Rabu, 04 Januari 2017

PERANAN TRADISI LISAN SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN PADA PROGRAM PEMBERANTASAN BUTA AKSARA DALAM LINGKUNGAN KOMUNITAS BAJO DI SULAWESI TENGGARA



ORAL TRADITION AS MEDIA ROLE IN LEARNING LITERACY PROGRAMS ENVIRONMENT IN COMMUNITY BAJO IN SOUTH EAST SULAWESI
By: Anwar Hafid

ABSTRACT

During this oral tradition is widely seen as a static and less able to contribute in the development of society. But on the other hand require media community empowerment that comes from the social and cultural background. Some communities are still developing their oral tradition, so it can still be used to maintain local identity and pride, build social cohesion and even to be sold as a commodity. Unlike the situation in Bajo community almost negate the efforts of preservation and development of their oral tradition. Nonetheless, the oral tradition potential to be developed as a learning instrument can still be found in passive heir, among others: (1) pantun/rhyme, spoken in the form of standing with unrequited rhyme, and rhymes into a variety of dance Modero, where rows of men reciprocated rhymes with rows of women, (2) iko-iko (folklore), spoken in a variety of situations: while in the course of seagoing/while waiting for the fish meal fishing rods, when sitting together with family relatives, while a series of ceremonies life cycle; (3) Nauya (song), spoken when menina-bobokkan child, while a series of ceremonies life cycle; and (4) Mantra, spoken by related purposes livelihood activities at sea, treatment activities, a series of ceremonies life cycle. The tradition, still persist in certain individuals who generally berusian further, so that its existence is feared to be extinct. This phenomenon is, in contrast to the learning needs of society Bajo condition that still bears many illiterate. The learning phenomenon the context of non-formal education for this, Bajo people are less motivated because of the tutors who teach them are generally used as a conventional learning where learning in school. Indeed during the oral tradition only serves normative, but in its development can function practically including in education. Fungisi practical oral tradition will be able to change the individual to a more powerful, if used in the learning process by giving it a fresh new look in it, including the media can be used in teaching functional literacy. Results of recent tests in functional literacy learning in the arts community that utilizes Bajo Modero that uses isntrumen pantun, demonstrate their learning motivation is quite high.

PERANAN TRADISI LISAN SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN PADA PROGRAM PEMBERANTASAN BUTA AKSARA DALAM LINGKUNGAN KOMUNITAS BAJO DI SULAWESI TENGGARA

ABSTRAK

Selama ini tradisi lisan banyak dipandang sebagai suatu yang statis dan kurang mampu memberikan kontribusi dalam pengembangan masyarakat. Namun di sisi lain upaya pemberdayaan masyarakat memerlukan media yang bersumber dari latar belakang sosial budayanya. Beberapa komunitas masih tetap mengembangkan tradisi lisannya, sehingga masih bisa digunakan untuk mempertahankan identitas dan kebanggaan lokal, membangun kohesi sosial dan bahkan untuk dijual sebagai komoditas.  Berbeda dengan kondisi dalam komunitas Bajo yang nyaris mengabaikan upaya pelestarian dan pengembangan tradisi lisannya. Meskipun demikian, tradisi lisan yang potensial untuk dikembangkan sebagai instrument dalam pembelajaran masih dapat dijumpai pada pewaris pasif, diantaranya: (1) pantun,  dituturkan dalam bentuk berdiri dengan berbalas pantun, dan pantun menjadi variasi dari tari modero, di mana barisan laki-laki berbalas pantun dengan barisan perempuan, (2) iko-iko (cerita rakyat), dituturkan dalam berbagai situasi: saat dalam perjalanan berlayar di laut/saat menunggu ikan makan pancing, saat duduk bersama dengan sanak family, saat rangkaian upacara daur hidup;(3) Nauya (lagu), dituturkan saat menina-bobokkan anak, saat rangkaian upacara daur hidup; dan (4) Mantra, dituturkan berdasarkan keperluan terkait kegiatan matapencaharian di laut, kegiatan pengobatan, rangkaian upacara daur hidup. Tradisi tersebut, masih saja bertahan pada individu tertentu yang umumnya berusian lanjut, sehingga eksistensinya dikhawatirkan akan mengalami kepunahan. Fenomena itu, berbeda dengan kondisi kebutuhan belajar masyarakat Bajo yang masih banyak menyandang buta aksara. Kenyataan dalam pembelajaran pada konteks pendidikan nonformal selama ini, masyarakat Bajo kurang termotivasi karena para tutor yang mengajar mereka umumnya menggunakan pembelajaran konvensional sebagai mana pembelajaran di sekolah. Sejatinya selama ini tradisi lisan hanya berfungsi normatif, namun dalam perkembangannya dapat berfungsi praktis termasuk dalam dunia pendidikan. Fungisi praktis tradisi lisan tersebut akan dapat mengubah individu ke arah yang lebih berdaya, jika dimanfaatkan dalam proses pembelajaran dengan memberi nuansa baru di dalamnya, termasuk dapat dijadikan media dalam pembelajaran keaksaraan fungsional. Hasil uji coba terakhir dalam pembelajaran keaksaraan fungsional pada Komunitas Bajo yang memanfaatkan kesenian modero yang menggunakan isntumen pantun, menunjukkan motivasi belajar mereka cukup tinggi.

A.    Pendahuluan
Tradisi lisan sebagai sebuah bentuk warisan budaya nenek moyang banyak mengandung nilai-nilai hidup yang berkualitas. Akan tetapi, tradisi lisan yang dulunya menjadi ciri khas suatu daerah tertentu lambat-laun terlupakan oleh zaman. Sangat disayangkan jika warisan para pendahulu harus hilang tanpa bekas hanya karena para orang tua dan tokoh masyarakat gagal mewariskan nilai-nilai luhur tradisi masyarakat Bajo kepada generasi sekarang.
Dalam konteks persaingan global seperti sekarang ini, perlu dipikirkan langkah-langkah untuk melestarikan tradisi lisan kepada generasi emas pewaris kebudayaan. Minimal ada tiga langkah yang perlu dilakukan untuk mempertahankan hubungan antara masyarakat dengan nilai-nilai tradisinya. Pertama, inventarisasi. Kegiatan ini mencakup pemilahan nilai-nilai luhur yang cocok untuk menghadapi tantangan-tantangan yang datang menerjang kebudayaan lokal Bajo. Dengan demikian, masyarakat Bajo, diharapkan memiliki posisi tawar dan perisai budaya ketika tantangan datang. Kedua, redefinisi yang mengacu kepada upaya membuat teks (nilai tradisi) itu mempunyai konteks dengan zaman sekarang, yaitu masyarakat Bajo yang berpikiran maju, bukan sekadar Bajo yang berkutat dengan nilai-nilai tradisi tanpa terdorong menatap nilai-nilai masa depan. Ketiga, revitalisasi, sebagai upaya yang terencana, sinambung, dan diminati agar nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh para pemiliknya, tetapi malah membangkitkan segala wujud kreativitas dalam keseharian dan dalam menghadapi berbagai tantangan. Melalui upaya revitalisasi, maka domain-domain kebudayaan perlu dikaji ulang dan diberi fungsi baru, tafsir baru termasuk tradisi lisan dalam masyarakat Bajo, sehingga dapat menjadi instrument dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam kompetisi global masa depan.
Sejatinya tradisi lisan dapat menjadi kekuatan kultural dan salah satu sumber utama yang penting dalam pembentukan identitas dan membangun peradaban. Tradisi lisan telah berkembang di Indonesia sebelum masyarakat Indonesia mengenal aksara. Pada awalnya tradisi lisan tumbuh subur dan berkembang di seluruh Nusantara, sehingga menjadi salah satu kekayaan budaya masyarakat Indonesia. Setelah aksara masuk ke Nusantara, tradisi lisan tidak hilang, tetapi berkembang beriringan dengan tradisi tulisan.
Berbagai pengetahuan dalam tradisi lisan yang secara turun-temurun disampaikan secara lisan yang mencakup tidak hanya cerita rakyat, mitos, dan legenda, tetapi juga dilengkapi dengan sejarah, hukum adat, dan pengobatan. Makna yang terkandung dalam suatu tradisi lisan adalah fenomena kontemporer dan tradisi dalam suatu masyarakat yang merupakan warisan nenek moyang.
Hal-hal yang tercakup dalam tradisi lisan seperti sastra, budaya, dan sejarah. Tradisi lisan tentu tidak akan lepas dari sastra yang mengandung nilai estetika. Tradisi lisan juga erat kaitannya dengan budaya karena berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan di suatu daerah. Tradisi lisan juga terkait dengan sejarah, karena merupakan hal yang diwariskan secara turun-temurun. Konteks tradisi lisan berhubungan dengan masa lalu atau sejarah suatu daerah. Sastra lisan merupakan salah satu bagian dari tradisi lisan. Sastra lisan disebarkan dari satu orang ke orang lain secara lisan kemudian prosesnya dilihat, didengar, kemudian dilisankan kembali. Jadi, yang dilihat dalam tradisi lisan adalah proses dan hasil melisankan.
Perkembangan tradisi lisan dalam kehidupan masyarakat, merupakan perwujudan dari usaha dan cara-cara kelompok tersebut dalam memahami serta menjelaskan realitas lingkungannya, yang disesuaikan dengan situasi alam pikiran masyarakat di suatu zaman tertentu. Alam pikiran masyarakat yang dipandang sebagai lahan paling subur bagi berkembangnya pemikiran seperti itu, menurut Peursen (1976) adalah alam pikiran mistis. Alam pikiran mistis sangat menjiwai (mendasari) tradisi lisan masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Cara masyarakat menjelaskan atau memahami realitas seperti itu, bukan merupakan suatu kesengajaan untuk mengacaukan fakta dengan khayalan, tetapi memang merupakan suatu cara dalam menangkap realitas sesuai dengan alam pikiran mereka. Oleh karena itu, tradisi lisan dalam suatu masyarakat bisa beragam bentuknya, tegantung masyarakat yang mendukungnya.
Beberapa komunitas masih tetap mengembangkan tradisi lisannya, diantaranya dalam komunitas Using/Banyuwangi, terdapat lebih dari empat produk tradisi yang keberadaannya masih berjaya. Produk-produk tersebut diposisikan sebagai produk kebudayaan yang bisa digunakan untuk mempertahankan identitas dan kebanggaan lokal, membangun kohesi sosial (menggalang persaudaraan, kerukunan, dan persahabatan) dan untuk dijual sebagai komoditas (sebagai seni pertunjukan/industri kreatif) (Sutarto, 2012).
Berbeda dengan kondisi dalam komunitas Bajo yang nyaris mengabaikan upaya pelestarian dan pengembangan tradisi lisannya. Meskipun demikian, tradisi lisan dalam komunitas Bajo masih dapat dijumpai pada pewaris pasif, diantaranya: pantun, iko-iko, nauya, dan mantra,  yang dikatakan/diungkapkan oleh penutur dan didengar oleh penonton/orang lain (Hafid, 2012). Tradisi tersebut, masih saja bertahan pada individu tertentu yang umumnya berusian lanjut, sehingga eksistensinya dikhawatirkan akan mengalami kepunahan.
Fenomena tersebut, berbeda dengan kondisi kebutuhan belajar masyarakat Bajo yang masih banyak menyandang buta aksara. Mereka dalam pembelajarannya selama ini kurang termotivasi karena para tutor yang mengajar mereka umumnya menggunakan pembelajaran konvensional sebagai mana pembelajaran di sekolah. Sejatinya selama ini tradisi lisan hanya berfungsi normatif, namun dalam perkembangannya dapat berfungsi praktis dan pragmatis pada era modern sekarang. Semua fungisi tradisi lisan tersebut akan dapat mengubah individu ke arah yang lebih berdaya, jika dimanfaatkan dalam proses pembelajaran termasuk dalam pembelajaran keaksaraan fungsional. Hasil uji coba terakhir oleh Hafid (2011) dalam pembelajaran KF pada Komunitas Bajo yang memanfaatkan Pantun/modero (suatu bentuk tradisi lisan), menunjukkan motivasi belajar mereka cukup tinggi bagi warga belajar. Kondisi ini member inspirasi bahwa posisi strategis tradisi lisan dalam dimensi kehidupan masyarakat Bajo tidak dapat diabaikan, sehingga asset budaya ini dapat dilestarikan dan dikembangkan untuk mendukung pengembangan sumber daya manusia.
Masalah utama penelitian ini adalah bagaimana peranan tradisi lisan sebagai media pembelajaran pada program pemberantasan buta aksara dalam lingkungan Komunitas Bajo di Sulawesi Tenggara. Selanjutnya diuraikan lebih lanjut berikut ini.
1.      Bagaimana jenis-jenis tradisi lisan dalam Komuitas Bajo yang dapat dijadikan media dalam pembelajaran program pemberantasan buta aksara?
2.      Bagaimana makna tradisi lisan dalam pembelajaran program pemberantasan buta aksara dalam Komunitas Bajo?
3.      Bagaimana fungsi tradisi lisan dalam pembelajaran program pemberantasan buta aksara dalam Komunitas Bajo?

B.     Kajian Pustaka
Perkembangan tradisi lisan terjadi dari mulut ke mulut, sehingga menimbulkan banyak versi cerita. Menurut Hutomo (1991), tradisi lisan mencakup beberapa hal, yakni: (1) berupa kesusastraan lisan, (2) berupa teknologi tradisional, (3) berupa pengetahuan folklore di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (4) berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan folklore di luar batas formal agama-agama besar, (5) berupa kesenian folklore di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, dan (6) berupa hukum adat.
Sejalan dengan itu Pudentia (1999) memberikan pemahaman tentang hakikat kelisanan (orality) mencakup segala hal yang berhubungan dengan sastera, bahasa, sejarah, biografi, dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke mulut. Jadi, tradisi lisan tidak hanya mencakup ceritera rakyat, teka-teki, peribahasa, nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda sebagaimana umumnya diduga orang, tetapi juga berkaitan dengan sistem kognitif kebudayaan, seperti: sejarah, hukum, dan pengobatan. Tradisi lisan adalah “segala wacana yang diucapkan/disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang beraksara” dan diartikan juga sebagai “sistem wacana yang bukan beraksara.” Tradisi lisan tidak hanya dimiliki oleh orang lisan saja. Implikasi kata “lisan” dalam pasangan lisan-tertulis berbeda dengan lisan-beraksara. Lisan yang pertama (oracy) mengandung maksud ‘keberaksaraan bersuara’, sedangkan lisan kedua (orality) mengandung maksud kebolehan bertutur secara beraksara. Kelisanan dalam masyarakat beraksara sering diartikan sebagai hasil dari masyarakat yang tidak terpelajar; sesuatu yang belum dituliskan; sesuatu yang dianggap belum sempurna/matang, dan sering dinilai dengan kriteria keberaksaraan.
Menurut Vansina  (2014) tradisi lisan sebagai "pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini" di mana "pesan itu haruslah berupa pernyataan yang dituturkan, dinyanyikan, atau diiringi alat musik"; "Haruslah ada penyampaian melalui tutur kata dari mulut sekurang-kurangnya sejarak satu generasi". Dia mengemukakan bahwa "Definisi kami adalah definisi yang berfungsi bagi kalangan sejarawan. Para sosiolog, bahasawan, atau sarjana seni verbal mengajukan pendekatannya masing-masing, yang untuk kasus khusus (sosiologi) mungkin saja menekankan pengetahuan umum, fitur kedua yaitu membedakan bahasa dari dialog (bahasawan) biasa, dan fitur terakhir adalah bentuk dan isi yang mendefinisi seni (pendongeng). Tradisi lisan dapat didefinisi sebagai kesaksian yang disampaikan secara verbal dari satu generasi ke generasi berikutnya. Persifatan khusus sedemikian adalah tentang keverbalannya dan cara bagaimana ia disampaikan (Ki-Zerbo, 1990).
Menurut Benninga (2006: 41) seharusnya pendidikan tidak hanya berkewajiban meningkatkan pencapaian akademis, tetapi juga bertanggung jawab dalam membentuk karakter peserta didik. Karakter positif suatu komunitas sebagian tersimpan dalam tradisi lisan termasuk komnitas Bajo yang selama ini menjadi media pendidikan tradisional mereka (iko-iko, nauya, pantun, dan mantra) Capaian akademis, pembentukan karakter yang baik, dan jiwa kewirausahaan merupkan tiga misi integral yang harus mendapat perhatian pendidik termasuk dalam pendidikan KF. Mekipun tuntutan ekonomi dan politik, seharusnya tidak menyebabkan penekanan output pendidikan pada pencapaian akademis mengalahkan idealitas peran pendidikan dalam pembentukan karakter yang dapat menghasilkan manusia yang memiliki daya saing tinggi. Untuk itu dalam pendidikan harus melibatkan tiga basis desain dalam programnya, yaitu: kelas, lembaga pendidikan, dan masyarakat/lingkungan sosial budaya (Raharjo, 2010).
Dalam tradisi lisan, peranan orang yang dituakan seperti kepala suku atau ketua adat sangat penting. Mereka diberi kepercayaan oleh kelompoknya untuk memelihara dan menjaga tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Satu kelompok masyarakat dengan nilai, norma, tradisi, adat dan budaya yang sama akan mempunyai jejak-jejak masa lampaunya. Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan jejak-jejak masa lampaunya disebarluaskan dan diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya secara lisan sehingga menjadi bagian dari tradisi lisan. Karya-karya dalam tradisi lisan merupakan bagian dari sebuah folklore (Hutomo (1991).
Tradisi lisan mengandung banyak nilai positif yang dapat diterapkan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat ataupun bernegara. Karena pada hakikatnya, tradisi lisan  hadir di tengah-tengah masyarakat tradisional yang menjaga dan memilihara Indonesia dari berbagai aspek kehidupan. Hal ini terkait dengan adanya pesan moral, kepercayaan, norma yang dipatuhi masyarakat demi keteraturan sistem sosial, serta nilai pendidikan yang dapat dijumpai di dalamnya. Namun dalam perkembangannya, eksistensi tradisi lisan belakangan ini sebagai hasil budaya masa lampau yang ikut membentuk peradaban nusantara sekaligus menjadi identitas Indonesia, mulai dipertanyakan. Keberadaan tradisi lisan dewasa ini seharusnya dapat memberikan jembatan untuk pemahaman kehidupan modern dengan memanfaatkannya sebagai suatu media pembelajaran, sehingga permasalahan mengenai nilai kebenaran pada tradisi lisan terkait dengan aspek ilmu pengetahuan tidak lagi dipertanyakan.
Pendidikan keaksaraan atau program pemberantasan buta aksara, mencakup: (1) Keaksaraan Dasar, (2) Keaksaraan Usaha Mandiri, (3) Keaksaraan Keluarga, dan (4) Keaksaraan Komunitas Khusus. Keaksaraan Dasar adalah upaya pemberian kemampuan keaksaraan bagi penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas agar memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung, mendengarkan, dan berbicara untuk mengkomunikasikan teks lisan dan tulis dengan menggunakan aksara dan angka dalam bahasa Indonesia. Keaksaraan Usaha Mandiri merupakan upaya penguatan keberaksaraan melalui pembelajaran keterampilan/usaha yang dapat meningkatkan penghasilan dan produktivitas seseorang atau kelompok. Pendidikan Keaksaraan Keluarga adalah upaya pemberdayaan keluarga dengan melatihkan kemampuan berkomunikasi melalui teks lisan, tulis, dan angka dalam bahasa Indonesia agar mereka dapat memperoleh, mencari, dan mengelola informasi untuk memecahkan masalah keluarga dan berperanserta dalam pembangunan. Keaksaraan Komunitas Khusus adalah merupakan upaya pemberian kemampuan keaksaraan bagi penduduk melek aksara parsial atau cenderung masih buta aksara atau penyandang Buta Aksara murni yang memiliki kekhususan tertentu, seperti daerah bencana, penyandang cacat, dan kelainan lain (Heni, 2013).
Sasaran program keaksaraan dasar adalah penduduk usia 15 tahun ke atas yang melek aksara parsial dan cenderung masih buta aksara murni. Memperoleh keterampilan dasar untuk baca, tulis, hitung serta mampu berbahasa Indonesia. Tujuan program KF adalah memperoleh keterampilan-keterampilan fungsional yang bermakna bagi kehidupan warga belajar sehari-hari, sehingga, warga belajar mampu untuk meningkatkan kualitas kehidupannya (Kemendiknas, 2011).
Aspek–aspek dasar KF, meliputi: Pertama, Keterampilan Dasar, yaitu: keterampilan yang berkaitan dengan kemampuan calistung warga belajar untuk mengenal huruf, merangkai kata, merangkai kalimat, membaca dengan lancar tanpa bantuan orang lain, keterampilan menulis, menulis informasi berdasarkan buah pikirannya sendiri tanpa bantuan orang lain, keterampilan berhitung dengan menggunakan simbol (+, :, -, x, menjumlah/menambahkan, membagi, mengurangi, mengali, dan menulis). Kedua, Keterampilan Fungsional, yaitu: kemampuan warga belajar dalam menggunakan keterampilan membaca, menulis, berhitung dalam kegiatan sehari-hari, seperti menulis kwitansi, mengisi formulir, membaca petunjuk, dan menulis surat.

C.    Hasil dan Pembahasan
1.      Jenis-jenis Tradisi Lisan dalam Komunitas Bajo yang Relevan sebagai Media Pembelajaran
Perkembangan tradisi lisan dalam latar masyarakat Bajo hampir semua komponen seperti yang dikemukakan oleh Hutomo (1991) yang mencakup 6 golongan, namun yang akan menjadi kajian dalam hal ini mencakup: pantun, iko-iko, nauya, dan mantra, seperti diperikan berikut ini.

a.      Pantun
Pantun adalah jenis puisi lama yang merupakan budaya asli Indonesia. Kata pantun berasal dari akar kata "tun" dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno), berarti tuntun-atuntun, dalam bahasa Indonesia berarti mengatur. Jadi, kata pantun adalah sama dengan aturan atau susunan. Pengertian pantun tersebut sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh seorang pengkaji Budaya Melayu bernama R.O. Winsted yang menyatakan bahwa pantun bukanlah sekadar gubahan kata-kata yang mempunyai rima dan irama, tetapi merupakan rangkaian kata yang indah untuk menggambarkan kehangatan cinta, kasih sayang, dan rindu dendam penuturnya. Singkatnya, pantung mengandung ide yang kreatif dan kritis serta padat kandungan maknanya.
Masyarakat Bajo mengenal beberapa jenis pantun, seperti: pantun muda-mudi, pantun jenaka, dan pantun nasehat.

1)      Pantun muda-mudi
Kutiku gambuh pitu ngka’na
Kettu dakau tambang nam
Lako sinona setujuya
Petune kita karuma imam.
            Kupetik gambus talinya tujuh
            Putus satu tinggal enam
            Kalau sinona sudah setuju
            Marilah kita ke rumah imam.

2)      Pantun jenaka
      Mubo lambos marapas lipu
Daung saroko missa bungana
Aha gambus marawas lipu
Mole ka ruma missa gunana
Cabut lambos bunyi semua
Daun saroko tidak ada bunganya
Orang gambus bergema-gema
Pulang ke  rumah tidak ada gunanya.
      
3)      Pantun Nasehat
Konsep religius mencakup pesan-pesan seputar ajaran Islam, misalnya: shalat lima waktu, puasa, zakat, haji, dan membantu orang lain.
Para ellow antara ellow
Nggai samulia jumaha ellow
Parala nabi antara nabi
Nggai samulia Muhammad Nabi
Para bulan antara bulan
Nggai samulia bulan puasa
Para tuan antara tuan
Nggai darua Tuhan Yang Esa
Hai Papuku sugi singsara
Pabillianna ridda mudana
Nggai tareke para pamakarissana
Liwa parana dibunanna ma’na

Banyak hari antara hari
Tidak semulia hari Jum’at
Banyak nabi antara nabi
Tidak semulia Nabi Muhammad
Banyak bulan antara bulan
Tidak semulia bulan puasa
Banyak tuan antara tuan
Tidak ada Tuhan Selain Tuhan Yang Esa.
Ya Tuhanku (Tuhannya) kaya dan miskin
Menjual pula sangat murahnya
Tidak terhitung banyak nikmatnya
Limpah karunia bagi hambanya.

b.      Iko-iko
Iko-iko merupakan salah satu jenis cerita rakyat yang digambarkan oleh Moeliono (1988) seabagi suatu cerita dari zaman dahulu yang hidup di kalangan rakyat dan diwariskan secara lisan. Iko-iko merupakan cerita epic yang dinyanyikan secara capella, dari hafalan seorang penyanyi tunggal. Cerita iko-iko dilantunkan pada malam hari, saat  acara yang  beragam (saat menacing semalam suntuk), peluncuran perahu baru, selamatan rumah baru, dan malam pernikahan. Iko-iko berdurasi dari satu jam sampai lebih 14 jam (Nuraini, 2013). Cerita Iko-iko berbentuk prosa, ungkapan berirama yang dikelompokkan dalam cerita yang dilantunkan dengan vocal panjang yang dinyanyikan. Penggunaan prosa dalam cerita ini menjadi bagian dari keindahan karya ini: metafora, perumpamaan, narasi, serta ragam komposisi parallel suatu keunikan dalam Bahasa Austronesia.
Berbagai media yang digunakan untuk mendokumentasikan sejarah tentang suatu peradaban manusia atau hal-hal lainnya melalui lisan. Bagi Komunitas Bajo telah mengenal iko-iko yang dijadikan media dalam penuturan sejarah dan peradabannya sejak dahulu. Iko-iko adalah suatu proses mendokumentasian sejarah komunitas Bajo secara lisan dalam bentuk cerita dengan menggunakan bahasa rakyat yang berbasis pada Bahasa/Sastra Melayu.  
Tradisi lisan iko-iko erat kaitannya dengan antropologi karena berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan Etnis Bajo di berbagai daerah. Iko-iko merupakan sastra lisan, karena disebarkan dari satu orang ke orang lain secara lisan kemudian prosesnya dilihat, didengar, kemudian dilisankan kembali. Jadi, yang dilihat dalam tradisi lisan adalah proses dan hasil melisankan.
Iko-iko merupakan tradisi lisan, dan juga sastra lisan karena disebarkan dari satu orang ke orang lain secara lisan dan proses pembuatan atau proses kreatifnya didengar dan dilihat oleh penontonnya. Jenis tradisi lisan seperti iko-iko ini dapat menjadi kekuatan kultural dan salah satu sumber penting dalam pembentukan identitas dan peradaban komunitas Bajo. Tradisi lisan iko-iko telah berkembang di kalangan Etnis Bajo sebelum mereka mengenal aksara.
Iko-iko yang merupakan cerita rakyat, sejalan dengan pandangan Itadz (2003 : 19) bahwa cerita dapat digunakan oleh orang tua dan guru sebagai sarana mendidik dalam membentuk kepribadian anak melalui pendekatan transmisi budaya atau cultural transmission approach. Dalam cerita, nilai-nilai luhur ditanamkan pada diri anak melalui penghayatan terhadap makna dan maksud cerita (meaning and intention of story). Anak melakukan serangkaian kegiatan kognisi dan afeksi, mulai dari interpretasi, komprehensif, hingga adopsi terhadap nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Hakikat cerita adalah menyenangkan anak sebagai penikmatnya, karena cerita memberikan bahan lain dari sisi kehidupan. Cerita dapat dianggap sebagai pembelajaran salah benar serta realisasi nilai-nilai yang didasarkan pada pertimbangan afektif dan berdasarkan pada pengalaman.
Cerita rakyat berkaitan dengan lingkungan, baik lingkungan masyarakat maupun ingkungan alam. Cerita rakyat merupakan cermin kebudayaan dan cita-cita anggota kolektif atau pemiliknya. Menurut Itadz (2003) media cerita rakyat sangat membantu dalam pembelajaran. Melalui cerita rakyat pembelajaran akan menjadi lebih menyenangkan dan siswa lebih antusias dalam proses pembelajaran. Dengan demikian siswa bisa melatih keterampilan membaca melalui pemilihan kata dengan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh orang lain. Selain itu pengetahuan siswa menjadi lebih luas untuk mengembangkan segala kemampuannya.

c.       Nauya
Nauya adalah tradisi lisan komunitas Bajo berupa nyanyian dalam bentuk mengeluarkan suara bernada. Nyanyian merupakan komponen music pendek yang terdiri atas lirik dan lagu (Moeliono, 1988). Masyarakat Bajo mengenal beberapa jenis lagu, mulai lagu yang dinyanyikan saat menina-bobokkan anaknya menjelang tidur, seperti diperikan berikut ini.
Ella-ella, tidorko daha nandole
Batongko daha nanges
Batongko daha dinanges uwan’nu pore sakai ka Papua
Barah digunan umor taha, nia dalle’na
Barah dibunangko umor taha mubasar musakai daruwa uwa’nu.
Artinya:
Hai bunga tidurlah jangan ingat-ingat yang lain
Bangunlah jangan menangis
Bangunlah jangan engkau menangis bapakmu pergi berlayar jauh ke Papua
Mudah-mudahan dia diberi umur panjang dan banyak rezekinya
Mudah-mudahan engkau diberi umur panjang dan besar, engkau berlayar seperti bapakmu.
                                              
d.      Mantra
Mantra adalah perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib. Pengertian lain menyatakan bahwa mantra merupakan susunan kata berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk melindungi kekuatan gaib yang lain (Moeliono, 1988).
Masyarakat Bajo juga mengenal mantra yang diucapkan atau disampaikan dalam berbagai keperluan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya terkait dengan kehidupan mata pencaharian di laut, yaitu saat akan membuang pukat/jaring ke laut, seperti diperikan berikut ini.
Bismilahir rahmanir rahiim
Oh dayah
Kau palikka tangnu, tikka ma jabalnur
Kau nabinu Nabi Nuh
Anu teo patutukunu
Artinya:
Bismilahir rahmanir rahiim
Oh ikan
Kamu berasal, dari Jabalnur
Nabimu Nabi Nuh
Yang jauh dekatlah
Makna mantra bagi Komunitas Bajo dapat merefrensikan konstruksi realitas social budaya Suku Bajo, sekaligus sebagai identitas budaya bagi komunitas Bajo di wilayah ini. Pemaknaan terhadap mantra memperlihatkan suatu pola kepercayaan yang berkembang di tengah masyarakat Bajo yang meyakini kebaradaan Tuhan sebagai pemilik kekuasaan tetinggi dan adanya nabi/rasul sebagai utusan Tuhan (Uniawati, 2012). Selain itu, masyarakat Bajo juga meyakini akan adanya kekuatan gaib yang menjadi media perantara untuk mewujudkan suatu keinginan melalui pembacaan mantra tertentu.
  
2.      Makna Tradisi Lisan dalam Pemberdayaan Masyarakat Bajo
Kendala utama yang dihadapi oleh tradisi lisan Komunitas Bajo adalah masalah pewarisan. Proses pewarisan ini tidak berjalan lancar karena seiring dengan perkembangan zaman, banyak sekali faktor yang telah mengalihkan perhatian masyarakat dari lingkungan social budayanya. Generasi sekarang telah dibius dengan berbagai bentuk hiburan melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Begitu pula para orang tua yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai pihak yang tidak dapat memelihara tradisi karena terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Hal inilah yang mengakibatkan pewarisan tradisi lisan Bajo dari generasi terdahulu ke generasi sekarang tidak berjalan sebagaimana mestinya, dan nyaris tidak ditemukan pewaris aktif yang berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Susanto (2012) pada Komunitas Using di Banyuwangi yang masih memiliki pewaris aktif dan pewaris pasif.
Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa dunia generasi muda diramaikan dengan permainan modern yang berteknologi tinggi. Permainan tersebut kebanyakan bersifat pasif dan kurang merangsang perkembangan mental generasi dalam proses interaksi dengan lingkungan. Dengan kian intensifnya arus globalisasi yang menyerbu masyarakat sekarang, jelas bahwa nilai-nilai tradisi tidak dapat bersaing dengan arus globalisasi dalam mempengaruhi lingkungan sosial. Secara terus-menerus masyarakat sekarang kian diasingkan dari warisan nilai-nilai budaya nenek moyangnya.
Tradisi lisan merupakan warisan antargenerasi yang mempunyai makna simbolik di balik gerakan, ucapan, maupun alat-alat yang digunakan. Pesan-pesan tersebut bermanfaat bagi perkembangan kognitif, emosi dan sosial peserta didik. Pesatnya perkembangan permainan elektronik membuat posisi permainan tradisional semakin tergerus dan nyaris tak dikenal. Memperhatikan hal tersebut, perlu usaha-usaha dari berbagai pihak untuk mengkaji dan melestarikan keberadaannya melalui pembelajaran ulang pada generasi sekarang melalui proses modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi sekarang (Fajarwati, 2009, Hafid, 2010).
Diantara sekian banyak makna tradisi lisan, yang menarik untuk dicermati adalah tradisi lisan dapat menjembatani kehidupan manusia pada masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Seiring dengan perkembangannya dari masa ke masa, ternyata tradisi lisan dapat pula berfungsi sebagai sumber informasi yang bermanfaat dalam menuntun manusia ke arah kehidupan yang lebih baik dan berdaya guna pada hari esok. Melalui tradisi lisan, individu dapat mengamati, mencerna, menafsir, merenungi, menelaah, serta meresapi pesan-pesan dan nila-nilai yang terkandung di dalamnya. Pengamatan dan penelaahan terhadap pesan-pesan dan nilai-nilai karya sastra tersebut pada akhirnya mengarahkan pembaca untuk mencari dan menemukan pencerahan dan jalan kebenaran.
Salah satu penyebab tergusurnya unsure-unsur tradisi lisan disebabkan karena kebijakan pemerintah, seperti kebijakan penguasa Kesultanan Buton yang dikuasai kaum sufi berdampak pada perubahan tatanan berkesenian masyarakat Buton. Pertunjukan tersebut dinilai tidak sesuai dengan tatanan kehidupan kaum sufi karena dalam pertunjukan kabanti, laki-laki dan perempuan terlibat secara langsung, baik sebagai penyanyi maupun sebagai pengiring nyanyian (pajogi dan ngibing). Kaum sufi menghendaki tradisi pertunjukan yang digelar masyarakat perlu disesuaikan dengan tatanan pergaulan kaum sufi yang dilandasi ajaran tasawuf (Malim, 1981; Asrif, 2012).  Situasi tersebut menjadikan kabanti sebagai suatu tradisi lisan yang semula sebagai sastra lisan keraton, bergeser menjadi kesenian luar keraton.
Situasi yang hampir sama terjadi pada tradisi lisan madero/pantun yang dilarang pentas sejak era Orde Baru, namun hasil penelitian tahun 2009-2013 tentang Sejarah Daerah Konawe Utara menemukan beberapa tradisi lisan yang masih ada di kalangan masyarakat Bajo, seperti Nauya Bajo, Iko-Iko, Pantun, dan mantra yang penuturnya semakin berkurang, namun pada kenyataannya digemari oleh masyarakat karena mereka senang mendengarkan, namun jarang yang mampu mengungkapkan dalam bahasa sendiri (Hafid, 2014). Konten tradisi lisan tersebut mengandung nilai-nilai edukatif yang perlu dilestarikan dan dikembangkan dalam rangka pemberdayaan masyarakat Bajo.  Kajian sejenis juga telah dilakukan tentang pemberantarasan buta aksara berbasis tradisi lisan pada komunitas Bajo di Konawe Utara, dengan menampilkan suatu kerifan lokal berupa pantun yang dirangkaikan dengan kesenian modero (Hafid, 2011).
Berdasarkan pemikiran tersebut menunjukkan bahwa bahan ajar yang memiliki kekhasan dalam muatannya berupa tradisi lisan (naunya bajo, iko-iko, pantun, mantra) dari Komunitas setempat dalam rangka pemberdayaan masyarakat pendukungannya.

3.      Fungsi Tradisi Lisan sebagai Media Pembelajaran
Tradisi lisan iko-iko sebagai folklore menurut Sibarani (2013) dapat dijadikan sebagai media dan sumber pendidikan/pembelajaran. Melalui kaca mata yang sama, menurut Rahmana (2014) tradisi lisan dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan, misalnya melalui ritual Hamis Batar (tradisi lisan masyarakat Timor berupa upacara syukuran terhadap jagung yang dipanen) di Kupang sebagai media untuk memperoleh pengetahuan yang mendekati nilai kebenaran, seperti mengkaji kepercayaan masyarakat setempat terhadap kekuatan di luar diri manusia, tentang fungsi tetua adat sebagai bagian dari sistem sosial yang mengambil peran dalam ritual Hamis Batar. Melalui “pendekatan historis” untuk mendapatkan pengetahuan dari tradisi lisan, kita bisa menemukan pondasi kebudayaan Indonesia, sekaligus dapat digunakan untuk memantapkan identitas kebudayaan nusantara dalam rangka menjawab tantangan zaman.
Tradisi “penuturan” merupakan akar dari budaya yang berkembang di Nusantara. Hal ini dapat diasumsikan melalui masyarakat pra-aksara yang menggunakan tradisi lisan untuk menyalurkan cara berpikir dan cara hidup antar sesama manusia, termasuk aktivitas yang berhubungan dengan alam dan sang pencipta. Sehingga, hadirnya tradisi lisan ternyata ikut mendukung lahirnya adat istiadat, kebiasaan, hukum, kepercayaan, maupun bahasa yang berkembang di wilayah-wilayah Indonesia. Seiring dengan perkembanan zaman, tradisi lisan mulai ditinggalkan karena pencitraannya yang kuno dan statis sebagai hasil budaya masa lampau. Hal ini tidak terlepas dari tradisi tulis-menulis yang mulai dikenal, serta adanya pengaruh globalisasi yang serta-merta ikut merubah cara berpikir masyarakat Indonesia. Sehubungan dengan upaya penyelamatan dan pelestarian terhadap akar budaya nusantara, maka diperlukan usaha-usaha membangkitkan ketertarikan kembali terhadap tradisi “penuturan” ini. Usaha-usaha tersebut diantaranya, melakukan aktualisasi tradisi lisan yang dikemas dalam seni pertunjukan, mengikutsertakan tradisi lisan dalam dunia akademis sebagai upaya pengenalan sekaligus melahirkan generasi pewaris tradisi “penuturan”, serta menjadikan tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan yang dapat dikaji melalui metode ilmiah dan pendekatan displin ilmu sosial, seperti pendekatan historis. Diharapkan tradisi lisan dapat diselamatkan dan dilestarikan keberadaannya ditengah-tengah iklim globalisasi. Sehingga, masyarakat Indonesia memiliki identitas kebudayaan yang kuat agar dapat digunakan sebagai pedoman dalam rangka menyikapi budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia.
Tradisi lisan, budaya lisan dan adat lisan adalah pesan atau kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pesan atau kesaksian itu disampaikan melalui ucapan, pidato, nyanyian, dan dapat berbentuk pantun, tradisi lisan, nasihat, balada, atau lagu. Pada cara ini, maka mungkinlah suatu masyarakat dapat menyampaikan sejarah lisan, sastra lisan, hukum lisan dan pengetahuan lainnya ke generasi penerusnya tanpa melibatkan bahasa tulisan.
Berdasarkan pemikiran tersebut menunjukkan bahwa tradisi lisan merupakan lambang identitas daerah/Komunitas yang diungkapkan lewat bahasa lisan, tradisi, hukum, sejarah yang mengandung nilai-nilai luhur yang sangat berharga. Tradisi lisan merupakan suatu aset kekayaan budaya yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan ajar bagi masyarakat setempat, sehingga dapat melestarikan nilai dan mengembangkan karakter positif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akhirnya tepatlah dikatakan Cobern dan Aikenhead (2008) bahwa transfer pengetahuan apapun bentuknya, harus mempertimbangkan latar belakang budaya peserta didik.
Trandisi lisan melukiskan kondisi faktual mental tradisi masyarakat yang mendukungnya, simbol identitas bersama masyarakatnya sehingga menjadi simbol solidaritas dari masyarakatnya, dan menjadi alat legitimasi bagi keberadaan suatu kolektif, baik sebuah marga, masyarakat maupun suku bangsa. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Danandjaja (1983) yang menyatakan bahwa bentuk-bentuk folklor mempunyai fungsi sebagai berikut: 1) sebagai sistem proyeksi; 2) sebagai alat pengesahan budaya; 3) sebagai alat paedagogik; dan 4) sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma masyarakat dan pengendalian masyarakat.
Tradisi lisan berupa pantun, nauya, iko-iko menjadi alat masyarakat Bajo untuk mengkonstruksi dan mereproduksi kebudayaannya. Termasuk mengkonstruksi masa depannya dan berkomunikasi dengan orang lain. Tidak mengherankan dalam tradisi lisan Komunitas Bajo dijadikan sarana bersopan santun dalam menyatakan kedermawanan, kebijaksanaan, kerendahan hati, permufakatan, penghargaan, dan kesimpatian. Oleh karena itu, tradisi lisan Komunitas Bajo dapat dijadikan dan dikembangkan sebagai media pembelajaran dalam mengembangkan karakter positif peserta didik. Agar pembelajaran lebih menyenangkan guru dapat menggunakan berbagai media pembelajaran yang inovatif. Menggunakan media dalam pembelajaran tidak hanya berperan sebagai sarana dalam membantu dalam proses pembelajaran akan tetapi juga merupakan strategi pembelajaran.
Secara etimologis media berasal dari bahasa Latin, merupakan bentuk jamak dari kata medium yang berarti tengah, perantara, atau pengantar. Menurut Sanjaya (2009) secara umum media pembelajaran itu meliputi orang, bahan, peralatan, atau kegiatan yang  menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa memeperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap. Menurut Asyhar (2012) fungsi media sebagai perantara atau pengantar suatu pesan dari si pengirim (sender) kepada si penerima (receiver) pesan. Media merupakan komponen yang sangat penting dalam suatu proses komunikasi. Media merupakan alat yang digunakan untuk menyalurkan pesan dan informasi dari pengirim pesan kepada penerima pesan. Dalam menumbuhkan keterampilan membaca siswa, guru dapat mempariasikan pembelajaran dengan berbagai sarana dalam pembelajaran, salah satunya melalui media cerita rakyat. Banyak orang tidak menyadari betapa besar pengaruh cerita terhadap perilaku manusia, bahkan sampai membentuk budaya. Cerita memberikan pilihan, merangsang daya analisis siswa melalui informasi tersirat, merangsang kepekaan akan kebutuhan dan perasaan orang lain, serta mendorong siswa menelaah perasaanya sendiri.
Bercerita merupakan aktivitas penting yang perlu dikuasi siswa. Bukan saja siswa senang menyimak cerita, tetapi cerita merupakan salah satu metode pembelajaran seni bahasa tertua. Cerita mendorong anak untuk mencintai bahasa. Dari sebuah cerita, siswa bukan saja dapat mengetahui perkara-perkara baru, tetapi juga dapat meningkatkan minatnya terhadap hal-hal baru (Rosdiana, 2007).
Cerita juga membantu perkembangan imajinasi anak, sekaligus memberi wadah bagi anak-anak itu untuk belajar berbagai emosi dan perasaan, seperti sedih, gembira, simpati, marah, senang, cemas, serta emosi manusia yang lain. Cerita juga menghidupkan suasana pembelajaran di kelas. Cerita menjadikan kelas terasa lebih natural, bahkan ketika nilai-nilai ditransmisikan melalui cerita. Cerita adalah pelajaran penuh makna yang memegang peran penting dalam sosialisasi nilai-nilai baru pada anak.
Nilai pendidikan sangat erat kaitannya dengan karya sastra. Setiap karya sastra yang baik, termasuk cerita rakyat, selalu mengungkapkan nilai-nilai yang bermanfaat bagi pembacanya. Nilai-nilai tersebut bersifat mendidik serta menggugah hati pembacanya. Nilai-nilai pendidikan yang dimaksud dapat mencakup nilai pendidikan moral, nilai adat, nilai agama (religi).  Hal ini menunjukkan bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra dapat berupa nilai medial (menjadi sarana), nilai final (yang dikejar seseorang), nilai kultur, nilai kesusilaan, dan nilai agama.
Kita menyadari bahwa setiap sitem  pendidikan kiranya perlu disertai usaha untuk menanamkan wawasan pemahaman budaya bagi setiap anak didik (Rahmanto,1988: 18). Melalui usaha pemahaman budaya dapat ditumbuhkan sikap dan rasa bangga, percaya diri, dan  rasa ikut  memiliki. Usaha untuk mengenal  pribadi dari seseorang akan terlihat dari cara dalam menanamkan budaya melalui cerita pada nanak-anak, kita mengenalkan cara berpikir, mencontohkan usaha para pendahulu dengan prinsip-prinsip kehidupan, ajaran yang di bawa serta sikap dan perilaku yang diajarkan pada zaman dahulu. Seorang raja akan bersifat sopan dalam tingkah laku karena pendahulunya menurunkan cerita ini  pada generasi berikutnya. Secara lebih mendasar dapat dikatakan bahwa pengajaran sastra, yakni cerita rakyat, memiliki banyak manfaat dan dapat membantu pendidikan secara utuh.
Hal di atas senada dengan yang sampaikan oleh Bascom bahwa ada empat fungsi cerita dalam pendidikan, yaitu: (a) sebagai sistem proyeksi, yakni sebagi alat pencerminan angan-angan suatu kolektif, (b) sebagai alat pengesah pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan pada anak didik, (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan  selalu dipatuhi anggota kolektifnya (Dananjaja, 1997).
Melalui cerita rakyat, empat keterampilan berbahasa yang meliputi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dapat ditingkatkan melalui penmbelajaran cerita rakyat sebagai materi pembelajaran. Dalam mempelajari sebuah karya sastra,  secara otomatis peserta didik dapat menyimak cerita dari guru atau teman–temannya. Mereka juga dapat mengungkapkan kembali cerita tersebut, pada sisi lain mereka juga dapat menuliskan isi cerita dengan bahasa mereka sendiri. Hal-hal yang dilakukan oleh para tokoh cerita akan dijadikan inspirasi untuk membentuk dan mengembangkan cipta, rasa dan karsa dari peserta didik pada masa yang akan datang. Begitu  juga dalam pembentukan watak peserta didik, mereka akan mencontoh sifat dan karakter serta perilaku tokoh dalam cerita tersebut.
Program pemberdayaan masyarakat melalui pembelajaran harus melihat dua perangkat kebutuhan belajar yang luas: (1) menoleh ke belakang, dan (2) memandang ke depan. Terkait dengan itu, maka perlu memperhatikan rekomendasi UNESCO tentang program pendidikan, yaitu: hendaknya learning to know or learning to learn, learning to do, learning to be, leaning to live together) (Delors, 1996), demikian pula konsep Community Based Education (CBE). Dalam semangat pemberdayaan menurut Community Based Education adalah desentralisasi dalam manajemen pendidikan atau untuk, oleh dan dari masyarakat, serta nilai-nilai tradisional harus dilestarikan dan dimanfaatkan dalam implementasi (Jalal dan Supriadi, 2001). Konsep tersebut mendorong masyarakat bertanggung jawab terhadap program baik untuk diri sendiri maupun terhadap lingkungan sosialnya.
Sejaln dengan itu, dalam konteks pendidikan luar sekolah khususnya para program Keaksaraan Fungsional (KF) yang harus memiliki persentuhan dengan budaya komunitas setempat, karena prinsip-prinsip program KF, meliputi: (1) konteks local, yaitu kegiatan pembelajaran dilaksanakan berdasarkan minat, kebutuhan pengalaman, permasalahan, dan situasi  local, serta potensi yang ada di sekitar warga belajar, (2) disain local, yaitu tutor bersama warga belajar perlu merancang kegiatan pembelajaran di kelompok belajar sesuai kebutuhan warga belajar, (3) partisipatif, tutor perlu melibatkan warga belajar berpartisipasi secara aktif  dari mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, hinggaa penilaian hasil pembelajaran, dan (4) fungsionalisasi hasil belajar, yaitu warga belajar diharpkan dapat memecahkan masalah keaksaraannya dan meningkatkan mutu serta taraf kehidupannya (Musa, 2011).
Dari beberapa pendapat tersebut menunjukkan bahwa pemilihan tradisi lisan sebagai media pembelajaran sangat tepat. Dalam jangka pendek, tradisi lisan dapat digunakan sebagai media yang mempermudah/mempercepat pemahaman warga belajar akan bahan ajar yang tersaji; dan jangka panjang, sebagai bahan pembinaan dan pengembangan apresiasi sastra Indonesia dan daerah, pada masa datang dapat membentuk watak  yang kelak akan dapat menciptakan dan mengembangkan inspirasi cipta, rasa dan karsa pada diri peserta didik, di kala krisis moral sedang melanda linkungannya.

4.      Penutup
Eksistensi tradisi lisan sangat tergantung kepada komitmen kultural para pewarisnya, baik pewaris aktif maupun pewaris pasifnya. Produk-produk tradisi lisan dalam Komunitas Bajo yang nyaris mati, meskipun masih dapat dijumpai pada pewaris pasih yang jumlahnya semakin terbatas. Di dalam wilayah-wilayah pemjukiman komunitas Bajo pada pesisir pantai dan pulau-pulau  di Sultra, tidak semua memiliki penutur pasif. Produk tradisi yang bisa bertahan tersebut bukan hanya memiliki fungsi dan nilai esteka, tetapi juga memiliki nilai edukatif yang sangat dibutuhkan dalam upaya pemberdayaan komunitas Bajo dalam bentuk pendidikan Keaksaran Fungsional bagi anggota masyarakat yang masih menyandang buta aksara. Jika suatu tradisi masih percaya memberi manfaat kepada mereka, maka tradisi lisan tersebut, akan mereka pertahankan dan bahkan akan dijadikan kebanggaaan bagi komunitasnya.
Manfaat kultural-edukatif (identitas dan kebanggaan lokal), akan berdampak terhadap manfaat ekonomis (dapat dikembangkan menjadi industri kreatif) oleh para pewarisnya, sehingga memberi dorongan kepada para pewaris untuk tetap menjaga dan mengembangkan tradisinya. Manfaat edukatif yang dirasakan oleh komunitas Bajo bahwa dengan mengembangkan dalam bentuk media pembelajaran, mereka merasa menjadi bagian penting dari kehidupannya. Melalui tradisi yang lisan yang dijaga dan dikembangkan, sehingga identitas lokal mereka menjadi semakin kuat.

DAFTAR PUSTAKA

Asrif. 2012. Kesusastraan Buton Abad XIX: Kontestasi Sastra Lisan dan Sastra Tulis, Budaya dan Agama”. Makalah Disaji kan pada  Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara (VIII) Tanjungpinang, 23-27 Mei 2012.
Asyhar, Rayandra. 2012. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: Megamall.
Benninga, Jacquess S. 2006. “Character and Academic: What Good School Do” dalam Phi Delta Kappa. Edisi Februari (Hal. 448-453).
Cobern, W.W. dan G.S. Aikenhead. 2008. Cultural Aspects of Learning Science. In B.J. Fraser & K.G.
Danandjaja, James 1983. “Folklor sebagai Bahan Penelitian Antropologi Psikologi”, dalam Analisa Kebudayaan Th. IV No. 3 1983/1984. Jakarta: Depdikbud. Halaman 61-71.
Delors, J., et al. (1996). Leraning: The Treasure Within. Paris: UNESCO.
Hafid, Anwar dan Syafruddin. 2011. Laporan Akhir Bantuan Biaya Pendidikan Keaksaraan Berbasis Cerita Rakyat. Kendari: Yayasan Amanah Kesejahteraan Masyarakat Pedesaan (YAKMADES) kerja sama Direktorat Pendidikan Masyarakat Kemendiknas.
Hafid, Anwar dan Syafruddin. 2014. Sejarah Daerah Konawe Utara. Bandung: Alfabeta.
Hafid, Anwar. 2012.  Peran Cerita Rakyat Iko-Iko Berbasis Sastra Melayu dalam Penguatan Komunitas Etnis Bajo”. Makalah Disaji kan pada  Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara (VIII) di Tanjungpinang, 23-27 Mei 2012. 
Heni. 2013. Penuntasan Buta Aksara Di Daerah Istimewa Yogyakarta
30 Agustus 2013.
Http://Pendidikan-Diy.Go.Id/Dinas_V4/Index.Php?View=V_ Artikel&Id=22. Akses, 23 Maret 2014.
Hutomo, Suripan Hadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI Komisariat Jawa Timur.
Itadz. 2003. Cerita Untuk Anak Usia Dini. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Jalal, F dan Supriadi, D. (2001). Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Kemendibud. 2013. Petunjuk Teknis Pendidikan Keaksaraan Dasar. Jakarta: Ditjen Paudni-Kemendikbud.
Ki-Zerbo, Joseph. 1990. Methodology and African Prehistory. UNESCO International Scientific Committee for the Drafting of a General History of Africa: James Currey Publishers.
Malim, La Ode. 1981. Kesenian Daerah Wolio. Jakarta: Balai Pustaka.
Moeliono, Anton M, dkk. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Musa, Safuri. 2011. Meretas Jejak Penuntasan Tuna Aksara di Indonesia. Jakarta: Kemendikbud.
Nuraini, Chandra. 2013. “Bahasa Bajo Kepulauan Kangean”. Dalam Kepulauan Kangean: Penelitian Terapan untuk Pembangunan.  Penyunting: Illous, Charles dan Grange, Philippe. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Peursen, C.A. van. 1976. Strtaegi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Pudentia, MPSS (ed). 1999. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
Raharja, Sabar Budi. 2010. “Pendidikan Karakter sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia”.  Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Vol. 16 No. 3, Edisi Mei 2010 (Hal. 229-238).
Rahmana, Siti. 2014.  Tradisi Lisan: Aktualisasi, Eksistensi, Dan Transformasi Hasil Budaya Masa Lampau. http://tempo-institute.org/tradisi-lisan-aktualisasi-eksistensi-dan-transformasi-hasil-budaya-masa-lampau/. Akses, 26 Februari 2014. 
Rosdiana, Yusi dkk. 2007. Bahasa dan Sastra Indonesia di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sibarani, Robert. 2013. Folklor sebagai Media dan Sumber Pendidikan Sebuah Ancangan Kurikulum dalam Pembentukan Karakter Siswa Berbasis Nilai Budaya Batak Toba”. Dalam Folklor Nusantara: Hakikat, Bentuk, dan Fungsi. Yogyakarta: Ombak.
Sutarto, Ayu. 2012. “Tradisi Lisan, Kohesi Sosial, dan Industri Kreatif Cerita Dari Komunitas Using/Banyuwangi”. Makalah Disajikan pada  Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara (VIII) di Tanjungpinang, 23-27 Mei 2012.
Uniawati. 2012. Mantra Nelayan Suku Bajo: Interpretasi Semiotik Riffaterre. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.
Vansina, Jan.  2014. Tradisi Lisan sebagai Sejarah.Yogyakarta: Ombak.



Makalah: Disajikan pada Seminar Internasional dan Festival Tradisi Lisan IX, di Wakatobi, 12-15 Juni 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar