ini adalah simbol-simbol dari keluarga inti kelompok-kelompok kerabat, termasuk di dalamnya warga dari tiap kelompok dan hubungan timbal-balik antara satu anggota keluarga atau warga kelompok kerabat dengan lainnya. Itulah maksud dan tujuan penggunaan kalosara dalam upacara-upacara keluarga untuk mewujudkan hubungan-hubungan timbal-balik dari kelompok kekerabatan mereka, dalam rangka memupuk rasa kesatuan dan persatuan di kalangan kerabat.
Kalosara juga simbol dari unsur-unsur pimpinan kelompok sosial kecil, dan wadah lingkungan kecil tempat tinggal warganya. Tiga unsur dari pimpinan itu ialah: tonomotuo (ketua kelompok), tamalaki (kepala pertahanan dan keamanan), dan mbu’akoi (dukun kelompok). Demikian juga kalosara sebagai simbol dari tiga unsur pimpinan desa, adat dalam kehidupan desa, dan wadah desa itu sendiri sebagai tempat pemukiman dari warganya. Tiga unsur pimpinan itu ialah: tonomotuo (kepala desa), pabitara (hakim adat), dan o sudo (wakil kepala desa) (Tariaman, 1993; Suud, 2011). Kalosara juga simbol dari tiga unsur pimpinan distrik atau kecamatan, adat dalam kehidupan di kecamatan, dan wadah kecamatan itu sendiri sebagai tempat tinggal warganya. Tiga unsur itu ialah: putobu (kepala wilayah), pabitara (hakim adat di tingkat kecamatan), dan posudo (aparat pembantu kepala wilayah).
Pada tingkat kerajaan, kalosara sebagai simbol dari tiga unsur pimpinan Kerajaan Konawe dan Kerajaan Mekongga, adat dalam kehidupan kerajaan, dan wadah kerajaan sebagai tempat tinggal dari warga kerajaan. Tiga unsur pimpinan kerajaan itu ialah: mokole (raja), sulemandara (perdana menteri), dan tutuwi motaha (aparat pertahanan). Kalosara juga simbol dari cita-cita politik kerajaan, yaitu: cita-cita kesatuan dan persatuan, kesucian, keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Cita-cita kesatuan dan persatuan disimbolkan dengan lingkaran rotan, cita-cita kesucian dan keadilan disimbolkan dengan kain putih, dan cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan disimbolkan dengan wadah anyaman.
Kalosara sebagai simbol adat, maka yang dimaksudkan adalah kain putih pelapis alas wadah anyaman karena kain putih itu identik dengan kesucian dan keadilan, dan pada tingkat berikutnya mereka menganalogikan segala hal yang suci dan adil yang dilakukan oleh manusia karena berdasarkan ajaran adat. Demikian juga kalosara sebagai simbol dari wadah etnis, wadah desa, wadah kerajaan, maka yang dimaksudkan adalah wadah anyaman tempat kalosara diletakkan, karena wadah anyaman identik dengan wilayah pemukiman penduduk (Tarimana, 1993; Suud, 2011).
Untuk mewujudkan unsur-unsur pimpinan dan mengingatkan ajaran-ajaran adat bagi warganya, serta menyadarkan warga bahwa mereka tinggal dalam satu wilayah pemukiman, dan untuk membangkitkan rasa dan cita-cita kesatuan dan persatuan, kesucian dan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan, maka kalosara selalu digunakan dalam upacara-upacara resmi dalam urusan pemerintahan, seperti: upacara pelantikan mokole di zaman kerajaan, dan upacara-upacara penyambutan adat para pemimpin yang berkunjung di daerah atau di desa-desa. Dalam upacara itu diperdengarkanlah hal-hal dimaksud di atas kepada warga setempat oleh seorang juru bicara pemerintah.
Akhirnya kalosara merupakan simbol dari tiga komponen stratifikasi sosial. Golongan bangsawan disimbolkan dengan lingkaran rotan, golongan orang kebanyakan disimbolkan dengan kain putih, dan golongan budak disimbolkan dengan wadah anyaman. Lingkaran rotan yang diletakkan pada posisi di atas dari kain putih dan wadah anyaman menunjukkan bahwa golongan bangsawan itu adalah pemerintah dan penguasa yang melindungi golongan kebanyakan dan golongan budak. Kain putih yang diletakkan pada posisi di bawah dari lingkaran rotan dan di atas wadah menunjukkan bahwa golongan orang kebanyakan atau pemangku adalah pendukung golongan bangsawan dan pembela dari golongan budak atau rakyat jelata, dan wadah anyaman yang diletakkan di atas kain putih dan lingkaran rotan menunjukkan bahwa golongan budak atau rakyat jelata adalah pendukung golongan pemangku adat dan pemuja golongan bangsawan.
Hubungan sistem kekerabatan dan organisasi sosial dengan kalosara, maka perlu memberi uraian mengenai sikap Masyarakat Tolaki masa kini terhadap kalosara, seperti hasil penelitian Tarimana (1993) yang melibatkan 384 responden, hasilnya menunjukkan sebagai berikut:
1)  Bahwa 86% dari responden masih memandang kalosara sangat berperan sebagai lambang integrasi dan solidaritas masyarakat Tolaki dan perlu dipertahankan untuk masa-masa mendatang, dan 14% lainnya dalam hal tertentu telah berpandangan bahwa kalosara tidak perlu dipergunakan dan dipertahankan.
2)  Dalam hal penggunaan kalosara pada berbagai keperluan menunjukkan tingkat frekuensi berturut-turut sebagai berikut: (a) dalam perkawinan (96%); (b) dalam mengundang (95%); (c) dalam penyambutan pejabat (86%); (d) dalam menghadap pejabat atau tokoh masyarakat (81%); (e) dalam perdamaian (71%); (f) dalam kematian (70%).
3)  Adapun tingkat tidak perlunya penggunaan kalosara dan gejala penyebabnya yang ditunjukkan oleh responden dalam frekuensi-frekuensi di bawah ini adalah sebagai akibat dari beberapa hal tertentu, antara lai sebagai berikut: (a) tingkat pertama dalam kematian (30%) merupakan akibat dari pengaruh ajaran Islam yang menghendaki kecepatan pemakaman karena dengan menggunakan kalosara dapat memperlambat proses pemakaman, (b) tingkat kedua dalam perdamaian (29%) merupakan akibat dari adanya lembaga pengadilan negeri yang dapat menyelesaikan soal-soal sengketa keluarga; (c) tingkat ketiga dalam menghadap pejabat (19%) merupakan akibat dari adanya lembaga perwakilan rakyat yang anggota-anggotanya dapat menyalurkan keinginan mereka; (d) tingkat keempat dalam penyambutan pejabat (14%) merupakan akibat dari adanya sementara pejabat yang tidak mau diperlakukan demikian; (e) tingkat  kelima dalam mengundang (5%) adalah akibat dari adanya cara mengundang dengan surat; dan (f) tingkat keenam dalam perkawinan merupakan akibat dari adanya gejala kawin lari yang kadang-kadang dapat diselesaikan melalui perkawinan di hadapan mahkamah pernikahan.
4)  Bahwa adanya gejala tidak perlunya kalosara dipertahankan penggunaannya dalam berbagai keperluan di atas namun hanya 3% merupakan akibat dari kalangan pemuda yang kurang memahami arti dari makna kalosara.
5)  Khusus mengenai gejala keharusan menaati segala keputusan yang diambil dalam upacara-upacara kalosara terdapat 94% dari rsponden yang tetap bersikap demikian, sedangkan lainnya 6% adalah mereka yang bersikap sebaliknya. Hal ini merupakan akibat dari kurangnya penghargaan terhadap  kalosara  sebagai adat dan kurang dipahaminya hakikat kalosara itu sendiri oleh sebagian kalangan Masyarakat Tolaki.
Kenyataan bahwa tidak ada perbedaan antara golongan pria dan wanita, demikian pula antara golongan Islam dan Kristen, antara golongan pemuda dan orang tua, serta golongan tidak terpelajar dan terpelajar, Masyarakat Tolaki dalam menilai perlu tidaknya kalosara digunakan dan dipertahankan. Hal ini berarti bahwa adanya gejala tidak perlunya kalosara digunakan dan dipertahankan dalam berbagai keperluan yang telah dikemukakan di atas bukanlah disebabkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan perbedaan-perbedaan dalam jenis kelamin, tingkat umur, dan tingkat pendidikan, tetapi sebagai akibat dari gejala dinamika sosial dan perubahan budaya yang sedang terjadi, yang mulai mempengaruhi Masyarakat Tolaki, baik yang tinggal di kota maupun di desa. Jadi hal ini bukan disebabkan faktor latar belakang individu, tetapi faktor kondisi lingkungan sosial budaya yang sedang terjadi.

7.   Hubungan Kalosara dengan Kosmologi dan Sistem Keagamaan
Hubungan antara kosmologi dan sistem keagamaan dengan kalosara terletak dalam tiga hal, yaitu: (1) kalosara sebagai simbol yang mengekspresikan bentuk dan susunan alam semesta serata isinya, baik alam nyata maupun alam gaib, bentuk tubuh manusia dan susunannya; (2) peranan kalosara dalam upacara; (3) pandangan Masyarakat Tolaki bahwa kalosara itu adalah benda keramat (Tarimana, 1993).
Lingkaran rotan adalah simbol dunia atas, kain putih adalah simbol dunia tengah, dan wadah anyaman adalah simbol dunia bawah. Kadang-kadang juga masyarakat menyatakan bahwa lingkaran rotan itu adalah simbol matahari, bulan, dan bintang-bintang; dan kain putih adalah langit, dan wadah siwole (anyaman) adalah simbol permukaan bumi. Mereka juga mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah simbol sangia mbu’u (dewa tertinggi atau Allah), sangia I losoano oleo (dewa di timur), dan sangia I tepuliano oleo (dewa di barat); kain putih adalah simbol dari guruno o wuta sangiano wonua (dewa penguasa kehidupan di bumi), dan wadah anyaman adalah simbol sangia I puri wula (dewa di dasar bumi). Kalosara juga disimbolkan sebagai manusia; Lingkaran rotan adalah simbol kepala manusia; kain putih adalah simbol badan, dan wadah siwole adalah simbol tangan dan kaki.
Hubungan berikutnya adalah terletak pada peranan kalosara dalam upacara. Dalam setiap upacara yang diadakan, kalosara merupakan inti perlengkapan upacara. Kalosara sebagai inti upacara mengekspresikan unsur-unsur dan hubungan antara unsur-unsur upacara yang bersifat timbal-balik dan bersifat integrasi, dan juga menggambarkan maksud dan tujuan upacara. Hubungan antara unsur-unsur upacara yang bersifat timbal-balik itu diekspresikan di dalam bentuk kalo melalui simpulnya, dan hubungan antara unsur-unsur upacara yang bersifat integrasi diekspresikan di dalam posisi kalosara yang ditempatkan di tengah-tengah ruang upacara. Maksud dan tujuan suatu upacara pada umumnya ingin mewujudkan rasa solidaritas sosial di kalangan peserta upacara, rasa kesatuan dan persatuan, dan mewujudkan cita-cita kesucian dan ketentraman, kemakmuran dan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat. Maksud dan tujuan upacara diekspresikan di dalam kalosara melalui bentuknya yang lingkaran sebagai lambang kesatuan dan persatuan, melalui atributnya kain putih sebagai lambang kesucian dan ketentraman, dan melalui atributnya wadah anyaman dari tangkai daun palam sebagai lambang kemakmuran dan kesejahteraan. Selain maksud dan tujuan upacara diekspresikan dalam bentuk atribut kalosara juga diekspresikan di dalam makna dari mantera-mantera dan doa-doa yang diucapkan oleh dukun yang memimpin suatu upacara.
Akhirnya hubungan yang paling erat antara sistem keyakinan Masyarakat Tolaki dengan kalosara itu terletak pada pandangan bahwa kalosara sebagai suatu benda keramat. Pandangan ini bersumber dari konsepsi mereka yang menggambarkan kalosara itu sebagai representasi dari nenek moyang mereka. Bagi Masyarakat Tolaki menghargai,mensucikan dan mengkeramatkan kalosara berarti mentaati ajaran-ajaran nenek moyang mereka. Hal ini berarti berkah bagi kehidupan mereka, dan apabila sebaliknya berarti kualat, durhaka yang akan menimpa mereka.
Memperhatikan ketiga hal tersebut di atas yang menunjukkan letak hubungan antara kosmologi dan sistem keagamaan Masyarakat Tolaki dengan kalosara, maka dapat dinyatakan bahwa kalosara tidak hanya sebagai alat ritus dan upacara, tetapi sekaligus sebagai simbol yang memformulasikan konsepsi-konsepsi Masyarakat Tolaki mengenai alam semesta dan isinya, dan memantapkan perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi Masyarakat Tolaki untuk melakukan sesuatu setelah mereka mengadakan suatu upacara dengan menggunakan kalosara. Masyarakat Tolaki merasa aman dan tentram dalam hidupnya bersama kalosara. Dalam kaitan ini sejalan dengan pandangan Geertz (1983) yang menganggap religi sebagai suatu sistem simbol. 

8.  Hubungan Kalosara dengan Kesenian
Hubungan pertama yang tampak di antara kesenian dengan kalosara adalah dalam bentuk. Hubungan kedua terletak pada makna-makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Bentuk-bentuk disain dalam pola segi empat, lingkaran, ikat, dan pola gambar tumbuhan pakis, pola kepala orang, bentuk-bentuk rias tubuh dalam pola buatan, demikian bentuk benda-benda perhiasan dalam pola lingkaran; bentuk alat-alat bunyi dalam pola buatan; bentuk teknik menari dalam pola lingkaran dan pola gerakan horizontal-vertikal yang membentuk pola segi empat; semuanya menunjukkan corak yang sama dengan bentuk pola kalosara, yakni: lingkaran, ikatan, dan segi empat.
Dimensi diadik dalam pola garis-garis dan segi empat pada disain, pola dua dan empat baris per bait pada puisi, pola gerakan dua-tiga (ke kiri dua langkah, ke kanan tiga langkah) dan membentuk lingkaran, dan pola tiga bergandengan: laki-perempuan laki, atau perempuan-laki-perempuan pada tarian, ide kesatuan dan persatuan yang tercermin dalam pola bulatan pada rias tubuh dan pola lingkaran pada perhiasan; semuanya menunjukkan ide atau asas yang sama pada kalosara, yaitu: asas dualisme, asas triparti, dan asas kesatuan.
   Pencerminan klasifikasi dua, klasifikasi tiga, dan klasifikasi lima pada kalosara.Tiga macam klasifikasi ini dalam makna simbolik dari kalosara. Klasifikasi dua tercermin di dalam unsur dua ujung rotan yang membentuk kalosara. Menurut konsepsi Masyarakat Tolaki, dua ujung rotan itu adalah simbol dari laki dan perempuan, dan semua unsur dua yang saling bertentangan atau yang dapat dipertentangkan, misalnya: jasmani dan rokhani, manusia dan hewan, manusia dan tumbuhan, dunia nyata dan dunia gaib, dan seterusnya.
Makna simbolik dari dua ujung rotan yang menunjukkan klasifikasi dua tampak ketika upacara peminangan. Dalam ruang upacara duduk kelompok peserta upacara dari pihak laki-laki di satu sisi ruangan, dan peserta upacara dari perempuan di sisi yang lain secara berhadap-hadapan. Kedua pihak itu saling bersaingan dalam hal menetapkan jenis dan jumlah mas kawin dan biaya perkawinan yang akan datang. Pihak perempuan meminta banyak dan pihak laki-laki minta sedikit yang satu minta turun, yang lain minta teta tidak turun dari jumlah yang telah dimintanya. Gejala lain di mana dua ujung rotan itu tampak sebagai klasifikasi dua kanan adalah keluarga pengantin perempuan pihak ayah, yang duduk pada posisi kiri adalah keluarga pengantin laki-laki pihak ibu, yang duduk pada posisi muka-belakang adalah masing-masing keluarga dari masing-masing keluarga pengantin laki-laki dari pihak ayah, dan keluarga pengantin perempuan dari pihak ibu. Sedangkan yang duduk di tengah di mana kalosara ditempatkan adalah dua juru bicara dari masing-masing keluarga pengantin dan dua pasang suami-istri, ialah paman-bibi dari masing-masing pengantin, yang duduk saling berhadapan. Demikian juga peserta upacara, misalnya dalam upacara pergantian tahun pertanian, biasanya diatur demikian rupa, sehingga mereka yang mengambil tempat di bagian timur lapangan adalah penduduk yang berasal dari wilayah timur desa,  yang mengambil tempat di bagian barat lapangan berasal dari wilayah barat desa, yang mengambil tempat di bagian utara lapangan berasal dari wilayah utara desa, yang mengambil tempat di bagian selatan lapangan berasal dari wilayah selatan desa, sedangkan mereka duduk di tengah lapangan upacara di mana kalosara dan alat-alat upacara serta bangunan panggung berada adalah dukun upacara yang dikelilingi oleh para tokoh adat dan tokoh masyarakat setempat (Suud, 2011).
Kenyataan-kenyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa kalosara  dalam upacara merupakan simbol dari unsur-unsur klasifikasi lima. Kalosara dalam fungsinya sebagai pengikat rumah, juga melambangkan unsur-unsur klasifikasi lima, berdasarkan asosiasi Masyarakat Tolaki yang mengidentifikasi kalosara dengan tiang tengan rumah, di mana tiang tengah rumah berfungsi sebagai pusat tata ruang rumah yang mencerminkan unsur-unsur ruang rumah, yaitu: sisi kanan-kiri-muka-belakang-pusat rumah.


C.    Keterkaitan antara Multikulturalisme dengan Kalosara
Timbulnya pertentangan sosial bisa terjadi kapan saja, di mana saja, baik antar perorangan atau antar kelompok dalam satu enis tetentu, maupun antar etnis yang dapat meresahkan masyarakat dan mengamcam persatuan. Konflik yang sering muncul di masyarakat, seperti masalah sengketa hak atas tanah, masalah perkawinan, pinangan ataupun masalah warisan juga diselesaikan dengan menggunakan kalosara (Su’ud, 2008). Begitu juga masalah sengketa perbatasan antar desa yang seringkali sulit dipecahkan/diselesaikan oleh pemerintah, akhirnya diselesaikan secara adat melalui kalosara. Kebudayaan Tolaki dengan instrumen Kalosara menjadi  alat dominan dalam penyelesaian setiap sengketa. Misalnya, dalam penyelesaian sengketa tanah, maka pemerintah setempat bersama tokoh masyarakat dan kepala adat melakukan kegiatan mosehe (pencucian/penyehatan negeri) (Tarimana, 1993). Upacara mosehe merupakan upaya rekonsiliasi antara pihak-pihak yang bertikai.
Terkait dengan itu, maka Tilaar (1999) menyatakan perlu adanya kajian etnografi agar dapat memberikan sumbangan dalam upaya untuk mengerti keragaman budaya di Indonesia secara konkrit dan dapat dijadikan landasan nyata dan terpercaya dalam proses pembangunan masyarakat dan bangsa.
Dalam Masyarakat Tolaki filsafat kehidupan berakar pada ungkapan Inae kosara iee pinesara; inae liasara iee pinekasara=siapa yang tahu adat akan dihormati; siapa yang melanggar adat akan dikasari/tidak akan dihormati. Dari filsafat ini kemudian tersimpul dalam simbol kalosara yang mengatur tata hubungan antar manusia dan lingkungannya (Tamburaka, 2004). Orang yang patuh pada adat/norma  adalah orang beradab atau disebut kosara,  orang seperti ini akan dihormati dan disegani oleh masyarakat. Orang yang menolak adat disebut matesara (mati adat), dan orang yang melampauhi ketentuan adat disebut liasara (Al-Mashur, 2015).
Dalam hubungan antar anggota masyarakat ini, terdapat unsur-unsur yang mengandung nilai filsafat  tinggi. Mereka menjadikannya sebagai tongkat pegangan untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Adapun jenis budaya hasil karya dan cipta yang mempunyai nilai sosial tinggi dan merupakan perwujudan karakter positif yang lahir dari etnopedagogik melalui media kalosara menurut Hafid (2015) antara lain:
1.    Kohanu
Kohanu, sering disebut dengan budaya malu. Kohanu, merupakan sistem pertahanan moral bagi diri sendiri, misalnya ada orang yang dikatakan malas bekerja, maka selanjutnya mereka menerapkan budaya kohanu ini dengan cara lebih tekun dan rajin dalam bekerja, sehingga sebutan sebagai pemalas akan hilang dari dirinya, berganti dengan sebutan pekerja keras yang rajin dan tekun. Secara tidak langsung budaya ini mengajak setiap orang untuk selalu memaksimalkan tenaga maupun pikiran yang dimilikinya untuk memajukan dia sendiri atau anggota kelompok yang lain.

2.    Merau
Merau, adalah budaya yang mengajak orang untuk selalu mengedepankan sikap sopan dan santun dalam pergaulan, serta mau memberikan rasa hormat bagi semua anggota masyarakat Tolaki maupun orang lain.

3.    Samaturu
Samaturu, merupakan salah satu budaya yang mengutamakan hidup untuk selalu menjalin persatuan, suka menolong orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan dengan senang hati. Ini juga merupakan wujud dari gotong royong yang menjadi pandangan hidup utama dari Suku Tolaki.

4.    Taa Ehe Tinua-Tuay
Taa ehe tinua-tuay, merupakan ajakan untuk selalu merasa bangga karena menjadi bagian dari Masyarakat Tolaki. Sesungguhnya budaya ini menjadi bagian dari kohanu, namun karena adanya suatu perbedaan yang bersifat mengutamakan kemandirian, maka budaya yang satu ini selanjutnya dipisah menjadi budaya sendiri.

5.    O’Sapa
Istilah o’sapa ialah semacam aturan-aturan klasik yang mengatur hubungan hukum antara manusia dengan hewan. Hubungan-hubungan itu timbul manakala manusia melakukan pemburuan (berburu) terhadap binatang liar seperti kerbau, rusa dan anoa, dengan menggunakan tombak, menggunakan anjing, perangkap, dan alat-alat penangkap lainnya, Aturan-aturan o’sa­pa itu berwujud ketaatan/kepatuhan setiap orang/pemburu mengambil bagian dari jerih payah yang tidak menyalahi ketentuan o’sapa, misalnya: Apabila binatang buruan itu mati berkat bantuan peralatan tombak dan anjing, maka bagian tertentu dari daging kerbau atau rusa itu, harus diberikan kepada anjing (pemilik anjing) dan tombak (yang menombak pertama) diluar dari bagian tertentu yang biasa diberikan/diambil/dikuasai si pemburu (3/4 bagian) dan bagian penguasa wilayah untuk daging dan tulang-tulang tertentu. Apabila binatang, tersebut adalah binatang liar, tetapi bekas binatang peliharaan, maka aturan pembagiannya telah tertentu pula bagi pemburunya, untuk anjing, untuk tombak dan untuk penguasa wilayah/puutobu atau kepala kampung.
Aturan-aturan pembagian itulah disebut O’sapa, yang menurut kaidah hidup bermasyarakat harus dipatuhi oleh  anggota Masyarakat Tolaki termasuk Penguasa/Raja. Bila aturan hukumnya tidak dijalankan, maka da­pat menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat dan negeri.

6.    O’wua
Istilah O’wua merupakan seperangkat aturan/ketentuan hukum yang mengatur tata-cara bercocok tanam, merambah hutan, menanam padi, dan aturan-aturan ini harus ditaati oleh semua Suku Tolaki termasuk Penguasa/Raja. Apabila dilanggar maka negeri/penduduk dapat menderita kekurangan pangan mengalami musim paceklik, ini suatu hal yang sangat ditakuti oleh Suku Tolaki.

7.    O’lawi
Istilah o’lawi ialah seperangkat aturan dasar tentang pemberian upah, imbalan jasa, pembagian kerja dari seorang majikan pemilik kebun padi atau pemilik pohon sagu, atau pemilik pohon buah-buahan yang di­dikerjakan oleh seseorang atau beberapa orang pekerja upahan (toono mehawe, pasaku, pa mone dan lain-lain) dengan upah atau bagian-bagian tertentu. Ketentuan pembagian tersebut harus dipatuhi dengan sa­dar oleh semua orang termasuk penguasa/mokole.

8.    O’liwi
O’liwi ialah seperangkat pesan, nasihat dan petunjuk hidup yang ditinggalkan/diwasiatkan seseorang untuk diikuti oleh anak cucu /generasi berikut dari para leluhur, secara turun‑temurun terutama dalam hal ini dapat disamakan dengan Yurisprudensi artinya putusan hakim tertinggi yang telah berlaku tetap dan dapat dicontoh oleh hakim-hakim berikutnya da­lam perkara yang sama maupun selainnya (Hafid, 2012).
Kedelapan jenis aturan tersebut, berwal dari kalosara dan juga berakhir pada kalosara. Kondisi tersebut terjadi karena kalosara merupakan norma tertinggi dalam kehidupan social, sehingga berfungsi sebagai landasan filosofis dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian implementasi kalosara dapat ditelaah secara empiris, misalnya sejauhmana kalosara dijadikan media untuk mentransformasikan pengetahuan, nilai, dan keterampilan dari seorang kepada orang lain baik secara individual maupun kelompok. Secara cultural semua aktivitas social harus disandarkan pada kalosara, sehingga tidak satu orangpun anggota masyarakat Tolaki yang tidak pernah menyaksikan alat  kalosara,  termasuk menjadi partsipan dalam kegiatan implementasi pemanfaatan kalosara.
Upaya kristalisasi nilai-nilai tersebut, maka pemerintah Kerajaan Konawe dahulu kala telah mendirikan suatu lembaga pendidikan pengkaderan calon pemimpin yang bernama Inae Sinumo yang berkedudukan di Abuki mirip dengan fungsi Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Melalui lembaga Inae Sinumo  ini diharapkan internalisasi nilai-nilai kalosara dapat dipertahankan dan dikembangkan oleh seluruh lapisan masyarakat, yang senantiasa didukung dan dipelopori oleh pemimpin yang benar-benar memahami dan berkomitmen mengembangkan kalosara dalam kehidupan masyarakat Tolaki. 
Kalosara difungsikan baik sebagai penyebab suatu kegiatan/acara, maupun sebagai akibat. Contoh sebagai penyebab: Dalam suatu rangkaian pernikahan, kalosara wajib diadakan sebagai instrument utama adat, jika tidak ada maka acara tidak bisa dilaksanakan. Contoh sebagai akibat: jika terdapat dua orang yang berselisih paham, maka untuk mendamaikan harus diadakan kalosara (Hafid, 2012). Akhirnya, apapun aktivitas masyarakat Tolaki, maka kalosara harus ada atau aktivitas seseorang dan kelompok orang harus selalu bersandar pada kalosara.

D.    Prospek Pemanfaatan Kalosara dalam Kehidupan Modern
Prospek pemanfataan kalosara dalam kehidupan modern sangat dibutuhkan, karena dewasa ini diperlukan sutau instrument konktit yang dapat dijadikan pedoman dalam mengarungi kehidupan social sehari-hari. Perkembangan dimana masyarakat yang begitu cepat dan kompleks, sehingga tidak ada lagi sutu daerah atau komunitas yang tertutup sama sekali dari pergaulan antar etnis dan antar latar budaya, akan tetapi di sisi lain sering timbul gesekan antar individu dan antar kolompok masyarakat dari latar budaya yang berbeda. Dalam situasi seperti ini kalosara diperlukan kehadirannya untuk dapat mencegah dan atau menyelesaikan masalah, seperti beberapa kasus diuraikan berikut ini.

1.    Kasus Sengketa Tanah
Sengketa pertanahan di daerah bermula ketika pemerintah menempatkan warga transmigrasi di beberapa wilayah di daerah ini. Menurut Karsadi (2002) sejak penyelanggaraan program transmigrasi di Kabupaten Kendari dengan menempatkan transmigran dalam jumlah yang relatif besar telah berdampak terhadap menyempitnya lahan pertanian secara tradisional. Keberadaan lahan-lahan pertanian tradisional seperti diungkapkan hasil penelitian Su’ud (1986) dan Tawulo (1991) yang menunjukkan sebagai tanah hak adat, yakni: (1) waworaha adalah di atas sebidang tanah terdapat tanaman lama yang ditinggalkan oleh pemiliknya, (2) walaka adalah tempat menggembala atau memelihara ternak kerbau, (3) o epe adalah rawa-rawa tempat tumbuhnya tanaman sagu, (4) anasepu atau anahoma adalah hutan bekas ladang baru atau masih diketemukan bekas jerami (5) o sepu adalah hutan bekas ladang yang telah berumur sekirtar 6 tahun lebih dan setelah itu di olah kembali, dan (6) pinokotei adalah empang alam yang luas yang telah diurus dan dirawat dan menjadi haknya secara turun temurun.
Kasus sengketa tanah di Kecamatan Unaaha Kabupaten Kendari tahun 1994 antara Warga Desa Puosu (Komunitas Tolaki) dengan Warga Transmigrasi berhasil dieselesaikan berkat adanya kalosara, yang difasilitasi oleh Bupati Kendari. Secara operasional Bupati meminta tokoh masyarakat dari kedua belah pihak, untuk melakukan pertemuan, selanjutnya dibentuk tim mediasi dari 2 orang tokoh masyarakat Tolaki, satu orang melakukan komunikasi secara intensif dengan tokoh dan kelompok masyarakat trasmigran dan satu orang melakukan komunikasi dengan masyarakat Tolaki. Kedua tokoh berupaya mengidentifikasi aspirasi kedua belah pihak.
Bagi pihak Tolaki menghendaki tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat Bali harus dikembalikan kepada pemilik yang sah dengan membatalkan sertifikat, sedangkan pihak masyarakat transigran menghendaki pengakuan tanah yang telah dimiliki dan telah disertifikatkan. Solusi yang akhirya disepakati adalah tanah yang telah dimiliki oleh warga trasmigran dibagi dua, satu bagian tetap menjadi milik warga transmigran, dan satu bagian dikembalikan kepada pemilik awal yang sah secara adat. Puncak kesepakatan dilaksanakan dalam upacara mombesara (Upacara Pembersihan Negeri) dengan membawa Kalosara dari pihak warga transmigran di bawah bimbingan seorang mediantor dari tokoh masyarakat Tolaki, selanjutnya kalosara diletakkan di tengah-tengah kedua belah pihak yang berkonflik. Dalam suasana seperti ini kedua belah pihak menyatakan siap berdamai dan menyatakan saling memaatkan. Setelah pertistiwa ini, maka tidak ada lagi konflik di antara kedua komunitas tersebut, dan penyelesaian ini tidak ada yang dirugikan, dan kehadiran kalosara dalam konteks ini sebagai intrumen menyejuk hati yang membawa pihak-pihak yang bersengketa untuk dapat melakukan komunikasi yang yang santun dalam menyelesaikan masalah secara damai tanpa mengorbankan banyak tenaga, dana, dan waktu.
Terkait dengan itu Abdoerahman (2005) menyatakan bahwa dalam perkembangan masyarakat Indonesia menuju masyarakat modern telah terjadi dan selalu terjadi kontak antar etnis. Batas-batas wilayah bukan penghalang bagi terjadinya migrasi kelompok etnis dari wilayah hukum adat tertentu memasuki wilayah hukum dari kelompok etnis yang lain, sehingga melahirkan berbagai perbuatan hukum yang bersifat lintas wilayah hukum adat dan tunduk pada prinsip hukum antar adat.
Prinsip umum dipakai pada Masyarakat Minang adalah “Dimana bumi dipijak disana langit dijunjung”, ungkapan sejenis pada Masyarakat Bugis adalah “Tegai-tegai sore lopie konitu saro mase”, artinya: dimana kita berada disitu kita harus menghargai budaya setempat, akan tetapi prinsip ini sering tidak sepenuhnya ditaati, karena satu kelompok etnis tertentu sekalipun berada di wilayah hukum adat yang lain secara kaku masih ingin melaksanakan hukum adatnya sendiri dan ini secara lamiah dapat dibenarkan. Akan tetapi bagi masyarakat pendatang awal (masyarakat asli) di wilayah hukum tertentu hal ini dianggap pelanggaran.  Hal inilah yang sering menimbulkan konflik antar etnis. Dalam kaitan ini menurut Abdoerahman (2005) pelaksanaan hukum adat, mulai dipikirkan tentang peranan hukum adat untuk melakukan solusi konflik melalui revitalisasi hukum adat.

2.    Kasus Sengketa Politik
Era otonomi daerah sering menimbulkan sengketa politik baik antara individu internal satu partai politik, antar partai politik, maupun sengketa pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). Belum banyak memanfaatkan instrumen adat lokal (local genius) untuk dijadikan media penyelesaian sengketa politik tersebut.
Selama ini proses pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah sering menimbulkan gesekan diantara kelompok pendukung masing-masing. Tidak sedikit konflik sampai di meja hijau/Mahkamah Konstitusi, dan beberapa pelanggaran harus berakhir di pengadilan. Sementara instrumen Kalosara memungkinkan untuk dapat digunakan sebagai media penyelesaian perselisihan secara damai, dengan biaya yang relatif murah.
Terkait dengan itu pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Nagara Kesatuan Republik Indonesia”. Sedangkan pasal 281 ayat (3) menyebutkan bahwa “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Penegasan lebih lanjut tertuang dalam pasal 6 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan: Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, peradaban dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah. Kemudian pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Desa, yang merupakan ketentuan Pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999, dan pasal 1 ayat (9) Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejalan dengan itu, maka konflik akibat Pemilihan Kepala Daerah dapat dimediasi melalui instrument adat-istiadat dan lembaga adat. Dalam situasi sosial politik tersebut memerlukan solusi dalam bentuk kalosara yang melibatkan lembaga adat Tolea/Pabbitara untuk melakukan rekonsiliasi antara individu dan atau kelompok-kelompok sosial politik yang berkonflik. Kehadiran tokoh adat Tolaki sangat penting untuk tampil menjadi pelopor dari solusi konflik dengan menampilkan instrumen kalosara  sebagai media utama yang dapat diterima oleh kelompok yang bertikai atau kelompok lain yang ada di sekitarnya.

3.    Kasus Kawin Lari
Kasus kawin lari dimana keluarga perempuan melakukan tuntutan kepada keluarga pihak laki-laki dalam bentuk dendam yang mengarah kepada pembunuhan. Akan tetapi bagi masyarakat Tolaki, ketegangan pihak perempuan dapat diredam dengan membawakan kalosara. Jika kalosara dihadirkan dihadapan pihak keluarga perempuan, maka yang bersangkutan tidak bisa melakukan reaksi, jika dia tetap bereaksi maka akan diberikan sangsi adat dan akan dihukum secara fisik oleh segenap masyarakat setempat. Sebaliknya, jika ia menerima kehadiran kalosara, maka keluarga pihak perempuan diberi kesempatan untuk mengajukan tuntutan sebagai solusi adat, berupa: 1 pis kain kaci dan 1 ekor kerbau sebagai peohala (denda) yang harus dibayar pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan (Suud, 2011).  Setelah ditunaikan oleh pihak laki-laki, maka terjadilah perdamaian.
Sehubungan dengan itu, maka dalam Konferensi tentang Hukum di Singapura tahun 2003 telah mengidentifikasi pranata-pranata hukum dari negara-negara ASEAN termasuk Indonesia yang kaya dengan berbagai lembaga hukum yang berasal dari hukum adat untuk dikembangkan lebih jauh. Salah satu diantaranya adalah lembaga mediasi yang mempunyai basis kuat dalam system musyawarah dari Bangsa Indonesia (Abdoerahman, 2005).
Dalam proses perdamaian secara adat, tidak bermaksud merugikan pihak tertentu, tetapi melalui instrument adat, maka proses penyelesaian dapat dilakukan secara damai, sehingga tidak menimbulkan masalah yang berkelanjutan dan pada akhirnya dapat menghemat tenaga dan pikiran dan hubungan social dapat kembali berjalan normal.

4.    Kasus Pembunuhan
Kasus penyelesaian pembunuhan dapat diselesaikan dengan hukum Adat Tolaki yaitu adanya konsensus antara keluarga korban dengan pihak pelaku yang disaksikan oleh toono motuo, kapala kambo/kapala desa, pabitara untuk berdamai. Pelaku harus memenuhi permintaan keluarga korban dengan menghadirkan kalosara. Secara empiris  bahwa sesuai ketentuan adat bahwa pelaku harus menanggung denda berupa: (1) satu pis kain kaci sebagai pengganti pembungkus mayat, (2) ongkos pesta kematian, dan (3) satu ekor kerbau sebagai tanda berkabung. Diadakan perdamaian dengan jalan upacara mosehe yaitu upacara perdamaian antara keluarga korban dan keluarga pelaku dengan menghadirkan kalosara di hadapan kedua belah pihak.
Terkait dengan ini, maka perlu pelibatan konsepsi local tentang status dan peran social yang ada dalam masyarakat. Kepemimpinan local di berbagai tempat telah terbentuk sebagai respon masyarakat atas tekanan-tekan dalam berbagai bentuk yang mereka hadapi selama puluhan tahun. Kepemimpinan local di NTT terbukti mampu melestarikan lingkungan hutan dan kayu cendana. Akibat pengingkaran status terhadap mereka dengan peralihan HPH menyebabkan kerugian yang sangat besar, terutama karena pencurian dan pembakaran hutan tidak tidak ditabukan lagi akibat hilangnya pemimpin tradisional. Demikian juga status dan peran ulama di Aceh, Sumatera Barat, atau Madura yang berubah sejalan dengan proses formalisasi kepemimpinan yang kemudian hanya pemimpin formal yang dilegitimasi telah menyebabkan terganggunya system social masyarakat. Konflik yang muncul tidak mudah lagi diselesaikan karena otoritas yang baru tidak mendapatkan legitimasi secara adat dan hokum setempat  (Abdullah, 2003). Fakta ini juga yang kemudian menyebabkan kemudian hilangnya suatu struktur media (Berger, 1991) dalam masyarakat yang mampu menjembatani komunikasi antara pemerintah dan rakyat.

5.    Kasus Tambang
Penemuan tambang nikel dan emas di beberapa wilayah Sulawesi Tenggara, menyebabkan masuknya berbagai perusahaan yang berusaha memiliki Kuasa Penambangan. Berbagai cara untuk memperoleh tanah sebagai wilayah penambangan diantaranya membeli tanah masyarakat setempat, dan atau pembebasan dari Pemeruntah Daerah yang merupakan tanah ulayat. Namun dalam pengelolaannya sering menimbulkan masalah, diantaranya: masalah AMDAL, baik dalam aspek lingkungan alam berupa pencemaran maupun masalah social, berupa klaim masyarakat sekitar akan lahan yang diolah perusahaan merupakan tanah ulayat atau kurang dilibatkannya masyarakat sekitar dalam pengolahan tambang dalam bentuk keterlibatan sebagai tenaga kerja.
Konflik antara masyarakat pendatang/migran awal (penduduk asli) dengan masyarakat pendatang/migran akhir (transmigran/Pengelola Pertambangan/perkebunan), selain di Sulawesi Tenggara, juga ditemukan di beberapa daerah lain seperti: di Sumatera Selatan antara PTPN dengan masyarakat migrant akhir sebagai pengelola Perkebunan (Purba, 2003).
Kondisi tersebut merupakan suatu titik rawan di Sulawesi Tenggara, karena telah terbukti dirasakan dampaknya di berbagai wilayah di Nusantara yang sering menimbulkan konflik, karena itu pemanfaatan kalosara sebagai suatu bentuk pendekatan yang bersifat sosiologis dan antropologis sebagai suatu hukum local yang merupakan fenomena yang hidup dan tetap dipertahankan karena mempunyai landasan budaya yang sifatnya khas. Karena itu menurut Abdoerahman (2005)  lebih mengutamakan “Pluralisme Hukum” dari pada mengusahakan adanya Unifikasi Hukum. Adanya keragaman budaya pada masa sekarang sudah diakui sebagai salah satu hak asasi yang harus dihormati oleh Negara, pemerintah, hukum, dan masyarakat.
Untuk itu, bagi masyarakat Tolaki perlu memelihara peran pabitara (juru bicara adat) yang selalu hadir menjadi mediasi dalam berbagai permasalahan masyarakat dengan memanfaatkan istrumen kalosara. Demikian pula peran Tolea yang selalu hadir dalam urusan peminangan, pernikahan, dan perceraian juga memanfaatakan instrument kalosara.

E.  Penutup
Suku Tolaki yang mendiami jazirah Tenggara Pulau Sulawesi dalam dinamikanya memiliki instrumen adat yang mengatur segenap tata tingkah laku masyarakat yang disebut kalosara. Kalosara sebagai instrumen utama tata kehidupan masyarakat sampai di era sekarang ini masih eksis dipertahankan oleh segenap lapisan masyarakat, terutama dalam kehidupan sosial budaya. Dengan demikian seiring dengan perkembangan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan melahirkan berbagai permasalahan termasuk dalam tataran politik dan ekonomi, maka kehadiran kalosara sebagai instrumen solusi perlu dipertahankan dan dikembangkan.
Berbagai masalah telah terbukti berhasil diatasi melalui pemanfaatan kalosara. Masalah sengketa tanah, masalah politik, masalah perkawinan, dan masalah kriminalitas terbukti kehadiran kalosara sebagai solusinya. Pemanfaatan kalosara sebagai media solusi, dapat menjadi model bagi masyarakat lain, karena pilihan ini dapat berjalan dengan mudah dan biaya yang murah.
Peran pabitara selaku tokoh masyarakat Tolaki perlu dilestarikan dan dikembangkan untuk menjadi mediasi dalam penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi masyarakat dengan memanfaatkan kalosara  sebagai instrumen utama. Demikian pula peran tolea selaku pemangku adat yang berkompeten memimpin rangkaian pelaksanaan upacara perkawinan yang memegang adat kalosara.

F.     Penilaian
1.   Jelaskan pengertian kalosara
2.   Uraikan 4 fungsi kalosara
3.   Jelaskan hubungan antara sistem teknologi tradisional dengan kalosaranya!
4.   Jelaskan hubungan antara sistem kekerabatan dengan kalosara dalam dua aspek!
5.   Jelaskan hubungan antara kosmologi dengan kalosara!
6.   Jelaskan pencerminan kalosara pada:
a.    klasifikasi dua
b.   klasifikasi tiga
c.    klasifikasi lima
7.   Bagaimana peran pabitara dalam kehidupan social Masyarakat Tolaki?
8.   Bagaimana peran tolea dalam kehidupan social Masyarakat Tolaki?
9.   Uraikan 4 jenis karakter positif yang lahir dari etnopedagogik melalui media kalosara!
10.  Jelaskan peran kalosara dalam penyelesaian sengketa tanah antar etnis!
  




DAFTAR PUSTAKA

Abdoerahman. 2005. “Hukum Adat Indonesia dalam Lingkungan Lokal, Nasional, dan Global”. Dalam Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Sadat dalam Perspektif Sejarah. Editor: Supriyoko. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Abdullah, Irwan. 2005. “Otonomi dan Hak-hak Budaya Daerah”. Dalam Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Sadat dalam Perspektif Sejarah. Editor: Supriyoko. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Al-askur, Arsamid. 2015. Kearifan Lokal tentang Tandua-Anandulura dan Sala Anggo. Kendari: Barokah Raya.
Berger, Peter. 1991. Cocial Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. New York: Penguin Books.
Geertz, Clifor. 1983. Local Knowledge: Furter Essays in Interpretive Anthropology: New York: Basic Books, Inc. 
Hafid, Anwar. 2012. Kalosara Sebagai Instrumen Utama  Dalam Kehidupan Sosial Budaya Suku Tolaki di Sulawesi Tenggara. Makalah Disajikan dalam Prakongres Kebudayaan Indonesia di Jakarta, Tanggal 27-29 November 2012.
Hafid. Anwar. 2015. “Analisis Fungsi Kalosara Sebagai Media Etnopedagogi dalam Pengembangan Karakter Bangsa di Sulawesi Tenggara”. Makalah Disajikan Pada Seminar Nasional “Meretas Strategi Pembelajaran Inovatif Berbasis Seni Budaya”, di Kendari, 5 April 2015
Idaman. 2012. Kalosara sebagai Medium Resolusi Konflik Pertanahan pada Masyarakat Tolaki di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. http://idamanalwi.multiply.com/journal. Akses, 5 Oktober 2012
Karsadi, 2002. Sengketa Tanah dan Kekerasan di Daerah Transmigrasi: Studi Kasus di Lokasi Pemukiman Transmigrasi di Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara. Desertasi Doktor Sosiologi, PPS UGM Yogyakarta.
Koentjaraningrat.  1981. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Langer, S.K. 1978. Philosophy in a New Key: A Study in the Simbolism of Reading, Rite and Art. Cambridge: Harvard University Press.
Linton, R. 1984. The Study of Man (Antropologi Suatu Penyelidikan Manusia). Diterjemahkan oleh Firmansyah. Bandung: Jemmars.
Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.
Mussem, P dan M. R. Rosenzweig. 1973. Psyochology: An Introduction. London: D.C. Healt & Company.
Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Poedjawijatna. I. R. 1997. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Purba, Rehngena. 2003. ”Tanah dan Permasalahannya dalam Masyarakat Hukum Adat”. Dalam Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Sadat dalam Perspektif Sejarah. Editor: Supriyoko. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Su’ud, Muslimin, 1986. Asas-Asas Hukum Adat Pertanahan Masyarakat Tolaki. Kendari: Balai Penelitian Universitas Haluoleo.
Su’ud, Muslimin, 2008. Aneka Ragam Kebudayaan Tolaki. Kendari: Universitas Haluoleo.
Su’ud, Muslimin, 2012. Kompilasi Hukum Adat Perkawinan di Sulawesi Tenggara. Kendari: HISPISI Cabang Sultra.
Tamburaka, Basaula. 2015. Hukum Adat Perkawinan Tolaki. Kendari: Barokah Raya.
Tamburaka, Rustam E, dkk. 2004. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun. Kendari: Unhalu Press.
Tarimana, Abdurrauf. 1995. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.
Tawulo, Asrul, 1991. Mondau Sebagai Sistem Perladangan Masyarakat Tolaki dan Pengaruhnya Terhadap Kelesatarian Sumber Daya Hutan di Kabupaten Kendari. Kendari: Balai penelitian Universitas Haluoleo.
Tilaar, H.A.R. 1999.  Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
 Tondrang, Azis, 2000. Peranan Kalosara dalam Pembentukan Karakter Masyarakat Tolaki. Unaaha: Makalah dalam Rangka Musyawarah Adat I Suku Bangsa Tolaki.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 1945.  Jakarta. Republik Indonesia.
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah. Jakarta: Sekretariat Negara RI.

 
*) Bagian dari Buku yang diterbitkan Balitbang KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN-JAKARTA-2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar