Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.
Makalah Disajikan pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara (MANASSA) XV, Padang, 18-20 September 2014
A.
Pendahuluan
Dewasa
ini hangat dibincangkan pendidikan karakter, seiring melemahnya karakter
positif dalam sikap dan ungkapan bahasa masyarakat, terutama di kalangan
generasi muda. Kenyataan ini mengingatkan kita akan pesan-pesan leluhur yang
sering diungkapkan para orang tua dalam berbagai kesempatan dengan maksud
memberikan pendidikan karakter kepada generasi, tetapi setelah perkembangan
pendidikan formal, seakan para orang tua menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah
dengan harapan para guru akan tetap memberikan pendidikan karakter yang sejalan
dengan budaya setempat, namun kenyataannya para guru banyak yang tidak memahami
pendidikan karakter dari budaya setempat, sehingga tidak dapat mensenyawakan
materi pelajaran yang diajarkan dengan nilai-nilai karakter positif yang
berkembang di lingkungan peserta didiknya.
Karakter
adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk
hidup dan bekerja sama. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang
dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan akibatnya. Pembentukan
karakter merupakan amanah UU Sisdiknas Tahun 2003 agar pendidikan tidak hanya membentuk
insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter
sehingga dapat melahirkan bangsa yang berkarakter dan bernafas nilai-nilai
luhur bangsa dan agama (Miftah, 2013: 1).
Pendidikan
dapat dilakukan dengan karya sastra. Hal ini sesuai dengan makna sastra. Kata sastra terdiri dari kata sas dan tra. Sas berarti
mengajar, sedang tra berarti alat. Sastra berarti alat untuk mengajar (Widiyono, 2013:
2). Karya sastra sebagai hasil cipta
seorang sastrawan sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai ajaran
hidup. Nilai kehidupan merupakan ciri bahwa karya sastra adalah karya seni.
Dari karya sastra dapat dipetik berbagai manfaat seperti pengetahuan,
pemahaman, nilai-nilai moral atau etis, sikap dan pandangan hidup
bermacam-macam, sejarah, agama, dan sebagainya.
Karya
sastra merupakan salah satu sumber informasi mengenai tingkah-laku,
nilai-nilai, dan cita-cita yang khas pada anggota setiap lapisan yang ada di
dalam masyarakat. Karya sastra merupakan karya yang artistik, yaitu terbentuk
dari proses imajinasi dan proses realitas objektif. Karya sastra biasanya
diciptakan terkait dengan persoalan atau peristiwa yang terjadi di kalangan
masyarakat di mana pengarang hidup dan tinggal yang dikaitkan dengan pengalaman
yang dimiliki.
Kesusastraan
Bajo berupa lontarak yang mengisahkan tentang kepribadian masyarakat Bajo,
sehingga menjadi wujud yang khas dan mengandung nilai-nilai karakter posotif
yang bermanfaat dalam menjalankan kewajiban hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Naskah berupa
lontarak yang beraksara dan
berbahasa Bugis banyak ditemukan pada masyarakat Bajo di Kecamatan
Lasolo Kabupaten Konawe Utara. Diantara naskah tersebut sebagian telah disimpan di Museum Negeri Sulawesi Tenggara,
tetapi masih banyak pula yang
tersebar pada oknum-oknum tertentu,
yang belum bersedia menyerahkan naskah
leluhurnya itu baik dalam bentuk aslinya
maupun dicopy.
Salah satu naskah lontarak yang berhasil diamankan
di Museum Negeri Sulawesi Tenggara dalam bentuk copynya ialah
Lontarak tentang "Assalenna Bajo" (Asal-usul Suku Bajo)
yang berdiam di Kecamatan Lasolo
Kabupaten Konawe Utara. Isi naskah ini minimal mengandung 4 nilai karakter
positif, yaitu: (1) religius, (2) demokratis, (3) kepatuhan terhadap aturan-aturan sosial, dan (4) menghargai keberagaman.
B. Pendidikan Karakter
Karakter adalah watak,
tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil
internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan
untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral,
dan norma, seperti nilai religius, demokratis, kepatuhan
terhadap aturan-aturan sosial, dan
menghargai keberagaman.
Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan
karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat
dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
merumuskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan
rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan. Oleh karena
itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan
karakter berbasis sosial budaya.
Berbasis sosial budaya adalah kegiatan
yang didasarkan pada unsur-unsur budaya yang ada pada masyarakat oleh
Koentjaraingrat (1987: 2) diidentifikasi seperti: sistem religi dan upacara
keagamaan, sistem organsisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,
kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan.
Karena manusia
hidup dalam lingkungan sosial budaya tertentu, maka pengembangan karakter
individu seseorang seharusnya dilakukan berdasarkan lingkungan sosial budaya
yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat
dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak terlepas dari lingkungan
sosial budaya masyarakat.
Atas
dasar pemikiran itu, maka kajian naskah lontarak Bajo sebagai konteks budaya,
sangat strategis, karena mengandung nilai-nilai karakter yang relevan untuk
dikembangkan dalam era sekarang ini, seperti:
nilai religius, demokratis, kepatuhan terhadap
aturan-aturan sosial, dan menghargai keberagaman. Pengembangan pendidikan karakter berbasis
budaya sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa
mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik,
pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif.
Sesuai dengan sifat suatu nilai, pengembangan karakter bangsa adalah usaha
bersama sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Untuk itu, harus dilakukan secara
bersama dalam berbagai kesempatan, sehingga menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari budaya sehari-hari.
Berikut adalah
25 butir nilai karakter sebagai prioritas penanaman pada anak remaja:
1.
Kereligiusan
2. Kejujuran
3. Kecerdasan
4. Tanggung jawab
5. Kebersihan
dan kesehatan
6. Kedisiplinan
7. Tolong-menolong
8. Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
9. Kesantunan
10.
Ketangguhan
11.
Kedemokratisan
12.
Kemandirian
13.
Keberanian
mengambil risiko
14.
Berorientasi
pada tindakan
15.
Berjiwa
kepemimpinan
16.
Kerja
keras
17.
Percaya
diri
18.
Keingintahuan
19.
Cinta
ilmu
20.
Kesadaran
akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
21.
Kepatuhan
terhadap aturan-aturan sosial
22.
Menghargai karya dan prestasi orang lain
23.
Kepedulian
terhadap lingkungan
24.
Nasionalisme
25.
Menghargai keberagaman (Anonim, 2011: 7).
Nilai-nilai tersebut tersebar dan tersirat dalam setiap
komunitas, baik lisan maupun tertulis. Bagi komunitas Bajo, nilai-nilai yang
dikembangkan sebagian telah ditulis dalam lontarak ini menunjukkan bahwa Etnis
Bajo memiliki peradaban yang cukup tinggi, karena sejak dahulu kala telah mampu
mengembangkan bahasa tulisan dengan memanfaatkan bahasa dan pilihan kata yang
santun. Umumnya pilihan kata yang digunakan dalam lontarak adalah bahasa yang
halus.
C.
Nilai-nilai Karakter Positif dalam Naskah
Lontarak Bajo
Nilai-nilai
karakter positif dalam budaya Masyarakat Bajo dapat dikembangkan dalam
pendidikan. Usaha pendidikan tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta
didik berada, terutama dari lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup
tak terpishkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah
budayanya. Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan
peserta didik tercabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi, maka mereka
tidak akan mengenal budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang “asing”
dalam lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan
adalah dia menjadi orang yang tidak menyukai budayanya.
Budaya,
yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang, dimulai dari budaya di
lingkungan terdekat (keluarga, kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan
yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal yang dianut
oleh ummat manusia. Apabila peserta didik menjadi asing dari budaya terdekat,
maka dia tidak mengenal dengan baik budaya bangsa dan dia tidak mengenal
dirinya sebagai anggota komunitas budaya bangsa. Dalam situasi demikian, dia
sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung untuk menerima
budaya luar tanpa proses pertimbangan. Kecenderungan itu terjadi karena dia
tidak memiliki norma dan nilai budaya nasionalnya yang dapat digunakan sebagai
dasar untuk melakukan pertimbangan.
Semakin
kuat seseorang memiliki dasar pertimbangan, semakin kuat pula kecenderungan
untuk tumbuh dan berkembang menjadi warga negara yang baik. Pada titik
kulminasinya, norma dan nilai budaya secara kolektif pada tingkat makro akan
menjadi norma dan nilai budaya bangsa. Dengan demikian, peserta didik/remaja/individu
akan menjadi warga negara Indonesia yang memiliki wawasan, cara berpikir, cara
bertindak, dan cara menyelesaikan masalah sesuai dengan norma dan nilai yang
positif. Hal ini sesuai dengan fungsi utama pendidikan yang diamanatkan dalam
UU Sisdiknas, “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh
karena itu, aturan dasar yang mengatur pendidikan nasional (UUD 1945 dan UU
Sisdiknas) sudah memberikan landasan
yang kokoh untuk mengembangkan keseluruhan potensi diri seseorang sebagai
anggota masyarakat dan bangsa.
D.
Nilai-nilai
Karakter dalam Naskah Lontarak
1. Religius
Nilai religius ini memfokuskan
relasi manusia yang berkomunikasi dengan Tuhan (Baker.
1992: 184). Scheler mengungkapkan bahwa dalam
hubungan dengan Tuhan, manusia mendapatkan pengalaman
mengagumkan yang tidak terhapuskan (Wahana.
2004: 17). Untuk memahami nilai religius ini,
hanya dengan iman dan cinta terhadap manusia dan manusia menyadari bahwa Tuhan
itu merupakan Pencipta, Yang Maha kuasa, dan
Yang Mahatahu (Baker. 1992: 185). Melalui nilai religius ini, manusia
berhubungan dengan Tuhannya (Mangunhardjana, 1997:
11).
Nilai
religius dalam naskah dinyatakan bahwa asal-usul Etnis Bajo berasal dari Adam dan Hawa,
kemudian ke Ussu (luwu), setelah melalui
perjalanan panjang Etnis Bajo ini berada
di wilayah pengaruh Gowa,
selanjutnya ke BajoE (Bone), dalam gerak persebarannya, kemudian sampai di
Lasolo (Konawe Utara).
Pernyataan
tersebut merupakan pengakuan asal-usul manusia sesuai dengan ajaran Islam yang
mereka anut. Kemudian mereka bertebaran di muka bumi ini……
Suatu pembicaraan lagi, saat diperanginya Bone oleh Petta
MatinroE di Topaccing, ……..Dialah yang memerintah saat Pembesar Ujung Pandang
sepakat untuk menyerang Bone, ditundukkanlah pertahanan Bone, setelah kalah
maka diangkatlah di kapal baginda Karaeng Segeri dibawa pergi ke Betawi, di sanalah sampai kembali di sisi Allah
Yang Maha Tinggi.
Nampak
pengakuan asal dan akhir dari kehidupan manusia menurut ajaran Islam, bahwa
sesungguhnya manusia bersal dari Allah dan pada akhirnya kembali di sisi Allah
ketika mengakhiri hidupnya di dunia ini……..
Mantaplah kesepakatan persatuan, maka dibacalah selawat tiga kali bersamaan
berakhirnya selawat maka bersamaan berangkat Lolo, Ponggawa, Gellareng,
bersama anak-cucu yang banyak, bersatulah anak-cucu yang banyak maju ke
kampungnya Pua Kabeta, maka sampailah Lolo, Ponggawa, Gellareng bersama
anak-cucu yang banyak di rumah Pua Kabeta dan sekampungnya.
Berkatalah Ponggawa kepada Pua Kabeta: wahai Pua Kabeta
perbaiki posisi pertahananmu engkau akan dapat yang selama ini engkau
tunggu-tunggu dari Lolo, maka dibaca
lagi selawat tiga kali, setelah berakhir selawat bunyilah senajata di timur,
bunyi di barat, bunyi di tengah saling menyerang dari anak cucu yang banyak.
Kedua
pernyataan tersebut menunjukkan pengakuan sebagai makhluk yang daif atau lemah,
sehingga selalu menyandarkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, melalui doa
dalam bentuk selawat kepada Nabi Muhammad, baik saat memulai pekerjaan atau
berangkat dari suatu perjalanan maupun saat mengakhiri pekerjaan atau sampai di
suatu tujuan perjalanan. Kondisi ini dilakukan termasuk dalam situasi
genting/peperangan sekalipun.
2. Demokratis
Beberapa pandangan tentang konsep demokrasi diantaranya
Plato yang menyatakan bahwa dalam bentuk demokrasi, kekuasan berada di tangan
rakyat sehingaa kepentingan umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan. Secara
prinsipil, rakyat diberi kebebasan dan kemerdekaan. Menurut Polybius, demokrasi
dibentuk oleh perwalian kekuasaan dari rakyat. Pandangan kedua tokoh ini
tergambar dalam sistem yang dikembangkan dalam komunitas Bajo sebagaimana
diuraikan dalam naskah lontarak berikut ini.
Suatu pembicaraan, pada saat baginda MallinrungngE di
Laleng Bata masih berkuasa dia menjadi Lolo yang tinggal berkedudukan di
Kendari bernama Pua Baringeng dan nama dirinya Lapalettei, maka sepakatlah Ponggawa Uwa Danga bersama keluarganya semua orang Bajo
sepakat mengangkat Lolo yang berkuasa di BajoE, maka di situlah lagi orang Bajo
menetap di Kendari pada saat Lapalettei sedang menjadi Lolo (Hafid, 2010:
57).
Pengangkatan Lolo sebagai Raja Bajo dilakukan melalui pemilihan dari oleh
dan untuk lingkungan komunitas Bajo sendiri yang tersebar di berbagai wilayah
di Kawasan Timur Nusantara. Meskipun mereka bermukim pada wilayah yang
berjauhan dibatasi oleh lautan, tetapi tetap memelihara dan mempertahankan
kekerabatan termasuk dalam sistem sosial politiknya.
Adapun yang dikatakan dalam cap bahwa diharapkan kita
orang Bajo kembali ke Negeri Bugis dan menetap kembali di perkampungan di
sebelah timurnya Kampung Cellu. Datang lagi Sabennara diutus membawa cap dari
Petta Ponre, yang dikatakan dalam cap bahwa diharapkan semua orang Bajo di
Bonerate untuk kembali ke Negeri Bugis. Berkumpullah
Ponggawa dan semua orang tua-tua, maka datang semua berkumpul berdiskusi
tentang apa-apa yang dikatakan cap. Berkata Ponggawa bagaimana engkau
sekeluarga anak cucu yang banyak tentang masalah kesepakatan yang dikatakan
oleh capnya baginda.
Berkata penduduk semua yang tua-tua, kami mendukung
kesepakatan, tinggal Ponggawalah yang membuat keputusan yang dianggapnya baik
dan dapat menjamin keselamatan anak cucu yang banyak, bagaimanapun
kesepakatannya Lolo bersama Ponggawa yang dianggap baik terhadap anak cucu yang
banyak dan dapat menjamin keselamatan Negeri BajoE, itulah yang kita
sungguh-sungguh untuk mengerjakannya.
Demokrasi yang dikembangkan masyarakat Bajo adalah demokrasi yang
berkarakter dengan menghormati yang lebih tua, dan menghargai yang lebih muda.
Sistem demokrasi ini cukup rasional, karena meskipun memilih yang lebih tua
umurnya, tetapi juga tetap mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu
berdasakan rasionalitas yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat Bajo.
Berkata
Ponggawa dan Gellareng wahai semua penduduk yang tua-tua bersama anak cucu yang
banyak, jika ada kesepakatannya Lolo, Ponggawa, Gellareng, maka bersatulah
semua penduduk pada kesepakatan mereka bertiga. Berkatalah kepada anak cucu
yang banyak kita bersatu semua dan sama perbuatan.
Berkata Ponggawa kepada Lolo demikianlah kesepakatan
kita, berkata lagi Lolo kepada Ponggawa dan Gellareng jika ada yang dikatakan
Lolo baik untuk Negeri BajoE engkau anggap baik pula Ponggawa atau engkau
Gellareng. Berkata Ponggawa dan Gellareng, jika Lolo menyatakan baik, maka
baiklah Negeri BajoE sebagai pengabdian Ponggawa Bajo dan Gellareng Bajo kepada
Lolo.
Berkata Lolo kepada
Ponggawa dan Gellareng, jika engkau paham kesepakatannya anak cucu yang banyak
atas ketidak ingkarannya dari kesepakatan kita, yang penting kita persiapkan
untuk menuju ke Negeri Bugis untuk membuktikan apa yang dikatakan capnya baginda,
karena persembahan Negeri BajoE..... (Hafid, 2010: 63).
Suatu pembicaraan lagi, yang membicarakan tentang
pelantikan Lolo di Bonerate di Labenggo Pua Sauma bernama Toappa dikukuhkan
menjadi Lolo di Negeri BajoE menggatikan Pua Lolo yang tua dan telah disepakati
oleh anak cucu yang banyak berasal dari Penyeberangan di Togiang, PonggawaE dan
Gellareng pergi mengundang orang Bajo semua untuk berkumpul di Bonerate di
Labenggo.
Adapun cara pelantikannya diadakan undangan sebelum
kegiatan pelantikan maka mereka membuat makanan yang masak dan makanan kebesaran, meraka saling berkumpul
dari anak cucu cucu yang banyak dari orang-orang Bajo, setelah siap semuanya
diundangkan dan diumumkan. Adapun bernama Pua Sabilu berdiri mengundang dan
berkata dengarkanlah engkau semua anak-cucu yang banyak bahwa Pua Sauma bernama
Toappa menggantikan menjadi Lolo di Negeri BajoE membawa kebesaran negeri
BajoE, dialah yang mampu, perkasa, kaya dan dia juga pintar.
Demokrasi
yang dikembangkan masyarakat Bajo adalah sistem demokrasi perwakilan. Mereka
telah menetapkan criteria soseorang untuk dapat diangkat menjadi seorang
pemimpin, yaitu: (1) mampu, memiliki kharisma dan wawasan yang luas, khususnya
dalam dimenasi religius, (2) perkasa, memiliki kesehatan yang baik dan prima,
baik fisk maupun psikis, (3) kaya, memiliki harta yang banyak, ini dimaksudkan
karena Lolo tidak berhak menerima upeti dari rakyatnya, bahkan ia setiap saat
melakukan acara dengan mengundang orang banyak, sehingga memerlukan biaya, dan
(4) pintar, memiliki pengatahuan yang luas dan mendalam, termasuk kemampuan
berbidato dan berdiplomasI.
3. Kepatuhan terhadap Aturan-aturan Sosial
Lingkungan
kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai macam kepentingan dan keanekaragaman
baik pada tingkat sosial, pendidikan, suku, agama, dan sebagainya. Untuk
menciptakan kehidupan yang serasi, selaras, dan seimbang serta untuk
menghindari benturan kepentingan antara masyarakat tersebut, kita harus
mematuhi dan taat terhadap norma-norma dalam masyarakat dan mensyukuri atas
karunia Tuhan Yang Maha Esa atau karunia dan nikmat-Nya bagi kita.
Taat
dan patuh adalah suatu sikap menerima serta melaksanakan sesuatu yang
dibebankan kepada seseorang dengan rasa ikhlas dan penuh tanggung jawab tanpa
ada paksaan dari siapapun. Taat dan patuh terhadap peraturan yang berlaku
berarti sikap menerima serta ikhlas melaksanakan peraturan-peraturan yang
berlaku dengan keteguhan hati tanpa paksaan. Manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan harus taat dan patuh pada Tuhan dengan cara menjalankan ajaran agama
masing-masing. Selain patuh pada Tuhan, manusia juga harus patuh pada peraturan
dan hukum negara di tempat manusia tinggal. Ciri-ciri orang yang taat: (1)
Selalu berpegang teguh pada peraturan dalam suatu perbuatan atau kegiatan, (2)
selalu berusaha melaksanakan peraturan, (3) Selalu berusaha menerapkan
peraturan dalam kehidupan sehari-hari, dan (4) Akan selalu ikut serta dalam
mengamankan peraturan yang berlaku (Anonim, 2014: 1).
Berkata Sultan Bontoala, mengapa tidak naik Gellareng, berkata
Sabennara karena tidak sepaham dengan Lolo, meskipun ada rencara Lolo dia tidak
akan mengikutinya, berkata lagi Sultan Bontoala Mengapa masih dipertahankan
oleh Lolo menjadi Gellareng padahal tidak sepaham, demikian kata Arung Tibojong
kepada Lolo dan Sabennara. Berkata lagi Lolo saya mohon maaf saya mau
menyatakan sesuatu. Berkata lagi Arung Tibojong itulah engkau diundang diharapkan
engkau mengungkapkan. Berkata lagi Lolo: yang manakah baginda persembahan yang
diharapkan diungkapkan? (Hafid, 2010: 66).
Adanya hubungan kekerabatan antara Raja Bone
dengan Lolo Bajo yang diatur dalam suatu tatanan sosial dengan melibatkan
struktur adat dalam pemerintahan Komunitas Bajo (Lolo, Ponggawa, Sabennara,
Gellareng) dan Kerajaan Bone (Raja dan Dewan Kerajaan), sehingga sekiranya ada.
Siapapun tidak bisa memaksakan kehendaknya, melainkan harus tunduk
kepada aturan social yang telah ditetapkan. Setiap permasalahan harus
diselesaikan secara musyawarah, melalui perangkat adat masing-masing dengan
berlandasakan pada aturan social yang telah ada..........
Suatu pembicaraan lagi, inilah perbedaan pendapat antara
Lolo dengan Sabennara akan dilihat kejelasannya, ada tiga pertentangannya,
pertama hak atas tanah, kedua yang dikatakan Sabennara bertolak belakang sama
sekali, ketiga yang disebut 100 yang dibawa kepada Petta, 20 real kepada orang
tua-tua di BajoE sebagai tanda kebesaran Sabennara dalam kedudukannya. Berkata
baginda Ade Mabbicara demikianlah Lolo Bajo pertentangannmu dengan Sabennara.
Berkata arung Tibojong bagaimana kata-kata yang kau
ucapkan. Berkata Sabennara saya ucapkan begitu baginda tetapi hanya kehendak
baginda Dewan Adat yang jadi. Berkata Arung Tibojong meskipun kami Dewan Adat
hanya mengemukakan pendapat jika ada masalah, tetapi hanya kehendak baginda
(Raja) yang jadi. Berkata lagi Sultan Bontoala,..... kita pertimbangkan saja
kakanda untuk selanjutnya dibawa naik kepada baginda (Raja) kesepakatannya Ade
to Mabbicara supaya dapat diterima akalnya baginda. Setelah ditulis maka
dibawalah Arung Pasempe untuk dilihat baginda (Raja).
Berkata bagida Mangkau kepada Ade Mabbicara itulah
sebabnya dinamakan Lolo Bajo karena adanya hubungan kebangsawanan dengan
Arumpone sehingga dipakai di Bone..... Berkata Petta Mangkau kepada Ade
mabbicara bahwa sampaikan nenekku Lolo Bajo jangan ada dalam pikirannya bahwa
kami tidak mencarikan kebaikan nenekku Lolo Bajo. Adapun kesepakatan nenekku
Ade Mabbicara, itulah yang jadi. Berkatalah Arung Tibojong, Arung Pasempe
dengarkanlah dengan baik Lolo Bajo kata-kata yang diucapkan baginda (Raja).
.......................jika ia memanggil tidak dapat
ditunda, jika dia mengundang tidak bisa tidak dipenuhi sebab persembahannya
kepada bagindanya Negeri BajoE karena hubungan kekerabatan nenek kita dahulu
kepada baginda Raja Bone. Dengan demikian Ponggawa dan Gellareng, kita kerjakan
apa yang dikehendaki baginda Raja Bone (Hafid, 2010: 63).
Ada yang menarik dari
strategi penyelesian masalah baik Dewan Adat maupun Raja, tidak ada yang
dominan untuk memaksakan kehendak, melainkan semua berpikir rasional dalam
rangka menyelesaikan masalah dengan baik menempuh system monarki konstitusional. Raja tunduk di bawah aturan adat/konstitusi
Negara. Nampak Dewan Adat sangat berperan dalam mengolah informasi dan
permasalahan dalam masyarakat, sehingga mereka memberikan alternartif solusi
kepada raja untuk diputuskan, sehingga raja dalam mengambil keputusan cukup
rasional dan berpihak kepada keadilan, sehingga dapat diterima oleh masyarakat
luas.
4. Menghargai Keberagaman
Indonesia
memiliki wilayah yang sangat luas dan penduduknya terpencar-pencar di berbagai
pulau. Tiap penduduk tinggal di lingkungan kebudayaan daerahnya masing-masing.
Artinya, di Indonesia terdapat banyak ragam kebudayaan. Perbedaan tersebut
antara lain dalam hal: (1) Cara berbicara, (2) cara berpakaian, (3) mata
pencaharian, dan (4) adat istiadat. Keanekaragaman budaya jangan dijadikan
sebagai perbedaan, tetapi hendaknya dijadikan sebagai kekayaan bangsa
Indonesia. Setiap individu dan komunitas mempunyai kewajiban untuk selalu
melestarikan kebudayaan yang beraneka ragam tersebut.
Adanya keragaman suku bangsa, bahasa, adat-istiadat, dan kesenian di Indonesia, menunjukkan perlunya menghargai keragaman dalam hidup bermasyarakat. Sebagai bangsa yang beragam, perlu memelihara persatuan agar bisa mencapai tujuan masyarakat sejahteramaka perlu saling menghargai, saling menerima perbedaan, dengan teknik sebagai berikut: (1) menerima dan menghargai suku, agama, budaya, dan adat istiadat orang lain, (2) ikut memelihara, melestarikan, dan mengembangkan tradisi dan budaya yang ada dalam masyarakat, (3) melakukan dialog antarsuku, agama, dan golongan. Dialog ini dapat mengurangi rasa saling curiga dan permusuhan, (4) tidak menganggap suku sendiri yang paling baik dan suku yang lain jelek, (5) tidak meremehkan dan menghina adat istiadat, kebiasaan, dan hasil kesenian suku bangsa lain, (6) menghormati suku, agama, budaya, dan adat istiadat orang lain, dan (7) kalau menjadi pemimpin masyarakat, kita harus melindungi semua golongan yang ada dalam masyarakat.
Persebaran
etnis bajo di berbagai wilayah Nusantara, khususnya di Kawasan Timur Nusantara
yang berdampingan dengan berbagai etnis lainnya memberi isyarat bahwa mereka
menghargai keragaman, dan siap hidup berdampingan dengan damai, seperti kutipan
berikut ini.
Berkata semua mereka berutunglah Pua Kabeta bisa
menyelamatkan nyawanya Pua Kabeta. Datanglah kabar bahwa Pua Kabeta berada di
Kalau Toa. Berkata Lolo perlu didatangi Ponggawa, Gellareng dan anakku Bonto
serta anakku Arung Kalu. Maka naiklah di atas perahunya Lolo dan berlayar
menuju Kalau Toa, tetapi diterima kabar oleh Pua Kabeta tentang akan didatangi,
maka lebih cepat berlayar menyeberang ke Manggarai terus menuju ke Bima.
Maka bertebaranlah mereka sekeluarga untuk mencari Pua Kabeta……karena
perbuatannya, nanti di Bima baru mereka bertemu dengan sanak keluarganya, maka
disitulah berkumpul menetap di Bima, di Manggarai. Adapun penyebab diganggunya
kekuasaan Lolo dalam kebesaran Negeri BajoE, itulah asal mulanya ada orang Bajo
di Manggarai dan di Bima. Selamat, sekian.
.........datang
pula Raja Banggai ke Kerajaan Bone, dua kali dia kerjakan amanah masuk di Penyeberangan di
Togiang membawa ke Bone orang Bajo yang banyak pada masa itu Ponggawa Uwa Ujala
menjadi Ponggawanya Bajo yang banyak di Timur.
Persebaran Orang Bajo di berbagai daerah seperti: Bajoe (Bone) berdampingan
dengan Orang Bugis, di Bima Berdampingan
dengan Orang Bima, Manggarai berdampingan dengan Orang Manggarai, di Banggai
dan Togiang berdampingan dengan beberapa komunitas di wilyah ini. Sampai saat
ini belum ada data tentang adanya resistensi dalam hubungan sosial antara Etnis
Bajo dengan etnis lainnya. Bagi Etnis Bajo, terdapat kecenderungan sikap mudah
menerima kawin antara etnis, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Pengaruh
lingkungan dan pengalaman dalam pelayaran komunitas Bajo yang mengelilingi
wilayah Nusantara, termasuk ke tanah Sunda yang terungkap pada pantun berikut
ini.
Pakasang toho dikoso bunta
Sadiboa ka tana Sunda
Pasang atoanu soho ditunda
Lamong ko ada soho dipanda
Artinya:
Cincang kering
dicuci busuk
Minta dibantu ke
Tanah Sunda
Pesan orang
tuamu diberitahu
Bila mau saya
kawini
Proses
adaptasi sosial dan
menghargai keragaman berkembang diantara mereka, misalnya bahasa
Bugis dapat dipahami oleh penduduk desa yang mayoritas Etnis Bajo (Hafid, 2007: 109). Demikian pula adat-istiadat kedua suku bangsa menyatu sehingga
melahirkan suatu bentuk budaya yang merupakan proses akulturasi budaya,
misalnya dalam kegiatan upacara daur hidup gunting rambut/aqiqah, adat Bugis
menyatu dengan adat Bajo.
Para petualang komunitas Bajo dengan mudah beradaptasi dengan budaya komunitas
yang ada di sekitarnya, misalnya Budaya Muna, dan Tolaki.
Dalam mengembangkan
sikap menghormati terhadap keragaman suku bangsa, dapat terlihat dari sikap
dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya: (1)
Kehidupan bermasyarakat tercipta kerukunan seperti halnya dalam sebuah
keluarga, (2) antara warga masyarakat terdapat semangat tolong-menolong,
kerjasama untuk menyelesaikan suatu masalah, dan kerjasama dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, (3) dalam
menyelesaikan urusan bersama selalu diusahakan dengan melalui musyawarah, dan
(4) terdapat kesadaran dan sikap yang mengutamakan kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi dan golongan.
E.
Peranan Naskan
sebagai Pembentukan Karakter Positif
Para penulis
naskah menyadari pentingnya pelestarian nilai yang akan dijadikan bacaan
berharga kepada generasi sesudahnya. Mereka telah memprediksi bahwa nilai yang
telah dikembangkan sebelum dan selama era penulis naskah, memiliki muatan
edukatif yang kelak akan bermanfaat bagi dunia pembinaan generasi sekaligus
akan menjadi perekat internal komunitas dan antar komunitas Bajo. Mencermati
naskah tersebut, maka kegiatan pengkajian naskah betujuan memberikan penguatan
individu dan karakter masyarakat Bajo. Termasuk menanamkan nilai-nilai budaya
dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan (Sumodiningrat, 1999: 16).
Aplikasi nilai-nilai dari lontarak ini dalam kehidupan Masyarakat Bajo, dapat berkembang
menjadi prinsip hidup dalam pergaulan berupa: tahu diri, tahan diri, harga
diri, dan percaya diri (Hafid, 2006: 1).
Perkembangan tersebut tidak
terlepas dari adanya sikap positif dalam tradisi masyarakat Bajo, seperti: (1)
memiliki naluri untuk hidup bertetangga baik, (2) kegotongroyongan, (3)
tenggang rasa dan hidup rukun, (4) rajin, giat, ulet, (4) adanya sistem belajar
asli, dan (5) pengembangan budaya/Bahasa Melayu (Hafid, 2006: 3). Keluhuran
budaya komunitas Bajo yang bermuatan karakter positif, umumnya diungkapkan
dalam bahasa sastra, seperti: pantun, Iko-iko, dan naunya Sama/Bajo (Hafid, 2012:
3). Nilai-nilai tersebut merupakan pembentuk karakter positif yang perlu
disampaikan kepada generasi muda secara terus-menerus.
Menurut Lickona (1992: 2)
ada tujuh alasan bahwa pendidikan karakter harus disampaikan, yaitu: (1) cara
terbaik untuk menjamin anak didik memiliki kepribadian baik dalam hidupnya, (2)
cara untuk meningkatkan prestasi akademik, (3) sebagian anak didik tidak dapat
membentuk karakter yang kuat di tempat lain, (4) mempersiapkan anak didik untuk
menghormati orang lain dan hidup di masyarakat, (5) berawal dari permasalahan
moral-sosial seperti kekerasan, pelanggaran seksual, ketidaksopanan,
ketidakjujuran, dan etos kerja yang rendah, (6) persiapan terbaik untuk
menyongsong perilaku di tempat kerja, dan (7) mengajarkan nilai-nilai budaya.
Pendidikan karakter yang
diberikan kepada generasi penerus bangsa mengarah kepada rasa hormat, tanggung
jawab, peduli, dan taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan karakter
bertujuan membentuk bangsa yang bermoral, berakhlak mulia, berjiwa patriot,
tangguh dan kompetitif yang didasarkan oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
F.
Penutup
Komunitas
Bajo memiliki dinamika kehidupan yang begitu kompleks karena sebagai etnis
maritim yang cenderung berpindah-pindah, sehingga dapat memperkaya budayanya.
Salah satu diantaranya adalah kemampuan mengadopsi budaya aksara lontarak dari
komunitas Bugis-Makassar yang kemudian dikembangkan dalam kehidupan diantaranya
naskah lontarak asal-usul persebaran Suku Bajo. Dalam naskah ini dikisahkan keragaman
perjalanan hidup komunitas Bajo di Kawasan Timur Nusantara yang bermuatan
pendidikan karakter, dengan menonjolkan nilai-nilai: (1) religius,
yang diwujudkan dalam pengamalan ajaran Islam, (2) demokratis,
diimpelementasikan dalam pemilihan pucuk pimpinan social politik jabatan Lolo Bajo, (3) Kepatuhan terhadap aturan-aturan sosial, dan (4) menghargai keberagaman, yang nampak dalam lingkungan pemukiman
mereka yang multi etnis di berbagai kawasan pesisir Indonesia Timur.
Isi
naskah lontarak inilah yang menginspirasi para tokoh dan orang tua dalam
mengembangkan nilai-nilai edukatif, religius,
sosial, estetika. Melalui lontarak ini dapat disampaikan nilai-nilai karakter
tersebut yang dituturkan secara lisan dari generasi ke generasi. Nilai-nilai tersebut, semakin disadari akan
pentingnya dilestarikan dan dikembangkan dalam kehidupan masyarakat. Akhirnya,
dewasa ini semua pihak baik orang tua maupun pemerintah menyadari begitu
pentingnya menggali nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat, terutama yang telah ditulis oleh para leluhur, sebagai suatu
bentuk bakuan nilai yang harus tetap dikembangkan kepada generasi muda.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2011. Panduan
Pelaksanaan Pendidikan Karakter di SMP. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Pertama.
Anonim. 2014. Kepatuhan terhadap Peraturan dan Mensyukuri Nikmat Tuhan. http://id.shvoong.com/social-sciences/2181508-kepatuhan-terhadap-peraturan-dan-mensyukuri/#ixzz38uEstsld. Akses, 29 Juli
2014.
Baker,
Anton. 1992. Ontologi atau Metafisika Umum: Filsafat Pengada dan
Dasar-dasar Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius.
Hafid,
Anwar. 2006. “Peranan Pendidikan terhadap
Pengembangan Sumber Daya Masyarakat Bajo”. Makalah disajikan dalam Seminar Perumusan Penulisan Naskah Sejarah Bajo
di Kendari pada Tanggal 18 Maret 2006.
Hafid,
Anwar. 2007. Manajeman Pemberdayaan
Perempuan: Perubahan Sosial melalui Pembelajaran Vocational Skill pada Keluarga Nelayan. Bandung: Alfabeta.
Hafid,
Anwar. 2008. Asal-usul Persebaran Suku Bajo. Kendari: Unhalu Press.
Hafid,
Anwar. 2012. “Peran Cerita Rakyat Iko-Iko Berbasis Sastra Melayu dalam
Penguatan Komunitas Etnis Bajo”. Makalah Disajikan
pada Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara di Tanjung Pinang.
Tanggal 23-27 Mei 2012
Koentjaraningrat.
1987. Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Lickona, Thomas. 1992. Educating for Character: How Our Schools Can
Teach Respect and Responsibility. Bantam.
Mangunhardjana,
A.
1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Yogyakarta: Kanisius.
Miftah, M. 2013. “Pengembangan Karakter Anak Melalui Pembelajaran Ilmu Sosial”. Dalam Jurnal Pendidikan Karakter. No. 2 Tahun III-2013.
Wahana, Paulus. 2004. Nilai Etika Sosiologis Max Scheler. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar