Kamis, 02 April 2020

PERANAN NASKAN LONTARAK ASAL-USUL SUKU BAJO DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER POSITIF BANGSA


                                                        Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.

 

 Makalah Disajikan pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara (MANASSA) XV, Padang, 18-20 September 2014

 



A.     Pendahuluan
Dewasa ini hangat dibincangkan pendidikan karakter, seiring melemahnya karakter positif dalam sikap dan ungkapan bahasa masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Kenyataan ini mengingatkan kita akan pesan-pesan leluhur yang sering diungkapkan para orang tua dalam berbagai kesempatan dengan maksud memberikan pendidikan karakter kepada generasi, tetapi setelah perkembangan pendidikan formal, seakan para orang tua menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah dengan harapan para guru akan tetap memberikan pendidikan karakter yang sejalan dengan budaya setempat, namun kenyataannya para guru banyak yang tidak memahami pendidikan karakter dari budaya setempat, sehingga tidak dapat mensenyawakan materi pelajaran yang diajarkan dengan nilai-nilai karakter positif yang berkembang di lingkungan peserta didiknya.
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan akibatnya. Pembentukan karakter merupakan amanah UU Sisdiknas Tahun 2003 agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter sehingga dapat melahirkan bangsa yang berkarakter dan bernafas nilai-nilai luhur bangsa dan agama (Miftah, 2013: 1).
Pendidikan dapat dilakukan dengan karya sastra. Hal ini sesuai dengan makna sastra. Kata sastra terdiri dari kata sas dan tra. Sas berarti mengajar, sedang tra berarti alat. Sastra berarti alat untuk mengajar (Widiyono, 2013: 2).  Karya sastra sebagai hasil cipta seorang sastrawan sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai ajaran hidup. Nilai kehidupan merupakan ciri bahwa karya sastra adalah karya seni. Dari karya sastra dapat dipetik berbagai manfaat seperti pengetahuan, pemahaman, nilai-nilai moral atau etis, sikap dan pandangan hidup bermacam-macam, sejarah, agama, dan sebagainya.
Karya sastra merupakan salah satu sumber informasi mengenai tingkah-laku, nilai-nilai, dan cita-cita yang khas pada anggota setiap lapisan yang ada di dalam masyarakat. Karya sastra merupakan karya yang artistik, yaitu terbentuk dari proses imajinasi dan proses realitas objektif. Karya sastra biasanya diciptakan terkait dengan persoalan atau peristiwa yang terjadi di kalangan masyarakat di mana pengarang hidup dan tinggal yang dikaitkan dengan pengalaman yang dimiliki.
Kesusastraan Bajo berupa lontarak yang mengisahkan tentang kepribadian masyarakat Bajo, sehingga menjadi wujud yang khas dan mengandung nilai-nilai karakter posotif yang bermanfaat dalam menjalankan kewajiban hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.  Naskah  berupa  lontarak yang  beraksara  dan  berbahasa Bugis  banyak  ditemukan pada masyarakat Bajo di Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara. Diantara naskah tersebut  sebagian telah  disimpan di Museum Negeri Sulawesi  Tenggara,  tetapi masih  banyak pula yang tersebar pada oknum-oknum  tertentu, yang  belum bersedia menyerahkan naskah leluhurnya itu  baik dalam bentuk aslinya maupun dicopy.
Salah  satu naskah lontarak yang berhasil  diamankan  di Museum  Negeri  Sulawesi Tenggara dalam bentuk copynya  ialah  Lontarak tentang "Assalenna Bajo" (Asal-usul Suku Bajo) yang  berdiam di Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara. Isi naskah ini minimal mengandung 4 nilai karakter positif, yaitu: (1) religius, (2) demokratis, (3) kepatuhan terhadap aturan-aturan sosial, dan (4) menghargai keberagaman.

B.     Pendidikan Karakter
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.  Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti nilai religius,   demokratis,  kepatuhan terhadap aturan-aturan sosial, dan  menghargai keberagaman. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan karakter berbasis sosial budaya.
Berbasis sosial budaya adalah kegiatan yang didasarkan pada unsur-unsur budaya yang ada pada masyarakat oleh Koentjaraingrat (1987: 2) diidentifikasi seperti: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organsisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan. Karena manusia hidup dalam lingkungan sosial budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang seharusnya dilakukan berdasarkan lingkungan sosial budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak terlepas dari lingkungan sosial budaya masyarakat.
Atas dasar pemikiran itu, maka kajian naskah lontarak Bajo sebagai konteks budaya, sangat strategis, karena mengandung nilai-nilai karakter yang relevan untuk dikembangkan dalam era sekarang ini, seperti:  nilai religius,   demokratis,  kepatuhan terhadap aturan-aturan sosial, dan  menghargai keberagaman.  Pengembangan pendidikan karakter berbasis budaya sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pengembangan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Untuk itu, harus dilakukan secara bersama dalam berbagai kesempatan, sehingga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sehari-hari.
Berikut adalah 25 butir nilai karakter sebagai prioritas penanaman pada anak remaja:
1.      Kereligiusan
2.      Kejujuran
3.      Kecerdasan
4.      Tanggung jawab
5.      Kebersihan dan kesehatan
6.      Kedisiplinan 
7.      Tolong-menolong
8.      Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
9.      Kesantunan
10.        Ketangguhan
11.        Kedemokratisan
12.        Kemandirian
13.        Keberanian mengambil risiko
14.        Berorientasi pada tindakan
15.        Berjiwa kepemimpinan
16.        Kerja keras
17.        Percaya diri
18.        Keingintahuan
19.        Cinta ilmu
20.        Kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
21.        Kepatuhan terhadap aturan-aturan sosial
22.        Menghargai  karya dan prestasi orang lain
23.        Kepedulian terhadap lingkungan
24.        Nasionalisme
25.        Menghargai keberagaman (Anonim, 2011: 7).
Nilai-nilai tersebut tersebar dan tersirat dalam setiap komunitas, baik lisan maupun tertulis. Bagi komunitas Bajo, nilai-nilai yang dikembangkan sebagian telah ditulis dalam lontarak ini menunjukkan bahwa Etnis Bajo memiliki peradaban yang cukup tinggi, karena sejak dahulu kala telah mampu mengembangkan bahasa tulisan dengan memanfaatkan bahasa dan pilihan kata yang santun. Umumnya pilihan kata yang digunakan dalam lontarak adalah bahasa yang halus.

C.     Nilai-nilai Karakter Positif dalam Naskah Lontarak Bajo
Nilai-nilai karakter positif dalam budaya Masyarakat Bajo dapat dikembangkan dalam pendidikan. Usaha pendidikan tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpishkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya. Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan peserta didik tercabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi, maka mereka tidak akan mengenal budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang “asing” dalam lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang yang tidak menyukai budayanya.
Budaya, yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang, dimulai dari budaya di lingkungan terdekat (keluarga, kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal yang dianut oleh ummat manusia. Apabila peserta didik menjadi asing dari budaya terdekat, maka dia tidak mengenal dengan baik budaya bangsa dan dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota komunitas budaya bangsa. Dalam situasi demikian, dia sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung untuk menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan. Kecenderungan itu terjadi karena dia tidak memiliki norma dan nilai budaya nasionalnya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pertimbangan.
Semakin kuat seseorang memiliki dasar pertimbangan, semakin kuat pula kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang menjadi warga negara yang baik. Pada titik kulminasinya, norma dan nilai budaya secara kolektif pada tingkat makro akan menjadi norma dan nilai budaya bangsa. Dengan demikian, peserta didik/remaja/individu akan menjadi warga negara Indonesia yang memiliki wawasan, cara berpikir, cara bertindak, dan cara menyelesaikan masalah sesuai dengan norma dan nilai yang positif. Hal ini sesuai dengan fungsi utama pendidikan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas, “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh karena itu, aturan dasar yang mengatur pendidikan nasional (UUD 1945 dan UU Sisdiknas)  sudah memberikan landasan yang kokoh untuk mengembangkan keseluruhan potensi diri seseorang sebagai anggota masyarakat dan bangsa.

D.     Nilai-nilai Karakter dalam Naskah Lontarak
1.      Religius
Nilai religius ini memfokuskan relasi manusia yang berkomunikasi dengan Tuhan (Baker. 1992: 184). Scheler mengungkapkan bahwa dalam hubungan dengan Tuhan, manusia mendapatkan pengalaman mengagumkan yang tidak terhapuskan (Wahana. 2004: 17). Untuk memahami nilai religius ini, hanya dengan iman dan cinta terhadap manusia dan manusia menyadari bahwa Tuhan itu merupakan Pencipta, Yang Maha kuasa, dan Yang Mahatahu (Baker. 1992: 185). Melalui nilai religius ini, manusia berhubungan dengan Tuhannya (Mangunhardjana, 1997: 11).
Nilai religius dalam naskah dinyatakan bahwa asal-usul  Etnis Bajo berasal dari Adam dan Hawa, kemudian ke Ussu (luwu), setelah melalui  perjalanan panjang Etnis Bajo ini berada  di  wilayah pengaruh Gowa, selanjutnya ke BajoE (Bone), dalam gerak persebarannya, kemudian sampai di Lasolo (Konawe Utara).
Pernyataan tersebut merupakan pengakuan asal-usul manusia sesuai dengan ajaran Islam yang mereka anut. Kemudian mereka bertebaran di muka bumi ini……
Suatu pembicaraan lagi, saat diperanginya Bone oleh Petta MatinroE di Topaccing, ……..Dialah yang memerintah saat Pembesar Ujung Pandang sepakat untuk menyerang Bone, ditundukkanlah pertahanan Bone, setelah kalah maka diangkatlah di kapal baginda Karaeng Segeri dibawa pergi ke Betawi, di sanalah sampai kembali di sisi Allah Yang Maha Tinggi.
Nampak pengakuan asal dan akhir dari kehidupan manusia menurut ajaran Islam, bahwa sesungguhnya manusia bersal dari Allah dan pada akhirnya kembali di sisi Allah ketika mengakhiri hidupnya di dunia ini……..
Mantaplah kesepakatan persatuan, maka dibacalah selawat tiga kali bersamaan berakhirnya selawat maka bersamaan berangkat Lolo, Ponggawa, Gellareng, bersama anak-cucu yang banyak, bersatulah anak-cucu yang banyak maju ke kampungnya Pua Kabeta, maka sampailah Lolo, Ponggawa, Gellareng bersama anak-cucu yang banyak di rumah Pua Kabeta dan sekampungnya.
Berkatalah Ponggawa kepada Pua Kabeta: wahai Pua Kabeta perbaiki posisi pertahananmu engkau akan dapat yang selama ini engkau tunggu-tunggu dari Lolo, maka dibaca lagi selawat tiga kali, setelah berakhir selawat bunyilah senajata di timur, bunyi di barat, bunyi di tengah saling menyerang dari anak cucu yang banyak.
Kedua pernyataan tersebut menunjukkan pengakuan sebagai makhluk yang daif atau lemah, sehingga selalu menyandarkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, melalui doa dalam bentuk selawat kepada Nabi Muhammad, baik saat memulai pekerjaan atau berangkat dari suatu perjalanan maupun saat mengakhiri pekerjaan atau sampai di suatu tujuan perjalanan. Kondisi ini dilakukan termasuk dalam situasi genting/peperangan sekalipun.

2.      Demokratis
Beberapa pandangan tentang konsep demokrasi diantaranya Plato yang menyatakan bahwa dalam bentuk demokrasi, kekuasan berada di tangan rakyat sehingaa kepentingan umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan. Secara prinsipil, rakyat diberi kebebasan dan kemerdekaan. Menurut Polybius, demokrasi dibentuk oleh perwalian kekuasaan dari rakyat. Pandangan kedua tokoh ini tergambar dalam sistem yang dikembangkan dalam komunitas Bajo sebagaimana diuraikan dalam naskah lontarak berikut ini.
Suatu pembicaraan, pada saat baginda MallinrungngE di Laleng Bata masih berkuasa dia menjadi Lolo yang tinggal berkedudukan di Kendari bernama Pua Baringeng dan nama dirinya Lapalettei, maka sepakatlah Ponggawa Uwa Danga bersama keluarganya semua orang Bajo sepakat mengangkat Lolo yang berkuasa di BajoE, maka di situlah lagi orang Bajo menetap di Kendari pada saat Lapalettei sedang menjadi Lolo (Hafid, 2010: 57).
Pengangkatan Lolo sebagai Raja Bajo dilakukan melalui pemilihan dari oleh dan untuk lingkungan komunitas Bajo sendiri yang tersebar di berbagai wilayah di Kawasan Timur Nusantara. Meskipun mereka bermukim pada wilayah yang berjauhan dibatasi oleh lautan, tetapi tetap memelihara dan mempertahankan kekerabatan termasuk dalam sistem sosial politiknya.
Adapun yang dikatakan dalam cap bahwa diharapkan kita orang Bajo kembali ke Negeri Bugis dan menetap kembali di perkampungan di sebelah timurnya Kampung Cellu. Datang lagi Sabennara diutus membawa cap dari Petta Ponre, yang dikatakan dalam cap bahwa diharapkan semua orang Bajo di Bonerate untuk kembali ke Negeri Bugis. Berkumpullah Ponggawa dan semua orang tua-tua, maka datang semua berkumpul berdiskusi tentang apa-apa yang dikatakan cap. Berkata Ponggawa bagaimana engkau sekeluarga anak cucu yang banyak tentang masalah kesepakatan yang dikatakan oleh capnya baginda.
Berkata penduduk semua yang tua-tua, kami mendukung kesepakatan, tinggal Ponggawalah yang membuat keputusan yang dianggapnya baik dan dapat menjamin keselamatan anak cucu yang banyak, bagaimanapun kesepakatannya Lolo bersama Ponggawa yang dianggap baik terhadap anak cucu yang banyak dan dapat menjamin keselamatan Negeri BajoE, itulah yang kita sungguh-sungguh untuk mengerjakannya.
Demokrasi yang dikembangkan masyarakat Bajo adalah demokrasi yang berkarakter dengan menghormati yang lebih tua, dan menghargai yang lebih muda. Sistem demokrasi ini cukup rasional, karena meskipun memilih yang lebih tua umurnya, tetapi juga tetap mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu berdasakan rasionalitas yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat Bajo.
Berkata Ponggawa dan Gellareng wahai semua penduduk yang tua-tua bersama anak cucu yang banyak, jika ada kesepakatannya Lolo, Ponggawa, Gellareng, maka bersatulah semua penduduk pada kesepakatan mereka bertiga. Berkatalah kepada anak cucu yang banyak kita bersatu semua dan sama perbuatan.
Berkata Ponggawa kepada Lolo demikianlah kesepakatan kita, berkata lagi Lolo kepada Ponggawa dan Gellareng jika ada yang dikatakan Lolo baik untuk Negeri BajoE engkau anggap baik pula Ponggawa atau engkau Gellareng. Berkata Ponggawa dan Gellareng, jika Lolo menyatakan baik, maka baiklah Negeri BajoE sebagai pengabdian Ponggawa Bajo dan Gellareng Bajo kepada Lolo.
Berkata Lolo kepada Ponggawa dan Gellareng, jika engkau paham kesepakatannya anak cucu yang banyak atas ketidak ingkarannya dari kesepakatan kita, yang penting kita persiapkan untuk menuju ke Negeri Bugis untuk membuktikan apa yang dikatakan capnya baginda, karena persembahan Negeri BajoE..... (Hafid, 2010: 63).
Suatu pembicaraan lagi, yang membicarakan tentang pelantikan Lolo di Bonerate di Labenggo Pua Sauma bernama Toappa dikukuhkan menjadi Lolo di Negeri BajoE menggatikan Pua Lolo yang tua dan telah disepakati oleh anak cucu yang banyak berasal dari Penyeberangan di Togiang, PonggawaE dan Gellareng pergi mengundang orang Bajo semua untuk berkumpul di Bonerate di Labenggo.
Adapun cara pelantikannya diadakan undangan sebelum kegiatan pelantikan maka mereka membuat makanan yang masak dan  makanan kebesaran, meraka saling berkumpul dari anak cucu cucu yang banyak dari orang-orang Bajo, setelah siap semuanya diundangkan dan diumumkan. Adapun bernama Pua Sabilu berdiri mengundang dan berkata dengarkanlah engkau semua anak-cucu yang banyak bahwa Pua Sauma bernama Toappa menggantikan menjadi Lolo di Negeri BajoE membawa kebesaran negeri BajoE, dialah yang mampu, perkasa, kaya dan dia juga pintar.
Demokrasi yang dikembangkan masyarakat Bajo adalah sistem demokrasi perwakilan. Mereka telah menetapkan criteria soseorang untuk dapat diangkat menjadi seorang pemimpin, yaitu: (1) mampu, memiliki kharisma dan wawasan yang luas, khususnya dalam dimenasi religius, (2) perkasa, memiliki kesehatan yang baik dan prima, baik fisk maupun psikis, (3) kaya, memiliki harta yang banyak, ini dimaksudkan karena Lolo tidak berhak menerima upeti dari rakyatnya, bahkan ia setiap saat melakukan acara dengan mengundang orang banyak, sehingga memerlukan biaya, dan (4) pintar, memiliki pengatahuan yang luas dan mendalam, termasuk kemampuan berbidato dan berdiplomasI.

3.      Kepatuhan terhadap Aturan-aturan Sosial
Lingkungan kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai macam kepentingan dan keanekaragaman baik pada tingkat sosial, pendidikan, suku, agama, dan sebagainya. Untuk menciptakan kehidupan yang serasi, selaras, dan seimbang serta untuk menghindari benturan kepentingan antara masyarakat tersebut, kita harus mematuhi dan taat terhadap norma-norma dalam masyarakat dan mensyukuri atas karunia Tuhan Yang Maha Esa atau karunia dan nikmat-Nya bagi kita.
Taat dan patuh adalah suatu sikap menerima serta melaksanakan sesuatu yang dibebankan kepada seseorang dengan rasa ikhlas dan penuh tanggung jawab tanpa ada paksaan dari siapapun. Taat dan patuh terhadap peraturan yang berlaku berarti sikap menerima serta ikhlas melaksanakan peraturan-peraturan yang berlaku dengan keteguhan hati tanpa paksaan. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan harus taat dan patuh pada Tuhan dengan cara menjalankan ajaran agama masing-masing. Selain patuh pada Tuhan, manusia juga harus patuh pada peraturan dan hukum negara di tempat manusia tinggal. Ciri-ciri orang yang taat: (1) Selalu berpegang teguh pada peraturan dalam suatu perbuatan atau kegiatan, (2) selalu berusaha melaksanakan peraturan, (3) Selalu berusaha menerapkan peraturan dalam kehidupan sehari-hari, dan (4) Akan selalu ikut serta dalam mengamankan peraturan yang berlaku (Anonim, 2014: 1).
Berkata Sultan Bontoala, mengapa tidak naik Gellareng, berkata Sabennara karena tidak sepaham dengan Lolo, meskipun ada rencara Lolo dia tidak akan mengikutinya, berkata lagi Sultan Bontoala Mengapa masih dipertahankan oleh Lolo menjadi Gellareng padahal tidak sepaham, demikian kata Arung Tibojong kepada Lolo dan Sabennara. Berkata lagi Lolo saya mohon maaf saya mau menyatakan sesuatu. Berkata lagi Arung Tibojong itulah engkau diundang diharapkan engkau mengungkapkan. Berkata lagi Lolo: yang manakah baginda persembahan yang diharapkan diungkapkan? (Hafid, 2010: 66).
Adanya hubungan kekerabatan antara Raja Bone dengan Lolo Bajo yang diatur dalam suatu tatanan sosial dengan melibatkan struktur adat dalam pemerintahan Komunitas Bajo (Lolo, Ponggawa, Sabennara, Gellareng) dan Kerajaan Bone (Raja dan Dewan Kerajaan), sehingga sekiranya ada. Siapapun tidak bisa memaksakan kehendaknya, melainkan harus tunduk kepada aturan social yang telah ditetapkan. Setiap permasalahan harus diselesaikan secara musyawarah, melalui perangkat adat masing-masing dengan berlandasakan pada aturan social yang telah ada..........
Suatu pembicaraan lagi, inilah perbedaan pendapat antara Lolo dengan Sabennara akan dilihat kejelasannya, ada tiga pertentangannya, pertama hak atas tanah, kedua yang dikatakan Sabennara bertolak belakang sama sekali, ketiga yang disebut 100 yang dibawa kepada Petta, 20 real kepada orang tua-tua di BajoE sebagai tanda kebesaran Sabennara dalam kedudukannya. Berkata baginda Ade Mabbicara demikianlah Lolo Bajo pertentangannmu dengan Sabennara.
Berkata arung Tibojong bagaimana kata-kata yang kau ucapkan. Berkata Sabennara saya ucapkan begitu baginda tetapi hanya kehendak baginda Dewan Adat yang jadi. Berkata Arung Tibojong meskipun kami Dewan Adat hanya mengemukakan pendapat jika ada masalah, tetapi hanya kehendak baginda (Raja) yang jadi. Berkata lagi Sultan Bontoala,..... kita pertimbangkan saja kakanda untuk selanjutnya dibawa naik kepada baginda (Raja) kesepakatannya Ade to Mabbicara supaya dapat diterima akalnya baginda. Setelah ditulis maka dibawalah Arung Pasempe untuk dilihat baginda (Raja).
Berkata bagida Mangkau kepada Ade Mabbicara itulah sebabnya dinamakan Lolo Bajo karena adanya hubungan kebangsawanan dengan Arumpone sehingga dipakai di Bone..... Berkata Petta Mangkau kepada Ade mabbicara bahwa sampaikan nenekku Lolo Bajo jangan ada dalam pikirannya bahwa kami tidak mencarikan kebaikan nenekku Lolo Bajo. Adapun kesepakatan nenekku Ade Mabbicara, itulah yang jadi. Berkatalah Arung Tibojong, Arung Pasempe dengarkanlah dengan baik Lolo Bajo kata-kata yang diucapkan baginda (Raja).
.......................jika ia memanggil tidak dapat ditunda, jika dia mengundang tidak bisa tidak dipenuhi sebab persembahannya kepada bagindanya Negeri BajoE karena hubungan kekerabatan nenek kita dahulu kepada baginda Raja Bone. Dengan demikian Ponggawa dan Gellareng, kita kerjakan apa yang dikehendaki baginda Raja Bone (Hafid, 2010: 63).
Ada yang menarik dari strategi penyelesian masalah baik Dewan Adat maupun Raja, tidak ada yang dominan untuk memaksakan kehendak, melainkan semua berpikir rasional dalam rangka menyelesaikan masalah dengan baik menempuh system monarki konstitusional. Raja tunduk di bawah aturan adat/konstitusi Negara. Nampak Dewan Adat sangat berperan dalam mengolah informasi dan permasalahan dalam masyarakat, sehingga mereka memberikan alternartif solusi kepada raja untuk diputuskan, sehingga raja dalam mengambil keputusan cukup rasional dan berpihak kepada keadilan, sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas.

4.      Menghargai Keberagaman
Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dan penduduknya terpencar-pencar di berbagai pulau. Tiap penduduk tinggal di lingkungan kebudayaan daerahnya masing-masing. Artinya, di Indonesia terdapat banyak ragam kebudayaan. Perbedaan tersebut antara lain dalam hal: (1) Cara berbicara, (2)  cara berpakaian, (3) mata pencaharian, dan (4) adat istiadat. Keanekaragaman budaya jangan dijadikan sebagai perbedaan, tetapi hendaknya dijadikan sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Setiap individu dan komunitas mempunyai kewajiban untuk selalu melestarikan kebudayaan yang beraneka ragam tersebut.

Adanya keragaman suku bangsa, bahasa, adat-istiadat, dan kesenian di Indonesia, menunjukkan perlunya menghargai keragaman dalam hidup bermasyarakat. Sebagai bangsa yang beragam, perlu memelihara persatuan agar bisa mencapai tujuan masyarakat sejahteramaka perlu saling menghargai, saling menerima perbedaan, dengan teknik sebagai berikut: (1) menerima dan menghargai suku, agama, budaya, dan adat istiadat orang lain, (2) ikut memelihara, melestarikan, dan mengembangkan tradisi dan budaya yang ada dalam masyarakat, (3) melakukan dialog antarsuku, agama, dan golongan. Dialog ini dapat mengurangi rasa saling curiga dan permusuhan, (4) tidak menganggap suku sendiri yang paling baik dan suku yang lain jelek, (5) tidak meremehkan dan menghina adat istiadat, kebiasaan, dan hasil kesenian suku bangsa lain, (6) menghormati suku, agama, budaya, dan adat istiadat orang lain, dan (7) kalau menjadi pemimpin masyarakat, kita harus melindungi semua golongan yang ada dalam masyarakat. 

Persebaran etnis bajo di berbagai wilayah Nusantara, khususnya di Kawasan Timur Nusantara yang berdampingan dengan berbagai etnis lainnya memberi isyarat bahwa mereka menghargai keragaman, dan siap hidup berdampingan dengan damai, seperti kutipan berikut ini.
Berkata semua mereka berutunglah Pua Kabeta bisa menyelamatkan nyawanya Pua Kabeta. Datanglah kabar bahwa Pua Kabeta berada di Kalau Toa. Berkata Lolo perlu didatangi Ponggawa, Gellareng dan anakku Bonto serta anakku Arung Kalu. Maka naiklah di atas perahunya Lolo dan berlayar menuju Kalau Toa, tetapi diterima kabar oleh Pua Kabeta tentang akan didatangi, maka lebih cepat berlayar menyeberang ke Manggarai terus menuju ke Bima.
Maka bertebaranlah mereka sekeluarga untuk mencari Pua Kabeta……karena perbuatannya, nanti di Bima baru mereka bertemu dengan sanak keluarganya, maka disitulah berkumpul menetap di Bima, di Manggarai. Adapun penyebab diganggunya kekuasaan Lolo dalam kebesaran Negeri BajoE, itulah asal mulanya ada orang Bajo di Manggarai dan di Bima. Selamat, sekian.
.........datang pula Raja Banggai ke Kerajaan Bone, dua kali dia kerjakan amanah masuk di Penyeberangan di Togiang membawa ke Bone orang Bajo yang banyak pada masa itu Ponggawa Uwa Ujala menjadi Ponggawanya Bajo yang banyak di Timur.
Persebaran Orang Bajo di berbagai daerah seperti: Bajoe (Bone) berdampingan dengan Orang Bugis,  di Bima Berdampingan dengan Orang Bima, Manggarai berdampingan dengan Orang Manggarai, di Banggai dan Togiang berdampingan dengan beberapa komunitas di wilyah ini. Sampai saat ini belum ada data tentang adanya resistensi dalam hubungan sosial antara Etnis Bajo dengan etnis lainnya. Bagi Etnis Bajo, terdapat kecenderungan sikap mudah menerima kawin antara etnis, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Pengaruh lingkungan dan pengalaman dalam pelayaran komunitas Bajo yang mengelilingi wilayah Nusantara, termasuk ke tanah Sunda yang terungkap pada pantun berikut ini.
Pakasang toho dikoso bunta
Sadiboa ka tana Sunda
Pasang atoanu soho ditunda
Lamong ko ada soho dipanda
Artinya:
Cincang kering dicuci busuk
Minta dibantu ke Tanah Sunda
Pesan orang tuamu diberitahu
Bila mau saya kawini
Proses adaptasi sosial dan menghargai keragaman berkembang diantara mereka, misalnya bahasa Bugis dapat dipahami oleh penduduk desa yang mayoritas Etnis Bajo (Hafid, 2007: 109). Demikian pula adat-istiadat kedua suku bangsa menyatu sehingga melahirkan suatu bentuk budaya yang merupakan proses akulturasi budaya, misalnya dalam kegiatan upacara daur hidup gunting rambut/aqiqah, adat Bugis menyatu dengan adat Bajo. Para petualang komunitas Bajo dengan mudah beradaptasi dengan budaya komunitas yang ada di sekitarnya, misalnya Budaya Muna, dan Tolaki.
Dalam mengembangkan sikap menghormati terhadap keragaman suku bangsa, dapat terlihat dari sikap dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya: (1)  Kehidupan bermasyarakat tercipta kerukunan seperti halnya dalam sebuah keluarga, (2) antara warga masyarakat terdapat semangat tolong-menolong, kerjasama untuk menyelesaikan suatu masalah, dan kerjasama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, (3)  dalam menyelesaikan urusan bersama selalu diusahakan dengan melalui musyawarah, dan (4) terdapat kesadaran dan sikap yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.

E.     Peranan Naskan sebagai Pembentukan Karakter Positif
Para penulis naskah menyadari pentingnya pelestarian nilai yang akan dijadikan bacaan berharga kepada generasi sesudahnya. Mereka telah memprediksi bahwa nilai yang telah dikembangkan sebelum dan selama era penulis naskah, memiliki muatan edukatif yang kelak akan bermanfaat bagi dunia pembinaan generasi sekaligus akan menjadi perekat internal komunitas dan antar komunitas Bajo. Mencermati naskah tersebut, maka kegiatan pengkajian naskah betujuan memberikan penguatan individu dan karakter masyarakat Bajo. Termasuk menanamkan nilai-nilai budaya dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan (Sumodiningrat, 1999: 16). Aplikasi nilai-nilai dari lontarak ini dalam kehidupan Masyarakat Bajo, dapat berkembang menjadi prinsip hidup dalam pergaulan berupa: tahu diri, tahan diri, harga diri, dan percaya diri (Hafid, 2006: 1).
Perkembangan tersebut tidak terlepas dari adanya sikap positif dalam tradisi masyarakat Bajo, seperti: (1) memiliki naluri untuk hidup bertetangga baik, (2) kegotongroyongan, (3) tenggang rasa dan hidup rukun, (4) rajin, giat, ulet, (4) adanya sistem belajar asli, dan (5) pengembangan budaya/Bahasa Melayu (Hafid, 2006: 3). Keluhuran budaya komunitas Bajo yang bermuatan karakter positif, umumnya diungkapkan dalam bahasa sastra, seperti: pantun, Iko-iko, dan naunya Sama/Bajo (Hafid, 2012: 3). Nilai-nilai tersebut merupakan pembentuk karakter positif yang perlu disampaikan kepada generasi muda secara terus-menerus.
Menurut Lickona (1992: 2) ada tujuh alasan bahwa pendidikan karakter harus disampaikan, yaitu: (1) cara terbaik untuk menjamin anak didik memiliki kepribadian baik dalam hidupnya, (2) cara untuk meningkatkan prestasi akademik, (3) sebagian anak didik tidak dapat membentuk karakter yang kuat di tempat lain, (4) mempersiapkan anak didik untuk menghormati orang lain dan hidup di masyarakat, (5) berawal dari permasalahan moral-sosial seperti kekerasan, pelanggaran seksual, ketidaksopanan, ketidakjujuran, dan etos kerja yang rendah, (6) persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja, dan (7) mengajarkan nilai-nilai budaya.
Pendidikan karakter yang diberikan kepada generasi penerus bangsa mengarah kepada rasa hormat, tanggung jawab, peduli, dan taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan karakter bertujuan membentuk bangsa yang bermoral, berakhlak mulia, berjiwa patriot, tangguh dan kompetitif yang didasarkan oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

F.      Penutup
Komunitas Bajo memiliki dinamika kehidupan yang begitu kompleks karena sebagai etnis maritim yang cenderung berpindah-pindah, sehingga dapat memperkaya budayanya. Salah satu diantaranya adalah kemampuan mengadopsi budaya aksara lontarak dari komunitas Bugis-Makassar yang kemudian dikembangkan dalam kehidupan diantaranya naskah lontarak asal-usul persebaran Suku Bajo. Dalam naskah ini dikisahkan keragaman perjalanan hidup komunitas Bajo di Kawasan Timur Nusantara yang bermuatan pendidikan karakter, dengan menonjolkan nilai-nilai: (1) religius, yang diwujudkan dalam pengamalan ajaran Islam, (2) demokratis, diimpelementasikan dalam pemilihan pucuk pimpinan social politik jabatan Lolo Bajo, (3) Kepatuhan terhadap aturan-aturan sosial, dan (4) menghargai keberagaman, yang nampak dalam lingkungan pemukiman mereka yang multi etnis di berbagai kawasan pesisir Indonesia Timur.
Isi naskah lontarak inilah yang menginspirasi para tokoh dan orang tua dalam mengembangkan nilai-nilai edukatif, religius, sosial, estetika. Melalui lontarak ini dapat disampaikan nilai-nilai karakter tersebut yang dituturkan secara lisan dari generasi ke generasi. Nilai-nilai tersebut, semakin disadari akan pentingnya dilestarikan dan dikembangkan dalam kehidupan masyarakat. Akhirnya, dewasa ini semua pihak baik orang tua maupun pemerintah menyadari begitu pentingnya  menggali nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, terutama yang telah ditulis oleh para leluhur, sebagai suatu bentuk bakuan nilai yang harus tetap dikembangkan kepada generasi muda.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter di SMP. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional  Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.
Anonim.  2014. Kepatuhan terhadap Peraturan dan Mensyukuri Nikmat Tuhan. http://id.shvoong.com/social-sciences/2181508-kepatuhan-terhadap-peraturan-dan-mensyukuri/#ixzz38uEstsld. Akses, 29 Juli 2014.
Baker, Anton. 1992. Ontologi atau Metafisika Umum: Filsafat Pengada dan Dasar-dasar Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius.
Hafid, Anwar. 2006. “Peranan Pendidikan terhadap Pengembangan Sumber Daya Masyarakat Bajo”. Makalah disajikan dalam Seminar Perumusan Penulisan Naskah Sejarah Bajo di Kendari pada Tanggal 18 Maret 2006.
Hafid, Anwar. 2007.  Manajeman Pemberdayaan Perempuan: Perubahan Sosial melalui Pembelajaran Vocational Skill pada Keluarga Nelayan. Bandung: Alfabeta.
Hafid, Anwar. 2008.  Asal-usul Persebaran Suku Bajo. Kendari: Unhalu Press.
Hafid, Anwar. 2012. “Peran Cerita Rakyat Iko-Iko Berbasis Sastra Melayu dalam Penguatan Komunitas Etnis Bajo”. Makalah Disajikan pada Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara di Tanjung Pinang. Tanggal 23-27 Mei 2012
Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Lickona, Thomas. 1992. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. Bantam.
Mangunhardjana, A. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Yogyakarta: Kanisius.

Miftah, M. 2013.  “Pengembangan Karakter Anak Melalui Pembelajaran Ilmu Sosial”. Dalam Jurnal Pendidikan Karakter. No. 2 Tahun III-2013.

Wahana, Paulus. 2004. Nilai Etika Sosiologis Max Scheler. Yogyakarta: Kanisius.

Widiyono, Yuli. 2013. “Nilai Pendidikan Karakter Tembang Campursari Karya Manthous” Dalam Jurnal Pendidikan Karakter. No. 2 Tahun III-2013.

Widyastuti, Yunita. 2014. Peran Penting Pendidikan Karakter dalam Membangun Bangsa. http://writing-contest.bisnis.com/artikel/read/20140401/377/215325/peran-penting-pendidikan-karakter-dalam-membangun-bangsa. Akses, 18 Juni 2014.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar