ORAL TRADITION
AS MEDIA ROLE IN LEARNING LITERACY PROGRAMS ENVIRONMENT IN COMMUNITY BAJO IN
SOUTH EAST SULAWESI
By: Anwar Hafid
Email: anwarhapide@yahoo.com
ABSTRACT
During this oral
tradition is widely seen as a static and less able to contribute in the
development of society. But on the other hand require media community
empowerment that comes from the social and cultural background. Some
communities are still developing their oral tradition, so it can still be used
to maintain local identity and pride, build social cohesion and even to be sold
as a commodity. Unlike the situation in Bajo community almost negate the
efforts of preservation and development of their oral tradition. Nonetheless,
the oral tradition potential to be developed as a learning instrument can still
be found in passive heir, among others: (1) pantun/rhyme, spoken in the form of
standing with unrequited rhyme, and rhymes into a variety of dance Modero,
where rows of men reciprocated rhymes with rows of women, (2) iko-iko
(folklore), spoken in a variety of situations: while in the course of
seagoing/while waiting for the fish meal fishing rods, when sitting together
with family relatives, while a series of ceremonies life cycle; (3) Nauya
(song), spoken when menina-bobokkan child, while a series of ceremonies life
cycle; and (4) Mantra, spoken by related purposes livelihood activities at sea,
treatment activities, a series of ceremonies life cycle. The tradition, still
persist in certain individuals who generally berusian further, so that its
existence is feared to be extinct. This phenomenon is, in contrast to the
learning needs of society Bajo condition that still bears many illiterate. The learning
phenomenon the context of non-formal education for this, Bajo people are less
motivated because of the tutors who teach them are generally used as a
conventional learning where learning in school. Indeed during the oral
tradition only serves normative, but in its development can function
practically including in education. Fungisi practical oral tradition will be
able to change the individual to a more powerful, if used in the learning
process by giving it a fresh new look in it, including the media can be used in
teaching functional literacy. Results of recent tests in functional literacy
learning in the arts community that utilizes Bajo Modero that uses isntrumen pantun,
demonstrate their learning motivation is quite high.
PERANAN TRADISI
LISAN SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN PADA PROGRAM PEMBERANTASAN BUTA AKSARA DALAM LINGKUNGAN KOMUNITAS
BAJO DI SULAWESI TENGGARA
ABSTRAK
Selama ini tradisi lisan banyak dipandang sebagai suatu yang
statis dan kurang mampu memberikan kontribusi dalam pengembangan masyarakat.
Namun di sisi lain upaya pemberdayaan masyarakat memerlukan media yang bersumber
dari latar belakang sosial budayanya. Beberapa komunitas masih tetap mengembangkan
tradisi lisannya, sehingga masih bisa digunakan untuk mempertahankan
identitas dan kebanggaan lokal, membangun kohesi sosial dan bahkan untuk dijual sebagai komoditas. Berbeda dengan kondisi dalam komunitas Bajo yang
nyaris mengabaikan upaya pelestarian dan pengembangan tradisi lisannya.
Meskipun demikian, tradisi lisan yang potensial untuk dikembangkan sebagai
instrument dalam pembelajaran masih dapat dijumpai pada pewaris pasif,
diantaranya: (1) pantun, dituturkan dalam bentuk berdiri dengan berbalas
pantun, dan pantun menjadi variasi dari tari modero, di mana barisan laki-laki
berbalas pantun dengan barisan perempuan, (2) iko-iko (cerita rakyat), dituturkan dalam berbagai situasi: saat
dalam perjalanan berlayar di laut/saat menunggu ikan makan pancing, saat duduk
bersama dengan sanak family, saat rangkaian upacara daur hidup;(3) Nauya (lagu), dituturkan saat
menina-bobokkan anak, saat rangkaian upacara daur hidup; dan (4) Mantra, dituturkan berdasarkan keperluan terkait kegiatan
matapencaharian di laut, kegiatan
pengobatan, rangkaian upacara daur hidup. Tradisi tersebut, masih saja bertahan
pada individu tertentu yang umumnya berusian lanjut, sehingga eksistensinya
dikhawatirkan akan mengalami kepunahan. Fenomena itu, berbeda dengan kondisi
kebutuhan belajar masyarakat Bajo yang masih banyak menyandang buta aksara. Kenyataan
dalam pembelajaran pada konteks pendidikan nonformal selama ini, masyarakat Bajo
kurang termotivasi karena para tutor yang mengajar mereka umumnya menggunakan
pembelajaran konvensional sebagai mana pembelajaran di sekolah. Sejatinya
selama ini tradisi lisan hanya berfungsi normatif, namun dalam perkembangannya
dapat berfungsi praktis termasuk dalam dunia pendidikan. Fungisi praktis tradisi
lisan tersebut akan dapat mengubah individu ke arah yang lebih berdaya, jika
dimanfaatkan dalam proses pembelajaran dengan memberi nuansa baru di dalamnya, termasuk
dapat dijadikan media dalam pembelajaran keaksaraan fungsional. Hasil uji coba
terakhir dalam pembelajaran keaksaraan fungsional pada Komunitas Bajo yang
memanfaatkan kesenian modero yang menggunakan isntumen pantun, menunjukkan
motivasi belajar mereka cukup tinggi.
A. Pendahuluan
Tradisi lisan sebagai sebuah bentuk warisan budaya nenek moyang banyak
mengandung nilai-nilai hidup yang berkualitas. Akan tetapi, tradisi lisan yang
dulunya menjadi ciri khas suatu daerah tertentu lambat-laun terlupakan oleh
zaman. Sangat disayangkan jika warisan para pendahulu harus hilang tanpa bekas
hanya karena para orang tua dan tokoh masyarakat gagal mewariskan nilai-nilai
luhur tradisi masyarakat Bajo kepada generasi sekarang.
Dalam konteks persaingan global seperti sekarang ini, perlu dipikirkan
langkah-langkah untuk melestarikan tradisi lisan kepada generasi emas pewaris
kebudayaan. Minimal ada tiga langkah yang perlu dilakukan untuk mempertahankan
hubungan antara masyarakat dengan nilai-nilai tradisinya. Pertama,
inventarisasi. Kegiatan ini mencakup pemilahan nilai-nilai luhur yang cocok
untuk menghadapi tantangan-tantangan yang datang menerjang kebudayaan lokal
Bajo. Dengan demikian, masyarakat Bajo, diharapkan memiliki posisi tawar dan
perisai budaya ketika tantangan datang. Kedua, redefinisi yang mengacu
kepada upaya membuat teks (nilai tradisi) itu mempunyai konteks dengan zaman
sekarang, yaitu masyarakat Bajo yang berpikiran maju, bukan sekadar Bajo yang
berkutat dengan nilai-nilai tradisi tanpa terdorong menatap nilai-nilai masa
depan. Ketiga, revitalisasi, sebagai upaya yang terencana, sinambung, dan
diminati agar nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh para pemiliknya,
tetapi malah membangkitkan segala wujud kreativitas dalam keseharian dan dalam
menghadapi berbagai tantangan. Melalui upaya revitalisasi, maka domain-domain
kebudayaan perlu dikaji ulang dan diberi fungsi baru, tafsir baru termasuk
tradisi lisan dalam masyarakat Bajo, sehingga dapat menjadi instrument dalam
upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam kompetisi global masa
depan.
Sejatinya tradisi
lisan dapat menjadi kekuatan kultural dan salah satu sumber utama yang penting
dalam pembentukan identitas dan membangun peradaban. Tradisi lisan telah
berkembang di Indonesia sebelum masyarakat Indonesia mengenal aksara. Pada awalnya tradisi
lisan tumbuh subur dan berkembang di seluruh Nusantara,
sehingga
menjadi salah satu kekayaan budaya masyarakat
Indonesia. Setelah aksara masuk ke Nusantara, tradisi
lisan tidak hilang, tetapi berkembang beriringan dengan tradisi tulisan.
Berbagai
pengetahuan dalam tradisi lisan yang secara turun-temurun
disampaikan secara lisan yang mencakup tidak hanya cerita rakyat, mitos, dan
legenda, tetapi juga dilengkapi dengan sejarah, hukum adat, dan pengobatan. Makna yang terkandung dalam suatu tradisi lisan adalah
fenomena kontemporer dan tradisi dalam suatu masyarakat yang merupakan warisan
nenek moyang.
Hal-hal yang tercakup
dalam tradisi lisan seperti sastra, budaya, dan sejarah.
Tradisi lisan tentu tidak akan lepas dari sastra yang mengandung nilai estetika. Tradisi lisan juga erat kaitannya
dengan budaya karena berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan
di suatu daerah. Tradisi lisan juga terkait
dengan sejarah, karena merupakan hal yang diwariskan secara turun-temurun. Konteks tradisi lisan
berhubungan dengan masa lalu atau sejarah suatu daerah. Sastra
lisan merupakan salah satu bagian dari tradisi lisan. Sastra lisan disebarkan
dari satu orang ke orang lain secara lisan kemudian prosesnya dilihat,
didengar, kemudian dilisankan kembali. Jadi, yang dilihat dalam tradisi lisan
adalah proses dan hasil melisankan.
Perkembangan tradisi lisan
dalam kehidupan masyarakat, merupakan perwujudan dari usaha dan cara-cara kelompok
tersebut dalam memahami serta menjelaskan realitas lingkungannya, yang
disesuaikan dengan situasi alam pikiran masyarakat di suatu zaman tertentu.
Alam pikiran masyarakat yang dipandang sebagai lahan paling subur bagi
berkembangnya pemikiran seperti itu, menurut Peursen (1976) adalah alam pikiran
mistis. Alam pikiran mistis sangat menjiwai (mendasari) tradisi lisan
masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Cara masyarakat menjelaskan atau
memahami realitas seperti itu, bukan merupakan
suatu kesengajaan untuk mengacaukan fakta dengan khayalan, tetapi memang
merupakan suatu cara dalam menangkap realitas sesuai dengan alam pikiran
mereka. Oleh karena itu, tradisi lisan dalam suatu masyarakat bisa beragam
bentuknya, tegantung masyarakat yang mendukungnya.
Beberapa komunitas masih tetap mengembangkan tradisi lisannya,
diantaranya dalam
komunitas Using/Banyuwangi, terdapat lebih dari empat produk tradisi yang
keberadaannya masih berjaya. Produk-produk tersebut diposisikan sebagai produk
kebudayaan yang bisa digunakan untuk mempertahankan identitas dan kebanggaan
lokal, membangun kohesi sosial (menggalang persaudaraan, kerukunan, dan
persahabatan) dan untuk dijual sebagai komoditas (sebagai seni pertunjukan/industri
kreatif) (Sutarto, 2012).
Berbeda dengan kondisi dalam komunitas Bajo yang nyaris mengabaikan
upaya pelestarian dan pengembangan tradisi lisannya. Meskipun demikian, tradisi
lisan dalam komunitas Bajo masih dapat dijumpai pada pewaris pasif,
diantaranya: pantun, iko-iko, nauya, dan
mantra, yang dikatakan/diungkapkan
oleh penutur dan didengar oleh penonton/orang lain (Hafid, 2012).
Tradisi tersebut, masih saja bertahan pada individu tertentu yang umumnya
berusian lanjut, sehingga eksistensinya dikhawatirkan akan mengalami kepunahan.
Fenomena tersebut, berbeda dengan kondisi kebutuhan belajar masyarakat
Bajo yang masih banyak menyandang buta aksara. Mereka dalam pembelajarannya
selama ini kurang termotivasi karena para tutor yang mengajar mereka umumnya
menggunakan pembelajaran konvensional sebagai mana pembelajaran di sekolah. Sejatinya
selama ini tradisi lisan hanya berfungsi normatif, namun dalam perkembangannya
dapat berfungsi praktis dan pragmatis pada era modern sekarang. Semua fungisi
tradisi lisan tersebut akan dapat mengubah individu ke arah yang lebih berdaya,
jika dimanfaatkan dalam proses pembelajaran termasuk dalam pembelajaran
keaksaraan fungsional. Hasil uji coba terakhir oleh Hafid (2011) dalam
pembelajaran KF pada Komunitas Bajo yang memanfaatkan Pantun/modero (suatu
bentuk tradisi lisan), menunjukkan motivasi belajar mereka cukup tinggi bagi
warga belajar. Kondisi ini member inspirasi bahwa posisi strategis tradisi
lisan dalam dimensi kehidupan masyarakat Bajo tidak dapat diabaikan, sehingga
asset budaya ini dapat dilestarikan dan dikembangkan untuk mendukung
pengembangan sumber daya manusia.
Masalah utama penelitian ini adalah bagaimana peranan tradisi lisan sebagai media pembelajaran pada
program pemberantasan buta aksara dalam
lingkungan Komunitas
Bajo di Sulawesi Tenggara. Selanjutnya diuraikan lebih lanjut
berikut ini.
1.
Bagaimana
jenis-jenis tradisi lisan dalam Komuitas Bajo yang dapat dijadikan media dalam
pembelajaran program pemberantasan buta aksara?
2.
Bagaimana makna
tradisi lisan dalam pembelajaran program pemberantasan buta aksara dalam
Komunitas Bajo?
3.
Bagaimana fungsi
tradisi lisan dalam pembelajaran program pemberantasan buta aksara dalam
Komunitas Bajo?
B. Kajian Pustaka
Perkembangan
tradisi lisan terjadi dari mulut ke mulut, sehingga menimbulkan banyak versi
cerita. Menurut Hutomo (1991), tradisi lisan mencakup beberapa hal, yakni: (1)
berupa kesusastraan lisan, (2) berupa teknologi tradisional, (3) berupa
pengetahuan folklore di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan,
(4) berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan folklore di luar batas
formal agama-agama besar, (5) berupa kesenian folklore di luar
pusat-pusat istana dan kota metropolitan, dan (6) berupa hukum adat.
Sejalan dengan itu Pudentia (1999) memberikan pemahaman
tentang hakikat kelisanan (orality) mencakup segala hal yang
berhubungan dengan sastera, bahasa, sejarah, biografi, dan berbagai pengetahuan
serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke mulut. Jadi, tradisi
lisan tidak hanya mencakup ceritera rakyat, teka-teki, peribahasa, nyanyian
rakyat, mitologi, dan legenda sebagaimana umumnya diduga orang, tetapi juga
berkaitan dengan sistem kognitif kebudayaan, seperti: sejarah, hukum, dan
pengobatan. Tradisi lisan adalah “segala wacana yang diucapkan/disampaikan
secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang beraksara” dan diartikan juga
sebagai “sistem wacana yang bukan beraksara.” Tradisi lisan tidak hanya
dimiliki oleh orang lisan saja. Implikasi kata “lisan” dalam pasangan
lisan-tertulis berbeda dengan lisan-beraksara. Lisan yang pertama (oracy)
mengandung maksud ‘keberaksaraan bersuara’, sedangkan lisan kedua (orality)
mengandung maksud kebolehan bertutur secara beraksara. Kelisanan dalam masyarakat
beraksara sering diartikan sebagai hasil dari masyarakat yang tidak terpelajar;
sesuatu yang belum dituliskan; sesuatu yang dianggap belum sempurna/matang, dan
sering dinilai dengan kriteria keberaksaraan.
Menurut Vansina (2014) tradisi lisan sebagai "pesan
verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa
kini" di mana "pesan itu haruslah berupa pernyataan yang dituturkan,
dinyanyikan, atau diiringi alat musik"; "Haruslah ada penyampaian
melalui tutur kata dari mulut sekurang-kurangnya sejarak satu generasi".
Dia mengemukakan bahwa "Definisi kami adalah definisi yang berfungsi bagi
kalangan sejarawan. Para sosiolog, bahasawan, atau sarjana seni verbal
mengajukan pendekatannya masing-masing, yang untuk kasus khusus (sosiologi)
mungkin saja menekankan pengetahuan umum, fitur kedua yaitu membedakan bahasa
dari dialog (bahasawan) biasa, dan fitur terakhir adalah bentuk dan isi yang
mendefinisi seni (pendongeng). Tradisi lisan dapat didefinisi sebagai kesaksian
yang disampaikan secara verbal dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Persifatan khusus sedemikian adalah tentang keverbalannya dan cara bagaimana ia
disampaikan (Ki-Zerbo, 1990).
Menurut Benninga (2006: 41) seharusnya
pendidikan tidak hanya berkewajiban meningkatkan pencapaian akademis, tetapi
juga bertanggung jawab dalam membentuk karakter peserta didik. Karakter positif
suatu komunitas sebagian tersimpan dalam tradisi lisan termasuk komnitas Bajo
yang selama ini menjadi media pendidikan tradisional mereka (iko-iko, nauya, pantun, dan mantra) Capaian akademis, pembentukan karakter
yang baik, dan jiwa kewirausahaan merupkan tiga misi integral yang harus
mendapat perhatian pendidik termasuk dalam pendidikan KF. Mekipun tuntutan
ekonomi dan politik, seharusnya tidak menyebabkan penekanan output pendidikan
pada pencapaian akademis mengalahkan idealitas peran pendidikan dalam
pembentukan karakter yang dapat menghasilkan manusia yang memiliki daya saing
tinggi. Untuk itu dalam pendidikan harus melibatkan tiga basis desain dalam
programnya, yaitu: kelas, lembaga pendidikan, dan masyarakat/lingkungan sosial
budaya (Raharjo, 2010).
Dalam
tradisi lisan, peranan orang yang dituakan seperti kepala suku atau ketua adat
sangat penting. Mereka diberi kepercayaan oleh kelompoknya untuk memelihara dan
menjaga tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Satu kelompok masyarakat
dengan nilai, norma, tradisi, adat dan budaya yang sama akan mempunyai
jejak-jejak masa lampaunya. Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan
jejak-jejak masa lampaunya disebarluaskan dan diwariskan secara turun temurun
kepada generasi berikutnya secara lisan sehingga menjadi bagian dari tradisi
lisan. Karya-karya dalam tradisi lisan merupakan bagian dari sebuah folklore
(Hutomo (1991).
Tradisi lisan mengandung banyak nilai positif yang
dapat diterapkan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat ataupun bernegara.
Karena pada hakikatnya, tradisi lisan hadir di tengah-tengah masyarakat
tradisional yang menjaga dan memilihara Indonesia dari berbagai aspek
kehidupan. Hal ini terkait dengan adanya pesan moral, kepercayaan, norma yang
dipatuhi masyarakat demi keteraturan sistem sosial, serta nilai pendidikan yang
dapat dijumpai di dalamnya. Namun dalam perkembangannya, eksistensi tradisi
lisan belakangan ini sebagai hasil budaya masa lampau yang ikut membentuk
peradaban nusantara sekaligus menjadi identitas Indonesia, mulai dipertanyakan.
Keberadaan tradisi lisan dewasa ini seharusnya dapat memberikan jembatan untuk
pemahaman kehidupan modern dengan memanfaatkannya sebagai suatu media
pembelajaran, sehingga
permasalahan mengenai nilai kebenaran pada tradisi lisan terkait dengan aspek
ilmu pengetahuan tidak lagi dipertanyakan.
Pendidikan
keaksaraan atau program pemberantasan buta aksara, mencakup: (1) Keaksaraan Dasar,
(2) Keaksaraan Usaha Mandiri, (3) Keaksaraan Keluarga, dan
(4) Keaksaraan Komunitas Khusus. Keaksaraan Dasar adalah upaya pemberian
kemampuan keaksaraan bagi penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas agar
memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung, mendengarkan, dan berbicara
untuk mengkomunikasikan teks lisan dan tulis dengan menggunakan aksara dan
angka dalam bahasa Indonesia. Keaksaraan Usaha Mandiri merupakan upaya penguatan keberaksaraan
melalui pembelajaran keterampilan/usaha yang dapat meningkatkan penghasilan dan
produktivitas seseorang atau kelompok. Pendidikan Keaksaraan Keluarga adalah
upaya pemberdayaan keluarga dengan melatihkan kemampuan berkomunikasi melalui
teks lisan, tulis, dan angka dalam bahasa Indonesia agar mereka dapat
memperoleh, mencari, dan mengelola informasi untuk memecahkan masalah keluarga
dan berperanserta dalam pembangunan. Keaksaraan Komunitas Khusus adalah
merupakan upaya pemberian kemampuan keaksaraan bagi penduduk melek aksara
parsial atau cenderung masih buta aksara atau penyandang Buta Aksara murni yang
memiliki kekhususan tertentu, seperti daerah bencana, penyandang cacat, dan
kelainan lain (Heni, 2013).
Sasaran program keaksaraan dasar adalah penduduk usia
15 tahun ke atas yang melek aksara parsial dan cenderung masih buta aksara
murni. Memperoleh keterampilan dasar untuk
baca, tulis, hitung serta mampu berbahasa Indonesia. Tujuan program KF adalah
memperoleh keterampilan-keterampilan fungsional yang bermakna bagi kehidupan
warga belajar sehari-hari, sehingga, warga belajar mampu untuk meningkatkan
kualitas kehidupannya (Kemendiknas, 2011).
Aspek–aspek dasar KF, meliputi: Pertama,
Keterampilan Dasar, yaitu: keterampilan yang berkaitan dengan kemampuan
calistung warga belajar untuk mengenal huruf, merangkai kata, merangkai
kalimat, membaca dengan lancar tanpa bantuan orang lain, keterampilan menulis,
menulis informasi berdasarkan buah pikirannya sendiri tanpa bantuan orang lain,
keterampilan berhitung dengan menggunakan simbol (+, :, -, x, menjumlah/menambahkan,
membagi, mengurangi, mengali, dan menulis). Kedua,
Keterampilan Fungsional, yaitu: kemampuan warga belajar dalam menggunakan
keterampilan membaca, menulis, berhitung dalam kegiatan sehari-hari, seperti
menulis kwitansi, mengisi formulir, membaca petunjuk, dan menulis surat.
C. Hasil dan
Pembahasan
1. Jenis-jenis
Tradisi Lisan dalam Komunitas Bajo yang Relevan sebagai Media Pembelajaran
Perkembangan tradisi lisan dalam latar masyarakat Bajo hampir semua komponen
seperti yang dikemukakan oleh Hutomo (1991) yang mencakup 6 golongan, namun yang akan menjadi kajian dalam hal ini
mencakup: pantun, iko-iko, nauya, dan mantra, seperti diperikan berikut ini.
a. Pantun
Pantun adalah jenis puisi lama yang merupakan budaya asli Indonesia. Kata pantun
berasal dari akar kata "tun" dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno),
berarti tuntun-atuntun, dalam bahasa Indonesia berarti mengatur. Jadi,
kata pantun adalah sama dengan aturan atau susunan. Pengertian pantun tersebut sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh seorang pengkaji Budaya Melayu bernama R.O. Winsted yang menyatakan bahwa
pantun bukanlah sekadar gubahan kata-kata yang mempunyai rima dan irama, tetapi
merupakan rangkaian kata yang indah untuk menggambarkan kehangatan cinta, kasih
sayang, dan rindu dendam penuturnya. Singkatnya, pantung
mengandung ide yang kreatif dan kritis serta padat kandungan maknanya.
Masyarakat
Bajo mengenal beberapa jenis pantun, seperti: pantun muda-mudi, pantun jenaka, dan
pantun nasehat.
1)
Pantun muda-mudi
Kutiku gambuh pitu ngka’na
Kettu dakau tambang nam
Lako sinona setujuya
Petune kita karuma imam.
Kupetik
gambus talinya tujuh
Putus
satu tinggal enam
Kalau
sinona sudah setuju
Marilah
kita ke rumah imam.
2)
Pantun jenaka
Mubo lambos
marapas lipu
Daung saroko missa bungana
Aha gambus
marawas lipu
Mole ka ruma
missa gunana
Cabut
lambos bunyi semua
Daun
saroko tidak ada bunganya
Orang
gambus bergema-gema
Pulang ke rumah tidak ada gunanya.
3) Pantun Nasehat
Konsep religius
mencakup pesan-pesan seputar ajaran Islam, misalnya: shalat lima waktu, puasa,
zakat, haji, dan membantu orang lain.
Para ellow antara ellow
Nggai samulia jumaha ellow
Parala nabi antara nabi
Nggai samulia Muhammad Nabi
Para bulan antara bulan
Nggai samulia bulan puasa
Para tuan antara tuan
Nggai darua Tuhan Yang Esa
Hai Papuku sugi singsara
Pabillianna ridda mudana
Nggai tareke para pamakarissana
Liwa parana dibunanna ma’na
Banyak
hari antara hari
Tidak
semulia hari Jum’at
Banyak
nabi antara nabi
Tidak
semulia Nabi Muhammad
Banyak
bulan antara bulan
Tidak
semulia bulan puasa
Banyak
tuan antara tuan
Tidak
ada Tuhan Selain Tuhan Yang Esa.
Ya
Tuhanku (Tuhannya) kaya dan miskin
Menjual
pula sangat murahnya
Tidak
terhitung banyak nikmatnya
Limpah karunia
bagi hambanya.
b. Iko-iko
Iko-iko
merupakan salah satu jenis cerita rakyat yang digambarkan oleh Moeliono (1988)
seabagi suatu cerita dari zaman dahulu yang hidup di kalangan rakyat dan
diwariskan secara lisan. Iko-iko merupakan cerita epic yang dinyanyikan secara
capella, dari hafalan seorang penyanyi tunggal. Cerita iko-iko dilantunkan pada
malam hari, saat acara yang beragam (saat menacing semalam suntuk),
peluncuran perahu baru, selamatan rumah baru, dan malam pernikahan. Iko-iko
berdurasi dari satu jam sampai lebih 14 jam (Nuraini, 2013). Cerita Iko-iko
berbentuk prosa, ungkapan berirama yang dikelompokkan dalam cerita yang
dilantunkan dengan vocal panjang yang dinyanyikan. Penggunaan prosa dalam
cerita ini menjadi bagian dari keindahan karya ini: metafora, perumpamaan,
narasi, serta ragam komposisi parallel suatu keunikan dalam Bahasa Austronesia.
Berbagai media yang digunakan untuk
mendokumentasikan sejarah tentang suatu peradaban manusia atau hal-hal lainnya melalui lisan. Bagi Komunitas Bajo telah
mengenal iko-iko yang dijadikan media
dalam penuturan sejarah dan peradabannya sejak dahulu. Iko-iko adalah suatu
proses mendokumentasian sejarah komunitas Bajo secara lisan dalam bentuk
cerita dengan menggunakan bahasa rakyat yang berbasis pada Bahasa/Sastra
Melayu.
Tradisi lisan iko-iko erat kaitannya dengan antropologi karena berhubungan dengan
masyarakat dan kebudayaan Etnis Bajo di berbagai daerah. Iko-iko merupakan sastra lisan, karena disebarkan dari satu orang
ke orang lain secara lisan kemudian prosesnya dilihat, didengar, kemudian
dilisankan kembali. Jadi, yang dilihat dalam tradisi lisan adalah proses dan
hasil melisankan.
Iko-iko merupakan tradisi lisan, dan
juga sastra lisan karena disebarkan dari satu orang ke orang lain secara lisan
dan proses pembuatan atau proses kreatifnya didengar dan dilihat oleh
penontonnya. Jenis tradisi lisan seperti iko-iko
ini dapat menjadi kekuatan kultural dan salah satu sumber penting dalam
pembentukan identitas dan peradaban komunitas Bajo. Tradisi lisan iko-iko telah berkembang di kalangan
Etnis Bajo sebelum mereka mengenal aksara.
Iko-iko yang merupakan cerita rakyat, sejalan dengan
pandangan Itadz (2003 : 19) bahwa cerita dapat digunakan oleh orang tua dan
guru sebagai sarana mendidik dalam membentuk kepribadian anak melalui
pendekatan transmisi budaya atau cultural transmission approach. Dalam
cerita, nilai-nilai luhur ditanamkan pada diri anak melalui penghayatan terhadap
makna dan maksud cerita (meaning and intention of story). Anak melakukan
serangkaian kegiatan kognisi dan afeksi, mulai dari interpretasi, komprehensif,
hingga adopsi terhadap nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Hakikat
cerita adalah menyenangkan anak sebagai penikmatnya, karena cerita memberikan
bahan lain dari sisi kehidupan. Cerita dapat dianggap sebagai pembelajaran
salah benar serta realisasi nilai-nilai yang didasarkan pada pertimbangan
afektif dan berdasarkan pada pengalaman.
Cerita rakyat berkaitan dengan lingkungan, baik
lingkungan masyarakat maupun ingkungan alam. Cerita rakyat merupakan cermin
kebudayaan dan cita-cita anggota kolektif atau pemiliknya. Menurut Itadz (2003)
media cerita rakyat sangat membantu dalam pembelajaran. Melalui cerita rakyat
pembelajaran akan menjadi lebih menyenangkan dan siswa lebih antusias dalam
proses pembelajaran. Dengan demikian siswa bisa melatih keterampilan membaca
melalui pemilihan kata dengan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh orang
lain. Selain itu pengetahuan siswa menjadi lebih luas untuk mengembangkan
segala kemampuannya.
c. Nauya
Nauya adalah tradisi lisan komunitas Bajo berupa
nyanyian dalam bentuk mengeluarkan suara bernada. Nyanyian merupakan komponen
music pendek yang terdiri atas lirik dan lagu (Moeliono, 1988). Masyarakat Bajo
mengenal beberapa jenis lagu, mulai lagu yang dinyanyikan saat menina-bobokkan
anaknya menjelang tidur, seperti diperikan berikut ini.
Ella-ella, tidorko daha nandole
Batongko daha nanges
Batongko daha dinanges uwan’nu pore
sakai ka Papua
Barah digunan umor taha, nia dalle’na
Barah dibunangko umor taha mubasar
musakai daruwa uwa’nu.
Artinya:
Hai
bunga tidurlah jangan ingat-ingat yang lain
Bangunlah
jangan menangis
Bangunlah
jangan engkau menangis bapakmu pergi berlayar jauh ke Papua
Mudah-mudahan
dia diberi umur panjang dan banyak rezekinya
Mudah-mudahan
engkau diberi umur panjang dan besar, engkau berlayar seperti bapakmu.
d. Mantra
Mantra adalah perkataan atau ucapan yang dapat
mendatangkan daya gaib. Pengertian lain menyatakan bahwa mantra merupakan
susunan kata berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya
diucapkan oleh dukun atau pawang untuk melindungi kekuatan gaib yang lain
(Moeliono, 1988).
Masyarakat Bajo juga mengenal mantra yang diucapkan
atau disampaikan dalam berbagai keperluan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya
terkait dengan kehidupan mata pencaharian di laut, yaitu saat akan membuang pukat/jaring ke laut,
seperti diperikan berikut ini.
Bismilahir rahmanir rahiim
Oh dayah
Kau palikka tangnu, tikka ma jabalnur
Kau nabinu Nabi Nuh
Anu teo patutukunu
Artinya:
Bismilahir rahmanir rahiim
Oh ikan
Kamu berasal, dari
Jabalnur
Nabimu Nabi Nuh
Yang jauh
dekatlah
Makna mantra bagi Komunitas Bajo dapat merefrensikan konstruksi realitas
social budaya Suku Bajo, sekaligus sebagai identitas budaya bagi komunitas Bajo
di wilayah ini. Pemaknaan terhadap mantra memperlihatkan suatu pola kepercayaan
yang berkembang di tengah masyarakat Bajo yang meyakini kebaradaan Tuhan
sebagai pemilik kekuasaan tetinggi dan adanya nabi/rasul sebagai utusan Tuhan
(Uniawati, 2012). Selain itu, masyarakat Bajo juga meyakini akan adanya
kekuatan gaib yang menjadi media perantara untuk mewujudkan suatu keinginan
melalui pembacaan mantra tertentu.
2. Makna Tradisi
Lisan dalam Pemberdayaan Masyarakat Bajo
Kendala utama yang dihadapi oleh tradisi lisan
Komunitas Bajo adalah masalah pewarisan. Proses pewarisan ini tidak berjalan
lancar karena seiring dengan perkembangan zaman, banyak sekali faktor yang
telah mengalihkan perhatian masyarakat dari lingkungan social budayanya.
Generasi sekarang telah dibius dengan berbagai bentuk hiburan melalui berbagai media,
baik cetak maupun elektronik. Begitu pula para orang tua yang oleh sebagian
pihak dianggap sebagai pihak yang tidak dapat memelihara tradisi karena terlalu
sibuk dengan urusan mereka sendiri. Hal inilah yang mengakibatkan pewarisan
tradisi lisan Bajo dari generasi terdahulu ke generasi sekarang tidak berjalan
sebagaimana mestinya, dan nyaris tidak ditemukan pewaris aktif yang berbeda
dengan apa yang dinyatakan oleh Susanto (2012) pada Komunitas Using di Banyuwangi yang masih memiliki pewaris aktif dan pewaris
pasif.
Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan
bahwa dunia generasi muda diramaikan dengan permainan modern yang berteknologi
tinggi. Permainan tersebut kebanyakan bersifat pasif dan kurang merangsang
perkembangan mental generasi dalam proses interaksi dengan lingkungan. Dengan
kian intensifnya arus globalisasi yang menyerbu masyarakat sekarang, jelas
bahwa nilai-nilai tradisi tidak dapat bersaing dengan arus globalisasi dalam
mempengaruhi lingkungan sosial. Secara terus-menerus masyarakat sekarang kian
diasingkan dari warisan nilai-nilai budaya nenek moyangnya.
Tradisi lisan merupakan
warisan antargenerasi yang mempunyai makna simbolik
di balik gerakan, ucapan, maupun alat-alat yang digunakan. Pesan-pesan tersebut
bermanfaat bagi perkembangan kognitif, emosi dan sosial peserta didik. Pesatnya perkembangan permainan
elektronik membuat posisi permainan tradisional semakin tergerus dan nyaris tak
dikenal. Memperhatikan hal tersebut, perlu usaha-usaha dari berbagai pihak
untuk mengkaji dan melestarikan keberadaannya melalui pembelajaran ulang pada
generasi sekarang melalui proses modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi
sekarang (Fajarwati, 2009, Hafid, 2010).
Diantara
sekian banyak makna tradisi lisan, yang menarik untuk dicermati adalah tradisi
lisan dapat menjembatani kehidupan manusia pada masa lampau, masa sekarang, dan
masa yang akan datang. Seiring dengan perkembangannya dari masa ke masa,
ternyata tradisi lisan dapat pula berfungsi sebagai sumber informasi yang
bermanfaat dalam menuntun manusia ke arah kehidupan yang lebih baik dan berdaya
guna pada hari esok. Melalui tradisi lisan, individu dapat mengamati, mencerna,
menafsir, merenungi, menelaah, serta meresapi pesan-pesan dan nila-nilai yang
terkandung di dalamnya. Pengamatan dan penelaahan terhadap pesan-pesan dan
nilai-nilai karya sastra tersebut pada akhirnya mengarahkan pembaca untuk
mencari dan menemukan pencerahan dan jalan kebenaran.
Salah
satu penyebab tergusurnya unsure-unsur tradisi lisan disebabkan karena
kebijakan pemerintah, seperti kebijakan penguasa Kesultanan Buton yang dikuasai
kaum sufi berdampak pada perubahan tatanan berkesenian masyarakat Buton.
Pertunjukan tersebut dinilai tidak sesuai dengan tatanan kehidupan kaum sufi
karena dalam pertunjukan kabanti, laki-laki dan perempuan terlibat
secara langsung, baik sebagai penyanyi maupun sebagai pengiring nyanyian (pajogi
dan ngibing). Kaum sufi menghendaki tradisi pertunjukan yang digelar
masyarakat perlu disesuaikan dengan tatanan pergaulan kaum sufi yang dilandasi ajaran
tasawuf (Malim,
1981; Asrif, 2012). Situasi tersebut
menjadikan kabanti sebagai suatu tradisi lisan yang semula sebagai
sastra lisan keraton, bergeser menjadi kesenian luar keraton.
Situasi yang hampir sama
terjadi pada tradisi lisan madero/pantun yang dilarang pentas sejak era Orde
Baru, namun hasil penelitian tahun 2009-2013 tentang
Sejarah Daerah Konawe Utara menemukan beberapa tradisi lisan yang masih ada di kalangan masyarakat Bajo, seperti Nauya
Bajo, Iko-Iko, Pantun, dan mantra yang penuturnya semakin berkurang, namun pada kenyataannya digemari oleh
masyarakat karena mereka senang mendengarkan, namun jarang yang mampu
mengungkapkan dalam bahasa sendiri (Hafid, 2014). Konten
tradisi lisan tersebut mengandung nilai-nilai edukatif yang perlu
dilestarikan dan dikembangkan dalam rangka pemberdayaan masyarakat Bajo. Kajian sejenis juga telah dilakukan tentang pemberantarasan buta aksara berbasis tradisi lisan pada komunitas
Bajo di Konawe Utara, dengan menampilkan suatu kerifan lokal berupa pantun yang dirangkaikan dengan kesenian
modero (Hafid, 2011).
Berdasarkan pemikiran
tersebut menunjukkan bahwa bahan ajar yang memiliki
kekhasan dalam muatannya berupa tradisi lisan (naunya bajo, iko-iko, pantun, mantra) dari Komunitas setempat dalam rangka
pemberdayaan masyarakat pendukungannya.
3.
Fungsi Tradisi Lisan sebagai Media
Pembelajaran
Tradisi lisan iko-iko sebagai folklore menurut Sibarani (2013) dapat
dijadikan sebagai media dan sumber pendidikan/pembelajaran. Melalui kaca mata yang sama, menurut Rahmana (2014) tradisi lisan dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan, misalnya melalui ritual Hamis
Batar (tradisi lisan masyarakat Timor berupa upacara syukuran terhadap
jagung yang dipanen) di Kupang sebagai media untuk memperoleh pengetahuan yang
mendekati nilai kebenaran, seperti mengkaji kepercayaan masyarakat setempat
terhadap kekuatan di luar diri manusia, tentang fungsi tetua adat sebagai
bagian dari sistem sosial yang mengambil peran dalam ritual Hamis Batar. Melalui “pendekatan
historis” untuk mendapatkan pengetahuan dari tradisi lisan, kita bisa menemukan
pondasi kebudayaan Indonesia, sekaligus dapat digunakan untuk memantapkan
identitas kebudayaan nusantara dalam rangka menjawab tantangan zaman.
Tradisi “penuturan” merupakan akar dari budaya yang
berkembang di Nusantara.
Hal ini dapat diasumsikan melalui masyarakat pra-aksara yang menggunakan
tradisi lisan untuk menyalurkan cara berpikir dan cara hidup antar sesama
manusia, termasuk aktivitas yang berhubungan dengan alam dan sang pencipta.
Sehingga, hadirnya tradisi lisan ternyata ikut mendukung lahirnya adat
istiadat, kebiasaan, hukum, kepercayaan, maupun bahasa yang berkembang di
wilayah-wilayah Indonesia. Seiring dengan perkembanan zaman, tradisi lisan
mulai ditinggalkan karena pencitraannya yang kuno dan statis sebagai hasil
budaya masa lampau. Hal ini tidak terlepas dari tradisi tulis-menulis yang
mulai dikenal, serta adanya pengaruh globalisasi yang serta-merta ikut merubah
cara berpikir masyarakat Indonesia. Sehubungan dengan upaya penyelamatan dan
pelestarian terhadap akar budaya nusantara, maka diperlukan usaha-usaha
membangkitkan ketertarikan kembali terhadap tradisi “penuturan” ini.
Usaha-usaha tersebut diantaranya, melakukan aktualisasi tradisi lisan yang
dikemas dalam seni pertunjukan, mengikutsertakan tradisi lisan dalam dunia
akademis sebagai upaya pengenalan sekaligus melahirkan generasi pewaris tradisi
“penuturan”, serta menjadikan tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan yang
dapat dikaji melalui metode ilmiah dan pendekatan displin ilmu sosial, seperti
pendekatan historis. Diharapkan tradisi lisan dapat diselamatkan dan
dilestarikan keberadaannya ditengah-tengah iklim globalisasi. Sehingga,
masyarakat Indonesia memiliki identitas kebudayaan yang kuat agar dapat
digunakan sebagai pedoman dalam rangka menyikapi budaya-budaya asing yang masuk
ke Indonesia.
Tradisi lisan, budaya lisan dan adat lisan adalah pesan atau kesaksian
yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Pesan atau kesaksian itu disampaikan melalui ucapan, pidato,
nyanyian, dan dapat berbentuk pantun, tradisi lisan, nasihat, balada, atau
lagu. Pada cara ini, maka mungkinlah suatu masyarakat dapat menyampaikan sejarah
lisan, sastra lisan, hukum lisan dan pengetahuan
lainnya ke generasi penerusnya tanpa melibatkan bahasa tulisan.
Berdasarkan pemikiran tersebut
menunjukkan bahwa tradisi lisan merupakan lambang identitas daerah/Komunitas
yang diungkapkan lewat bahasa lisan, tradisi, hukum, sejarah yang mengandung
nilai-nilai luhur yang sangat berharga. Tradisi lisan merupakan suatu aset
kekayaan budaya yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai bahan ajar bagi masyarakat setempat, sehingga dapat
melestarikan nilai dan mengembangkan karakter positif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akhirnya tepatlah dikatakan Cobern dan Aikenhead (2008) bahwa transfer pengetahuan apapun bentuknya, harus
mempertimbangkan latar belakang budaya peserta didik.
Trandisi
lisan melukiskan kondisi faktual mental tradisi masyarakat yang mendukungnya, simbol
identitas bersama masyarakatnya sehingga menjadi simbol solidaritas dari
masyarakatnya, dan menjadi alat legitimasi bagi keberadaan suatu kolektif, baik
sebuah marga, masyarakat maupun suku bangsa. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Danandjaja (1983) yang menyatakan
bahwa bentuk-bentuk folklor mempunyai fungsi sebagai berikut: 1) sebagai sistem
proyeksi; 2) sebagai alat pengesahan budaya; 3) sebagai alat paedagogik; dan 4)
sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma masyarakat dan pengendalian
masyarakat.
Tradisi lisan berupa pantun, nauya, iko-iko menjadi alat
masyarakat Bajo untuk mengkonstruksi dan mereproduksi
kebudayaannya. Termasuk mengkonstruksi masa depannya dan
berkomunikasi dengan orang lain. Tidak mengherankan dalam tradisi lisan Komunitas Bajo dijadikan sarana
bersopan santun dalam menyatakan kedermawanan, kebijaksanaan, kerendahan hati,
permufakatan, penghargaan, dan kesimpatian. Oleh karena itu, tradisi lisan Komunitas Bajo dapat dijadikan
dan dikembangkan sebagai media pembelajaran dalam mengembangkan karakter positif
peserta didik. Agar pembelajaran lebih menyenangkan guru dapat
menggunakan berbagai media pembelajaran yang inovatif. Menggunakan media dalam
pembelajaran tidak hanya berperan sebagai sarana dalam membantu dalam proses
pembelajaran akan tetapi juga merupakan strategi pembelajaran.
Secara etimologis media berasal dari bahasa Latin,
merupakan bentuk jamak dari kata medium yang berarti tengah, perantara, atau
pengantar. Menurut Sanjaya (2009) secara umum media pembelajaran itu meliputi
orang, bahan, peralatan, atau kegiatan yang
menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa memeperoleh pengetahuan,
keterampilan dan sikap. Menurut Asyhar (2012) fungsi media sebagai perantara
atau pengantar suatu pesan dari si pengirim (sender) kepada si penerima
(receiver) pesan. Media merupakan komponen yang sangat penting dalam
suatu proses komunikasi. Media merupakan alat yang digunakan untuk menyalurkan
pesan dan informasi dari pengirim pesan kepada penerima pesan. Dalam
menumbuhkan keterampilan membaca siswa, guru dapat mempariasikan pembelajaran
dengan berbagai sarana dalam pembelajaran, salah satunya melalui media cerita
rakyat. Banyak orang tidak menyadari betapa besar pengaruh cerita terhadap
perilaku manusia, bahkan sampai membentuk budaya. Cerita memberikan pilihan,
merangsang daya analisis siswa melalui informasi tersirat, merangsang kepekaan
akan kebutuhan dan perasaan orang lain, serta mendorong siswa menelaah
perasaanya sendiri.
Bercerita merupakan aktivitas penting yang perlu
dikuasi siswa. Bukan saja siswa senang menyimak cerita, tetapi cerita merupakan
salah satu metode pembelajaran seni bahasa tertua. Cerita mendorong anak untuk
mencintai bahasa. Dari sebuah cerita, siswa bukan saja dapat mengetahui
perkara-perkara baru, tetapi juga dapat meningkatkan minatnya terhadap hal-hal
baru (Rosdiana, 2007).
Cerita juga membantu perkembangan imajinasi anak,
sekaligus memberi wadah bagi anak-anak itu untuk belajar berbagai emosi dan
perasaan, seperti sedih, gembira, simpati, marah, senang, cemas, serta emosi
manusia yang lain. Cerita juga menghidupkan suasana pembelajaran di kelas.
Cerita menjadikan kelas terasa lebih natural, bahkan ketika nilai-nilai
ditransmisikan melalui cerita. Cerita adalah pelajaran penuh makna yang
memegang peran penting dalam sosialisasi nilai-nilai baru pada anak.
Nilai pendidikan
sangat erat kaitannya dengan karya sastra. Setiap karya sastra yang baik,
termasuk cerita rakyat, selalu mengungkapkan nilai-nilai yang bermanfaat bagi
pembacanya. Nilai-nilai tersebut bersifat mendidik serta menggugah hati
pembacanya. Nilai-nilai pendidikan yang dimaksud dapat mencakup nilai
pendidikan moral, nilai adat, nilai agama (religi). Hal ini menunjukkan bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang
ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra dapat berupa nilai
medial (menjadi sarana), nilai final (yang dikejar seseorang), nilai kultur,
nilai kesusilaan, dan nilai agama.
Kita menyadari bahwa setiap sitem
pendidikan kiranya perlu disertai usaha untuk menanamkan wawasan pemahaman
budaya bagi setiap anak didik (Rahmanto,1988: 18). Melalui usaha pemahaman
budaya dapat ditumbuhkan sikap dan rasa bangga, percaya
diri, dan rasa ikut memiliki. Usaha untuk mengenal pribadi
dari seseorang akan terlihat dari cara dalam menanamkan
budaya melalui cerita pada nanak-anak, kita mengenalkan cara berpikir,
mencontohkan usaha para pendahulu dengan prinsip-prinsip kehidupan, ajaran yang
di bawa serta sikap dan perilaku yang diajarkan pada zaman dahulu. Seorang raja
akan bersifat sopan dalam tingkah laku karena pendahulunya menurunkan cerita
ini pada generasi berikutnya. Secara lebih mendasar dapat dikatakan bahwa
pengajaran sastra, yakni cerita rakyat, memiliki banyak manfaat dan dapat
membantu pendidikan secara utuh.
Hal di atas senada dengan yang sampaikan
oleh Bascom bahwa ada empat fungsi cerita dalam pendidikan, yaitu: (a) sebagai sistem proyeksi, yakni sebagi alat
pencerminan angan-angan suatu kolektif, (b) sebagai alat pengesah
pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan
pada anak didik, (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma
masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya (Dananjaja, 1997).
Melalui cerita rakyat, empat
keterampilan berbahasa yang meliputi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis
dapat ditingkatkan melalui penmbelajaran cerita rakyat
sebagai materi pembelajaran.
Dalam mempelajari sebuah karya sastra, secara otomatis peserta didik dapat menyimak cerita dari guru atau teman–temannya. Mereka juga dapat mengungkapkan
kembali cerita tersebut, pada sisi lain mereka juga dapat menuliskan isi cerita
dengan bahasa mereka sendiri. Hal-hal yang dilakukan oleh para tokoh cerita
akan dijadikan inspirasi untuk membentuk dan mengembangkan cipta, rasa dan
karsa dari peserta didik pada
masa yang akan datang. Begitu juga dalam pembentukan watak peserta didik, mereka akan mencontoh sifat dan
karakter serta perilaku tokoh dalam cerita tersebut.
Program pemberdayaan masyarakat melalui pembelajaran harus melihat dua perangkat
kebutuhan belajar yang luas: (1) menoleh ke belakang, dan (2) memandang ke
depan. Terkait dengan itu, maka perlu memperhatikan rekomendasi UNESCO tentang
program pendidikan, yaitu: hendaknya learning
to know or learning to learn, learning to do, learning to be, leaning to live together) (Delors, 1996), demikian
pula konsep Community Based Education
(CBE). Dalam semangat pemberdayaan menurut Community Based Education adalah desentralisasi dalam manajemen
pendidikan atau untuk, oleh dan dari masyarakat, serta nilai-nilai tradisional
harus dilestarikan dan dimanfaatkan dalam implementasi (Jalal dan Supriadi,
2001). Konsep tersebut mendorong masyarakat bertanggung jawab terhadap program
baik untuk diri sendiri maupun terhadap lingkungan sosialnya.
Sejaln dengan itu, dalam konteks pendidikan luar sekolah khususnya para
program Keaksaraan Fungsional (KF) yang harus memiliki persentuhan dengan
budaya komunitas setempat, karena prinsip-prinsip program KF, meliputi: (1)
konteks local, yaitu kegiatan pembelajaran dilaksanakan berdasarkan minat,
kebutuhan pengalaman, permasalahan, dan situasi
local, serta potensi yang ada di sekitar warga belajar, (2) disain
local, yaitu tutor bersama warga belajar perlu merancang kegiatan pembelajaran
di kelompok belajar sesuai kebutuhan warga belajar, (3) partisipatif, tutor
perlu melibatkan warga belajar berpartisipasi secara aktif dari mulai tahap perencanaan, pelaksanaan,
hinggaa penilaian hasil pembelajaran, dan (4) fungsionalisasi hasil belajar,
yaitu warga belajar diharpkan dapat memecahkan masalah keaksaraannya dan
meningkatkan mutu serta taraf kehidupannya (Musa, 2011).
Dari beberapa pendapat tersebut menunjukkan bahwa pemilihan tradisi lisan sebagai media pembelajaran sangat tepat. Dalam jangka pendek, tradisi lisan dapat digunakan
sebagai media yang mempermudah/mempercepat pemahaman
warga belajar akan bahan ajar yang tersaji; dan jangka panjang, sebagai bahan
pembinaan dan pengembangan apresiasi sastra Indonesia
dan daerah, pada masa datang dapat membentuk watak yang kelak akan dapat menciptakan dan mengembangkan inspirasi cipta, rasa dan karsa pada diri peserta didik, di kala krisis moral sedang melanda linkungannya.
4.
Penutup
Eksistensi tradisi lisan sangat tergantung kepada komitmen
kultural para pewarisnya, baik pewaris aktif maupun pewaris pasifnya.
Produk-produk tradisi lisan dalam Komunitas Bajo yang nyaris mati, meskipun
masih dapat dijumpai pada pewaris pasih yang jumlahnya semakin terbatas. Di
dalam wilayah-wilayah pemjukiman komunitas Bajo pada pesisir pantai dan
pulau-pulau di Sultra, tidak semua
memiliki penutur pasif. Produk tradisi yang bisa bertahan tersebut bukan hanya
memiliki fungsi dan nilai esteka, tetapi juga memiliki nilai edukatif yang
sangat dibutuhkan dalam upaya pemberdayaan komunitas Bajo dalam bentuk pendidikan
Keaksaran Fungsional bagi anggota masyarakat yang masih menyandang buta aksara.
Jika suatu tradisi masih percaya memberi manfaat kepada mereka, maka tradisi lisan
tersebut, akan mereka pertahankan dan bahkan akan dijadikan kebanggaaan bagi komunitasnya.
Manfaat kultural-edukatif (identitas dan kebanggaan
lokal), akan berdampak terhadap manfaat ekonomis (dapat dikembangkan menjadi
industri kreatif) oleh para pewarisnya, sehingga memberi dorongan kepada para
pewaris untuk tetap menjaga dan mengembangkan tradisinya. Manfaat edukatif yang
dirasakan oleh komunitas Bajo bahwa dengan mengembangkan dalam bentuk media
pembelajaran, mereka merasa menjadi bagian penting dari kehidupannya. Melalui
tradisi yang lisan yang dijaga dan dikembangkan, sehingga identitas lokal
mereka menjadi semakin kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Asrif. 2012. “Kesusastraan Buton Abad XIX: Kontestasi Sastra Lisan dan Sastra Tulis, Budaya dan Agama”. Makalah
Disaji kan pada Seminar Internasional
Tradisi Lisan Nusantara (VIII) Tanjungpinang, 23-27 Mei 2012.
Asyhar, Rayandra. 2012. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran.
Jakarta: Megamall.
Benninga, Jacquess S. 2006. “Character and Academic: What Good School
Do” dalam Phi Delta Kappa. Edisi
Februari (Hal. 448-453).
Cobern, W.W. dan G.S. Aikenhead. 2008. Cultural Aspects of Learning Science. In
B.J. Fraser & K.G.
Danandjaja, James 1983. “Folklor sebagai Bahan Penelitian Antropologi
Psikologi”, dalam Analisa Kebudayaan Th. IV No. 3 1983/1984. Jakarta:
Depdikbud. Halaman 61-71.
Delors,
J., et al. (1996). Leraning: The Treasure
Within. Paris: UNESCO.
Hafid, Anwar dan
Syafruddin. 2011. Laporan Akhir Bantuan Biaya Pendidikan Keaksaraan Berbasis Cerita Rakyat. Kendari: Yayasan
Amanah Kesejahteraan Masyarakat Pedesaan (YAKMADES) kerja sama Direktorat Pendidikan
Masyarakat Kemendiknas.
Hafid, Anwar dan
Syafruddin. 2014. Sejarah Daerah Konawe
Utara. Bandung: Alfabeta.
Hafid, Anwar. 2012. “Peran
Cerita Rakyat Iko-Iko Berbasis Sastra Melayu dalam Penguatan Komunitas Etnis
Bajo”. Makalah Disaji kan pada Seminar Internasional
Tradisi Lisan Nusantara (VIII) di Tanjungpinang, 23-27 Mei 2012.
Heni.
2013. Penuntasan Buta Aksara Di Daerah
Istimewa Yogyakarta
30 Agustus 2013. Http://Pendidikan-Diy.Go.Id/Dinas_V4/Index.Php?View=V_ Artikel&Id=22. Akses, 23 Maret 2014.
30 Agustus 2013. Http://Pendidikan-Diy.Go.Id/Dinas_V4/Index.Php?View=V_ Artikel&Id=22. Akses, 23 Maret 2014.
Hutomo,
Suripan Hadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi
Sastra Lisan. Surabaya: HISKI Komisariat Jawa Timur.
Itadz. 2003. Cerita Untuk Anak Usia Dini. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Jalal,
F dan Supriadi, D. (2001). Reformasi
Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Ki-Zerbo,
Joseph. 1990. Methodology and African
Prehistory. UNESCO International Scientific Committee for the Drafting of a
General History of Africa: James Currey Publishers.
Malim, La Ode. 1981. Kesenian Daerah
Wolio. Jakarta:
Balai Pustaka.
Moeliono, Anton M, dkk. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Musa, Safuri. 2011. Meretas Jejak Penuntasan Tuna Aksara di Indonesia. Jakarta:
Kemendikbud.
Nuraini, Chandra. 2013.
“Bahasa Bajo Kepulauan Kangean”. Dalam Kepulauan
Kangean: Penelitian Terapan untuk Pembangunan. Penyunting: Illous, Charles dan Grange,
Philippe. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Peursen,
C.A. van. 1976. Strtaegi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Pudentia,
MPSS (ed). 1999. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
Raharja, Sabar Budi. 2010. “Pendidikan Karakter sebagai Upaya
Menciptakan Akhlak Mulia”. Dalam Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan. Vol. 16 No. 3, Edisi Mei 2010 (Hal. 229-238).
Rahmana, Siti. 2014. Tradisi Lisan: Aktualisasi, Eksistensi, Dan Transformasi Hasil Budaya
Masa Lampau. http://tempo-institute.org/tradisi-lisan-aktualisasi-eksistensi-dan-transformasi-hasil-budaya-masa-lampau/. Akses, 26 Februari 2014.
Rosdiana, Yusi dkk. 2007. Bahasa dan Sastra
Indonesia di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sibarani, Robert. 2013. Folklor sebagai Media dan
Sumber Pendidikan Sebuah Ancangan Kurikulum dalam Pembentukan Karakter Siswa
Berbasis Nilai Budaya Batak Toba”. Dalam Folklor
Nusantara: Hakikat, Bentuk, dan Fungsi. Yogyakarta: Ombak.
Sutarto, Ayu. 2012. “Tradisi Lisan, Kohesi Sosial, dan Industri Kreatif Cerita Dari Komunitas
Using/Banyuwangi”. Makalah Disajikan pada Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara (VIII) di Tanjungpinang, 23-27 Mei 2012.
Uniawati. 2012. Mantra
Nelayan Suku Bajo: Interpretasi Semiotik Riffaterre. Kendari: Kantor Bahasa
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Makalah: Disajikan pada
Seminar Internasional dan Festival Tradisi Lisan IX, di Wakatobi, 12-15
Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar